Interferon Sebagai Terapi Hepatitis b

download Interferon Sebagai Terapi Hepatitis b

of 23

Transcript of Interferon Sebagai Terapi Hepatitis b

INTERFERON SEBAGAI TERAPI HEPATITIS B KRONISDisusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bioteknologi

Disusun Oleh : Fidyaningrum Anandita Prima Nanda Fauziah Dwi Davidson Rihibiha Pritta Ameilia Iffanolida 140410080035 140410080036 140410080087 140410080089

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR

2011 BAB I PENDAHULUAN

Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Pertanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin

aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati. Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C. Interferon adalah protein alami yang disintesis oleh sel-sel sistem imun tubuh sebagai respon terhadap adanya virus, bakteri, parasit, atau sel kanker. Ada tiga jenis interferon yang memiliki efek antivirus. Ketiganya adalah interferon alfa, beta dan gamma. Efek antivirus yang paling baik diberikan oleh interferon alfa. Interferon alfa bekerja hampir pada setiap tahapan replikasi virus dalam sel inang. Namun, seringkali proses pembentukan interferon alami dalam tubuh 2

berjalan lambat, atau kalah cepat dibandingkan dengan replikasi virus. Oleh karena itu banyak peneliti bioteknologi yang berusaha mengembangkan interferon secara in vitro (di luar tubuh). Kedua hasil interferon mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menjalankan fungsinya menghambat

pembetukan virus dalam tubuh. Sekarang ini penggunaan interferon dalam dunia kedokteran diharapkan dapat menurangi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh virus. Interferon sudah pernah diujicobakan untuk virus influenza, dan mendapatkan hasil yang memuaskan.Sekarang perlu diuji coba pada virus VHB yang mengakibatkan penyakin hepatitis B pada manusia.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interferon Hasil Rekayasa Genetika Rekayasa genetika untuk produksi interferon dilakukan dengan

menyisipkan gen dari sel yang diserang virus ke dalam plasmid E.coli. Interferon adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel-sel yang diserang virus. Interferon dibentuk segera setelah terjadi infeksi dan prosesnya lebih cepat daripada pembentukan antibodi. Interferon tidak spesifik, tetapi efektif untuk melawan infeksi virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengobati penyakit kanker kulit, kerusakan pada sistem kekebalan, dan mengobati beberapa bentuk leukemia. Lewat rekayasa genetika, interferon bisa diproduksi dan dicobakan mengatasi berbagai penyakit virus dari influensa, penolakan tubuh pada transplantasi, sampai kanker. Akhir Maret lalu, kantor berita Gamma Prancis, menyiarkan data baru tentang interferon hasil percobaan Prof. Michel Boiron, seorang hematolog kawakan dari rumah sakit Saint-Louis, Paris. Boiron berhasil mencobakan interferon alfa untuk mengatasi kanker darah leukemia

tricholeucocyte sejenis leukemia yang jarang. Dari 35 kasus yang ditanganinya dalam percobaan, 34 menunjukkan hasil yang meyakinkan. Lewat suntikansuntikan interferon alfa, tricholeucocyte bisa dipulihkan sampai jumlahnya normal. "Kita tinggal menunggu lima tahun lagi untuk memastikan apakah interferon alfa bisa disahkan sebagai penyembuh leukemia tricholeucocyte," ujar Boiron. Memang kesembuhan kanker ditentukan setelah "masa perjuangan lima 4

tahun" atau Five Year Survival. Yang berhasil melalui masa itu bisa dikatakan sembuh. Boiron mengemukakan, bila kesembuhan ini sudah bisa dipastikan, maka dapat pula dikatakan bahwa inilah pertama kalinya kanker disembuhkan tanpa menyerang selsel yang sakit, melainkan dengan membangkitkan sistem pertahanan tubuh. Interferon memang bukan obat kanker seperti sitostatika yang menyerang langsung sel-sel kanker. Keadaan ini, menurut Boiron, menunjukkan bahwa percobaan interferon sudah memasuki percobaan gabungan: percobaan laboratorium dan klinis. Dari sini sudah mulai bisa direka dosis suntikan yang perlu diberikan. Walaupun interferon menurut khayalan Dan Barry adalah obat suntik, substansi itu seperti yang dikatakan Boiron adalah bagian pertahanan tubuh yang terdapat pada sel diproduksi sendiri oleh tubuh. Ketika pada awalnya menemukan, Alick Isaacs dan Jean Lindenmann menyebutkan interferon sebagai substansi yang mampu melindungi sel dari serangan berbagai virus. Dalam penelitian-penelitian selanjutnya, diketahui, interferon adalah sejenis protein, atau lebih tepatnya memproduksi protein. Protein inilah yang mempunyai sifat antivirus. Sifat antivirus ini ternyata sangat khas. Tidak hanya memblokir pembelahan sel yang terserang virus, tapi juga membangun sistem pertahanan tubuh. Ketika kekhasan ini diteliti lebih jauh, hasilnya menghidangkan sebuah kenyataan yang sangat menakjubkan. Interferon ternyata lebih sesuai dikatakan "kurir" yang dikirimkan sel-sel yang sakit kepada sel-sel sehat untuk memberitakan adanya serangan virus, dan "menyarankan" agar pertahanan dibangun sedini mungkin untuk menghadapi serangan. Misalnya sebuah sel diserang virus. Para penyerang - yang berupa virus-virus itu segera menduduki inti sel dan segera pula menjadikannya "pabrik" reproduksi untuk memperbanyak 5

diri. Inti sel yang sudah diduduki ini akan berbahaya bagi sel-sel lain karena menembakkan virus-virus ke sel-sel lainnya. Begitulah penyakit merambat. Akan tetapi, inti sel yang terserang itu ternyata punya juga pertahanan rahasia. Begitu diduduki, inti sel ini memproduksi interferon, dan merambatkannya ke sel-sel lain - di sekitar sel yang terserang. Sel-sel tetangga yang kedatangan interferon segera memproduksi sejenis protein dan siap menanti serangan. Ketika serangan datang, protein yang disiapkan menggagalkan pendudukan virus dengan jalan memblokir pembelahan inti sel, dan bila perlu memproduksi lagi interferon untuk dikirimkan ke sel tetangga yang lain. Sistem pertahanan interferon serupa itu sangat menarik para ilmuwan. Masalahnya karena substansi alamiah, yang diproduksi tubuh ini, selain ampuh bagi penyembuhan juga tidak menimbulkan dampak samping. Karena itu, menjelang tahun 1980-an, para peneliti memburu kemungkinan memproduksi interferon - mula-mula untuk penelitian, kalau bisa tentunya sebagai obat. Di laboratorium, interferon memang bisa dibuat. Tapi, selain rumit, juga mahal. Dari ekstraksi 1 ons darah putih bisa didapat hanya sepersejuta ons interferon - biayanya US$ 1.500 (Rp 1,5 juta lebih). Namun, usaha memproduksi inferferon tak berhenti sampai di situ. Dengan bantuan rekayasa genetika, lewat laboratorium yang semacam pabrik, interferon bisa diproduksi lebih banyak, walaupun dengan biaya yang sama mahalnya. Caranya menggunakan teknologi mikro yang sangat menakjubkan, dengan bantuan sejenis bakteri dinamakan bakteri E. Coli - yang memiliki sebuah khromoson, dan beberapa plasma sel. Plasma sel bakteri dilepaskan dari selnya.

6

Sementara itu, materi genetika pada DNA dalam sel yang memerintahkan pembuatan interferon dilepaskan pula dari sel-sel darah putih. Kedua benda mikro ini, plasma sel dan "cikal interferon", kemudian disambungkan. Setelah penyambungan, gabungan gen ini dipasangkan kembali ke bakteri bakteri E. Coli itulah. Produksi pun berlangsung: bakteri membelah diri (memperbanyak) dan koloni bakteri yang terjadi punmengandung interferon. Inilah bahan obat suntik yang harganya sekitar 250 juta rupiah sebotol. Hasil penelitian menunjukkan, interferon hasil laboratorium ternyata lebih murni daripada interferon yang dihasilkan oleh tubuh sendiri - struktur molekulnya agak berbeda. Akibatnya, interferon bikinan ini diperhitungkan lebih potensial. Di sini terletak jawaban, mengapa interferon tubuh tidak selalu bisa mengatasi penyakit. Interferon bikinan diharapkan bisa. Mengatasi kanker, misalnya. Dan, Prof. Michel Boiron mulai menemukan tanda-tanda itu. Beberapa agen saat ini disetujui untuk pengobatan kronis hepatitis B: interferon (IFN) alfa-2b, pegylated interferon (PEG IFN) alfa-2a, lamivudine, adefovir, entecavir, dan telbivudine. IFN efektif pada sebagian kecil .pasien dan memiliki frekuensi efek samping yang batasnya tolerabilitas percobaan terkontrol telah menunjukkan kemanjuran PEG IFN dalam mengobati hepatitis B kronis. Kemanjuran lamivudine dibatasi oleh munculnya resistan terhadap obat hepatitis B (HBV) mutan, membatasi kegunaannya sebagai terapi jangka panjang. Adefovir ditoleransi dan berhubungan dengan rendahnya perlawanan, namun efek antivirus tidak optimal . Entecavir memiliki efek antivirus tinggi dan baik , namun jangka panjang efektivitas dan profil resistensi belum

ditentukan. Lamivudine, adefovir, entecavir dan memiliki keunggulan pemberian 7

oral dan profil keamanan yang sangat baik, tetapi mereka menginduksi kesinambungan dipertahankan setelah penarikan respon terapi pada hanya minoritas dari pasien, sehingga pada kebanyakan pasien pengobatan perlu diberikan tanpa batas. IFNs memiliki dua mekanisme aksi: efek antivirus langsung dicapai dihambat sintesis DNA virus dan dengan mengaktifkan enzim antivirus, dan mekanisme kedua yang meningkatkan respon imun selular terhadap hepatosit yang terinfeksi dengan HBV. PEG IFN, diberikan selama 48 minggu, mencapai tingkat respons keseluruhan berkelanjutan sekitar 30%. Aktivitas yang terjadi secara alami interferon alfa yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh. Interferon alfa bekerja di tiga cara: ia memiliki efek meningkatkan kekebalan tubuh untuk merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap virus, ia memiliki antivirus langsung dengan menghentikan virus dari membagi, mereproduksi dan melindungi sel yang tidak terinfeksi dari terinfeksi.

2.2 Indikasi dan rejimen Pengobatan interferon alfa telah digunakan untuk mengobati beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B kronis, hepatitis C kronis, kutil kelamin, leukemia, sarkoma Kaposi terkait AIDS dan melanoma. Sejak tahun 1991, FDA (Food and Drug Administration) telah menyetujui beberapa jenis interferon untuk pengobatan hepatitis B kronis, hepatitis C kronis ini meliputi interferon alfa-2b (Intron A), interferon alfa-2a (Roferon), konsensus interferon (Infergen), dan peginterferon. Saat ini, peginterferon dalam kombinasi dengan ribavirin adalah tulang punggung strategi antivirus yang digunakan untuk mengobati hepatitis C kronis. 8

2.3 Hepatitis B kronis Intron A (Interferon alfa-2b) telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati hepatitis B dan C. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 5 juta unit (MU) hari atau 10 juta unit (MU) tiga kali seminggu selama empat sampai enam bulan.

2.4 Hepatitis C kronis Roferon A (interferon alfa-2a), dan Infergen ("konsensus" interferon) juga disetujui FDA untuk pengobatan hepatitis C kronis tapi tidak untuk hepatitis B kronis tetapi sering terjadi dan hanya 7 sampai 20 persen orang mencapai jangka panjang yang berkelanjutan respon setelah pengobatan dihentikan. Saat ini, pilihan pengobatan terbaik untuk mengobati hepatitis C kronis adalah kombinasi dari dua obat: pegylated interferon dan ribavirin. Dua jenis pegylated interferon tersedia: peginterferon alfa-2a (Pegasys) dan peginterferon alfa-2b

(PegIntron). Kedua interferon pegilasi diambil dengan suntikan di bawah kulit seminggu sekali. Ribavirin, suatu obat oral antivirus diberikan dua kali sehari sesuai dengan berat badan. Ribavirin juga tersedia dalam dua jenis sebagai REBETOL atau Copegus.

2.5 Interferon alfa IFN telah digunakan dalam pengobatan hepatitis B kronis selama bertahun-tahun. IFN mengerahkan efek antivirus pada infeksi HBV melalui dua 9

mekanisme. Pertama, IFN memiliki efek antivirus langsung, menghambat sintesis virus DNA dan mengaktifkan enzim antivirus. Kedua, IFN melebihkan selular kekebalan tanggapan terhadap hepatosit yang terinfeksi HBV dengan

meningkatnya ekspresi antigen histokompatibilitas kelas I dan dengan merangsang aktivitas limfosit T helper dan limfosit pembunuh alami. Jadi, IFN menginduksi penurunan awal replikasi HBV (terlihat dari pengurangan HBV DNA dalam serum) dan peningkatan (sekitar 2 bulan kemudian) terlambat dalam serum alanine aminotransferase (ALT). Banyak studi terkontrol IFN di pasien yang memiliki hepatitis B kronis telah dilaporkan. Dalam studi ini, menggunakan berbagai rejimen, berarti tingkat tanggapan virus adalah 37% berbanding 17%, tingkat rata-rata kehilangan HBeAg adalah 33% berbanding 12%, dan tingkat hepatitis B antigen permukaan (HbsAg) kerugian adalah 8% dibandingkan 2% pada interferon-diperlakukan kelompok versus kelompok plasebo. Sebuah dosis dari 5 juta unit (MU) ke 10 MU, tiga kali per minggu selama 4 sampai 6 bulan, menggabungkan baik efikasi dengan toleransi yang memuaskan. Perbedaan dalam hasil penelitian yang berbeda mungkin disebabkan, sebagian, oleh rejimen terapi yang berbeda tapi hasilnya bervariasi terutama dari populasi pasien termasuk dalam uji coba. Faktornya adalah prediksi respon yang buruk terhadap IFN. DNA HBV serum. Tingkat tinggi dan tingkat ALT serum prediktor nonresponse. Juga, infeksi dengan HBV saat lahir atau pada awal kehidupan (seperti sering terjadi di daerah dimana HBV infeksi hiperendemik, seperti Asia Tenggara) merupakan faktor dalam kondisi respon terhadap IFN.

10

2.6 Pegylated interferon Baru-baru ini, bentuk-bentuk standar rekombinan interferon alfa 2a dan 2b telah digantikan oleh pegylated interferon (pegin interferon). Ada dua jenis pegilasi interferon digunakan untuk pengobatan hepatitis C kronis; Peg-intron atau Pegassys. Pegylated interferon dibuat ketika bahan kimia yang disebut polietilen glikol (PEG) terpasang dengan interferon. PEG membantu interferon untuk tetap tinggal di tubuh lebih lama, bekerja lebih efisien terhadap virus hepatitis C (HCV) dan menghasilkan tingkat respons yang lebih tinggi berkelanjutan. Karena lebih efektif, peginterferon telah menggantikan interferon baik sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi untuk hepatitis C. PEG Intron (pegilasi alfa-2b) diberikan sekali seminggu di bawah kulit dengan dosis 0,5 atau 1,0 mikrogram menurut berat badan mingguan selama setidaknya enam bulan. Pada pasien menunjukkan kerugian yang signifikan HCV RNA (viral load HCV) pada enam bulan, pengobatan terus untuk enam bulan tambahan, yaitu, untuk program total pengobatan satu tahun. Pegasys (pegylated interferon alfa-2a) juga diberikan sekali seminggu di bawah kulit.

11

2.7 Kombinasi interferon pegilasi plus lamivudine Studi sebelumnya IFN ditambah lamivudine menyarankan bahwa kombinasi ini bisa lebih efektif daripada monoterapi lamivudine. Hasil penelitian yang berbeda, rejimen tidak optimal pada pengobatan l.

2.8 Hepatitis kronis positif-Hepatitis B antigen e Dalam sebuah studi, acak besar, terkontrol, 307 pasien yang memiliki HBeAg positif hepatitis B kronis secara acak ditugaskan untuk menerima baik Kombinasi PEG IFN alfa-2b (100 mg / minggu selama 32 minggu, kemudian 50 mg selama 20 minggu) ditambah lamivudine (100 mg / d) atau PEG IFN alfa-2b di Dosis yang sama ditambah plasebo. Pada akhir minggu ke-25 ditindak lanjut, tidak ada perbedaan dalam tingkat tanggapan antara dua pengobatan. Serum HBV DNA tidak terdeteksi oleh polymerase chain reaction (PCR) (400 kopi / mL) dalam 7% dan 9%, kehilangan HBeAg diamati dalam 36% dan 35%, dan tingkat ALT normal dicapai diperoleh dalam 32% dan 35% pada monoterapi IFN PEG dan terapi kombinasi kelompok, masing-masing. Sebuah tingkat yang relatif tinggi kehilangan HBsAg. Studi ini menunjukkan bahwa, pada pasien yang memiliki HBeAg-positif kronis hepatitis B, kombinasi PEG IFN alfa-2b ditambah lamivudine (diberikan secara bersamaan) tidak lebih unggul dari monoterapi PEG IFN alfa 2b setelah 26 minggu pengobatan. Dalam studi ini, respons didefinisikan oleh hilangnya HBeAg. Prediktor utama Tanggapan HBV genotipe dan tingkat ALT sebelum perlakuan. Respon 34% pada pasien yang memiliki kadar ALT lebih rendah dari tiga kali batas atas 12

dari persentase normal dan 50% pada pasien yang memiliki kadar ALT lebih dari lima kali atas batas normal. Tingkat respons 60% untuk genotipe A, 42% untuk genotipe B, 32% untuk C genotipe, dan 28% untuk genotipe D. Selain itu, 3 fase percobaan acak, 814 pasien yang memiliki HBeAg-positive hepatitis B kronis menerima baik PEG IFN alfa-2a (180 mg sekali mingguan) ditambah plasebo lisan, PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine (100 mg setiap hari), atau lamivudine saja. Sebagian besar pasien dalam penelitian ini adalah Asia (87%). Kebanyakan pasien terinfeksi HBV genotipe B atau C. Pasien dirawat selama 48 minggu dan diikuti selama 24 minggu tambahan. Setelah 24 minggu masa tindak lanjut, secara signifikan lebih pasien yang menerima PEG IFN alfa-2a monoterapi atau PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine dari mereka yang menerima monoterapi lamivudine telah serokonversi HBeAg (32% versus 19% [P! .001] Dan 27% versus 19% [P .02], masingmasing) atau tingkat DNA HBV di bawah 100.000 kopi / mL (32% dibandingkan22% [P 0,01] dan 34% versus 22% [P 0,003], masingmasing). Tingkat DNA HBV penindasan ke tingkat di bawah 400 kopi / mL pada minggu ke72 adalah 14% dengan kedua monoterapi PEG IFN alfa-2a dan PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine dan 5% dengan lamivudine saja (P! .001 untuk kedua perbandingan dengan monoterapi lamivudine). Enam belas pasien yang menerima PEG IFN alfa-2a (Sendiri atau dalam kombinasi) memiliki HBsAg serokonversi, dibandingkan dengan tidak ada pada kelompok yang menerima lamivudine saja (P .001). Yang paling umum efek samping yang terjadi yang dikenal dengan terapi IFN alfa.

13

2.9 Hepatitis kronis negatif - Hepatitis B antigen e Sebuah fase III, sebagian studi telah dievaluasi efikasi dan keselamatan PEG IFN alfa-2a sendiri atau dalam kombinasi dengan lamivudine versus lamivudine pada pasien yang memiliki HBeAg-negatif kronis hepatitis B . Pasien secara acak disarankan ke salah satu pengobatan berikut: PEG IFN alfa-2a (180 mg sekali seminggu) ditambah plasebo oral (sekali sehari selama 48 minggu), PEG IFN alfa-2a (180 mg sekali seminggu) ditambah lamivudine (100 mg sekali setiap hari) selama 48 minggu, atau lamivudine (100 mg sekali sehari) selama 48 minggu. Secara total, 552 pasien yang terdaftar dalam penelitian ini. Pada akhir minggu ke-24, dua kelompok pengobatan IFN PEG (dengan atau tanpa lamivudine) menunjukkan khasiat yang sama, yang lebih unggul dengan yang diamati dalam pengobatan lamivudine pada bagian lengan: respon biokimia (ALT yang normal) adalah 59%, 60%, dan 44% dari pasien, masing-masing, dan respon virus (serum HBV DNA 20.000 eksemplar / mL dengan PCR kuantitatif) terlihat pada 43%, 44%, dan 29% dari pasien, masing-masing A dan B). Tingkat penekanan HBV DNA untuk di bawah 400 kopi / mL pada minggu ke 72 adalah 19% dengan PEG alfa-2a monoterapi IFN, 20% dengan PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine, dan 7% dengan lamivudine saja (P! .001 untuk kedua perbandingan dengan lamivudine saja). Setelah 48 minggu, tingkat pengurangan HBV DNA dari awal adalah yang terbesar dengan PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine, tingkat penekanan HBV DNA mirip dengan PEG IFN alfa 2a monoterapi dan lamivudine monoterapi. Pola DNA HBV tingkat selama penelitian ditunjukkan pada hepatitis B. 14

Dalam uji coba, acak terkontrol, tingkat respon (normal serum alanine aminotransferase [ALT] tingkat; serokonversi HBeAg, dan serum HBV DNA 100,000 kopi / mL) 24 minggu setelah terapi lebih tinggi dalam dua kelompok yang menerima PEG IFN alfa-2a (Dengan atau tanpa lamivudine) dibandingkan pada kelompok yang menerima lamivudine sendirian. Tidak ada perbedaan tingkat tanggapan antara kelompok yang menerima PEG IFN alfa-2a saja dan kelompok yang menerima PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine. Pada akhir masa pengobatan minggu ke-48, ada insiden yang lebih tinggi resistensi lamivudine dalam kelompok monoterapi lamivudine daripada di PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine kelompok. Temuan ini menegaskan sebelumnya studi menunjukkan IFN yang menurunkan risiko resistensi lamivudine . Peristiwa buruk yang terkait dengan PEG alfa-2a terapi IFN adalah serupa dengan yang diamati dalam uji coba sebelumnya pada pasien yang memiliki hepatitis C kronis, namun frekuensi efek samping lebih rendah daripada yang diamati pada pasien yang memiliki hepatitis C kronis Secara khusus, frekuensi depresi adalah jauh lebih rendah: 3% sampai 4%, dibandingkan dengan 16% sampai 20% pada pasien hepatitis C kronis Studi ini menunjukkan bahwa, pada pasien yang memiliki HBeAg-negatif kronis hepatitis B, efektivitas PEG alfa-2a monoterapi IFN, sebagaimana dinilai 24 minggu setelah pengobatan, adalah lebih tinggi dari monoterapi lamivudine dan bahwa kombinasi PEG IFN alfa-2a diberikan bersamaan dengan lamivudine tidak unggul PEG IFN alfa-2a digunakan sebagai monoterapi. Baru-baru ini, data yang dilaporkan untuk sub kelompok pasien dalam percobaan ini 116/177 dari mereka yang menerima PEG IFN alfa-2a ditambah 15

placebo dan 114/179 dari mereka yang menerima lamivudine ditambah PEG IFN kombinasi. Tingkat respons biokimia dan virologi tetap stabil pada 3 tahun setelah pengobatan dengan baik monoterapi PEG IFN alfa-2a atau dengan PEG IFN alfa2a ditambah lamivudine. Tingkat respon biokimia (normal Tingkat SGPT) adalah 31% untuk kelompok PEG IFN alfa-2a dan 31% untuk PEG IFN alfa-2a ditambah lengan lamivudine. Tingkat tanggapan virologi (didefinisikan oleh HBV DNA 20.000 kopi / mL) adalah 30% untuk PEG IFN alfa-2a pada lengan dan 27% untuk PEG IFN alfa-2a ditambah lengan lamivudine. Tingkat respon virus (didefinisikan oleh HBV DNA 400 kopi / mL) adalah 18% untuk PEG IFN alfa2a pada lengan dan 13% untuk PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine pada lengan. Dengan demikian, berkelanjutan off terapi tanggapan dipertahankan pada sekitar 30% dari pasien yang memiliki HBeAg-negatif hepatitis B kronis 3 tahun setelah pengobatan dengan PEG IFN alfa-2a. Selain itu, hilangnya HBsAg meningkat dengan waktu dan 8% pada 3 tahun setelah pengobatan . Keputusan untuk mengobati atau tidak untuk mengobati pasien yang mengalami hepatitis B kronis didasarkan terutama pada keparahan dari penyakit hati. Ini umumnya adalah rekomendasi yang bahwa pasien yang memiliki hepatitis B kronis dengan tingkat ALT tinggi dan replikasi HBV signifikan diperlakukan. ALT dan HBV DNA untuk terapi tidak baik ditentukan, tetapi ada beberapa consensus bahwa pasien yang memiliki kadar ALT lebih tinggi dari tiga kali batas atas normal dan tingkat DNA HBV yang lebih tinggi dari 100.000 kopi / mL harus dianggap kandidat yang baik untuk terapi. Hepatitis B kronis, bagaimanapun,

16

adalah penyakit heterogen dengan fluktuasi dari waktu ke waktu, sehingga ada tidak baik korelasi antara kadar ALT serum atau serum tingkat DNA HBV dan tingkat keparahan lesi hati. Memang biopsi hati sering berguna untuk ditetapkan grade dari peradangan dan tahap fibrosis sebagai indikator untuk pengobatan. Pengobatan ini tidak dianjurkan pada pasien yang memiliki penyakit hati yang ringan kecuali fibrosis hati memburuk. Cara terbaik untuk mengurangi jumlah pasien yang mengembangkan resistensi terhadap pengobatan adalah untuk memilih pasien yang tepat untuk pengobatan: pasien yang memiliki penyakit hati aktif biasanya memiliki relative tingkat moderat replikasi virus, memiliki kesempatan yang baik menanggapi baik untuk terapi, dan memiliki risiko rendah mengembangkan resistansi. Untuk pasien yang memiliki penyakit ringan, pengobatan dapat ditunda dengan teratur tindak lanjut. PEG IFN monoterapi harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi, karena pengobatan ini tidak terkait dengan ketahanan pastikan mereka mendapat bantuan dan memberikan tingkat respons terbaik berkelanjutan (sekitar 33%) dengan pasti durasi terapi (48 minggu). Sekitar dua pertiga dari pasien yang telah hepatitis B kronis tidak mengembangkan respon yang berkelanjutan dan karenanya memerlukan terapi yang berkepanjangan dengan analog. Selama pengobatan dengan analog, pentingnya kepatuhan yang baik dan pemantauan yang cermat (mengukur tingkat DNA HBV setidaknya setiap 3 bulan) harus ditekankan. Memang, pasien yang memiliki tingkat DNA HBV yang lebih tinggi dari 1000 kopi / mL setelah 6 bulan terapi berada pada risiko tinggi untuk mengembangkan perlawanan. Awal 17

diagnosis

resistensi

memungkinkan

terapi

harus

disesuaikan

dengan

memperkenalkan obat untuk mencegah suar hepatitis. Saat ini tidak ada kombinasi telah terbukti memiliki efek antivirus yang lebih baik atau mengurangi risiko resistensi, dibandingkan dengan studi monoterapi, tetapi eksperimental dan tidak terkendali klinis Data menunjukkan bahwa kombinasi dapat menurunkan kejadian resistensi. Oleh karena itu strategi ini mungkin harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki sirosis untuk meminimalkan risiko kegagalan hati, yang mungkin terkait dengan resistensi.

18

BAB III KESIMPULAN

1. Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan ditandai telah dibuat dalam pengobatan kronis hepatitis B. Khasiat lamivudine, analog nukleosida pertama yang tersedia, dibatasi oleh tingginya insiden perlawanan. Adefovir telah lebih baik kemanjuran jangka panjang karena frekuensi yang lebih rendah. 2. Entecavir memiliki efek antiviral yang manjur, profil keamanan yang baik, dan tingkat rendah resistensi jangka pendek, namun jangka panjang profil resistensi belum diketahui. Telbivudine juga memiliki efek antiviral yang manjur, namun keberhasilan jangka panjang mungkin terhambat oleh profil perlawanan. Obat ini harus diberikan tanpa batas waktu. Terapi umumnya dikaitkan dengan reaktivasi, dan tanggapan yang berkelanjutan jarang kecuali di pasien HBeAgpositif yang mengembangkan HBeAg konversi. 3. Tujuan utama dari terapi hepatitis B kronis adalah hilangnya HBsAg (Dengan atau tanpa HBsAg serokonversi), karena kehilangan HBsAg terkait dengan remisi berkelanjutan dari penyakit dan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu Studi masa depan harus bertujuan untuk meningkatkan laju kehilangan HBsAg. 4. Kombinasi PEG IFN alfa-2a ditambah lamivudine telah menunjukkan efek antivirus selama terapi unggul dengan monoterapi. Kombinasi PEG IFN alfa2a dengan lebih kuat analog seperti kebutuhan entecavir atau tenofovir untuk diselidiki lebih lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA

Hoofnagle JH, Doo E, Liang TJ, et al. Management of hepatitis B: summary of a clinical research workshop. Hepatology 2007;45(4):105675. Lok AS, McMahon BJ. Chronic hepatitis B. Hepatology 2007;45(2):50739. Marcellin P, Asselah T, Boyer N. Treatment of chronic hepatitis B. J Viral Hepat 2005;12(4): 33345. EASL International Consensus Conference on Hepatitis B. Consensus statement (long version). J Hepatol 2003;39(Suppl 1):S325. Wong DKH, Cheung AM, ORourke K, et al. Effect of alfa-interferon treatment in patients with hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis B. Ann Intern Med 1993;119:31223. Cooksley G, Piratvisuth T, Lee SD, et al. Peginterferon alfa 2a (40KDa): an advance in the treatment of hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis B. J Viral Hepat 2003;10: 298305. Janssen HL, van Zonneveld M, Senturk H, et al. Pegylated interferon alfa-2b alone or in combination with lamivudine for HBeAg-positive chronic hepatitis B: a randomised trial. Lancet 2005;365(9454):1239. Lau GK, Piratvisuth T, Luo KX, et al. Peginterferon alfa-2a, lamivudine, and the combination for HBeAg-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med 2005;352(26):268295. 20

Marcellin P, Lau GK, Bonino F, et al. Peginterferon alfa-2a alone, lamivudine alone, and the two in combination in patients with HBeAg-negative chronic hepatitis B. N Engl J Med 2004;351(12):120617.

Chan HL, Leung NW, Hui AY, et al.Arandomized, controlled trial of combination therapy for chronic hepatitis B: comparing pegylated interferon-alfa2b and lamivudine with lamivudine alone. Ann Intern Med 2005;142(4):24050. Lai CL, Chien RW, Leung NWY, et al. Lamivudine Study Group. A one year trial of lamivudine for chronic hepatitis B. N Engl J Med 1998;339:618. Dienstag JL, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the United States. N Engl J Med 1999;341:125663. Liaw YF, Sung JJ, Chow WC, et al. Lamivudine for patients with chronic hepatitis B and advanced liver disease. N Engl J Med 2004;351(15):152131. Hadziyannis SJ, Tassopoulos NC, Heathcote EJ, et al. Adefovir dipivoxil for the treatment of hepatitis Be antigen-positive hepatitis B. N Engl J Med 2003;348:8007. Marcellin P, Chang TT, Lim SG, et al. Adefovir dipivoxil for the treatment of hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med 2003;348:80816.

21

Hadziyannis SJ, Tassopoulos NC, Heathcote EJ, et al. Long-term therapy with adefovir dipivoxil for HBeAg-negative chronic hepatitis B. N Engl J Med 2005;352(26):267381. Lai CL, Shouval D, Lok AS, et al. Entecavir versus lamivudine for patients with HBeAgnegative chronic hepatitis B. N Engl J Med 2006;354(10):101120 [erratum in: N Engl J Med. 2006; 354(17):1863]. Chang TT, Gish RG, de Man R, et al. A comparison of entecavir and lamivudine for HBeAg-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med 2006;354(10):1001 10. Thomas H, Foster G, Platis D. Mechanisms of action of interferon and nucleoside analogues. J Hepatol 2003;39:S938. Thomas HC, Karayiannis P, Brook G. Treatment of hepatitis B virus infection with interferon. Factors predicting response to interferon. J Hepatol 1991;13:S47. Brunetto MR, Aragon Rodriguez U, Bonino F. Hepatitis B virus mutant. Intervirology 1999;42:6980. Lindsay KL, Trepo C, Heintges T, et al. A randomized, double-blind trial comparing pegylated interferon alfa-2b to interferon alfa-2b as initial treatment for chronic hepatitis C. Hepatology 2001;34:395403. Zeuzem S, Feinman SV, Rasenack J, et al. Peginterferon alfa-2a in patients with chronic hepatitis C. N Engl J Med 2000;343:166672. 22

Schalm SW, Heathcote J, Cianciara J, et al. Lamivudine and alfa interferon combination treatment of patients with chronic hepatitis B infection: a randomised trial. Gut 2000;46: 5628. Schalm SW. Combination therapy for chronic hepatitis B. J Hepatol 2003;39:S14650. Marcellin P, Bonino F, Lau GK, et al. Virological and biochemical response in patients with HBeAg-negative CHB treated with peginterferon alfa 2a _ lamivudine: 3 years follow-up results [abstract 53]. J Hepatol 2007;46(Suppl 1).

23