Interaksi Dan Integrasi Serta Strategi pengembangan Kebijakan pengendalian Rabies Di Indonesia
Click here to load reader
-
Upload
putra-syah -
Category
Documents
-
view
1.366 -
download
1
description
Transcript of Interaksi Dan Integrasi Serta Strategi pengembangan Kebijakan pengendalian Rabies Di Indonesia
Setiawan Putra Syah 2011 1
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
INTERAKSI DAN INTEGRASI SERTA STRATEGI PENGEMBANGAN
KEBIJAKAN PENGENDALIAN RABIES DI INDONESIA
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Penyakit zoonosis merupakan penyakit yang diakibatkan karena penularan
agen penyakit dari hewan sebagai reservoir ke manusia. Di Indonesia zoonosis
menjadi prioritas utama dalam penanganannya, salah satunya adalah rabies. Rabies
adalah salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang disebarkan dari hewan ke
manusia, dan sebanyak 98% disebabkan oleh gigitan anjing (Nurjanah 2011). Virus
rabies terdapat di dalam air liur hewan yang terinfeksi, yang akan ditularkan ke
manusia lewat gigitan atau air luir. Gejala akibat infeksi rabies dapat mengakibatkan
kematian bagi manusia maupun hewan. Jumlah kematian manusia akibat rabies
diperkirakan 40.000-60.000 setiap tahunnya (Meslin et al. 2000).
Rabies telah lama mewabah di Indonesia dan sampai saat ini sudah 122
tahun (Artanto et al. 2009). Sampai saat ini hanya 9 provinsi yang tetap bebas
rabies yaitu; Nusa Tenggara Barat, Papua, Irian Jawa Barat, Bangka-Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Timur. Sedangkan sebanyak 24 provinsi lainnya termasuk Bali, Jawa Barat dan
Banten merupakan daerah tertular rabies dengan masih ditemukan penderita rabies
pada manusia dan specimen positif rabies pada hewan. Kasus gigitan hewan
penular rabies di Indonesia rata-rata tiap tahun berkisar 14.000 orang. Rabies telah
ditetapkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di 3 daerah, yaitu Provinsi Bali,
Kabupaten Nias dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada Februari 2011.
Secara nasional telah terjadi 74.858 kasus gigitan hewan penular rabies, 195
diantaranya berakhir pada kematian. Berdasarkan pernyataan Menteri Kesehatan
Endang Rahayu Sedyaningsih, terdapat 24 provinsi yang belum bebas rabies.
Setiawan Putra Syah 2011 2
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Maksud
Membahas keterkaitan kebijakan dalam hal pengendalian penyakit rabies di
Indonesia.
Tujuan
Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan-kebijakan tersebut dapat sinergi
dan berjalan dalam implementasi di masyarakat secara nasional maupun
internasional.
Manfaat
Hasil pembahasan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan, dilihat dari
berbagai perspektif kebijakan beberapa instansi yang memiliki keingian yang sama
demi kemaslahatan manusia.
II. Penyakit Rabies
Virus rabies merupakan family Rhabdoviridae yang memiliki empat genus
yaitu Lyssavirus, Vesiculovirus, Ephemerovirus, Novirhabdovirus. Rabies termasuk
dari genus Lyssavirus yang penyebarannya mencapai seluruh benua di dunia,
kecuali Antartika. Lyssavirus terdiri dari enam genotype virus yaitu virus rabies, virus
Lagos bat, virus Mokola, virus Dovenhage, virus European, dan virus Australian bat
(Murphy et al. 2008). Virus rabies umumnya tidak stabil dengan lingkungan luar
sehingga memerlukan kontak langsung dengan membran mukosa sebagai awal dari
infeksi. Hampir sebagian besar kasus rabies disebabkan oleh gigitan ataupun jilatan
karena virus rabies ditemukan di air liur hewan yang terinfeksi dan dipindahkan
melalui air liur. Virus bereplikasi didaerah sekitar bekas gigitan dan meginfeksi saraf
lokal, selama masa inkubasi, virus bermigrasi dan bereplikasi menuju sistem syaraf
pusat bahkan otak (Artanto et al. 2009). Masa inkubasi setelah digigit sampai timbul
gejala klinis bervariasi antara 2-8 minggu tapi ada yang sampai dua tahun, di
Indonesia rata-rata 2-3 bulan. Tidak semua orang yang digigit anjing rabies akan
terjangkit penyakit ini, tergantung dari parahnya gigitan dan lokasi gigitan. Virus
Setiawan Putra Syah 2011 3
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
akan merambat dari tempat gigitan lewat syaraf sumsum tulang belakang kemudian
ke otak (Nurjanah 2011). Masa inkubasi ini dapat lebih cepat atau lebih lama
tergantung pada:
1). Dalam dan parahnya luka bekas gigitan
2). Lokasi luka gigitan
3). Banyaknya syaraf disekitar luka gigitan
4). Pathogenitas dan jumlah virus yang masuk melalui gigitan
5). Jumlah luka gigitan
Hewan-hewan yang biasa menyebarkan penyakit rabies hewan kesayangan
(anjing, kucing, kera). Binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar). Hewan
yang berperan dalam penularan rabies ini memang cukup dekat dengan kehidupan
masyarakat, sehingga sangat mudah untuk terjadinya penularan ke manusia.
III. Penyebaran Virus Rabies di Indonesia
Rabies pertamakali dilaporkan di Indonesia oleh Esser (1989) pada seekor
kerbau di Bekasi, dan Schoorl (1884) di Jakarta pada seekor kuda. Kemudian
Penning (1890) menemukan rabies pada anjing, rabies ini menjadi penyakit yang
popular di Indonesia (Hindia Belanda saat itu). Setelah laporan kasus tersebut,
banyak kasus rabies lainnya yang dilaporkan terjadi di Indonesia, seperti jawa barat
(1984), Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), dan Sumatera Utara
(1956) (Artanto et al. 2009). Rabies pada manusia dilaporkan lebih belakangan yaitu
oleh de Haan pada tahun 1894. Campur tangan (intervensi) pemerintah terhadap
pengendalian rabies secara formal telah dilakukan sejak era 1920-an, terbukti
dengan penetapan ordonansi rabies - Hondsdolheids Ordonantie (Staatsblad 1926
No.451 yo Staatblad 1926 No. 452) oleh pemerintah kolonial Belanda. Walaupun
kerjasama antar sektor kesehatan dan veteriner di Indonesia mungkin telah
dilakukan sejak awal, namun secara formal pengendalian rabies secara terpadu
diawali padaa tanggal 15 Agustus 1978 dengan penerbitan Surat Keputusan
Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri tentang
Setiawan Putra Syah 2011 4
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
kerjasama untuk meningkatkan pemberantasan dan penanggulangan rabies di
Indonesia (Idris 2009).
Dalam sejarah pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia,
walaupun ada wilayah yang berhasil dibebaskan, namun Indonesia belum berhasil
menghentikan perluasan daerah tertular rabies di Indonesia. Daerah tertular rabies
yang semula hanya beberapa provinsi saja sebelum Perang Dunia II, telah meluas
ke daerah lain yang semula bebas yaitu: Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur (1953), Sumatera Utara dan Sulawesi Utara (1956), Sulawesi Selatan (1958),
Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Aceh (1970), Jambi dan DI Yogyakarta
(1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah (1972), Kalimantan Timur
(1974) dan Riau (1975). Pada dekade 1990an dan 2000an Rabies masih terus
menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau
Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai
(2005) Ketapang (2005) serta Pulau Buru (2006) kemudian Pulau Bali, Pulau
Bengkalis dan Pulau Rupat di Provinsi Riau (2009). Saat ini provinsi yang bebas
rabies Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua dan
Papua Barat.
Pengendalian dan pemberantasan rabies di pulau Jawa dianggap berhasil
dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian No. 566/Kpts/PD.640/10/2004
tanggal 06 Oktober 2004, tentang pernyataan Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Banten dan Jawa Barat Bebas dari Penyakit Anjing Gila/Rabies (terlampir)
setelah sebelumnya Pulau Jawa bagian tengah dan timur meliputi Provinsi Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur dibebaskan terlebih dahulu
pada tahun 1996. Walaupun kemudian penyakit ini muncul lagi (reoccurrence) di
Garut (2005, 2007) dan Tasikmalaya (2006) Provinsi Jawa Barat serta Lebak (2008)
Provinsi Banten, sehingga kebijakan ini tidak dapat langsung terlaksana atau
dengan kata lain ditunda pemberlakuanya.
Sampai saat ini rabies telah ditetapkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di
3 daerah, yaitu Provinsi Bali, Kabupaten Nias dan Kabupaten Maluku Tenggara
Barat pada Februari 2011. Sejak tahun 2008 hingga akhir 2010, kasus penularan
Setiawan Putra Syah 2011 5
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
dan angka kematian akibat rabies pada tiga wilayah tersebut meningkat cukup tinggi
dibandingkan daerah lain. Sedangkan secara nasional telah terjadi 74.858 kasus
gigitan hewan penular rabies, 195 diantaranya berakhir pada kematian. Berdasarkan
pernyataan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, terdapat 24 provinsi
yang belum bebas rabies (Nurjanah 2011).
IV. Kebijakan Pemberantasan Virus Rabies di Indonesia
Sejak tahun 1926 pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang rabies
pada anjing, kucing, dan kera. Yaitu Hondsdol heid Ordonantie Staatblad No. 452
tahun 1926 dan pelaksanaannya termuat dalam Staatblad No. 452 tahun 1926.
Selanjutnya Ordonantie tersebut tersebut mengalami perubahan/penambahan-
penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Di DKI Jakarta
terdapat SK Gubernur No. 3213 tahun 1984 tentang Tatacara Penertiban Hewan
Piaraan Anjing, Kucing dan Kera di wilayah DKI Jakarta yang antara lain berisi:
1. Kewajiban pemilik hewan piaraan untuk memvaksin hewannya dan
menggantungkan peneng tanda lunas pajak.
2. Menangkap dan menyerahkan hewannya apabila mengigit orang untuk
diobservasi.
3. Hewan yang dibiarkan lepas dan dianggap liar atau tersangka menderita
rabies akan ditangkap oleh petugas penertiban.
4. Berhasil tidaknya usaha pengendalian penyakit rabies sangat erat
hubungannya dengan kesadaran, pengetahuan dan partisipasi masyarakat.
Kasus gigitan hewan tersangka rabies sekitar 3.000/ tahun pada dekade
1950an dan 1960-an meningkat 8.000/ tahun pada tahun1973. Daerah tertular
rabies di Indonesia sampai dengan tahun 2005, tersebar di 22 propinsi, 186
kabupaten/kota, 515 kecamatan dan 926 desa, dengan jumlah kasus gigitan hewan
tersangka rabies 16.619 kasus, yang mendapat vaksinasi (Post Exposure treatment)
sebanyak 10.616 kasus (63,87 %), dan kematian karena rabies (lyssa) sebanyak
134 orang. Bila dibandingkan dengan situasi rabies pada tahun 2004 terjadi
peningkatan lyssa yang cukup signifikan (tahun 2004 lyssa 109 orang). Hal ini
Setiawan Putra Syah 2011 6
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
menandakan bahwa upaya-upaya yang telah dilaksanakan masih belum optimal,
terbukti jumlah kematian akibat rabies masih dilaporkan. Berdasarkan kesepakatan
bersama bahwa upaya pembebasan rabies per pulau sampai saat ini belum
menunjukkan keberhasilan, bahkan cenderung di berbagai propinsi dilaporkan
adanya korban jiwa pada daerah tertular.
Kasus rabies di Indonesia memang telah terjadi sejak lama, dan saat ini
meningkat hingga terdapat 3 daerah yang dinyatakan sebagai kejadian luar biasa.
Untuk itu pemerintah merancang strategi dalam upaya mengatasi masalah rabies,
diantaranya program pengendalian penyakit rabies menuju Indonesia Bebas Rabies
pada tahun 2020. Program tersebut terdiri dari tujuh poin yaitu (Nurjanah 2011) :
1. Koordinasi lintas sektor
2. Pemenuhan kebutuhan vaksin
3. Sosialisasi penyakit rabies
4. Pengawasan intensif mobilitas hewan penular
5. Eliminasi hewan positif rabies
6. Pembentukan tim terpadu antar kementerian
7. Penetapan kejadian luar biasa
Untuk dapat mencapai hasil maksimal dalam rangka bebas dari penyakit
rabiesi, perlu diadakan kerja sama dengan istansi terkait sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Beberapa landasan kerja sama dengan instansi terkait
perlu dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan
yang berlaku sebagai berikut:
1. Tindakan – tindakan yang menyangkut hewan menjadi tugas dan tanggung
jawab Departemen Pertanian (Ditjen. Peternakan).
2. Tindakan – tindakan yang menyangkut manusia yang digigit hewan
tersangka/rabies dan penderita lysa menjadi tanggung jawab Departemen
Kesehatan (Ditjen PPM-ML).
3. Departemen Dalam Negri (Ditjen PUOD) Mengkoordinasi kegiatan kerjasama
sektor – sektor terkait dan menggerakkan peran serta masyarakat.
Setiawan Putra Syah 2011 7
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Beberapa peraturan perundangan yang melandasi kerjasama lintas sektoral
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hondsdolheid Ordonati, Staatsblad tahun 1926 No.451 dan 452.
2. Undang – undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan No.6 tahun
1967.
3. Peraturan Pemerihtah No. 22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat
Vetenir.
4. Undang – undang Pokok Kesehatan No. 3 tahun 1992.
5. Keputusan Menteri Pertanian No.190/Kpts/Org/5/1975.
6. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Kesehatan,Pertanian,Dalam
Negeri) tahun 1978.
7. Surat Keputusan Bersama (SKB) Dirjen (Peternakan,PPM &
PLP,PUOD)tahun 1989 dan tahun 1999.
8. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 tahun 1982 tentang koordinasi bagi
pencegahan,pemberantasan dan penanggulangan penyakit rabies di daerah.
Edaran Pangab ke seluruh jajaran ABRI untuk membantu pemberantasan
rabies.
9. Surat Keputusan Gubernur.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam hal
pengendalian rabies diantaranya yaitu:
Landasan Kerjasama :
Untuk dapat mencapai hasil maksimal pembebasan rabies telah diatur sesuai
kewenangan instansi terkait yaitu :
1. Pemberantasan rabies pada hewan menjadi tanggung jawab Departemen
Pertanian
Setiawan Putra Syah 2011 8
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
2. Penanggulangan rabies pada manusia menjadi tanggung jawab Departemen
Kesehatan
3. Koordinasi data pembebasan rabies menjadi tanggung jawab Departemen
Dalam Negeri.
Kebijakan Umum
Melaksanakan kegiatan pembebasan rabies secara terpadu dibawah
koordinasi Pemerintah Daerah yaitu :
1. Mencegah kematian karena rabies dengan penanganan kasus gigitan hewan
penular rabies
2. Mencegah penularan rabies dari hewan kepada manusia dengan
meningkatkan kerjasama untuk mempercepat pembebasan rabies pada
hewan
3. Mempersyaratkan standar minimal terhadap HPR melalui program
pengendalian dan pemberantasan rabies
4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas dalam tatalaksana
kasus gigitan hewan penular rabies.
Kebijakan Operasional
Menurunkan angka kematian karena rabies pada manusia menjadi Nol
Kasus dengan:
1. Memberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) kepada penderita gigitan hewan
indikasi
2. Vaksinasi Hewan
3. Pengawasan lalulintas HPR
4. Melakukan pertolongan pertama luka gigitan dengan mencuci luka gigitan,
kepada semua penderita gigitan hewan penular rabies menggunakan
deterjen (sabun cuci)
Setiawan Putra Syah 2011 9
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
5. Memantau pemberian VAR untuk mencegah Drop Out Vaksinasi
6. Melakukan pelacakan kasus gigitan hewan penular rabies untuk menentukan
faktor penularan.
Pencegahan rabies pada manusia dilakukan dengan tindakan pasca paparan
(vaksin anti rabies VAR) pada kasus gigitan hewan tersangka rabies dan tindakan
pra paparan (imunisasi) pada individu risiko tinggi. Dalam upaya pengendalian
penyakit rabies di Indonesia, Ditjen PP-PL Depkes, telah menerapkan
kebijaksanaan operasional antara lain, mengoptimalkan “Rabies Center” (RC) yaitu
setiap Puskesmas RC “disediakan” minimal 1 (satu) kuur VAR (Vaksin Anti Rabies)
manusia dan di Rumah Sakit tersedia 1 (satu) kuur VAR manusia. Untuk setiap
kasus gigitan HPR (Hewan Penular Rabies) yang datang ke Puskesmas atau
Rumah Sakit dilakukan pencucian luka gigitan sesuai protap, sebelum pemberian
VAR serta melakukan penyidikan epidemiologi lapangan (Idris 2009).
Terlepas dari program pemerintah tersebut, kesadaran dan kepedulian
masyarakat terhadap kasus rabies ini juga menjadi faktor yang sangat penting.
Mengingat penyebaran utama penyakit rabies melalui anjing, yang merupakan
hewan peliharaan dan mobilitasnya cukup tinggi. Bahkan salah satu kasus yang
memprihatinkan adalah kematian kepala Dinas Kesehatan Nias Utara karena
penyakit rabies pada tahun 2010. Korban terkena gigitan anjing peliharaannya pada
akhir tahun 2009, dan tidak ditangani dengan tepat karena setelah gigitan hanya
diberikan obat luar. Seharusnya dapat diberikan penanganan antirabies. Kenyataan
yang ironis, tetapi menjadi penegasan pentingnya pemahaman untuk menangani
kasus penularan rabies.
Selain sebagai hewan peliharaan anjing juga digunakan untuk berburu di
daerah Sumatra Barat, kemudian di Bali anjing memiliki keterkaitan dalam tradisi,
bahkan menjadi masakan tradisional di kalangan masyarakat Minahasa. Hewan
yang berperan dalam penularan rabies ini memang cukup dekat dengan kehidupan
masyarakat Indonesia. Sehingga Pemahaman dan kepedulian masyarakat tentang
penyakit rabies ini akan sangat mendukung usaha pemerintah dalam mewujudkan
Indonesia bebas rabies. Penyebaran tenaga kesehatan juga menjadi sorotan dalam
Setiawan Putra Syah 2011 10
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
kasus rabies ini. Mengingat pentingnya upaya pencegahan berupa penyuluhan dan
penanganan segera terhadap kasus penularan rabies sangat diperlukan.
V. Masalah dan Tantangan Pengendalian dan Pemberantasan Rabies Pada Hewan dan Pencegahan Rabies pada Manusia
Beberapa masalah dan hambatan dalam pengendalisan kasus virus rabies di
Indonesia antara lain sebagai berikut :
a). Otoritas Kesehatan Hewan belum dioptimalkan
Pengendalian rabies pada sumbernya (hewan) merupakan suatu keharusan.
Namun demikian otoritas kesehatan hewan di Indonesia belum memadai untuk
melaksanakan penyelenggaraan kesehatan hewan secara independen dan
professional.
b). Hambatan sosial budaya
Anjing memiliki nilai sosial budaya bahkan ekonomis bagi masyarakat
Indonesia seperti berburu babi pada masyarakat sumatera barat, adu bagong bagi
masyarakat sunda, membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional
bagi masyarakat bugis, belis (mas kawin) bagi masyarakat flores serta konsumsi
daging anjing bagi masyarakat tertentu di Sumatera Utara, Sulawesi Utara (Adiani
dan Tangkere, 2007) , Maluku, Nusa Tenggara Timur (Scott-Orr 2009, diacu dalam
Idris 2009). Anjing diperjual belikan sehingga memiliki nilai ekonomi, pada kondisi
seperti ini, eliminasi sulit dilakukan karena ada penolakan, dan dari berbagai
kejadian seperti di flores anjing disembunyikan di perkebunan atau hutan, justru
membantu menyebarkan rabies.
keberadaan anjing/kucing didalam kehidupan masyarakat pet lover tidak
dapat dianggap sebelah mata. Dapat dijadikan teman hidup (anggota keluarga)
selama pemiliknya melakukan aktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, nonton
televisi, bermain, olah raga, mengikuti suatu acara yang dilakukan bersama. Dengan
kata lain jika pemiliknya melakukan perjalanan dari suatu wilayah ke wilayah lain,
hewan kesayangannya tetap dibawa serta. Kasih sayang pemilik terhadap
Setiawan Putra Syah 2011 11
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
hewannya terbukti dengan cara merawat mereka dengan baik, menjaga
kesehatannya secara teratur melalui vaksinasi (salah satunya Rabies) tentunya
berbeda nyata perlakuannya dengan anjing/kucing liar atau pemeliharaan yang tidak
bertanggungjawab.
c). Ketidakcukupan pendanaan
WHO telah melakukan penelitian pada kurun 1980an dan 1990an di
beberapa negara dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda (Tunisia, Sri
Lanka, Ekuador, Maroko, Nepal, Zambia, Turki). Walaupun karakteristik populasi
antar negara dan bahkan di dalam setiap negara sangat bervariasi, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejadian Rabies di negara-negara Asia dan
Afrika sangat tinggi dan masalahnya menjadi lebih sulit karena kurangnya
infrastruktur dan biaya untuk pengendalian rabies (Childs et al, 2002, diacu dalam
Idris 2009).
Untuk negara berkembang seperti di Indonesia, culling bagi anjing liar (dan
diliarkan) masih tetap dibutuhkan mengingat pengendalian reproduksi memerlukan
biaya cukup mahal. Namun demikian eliminasi harus dilakukan dengan metode yang
memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Di USA M44 (sodium cyanide ejector)
adalah satu-satunya kemikalia untuk etanasia vector mamalia (tidak spesifik rabies)
yang saat ini diizinkan (Rupech, 2005). Sodium cyanide dapat dipertimbangkan
untuk menggantikan strychnine yang masih digunakan hingga saat ini di Indonesia.
VI. Strategi dan Langkah-langkah Pengendalian Rabies
Strategi dan langkah-langkah yang dapat dilakukan guna memaksimalkan
pemberantasan rabies diantaranya adalah 1). Peningkatan Peran Serta Masyarakat
(PSM), 2). Peningkatan kemitraan, 3). Peningkatan keterpaduan mutu program
lintas sektor, 4). Peningkatan mutu program lintas sektor, 5). Peningkatan mutu
program pelayanan kesehatan, terutama vaksinasi/eliminasi hewan dan pengobatan
pasteur, 6). Peningkatan Profesionalisme, 7). Percepatan desentralisai, 8).
Pertahapan tercapainya daerah bebas rabies berdasarkan prioritas.
Setiawan Putra Syah 2011 12
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
1). Peningkatan Peran Serta Masyarakat (PSM)
Sasaran dari peningkatan Peran Serta Masyarakat ialah; individu, keluarga
dan masyarakat didaerah tertular rabies mampu melindungi diri dari rabies. langkah-
langkah pelaksanaannya adalah sebagai berikut ;
a). Melakukan identifikasi pengetahahuan sikap dan prilaku (PSP) masyarakat
tentang rabies,termasuk kelompok-kelompok masyarakat (kader).
b). Mengembagkan metode dan media KIE.
c). Membuat pedoman/petunjuk pelaksanaan KIE.
d). Memasukkan masalah rabies ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan
lokal dengan menyediakan modul (sd/sltp)
e). Menyelenggarakan KIE kepada masyarakat termasuk kader dengan
melibatkan kelompok potensial.
f). Memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam pempebasan rabies.
2). Peningkatan Kemitraan
Sasaran dari peningkatan kemitraan adalah semua mitra yang terkait di
tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan
(LSM,organisasi profesi kemasyarakatan dan dunia usaha) komit. Langkah –
langkah yang dilakukan adalah:
a). Melakukan indentifikasi program di mitra kerja.
b). Menyediakan peta daerah tertular rabies.
c). Melakukan pemasaran sosial melaui media yang ada.
d). Membangun jaring kemitraan.
e). Menyusun rencana kerja terpadu.
f). Memadukan sumber daya yang tersedia.
g). Melakukan pertemuan berkala.
h). Melakukan monitoring dan evaluasi (monev).
Setiawan Putra Syah 2011 13
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
3) Peningkatan keterpaduan mutu program lintas sector
Sasaran dari dari peningkatan keterpaduan program lintas sektor ialah
Program dan sektor terkait komit (LSM,organisasi profesi kemasyarakatan dan dunia
usaha). Langkah-langkah pelaksanaannya sbb:
a). Mengidentifikasi program sumber daya lintas sektor dan program.
b). Menyusun rencana pengelolaan program terpadu.
c). Melakukan advokasi pada pemerintah pusat & daerah.
d). Melakukan pertemuan secara berkala.
e). Melakukan monitoring dan evaluasi.
f). Mengoptimalkan Tim Koordinasi (TIKOR) dan menyediakan sekretariat
dengan sarana dan prasarana yang lengkap.
4). Peningkatan mutu program pelayanan kesehatan
Sasaran dari peningkatan mutu pelayanan kesehatan, terutama
vaksinasi/eliminasi hewan dan pengobatan pasteur ialah: 1). Penderita gigitan
hewan tersangka/rabies & kelompok masyarakat berisiko tinggi terlindungi. 2).
Hewan penular rabies terutama anjing kebal terhadap rabies dan tidak ada lagi
anjing liar. Langkah-langkah yang dapat dilakukan sbb:
a). Membentuk dan meningkatkan fungsi Rabies Center di tempat-tempat yang
diperlukan dan memenuhi standard.
b). Membentuk dan meningkatkat fungsi Pos Keswan di tempat-tempat yang
diperlukan dan memenuhi standard.
c). Menganalisis kasus dan menganalisis kebutuhan sarana untuk perencanaan
pelayanan.
d). Meningkatkan cakupan pengobatan pastuer.
e). Melakukan surveilans epidemiologi pelacakan kasus tambahan dan riset
operasional.
f). Meningkatkan pemantauan pelaksana SOP.
g). Melaksanakan evaluasi kualitas pelayanan.(quality assurance).
h). Melaksanakan perbaikan pelayanan .
i). Meningkatkan cakupan vqksinasi anjing & reservoir lain, serta eliminasi
anjing liar/tak bermilik.
Setiawan Putra Syah 2011 14
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
j). Meningkatkan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies.
k). Membentuk dan meningkatkan tipe C untuk diagnosa rabies.
5). Peningkatan Profesionalisme
Peningkatan profesionalisme dalam hal ini peningkatan profesionalisme
sumber daya manusia (SDM) di tingkat pusat, propinsi, kab/kota, kecamatan,
desa/kelurahan sehingga mampu dan trampil dalam pembebasan rabies. Langkah-
langkah pelaksaannya sbb:
a). Melakukan need assesment/analis kebutuhan tenaga & penentuan jenis
pendidikan pelatihan.
b). Membuat modul pelatihan.
c). Menyelenggarakan pelatihan TOT dan petugas.
d). Melaksanakan evaluasi & pembinaan pasca pelatihan.
e). Menyempurnakan SOP.
f). Menyediakan sarana & prasarana yang memadai sesuai dengan SOP.
g). Melaksanakan quality assurance/evaluasi kinerja.
h). Melaksanakan penelitian operasional.
i). Mengembangkan sistem penghargaan.
6). Percepatan Desentralisai
Sasaran dari percepatan desentralisasi ialah: Penaggung jawab program
rabies di tingkat Pusat, Propinsi, Kab/Kota, Kecamatan mampu membuat
kebijaksanaan operasional. Langkah-langkahnya adalah sbb:
a). Mengembangkan sistem informasi menangani rabies.
b). Meningkatkan kemampuan pengelolaan program.
c). Melakukan pembagian tugas sesuai dengan administrasi dan
kewenangannya.
d). Mobilisasi sumber daya.
e). Mengembangkan dan melaksanakan kebijaksanaan operasional spesifik
daerah.
Setiawan Putra Syah 2011 15
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
7). Tahapan tercapainya daerah bebas rabies berdasarkan prioritas.
Sasaran dari pentahapan tercapainya daerah bebas rabies berdasarkan
prioritas ialah pulau-pulau di Indonesia berdasarkan prorietas penaggulangannya.
Langkah-langkah yang dapatr dilakukan yaitu :
a). Intensifikasi dan identifikasi langkah-langkah yang ada pada strategi (1-6)
sesuai dengan tahapan prioritas.
b). Sertifikasi bebas rabies oleh Menteri Pertanian.
c). Mengoptimalisasi pertemuan berkala TIKOR PUSAT dan DAERAH.
d). Melakukan advokasi pentahapan daerah bebas rabies.
VII. Usulan Pengendalian dan Pemberantasan Rabies
WHO Expert Consultation on Rabies (Geneva, 2005) merekomendasikan
upaya pengendalian dan pemberantasan rabies, yaitu: Surveilans Epidemiologi,
Gerakan vaksinasi (parenteral) massal pada anjing dan vaksinasi oral pada anjing
sebagai pelengkap, manajemen populasi anjing serta kerjasama nasional dan
internasional. beberapa usulan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberantasan
rabies di Indonesia (Idris 2009) sbb:
a). Manajemen populasi anjing (humane dog population control)
Manajemen populasi anjing merupakan konsep yang agak baru melibatkan
beberapa pendekatan meliputi pembatasan lalu lintas, eliminasi, pengendalian
reproduksi, serta pengendalian habitat. Pendekatan ini berpeluang untuk
dikembangkan di Indonesia dengan mengintegrasikan kegiatan yang telah dilakukan
oleh pemerintah dan masyarakat. Pengendalian reproduksi jauh lebih kompleks dan
hanya diterapkan di sejumlah kecil negara berkembang seperti India dan Thailand.
Pengendalian reproduksi telah menjadi bagian integral dari pengendalian rabies di
Thailand di mana eliminasi anjing tidak dapat diterima oleh masyarakat dan
pemerintah negara itu karena alas sosial-budaya setempat. Lebih dari 660.000 induk
anjing mendapatkan injeksi hormonal dan 55.000 disterilisasi dengan pembedahan
pada tahun 1996. Namun demikian program tersebut tidak dilakukan dalam waktu
lama sehingga sulit untuk diukur efektifitasnya (Meslin, 2000). Pengendalian
Setiawan Putra Syah 2011 16
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
reproduksi telah diterapkan di Indonesia secara sukarela dalam pelayanan
kedokteran hewan mandiri. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah anjing yang
disterilisasi, kemungkinan dalam jumlah yang sangat kecil. Pengendalian reproduksi
pada populasi secara lebih terstruktur telah pula dilakukan oleh Yayasan Bali
dengan pembiayaan tergantung pada donasi penyayang binatang terutama dari
organisasi serupa yang berbasis di luar negeri. Bagaimanapun juga pengendalian
reproduksi dapat dilakukan dan perlu terus dikembangkan di Indonesia.
b). Gerakan Vaksinasi Masal, Vaksin peroral sebagai pelengkap
Kompleksitas rabies di Eropa disebabkan oleh keberadaan rabies di hewan
liar. Namun demikian situasi Rabies di Eropa mengalami kemajuan berkat
penggunaan oral vaksin (Yakobson et al. 2005, diacu dalam Idris 2009). Walaupun
rabies di Indonesia melibatkan hewan domestik terutama anjing, namun proporsi
anjing liar dan diliarkan sangat besar. Sementara itu, penurunan populasi anjing
mendapatkan penolakan dari masyarakat karena anjing memiliki nilai social budaya
dan ekonomi bagi masyarakat. Pada daerah-daerah demikian, program vaksinasi
harus menjadi perhatian utama. Rendahnya cakupan vaksinasi karena kesulitan
menangkap anjing liar dan diliarkan dapat di antisipasi dengan metode vaksinasi
oral. Penelitian aplikasi dan efikasi vaksinasi oral di Indonesia perlu segera
dilaksanakan. Inisiasi ke arah tersebut telah dilakukan oleh ACIAR bekerja sama
dengan Pemerintah Indonesia dan Universitas Lokal. Hasil penelitian tersebut
diharapkan memberikan solusi untuk meningkatkan cakupan vaksinasi rabies di
Indonesia melengkapi vaksinasi parenteral.
c). Peraturan perundangan
Diperlukan perangkat perundangan yang berdasarkan kajian ilmiah sehingga
adanya keseragaman di seluruh daerah, nasional dan internasional mengenai
penanganan HPR yang dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap
strategi dan kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah. Dalam konteks otonomi
daerah, pemerintah kabupaten/kota perlu memperhatikan kebijakan pemerintah
pusat agar sinergis dalam penerapan peraturan.
Setiawan Putra Syah 2011 17
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
VIII. Skema Pengendalian Rabies
IX. Kesimpulan
Kebijakan lintas instansi yang terintegrasi dalam penanganan penyakit rabies
di Indonesia sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa agar sinergis, namun faktor
komitmen dalam pelaksanaan kebijakan yang tidak konsisten menyebabkan
keberadaan penyakit ini seolah-olah tidak dapat dikendalikan dan cenderung
meningkat maka diperlukan kepedulian semua lapisan masyarakat untuk berusaha
sekuat mungkin melakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan rabies
di Indonesia
Pengendalian
Rabies di Indonesia
Kebijakan terkait
hubungan
internasional
Kebijakan lalulintas
HPR
Kebijakan penetapan
status daerah
Penyakit bisa dikendalikan
Kemungkinan masuknya penyakit
Kemungkinan masuknya
penyakit
Wabah Rabies, penyakit
tidak terkendali
Wabah penyakit rabies
Kebijakan Nasional
pemerintah pusat dan
daerah
Otoritas kesehatan
hewan
Otoritas kesehatan
manusia
Penyakit dapat dikendalikan
Kemungkinan munculnya penyakit
Bebas penyakit rabies
Setiawan Putra Syah 2011 18
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Artanto RJ, IB Priastomo, C Khoirinaya. 2009. Vaksinasi Rabies Oral Harapan Baru
Untuk Pengendalian Rabies di Indonesia. Program Kreativ Mahasiswa.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Idris I. 2009. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan Pengendalian.artikel [terhubung
berkala].http://kafe-ungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-
tindakan.html [29 Maret 2011].
Meslin FX, MA Miles, A Vaxenat, MA Gemmell. 2000. Zoonoses Control in Dogs.
Dogs, Zoonoses and Public Health. CABI Publishing. Wallingford.
Murphy et al. 2008. Veterinary Virulogy. Academic Press. San Fransisco.
Nurjanah D. 2011. Indonesia Bebas Rabies 2020. artikel [terhubung berkala].
http://apotekerbercerita.wordpress.com/2011/03/27/indonesia-bebas-rabies-
2020/. [29 Maret 2011].