INTEGRASI IMIGRAN DI PRANCIS - Website Staff...
Transcript of INTEGRASI IMIGRAN DI PRANCIS - Website Staff...
1
MASALAH INTEGRASI DI PRANCIS
Airin Miranda – Program Studi Prancis FIB UI
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena imigran adalah aspek penting dalam sejarah
Prancis kontemporer. Dimulai dengan kedatangan imigran
yang berasal dari negara-negara tetangga di Eropa, hingga
mereka yang berasal dari negara-negara di benua Afrika
dan Asia, Prancis mengenal beberapa gelombang kedatangan
imigran. Masuknya imigran ke Prancis dilatarbelakangi
berbagai motif, terutama ekonomi. Hal ini berkaitan
dengan kondisi demografis Prancis dan juga tuntutan
suplai tenaga kerja menyusul adanya industrialisasi di
Prancis pasca Perang Dunia II.
Sebagai negara tujuan migrasi, Prancis terhitung
lambat menyadari dan menyikapi keberadaan imigran di
negaranya. Masalah mengenai imigran sendiri baru mulai
dibicarakan dalam debat politik sekitar tahun 80’an.
Selain itu, keberadaan imigran juga hanya dibahas dalam
studi demografi, sebelum akhirnya muncul studi yang lebih
spesifik meneliti dampak sosial dan politik dari imigran
di Prancis, yaitu sosiologi migrasi. Keterlambatan
pemerintah Prancis dalam mengantisipasi masalah yang
mungkin muncul dengan adanya imigran di negaranya
menyebabkan suasana yang tidak kondusif dalam kehidupan
bermasyarakat antara pendatang dan warga asli.
Istilah “masalah imigran” muncul seiring kedatangan
dalam jumlah besar imigran dari negara-negara bekas
jajahan Prancis pasca PD II. Padahal sebelumnya Prancis
sudah menerima kedatangan imigran dari berbagai negara
yang berbatasan dengannya. Kedatangan imigran pada masa
2
pasca PD II tersebut membawa dampak sosial yang lebih
besar dari kedatangan imigran sebelumnya karena adanya
perbedaan budaya dan latar belakang sejarah yang terlalu
jauh antara para imigran tersebut dengan masyarakat
Prancis, yang dipercaya oleh banyak pihak sebagai sebab
dari gagalnya usaha pembauran antara pendatang dan warga
asli di Prancis. Kejadian pada bulan November 2005
kemarin menunjukkan bahwa terdapat ketidakpuasan di
kalangan imigran dan anak-anak keturunan imigran mengenai
situasi kehidupan mereka sebagai warga negara Prancis
yang tidak sama dengan orang Prancis asli.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan imigran di
Prancis tidak lagi hanya terpusat pada fungsi ekonomi
mereka sebagai tenaga kerja murah yang mendukung
industrialisasi di Prancis, tetapi juga menyinggung
pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas dan permasalahan
ras di dalamnya. Untuk itu, pemerintah Prancis telah
mengusahakan proses integrasi bagi para imigran, yang
dikenal sebagai modèle républicain d’intégration.
1.2 Masalah
Pemerintah Prancis dengan modèle républicain
d’intégration-nya berusaha menyikapi keberadaan imigran
di Prancis dengan tetap mempertahankan identitas negara
mereka sebagai salah satu negara besar di Eropa.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai modèle
républicain d’intégration, penelitian ini mengangkat
permasalahan sebagai berikut :
a.apa yang dimaksud dengan modèle républicain
d’intégration ?
b.apakah proses integrasi imigran mengikuti model
tersebut berhasil mengatasi permasalahan antar etnis
di Prancis saat ini?
3
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang
disebut sebagai modèle républicain d’integration dan
melihat apakah model tersebut telah berhasil mengatasi
masalah hubungan antar etnis di Prancis saat ini.
1.4 Kemaknawian Penelitian
Selain untuk mencapai tujuan di atas, penulis juga
berharap agar hasil penelitian ini akan menambah wawasan
dan pengetahuan mengenai kondisi imigran di Prancis, yang
hingga kini masih menjadi pembicaraan hangat di berbagai
media. Pengetahuan yang didapat dari penelitian ini juga
dapat digunakan sebagai modal untuk membentuk mata kuliah
pilihan untuk mahasiswa S1 dari program studi Prancis,
FIB-UI, yang direncanakan berjudul Multikulturalisme di
Prancis. Dan akhirnya, kiranya penelitian ini dapat pula
menjadi bahan pertimbangan dan memberi pandangan kepada
pihak pemerintah Indonesia untuk menyikapi permasalahan
antar etnis di Indonesia yang juga merupakan masyarakat
multikulturalis.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi dalam periode setelah Perang
Dunia II. Periode tersebut diambil sebagai batasan
mengingat pada masa itulah terjadi gelombang kedatangan
imigran secara besar-besaran dari negara-negara bekas
jajahan Prancis di benua Afrika seperti Aljazair, Tunisia,
dan Maroko.
1.6 Metode Penelitian
4
Penulisan dan penelitian ini dibuat melalui studi
kepustakaan mengenai imigran dan “masalah imigran” di
Prancis dan model integrasi yang dipakai oleh Pemerintah
Prancis untuk mengatasi masalah tersebut. Penyajian data
statistik dan informasi dari penelitian-penelitian
terdahulu mengenai topik tersebut juga akan menjadi
sumber acuan bagi analisis yang akan dikemukakan dalam
penelitian ini. Selain itu, dengan berupaya untuk tetap
obyektif, Penulis juga memakai pengalaman pribadi sebagai
bukti pelengkap yang terutama akan digunakan sebagai
contoh kasus.
5
II. KERANGKA KONSEP
Penelitian mengenai hubungan antar etnis, yang
sekarang ini termasuk dalam studi sosiologis, menggunakan
konsep-konsep yang membedakan antara ras, etnis,
kewarganegaraan, identitas, dll. Berikut adalah beberapa
konsep yang digunakan dalam penelitian ini yang berkaitan
dengan hubungan antar etnis.
2.1 Ras
Konsep mengenai ras mengacu pada pengelompokkan
makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri fisik yang didapat
secara turun-temurun sejak kelahiran hingga kematiannya.
Pengklasifikasian seperti itu dipakai juga dalam dunia
flora dan fauna.
Dalam perkembangannya, konsep ras sering disamakan
dengan pengelompokkan berdasarkan warna kulit, putih,
hitam, dan kuning. Hal ini kemudian membawa berpengaruh
pada penentuan hierarki dalam kompetensi dan kelas sosial
dalam peradaban manusia hingga kini.
2.2 Etnisitas
Teori etnisitas seringkali bersinggungan, bahkan
bertumpang tindih, dengan teori ras. Namun bila ras
ditentukan oleh hubungan biologis efektif, maka etnisitas
ditentukan dari interaksi antar kelompok yang kemudian
menjadi media pembeda masing-masing kelompok tersebut.
6
Artinya, ciri-ciri sebuah kelompok etnis baru terlihat
setelah adanya kontak dengan kelompok etnis lainnya1.
Berikut adalah ciri-ciri sebuah kelompok etnis2 :
a. bertahan lewat reproduksi biologis dalam jumlah yang
cukup banyak
b. memiliki nilai budaya bersama yang direalisasikan
lewat manifestasi kebudayaan yang terpadu
c. membentuk sebuah kesatuan komunikasi dan interaksi
antar anggotanya
d. memiliki anggota yang dapat mengidentifikasi diri
sendiri sekaligus diidentifikasi oleh orang lain sebagai
anggota sebuah kelompok tertentu, lewat pembedaan dengan
kategori-kategori tertentu.
Lebih jauh, batas antara kelompok-kelompok etnis
adalah batas yang bersifat fleksibel. Artinya batas
tersebut bisa dilebarkan atau disempitkan menurut
kebutuhan politik, sosial, atau ekonomi yang ada.
2.3 Kewarganegaraan
Kewarganegaraan adalah status, yang diatur oleh
sebuah keputusan yang diambil berdasarkan undang-undang,
dan sekaligus identitas, bila disandarkan pada rasa
kepemilikan dalam sebuah kolektivitas politik3. Dengan
begitu jelas terlihat bahwa kewarganegaraan tidak
berkaitan dengan ras, karena kewarganegaraan bukanlah
hanya bawaan lahir namun bisa juga didapatkan lewat
proses legal yang sesuai undang-undang.
Kewarganegaraan memberi jaminan atas hak sipil
(kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan
1 Fredrik Barth, Les groupes ethniques et leurs frontières, dalam Theories de lÉthnicité. PUF , Paris :
1999 2 Ibid.
3 Jean Étienne, F. Bloess, JP Noreck, JP Roux, Dictionnaire de sociologie, Hatier, Paris : 1999
7
kebebasan berkumpul) dan hak politik (partisipasi dalam
pembentukan undang-undang lewat hak pilih). Sehingga bisa
dikatakan bahwa kewarganegaraan sejatinya tidak memandang
perbedaan ras dan/atau etnis, tetapi ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku.
2.4 Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah keadaan di mana terdapat
berbagai macam budaya dalam yang hidup dan bertahan dalam
satu wilayah. Konsep ini muncul sebagai dampak dari
migrasi yang terjadi di seluruh dunia.
Multikulturalisme sering pula dikonsepkan sebagai
keadaan ideal yang harus diupayakan oleh setiap negara
dengan warga negara yang berasal dari budaya yang
berbeda-beda. Dengan begitu, multikulturalisme membawa
semangat toleransi dan keterbukaan dalam menyikapi
perbedaan budaya dan latar belakang dalam masyarakat.
8
III. IMIGRAN DAN KETURUNAN IMIGRAN
DI PRANCIS : PERBEDAAN SITUASI DAN PERSAMAAN NASIB
Imigran di Prancis, yang merupakan warga minoritas,
tidak seketika mendapatkan status yang jelas mengenai
keberadaan mereka di Prancis. Pada awal kedatangannya,
imigran adalah sekelompok orang yang berfungsi sebagai
pengisi kebutuhan akan tenaga kerja menyusul adanya
industrialisasi dan perbaikan ekonomi di Prancis. Selain
itu, situasi demografis Prancis yang mengalami stagnasi4
juga terbantu dengan adanya kedatangan para imigran
tersebut.
Tak bisa dipungkiri pula krisis yang terjadi dari
negara asal imigran juga menjadi latar belakang
kedatangan mereka ke tanah Prancis. Prancis dikenal
sebagai negara yang cukup terbuka menerima pendatang
dengan tujuan meminta suaka hukum karena situasi negara
asal mereka yang tidak aman, terutama mereka yang berasal
dari negara-negara Eropa Timur. Prancis menebarkan harum
kemerdekaan dan keadilan bagi semua orang. Ditambah lagi
dengan reputasinya sebagai negara yang melahirkan banyak
pemikir yang terkenal di seluruh dunia, Prancis menjadi
sebuah negara impian yang terletak cukup dekat
dibandingkan tanah Amerika yang berada di seberang
4 Schor, Ralph, Histoire de l’immigration en France de la fin du XIXè siècle à nos jours, Armand
Collin, Paris : 1996. Prancis yang awalnya menduduki peringkat teratas di antara negara-negara Eropa
dalam jumlah penduduk pada tahun 1800, mengalami penurunan sedikit demi sedikit hingga akhirnya
berada di urutan ke-5 di bawah Rusia, Jerman, Austria-Hongaria, dan Inggris. Angka kelahiran sangat
rendah dengan rata-rata jumlah anak per keluarga adalah 2,2. Sebaliknya angka kematian Prancis lebih
tinggi daripada angka kelahiran.
9
Samudera Atlantik5. Hal-hal seperti itulah yang membuat
Prancis menjadi negara tujuan migrasi yang cukup populer,
terutama bagi negara-negara tetangganya di Eropa.
3.1 Imigran di Prancis : Sebelum dan Sesudah Perang Dunia
II
Dengan mengikuti ruang lingkup yang telah ditentukan,
berikut pemaparan secara garis besar dua periode
kedatangan imigran ke Prancis sebelum dan sesudah Perang
Dunia II.
3.1.1 Imigran di Prancis Sebelum Perang Dunia II
Sebelum revolusi industri, imigrasi ke Prancis
umumnya dilakukan oleh orang-orang dari kelas atas yang
datang atas undangan para penguasa saat itu. Baru pada
pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1914 dimulai
kedatangan imigran secara besar-besaran, terutama Belgia
dan Italia yang berjumlah hingga 2/3 dari keseluruhan
imigran yang ada di Prancis saat itu. Selain itu ada pula
yang berasal dari Jerman, Swiss, Spanyol, Inggris, Rusia,
dan Austria-Hongaria, walaupun dalam jumlah yang relatif
kecil.
Pasca PD I sebelum PD II, imigran yang berasal dari
Italia adalah yang terbanyak jumlahnya di Prancis.
Kemudian saat PD II dimulai, banyak imigran yang keluar
dari wilayah Prancis, yaitu sekitar 300.000 ribu orang.
Mereka meninggalkan wilayah Prancis untuk menghindari
perang pada periode antara bulan September 1939 sampai
Juni 1940.
3.1.2 Imigran di Prancis Setelah Perang Dunia II
5 Ibid. hal 10
10
Imigran yang datang ke Prancis setelah Perang Dunia
II masih didominasi oleh mereka yang berasal dari negara-
negara tetangganya di Eropa. Namun terlihat penurunan
jumlah imigran dari negara Eropa dari tahun ke tahun.
Sebaliknya, walaupun jumlahnya masih lebih kecil
dibanding imigran Eropa, imigran yang berasal dari Afrika
jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Negara-
negara Afrika tersebut adalah Aljazair, Maroko, Tunisia
(negara magribi), dan juga Afrika hitam yang sejak tahun
1999 jumlahnya meningkat hingga 45%6.
Tabel berikut menunjukkan perubahan komposisi dan
jumlah imigran di Prancis sejak tahun 1962 – 1999
berdasarkan negara asalnya.
Jumlah Imigran berdasarkan negara asal (sejak tahun
1962-1999).
1962 1968 1975 1982 1990 1999
Dalam % dalam % dalam % dalam % dalam % dalam % angka
Eropa 78.7 76.4 67.2 57.3 50.4 44.9 1,934,144
Spanyol 18.0 21.0 15.2 11.7 9.5 7.3 316,232
Italia 31.8 23.9 17.2 14.1 11.6 8.8 378,649
Portugal 2.0 8.8 16.9 15.8 14.4 13.3 571,874
Polandia 9.5 6.7 4.8 3.9 3.4 2.3 98,571
Negara eropa lain 17.5 16.1 13.1 11.7 11.4 13.2 568,818
Afrika 14.9 19.9 28.0 33.2 35.9 39.3 1,691,562
Aljazair 11.6 11.7 14.3 14.8 13.3 13.3 574,208
Maroko 1.1 3.3 6.6 9.1 11.0 12.1 522,504
Tunisia 1.5 3.5 4.7 5.0 5.0 4.7 201,561
Negara Eropa lain 0.7 1.4 2.4 4.3 6.6 9.1 393,289
Asia 2.4 2.5 3.6 8.0 11.4 12.8 549,994
Turki 1.4 1.3 1.9 3.0 4.0 4.0 174,160
Kamboja, Laos,
Vietnam 0.4 0.6 0.7 3.0 3.7 3.7 159,750
Negara asia lain 0.6 0.6 1.0 1.9 3.6 5.0 216,084
Amerika, Oseania 3.2 1.1 1.3 1.6 2.3 3.0 130,394
Tidak diketahui 0.8 0.1 /// /// /// /// ///
Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Jumlah dalam angka 2,861,280 3,281,060 3,887,460 4,037,036 4,165,952 4,306,094 4,306,094
Sumber : Insee, Recensements de la population, 1962-1999.
Dari tabel di atas terlihat jelas peningkatan jumlah
pendatang dari Afrika yang cukup signifikan dari awal
tahun 1960-an hingga 1970-an, sebelum terjadi krisis
6Ibid. hal 205
11
minyak di Prancis yang mempengaruhi keberlangsungan
industri saat itu. Walaupun begitu, semasa krisis dan
pasca krisis jumlah mereka tetap meningkat dari tahun ke
tahun. Hal itu bisa terjadi karena walaupun banyak pabrik
yang tutup dan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan
semasa krisis, di waktu yang sama muncul model kedatangan
yang dikenal dengan regroupement familial, di mana
imigran yang telah berada di Prancis mengundang
keluarganya yang masih berada di negara asal untuk datang
dan tinggal bersama mereka di Prancis. Sementara itu
penurunan jumlah imigran asal Eropa juga cukup signifikan
dari tahun ke tahun yang digantikan posisinya oleh
pendatang dari Afrika dan Asia.
Motif kedatangan imigran awalnya adalah untuk
bekerja, sehingga sebelum tahun 1970-an para imigran di
Prancis berjenis kelamin pria. Sejak pertengahan tahun
1970-an, dengan motif berkumpul kembali dengan keluarga,
para imigran pria yang telah datang lebih dulu mengundang
anak dan istrinya untuk ikut tinggal bersama mereka,
sehingga kini jumlah imigran pria dan wanita di Prancis
menjadi seimbang.
Dengan melihat tabel dan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa sejak pasca PD II hingga saat ini arus
kedatangan imigran di Prancis didominasi oleh imigran
yang berasal dari Afrika hitam dan juga negara-negara
magribi.
3.2 Imigran dan « Masalah Imigran » : definisi dan
konteksnya
Menurut Le Haut Conseil d’Integration7, imigran
adalah orang yang lahir di luar teritori Prancis dan
7 Le Haut Conseil d’Intégration adalah instansi pemerintah Prancis yang mengurus dan memberikan
pendapat, atas permintaan Perdana Menteri atau Kabinet, mengenai masalah-masalah yang berkaitan
dengan integrasi warga asing dan/atau imigran. http://www.premier-ministre.gouv.fr
12
masuk ke wilayah Prancis dengan niat untuk tinggal dan
menetap dalam teritori Prancis dalam waktu yang lama.
Imigran dapat menjadi warga negara Prancis dengan cara
naturalisasi.
Yang disebut sebagai « masalah imigran » sebenarnya
adalah masalah-masalah sosial seperti tempat tinggal,
pekerjaan, pendidikan, dll, dan status kewarganegaraan
mereka. Status kewarganegaraan itu lah yang terutama
akhirnya berujung pada masalah yang lebih besar, yaitu
aksi rasisme.
Dewasa ini, keberadaan imigran menjadi topik diskusi
yang hangat dibicarakan. Dan dari forum-forum tersebutlah
penyebutan ini muncul. Sehingga dapat dikatakan bahwa
imigran selalu diasosiasikan dengan kata « masalah ».
Bukan hanya bagi para imigran, namun juga bagi
keturunannya yang telah lahir dan mengenyam pendidikan di
Prancis. Bahkan aksi rasisme di berbagai aspek kehidupan
yang dialami oleh seorang imigran dan/atau keturunannya
juga disebut sebagai « masalah imigran ».
Permasalahan seperti rendahnya pendidikan, rawannya
keamanan di daerah tempat tinggal imigran, dan kemiskinan
merupakan hal-hal yang juga termasuk dalam kategori
« masalah imigran ». Terlihat bahwa walaupun di satu sisi
keberadaan imigran dibutuhkan untuk mengisi sektor-sektor
pekerjaan tertentu atau untuk memperbaiki situasi
demografis Prancis, namun di sisi lain segala
permasalahan sosial yang muncul sebagai dampak logis
proses migrasi sepenuhnya dibebankan kepada para imigran.
3.3 Konsekuensi Keberadaan Imigran di Prancis
3.3.1 Dampak ekonomis dan demografis dari keberadaan
imigran di Prancis.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kedatangan
imigran umumnya memiliki motif ekonomi. Aspek ekonomi
13
dari kedatangan imigran ini dapat dilihat dari berbagai
sisi, para imigran, pemilik modal, maupun negara Prancis
sebagai negara tujuan migrasi.
Para imigran umumnya datang ke Prancis dengan tujuan
perbaikan nasib dengan mencari kerja untuk membiayai
kehidupan keluarga yang mereka tinggalkan di negara
asalnya. Sampai tahap ini, imigran yang datang adalah
para pria muda yang siap bekerja tanpa memiliki
ketrampilan yang cukup maupun pendidikan yang memadai
untuk mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hierarki
kelas pekerja. Kebanyakan dari mereka hanya dapat bekerja
dalam sektor pembangunan dan industri.
Bagi pemilik modal dan usaha, para imigran dengan
kualifikasi lebih rendah dari tenaga kerja Prancis
memberi suatu keuntungan tersendiri. Dengan mempekerjakan
tenaga kerja yang tidak berketerampilan, para pemilik
modal membayar lebih murah. Ditambah lagi, seringkali
para imigran yang masuk dalam pasar tenaga kerja Prancis
memiliki masalah dengan ijin tinggal mereka. Hal itu
akhirnya justru semakin menguntungkan pemilik modal
karena mereka dapat menekan harga hingga serendah mungkin,
bahkan lebih rendah dari tenaga kerja Prancis dengan
kualifikasi yang sama.
Sementara itu, untuk negara Prancis sendiri sulit
diketahui keuntungan ekonomis dari keberadaan imigran. Di
mata hukum Prancis, imigran memiliki kewajiban fiskal
yang sama dengan warga Prancis. Dan melihat kenyataan
bahwa imigran yang datang adalah mereka yang berada dalam
kelompok umur bekerja, seharusnya para imigran memberi
kontribusi fiskal yang cukup besar kepada Prancis. Namun
yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini terjadi karena
masalah pengangguran adalah salah satu masalah terbesar
yang dialami oleh imigran. Sebaliknya Prancis harus
menyediakan dana untuk kesejahteraan para imigran dan
14
juga keluarganya yang diajak bergabung dengan mereka
untuk datang ke Prancis.
Di sisi lain, keberadaan imigran membantu Prancis
dalam mengatasi situasi demografisnya yang
mengkhawatirkan. Bukan saja kedatangan imigran yang
berada dalam kelompok usia kerja yang membantu
kelangsungan industri di Prancis, namun juga diyakini
bahwa imigran asal Afrika hitam maupun negara magribi
memiliki kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan orang
Prancis sendiri.
Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini, imigran
Afrika hitam dan magribi memiliki tingkat kesuburan lebih
tinggi dibanding imigran dari Eropa dan memang jumlah
wanita imigran saat ini memang lebih banyak dibanding
jumlah prianya.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan indikator
kesuburan menurut asal negara kelahiran para imigran di
Prancis.
Indikator kesuburan menurut asal
negara kelahiran.
Negara tempat lahir Total
Spanyol 1.8
Italia 1.6
Portugal 2.4
Negara Uni Eropa
lainnya 1.9
Negara Eropa lainnya 1.7
Aljazair 2.7
Maroko 2.8
Tunisia 2.8
Negara Afrika
lainnya 2.8
Turki 2.8
Kamboja, Laos,
Vietnam 2.0
Negara Asia lainnya 2.2
Amerika, Oseania 2.0
Tingkat kesuburan
imigran (rata-rata) 2.4
15
Sumber : Insee, recensement de la population, 1999.
Tingkat kesuburan orang Afrika yang berkisar antara
2,7 – 2,8 adalah yang tertinggi, disusul oleh imigran
asal benua Asia yaitu 2,0, baru kemudian mereka yang
berasal dari Eropa yaitu sekitar 1,6 – 1,9, kecuali orang
Polandia yaitu 2,4.
Selain aspek ekonomis, keberadaan imigran juga
memiliki aspek lain yang akan dibahas lebih lanjut dalam
bagian berikutnya, yaitu masalah identitas dan integrasi
mereka dalam masyarakat Prancis. Dari pembahasan lebih
lanjut ini kita akan melihat pula bagaimana aspek
ekonomis turut mempengaruhi proses integrasi imigran di
Prancis.
3.3.2 Modèle républicain d’integration
Integrasi adalah sebuah proses yang hanya bisa
dibicarakan setelah pelaksanaannya, untuk menentukan
apakah proses itu berhasil atau tidak. Integrasi adalah
proses yang berangkat dari perbedaan paling radikal
menuju persamaan mutlak8.
Modèle républicain d’intégration adalah model
integrasi yang diterapkan oleh Pemerintah Prancis dengan
cara asimilasi budaya asing secara individual ke dalam
nilai-nilai republikan. Untuk melihat lebih jelas, sering
model ini dibandingkan dengan integrasi komunitaris yang
di terapkan di Amerika Serikat atau Inggris9.
Lewat proses integrasi diharapkan nilai-nilai suatu
Negara tertanam kuat pada setiap warga negaranya. Dengan
kata lain, integrasi adalah salah satu cara pembentukan
negara bangsa (l’État-nation)10. Sehingga setiap identitas
8 Abdelmalek Sayad, La double absence. Des illusions de l'émigré aux souffrances de l'immigré. Liber,
Seuil, 1999. 9 Op.cit. Étienne.
10 Dominique Schnapper, La France de l’intégration. Gallimard, Paris : 1991.
16
kultural yang ada dalam sebuah masyarakat hanya akan
diakui jika dianggap cocok (compatible) dengan nilai-
nilai yang ingin ditanamkan lewat integrasi tersebut.
Dalam hal itu, pendidikan di sekolah adalah aspek
paling penting karena di sekolahlah nilai-nilai
kebangsaan tersebut diajarkan. Selain itu, keikutsertaan
dalam organisasi baik politik maupun non-politik,
angkatan bersenjata, atau klub olah raga juga dianggap
penting dalam mencapai tujuan integrasi.
Dengan demikian, integrasi yang diterapkan di
Prancis tidak mengakui adanya perbedaan identitas
kultural maupun etnis dalam masyarakatnya, karena secara
individual setiap warga negara diharapkan mengerti dan
menerapkan nilai-nilai kebangsaan lewat pendidikan di
sekolah maupun keikutsertaan dalam organisasi-organisasi.
Hal ini berbeda dengan integrasi komunitaris di Amerika
Serikat dan Inggris yang mengakui keberadaan komunitas
dengan identitas kultural yang berbeda dalam proses
penanaman nilai-nilai kebangsaan pada tiap-tiap komunitas
tersebut.
Nilai-nilai kebangsaan Prancis, dalam hal ini
sebagai negara penerima imigran, menjadi titik akhir dari
proses integrasi. Sebagai titik akhir, Prancis bersifat
pasif, karena ia menunggu mereka yang berintegrasi untuk
mencapainya. Sebagai titik akhir dari proses tersebut,
Prancis pula lah yang menentukan keberhasilan atau
kegagalan integrasi imigrannya. Nuansa dominasi sangat
kental dalam proses integrasi sehingga tidak mungkin
seorang imigran, maupun keturunannya, dapat mengatakan
bahwa ia telah berintegrasi dengan nilai-nilai di negara
yang mereka datangi. Sebaliknya, hanya penduduk
« asli »lah yang dapat mengatakan bahwa seorang imigran
telah terintegrasi atau tidak.
17
3.3.3 Modèle républicain d’intégration dan Potret
Situasi Aktual Imigran dan Keturunan Imigran di Prancis.
3.3.3.1 Integrasi dalam dunia kerja
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kedatangan
imigran ke Prancis dilatari motivasi ekonomis. Sejalan
dengan itu, keberadaan para imigran juga ditentukan oleh
fungsi ekonomis mereka sendiri. Artinya, kontrak kerja
yang mereka dapatkan sebagai izin untuk masuk dalam
teritori Prancis adalah satu-satunya justifikasi
keberadaan mereka. Akhir masa kontrak adalah akhir masa
tinggal mereka di Prancis. Keberadaan mereka sangat
tergantung pada kebutuhan pemilik modal akan tenaga kerja
murah yang disuplai dari luar Prancis ini.
Selain itu, terlihat pula kecenderungan pemakaian
tenaga kerja imigran untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu.
Misalnya, dapat ditemui di kota Paris terutama di daerah
16, para imigran yang berasal dari Asia (Vietnam, Kamboja,
dan Laos) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
harian dan penjaga anak. Mereka tinggal di kamar-kamar
pelayan (chambres de bonnes) di lantai paling atas dari
bangunan tempat tinggal yang harus mereka capai dengan
menggunakan tangga khusus yang berbeda dengan tangga yang
digunakan oleh penghuni lainnya.
Sementara di sektor pekerjaan buruh bangunan umumnya
adalah para pria imigran asal Afrika sub-sahara juga
negara-negara magribi. Sedangkan para wanitanya umumnya
bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga anak
seperti imigran dari Asia. Pekerjaan menjadi buruh pabrik
juga didominasi oleh para imigran, baik pria maupun
wanita.
Diskriminasi dalam dunia kerja yang dialami oleh
para imigran tidak saja dalam hal pembagian sektor kerja,
namun lebih jauh hingga menutup kesempatan kerja bagi
mereka. Seperti yang terjadi di biro pencari kerja
18
nasional di kota Alsace, di mana ditemukan dua buah iklan
lowongan kerja yang berbau rasisme seperti berikut ini :
« Dicari pegawai untuk layanan kebersihan dengan profil
sebagai berikut : ras kulit putih, berpenampilan menarik,
dinamis, penuh inisiatif, berkemauan keras dan tekun.
Kontrak kerja tetap. Pengalaman kerja tidak diutamakan »11.
Hal seperti itu tidak hanya terjadi pada pekerja
dengan kualifikasi rendah, namun juga pada mereka yang
memiliki ijazah bahkan sampai tingkat Strata 2. Penolakan
oleh pemilik modal/usaha untuk merekrut imigran (terutama
yang berkulit gelap) sering dilatarbelakang usaha menjaga
citra perusahaan, terutama untuk perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang jasa pelayanan, seperti hotel
maupun pusat kecantikan. Bila pun ada imigran yang
direkrut, terutama yang berkulit gelap, mereka akan
ditempatkan pada pekerjaan yang tidak memiliki kontak
langsung dengan pelanggan mereka. Seperti halnya pelayan
kamar di hotel, atau penjaga gudang, atau pegawai di
dapur12.
Menurut data dari Francoscopie13
, anak-anak
keturunan imigran asal negara magribi adalah kelompok
usia kerja yang paling sulit mendapatkan pekerjaan di
Prancis. Dan dari keseluruhan pengangguran di Prancis,
imigran dan keturunan imigran asal negara magribi adalah
yang paling banyak jumlahnya dibandingkan imigran dari
Eropa dan Asia.
3.3.3.2 Integrasi dan Kewarganegaraan
Pemerintah Prancis, dengan menerbitkan undang-undang
imigrasi yang sering berganti-ganti, tidak memberi
kesempatan pada para imigran maupun keturunannya untuk
11
Diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Penulis dari situs www.afrik.com/article7473.html dalam
artikel « La discrimination des immigrés en France ». 12
Ibid. 13
Gérard Mermet, Francoscopie 2005, Larousse, Paris: 2003
19
benar-benar mengikuti proses integrasi di Prancis.
Perubahan undang-undang mengenai kewarganegaraan anak-
anak keturunan imigran dilakukan sangat sering, sehingga
seringkali imigran dan keturunannya dirugikan karena
ketidaktahuan mereka mengenai adanya undang-undang yang
baru. Undang-undang terakhir mengenai kewarganegaraan
menggunakan prinsip jus soli, yang memberikan
kewarganegaraan kepada para keturunan imigran yang lahir
di teritori Prancis saat mereka telah berumur 18 tahun
dan telah bersekolah di sekolah Prancis sampai tingkat
lycée (SMA), serta memanifestasikan keinginannya untuk
menjadi warga negara Prancis kepada pihak yang berwenang14.
Sebelumnya, Prancis pun pernah menerapkan prinsip
jus sanguinis. Seringnya berganti-ganti prinsip tersebut
membuat para imigran dan keturunannya lengah terhadap
hak-haknya. Dan walaupun sekarang Prancis menerapkan
prinsip jus soli, namun hal itu juga tidak otomatis
berlaku, melainkan memiliki syarat yaitu memanifestasikan
keinginan untuk menjadi warga negara Prancis. Tanpa
manifestasi keinginan tersebut, anak-anak keturunan
imigran tidak mendapatkan kewarganegaraan Prancis,
walaupun telah lahir dan mengenyam pendidikan di sekolah
Prancis15.
Jika kita kembali ke istilah « masalah imigran »
yang telah dikemukakan sebelumnya, perlu diingat bahwa
istilah tersebut tidak hanya dipakai untuk menunjuk pada
imigran, tapi juga kepada keturunannya. Penyebutan lain
yang lebih populer dalam dunia politik adalah « anak-anak
keturunan imigran » (les enfants issus de l’immigration).
Dapat terlihat dari penyebutan itu bahwa meskipun anak
keturunan imigran tersebut lahir dan bersekolah di
Prancis, identitas « orang asing » tidak otomatis lepas
14
Undang-undang tanggal 22 Juli 1993. 15
Op.cit, Schor. hal. 273
20
dari dirinya. Dan semakin jelas pula bahwa posisi mereka
tidak sama dengan anak-anak « asli » Prancis. Padahal
pendidikan yang diterima di sekolah adalah salah satu
modal dari keberhasilan penanaman nilai-nilai kebangsaan
dalam proses integrasi mereka. Terbukti di sini bahwa
integrasi tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan
oleh pihak penerima imigran, walaupun imigran atau
keturunannya tersebut telah melewati proses yang
ditentukan untuk mencapainya.
3.3.3.3 Integrasi dan Ghetto
Dalam proses integrasi sendiri, pemisahan adalah
tahap pertama yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
integrasi. Setelah ada pemisahan oleh pihak mayoritas,
maka pihak minoritas dapat dengan jelas mengetahui tujuan
integrasi mereka. Tanpa adanya pemisahan, tidak akan
diketahui mana pihak yang diintegrasi dan mana yang
mengintegrasi.
Hal ini terlihat dalam pemisahan daerah tempat
tinggal bagi para imigran. Daerah pinggiran kota sering
dicitrakan sebagai tempat tinggal imigran. Daerah
pemukiman imigran, yang biasanya berada di pinggiran
kota-kota besar Prancis, dikenal sebagai daerah yang
« hidup », « ramai » dan « padat »16. Istilah « ghetto »
sering dipakai untuk menyebut daerah pemukiman imigran di
pinggiran kota tersebut. Pemakaian kata ghetto sendiri
menggambarkan suasana yang tidak aman, kumuh, dan
terasing17.
Melihat latar belakang sejarah kedatangan para
imigran saat industrialisasi di Prancis pada awal abad,
daerah pinggiran kota memang merupakan daerah pemukiman
bagi para buruh pabrik. Sayangnya hingga saat ini,
16
Véronique de Rudder, Christian Poiret, François Vourc’h, L’inégalité raciste, l’universalité
républicaine à l’épreuve. PUF, Paris : 2000. 17
Véronique Le Goaziou, Charles Rojzman, Les Banlieues, Le Cavalier Bleu, Paris : 2001. hal. 27
21
walaupun tidak lagi hanya imigran yang tinggal di
pinggiran kota, citra terasing dan dilupakan masih tetap
dominan pada daerah pinggiran ini. Harga jual dan sewa
rumah yang relatif lebih rendah di daerah pinggiran
daripada di tengah kota sesuai dengan kemampuan finansial
mereka yang rendah karena masalah pengangguran. Masalah
pengangguran juga merupakan salah satu masalah pelik yang
dihadapi imigran dan juga pemerintah Prancis saat ini.
Menurut data terakhir dari Francoscopie, 18% imigran dari
kelompok usia kerja menganggur, sementara orang Prancis
yang menganggur hanya 8%. Masalah pengangguran di
kalangan imigran terutama dialami oleh pria (55%). Lebih
jauh dikatakan pula bahwa hanya 7,4% imigran asal negara
Eropa menganggur, sementara imigran dari negara lain
adalah 25%, dan mereka yang berasal dari negara-negara
magribi sekitar 30%.
Murahnya harga tanah, ketidakamanan lingkungan, dan
ketidaknyamanan fasilitas umum di daerah hunian imigran
ini semakin memperjelas citra kumuh dan terasing bagi
daerah pinggiran kota.
3.3.3.4 Imigran dan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu masalah yang juga
dialami oleh anak-anak imigran. Pemerintah Prancis dengan
program ZEP (Zone d’éducation prioritaire), atau Zona
Pendidikan Prioritas, berusaha menyelesaikan masalah
pendidikan di daerah-daerah padat penduduk, dengan banyak
anak yang tidak bersekolah, dan mengalami masalah dengan
kenakalan remaja.
Walaupun tidak ada hubungan langsung antara program
ZEP dengan anak-anak imigran di Prancis, namun dengan
melihat uraian sebelumnya, daerah yang menjadi target
program ZEP adalah daerah-daerah yang umumnya ditinggali
22
oleh keluarga imigran. Yaitu daerah yang padat penduduk
dengan tingkat kriminalitas yang tinggi18.
Namun, menurut penelitian yang dilakukan INSEE,
penerapan ZEP tidak berhasil menyelesaikan permasalahan
pendidikan dan remaja di lingkungan tersebut19. Keuntungan
justru dirasakan oleh para pengajar yang menerima
fasilitas dari program ZEP tersebut. Sementara jumlah
siswa di sekolah-sekolah ZEP justru berkurang karena para
orang tua memilih untuk menyekolahkah anaknya di sekolah
lain karena tidak merasakan manfaat dari program tersebut.
Jadi sampai kini, masalah pendidikan di Prancis
untuk anak-anak imgiran masih belum terpecahkan.
Sementara kejahatan dan kenakalan remaja semakin banyak
ditemukan, terutama di lingkungan tempat tinggal para
imigran, yaitu pinggiran kota20.
Perbedaan situasi antara kota besar dan kota-kota
kecil di sekitarnya terlihat sangat jauh. Bahkan setelah
diterapkan program peningkatan mutu daerah-daerah
pinggiran kota. Program tersebut belum berhasil
menyelesaikan masalah-masalah seperti pengangguran, putus
sekolah, kesenjangan ekonomi, dan keamanan lingkungan
yang dikeluhkan warga21.
18
Ibid. hal 57 19
http://www.vie-publique.fr/actualite/alaune/zone-education-prioritaire-quels-resultats.html. Zone
d’éducation prioritaire : quels résultats ? 20
Op. cit 21
http://www.ladocumentationfrancaise.fr/rapports-publics/064000825/index.shtml
23
III. KESIMPULAN
Dari uraian mengenai situasi imigran saat ini di
Prancis, Penulis menyimpulkan bahwa model integrasi yang
diterapkan di Prancis belum berhasil menyelesaikan
masalah antar etnis di Prancis. Modèle républicain
d’intégration yang menerapkan penanaman nilai-nilai
kebangsaan secara individual kepada imigran justru
membuka kesempatan pada aksi-aksi rasisme terhadap
imigran. Hal ini terjadi karena model integrasi tersebut
bersifat kaku dan anti-perbedaan. Dengan begitu
keberhasilan proses tersebut hanyalah ilusi semata karena
standar keberhasilannya yang ditentukan secara subyektif
oleh komunitas yang menjadi tujuan integrasi tersebut.
Dengan tujuan menegakkan identitas negara bangsa,
Prancis, secara sadar maupun tidak, bersikap
diskriminatif terhadap semua perbedaan yang muncul dan
yang dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai kebangsaan
tersebut. Oleh karena itulah sampai saat ini masih
terjadi konflik dalam hubungan antar etnis di Prancis
antara para pendatang dengan warga asli.
Masih banyak permasalahan sosial, ekonomi, dan
politik yang harus dihadapi oleh imigran dan juga
pemerintah Prancis sebagai negara yang menghormati hak-
hak asasi manusia. Oleh karena itu, perbedaan hendaklah
bukan penghalang dari usaha integrasi, melainkan justru
memfasilitasi proses integrasi itu sendiri. Dengan
melakukan pendekatan komunitaris, keberadaan komunitas
etnis yang berbeda dapat dimanfaatkan untuk memudahkan
dialog antar budaya dan penanaman nilai-nilai kebangsaan
yang menjadi tujuan integrasi itu sendiri.
24
DAFTAR PUSTAKA
De Rudder, Véronique en collab. avec M. Guillon, (1987),
Autochtones et immigrés en quartier populaire,
Paris : CIEMI-L’Harmattan.
-, Poiret, Vourc’h, (2000), L’inégalité raciste,
l’universalité républicaine à l’épreuve, Paris :
Presse Universitaire de France.
Étienne, Jean, F. Bloess, J-P Noreck, J-P Roux, (1999),
Dictionnaire de sociologie, Paris : Hatier.
Le Goaziou, Véronique, Rojzman, (2001), Les Banlieues,
Paris : Le Cavalier Bleu.
Mermet, Gérard, (2003), Francoscopie 2005, Paris :
Larousse.
Poutignat, Philippe. et Jocelyn Streiff-Fenart. (1995)
Theories de l’ethnicité. Paris : Presses
Universitaires de France.
Sayad, Abdelmalek (1999), « La double absence », Les
trois âges de l’émigration. Paris : Seuil.
Schnapper, Dominique, (1991), La France de l’intégration,
Paris : Gallimard.
Schor, Ralph, (1996), Histoire de l’immigration en France
de la fin di XIXè siècle à nos jours, Paris : Armand
Collin.
Situs Internet :
www.premier-ministre.gouv.fr diakses tgl. 25 Januari 2007,
pukul 13.00 wib.
www.afrik.com/article7473.html diakses tgl. 20 Desember
2006, pukul 12.15 wib.
www.vie-publique.fr/actualité diakses tgl. 1 Februari
2007, pukul 15.00 wib.
www.ladocumentationfrançaise.fr/rapports-publics diakses
tgl 1 Februari 2007, pukul 15.30 wib.