Insomnia Review

download Insomnia Review

of 71

description

metaanlisis

Transcript of Insomnia Review

METAANALISA

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA

Kelompok 23, sub kelompok 3:

Rillawanti yunia 11310326

Rino Agustian Praja 11310328

Rio Wawan Haryanto 11310330

Riri Oktaviana 11310331

Rischa Nurachman 11310332FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG LAMPUNG TAHUN 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya lah kami dapat menuntaskan tugas metaanalisa yang diberikan oleh pihak pengajar serta shalawat dan salam tak lupa kami panjatkan hanya pada baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Tak lupa kami sampaikan ucapan banyak terima kasih kepada ibu Asri yang senantiasa membimbing kami dalam proses pembelajaran tugas metaanalisan ini hingga bisa selesai. Dan teman-teman kelompok 23 yang bias selalu diajak berbagi dalm berpikir dan menemukan solusi di dalam kesulitan-kesulitan yang kami hadapi.

Dengan diselesaikannya metaanalisa ini diharapkan bisa memenuhi tugas yang telah diberikan kepada kami dan kami sadar tugas ini mungkin masih banyak kesalahan untuk kami mohon dengan sangat kritik dan saran agar kami bias lebih bagus lagi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1TOPIK PENELITIAN

BAB 2PEMBAHASAN

BAB 3TABEL PENELITIAN

BAB 4DISKUSI

BAB 5KESIMPULAN

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

TOPIK PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA

1.1. Latar Belakang

Setiap manusia membutuhkan tidur, karena tidur merupakan bagian penting dalam hidupmanusia. Tidur juga merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Upaya apapun pada seseorang untuk bertahan tidak tidur akan bertahan dalam waktu yang terbatas, dan pada akhirnya ia akan tertidur juga. Tidur bukan hanya respon fisiologis tetapi juga dibutuhkan untuk menjaga fungsi otak agar tetap berfungsi normal (Carlson, 2002).

Melihat pentingnya tidur pada manusia, peneliti akan mengangkat topik mengenai masalah gangguan pemenuhan akan tidur,dan gangguan pemenuhan tidur yang akan dibahas adalah insomnia.

Insomnia merupakan fenomena yang dapat terjadi pada siapa saja. Waktu tidur malam (pada orang dewasa) yang seharusnya 7 jam, menjadi tidak dapat terpenuhi karena adanya insomnia. Prevalensi orang yang mengalami insomnia meningkat seiring bertambahnya usia.

Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan untuk jatuh tidur, atau mempertahankan tidur, atau bangun lebih dini (Bixler, Kalos, Soldatos, Healey, dalam Lichstein dan Morin, 2000). Faktor psikologis juga memegang kecenderungan utama dalam insomnia, insomnia disebabkan oleh ketegangan pikiran seseorang yang kemudian mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa terjaga.

Penelitian ini dilakukan untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi insomnia. Selain itu penelitian mengenai permasalahan tidur ini masih sedikit yang mengangkatnya pada penelitian di Indonesia.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penejelasan insomnia dan faktor-faktor yang mempengaruhi insomnia akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

1.2Identifikasi

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan insomnia

Untuk mengetahui faktor tersering yang dapat menyebabkan insomnia.

1.3 Tujuan Meta-Analisis

1.3.1 Tujuan UmumUntuk memenuhi salah satu tugas praktikum Blok CRP Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati tahun akademik 2014/2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan insomnia Untuk mengetahui prevalensi dan predileksi insomnia di Indonesia

Untuk mengetahui penyebab tersering pada insomnia

Agar mahasiswa dapat membandingkan jenis-jenis gangguan pola tidur

Agar mahasiswa dapat melakukan tindakan preventif terhadap insomnia baik untuk individu maupun kelompok dalam masyarakat

1.4Manfaat Meta-Analisis

Manfaat teoritis dalam Meta-Analisis ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai insomnia dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan insomnia, dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat meminimalisir angka prevalensi terjadinya insomnia. Selain itu, melalui penelitian ini dapat diketahui faktor apa yang paling banyak menyebabkan insomnia.

BAB IIPEMBAHASAN2.1. Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian.

Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi. 1Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 11. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain: 1 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi. 2Perubahan tidur akibat proses menua

Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya.

Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun. 2

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur. 2

Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua. Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3 dan 4.2.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup. 2.3 Klasifikasi Insomnia

Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik

Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene

g. Behavioral insomnia of childhood

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified (nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.4. Etiologi Insomnia Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.2.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada: 1 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.2.6 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari Sering terbangun pada malam hari Bangun tidur terlalu awal Kelelahan atau mengantuk pada siang hari Iritabilitas, depresi atau kecemasan Konsentrasi dan perhatian berkurang Peningkatan kesalahan dan kecelakaan Ketegangan dan sakit kepala Gejala gastrointestinal2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 1 Pola tidur penderita.

Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

Tingkatan stres psikis.

Riwayat medis.

Aktivitas fisik

Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh. 2Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 3 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk

b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.

Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)2.8 Tatalaksana 11. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.Terapi tingkah laku meliputi

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.

Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

Kontrol stimulus

Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.

Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.

2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.

3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).

4. Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumahBeberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa. Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur. Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari. Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur. Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin Menghindari makan besar sebelum tidur Cek kesehatan secara rutin Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine. 1a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur : 4 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)

Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) ( gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

Waktu paruh sedang, seperti Estazolam ( gejala rebound lebih ringan

Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam ( menimbulkan gejala hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction

Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and respiratory failure

Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Kontraindikasi :

Sleep apneu syndrome

Congestive Heart Failure

Chronic Respiratory Disease

Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi 5 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia. 1BAB 3

TABEL PENELITIAN

Dari 10 jurnal yang diteliti maka didapatkan table review sebagai beriku :

NoJudul PenelitianVariabel (Dependen, Independen)Jenis dan Desain PenelitianTempat PenelitianPopulasi dan SampelTeknik SamplingUji StatistikDiskusiHasil

1Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dewanata CilacapD: Penurunan Skala Insomnia, I: Pengaruh Senam LansiaJenis: Quasi Eksperimental (eksperimental semu),

Desain: pretest-posttest without control groupPanti Wredha Dewanata CilacapPopulasi: 90 orang lansia, Sampel: 90 orang lansiaTotal SamplingUji pair t test (pre-post)Luce dan Segal (1970) yang mengatakan bahwa keluhan terhadap gangguan tidur akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia karena faktor usia merupakan faktor yang terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur, efisiensi tidur semakin berkurang. Gangguan insomnia bisa terjadi karena adanya ketegangan otot, ketika seseorang mengalami stres maka beberapa otot akan mengalami ketegangan. Aktifnya saraf simpatis tersebut membuat orang tidak dapat relaks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Dengan mengikuti kegiatan senam seminggu 3 kali, responden merasa tidurnya menjadi lebih nyenyak dari biasanya dan mudah dalam mengawali tidur.Lansia yang mengalami insomnia sebagian besar berada pada kelompok umur 60-74 tahun(elderly), yaitu 9 responden (56,25%) insomnia ringan, 5 responden (31,25%) insomnia sedang, 2 responden (12,5%) insomnia berat. Derajat insomnia responden setelah diberi perlakuan senam yaitu 11 responden (68,75%) tidak mengalami gangguan insomnia, 3 responden (18,75%) dengan derajat insomnia ringan, 2 responden (12,5%) dengan derajat insomnia sedang. Nilai signifikasi (p) value dari hasil uji statistik yaitu 0.00 lebih kecil dari nilai alpha dengan t hitung 8.1705 lebih kecil dari t table dengan demikian hipotesis diterima.

2Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung 2013D: Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung 2013, I: Hubungan Shift Kerja

Jenis: Analitik Observasional, Desain: Cross-sectionalRSUD Abdoel Moeloek Bandar LampungPopulasi: Perawat Instalasi Rawat Inap RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung,

Sampel: 153 orangUji FisherShift kerja dapat memberikan beberapa efek negatif pada pekerjanya yaitu

efek fisiologis berkurangnya waktu tidur, kapasiatas fisik yang menurun akibatnya

perasaan mengantuk dan lelah, menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.

Selain itu shift kerja juga menyebabkan efek psikososial bagi pekerja yang menjadi

masalah besar karena terganggunya kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil

kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, menggangu aktivitas kelompok dalam masyarakat. Pekerja shift juga umumnya lebih banyak mengalami gangguan pola tidur dikarenakan adanya gangguan jadwal tidur (sleep wake scheduledisorders) yaitu gangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki, walaupun jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini sangat

berhubungan dengan irama tidur sirkadian normal.

Hasil penelitian, di dapatkan data perawat yang bekerja

shift 85%, dan yang non shift 15%. Shift kerja yang paling banyak menyebabkan

gangguan pola tidur pada pekerja adalah shift malam (75,8%), kemudian shift pagi (7,2%). Perawat shift yang mengalami gangguan pola tidur (84,3%) dan non shift15,6%. Perawat yang tidak mengalami gangguan pola tidur yang shift 91,7%, dan non shift. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara shift kerja dan gangguan pola tidur dengan nilai p value=0,434 dengan uji fisher.

3Judul: Faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan prevalensi kurang tidurkronis pada mahasiswa di daerah istimewa yogyakarta

Nama peneliti: Syamsumin Kurnia DewiD: insomnia

I: faktor-faktor yang berkaitanJenis: penelitian kuantitatif noneksperimental bersifat deskriptif analitik cross sectional survey.Daerah Istimewa YogyakartaPopulasi: mahasiswa dari Perguruan Tinggi Negri maupun Swasta di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, baik dengan jenjang program studi strata-1 (S1) maupun diploama III (D3).

Sampel: mahasiswa S1 atau D III yang masih terdaftar aktif di perguruan tingginya, usia 18 sampai dengan 25 tahun.Random Analisis Chi SquareMeskipun terdapat perbedaan prevalensi pada masing-masing kelompok dalam ketiga variable tersebut, namun semuanya tidak bermakna secara setatistik. Penyebab yang mungkin adalah kurangnya jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh, karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis lebih dalam tentang factor-faktor yang terkait dengan prevalensi kurang tidur pada mahasiswa dengan sampel yang lebih variatif dan jumlah yang lebih besar.Berdasarkan hasil yang diperoleh, dari 104 responden terdapat 47 orang (45,19%) yang didiagnosis menderita kurang tidur keronis. Prevalensi kurang tidur kronis pada mahasiswa laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan (Cl:95%,p>0,05). Prevalensi kurang tidur pada mahasiswa yang kuliah di bidang medis lebih tinggi dari pada yang non medis (Cl:95%,p>0,05). Prevalensi kurang tidur pada kelompok mahasiswa yang jenjang strata program studi D III lebih tinggi dari pada yang S1 (Cl: 95%, p>0,05).

4Judul: Pengaruh aromaterapi terhadap insomnia pada lansia di pstw unit budi luhur kasongan bantul Yogyakarta

Nama peneliti: Sri AdiyatiD: insomnia pada lansia

I: Pengaruh aroma terapiJenis: eksperimen

Desain: penelitian Quasi Eksperimen (penelitian eksperimen semu) Bantul YogyakartaPopulasi: lansia

Sampel: lansia yang tinggal (panti sosia tresna werda) unit budi luhur kasongan bantul yogyakartaRandomDiawali dengan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-smirnov dan shapiro-wilkResponden kelompok perlakuan saat dilakukan pre-test diketahui responden dengan derajat insomnia berat paling dominan yaitu sebanyak 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 6 orang (40,0%), insomnia derajat ringan 2 orang (13,3%), sedangkan pada kelompok kontrol setelah dilakukan pre-test didapatkan responden dengan insomnia derajat berat yaitu sebanyak 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 5 orang (33,3%), insomnia derajat ringan 3 orang (20,0%). Kelompok perlakuan diberi aroma terapi lavender diketahui selisih Mean derajat insomnia post-test sebesar 3,733, yaitu Mean derajat insomnia pre-test sebesar 12,27 dan Mean derajat insomnia post-test 8,53.Dari hasil uji Independen sampel t Test dengan nilai t -2,024 dengan nilai probabilitas sig.(2-tailed) 0,053. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia post-test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

5Hubungan kejadian premenstrual syndrome (PMS) dengan kejadian insomnia pada mahasiswi fakultas kedokteran unlam banjarmasinD: kejadian insomnia

I: Kejadian premenstrual syndrome (PMS)Jenis: observasional analitik

Desan penelitian: cross-sectional

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (FK UNLAM) BanjarmasinPopulasi: 58 orang

Sampel: 58 orangTeknik totally samplingUji Chi-Squarepada penelitian ini didapatkan juga 17 orang penderita PMS yang tidak mengalami insomnia pada penderita PMS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya faktor risiko penyebab insomnia yang tidak dikendalikan antara lain, kecemasan (anxietas) dan depresi, yakni sampel tidak dikelompokkan berdasarkan angkatan yang secaratidaklangsungberhubungandengantingkatkecemasandandepresiantarmasing-masingangkatan yang mungkinberbeda. MenurutBuysse (2004) keterkaitandepresidengan insomnia didugaberhubungandenganadanyapenurunankadar serotonin padapenderitadepresi. Serotonin berperanpentingdalampengontrolan onset danpemeliharaantidurseseorang. Hal inidibuktikandenganadanyahasilpenelitianInamet al yang menunjukkanpersentasegejaladepresipadamahasiswadenganmasastudisatutahun (59,3%), duatahun (65,6%), tigatahun (34,4%), danempattahun (37,2%) (18,19).

Selain depresi, kecemasan (anxietas) juga berpengaruh terhadap timbulnya gejala insomnia.Menurut hasil chi-square menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian PMS dengan kejadian insomnia. Nilai OR sebesar 2,38 dapat juga diinterprestasikan dengan

menggunakan rumus, p = OR/(1+OR), sehingga didapatkan 70,4 %. Nilai ini menandakan bahwa kemungkinan penderita PMS untuk mengalami insomnia sebesar 70,4% dibandingkan mereka yang tidak menderita PMS.

Pada penelitian ini didapatkan 5 orang bukan PMS yang mengalami insomnia. Hal ini kemungkinan dapat muncul bila seseorang mengalami insomnia primer, yaitu insomnia yang tidak terkait dengan kondisi medis, gangguan mental (misalnya, gangguan depresi mayor, ansietas, atau delirium), gangguan tidur lainnya (seperti narkolepsi, breathing-related sleep disorder, gangguan irama sirkardian tidur, atau parasomnia) maupun gangguan berupa perubahan fisiologi akibat hormonal dan zat. Insomnia jenis ini dialami sekitar 1,3% - 2,4% dari populasi orang dewasa (17).

6Hubungan faktor resiko depresi dengan terjadinya insomnia primerD: insomnia primer

I: faktor resiko depresiJenis: Analitik

Desain penelitian: case controlWestern industrialized countriesPopulasi: 8 kelompok orang RandomUji Chi-squaredata base yang berkembang menunjukkan bahwa1996) memandang muda (21-30 tahun) mata pelajaran. terjadinya gejala insomnia terisolasi untuk Kedua penelitian yang digunakan diagnosa formal (DSM-III, jangka waktu lebih dari 2 minggu pada suatu titik waktu tertentu adalahmasing DSM-III-R). Definisi insomnia adalah prediktif untuk risiko depresi meningkat padasebanding. Vollrath et al. tidak menemukan berikut signifikan 1-3 tahun. Hal ini berlaku ketika melihatasosiasi insomnia pada awal dengan peningkatan jumlah penduduk dewasa atau ketika melihat depresi dalam 2 tahun. Studi menggunakan 1-3 tahun (1996) dijelaskan bahwa subyek dengan tindak lanjut, bagaimanapun, tidak dapat sepenuhnya mengecualikan bahwainsomnia dan depresi tidak ada pada awal memiliki insomnia peluang pada awal hanya sebuah prodrome awalrasio untuk depresi pada tiga tahun tindak lanjut berikutnya depresi. Dua penelitian yang disebutkan di atas3,95 yang secara statistik signifikan. dengan interval tindak lanjut yang panjang menunjukkan, bagaimanapun, bahwaTiga studi (Livingston et al, 1993;. Brabbins et susah tidur bahkan dapat bertindak sebagai prediktor independenal, 1993.; Foley et al., 1999) menyelidiki isu untuk mengembangkan dekade depresi kemudian.minat yang lebih tua ($ 65 tahun) mata pelajaran. Studi Penutup, diasumsikan bahwa dalam studi masa depan itusebanding sehubungan dengan desain. Metode bernilai menyelidiki keterkaitan antarauntuk mengukur depresi dan insomnia berbeda insomnia sebagai risiko faktor / prediktor untuk mengembangkansetiap studi. Hanya studi Livingston et depresi dalam jangka panjang. Ini akan sangat menunjukkan rasio odds yang 3,22 untuk berharga untuk melakukan studi intervensi termasuksubyek dengan insomnia dan depresi tidak ada pada awal awal perawatan yang memadai insomnia, baik dengan nonuntuk depresi di follow-up. Brabbins et al. (1993) farmakologis atau metode farmakologis. Inidisimpulkan bahwa subjek yang insomnia yang dikirimkan bisa layak dalam kerangka sebuah epifromdasar untuk menindaklanjuti kurang depresi pada studi demiological melihat saja insomniatindak lanjut. Subyek dengan kejadian atau insomnia stabil untuk jangka waktu 5 tahun atau lebih dengan tahunantingginya tingkat depresi pada follow-up. Foley et ment poin dan menawarkan intervensi untuk subpopulaal.(1999), meskipun tidak menunjukkan angka yang tepat, menyatakan tions dari subyek menderita insomnia. Followthatorang dengan insomnia pada awal kemudian tiga harus mampu menjelaskan jika berhasilkali lebih mungkin untuk melaporkan depresi pada follow-up subyek diobati memiliki risikDari 8 sampel kelompok orang yang diidentifikasi ada faktor resiko depresi didapatkan hasil rata rata mengalami insomnia. Dan gejala lainnya seperti gelisah, menyendiri, sering melamun. Kualitas tidur menjadi menurun yang normalnya tidur 8 jam menjadi kurang dari 3 jam dalam sehari. Penelitian memanfaatkan DIS- wawancara untuk DSM-III diagnosis dan diidefinisikan sebagai keluhan insomnia yang berlangsung selama minimal 2 minggu dalam 6 bulan terakhir sebelum wawancara.

7Penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia

Winda Ayu BestariD : masa lalu

I : insomniaKuantitatif korelational, statistikKecamatan Krayan kabupaten Nunukan Kalimantan TimurPopulasi : lansia sebanyak 140 orang

Sample : Lansia sebanyak 103 orangnonrandomChi-squareDari hasilpenelitianmenunjukkanbahwaadapengaruhdaripenerimaanmasalaluterhadap insomnia padalansia di kecamatanKrayankabupatenNunukan. Dimanapengaruh yang daripenerimaanmasalaluterhadap insomnia padalansia yang ditemukandalampenelitianiniadalahbersifatnegatif. Semakintinggipenerimaanmasalalu, maka insomnia semakinrendah. Sebaliknya, semakinrendahpenerimaanmasalalu, maka insomnia semakintinggi. Hasilpenelitianinisesuaidengan yang dikatakanolehEpsiebahwaseoranglansiadengantingkatpenerimaanmasalalu yang rendahcenderungmemilikitingkat insomnia yang tinggi. Hal inidisebabkankarenalansiatidakmaumenerimamasalalunyasehinggalansiamelakukan proses berpikirpadamalamdansianghari. Dimana proses berpikir yang dilakukanakanmengaktifkansistemsarafsimpatiksehinggamemicugairahfisiologisserta rasa kesulitandidalamdirilansia. Hal itumenyebabkanterjadinyakecemasan, sehinggamenyebabkanlansiakesulitanuntukmemulaitidurdankesulitanuntukmempertahankantidur (dalamPallesanet al., 2002).Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebesar 39,4% pengaruh dari penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia. Sedangkan 60,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

8Stresor kerja dan insomnia pada petugas pemadam kebakaran di jakarta selatanStressor dan insomniaDeskriptif kategorik-kategorik cross sectionalJakarta SelatanP: Petugas yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi

S: petugas yang memenuhi criteria inklusi

Cross sectional(Chi-square atau Fishers exact

test dan penghitungan rasio odds)Penelusuran kepustakaan tidak menemukan prevalensi

insomnia pada populasi petugas pemadam kebakaran.

Walaupun demikian, prevalensi insomnia pada penelitian ini

lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa pekerjaan

lain seperti polisi di Amerika Serikat (6,5%),12 pengemudi bis di Finlandia (18,9%),13 dan populasi pekerja pada umumnya

di Korea (32,9%).7 Namun penelitian terhadap pegawai negeri sipil di Jepang menemukan prevalensi insomnia yang lebih

tinggi yaitu sebesar 54,6%.6 Menurut berbagai kepustakaan,

terjadinya insomnia dihubungkan dengan stres, ansietas,

kelainan psikiatrik lainnya, obat-obatan, kafein, dan lingkungan.

Stres merupakan salah satu pemicu yang cukup sering

menimbulkan insomnia, sedangkan pencetus stres adalah: tekanan/beban dalam pekerjaan, masalah keluarga atau perkawinan, musibah kematian dalam keluarga.14 Salah satu reaksi yang terjadi pada seseorang dalam kondisi kerja penuh stres adalah perubahan perilaku, di antaranya insomnia.2,9,18

Di antara berbagai aspek stresor kerja, yang sudah terbukti

merupakan pencetus insomnia adalah tuntutan dan beban

pekerjaan yang tinggi, konflik intra-grup dan kurangnya

kesempatan kerja.Penelitian ini menemukan prevalensi insomnia pada

petugas pemadam kebakaran cukup tinggi yaitu sebesar

42,9%. Faktor-faktor yang ditemukan berhubungan dengan

terjadinya insomnia adalah beban kerja berlebih baik kualitatif

maupun kuantitatif dan lokasi tempat tinggal dekat dengan

sumber bising. Penatalaksanaan stressor kerja yang memadai

diperlukan sebagai pencegahan insomnia.

9Pengaruh faktor faktor psikososial dan insomnia terhadap depresi pada lansia di kota yogyakartaD : faktor faktor psikososial dan insomnia

I : depresiJenis :Cross sectional

Design : potong lintangKecamatan mergangsan dan wirosaban, yogyakartaPopulasi : 128 0rang usia lanjut

Sample : 128 orang usia lanjutwawancararandomPada penelitian ini secara statistik didapatkan perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap depresi (p