Infus Kontinyu Dan Dosis Berulang

download Infus Kontinyu Dan Dosis Berulang

of 3

Transcript of Infus Kontinyu Dan Dosis Berulang

INFUS KONTINYU DAN DOSIS BERULANG Pada pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat (akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), di mana kadar obat tidak lagi meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh. Kadar mantap atau kadar steady state (CSS) dicapai setelah 4-5 x waktu paruh obat. tSS = 4 5 x t t90%SS = 3.3 x t INFUS KONTINYU. CSS dicapai ketika kecepatan eliminasi obat oleh tubuh (Cl) telah menyamai kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh (kecepatan infus). Dosis awal (Loading dose = DL) ialah dosis yang dimaksudkan untuk langsung mencapai CSS (CSS adalah kadar terapi = Cther) DL = Css,max x Vd (IV) Vd = Css,max x (oral) DOSIS BERULANG (1) Intravena : (2) Oral : DL biasanya diberikan untuk obat-obat yang t nya relatif terlalu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya : - tetrasikan (t - 11 jam) - digoksin (t - 36 jam), tetapi digitalisasi biasanya dibagi dalam 34 dosis yang diberikan selama 1-2 hari. - lidokain (t - 1 jam) untuk aritmia setelah infark miokard. Interval dosis (T). Dari segi farmakokinetik, T yang rasional untuk kebanyakan obat sama dengan t eliminasi obat yang bersangkutan, dengan demikian kadarnya berfluktuasi 2 x lipat (Css,max = 2 x Css,min).Obat dengan t yang pendek dapat diberikan dengan T beberapa kali t nya bila obatnya cukup aman untuk diberikan dalam dosis yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek terapinya (misalnya penisilin G). Akan tetapi bila batas keamanannya sempit, mungkin obat tidak dapat diberikan dengan T lebih besar dari t nya karena kemungkinan fluktuasi kadarnya akan melampaui batas-batas kadar terapinya (misalnya teofilin). Obat dengan t yang lebih dari 1 hari, biasanya diberikan sekali sehari untuk memudahkan pemberiannya (misalnya fenobarbital, digoksin). Difenilhidantoin yang mempunyai t - 1 hari sebenarnya tidak perlu diberikan 3 x sehari tapi cukup 1 x sehari. Tetapi pemberian dalam dosis terbagi mungkin dimaksudkan untuk mengurangi iritasi lambung. B. RINGER LAKTAT Larutan Infus Untuk Pemakaian Intravena. Setiap liter larutan mengandung : - Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g - Natrium Klorida. NaCl 6,00 g - Kalium Klorida.KCl 0,30 g - Kalsium Klorida.CaCl2.2H2O 0,20 g - Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml Osmolaritas : 270 mOsm/l Setara dengan ion-ion : Na+ : 130 mEq/l K+ : 4 mEq/l Laktat (HCO3-) : 27,5 mEq/l Ca++ : 2,7 mEq/l Cl : 109,5 mEq/l Cara kerja obat : - Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida, Kalsium Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan ekstraseluler.

- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan ekstraselular. - Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler) Indikasi : Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi. Cara pemberian : Intravena Disesuaikan dengan kondisi penderita Kontra indikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat. Efek samping : - Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi. - Bila terjadi rekasi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan lakukan evaluasi terhadap penderita. Peringatan : Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung fosfat. Cara penyimpanan: Pada suhu kamar / ruangan antara 25oC 30oC. a. Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak didapatkan di dalam tubuh, untuk absorpsinya diperlukan vitamin D. Kebutuhan kalsium meningkat pada masa pertumbuhan, selama laktasi dan pada wanita pascamenopause. Bayi yang mendapat susu buatan memerlukan tambahan kalsium. Selain itu asupan kalsium juga perlu ditingkatkan bila makanan banyak mengandung protein dan atau fospor. Banyak peneliti yang menganjurkan asupan sekitar 1,2 g/hari untuk pasien alkoholik, sindrom malabsorpsi dan pasien-pasien yang mendapat kortikosteroid, isoniazid, tetrasiklin atau antasid yang mengandung aluminium. b. Kalium Perbedaan kadar kalium (kation utama dalam cairan intrasel) dan natrium (kation utama dalam cairan ekstrasel) mengatur kepekaan sel, konduksi impuls saraf dan keseimbangan dan volume cairan tubuh. Meskipun defisiensi jarang terjadi pada individu yang mendapat makanan yang cukup, hipokalemia dapat terjadi pada anak-anak yang makanannya tidak mengandung protein. Penyebab hipokalemia yang paling sering adalah terapi diuretik terutama tiazid. Lain penyebab hipokalemia adalah diare berkepanjangan terutama pada anak, hiperal dosteronisme, tetapi cairan parenteral yang tidak tepat atau tidak mencukupi, penggunaan kortikosteroid atau laksan jangka lama. Aritmia jantung dan gangguan neuromuskular merupakan akibat hipokalemia yang paling berbahaya. Hiperkalemia paling sering disebabkan gangguan ekskresi kalium oleh ginjal yang dapat terjadi pada pasien dengan insufisiensi korteks adrenal, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik terminal, suplementasi vitamin K yang tidak sesuai dosis atau indikasinya, atau penggunaan antagonis aldosteron. Aritmia jantung dan gangguan konduksi merupakan gejala sisa yang paling berbahaya. Lain manifestasi hiperkalemia termasuk kelemahan dan parestesia. c. Natrium Natrium penting untuk membantu mempertahankan volume dan keseimbangan cairan tubuh. kadarnya dalam cairan tubuh diatur oleh mekanismer homeostatik. Banyak individu mengkonsumsi natrium lebih dari yang dibutuhkan. Pembatasan natrium seringkali dianjurkan pada pasien gagal jantung kongesif, sirosis hati dan hipertensi pada individu tertentu. Akan tetapi pembatasan natrium pada wanita sehat selama kehamilan tidak dianjurkan. Hipernatremia jarang ditemui pada individu sehat tetapi pada terjadi setelah diare atau muntah yang lama terutama pada bayi, pada gangguan ginjal, fibrosiskistik atau insufisiensi korteks adrenal, atau pada penggunaan diuretik tlazid. Keringat yang berlebihan dapat mengakibatkan kehilangan natrium yang banyak dan perlu diganti dalam bentuk air dan NaCl. d. Klorida Klorida merupakan anion yang paling penting dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit. Alkalosis metabolik hipokloremik dapat terjadi setelah muntah yang lama atau penggunaan diuretik berlebihan. Kehilangan klorida berlebihan dapat menyertai kehilangan berlebihan natrium. Kemungkinan terjadinya hiperkalemia perlu dipertimbangkan bila terpaksa menggunakan KCl sebagai pengganti klorida yang hilang.

C. RINGER ASETAT (ASERING) Mencegah hipotermia Perioperatif Sectio Larutan Ringer Asetat (RA) merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat), dimana laktat terutama dimetabolisme di hati sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat telah tersedia pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare. Ringer Asetat telah tersedia luas di berbahai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi, loading cairan saat induksi anastesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi. Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal. Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter diatas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia). Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke eskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran akan edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan edema otak. Pada 17 Pebruari 2006 diselenggarakan simposium mengenai RA ini yang merupakan bagian dari The 3rd Annual Meeting of Indonesia Society of Obstetic Anesthesia Indonesian Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine in Conjunction with Recent Advances in Anesthesia Symposium di Grand Melia Hotel, Jakarta. Dr. Susilo Chandra SpAn dari Departemen Anastesi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM memaparkan hasil studi komparatif penggunaan RA (ASERING) dan RL pada pasien sectio cesarean dengan Subarachnoid Anasthesia. Sebanyak 40 wanita dialokasikan menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menerima RA dan kelompok RL. Sebelum induksi, masing-masing kelompok mendapat 3 ml/kg/jam. Segera setelah induksi anestesi subarachnoid, diberikan cairan yang sama sesuai kelompoknya namun dengan kecepatan bolus 500 ml dalam 30 menit. Tandatanda vital, suhu timpani, suhu aksila dan pengobatan yang diberikan dicatat, baik pada baseline maupun setiap 5 menit sesudahnya. Dari data penelitian didapatkan bahwa parameter hemodinamik pada intra dan postoperative tidak berbeda bermakna. Ini sekaligus membuktikan bahwa kristaloid cukup efektif untuk mengatasi hipotensi akibat induksi anestesi regional dan tidak satupun pasien sampai memerlukan cairan koloid yang harganya >20 kali lebih tinggi daripada kristaloid. Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (antara lain denyut jantung dan tekanan darah sistolik/diastolik) diantara 2 kelompok. Untuk insiden dan derajat menggigil, kelompok RA juga diperlihatkan mengalami insiden menggigil yang lebih sedikit dibandingkan kelompok RL sampai dengan menit ke 25 (p