Inhibisi Rabies Dengan RNAi

23
1 INHIBISI REPLIKASI VIRUS RABIES MELALUI RNA INTERFERENCE (RNAi) Vidya Irawan, DVM, M.Sc Pendahuluan Rabies merupakan penyakit zoonosis yang berbahaya dikarenakan dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Rabies disebabkan oleh virus rabies yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Virus ini bersifat neutrotrofik dimana neuron merupakan target seluler utamanya dan infeksi virus ini bersifat fatal pada hewan berdarah panas (Kristensson et al., 1996). Di Indonesia, penyakit rabies dilaporkan pertama kali terjadi pada kuda di bekasi oleh Schorl tahun1884. Tahun 1889 Esser melaporkan kejadian rabies pada kerbau. Tahun 1980 Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di Tangerang. Kemudian kasus pada manusia di Cirebon oleh de Haan tahun 1894 (Hadjosworo, 1984). Pada tahun 2000-2004, beberapa provinsi di Indonesia masih dinyatakan tertular rabies, yaitu Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I, 2000), Sumatera Barat, Riau, Jambi (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II, 2000); Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan (Marfiatiningsih dan Hassan, 2000), Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Hadi et al., 2003), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Faizal et al., 2004), serta di Bali (Central for Disease Control, 2008). Prevalensi rabies di Indonesia yang terus meningkat dan bersifat sebagai re-emerging disease diperlukan perhatian yang lebih baik dari segi penanganan dan kontrolnya. Kejadian rabies dimana hewan dan manusia terlambat untuk dilakukan post eksposure vaksinasi ataupun pemberian serum anti rabies dapat menyebabkan kematian. Hal ini memacu untuk ditemukan antiviral yang dapat mengatasi kejadian rabies post eksposur yaitu dengan cara menghambat replikasi

description

RAbies

Transcript of Inhibisi Rabies Dengan RNAi

Page 1: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

1

INHIBISI REPLIKASI VIRUS RABIES MELALUI

RNA INTERFERENCE (RNAi)

Vidya Irawan, DVM, M.Sc

Pendahuluan

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang berbahaya dikarenakan dapat

menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Rabies disebabkan oleh virus

rabies yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Virus ini

bersifat neutrotrofik dimana neuron merupakan target seluler utamanya dan

infeksi virus ini bersifat fatal pada hewan berdarah panas (Kristensson et al.,

1996).

Di Indonesia, penyakit rabies dilaporkan pertama kali terjadi pada kuda di

bekasi oleh Schorl tahun1884. Tahun 1889 Esser melaporkan kejadian rabies pada

kerbau. Tahun 1980 Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di Tangerang.

Kemudian kasus pada manusia di Cirebon oleh de Haan tahun 1894 (Hadjosworo,

1984). Pada tahun 2000-2004, beberapa provinsi di Indonesia masih dinyatakan

tertular rabies, yaitu Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Balai

Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I, 2000), Sumatera Barat, Riau, Jambi (Balai

Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II, 2000); Bengkulu, Lampung, dan Sumatera

Selatan (Marfiatiningsih dan Hassan, 2000), Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Timur (Hadi et al., 2003), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Faizal et al.,

2004), serta di Bali (Central for Disease Control, 2008).

Prevalensi rabies di Indonesia yang terus meningkat dan bersifat sebagai

re-emerging disease diperlukan perhatian yang lebih baik dari segi penanganan

dan kontrolnya. Kejadian rabies dimana hewan dan manusia terlambat untuk

dilakukan post eksposure vaksinasi ataupun pemberian serum anti rabies dapat

menyebabkan kematian. Hal ini memacu untuk ditemukan antiviral yang dapat

mengatasi kejadian rabies post eksposur yaitu dengan cara menghambat replikasi

Page 2: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

2

virus yang tentunya didukung dengan pencegahan apoptosis sel neuronal untuk

mengatasi disfungsi neuronal itu sendiri. Salah satu cara untuk menghambat

replikasi virus adalah dengan teknik RNA interference (RNAi) dimana terjadi

proses ikatan molekul efektor pasangan yang mRNA yang komplemen,

menyebabkan degenerasi gene target atau mencegah translasi sehingga tidak

terjadi sintesis protein.

Virus Rabies

Virus rabies merupakan virus single-stranded RNA negatif, linear,

berukuran 75 x 180 nm, ukuran genome RNA yaitu 11 kb (van del Pol, 2006).

Virus rabies memiliki virion beramplop, berbentuk batang dan memiliki lima

protein yaitu nukleoprotein N (50 kDa) yang menyelubungi RNA yang berbentuk

heliks berfungsi sebagai nukleocapsid dan berasosiasi dengan large protein yaitu

RNA-dependent RNA polymerase L (220 kDa) dan co-faktor phosphoprotein P

(33kDa). Diantara nukleocapsid dan amplop yang berupa membran lipoprotein

terdapat matrix protein M (22 kDa) dan di amplop terdapat glycoprotein G (62

kDa) yang membentuk spike (gambar 1) (Gaudin, 2000; Carter dan Saunders,

2007).

Gambar 1. Komponen virion rabies. Virus berbentuk batang, memiliki amplop,

dengan genome RNA berbentuk simentris heliks, dan memiliki

komponen virion yang mengandung lima protein yaitu nukleoprotein (N),

phosphoprotein (P), large protein (L), matrix protein (M), dan

glycoprotein (G) (Carter dan Saunders, 2007).

Page 3: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

3

Tabel 1. Strain pada virus rabies berdasarkan sequence genome (Wunner, 2007).

Patogenesis Rabies

Infeksi rabies dapat terjadi akibat gigitan hewan seperti anjing, kucing,

kelelawar dan lain-lain yang salivanya mengandung virus rabies. Setelah

terinfeksi virus rabies, hewan akan meperlihatkan gejala klinisnya yang dapat

dibagi menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Pada stadium

prodromal, hewan mulai mencari tempat yang dingin, gelap, menyendiri, refleks

kornea berkurang, pupil melebar, dan hewan terlihat acuh dengan tuannya. Pada

stadium eksitasi, hewan mulai agresif, menyerang hewan lainnya atau manusia

yang dijumpainya, dan hipersalivasi. Pada stadium paralisis, hewan mengalami

kesulitan menelan, sempoyongan, lumpuh,dan akhirnya mati (Sidharta dan

Serosa, 1995).

Melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies, virus memiliki akses untuk

masuk dari saliva ke dalam muskulus ditempat gigitan. Virus akan mengalami

replikasi di sel otot sampai dapat memenuhi konsentrasi yang cukup untuk

mencapai ujung saraf motoris terdekat (Lewis et al., 2000). Protein G pada virus

berikatan dengan reseptor nikotinik asetilkolin, neural cell adhesion molecule

Page 4: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

4

(NCAM) reseptor, dan p75 neurotrophin reseptor pada neuromuscular junction

dan menginfeksi sistem nervus (Jackson, 2007). Menurut Etessami et al. (2000)

glycoprotein virus rabies berperan penting dalam infeksi virus ke neuron.

Saat menginfeksi sistem nervus, pergerakan virus terjadi secara ascending

dan descending. Infeksi neuronal secara ascending terjadi saat virus bergerak ke

sistem saraf pusat yaitu menuju medula spinalis kemudian ke otak (Jackson,

2007). Penyebaran virus dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat melalui

transport akson yang cepat dengan kecepatan 12-100 mm per hari (Tsiang et al.,

1991) melalui ikatan protein P virus rabies dengan transport neuron yang bersifat

retrograde yaitu LC8 Dynein light chain (Raux et al., 2000).

Gambar 2. Gambaran transport axonal virus rabies secara retrograde melalui LC8

Dynein di dalam neuron. (A) secara normal transport LC8 Dynein

melalui mikrotubulus berperan mengangkut mitokondria (Cai dan

Sheng, 2009), (B) bentuk Dynein dan bagian LC8 (Hirokawa et al.,

2010) dan (C) transport virus rabies secara retrograde dengan LC8

Dynein (Sodeik, 2000).

Saat virus mencapai sistem limbik di otak, virus mengalami replikasi

secara ekstensif dan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa perilaku yang

ganas. Virus menyebar dari sistem limbik secara descending dari sistem saraf

pusat ke nervus perifer menuju beberapa organ seperti korteks adrenal, pankreas,

dynein

A B

C

- +

Page 5: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

5

dan pada sel mukosa glandula saliva. Saat virus telah menyebar dan berreplikasi

di neokorteks menyebabkan terjadi perubahan perilaku menjadi depresi, koma,

dan mati biasanya akibat gangguan respirasi. Dari neokorteks kemudian virus

akan mengalami pergerakan secara descending ke glandula saliva dan bila hewan

yang terkena rabies menggigit manusia atau hewan lain maka manusia atau hewan

tersebut terinfeksi rabies (Murphy et al., 1999)

Gambar 3. Gambaran singkat patogenesis rabies. Anjing yang menderita rabies

dapat menualarkan ke manusia taua hewan lain melalui gigitan (Jackson, 2007).

Gejala klinis yang muncul pada penderita rabies diduga akibat adanya

down-regulasi maupun up-regulasi dari ekpresi protein pada hospes akibat

aktivitas virus rabies di neuron baik bersifat menguntungkan bagi virus maupun

sebagai mekanisme pertahanan dari sel itu sendiri dalam menghadapi virus

(Prosniak et al., 2000). Melalui gambaran patohistologi, infeksi rabies

menyebabkan perivasculer cuff, terdapat inclution bodies, apoptosis maupun

Page 6: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

6

degenerasi neuronal (Jackson dan Rossiter, 1997; Theerasurakarn dan Ubol, 1998;

Li et al., 2005).

Tabel 3. Gene CNS hospes yang terinduksi virus rabies (Prosniak et al., 2000).

Siklus Replikasi Virus Rabies

Virion akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel dan masuk ke

dalam sel melalui clathrin-mediated secara endositosis. Protein G atau spike pada

virus berperan penting dalam ikatan terhadap reseptor dan fusi pada membran.

Setelah endositosis, nucleocapsid dibebaskan ke sitoplasma melalui fusi antara

membran dan endosom (Finke dan Conzelmann, 2005).

Page 7: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

7

Gambar 4. Perlekatan dan masuknya virion rabies ke dalam sel. Virus rabies

masuk ke dalam sel melalui clathrin-mediated secara endositosis, kemudian RNA

yang berasosiasi dengan nukleocapsis, phosphoprotein dan large protein

dibebaskan ke sitoplasma setelah terjadi fusi antara membran virus dan endosom

(Carter dan Saunders, 2007).

Genome virus mulai ditranskripsi setelah RNA yang berasosiasi dengan

nukleocapsis (N), phosphoprotein (P) dan large protein (L) bebas di sitoplasma.

Kompleks RNA-dependent RNA polymerase protein L dan P bergerak pada

template RNA virus rabies strand negatif dari 3’ menuju 5’ dan mensintesis

molekul RNA baru yaitu mRNAs. Setiap mRNA akan dipoliadedenilasi dengan

poly(A) polymerase dan di capping dengan enzim-enzim yang berasal dari

nukleus sel hospes. Polimerase dan enzim lainnya (tabel 1) akan berasosiasi

dengan protein L dan hanya aktif bila kompleks protein L dan P memiliki rasio

1L:3P (Carter dan Saunders, 2007).

Gambar 5. Organisasi genome dan transkripsi RNA. Genome RNA negatif

ditrasnkripsi menjadi enam RNA strand positif yang terdiri dari satu leader RNA

dan lima mRNAs. Transkriptase merupakan komplek protein L dan P (Carter dan

Saunders, 2007).

L

Page 8: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

8

Tabel 2. aktivitas enzim yang berasosiasi dengan protein L virus rabies (Carter

dan Saunders, 2007).

Enzim Fungsi

RNA-dependent RNA polymerase Transkripsi dan Replikasi RNA

Methyl transferase Capping mRNAs

Guanylyl transferase Capping mRNAs

Poly(A) polymerase Poliadenilasi mRNAs

Kinase Fosforilasi P

Genome dengan strand negatif juga akan direplikasi dengan kompleks

enzim protein L dan P dan tersintesis komplemennya yang berupa RNA positif.

Saat replikasi, enzim berasosiasi dengan template dan memproduksi genome

positif sehingga sel-sel yang terinfeksi dapat terdeteksi sebagai virus strand

positif. Inisisasi sintesis RNA ini tidak memerlukan primer. RNA positif yang

baru disintesis akan secara cepat terselubungi oleh protein N sehingga diproteksi

dari aktivitas ribonuklease, berbeda dengan mRNA yang tidak terselubungi

dengan protein N. Kemudian akan direplikasi lagi sehingga terbentuk template

RNA negatif. Beberapa kopi RNA negatif ini akan digunakan sebagai template

untuk transkripsi tahap kedua (Carter dan Saunders, 2007).

Gambar 6. Replikasi genome dan transkripsi tahap kedua (Carter dan Saunders,

2007).

Page 9: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

9

Protein virus akan ditranslasi di ribosom bebas kecuali protein G yang

ditranslasi di retikulum endoplasma kasar. Protein P dan G akan mengalami

modifikasi post-translasi. Protein P akan mengalami fosforilasi oleh aktivitas

enzim kinase dan protein G akan mengalami penambahan monosakarida dan

menjadi komplit di kompleks golgi (Carter dan Saunders, 2007).

Gambar 7. Translasi dan modifikasi protein post translasi. Hasil translasi berupa

protein N, P,M, L, dan G. Pada protein P dan G terjadi modifikasi Carter dan

Saunders, 2007).

Genome RNA strand negatif yang disintesis akan langsung diselubungi

oleh protein N. RNA dengan protein N dan telah memiliki kompleks protein L

dan P akan mendapat menambahan protein M dan menyelubungi nucleocapsid.

Perlekatan protein M pada protein membran sel hospes berperan penting dalam

proses keluarnya virion dari membran plasma sel. Bagian tempat virion menempel

dan akan keluar juga telah mengalami modifikasi dengan adanya penyisipan

protein G di membran sel (Carter dan Saunders, 2007).

Gambar 8. Perakitan virus rabies yang terdiri dari genome hasil replikasi berupa ss

RNA (-) dan protein N, P,L dengan diselubungi protein M dan saat keluar

Page 10: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

10

medapatkan amplop dari lipoprotein membran serta protein G yang telah

terekpresi di permukaan membran sel (Carter dan Saunders, 2007).

Gambar 9. Gambaran singkat proses masuk, replikasi dan keluarnya virus rabies

di dalam neuron dan bergerak secara retrograde dari perifer ke sistem syaraf pusat

(van den Pol, 2006).

RNA Interference (RNAi)

RNA interference merupakan suatu mekanisme yang terjadi secara alami

dan normal di dalam tubuh yang berhubungan terhadap suatu proses proteksi

secara genomik dengan menghambat sintesis suatu protein. Mekanisme ini

dikenal dengan post-transcriptional gene silencing dan dikembangkan menjadi

suatu metode terapi gene yang potensial, selain itu juga digunakan untuk

mempelajari fungsi dan regulasi gene (David et al., 2010).

Page 11: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

11

RNAi pathway

Jalur RNAi berlokasi di sitoplasma sel dan dapat dibagi menjadi 2 tahap

yaitu: tahap inisiasi (pembentukan molekul efektor) dan tahap subsequence

efektor (mekanisme RNAi yang sebenarnya). Molekul efektor pada RNAi terbagi

menjadi 2 grup yaitu small interfering RNA (siRNA) yang terdiri dari 21-23

segmen nukleotida dsRNA dengan 3 nukleotida yang overhang, dan micro RNA

(miRNA) yang terdiri dari 22 segmen nukleotida dsRNA (Bartel, 2004; Meister

dan Tuschl, 2004; Tang, 2005; Aiger, 2007; Lu dan Woodle, 2008)

Pembentukan siRNA dimulai disitoplasma yang membelah menjadi

dsRNA yang panjang oleh Dicer (multidomain enzim dari family RNase III).

Sedangkan pembentukan miRNA dimulai di nucleus dimana secara endogenous

dikode primer transkripsi awal miRNA (pre-miRNA) yang kemudian ditransport

ke sitoplasma dan dipecah oleh Dicer. Pada tahap efektor, siRNA atau miRNA

akan dirakit menjadi RNA-inducing silencing complexes (RICS). Aktivasi RICS

mengandung satu single-standed (antisense) siRNA atau miRNA, yang memacu

RISC ke mRNA target yang komplemen dengannya dan menginduksi pembelahan

pada sisi spesifik pada mRNA. Sedangkan miRNA tidak menyebabkan degradasi

pada gene komplemennya namun menyebabkan translation repression. Namun

baik siRNA mauapun miRNA menghambat sintesis protein (Bartel, 2004; Meister

dan Tuschl, 2004; Tang, 2005; Aiger, 2007; Lu dan Woodle, 2008)

Tabel 3. Perbedaan antara siRNA dan miRNA (Love et al., 2008).

Page 12: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

12

Gambar 10. Biosynthetic pathway short hairpinRNA dan microRNA. Dalam proses ini

dibantu oleh enzim seperti Drosha (RNAseIII family), Exportin 5–Ran-GTP, dan Dicer

(RNAseIII family). miRNA dan shRNA ditrankripsi di nucleus. miRNA diproduksi dari

pri-pre-miRNA dan diproses oleh RNaseIII Drosha menjadi pre-miRNA. Kemudian pre-

miRNA mapun shRNA akan diekpor ke luar menuju sitoplasma melalui pori nucleus

melalui kompleks exportin 5-Ran-GTP. Setelah bebas ke sitoplasma, akan diproses lagi

oleh RNase III lain yaitu Dicer. Dicer menyebabkan terbaginya bentukan double stranded

menjadi single dalam bentuk miRNA atau siRNA. Kemudian miRNA atau siRNA yang

berikatan dengan sequencenya sebagai RNA-inducing silencing complexes (RICS)

(Pekarik, 2005).

Gambar 11. Endogenous dan exogenous RNAi. Endogeous diperankan oleh pri- miRNA

yang disintesis genome pol II yang akhirnya menjadi miRNA, sedangkan eksogenous

oleh shRNAmiR atau shRNA yang diintesis pol II arau pol III, yang mimic dengan pri-

miRNA dan pre-miRNA yang akhirnya menjadi siRNA. Keduanya bersifat silencing (Lee

dan Kumar, 2009).

Page 13: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

13

Gambar 12. Cara kerja RNAi sebagai silencing. (A) siRNA yang awalnya double

stranded (ds) akan menjadi single stranded (ss) dan menempel pada komplemennya dan

menyebabkan mRNA yang ditembelin terpecah sehingga sinteisis protein tidak terjadi.

siRNA memiliki kemampuan endonucleolytic cleavage. (B) miRNA juga bersifat

silencing dengan berikatan pada mRNA yang komplemen sehingga tidak dapat ditranslasi

dan tidak terjadi sintesis protein (Love et al., 2008).

Strategi untuk aplikasi RNAi

Terdapat beberapa cara untuk aplikasi RNAi yaitu (1) tranfeksi RNAi ke

sel, dan RNAi yang ditranfeksi diharapkan akan menjadi RISC yang dapat

mendegradasi mRNA target, (2) melalui vektor plasmid, pada nukleus

diharapkan terjadi trankripsi shRNA atau pre-miRNA dan akan diproses dan

diekpor ke sitoplasma menjadi RISC, (3) dengan vektor viral DNA (Davidson

dan Paulson, 2004).

Gambar 13. Strategi aplikasi RNAi melalui tranfeksi ke sel, vektor plamid, dan vektor

viral (Davidson dan Paulson, 2004).

Page 14: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

14

Dalam sistem aplikasi RNAi baik melalui siRNA maupun miRNA

terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan yaitu dari ukuran RNAi, ukuran

vektor, vektor yang digunakan, cara aplikasi, sistem proteksi agar siRNA yang

dibawa tidak di degradasi, eliminasi, distribusi yang tidak spesifik, serta

internalisasi (David et al., 2010).

Gambar 14. Gambaran umum aplikasi RNAi melalui vektor virus yang

dimasukkan secara intra parentral melalui darah menuju ke organ target, virus

mengalami internalisasi, ditrankripsi siRNA di inti, ditranfer ke sitoplama,

kemudian menjdai RISC yang komplemen dengan mRNA targetnya, sehingga

terjadi silencing (David et al., 2010).

Penghambatan replikasi virus rabies dengan RNAi

Penghambatan replikasi virus rabies dengan RNAi merupakan suatu

strategi terapi yang sangat potensial terutama akibat kegagalan tindakan vaksinasi

rabies post ekposure. Namun dengan otak sebagai targetnya, faktor seperti blood

barrier brain (BBB) harus diperhatikan. Aplikasi dsRNA tidak dapat melewati

BBB, sehingga dikembangkan metode baru dengan artificial miRNA (amiRNA)

yang ukurannya lebih kecil (Israsena et al., 2009).

Page 15: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

15

Gambar 15. Gambaran ideal aplikasi RNAi dengan organ target otak. Melalui miRNA

diharapkan dapat menghambat sintesis suatu protein dari mRNA (Boudreaua dan

Davidson, 2010).

Penghambatan Replikasi melalui artificial miRNA secara in vitro

Protein N merupakan protein yang penting dalam melindungi genome

virus saat replikasi agar tidak didegradasi oleh RNase. Dengan menghambat

sintesis protein N diharapkan replikasi dapat terhambat. Oleh karena itu, mRNA

protein N dapat meruapakan target yang potensial dapat aplikasi artificial miRNA.

Berikut adalah metode penelitian tentang penghambatan replikasi

virus rabies melalui artificial miRNA secara invitro oleh Israsena et al.

(2009). Dengan metode ini masih terus dapat dikembangkan misalnya dengan

pemilihan vektor yang tepat yang sesuai bagi hospes dan mampu menembus BBB

melalui penelitian secara in vivo.

Materi dan metode (oleh Israsena et al., 2009)

1. Sel dan virus

Sel yang digunakan untuk kultur yaitu sel Neuro2A (ATCC cat no. CCL-

131), dengan media HyQ MEM/EBSS (Hyclone) yang ditambahkan 10% fetal

bovine serum, 2mM L-glutamine, 1,5 g/l NaHCO3, 1 Mm Sodium Pyruvate, 1 x

Non-Essential Amino acid (NEAA), 100 U penicillin/ ml, dan 100 μg

strptomycin/ml , yang diinkubasi pada suhu 37°C, 5% CO2.

Page 16: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

16

Virus rabies yang digunakan adalah RV challenge virus strandard (CVS)-

11, HEP flurry GFP fixed strain, dan street virus. Tissue Culture Infeksi Dose 50

(TICID50) yaitu 105, dalam penelitian digunakan 10 atau 100 TCID50.

2. Plasmid

Sequence gene target virus rabies dapat didesain menggunakan miRNA

design algorithm (http://rnaidesigner.invitrogen.com/rnaiexpress/).

Gambar 16. desain miRNA virus rabies. Lokasi artificial miRNA yang akan berasosiasi

dengan mRNA virus yang akan dikode (Israsena et al., 2009).

Komplementari ssDNA oligo yang mengkode pre-miRNA disintesis,

anneling, dan diklon menjadi pcDNA6.2-GW/EmGFP-miR (Invitrogen). Pol II

miR RNAi diekpresikan oleh vektor yang mengandung spesifik miR-155 flanking

sequence. Agar menghasilkan rantai miRNA dalam satu transkripsi awal, miRNA

cassettes dari plasmid donor dieksisi dengan enzim restriksi, BamH1 dan Xho1.

Gambar 17. Gigram skema tentang strategi kloning untuk kombinasi miRNA cassettes

menjadi satu pre-miRNA transkripsi (Israsena et al., 2009).

Page 17: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

17

3. Transfeksi miRNA dengan plasmid ekpresi

Sebelum ditranfeksi, kultur Neuro2A ditumbuhkan selama 24 jam.

Kemudian baru ditranfer miRNA plasmid. Plasmid DNAs dicampurkan dengan

lipofectamine 2000 (Invitrogen) dengan rasio 1:1 (1μl lipofectamine 2000 per 1μg

DNA) dalam opti-MEM medium (Invitrogen). Campuran ini dirambahkan ke

dalam kultur Neuro2A (plated 1 x 105 sel per sumuran dalam 24 sumuran plate).

4. Viral challenges assay

12 jam setelah transfeksi, 10 atau 100 TCID50 dari stok virus ditambahkan

ke sel pada tiap sumuran. Perubahan pada media terlihat 6 jam inkubasi pada

37°C. RNA diisolasi 24, 48, dan 72 jam setelah ditantang dengan virus.

5. Isolasi RNA

Total RNA diisolasi dari sel setelah 24, 48, dan 72 jam setelah infeksi

dengan menggunakan RNeasy mini kit (Qiagen). Supernatan kultur di panen

setelah 48 jam, dan RNA dari cairan supernatan dipurifikasi menggunakan

QIAamp viral RNA mini kit (Qiagen) berdasarkan petunjuk manufaktur.

6. Kuantifikasi genome virus dan trankrip

a. RT

Reverse transkripsi dilakukan menggunakan M-MLV reverse transcriptase

(Promega) dengan 4μl dari toral RNA yang diisolasi dari sel/ supernatan yang

diinfeksi (20ng/μl). Oligo dT digunakan sebagai primer RT untuk deteksi mRNA.

Primer RT yang digunakan untuk deteksi genome viral yaitu

5’-AGAAGGATCGTGGAGCACCATACTCTCA-3'

b. Real-time PCR

4μl cDNA ditambahkan ke dalam 10μl QuantiTect SYBR green PCR

master mix (Qiagen), 0.5 μl dari 20μM forward primer, 0.5μl dari 20 μM reverse

primer, 5μl RNase-free water. Profil thermal cycling yang digunakan yaitu 95°C 1

Page 18: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

18

menit, diikuti 40 siklus amplisikasi (95°C 15 menit, 55°C 20 detik, dan 72°C

selama 30 detik). Untuk CVS gene N digunakan forward primer

5’CTGGCAGACGACGGAACC-3’ dan reverse primer 5’-

CATGATTCGAGTATAGACAGCC-3’. Untuk HEP-flurry gene N digunakan

forward primer 5’-CTGGCAGATGACGGAACT -3’ dan dan reverse primer 5’-

CATGATTCGAGTATAGAC-AGCT-3’. Untuk deteksi genome viral digunakan

forward primer 5’-AGAAGGATCGTGGAGCACCATACTCTCA-3’ dan reverse

primer 5’-TACCAGCCCTGAACAGTCTTCA-3’.

7. Kuantifikasi mature miRNA

a. Stem-loop RT-PCR

5μl sampel RNA (2ng/μl) dicampurkan dengan 7μl RT master mix dari

Taq man Micro RNA Reverse Transcription kit (ABI) (1.5μl 10 x RT buffer, 0.15

μl 100 mM dNTPs, 0.19μl dari 20U/μl RNase Inhibitor, 1.0 μl dari 50U/μl

Multiscribe RT enzyme, 4.16 μl RNase-free water), 3μl spesifik loop-RT primer

(N1: CGACTCATGCTGACGAATTTTGAGTCGCAAA) ditambahkan ke

campuran. Reaksi RT dibiarkan pada suhu 16°C 30 menit kemudian 42°C 30

menit sebelum inkubasi terminal pada suhu 85°C selama 15 menit.

5μl cDNA dari reaksi PCR dicampurkan dengan 4.0μl LightCycler

Taqman master mix (Roche), 0.4μl dari 10μM forward primer, 0.4 μl dari 10μM

reverse primer, o0.2μl dari 10μM Pprobe, 10μl RNase-free water. Sequence dari

PCR primer dan probe adalah NP1 forward primer: CCGCCCTACATCATCCG,

NP2 forward primer: CCCCTAAAGATGCATGTTCAG,

reverse primer: GCGACTCATGCTGACGAA, NP1 probe 6FAM-

TTTGAG+TCGCAAAC+T+TGATCC-BBQ, NP2 probe: 6FAM-

TTTGAG+TCGCG+TC+TCTG-BBQ. Thermal cycling PCR yaitu 95°C 5 detik,

55°C 5 detik, dan 60°C 5 detik.

Page 19: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

19

8. Immunoflourescence

Untuk melihat keberadaan protein N virus rabies dapat dilakukan dengan

pewarnaan imunoflourescence menggunakan antibodi terhadap protein N virus

rabies yang telah dilabel dengan FITC (hijau). 48 jam setelah diinfeksi, sel

difiksasi dengan 80% acetone dan diwarnai dengan FITC-labeled virus rabies N

protein-spesifik antibodi.

Berdasarkan hasil penelitian Israsena et al. (2009) terlihat penurunan

jumlah genome virus dan mRNA protein N virus rabies secara spesifik pada sel

kultur yang ditranfeksi dengan miRNA (dengan vektor plasmid) dan ditantang

dengan virus rabies.

Diagram 1. (A) level mRNA dari protein N virus rabies. Terlihat penurunan level mRNA

protein N pada sel yang ditransfeksi artificial miRNA (amirRNA) dibanding kontrol

(postitif rabies, tanpa amiRNA). (B) level genome virus. Terlihat Terlihat penurunan

level genome virus rabies pada sel yang ditransfeksi artificial miRNA dibanding kontrol

(postitif rabies, tanpa amiRNA) (Israsena et al., 2009).

Gambar 18. Hasil imunofluoresecence dengan antibodi terhadap protein N virus

rabies. (A) kontrol positif (postitif rabies, tanpa amiRNA), terlihat ekpresi protein

dengan intensitas yang tinggi. (B) sel yang ditransfeksi artificial miRNA (amirRNA), bila

dibanding kontrol, ekpresi protein N lemah atau tidak ada. Hal ini menunjukkan ekpresi

protein N pada rabies dapat dihambat oleh amiRNA. (Israsena et al., 2009).

A B

Page 20: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

20

Kesimpulan

Replikasi virus rabies dapat dihambat melalui pengembangan RNA

interference melalui artificial microRNA (amiRNA) terhadap protein N virus

rabies secara in vitro. Melalui dasar penelitian ini dapat dikembangkan lagi dalam

hal pemilihan vektor yang baik yang dapat diterima host secara baik, ramah

lingkungan (vektor yang digunakan tidak mengkontaminasi lingkungan akibat

eksresi maupun sekresi hospes) dan mampu menembus blood brain barrier untuk

menghambat replikasi virus rabies di otak secara in vivo. Selain itu dapat

dikembangkan dengan penggunaan strain virus rabies lapangan yang ada di

Indonesia.

Daftar Pustaka

Aigner A. 2007. Applications Of Rna Interference: Current State And Prospects

For Sirna-Based Strategies In Vivo. Appl Microbiol Biotechnol, 76:9–21.

Bartel, D.P., 2004.Micrornas: Genomics, Biogenesis, Mechanism, And Function.

Cell. 116:281–97.

Boudreaua, R.L., dan Davidson, B.L., 2010. Rnai Therapeutics For CNS

Disorders . Brain research. 1338:112-121

Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I. 2000. Hasil pemeriksaan

laboratorium penyakit rabies Propinsi Sumatera Utara dan DI Aceh. Bulletin

Veteriner BPPH Wilayah I Medan 2: 1-4.

Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II. 2000. Program kerja surveilens,

monitoring, investigasi pelayanan aktif dan diagnosa penyakit hewan.

Bulletin Informasi Kesehatan Hewan. BPPH Wilayah II Bukit Tinggi 2(59):

1-5.

Cai, Q., dan Sheng Z-H., 2009. Mitochondrial Transport And Docking In Axons.

Experimental Neurology 218 (2009) 257–267.

Page 21: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

21

Carter, J.B., dan Saunders, V.A. 2007. Rhabdoviruses (and other minus-strand

RNA viruses) dalam Virology Principles and Applications. John Wiley and

Sons. England.

Central for Disease Control, 2008. Outbreak Notice, Rabies in Bali, Indonesia

This information is current as of today, December 27, 2010

http://wwwnc.cdc.gov/travel/content/outbreak-notice/rabies-bali-indonesia

DePaula, D., Bentley Mv, Mahato Ri. 2007. Hydrophobization And

Bioconjugation For Enhanced Sirna Delivery And Targeting. RNA, 13:431–

56.

Davidson, B.L., dan Paulson, H.L., 2004. Molecular Medicine For The Brain:

Silencing Of Disease Genes With Rna Interference. Lancet Neurol , 3: 145–

149

David, S., Pitard, B., Benoît, J-P., Passirani, C., 2010. Non-Viral Nanosystems

For Systemic Sirna Delivery. Pharmacological Research. 62: 100–114

Etessami, R., Conzelmann, K.K., Fadai-Ghotbi, B., Natelson, B., Tsiang, H.,

Ceccalsi, P.E. 2000. Spread and pathogenic characteristics of a G-deficient

rabies virus recombinant: an in vitro and in vivo study. J Gen Viirol.

81:2147-2153

Faizal, M., K. Benyamin, dan S. Ratna. 2004. Survei dan monitoring rabies di

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Diag. Vet. Bulletin Informasi

Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner BPPH Regional VII

Maros 2 (1): 1 6.

Finke, S., dan Conzelmann, K-K., 2005. Replication strategies of rabies virus.

Virus Research 111 (2005) 120–131

Gaudin, Y., 2000. Reversibility in fusion protein conformational changes. The

intriguing case of rhabdovirus-induced membrane fusion. Subcell. Biochem.

34, 379–408.

Hadi, S. , D.M.N. Dharma, A. Supriyadi, dan J.S. Kalianda. 2003. Pengkajian

ulang pembebasan Kalimantan dari rabies. Dilavet. BPPV Regional V

Banjarbaru 13(2): 9-22.

Hardjosworo, S. 1984. Epidemiologi rabies di Indonesia. Kumpulan Makalah

Symposium Nasional Rabies. Persatuan Dokter Hewan Indonesia Cabang

Bali, Denpasar. hlm. 13-28.

Page 22: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

22

Hirokawa,N., Niwa,S., dan Tanaka1, Y., 2010. Molecular Motors In Neurons:

Transport Mechanisms And Roles In Brain Function, Development, And

Disease Neuron 68: 610-638

Jackson, A.C., Rossiter, J.P., 1997. Apoptosis plays an important role in

experimental rabies virus infection. J. Virol. 71, 5603–5607.

Jackson, A., 2007. Pathogenesis, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan

C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc.

Kristensson, K., Dastur, D.K., Manghani, D.K., Tsiang, H., dan Bentivoglio, M.

1996. Rabies: interactions between neurons and viruses. A review of the

history of negri inclusion bodies. Neuropathol. Appl. Neurobiol. 22:179-187

Lee, S-K., Dan Kumar, P., 2009. Conditional Rnai: Towards A Silent Gene

Therapy. Advanced Drug Delivery Reviews. 61:650–664

Love, T.M., Moffett, H.F., Dan Novine, C.D., 2008. Not Mir-Ly Small Rnas: Big

Potential For Micrornas In Therapy. J Allergy Clin Immunol. 121( 2 ): 309-

319

Lu, PY., dan Woodle, MC., 2008. Delivering Small Interfering Rna For Novel

Therapeutics. Methods Mol Biol. 437:93–107.

Li, X-Q., Sarmento, L., dan Fu, Z.F., 2005. Degeneration of neuronal processes

after infection with pathogenic, but not attenuated, rabies viruses. Journal of

virology. 79(15): 10063-10068.

Lewis,P., Fu,Y., Lentz T.L.,2000. Rabies Virus Entry At The Neuromuscular

Junction In Nerve–Muscle Cocultures. Mucle and Nerve. John Wiley &

Sons, Inc.

Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., Studdert, M.J. 1999. Veterinary

Virology 3rd eds. Academic Press. USA.

Marfiatiningsih, S. dan Z. Hassan. 2000. Tinjauan epidemiologi kasus rabies di

wilayah pelayanan BPPH III Tanjung Karang. Bulletin Laboratorium

Veteriner BPPH Wilayah III Tanjung Karang XV(1): 1-15.

Meister, G., dan Tuschl T., 2004. Mechanisms Of Gene Silencing By Double-

Stranded Rna. Nature. 431:343–9.

Prosniak, M., Hooper, D.C., Dietzschold, B., dan Hoprowski, H., 2000. Effect of

rabies virus infection on gene expresiion in mouse. PNAS. 98(5): 2758-

2763.

Page 23: Inhibisi Rabies Dengan RNAi

23

Pekarik, V, 2005. Design Of Shrnas For Rnai—A Lesson From Pre-Mirna

Processing: Possible Clinical Applications. Brain Research Bulletin 68:115–

120

Raux, H., Flamand, A., Blondel, D., 2000. Interaction of the rabies virus P protein

with the LC8 dynein light chain. J. Virol. 74, 10212–10216.

Sodeik, B., 2000. Mechanisms Of Viral Transport In The Cytoplasm. Trends In

Microbiology. 8(10):465-472

Sidharta, T., dan Sarosa, A. 1995. Petunjuk Teknis Penyakit Hewan. Balai

Penelitian Bogor. hlm. 126-131.

Tang G. Sirna dan Mirna, 2005, An Insight Into RICSs. Trends Biochem Sci.

30:106–14.

Tsiang, H., Ceccaldi, P.E., dan Lycke, E. 1991. Rabies virus infection and

transport in human sensory dorsal root ganglia neuron. J Gen Virol.

61:1191-1194.

Theerasurakarn, S., dan Ubol, S., 1998. Apoptosis induction in brain during the

fixed strain of rabies virus infection correlates with onset and secerity

illness. Journal of Neurovirology, 4:407-414.

van den Pol, A.N., 2006. Viral infections in the developing and mature brain.

Trends in neurosciences. 29(7):398-406

Wunner, W.H., 2007. Rabies Virus, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan

C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc.