Intoksikasi Karbon Monoksida
-
Upload
davidandreannatanael -
Category
Documents
-
view
15 -
download
3
description
Transcript of Intoksikasi Karbon Monoksida
Intoksikasi Gas Karbon Monoksida Akibat Kerja
Michaela Vania Tanujaya
10.2010.175
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Skenario 4
Seorang dokter dan 4 rekan kerjanya ditemukan telah meninggal dunia dalam ruang
jaga klinik.
Scenario ini adalah peristiwa nyata. Berawal dari listrik padam, untuk menghidupkan
alat elektronik digunakan genset. Genset ini biasanya di letakkan di luar tetapi karena
terjadi malam hari yang gelap. Dihidupkan dan diletakkan di dalam ruang tertutup dan
ber AC dan pintu rooling door tanpa ventilasi. Mereka semua tertidur karena efek gas
karbon monoksida.
Abstract
Carbon monoxide intoxication is one of the leading cause of morbidity and
death from poisoning worldwide. CO intoxication is a particularly serious
consequence of smoke inhalation and may count as much as 80% of fatalities from
inhalation injury. The clinical manifestations and effects of CO intoxication are
diverse and easily confused with other illness. A high index of suspicion is essential
to make the diagnosis of CO intoxication.
Reported one case, a 34 years old female patient, with severe carbon
monoxide intoxication whom presented many clinical manifestations. She was treated
with supplemental oxygen and aggressive supporting care, including hyperbaric
oxygen therapy are rehabilitation therapy.
Keywords: carbon monoxide, intoxication
1
Pendahuluan
Claude Bernard pada tahun 1857 menemukan efek beracun karbon
monoksidayang disebabkan oleh pelepasan ikatan oksigen dari hemoglobin menjadi
carboxyhaemoglobin. Warberg pada tahun 1926 mamakai kultur jamur yeast untuk
menunjukan asupan oksigen oleh jaringan di hambat oleh paparan karbon monoksida
dalam jumlah yang besar.1
Karbon monoksida adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang
dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan
dasar karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organic
lainnnya. Setiap karbon kebakaran api harus dicurigai adanya intoksikasi gas CO.
sekitar 50% kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma inhalasi dan
hipoksia dini menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi.
Intoksikasi gas CO merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan
diperkirakan lebih dari 80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma
inhalasi.
Misdiagnosis tidak jarang terjadi karena gejala yang tidak khas dan banyak
manifestasi klinis yang timbul, sehingga diperlukan ketelitian yang tinggi dalam
menangani pasien dengan intoksikasi gas CO.
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja adalah landasan terpenting bagi manajemen
penyakit tersebut promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Diagnosis penyakit
akibat kerja juga merupakan penentu bagi dimiliki atau tidak dimilikinya ha katas
manfaat jaminan penyakit akibat kerja yang tercakup dalam program jaminan
kecelakaan kerja. Sebagaimana berlaku bagi semua penyakit pada umumnya, hanya
dokter yang kompeten yang berwenang menetapkan suatu penyakit adalah penyakit
akibat kerja. Tegak tindaknya diagnosis penyakit akibat kerja sangat tergantung
kepada sejauh mana metodologi diagnosis penyakit akibat kerja dilaksanakan oleh
dokter bersangkutan.
Cara menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai kekhususan
apabila dibandingkan terhadap diagnosis penyakit pada umumnya. Untuk diagnosis
penyakit akibat kerja, anamnesis, dan pemeriksaan klinis serta laboratoris yang bisa
digunakan bagi diagnosis penyakit pada umumnya belum cukup, melainkan harus
pula dikumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan terhadap tempat kerja, aktivitas
2
pekerjaan dan lingkungan kerja guna memastikan bahwa pekerjaan atau lingkungan
kerja adalah penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan. Selain itu, anamnesis
terhadap pekerjaan baik yang sekarang maupun pada masa sebelumnya harus dibuat
secara lengkap termasuk kemungkinan terhadap terjadinya paparan kepada faktor
mekanis, fisis, kimiawi, biologis, fisiologis/ergonomis dan mental psikologis.
Secara umum, disajikan menurut urutannya 5 lima langkah yang harus diambil
guna menegakkan diagnosis suatu penyakit akibat kerja sbb:
1. Anamnesis tentang riwayat penaykit dan riwayat pekerjaan dimaksudkan
untuk mengetahui kemungkinan salah satu faktor di tempat kerja, pada
pekerjaan dan atau lingkungan kerja menjadi penyebab penyakit akibat kerja.
Riwayat penyakit meliputi antara lain awal mula timbul gejala atau tanda
sakit, dan terutama penting hubungan antara gejala serta tanda sakit dengan
pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Riwayat pekerjaaan harus ditanyakan
kepada penderita dengan seteliti-telitinya dari permulaan sekali sampai
dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya mencurahkan
perhatian pada pekerjaan yang dilakukan waktu sekarang, namun harus
dikumpulkan informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin
bahwa penyakit akibat kerjayang di derita waktu ini penyebabnya adalah
pekerjaan atau lingkungan kerja dari pekerjaan terdahulu. Hal ini lebih penting
lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu ke pekerjaan lainnya.
Buatlah tabel secara kronologis memuat waktu, perusahaan, tempat bekerja,
jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau lingkungan
kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan
kuesioner yang direncanakan dengan tepat sangat membantu. Perhatiaan juga
diberikan kepada hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala dan
tanda penyakit. Pada umumnya gejala dan tanda penyakit akibat kerja
berkurang, bahkan kadang-kadang hilang sama sekali, apabila penderita tidak
masuk bekerja, gejala dan tanda itu timbul lagi atau menjadi lebih berat,
apabila ia kembali bekerja. Fenomin seperti ini sangat jelas misalnya pada
penyakit dermatosis akibat kerja atau pada penyakit bissinosis atau asama
bronkiale akibat kerja aatau lainnya. Informasi dan data hasil pemeriksaan
kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan
3
kesehatan khusus sangat penting artinya bagi keperluan menegakkan diagnosis
penyakit akibat kerja. Akan lebih mudah lagi menegakkan diagnosis akibat
kerja, jika tersedia data kualitatif dan kuantitatif faktor-faktor dalam pekerjaan
dan lingkungan kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan
penyakit akibat kerja. Data tentang identifikasi, pengukuran, evaluasi dan
upaya pengendalian tentang faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan
tenaga kerja sangat besar manfaatnya.
2. Pemeriksaan klinis dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang
sesuai untuk suatu sindrom, yang sering-sering khas untuk suatu penyakit
akibat kerja. Sebagi missal, pada keracunan kronis timah hitam (timbal)
terdapat gejala dan tanda penyakit seperti garis timah hitam di gusi, anemia,
kolik usus, wrist drop (kelumpuhan saraf lengan nervus ulnaris dan atau
nervus radialis), dll. Atau gejala dan tanda cepat tergangu emosi, hipersalivasi
dan tremor pada keracunan oleh merkuri (air raksa atau Hg).
3. Pemeriksaan laboratoris dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya
penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan ada dalam tubuh tenaga
kerja yang menderita penyakit tersebut. Guna menegakkan diagnosis penyakit
akibat kerja, biasanya tidak cukup sekedar pembuktiansecara kualitatif yaitu
tentang adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus ditunjukkan juga
banyaknya atau pembuktian secara kuantitatif.
4. Pemeriksaan Rontgen (sinar tembus) sering sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang
disebabkan penimbunan debu dalan paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya
yaitu yang dikenal dengan nama pneumoconiosis. Hasil pemeriksaan sinar
tembus baru ada maknanyajika dinilai dengan riwayat penyakit dan pekerjaan
serta hasil pemeriksaan lainnya dan juga data lingkungan kerja.
5. Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan
adanya dan mengukur kadar faktor penyebab penyakit di tempat atau ruang
kerja. Hasil pengukuran kuantitatifdi tempat atau ruang kerja sangat perlu
untuk melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat
sebagai penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau tidak untuk
menyebabkan sakit. Sebagai missal, kandungan udara 0,05mg timah hitam per
meter kubik udara ruang kerja tidaklah menyebabkan keracunan Pb, kecuali
jika terdapat absorbs timah hitam dari sumber lain atau jam kerja per hari dan
4
minggunya sangat jauh melebihi batas waktu 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu.
Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS.333/MEN/1989 tentang
diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja, pelaporan dirinci sbb:
1. Identitas , yang meliputi: nama penderita, nomor induk pokok, umur, jenis
kelamin, jabatan, unit/bagian kerja, lama bekerja, nama perusahaan, jenis
perusahaan dan alamat perusahaan.
2. Anamnesis, yang meliputi: riwayat pekerjaan, keluhan yang diderita dan
riwayat penyakit.
3. Hasil pemeriksaan mental dan fisik (status present) , yang meliputi:
pemeriksaan mental (kesadaran, tingkah laku, kontak psikis dan
perhatian,dll), pemeriksaan fisik (tinggi badan dalam sentimeter, berat badan
dalam kilogram, tensi sistolik dan diastolic dalam mmHg, denyut nadi per
menit dan kualitasnya lemah/sedang/cukup/kuat serta regular/irregular, suhu
aksiler kepala dan muka. Rambut mata: strabismus, refleks pupil, kornea dan
konjugtiva, hidung mukosa, penciuman. Epistaksis, tenggorokan: tonsil.
Suara: rongga mulut: mukosa, idah, gigi, leher, kelenjar gondok, toraks,
bentuk, pergerakkan paru, jantung, abdomen, hati, limpa, genitalia, tulang
punggung, ekstremitas, refleks fisiologis/patologis, koordinasi otot: tremor,
tonus, paresis, paralisis,dll). Pemeriksaan rontgen (paru-paru, jantung, dll),
elektrokardiogram (EKG/ECG), pemeriksaan laboratoris: darah, urin, tinja,
pemeriksaan tambaha/ monitoring biologis: pengukuran kadar bahan kimia
penyebab sakit di dalam tubuh tenaga kerja misalnya kadar dalam urin,
darah, dan sebagainya, dan hasil uji/ pemeriksaan fungsi organ tubuh tertentu
akibat pengaruh bahan kimia tersebut pengaruhbahan kimia tersebut
misalnya uji fungsi paru, dan sebagainya. Pemeriksaan patologis anatomis,
serta kesimpulan.
4. Hasil pemeriksaan lingkungan kerja dan cara kerja , yang meliputi: faktor
lingkungan kerja yang dapat berpengaruh terhadap sakit penderita (faktor
fisis, kimiawi, biologis, psikososial), faktor cara kerja yang dapat
berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses produksi,
ergonomic), waktu paparan nyata (per hari, per minggu) dan alat pelindung
diri.
5
5. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang meliputi pemeriksaan kesehatan
sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan kerja,
pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan kesehatan khusus
(dilakukan/tidak dilakukan, kelainan yang ditemukan).
6. Resume, yang meliputi faktor-faktor yang mendukung diagnosis penyakit
akibat kerja dari anamnesis, pemeriksaan medis (mental,fisik, laboratoris,
monitoring biologis, rontgen, patologis anatomi), pemeriksaan lingkungan
kerja dan cara kerja tenaga kerja, dan waktu paparan nyata.
7. Kesimpulan, yaitu: penderita/tenaga kerja yang bersangkutan menderita/tidak
menderita penyakit akibat kerja, diagnosis, diagnosis menurut jenis penyakit
akibat kerja atas dasar Keppres No. 22 Th.1993 dan atau menurut klasifikasi
internasional penyakit (international classification of disease atau disingkat
ICD).2
Sifat Zat Kimia
1. Sifat Fisis Zat Kimia dalam bentuk wujud yang meliputi:
Gas, yaitu bentuk wujud zat kimia, yang tidak mempunyai bangun
sendiri, melainkan mengisi ruangan tertutup pada keadaan suhu dan
tekanan normal. Tingkat wujudnya bisa di ubah menjadi cair atau
padat hanya dengan kombinasi meninggikan tekanan dan menurunkan
suhu. Sifat gas pada umumnya adalah tidak terlihat dan tidak berbau
pada konsentrasi rendah serta berdifusi mengisi seluruh ruangan.
Uap, yaitu bentuk gas zat kimia, yang dalam keadaan biasa berbentuk
zat pada atau zat cair yang dapat dikembalikan kepada tingkat wujud
semula, baik hanya dengan meninggikan tekanan, maupun dengan
hanya menurunkan suhu saja. Sifat uap umumnya tak kelihatan dan
berdifusi mengisi seluruh ruang.
Debu, yaitu partikel zat kimia padat, yang disebabkan oleh kekuatan
alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan,
pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik
organis, maupun anorganis, misalnya batu, kayu, bijih, logam, batu
bara, butir-butir zat dan sebaginya. Contoh-contoh: debu batu, debu
kapas, debu asbes, dll. Sifat-sifat debu ini tidak berflokulasi, kecuali
6
oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun oleh tarikan gaya
tarik bumi.
Kabut, yaitu titik-titik cairan kimia halus dalam udara yang terjadi dari
kondensasi berbentuk uap atau dari pemecahan zat cair menjadi tingkat
butir-butir cairan sangat halus (disperse) dengan cara splashing,
foaming, dll.
Fume, yaitu partikel-partkel zat kimia padat yang terjadi oleh karena
kondensasi dari bentuk gas, bisanya sesudah penguapan benda padat
yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi
kimiawi, sehingga terjadi zat seperti ZnO, PbO,dll.
Awan, yaitu partikel-partikel zat kimia cair sehingga hasil kondensasi
dari fase gas. Sifat-sifat fume dan awan adalah berflokulasi, kadang-
kadang bergumpal, ukuran partikel di bawah 1 mikron , yaitu diantara
0.10-1 mikron.
Asap, biasanya dianggap partikel-partikel zat karbon yang ukurannya
kurang dari 0,5 mikron, sebagai akibat dari pembakaran tidak
sempurna bahan-bahan mengandung karbon.
Zat kimia yang terdapat diudara dapat digolongkan menjadi :
Wujud yang bersifat partikel, yaitu debu, awan, kabut, fume.
Wujuda yang tidak bersifat partikel, yaitu gas dan uap.
Zat kimia yang wujudnya partikel dan berada di udara tempat kerja dapat
digolongkan menurut efeknya kepada kesehatan sebagai berikut:
Perangsang, misalnya : debu, kapas, sebu sabun, bubuk beras, dll.
Toksis, misalnya partikel-partikel Pb, As, Mn, dll.
Menyebabkan fibrosis jaringan paru, misalnya debu kwarsa ,asbes dll.
Menyebabkan alergi, misalnya tepung sari, debu kapas, dll.
Menimbulkan demma, misalnya fume, ZnO,dll.
Inert, misalnya aluminium, kapur,dll.
Zat yang tidak berbentuk partikel, yaitu gas dan uap, digolongkan menurut
efeknya terhadap kesehatan :
Asfiksian (asphyxiants), misalnya gas metan (CH4), CO2, helium, dll.
7
Perangsang, misalnya: amoniak, HCL, H2S, dll.
Racun-racun anorganis atau organis, misalnya AsH3, TEL,
nikelkarbonil,dll.
Zat kimia yang mudah menguap, menurut pengaruhnya kepada
manusia:
Berefek anestesi, misalnya trikloretilin
Yang merusak organ dalam tubuh misalnya CCL4
Yang merusak susunan darah, misalnya benzene
Yang merusak susunan saraf, misalnya parathion.
2. Sifat kimiawi dari zat kimia, yang menyangkut:
Jenis persenyawaan (contoh: alkohol lain sifat kimiawinya dari
benzene dan yang terakhir ini lain dari ester asam formiat dsb).
Besar molekul ( contoh: besar molekul xilen lebih besar dari toluene
dan yang disebut terakhr lebih besar dari benzene, atau besar molekul
butanon lebih besar dari aston).
Konsentrasi (contoh: asam sulfat pekat atau methanol murni lebih
tinggi kadarnya dari masing-masing senyawa tersebut yang encer).
Derajat larut dan jenis pelarut (dieldrin larut baik dalam minyak tanah).
3. Pintu (jalan) masuk (port d’enteree) zat kimia ke dalam tubuh manusia, yang
umumnya melalui tiga pintu:
Pernafasan, untuk zat kimia di udara.
Pencernaan, untuk zat kimia dari udara yang melekat di tenggorok dan
di telan atau untuk zat kimia cair atau padat.
Kulit, untuk zat kimia cair, atau zat kimia di udara yang mengendap di
permukaan kulit.
4. Faktor-faktor pada tenaga kerja:
Usia
Idiosinkrasi (idiosyncrasy) (keretanan terhadap suatu zat kimia).
Habituasi (menjadi terbiasa terhadap suatu zat kimia).
Daya tahan tubuh (tolerance)
Kondisi dan derajat kesehatan tubuh. 5
8
Klasifikasi Zat Kimia Berbahaya
Atas dasar potensi suatu zat bahan kimia untuk menimbulak gangguan
kesehatan atau kecelakaan kerja, maka The Australian Code For The Transport of
Dangerous Goods mengklasifikasikan zat kimia berbahaya menjadi:
1. Kelas 1 eksplosif
2. Kelas 2.1 gas yang mudah terbakar (flammable).
3. Kelas 2.2 gas terkompresi yang tidak mudah terbakar
4. Kelas 2.3 gas beracun
5. Kelas 3. Cairan yang mudah terbakar
6. Kelas 4.1 benda padat yang mudah terbakar
7. Kelas 4.2 dapat terbakar (combustible) spontan
8. Kelas 4.3 berbahaya, bila dalam keadaaan basah
9. Kelas 5.1 zat kimia pengoksidasi
10. Kelas 5.2 zat kimia peroksida organic
11. Kelas 6. Berbahaya (disimpan jauh dari makanan)
12. Kelas 7. Radioaktif
13. Kelas 8. Korosif
Klasifikasi zat kimia berbahaya ini digambarkan dalam bentuk symbol yang
digunakan sebagai bahan peringatan di tempat kerja. 6
Gambar 1. Simbol Peringatan Bahaya Kerja Kimiawi.
Epidemiologi
9
Gas CO adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di amerika
serikat dan lebih setengah penyebab keracunan faal lainnya di seluruh dunia.
Terhitung sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat darurat di
Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi gas CO dengan angka
kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada 1990an.1
Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi di inggris.
Dengan angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang menderita cacat
berat akibat keracunan gas CO. 3
Di singapura kasus intoksikasi gas CO termasuk jarang. Di rumah sakit Tan
Tock Seng Singapura pernah dilaporkan 12 kasus intoksikasi gas CO dalam 4 tahun
(1999-2003). Di Indonesia belum di dapatkan data berapa kasus keracunan gas CO
yang terjadipertahun yang dilaporkan.4
Patofisiologi
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia.
Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses
pembakaran menyerap banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit seseorang
akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-13%.
Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FIO2) akan menyebabkan hipoksia. 7
Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas
transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen di
tingkat seluler. Karbonmonoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam tubuh,
organ yang paling terganggu adalah yang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah
besar, seperti otak dan jantung. 8
Beberapa literature menyatakan bahwa hipoksia ensefalopati yang terjadi
akibat keracunan CO adalah karena injuri reperfusi dimana peroksidasi lipid dan
pembentukan radikal bebas yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas. 9
Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh
gangguan transportasi oksigen. CO meningkat hemoglobin secara reversible, yang
menyebabkan anemia relative karena CO mengikat hemoglobin 230-270 kali lebih
kuat dari pada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala klinis.
CO yang terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk jaringan
menurun. 8,9
10
CO mengikat myoglobin jantung lebih kuat dari pada mengikat hemoglobin
yang menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang menyebabkan hipoksia
jaringan. Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar HbCO yang menyebabkan
kegagalan respirasi di tingkat seluler.
CO mengikat cytochromes c dan P450 yang mempunyai daya ikat lebih lemah
dari oksigen yang diduga menyebabkan defisit neuropsikiatris. Beberpa penelitian
mengindikasikan bila CO dapat menyebabkan peroksidasi lipid otak dan perubahan
inflamasi di otak yang dimediasi oleh lekosit. Proses tersebut dapat dihambat dengan
terapi hiperbarik oksigen. Pada intoksikasi berat, pasien menunjukkan gangguan
sistem saraf pusat termasuk demyelisasi substasia alba. Hal ini menyebabkan edema
dan nekrosis fokal. 7
Penelitian terakhir menunjukkan adanya pelepasan radikal bebas nitric oxide
dari platelet dan lapisan endothelium vascular pada keadaan keracunan CO pada
konsentrasi 100 ppm yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema serebri.9
CO dieliminasi di paru-paru. Waktu paruh dari CO pada temperature ruangan
adalah 3-4 jam. Seratus persen oksigen dapat menurunkan waktu paruh menjadi 30-
90 menit, sedangkan dengan hiperbarik oksigen pada tekanan 2,5 atm dengan
oksigen 100% dapat menurunkan waktu paruh 15-23 menit. 10
Gejala dan Tanda
Misdiagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada
pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain. Pada
anamnesa secara spesifik di dapatkan riwayat paparan oleh gas CO. gejala-gejala
yang muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam darah.
Penderita trauma inhalasi atau penderita luka bakar harus dicurigai
kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO. pada pemeriksaaan tanda vital
didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia, takipnea. Pada kulit
biasanya didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula. 1,11
Tabel1. Gejala-gejala klinis dari saturasi darah oleh karbon monoksida
Konsentrasi CO dalam darah Gejala-gejala
<20 Tidak ada gejala
20% Nafas jadi sesak
11
30% Sakit kepala, lesu, mual, nadi dan
pernafasan sedikit meningkat
30-40% Sakit kepala berat, kebingungan, hilang
daya ingat, lemah, hilang daya
konsentrasi gerakan
40-50% Kebingungan makin meningkat,
setengah sadar
60-70% Tidak sadar, kehilangan daya mengontrol
feses dan urin
70-89% Koma, nadi menjadi tidak teratur,
kematian karena kegagalan pernafasan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Analisa kadar HbCO membutuhkan alat ukur spectrophotometric yang khusus.
Kada HbCO yang meningkat menjadi signifikan terhadap paparan gas tersebut.
Sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan kemungkinan terpapar,
khususnya bila pasien telah mendapatkan terapi oksigen 100% sebelumnya atau
jarak paparan dengan pemeriksaaan terlalu lama. Pada beberapa perokok, terjadi
peningkatan ringan kadar CO sampai 10%.
Pemeriksaan gas darah arteri juga diperlukan. Tingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2) harus tetap normal. Walaupun begitu, PaO2 tidak akurat menggambarkan
derajat keracunan CO atau terjadinya hipoksia seluler. Saturasi oksigen hanya akurat
bila di periksa langsung, tidak melalui PaO2 yang sering dilakukan dengan analisa
gas darah PaO2 menggambarkan oksigen terlarut dalam darah yang tidak terganggu
oleh hemoglobin yang mengikat CO.8
Pemeriksaan Imaging
X-foto thorax, pemeriksaan X-foto thorax perlu dilakukan pada kasus-kasus
keracunan gas dan saat terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Hasil pemeriksaan X-
foto thorax biasanya dalam batas normal. Adanya gambaran ground-glass
appearance, perkabutan parahiler, dan intra alveolar edema menunjukkan prognosis
yang lebih jelek. 1,7
12
CT scan , pemeriksaan CT scan kepala perlu dilakukan pada kasus keracunan
berat gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang tidak pulih dengan
cepat. Edema serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada basal ganglia bisa di
dapatkan dan halo tersebut dapat memprediksi adanya Komplikasi neurologis.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT scan untuk
mendeteksi lesi fokal dan demyelinasi substansia alba dan MRI sering digunakan
untuk follow up pasien. Pemeriksaan CT scan serial diperlukan jika terjadi gangguan
status mental yang menetap. Pernah dilaporkan hasil CT Scan adanya hidrosefalus
akut pada anak-anak yang menderita keracunan gas CO.1,7
Pemeriksaan lainnya
Elektrokardiogram. Sinus takikardi adalah ketidak normalan yang sering
didapatkan. Adanya aritmia mungkin disebabkan oleh hipoksia iskemia atau infark.
Bahkan pasien dengan kadar HbCO rendah dapat menyebabkan kerusakkan yang
serius pada pasien penderita penyakit kardiovaskular.
Pulse oximetry. Cutaneous pulse tidak akurat untuk mengukur saturasi
hemoglobin yang dapat naik secara semu karena CO yang mengikat hemoglobin.
Cooximetry (darah arteri) menggunakan teknik refraksi 4 panjang gelombang dapat
secara akurat mengukur kadar HbCO.
Penatalaksanaan
Perawatan sebelum tiba di Rumah Sakit.
Memindahkan pasien dari paparan Gas CO dan memberikan terapi oksigen
dengan masker nonrebreathing adalah hal yang penting. Intubasi diperlukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan nafas.
Kecurigaan terhadap peningkatan kadar HbCO diperlukan pada semua pasien
korban kebakaran dan inhalasi asa. Pemeriksaan dini darah dapat memberikan
korelasi yang lebih akurat anatara kadar HbCO dan status klinis pasien. Walaupun
begitu jangan tunda pemberian oksigen untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Jika
mungkin perkirakan berapa lama pasien mengalami paparan gas CO. keracunan CO
tidak hanya menjadi penyebab tersering kematian pasien sebelum sampai di rumah
sakit, tetapi juga menjadi penyebab utama dari kecacatan.1,7
Perawatan di unit gawat darurat
13
Pemberian oksigen 100% dilanjutkan sampai pasien tidak emnunjukkan gejala
dan tanda keracunan dan kadar HbCO turun dibawah 10%. Pada pasien yang
mengalami gangguan jantung dan paru sebaiknya kadar HbCO dibwah 2%. Lama
durasi pemberian oksigen berdasarkan waktu paruh HbCo dengan pemberian
oksigen 100% yaitu 30-90 menit.
Pertimbangkan untuk segera merujuk pasien ke unit terapi oksigen hiperbarik,
jika kadar HbCO diatas 40% atau adanya gangguan kardiovaskular dan neurologis.
Apabila pasien tidak membaik dalam waktu 4 jam setelah pemberian oksigen dengan
tekanan normobarik, sebaiknya dikirim ke unit hiperbarik.
Edema serebri memerlukan monitoring tekanan intra cranial dan tekanan
darah yang ketat. Elevasi kepala, pemeberian manitol dan pemberian hiperventilasi
sampai kadar PCO2 mencapai 28-30 mmHg dapat dilakukan bila tidak tersedia alat
dan tenaga untuk memonitor Tekanan intra kranial. Pada umumnya asidosis akan
membaik dengan pemberian terapi oksigen.
Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik (HBO) masih menjadi kontroversi dalam
penatalaksanaan keracunan gas CO. meningkatnya eliminasi HbCO jelas terjadi,
pada beberapa penelitian terbukti dapat mengurangi dan menunda defek neurologis,
edema serebri, perubahan patologis sistem saraf pusat.
Secara teori HBO bermanfaat untuk terapi keracunan CO karena oksigen
bertekanan tinggi dapat mengurangi dengan cepat kadar HbCO dalam darah,
meningkatkan transportasi oksigen intraseluler, mengurangi aktivitas daya adhesi
neutrophil dan dapat mengurangi peroksidase lipid. 10,12
Saat ini, indikasi absolut terapi oksigen hiperbarik untuk kasus keracunan gas
CO masih dalah kontroversi. Alasan utama memakai HBO adalah untuk mencegah
defisit neurologis yang tertunda. Suatu penelitian yang dilakukan perkumpulan HBO
di amerika menunjukkan kriteria untuk HBO adalah pasien koma, riwayat
kehilangan kesadaran, gambaran iskemia pada EKG, defisit neurologis fokal, test
neuropsikiatri yang abnormal, kadar HbCO diatas 40%, kehamilan dengan kadar
HbCO >25%, dan gejala yang menetap setelah pemberian oksigen normobarik. 10-12
Pencegahan
14
Periksa semua saluran rumah yang bukaanya menghadap ke luar rumah
( pemanas air, dll) setiap tahun untuk memastikan saluran pengeluran tidak
tersumbat.
Periksa sistem AC mobil untuk memeriksa kebocoran yang mungkin terjadi.
Periksa pemanas air, pastikan bukaanya sempurna dan saluran tidak bocor.
Jangan nyalakan mobil di dalam garasi yang terutup rapat.
Perundang-undangan
Keputusan Mentri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-187/Men/1999 tentang
Pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja.
Undang-undang nomor 3 tahun 1992. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan
kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja (pasal 8, ayat 1), jaminan
kecelakaan kerja meliputi:
A. Biaya pengangkutan
B. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/ perawatan
C. Biaya rehabilitasi
D. Santunan berupa uang yang meliputi:
Santunan sementara tidak mampu bekerja
Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya
Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun
mental
Santunan kematian (pasal 9).
Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga
kerja kepada kantor departemen tenaga kerja dan badan penyelenggara
jaminan social tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam (pasal
10 ayat 1). Pengusaha wajib melaporkan kepada kantor departemen tenaga
kerja dan badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dalam waktu tidak
lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang ketimpa kecelakaan oleh
dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacat atau meninggal dunia
(pasal 10 ayat 2). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa
kecelakaan kerja kepada badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja
sampai meperoleh hak-haknya (pasal 10 ayat 3).
15
Dalam perkembangan landasan hukum bagi penyelenggara jaminan
social tenaga kerja menjadi lebih kuat lagi dengan masuknya ketetntuan
mengenai jaminan social dalam undang-undang RI, adanya ketentuan
mengenai jaminan social tenaga kerja dalam UU no. 13 Th.2003 dan
diundangkan serta berlakunya undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
sistem jaminan social Nasional ( UU SJSN). Jenis program jaminan social
SJSN meliputi:
Jaminan kesehatan
Jaminan kecelakaan kerja
Jaminan hari tua
Jaminan pensium
Jaminan kematian (pasal 18).
Daftar Pustaka
1. Louise W Kao, Kristine A Nanagas. Carbon Monoxide Poisioning.
Emerg Medclin N Arnn22 2004, P.985-1018.
2. Sumamur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta: sagung
seto; 2009.h. 86-87.
3. Ivan Blumenthal. Carbon Monoxide Poisioning. J R Soc Med 2001, P.
270-2.
4. PK Handa, DYH Tai. Carbon Monoxide Poisioning: a- five year
Review at Tan Tock Seng Hospital, Singapore. Ann Acad Med
Singapore 2005; 34, P. 611-4.
5. Sumamur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta: sagung
seto; 2009.h. 184-6.
6. Harrianto.R, Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC;2013. H.50-1.
7. Peter MC DeBlieux, VanDeVoort, John G Benitez, Halamka, Asim
Tarabar. Toxicity, Carbon Monoxide. 2006. Available from URL:
HYPERLINK http:/www.emedicine.com.
8. Eugene N. Bruce, Margaret C-A multicompanement model of
cartoxyhemoglobin and carboxymyoglobinn responses to inhalation of
carbon monoxide. J. Appl Pysiol95 2003, P.1235-1247.
16
9. Stephen R Thom, Donald Fisher, Y Anne Xu, Sarah Garner, and Harry
Ischiropoulos- Role of nitric oxide derived oxidants in vascular injury
from carbon monoxide in the rat. Am J of Physiol. 1999, P.984-90.
10. Jurling DN, Buckley NA, Stanbrook MB, Isbister M, McGuigan MA,
Hyperbaric Oxygen for carbon monoxide poisioning. Cochrane
database of systematic reviews 2005, issue I, Art. No:
CD00204.DOI:10.1002/146518.
11. Zeki Palili, Hayriye Saricao, Ahmed Acar. Skin lassions in
carbonmonoxide intoxication. Journal of the European Acadeny of
dermatology and venereology P.152-4.
12. Vladimir Coric, dan A Oren. Carbon monoxide poisioning and
treatment with hyperbaric oxygen in subacute phase. J. Neurol
Neurosurg Psychiatry P.245-7.
17