Infra Red Spektrofometer Hal 89-100

download Infra Red Spektrofometer Hal 89-100

of 100

Transcript of Infra Red Spektrofometer Hal 89-100

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

STUDI PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI KARAGINAN) ) Th. Dwi Suryaningrum* , Jamal Basmal* dan Nurochmawati**)

ABSTRAK Penelitian pembuatan e i l f l dari karaginan telah dilakukan. Penelitian dilakukan dalam dbe im dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk memperoleh formulasi bumbu yang akan digunakan dalam penelitian utama. Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan perlakuan volume larutan pengencer dan penambahan tepung tapioka. Larutan pengencer yang digunakan adalah kaldu ebi dengan volume 75 dan 80 kali bobot karaginan serta penambahan tepung tapioka dengan perbandingan bobot antara tepung karaginan dan tepung tapioka 2:1 dan tanpa penambahan tepung tapioka. Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik (ketebalan, persentase pemanjangan serta kekuatan tarik), sifat kimia (analisis proksimat) serta uji organoleptik. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa formulasi bumbu yang terbaik adalah gula 2,5%, garam 0,6%, kecap 0,4%, MSG 0,05%, bahan pewarna 0,4% dan sorbitol 0,4%. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan volume pengencer berpengaruh (=0,05) terhadap ketebalan film yang dihasilkan, sedangkan penambahan tepung tapioka berpengaruh terhadap menurunnya nilai kekuatan tarik film. Perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap persentase pemanjangan film, perlakuan volume pelarut dan penambahan tepung tapioka hanya berpengaruh terhadap kandungan protein dan kadar lemak film. Pada uji organoleptik, hanya bau yang dipengaruhi oleh perlakuan volume pelarut, sedangkan uji organoleptik lainnya seperti tekstur, penampakan, warna dan rasa tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan yang diberikan. A B S T R A C T: Study on the processing of e i l f l made of carrageenan. By: Th. Dwi dbe im Suryaningrum, Jamal Basmal and Nurochmawati

A study on the processing of edible film from carrageenan has been carried out. The study was performed in two steps i.e. preliminary and main experiments. Objective of the preliminary study was to obtain the formula of mixed spices to be used in the main experiment. The main study was conducted to determine diluting solution volume and tapioca addition levels. Diluting solution volumes investigated were 75 and 80 times of carrageenan flour weight, while the ratio level of carrageenan and tapioca weight was 2:1 compared to the one without tapioca addition. The products were evaluated in terms of physical characteristics (thickness, degree of elongation and extent of stretch force), chemical characteristic (proxymate composition) and sensory evaluation. Preliminary experiment resulted in the best formula for spices mixed is as follows: 2.5% sugar, 0.6% salt, 0.4% soy sauce, 0.05% MSG, 0.4% colouring agent and 0.4% sorbitol. Diluting solution volume affected ( =0.05) the film thickness, while tapioca addition affected the reduction of the extent of stretch. However, a l t e t e ts did not significantly influence the elongation degree of l ramn the edible film produced. Both diluting solution volume and tapioca addition affected protein and fat content of edible film. In terms of organoleptic parameters, only the acceptability of odor that was affected by diluting solution volume while other parameters were not affected by all treatments used in the experiment. KEYWORDS: carrageenan, edible film

PENDAHULUAN E i l f l merupakan suatu lapisan tipis, terbuat dbe im dari bahan yang bersifat hidrofilik dari protein maupun karbohidrat serta lemak atau campurannya. Edible f l berfungsi sebagai bahan pengemas yang im memberikan efek pengawetan. Edible film dapat menjadi barrier terhadap oksigen, mengurangi

penguapan air dan memperbaiki penampilan produk. Penggunaan edible film dapat mencegah proses oksidasi, perubahan organoleptik, pertumbuhan mikroba atau penyerapan uap air (Krochta, 1992). Edible film juga dapat digunakan sebagai pembawa antioksidan yang dapat melindungi produk terhadap proses oksidasi lemak (Al-Ameri & Hettyarachchy, 2001).

* )*) *

Peneliti pada Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Mahasiswa S-1 Institut Pertanian Bogor.

1

T.D. Suryaningrum,

J. Basmal dan Nurochmawati

Karaginan merupakan hidrokoloid yang potensial untuk dibuat e i l f l karena sifatnya yang kaku d b e i m, dan elastis, dapat dimakan dan dapat diperbaharui (Carriedo, 1994). Selain itu karaginan merupakan polisakarida non kalori yang sering disebut dietary f b e (serat makanan) yang sangat baik untuk ir pencernaan karena kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi serat dalam jumlah tinggi akan mencegah timbulnya berbagai penyakit seperti kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (Heslet , 1997). Pembuatan karaginan sebagai edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan karaginan. Edible film dari karaginan dibuat dengan cara melarutkan karaginan 1-3% dari bobot karaginan, dipanaskan sampai 80-85oC hingga larut, kemudian dituang sehingga membentuk lembaran dan dikeringkan pada suhu kamar sampai suhu 40oC-50oC (Anon., 2004). Dalam pembuatan e i l f l dapat ditambah dengan bumbu-bumbu dbe im serta pewarna sehingga memberi citarasa yang enak dan warna yang menarik (Donhowe & Fenema, 1994). E i l f l dari karaginan dapat diformulasikan dengan dbe im selulosa dan derivatnya sebagai bahan penguat, p a ls t c z r sebagai bahan pengawet dan karbohidrat iie sebagai bahan pengisi (Michael e a. 2003). t l, Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa tepung tapioka dapat digunakan sebagai bahan campuran e i l f l yang mempunyai sifat-sifat fisik dbe im dan kimia yang baik sebagai bahan pengemas karena kandungan amilopektinnya (Carriedo, 1994, Krochta & Jhonston, 1997, Poeloengasih & Marseno, 2003). Edible film d r i t a i o a-karaginan telah dipatenkan dengan menggunakan bahan penguat hidroksimetilselulosa, bahan p a t c z r p l e i e g i o d n t i s n lsiie oitln lkl a rai dan bahan pengisi karbohidrat dari pati, maltodekstrin, manitol atau laktose (Michael e a. 2003). Mutu t l, e i l f l didasarkan pada kemampuannya sebagai dbe im b r i r oksigen dan uap air, ketebalannya, kekuatan are tarik serta persentase pemanjangannya (Krochta & Jhonston, 1997). Dalam penelitan ini dicoba untuk memanfaatkan karaginan sebagai e i l f l untuk bahan pengemas dbe im yang memberikan efek nutrisi. Proses pembuatan edible film mengacu pada proses pembuatan karaginan kertas dengan penambahan tepung tapioka dan bumbu. Sedangkan bumbu yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada proses pembuatan e i l f l dari rumput laut yang telah ada seperti dbe im Nori dan Wakame. Dalam proses pengolahan Nori dan Wakame, bahan rumput laut direndam dalam cuka beras (rice vinegar) dengan tujuan agar rumput laut menjadi lunak. Rumput laut kemudian dipotong-potong dengan panjang kurang lebih 2 cm dan dicuci dengan

air panas. Rumput laut kemudian direbus pada suhu 90oC dalam larutan yang berisi bumbu-bumbu seperti kecap, gula, m r n (cuka jepang), minyak wijen, MSG ii dan ikan teri selama 3 jam kemudian dikeringkan menjadi lembaran tipis (Teramoto, 1990). Dalam penelitian ini larutan perebus yang digunakan untuk melarutkan karaginan adalah kaldu ebi. Penggunaan kaldu ebi dimaksudkan untuk memberikan aroma spesifik serta rasa yang khas pada edible film yang diteliti. Sedangkan penambahan tepung tapioka diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap perbaikan penampakan, tekstur dan penanganan (Krochta & Johnston, 1997). Di samping itu pertimbangan penggunaan tapioka sebagai bahan campuran karena harganya murah dan mudah didapat. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung karaginan yang diekstraksi dari rumput l u E c t o i (Suryaningrum, e a. 2003). Bahan at . o t n i t l, pembantu yang digunakan adalah tepung tapioka, bumbu yang meliputi kaldu ebi yang dibuat dengan merebus 100 g ebi yang telah dihancurkan dalam 5 ltr ar, kecap, gula, MSG, sorbitol sebagai bahan ie i p a t c z r, garam, bahan pewarna, bahan kimia untuk lsiie analisis dan bahan pembantu untuk proses pembuatan edible film. Alat yang digunakan adalah panci perebus, pan penjendal, bak pengepres dan alat pemotong agar- agar, para-para penjemuran sertaa a lt alat untuk analisa. Metode Penelitian dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mencari komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan e i l f l antara lain gula, garam, kecap, dbe im M S G, sorbitol sebagai p a t z c r s r pa ta pandan l s i i e e ta s sebagai pewarna. Konsentrasi gula yang digunakan adalah 10%, 8%, 6%, 5% dan 2,5%, konsentrasi garam adalah 0,3%, 0,4%, 0,5% dan 0,6%, konsentrasi MSG adalah 0%, 0,04%, 0,05% dan 0,06%. Konsentrasi kecap, sorbitol dan pewarna tidak divariasi, masing-masing sama besar yaitu 0,4%. Kaldu ebi yang digunakan sebagai larutan pengencer adalah 50, 60, 70, 75 dan 80 kali bobot tepung karaginan. Uji yang dilakukan untuk mengetahui komposisi bumbu yang paling disukai adalah uji organoleptik berdasarkan kesukaan panelis.

2

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

Penelitian utama Penelitian dilakukan dengan menggunakan variabel penambahan tapioka dengan perbandingan antara tepung karaginan dan tepung tapioka 2:1 dan tanpa penambahan tapioka serta volume kaldu ebi yang digunakan sebagai larutan pengencer dengan menggunakan komposisi bumbu yang diperoleh dari penelitian pendahuluan. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut : A( Volume larutan pengencer 75 kali, dengan penambahan tepung tapioka) B (Volume larutan pengencer 75 kali, tanpa penambahan tapioka) C (Volume larutan pengencer 80 kali, dengan penambahan tepung tapioka)

-

D (Volume larutan pengencer 80 kali, tanpa penambahan tepung tapioka)

Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik edible f l meliputi ketebalan film yang diukur dengan i m, menggunakan microcal meshmeter, persentase pemanjangan (elongasi) yang diukur dengan menggunakan elongation tester sterograph dan kekuatan tarik yang diukur dengan menggunakan alat tensile strength. Uji kimiawi dilakukan terhadap komposisi proksimat e i l f l y i u k d r a r, kadar d b e i m, a t a a i abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar (AOAC, 1984). Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan skala hedonik 1-9 terhadap tekstur, penampakan, warna, bau dan rasa. Uji rasa e i l f l dbe im dilakukan dengan menggunakannya sebagai bahan pelapis nasi ketan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak

Tepung karaginan murni/ Carrageenan flour

$Tepung Ta i k / poa Tapioca flour Hmgnss/ ooeiai Homogenisation L r tan pengencer dan bumbu/ au Diluting solution and spices

$Pemanasan 60- 85oC 2 jam/ Heating at 60-80oC for 2 hours

$Penjendalan/ Gel formation

$Pengirisan 0,40,6 cm/ Slicing 0.4-0.6 cm

$Pembungkusan dengan kain/ Wrapping with cotton fabric

$Pengepresan/ Pressing

$Penjemuran 2-3 hari/ Drying 2-3 days

$Edible Film Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan e i l f l karaginan. dbe im Figure 1. Flow chart of edible film processing.

3

T.D. Suryaningrum,

J. Basmal dan Nurochmawati

lengkap pola faktorial dengan 3 kali ulangan (St e & el Torrie, 1993). Untuk menganalisis uji organoleptik yang diterima panelis dilakukan uji statistik non parametrik Kruskal Wallis. Adapun diagram alir pembuatan e i l f l d r d b e i m ai karaginan dapat dilihat pada Gambar 1. HASIL DAN BAHASAN

tapioka sebagai substitusi karaginan terhadap mutu e i l f l yang dihasilkan. dbe im Penelitian Utama

Dalam penelitian utama, e i l f l yang diperoleh dbe im diamati mutunya dengan melakukan analisis fisik, kimia serta organoleptik. Analisis Fisik

Penelitian Pendahuluan Ketebalan Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa perbandingan gula dan garam yang paling disukai oleh panelis adalah 2,5%:0,6%. Sedangkan volume larutan pengencer yang digunakan untuk memperoleh e i l f l yang tipis dan paling disukai oleh panelis dbe im adalah 75 kali. Penambahan kecap, sorbitol dan pewarna yang paling disukai oleh panelis masingmasing adalah 0,4%, sedangkan MSG adalah 0,05% sehingga formula bumbu secara keseluruhan yang disukai oleh panelis adalah volume larutan pengencer 75 kali, gula 2,5%, garam 0,6%, kecap 0,4%, MSG 0,05%, pewarna 0,4% dan sorbitol 0,4%. Komposisi bumbu yang diperoleh digunakan untuk pembuatan edible film dalam penelitian utama. Walaupun pada penelitian pendahuluan volume terbaik adalah 75 kali, pada penelitian utama volume larutan pengencer divariasi antara 75 dan 80 kali untuk melihat seberapa jauh pengaruh penambahan tepung Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemasnya. Ketebalan film yang diperoleh berkisar antara 0,84-0,92 mm (Gambar 2). Ketebalan tertinggi diperoleh dari perlakuan volume larutan pengencer 80 kali dengan penambahan tepung tapioka, sedangkan ketebalan terendah diperoleh dari perlakuan volume larutan pengencer 75 kali dan penambahan tepung tapioka. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka tidak berpengaruh ( = 0,05) terhadap ketebalan film, sedangkan volume larutan pengencer yang digunakan berpengaruh nyata. Hasil Uji Tukey menunjukkan bahwa e i l f l yang diolah dbe im dengan volume larutan pengencer 80 kali dengan penambahan tapioka menghasilkan e i l f l yang dbe im

Gambar 2. Histogram nilai rata-rata ketebalan e i l f l (mm). dbe im Figure 2. Histogram of the average thickness of edible film (mm).Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

4

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

paling tebal dan berbeda dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan penggunaan volume larutan pengencer yang lebih banyak pada e i l f l yang ditambah dbe im tepung tapioka menyebabkan proses gelatinisasi lebih baik. Perlakuan pemanasan karaginan dan tapioka yang dilakukan dalam proses pembuatan film akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada molekul karaginan dan pati sehingga menyerap banyak air (Carriedo, 1994). Pada perlakukan volume larutan pengencer 80 kali dengan tapioka akan terbentuk gel, dimana air lebih banyak yang terperangkap di dalamnya dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menyebabkan proses pengepresan yang ditujukan

terhadap persen pemanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung tapioka dengan perbandingan 1:2 dengan tepung karaginan dalam pembuatan e i l f l belum memberikan pengaruh terhadap dbe im pemanjangan pada e i l f l yang dihasilkan. Hal dbe im ini disebabkan tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan substitusi karaginan jumlahnya relatif kecil. Jika dipersentasekan terhadap volume larutan pengencer yang digunakan, untuk pengenceran volume 75 kali (v/b), maka konsentrasi penambahan tapioka hanya sebesar 0,66% atau kurang dari 1%, sehingga tidak menunjukkan adanya efek pemanjangan terhadap e i l f l yang dihasilkan. dbe im

16 14 Pemanjangan (%)/ Elongation (%) 12 10

Gambar 3. Histogram nilai rata-rata persentase pemanjangan e i l f l ( ) dbe im %. Figure 3. Histogram of the average elongation of edible film ( ) %.: : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

Keterangan/Notes: A B C 8 D 6

4

untuk menghasilkan lembaran film yang tipis lebih 2 sulit bila dibandingkan dengan e i l f l yang diolah dbe im 0 dari karaginan tanpa penambahan tapioka dengan volumeA larutan pengencer yang lebih sedikit. D B C Ketebalan film akan mempengaruhi permeabilitas Perlakuan/Treatment gas, semakin tebal e i l f l maka permeabilitas dbe im gas akan semakin kecil dan melindungi produk yang dikemas dengan lebih baik. Namun dalam penggunaannya ketebalan edible film harus disesuaikan dengan produk yang dikemasnya. Persentase pemanjangan (% Elongasi) Nilai persentase pemanjangan e i l f l d s j k n dbe im iaia pada Gambar 3. Perlakuan volume larutan pengencer dan penambahan tepung tapioka, serta interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata

Hasil penelitian Poeloengasih & Marseno (2003) mengenai edible film dari protein biji kecipir menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka sebesar 1%, berpengaruh nyata terhadap penurunan pemanjangan e i l f l yang dihasilkan. dbe im Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Theresia (2003) bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung tapioka pada campuran akan semakin turun persentase pemanjangan e i l f l y n d h s l a . dbe im a g i a i k n Tapioka merupakan pati yang 80% polisakaridanya adalah amilopektin (Gaman & Sherington, 1994). Sedangkan menurut Carriedo (1994) untuk menghasilkan film yang kuat diperlukan amilosa yang l b ht n g . ei igi Persentase pemanjangan menurut Krochta & Johnston (1997) dikategorikan jelek jika kurang dari 10% dan baik jika presentase pemanjangannya lebih

5

T.D. Suryaningrum, J. Basmal dan Nurochmawati

dari 50%. Nilai rata-rata persen pemanjangan edible f l dalam penelitian ini berkisar antara 8,5-15%, im yang tergolong bersifat jelek sampai cukup. Persentase pemanjangan edible film tertinggi diperoleh dari karaginan yang dilarutkan dengan kaldu ebi 80 kali tanpa penambahan tepung tapioka. Sedangkan persentase pemanjangan terendah diperoleh dari karaginan yang dilarutkan dalam kaldu ebi 80 kali dengan tepung tapioka. Kekuatan tarik Kekuatan tarik film yang dihasilkan berkisar antara 5,7613,69 Kgf/cm2 (Gambar 4). H s l a a i i s a i t k ai nlss ttsi menunjukkan bahwa penambahan tapioka memberikan pengaruh yang nyata ( = 0,05) terhadap e i l f l yang dihasilkan yaitu berakibat terhadap dbe im menurunnya kekuatan tarik. Penurunan kekuatan tarik akan semakin besar bila e i l f l diproses dengan dbe im volume larutan pengencer 80 kali. Sedangkan perlakuan volume larutan pengencer yang digunakan serta interaksi keduanya juga berpengaruh nyata. Uji Tukey menunjukkan bahwa e i l f l yang diolah dbe im dengan volume larutan pengencer 80 kali dan penambahan tapioka menghasilkan film dengan nilai kekuatan tarik paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini pemberian vol-

ume larutan pengencer yang lebih banyak dan penambahan tepung tapioka akan menghasilkan gel yang lebih banyak menyerap air. Semakin banyak volume air yang diberikan semakin banyak molekul air yang terikat yang menyebabkan kekuatan gel menurun yang berakibat terhadap menurunnya kekuatan tarik e i l f l yang dihasilkan. Dengan dbe im demikian edible film yang diolah dengan volume larutan pengencer 80 kali dan penambahan tapioka akan menghasilkan e i l f l yang kekuatan tariknya dbe im paling rendah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Damayanthy (2003) dimana semakin tinggi konsentrasi tapioka pada bahan, akan menurunkan nlikkaa trk eil fl i a e u t n a i d b e i m. Nilai kekuatan tarik menurut Krochta & Johnston (1997) berkisar antara 10-100 Kgf/cm 2. Dalam penelitian ini kekuatan tarik masih tergolong jelek dibandingkan dengan standar yang ada. Menurut Wu & Bates (1973) e i l f l dengan kekuatan tarik dbe im tinggi, akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik, sedangkan kekuatan tarik film dipengaruhi oleh formulasi bahan yang digunakan. Menurut Carriedo (1994) kombinasi yang paling baik dalam pembuatan edible film dari karaginan adalah dengan menggunakan locus bean gum (LG). Sedangkan

Gambar 4. Histogram nilai rata-rata kekuatan tarik e i l f l (Kgf/cm2 ) dbe im . Figure 4. Histogram of the average tensile strength of edible film (Kgf/cm2) .Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

6

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

Gambar 5. Histogram nilai rata-rata kadar air e i l f l ( ) dbe im %. Figure 5. Histogram of the average water content of edible film ( ) %.Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

Michael, e a . (2003) menyatakan bahwa jenis t l karbohidrat sebagai bahan pengisi yang menghasilkan kekuatan tarik yang baik dalam pembuatan e i l f l dbe im adalah maltodekstrin atau manitol.18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

protein. Sebaliknya e i l f l yang mempunyai kadar dbe im air rendah akan lebih tahan terhadap kerusakan mikrobiologis. Kadar abu

Hasil analisis kadar abu terhadap e i l f l yang dbe im dihasilkan berkisar antara 16,38-20,70% (Gambar 6). Kadar air Kadar abu yang terkandung dalam edible film merupakan bagian dari kandungan mineral yang N l i r t - a a k d r a r e i l f l berkisar antara ia aart aa i dbe im berasal dari karaginan. Karaginan merupakan 12,87-17,34% (Gambar 5). Analisis sta i t k tsi polisakarida yang mempunyai kadar abu cukup tinggi menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung yaitu berkisar antara 1530% (Anon., 1986), tapioka menghasilkan e i l f l dengan kadar air dbe im sedangkan tapioka kandungan abunya hanya sebesar yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan 0,3%. Kadar abu ini menggambarkan banyaknya e i l f l yang diolah tanpa penambahan tepung dbe im mineral yang tidak terbakar dan menjadi zat yang tapioka. Perlakuan volume larutan pengencer tidak tidak dapat menguap selama pengabuan seperti sulberpengaruh nyata terhadap kadar air e Db e f l d l i m. i A B C fr. u Interaksi antara tepung tapioka dan volume pengencer Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa Perlakuan/Treatment memberikan pengaruh yang nyata. perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap Penambahan tapioka yang secara kimiawi kadar abu edible film yang dihasilkan. Namun mengandung lebih banyak gugus hidroksil demikian ada kecenderungan bahwa penambahan dibandingkan dengan karaginan menyebabkan pada tapioka menghasilkan e i l f l dengan kadar abu dbe im proses pembentukan gel lebih banyak mengikat air. yang lebih rendah seperti terlihat pada Gambar 6. Pada saat pengeringan tidak semua air yang terikat dapat menguap, sehingga e i l f l yang diolah dbe im Kadar protein dengan tambahan tapioka memiliki kadar air yang lebih tinggi. Kadar air film yang tinggi akan Kadar protein edible film yang dihasilkan mempengaruhi ketahanan film. Edible film yang berkisar antara 3,934,54% (Gambar 7). Kandungan b r i a biodegradable dengan kadar air yang tinggi tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan kadar esft akan mudah ditumbuhi oleh mikroba, karena adanya p o e n e i l f l yang diolah dari rumput laut seperti rti dbe im komponen nutrisi dalam film seperti karbohidrat dan Phorphyra, Ulva, Kombu yang berkisar antara

Analisis Kimia

Kadar air (%)/ Water content (%)

7

T.D. Suryaningrum,

J. Basmal dan Nurochmawati

Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kadar abu e i l f l ( ) dbe im %. Figure 6. Histogram of the average ash content of edible film ( ) %.Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

7,3-35,5% (Teramoto, 1990). Dalam penelitian ini penambahan kaldu ebi dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dan juga untuk meningkatkan cita rasa. Penggunaan kaldu ebi sebagai larutan pengencer karaginan dapat meningkatkan kandungan protein e i l f l yang dbe im diolah. Karaginan kandungan proteinnya hanya

berkisar antara 1-2% saja, dengan demikian penggunaan kaldu ebi sebagai bahan pengencer karaginan dapat meningkatkan kandungan protein pada produk sebesar 2-2,5%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa volume larutan pengencer dan tepung tapioka berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang

Gambar 7. Histogram nilai rata-rata kadar protein e i l f l ( ) dbe im %. Figure 7. Histogram of the average protein content of edible film ( ) %.Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

8

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

dihasilkan. Perlakuan volume larutan pengencer sebanyak 80 kali menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan e i l f l yang dbe im diolah dengan menggunakan volume kaldu ebi sebanyak 75 kali bobot karaginan yang digunakan. Perlakuan volume kaldu ebi 80 kali dan tanpa penggunaan tapioka menghasilkan kadar protein yang paling tinggi (4,54%) dan berbeda nyata dengan yang lina any. Kadar lemak Kadar lemak edible film berkisar antara 0,050,23% (Gambar 8). Kadar lemak e i l f l yang dbe im dihasilkan cukup kecil, karena pada karaginan kandungan lemaknya nol. Kadar lemak pada edible fl ini berasal dari kaldu ebi yang digunakan sebagai im larutan perebus. Hasil analisis statistik menunjukkan

pengencer kaldu ebi 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan 75 kali, baik dengan penambahan tapioka maupun tidak. Interaksi antara volume larutan pengencer 80 kali dan tanpa penambahan tapioka menghasilkan kadar lemak paling tinggi. Kadar serat kasar Kadar serat kasar edible film berkisar antara 1,704,11% (Gambar 9). Analisis sta tistik menunjukkan bahwa perlakuan volume larutan pengencer dan penambahan tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan serat kasar e i l f l dbe im yang dihasilkan. Kandungan serat kasar tertinggi diperoleh dari edible film yang diolah dengan perlakuan larutan pengencer kaldu ebi 75 kali dan t anpa penambahan tapioka yaitu sebesar 4,11%. Rata-rata kandungan serat kasar ini relatif sama bila

0.25 0.2 0.15 0.1 0.05Keterangan/Notes: A B 0 C A B D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan C larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch D pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

Kadar lemak (%)/ Fat content (%)

Gambar 8. Histogram nilai rata-rata kadar lemak e i l f l ( ) dbe im %. Figure 8. Histogram of the average fat content edible film ( ) %.

Perlakuan/Treatment bahwa perlakuan volume larutan pengencer dan penambahan tepung tapioka memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak yang dihasilkan. Perlakuan volume larutan pengencer dengan menggunakan kaldu ebi 80 kali menghasilkan kadar lemak yang lebih tinggi dan berpengaruh nyata ( =0,05) terhadap meningkatnya kadar lemak dibandingkan dengan penggunaan larutan pengencer kaldu ebi 75 kali.

dibandingkan dengan kandungan serat kasar pada rumput laut yang berkisar antara 410% (Chapman & Chapman, 1980), dan lebih tinggi dari kadar serat kasar berbagai jenis sayuran yang rata-rata kurang dari 1% (Gaman & Sherrington, 1994 ). Uji organoleptik Hasil uji organoleptik dengan skala hedonik 1 sampai 9 (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai tekstur edible film berkisar antara 5,36,1 yaitu dengan kriteria biasa sampai agak suka. Berdasarkan

Uji BNJ menunjukkan bahwa kadar lemak edible f l yang dibuat menggunakan volume larutan im

9

T.D. Suryaningrum,

J. Basmal dan Nurochmawati

Gambar 9. Histogram nilai rata-rata serat kasar e i l f l ( ) dbe im %. Figure 9. Histogram of the average fiber content edible film ( ) %.Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch volume larutan pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch volume larutan pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch volume larutan pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

hasil uji Kruskal Wallis untuk tekstur menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur e i l f l yang dihasilkan. dbe im N l ir t - a at k t rt r i g id p r l hd r p r a u n ia aart esu etng ieoe ai elka volume larutan pengencer 75 kali tanpa penambahan tapioka yaitu dengan nilai 6,1 yang secara deskriptif berarti agak suka. Penambahan tepung tapioka pada perlakuan larutan pengencer yang sama menyebabkan nilai penerimaan panelis terhadap tekstur menurun menjadi 5,5 yang berarti biasa. Penambahan larutan pengencer menjadi 80 kali bobot tepung karaginan menyebabkan penerimaan panelis terhadap tekstur menjadi semakin rendah yaitu 5,3. Tekstur e i l f l dalam penelitian masih terlalu dbe im kaku, kurang fleksibel dan agak susah untuk dibentuk. Nilai penampakan edible film berkisar antara 5,256,1 yaitu dengan kriteria biasa sampai agak suka. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap penampakan e i l f l yang dihasilkan. dbe im Skor tertinggi diperoleh pada perlakuan volume pengencer 75 kali dan tanpa penambahan tapioka. Peningkatan volume larutan pengencer menjadi 80 kali berakibat menurunnya nilai penampakan e i l f l dbe im yang dihasilkan walaupun secara statistik tidak nyata. Nilai warna e i l f l berkisar antara 5,45-6,25 dbe im yang secara deskriptif berkisar antara biasa sampai agak suka. Hasil uji Kruskal-Wallis pada selang

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa semua film yang dihasilkan, tingkat kesukaannya tidak berbeda nyata. Namun demikian e i l f l yang diperoleh dbe im dengan menggunakan larutan pengencer kaldu ebi 75 kali mempunyai nilai warna sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan edible film yang diperoleh dengan volume larutan pengencer 80 kali. Nilai warna pada volume pengencer 75 kali berkisar antara 6,05 sampai 6,25 yang secara deskriptif berarti agak suka. Sedangkan pada perlakuan volume pengencer kaldu ebi 80 kali para panelis memberikan nilai berkisar antara 5,55-5,8 yang secara deskriptif berarti biasa. Di pasaran e i l f l yang diolah dari karaginan dbe im menunjukkan warna yang cemerlang dan mengkilap. N l i b u e i l f l berkisar antara 3,25-4,45 yaitu ia a dbe im dengan kriteria tidak suka sampai kurang suka. Rendahnya nilai bau e i l f l diduga karena tercium dbe im bau asam yang diperkirakan terjadi selama pengepresan dan pengeringan. Pengepresan edible fl dilakukan dalam bak pengepres selama semalam im demikian juga pengeringan yang memakan waktu 3 hari sehingga menyebabkan terjadinya proses fermentasi oleh mikroba yang menimbulkan bau sedikit asam. Hasil uji Kruskal-Wallis pada selang kepercayaan 95% menunjukkan nilai bau semua film cenderung berbeda-beda. Hasil uji lanjut dengan Multiple Comparisson pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa nilai bau pada perlakuan volume

10

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

7 6 Penampakan/ Appearance 5 4 3 2 1 0 A B C D Perlakuan/Treatment

6.2 75.45 4.5 4.4 6 5.4 6 4.3 55.35 5.8 4.2 4 5.3 5.6 4.1 35.25 5.44 5.2 2 3.9 5.15 5.2 1 3.8 5.1 5 05.05 3.7 AA A B B DD BC C C 4.8 A Perlakuan/Treatment B C D Perlakuan/Treatment Perlakuan/Treatment Perlakuan/Treatment

Tekstur/Texture Bau/Odor Warna/ Colour Rasa/Taste

D

Gambar 10. Nilai rata-rata organoleptik e i l f l d b e i m. Figure 10. Histogram of the average organoleptic value of edible film.Keterangan/Notes: A B C D : : : : volume volume volume volume larutan larutan larutan larutan pengencer 75 kali + tapioka/Diluting solution 75 times + starch pengencer 75 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch pengencer 80 kali + tapioka/Diluting solution 80 times + starch pengencer 80 kali tanpa tapioka/Diluting solution 75 times without starch

11

T.D. Suryaningrum,

J. Basmal dan Nurochmawati

larutan pengencer 75 kali tanpa penambahan tapioka adalah yang tertinggi dan berbeda nyata dengan lina any. N l i r s e i l f l berkisar antara 4,1 sampai ia aa dbe im 5,45 yaitu dengan kriteria kurang suka sampai biasa. Rendahnya nilai rasa diduga disebabkan oleh formulasi bumbu yang digunakan kurang dapat diterima panelis. Sebagai pembanding dalam uji organoleptik ini adalah n r dari rumput laut yang oi mempunyai rasa gurih. Nori terbuat dari rumput laut kombu yang mempunyai kandungan protein 7,3- 8,2%. Sedangkan pada penelitian ini kandungan protein diperoleh dari kaldu ebi yang digunakan sebagai bahan larutan pengencer karaginan. Nilai rasa rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan tepung tapioka. Berdasarkan uji Kruskal Wallis pada selang kepercayaan 95%, nilai rasa semua film tidak berbeda nyata. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diperoleh bahwa formulasi bumbu yang dapat digunakan pada pembuatan e i l f l dari karaginan adalah gula 2,5%, garam dbe im 0,6%, kecap 0,4%, MSG 0,05%, pasta pandan 0,4% dan sorbitol 0,4% serta volume larutan pengencer karaginan dengan kaldu ebi 75 kali bobot tepung karaginan. Perlakuan volume larutan pengencer berpengaruh ( =0,05) terhadap ketebalan, kekuatan tarik, kandungan protein, lemak dan bau e i l f l dbe im yang dihasilkan. Penggunaan volume larutan pengencer 75 kali bobot tepung karaginan menghasilkan film yang lebih tipis, kekuatan tarik dan kadar air yang lebih baik serta bau yang lebih disukai oleh panelis, sedangkan volume larutan pengencer 80 kali menghasilkan film yang mempunyai kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak yang lebih rendah. Penambahan tapioka dalam pembuatan e i l f l dbe im berpengaruh terhadap menurunnya kekuatan tarik, meningkatnya kadar air dan menurunnya kadar protein film yang dihasilkan. Perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap pemanjangan, kadar abu, kadar serat kasar serta nilai organoleptik seperti tekstur, penampakan, warna dan rasa film yang dihasilkan. Perlakuan terbaik untuk pembuatan edible film dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan volume larutan pengencer 75 kali bobot tepung karaginan tanpa penambahan tapioka. SARAN Untuk meningkatkan mutu secara fisik dan penerimaan organoleptik e i l f l dari karaginan dbe im

perlu diformulasikan dengan bahan karbohidrat lainnya seperti selulosa dan derivatnya serta jenis gum lainnya. Untuk mengetahui daya simpan produk, perlu dilakukan analisis tingkat permeabilitas uap air dan oksigen dari e i l f l d b e i m. DAFTAR PUSTA K AAnonymous. 1986. Specification for identify and purity o cr f e tain food additives. FAO and Nutrition Paper. 34:17 -22. Anonymous. 2004. Edible Food Packaging. H t : / tp/ w w w.insinc.to/edible.htm. Al-Ameri, F. and Hettyarachchy, N S 2 0 . Edible Film .. 01 as A Carrier of Antoxidant. Dept of Food Science. University of Arkansas. Http://ift.comfex.com/ift / technoprogram/paper. 3 p . p AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Associat o o O f c a Analytical Chemist. 1 e t A.O.A.C., in f fiil 4 d h I c , Arlington. Vi g n a n. rii. Carriedo, M.N. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides. In Edible Coating and Films to Improve Food Quality.A Technomic Publishing Com. pany Inc. Lancaster, Pennsylvania. USA. p. 305-335 Chapman, V.J. and Chapman, D.J. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition. Chapman Hall. London. 334 pp. Damayanthy, D. 2003. Teknologi Proses Pembuatan dan Karakterisasi Biodegradable Plastik dari campuran bahan Polipropelin dan Tapioka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. p 3 - 0 . 44. Donhowe, I.G. and Fenema, O. 1994. Edible film and coatings : Characteristics, formation, definition and testing methods. In Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. A Technomic Publishing Com. pany Inc. Lancaster, Pennsylvania. USA. p. 1-21. Gaman, P.M. and Sherrington, K. B. 1994. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu pangan, Nutrisi dan Biologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 317 pp. Heslet, L. 1997. K l s e o . Alih Bahasa A Adiwiyanto. oetrl . Kesain Blanc. Jakarta. 81 pp. Krochta, J.M. 1992. Control of mass transfer in food with edible coatings and film. I Singh, R.P. and Wi a a ta n rkr Kusumah, M. A. (eds.).Advances in Food Engineeri g. CRP Press: Boca Paton, F. K. p. 517-538 n Krochta, J.M. and Johnston, C.M. 1997. Edible and biodegradable polymer films. Food Technology. 9 1 3 . :-0 Michael, A., Shiella, M.D., Domingo, C.T., James, J.M., Thomas, A. R. and David, E.W. 2 0 . US Patent and 03 Trade Mark Office 0030017204. p 1 2 . . -5 Poeloengasih, C.D. dan Marseno, D.G. 2003. Karakterisasi edible film komposit protein biji kecipir dan tapioka. J Teknologi dan Industri Pangan. 1 . 4 ():8 3 Suryaningrum, T. D., Murdinah dan Erlina, M.D. 2003. Pengaruh perlakuan alkali dan volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan dari rumput l u Eucheuma cottonii. J. Penel. Perik. Indonesia. at Edisi Pasca Panen. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. 9 ():6 -6 5 5 7.

12

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur St atistika, Suatu Pendekatan Biometrik.Alih Bahasa B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta . p. 377-398 . Teramoto, T. 1990. Seaweeds their chemistry and uses. I Motohiro, T., Hashimoto, K., Kadota, H. and n Tokunaga T. ( d . . Science of Processing Marine es)

Food Products. Japan International Cooperative Agency. Hyogo International Center. p. 142- 156. Theresia, V. 2 0 . Aplikasi dan Karakterisasi Sifat Fisik 03 Mekanik Plastik Biodegradable dari Campuran LLDPE dan tapioka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. p. 134-137. W u. L.C. dan Bates, R.P. 1973. Soy protein-lipids film. Optimum of film formation. J. Food Sci. (37):40 -44.

13

14

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

KARAKTERISASI MUTU GELAT N YANG DIPRODUKSI DARI TULANG I IKAN PAT N (Pangasius hypopthalmus) SECARA EKSTRAKSI A S A M I) Rosmawaty Peranginangin, Mulyasari, Abdul Sari dan Tazwir*

ABSTRAK Mutu gelatin yang diproduksi dari tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dengan cara perendaman tulang ikan patin dalam asam HCl pada pH 0,37 yang kemudian dicuci dan diekstraksi pada suhu 90oC selama 7 jam dan filtratnya dikeringkan dalam oven suhu 50oC selama 36-48 jam telah dikarakterisasi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa rendemen 15,38% dengan kadar air 9,26%, kadar abu 2,26%, kadar protein 85,91% dan kandungan kalsium 57,5 mg/100 gr. Hasil pengujian Escherichia coli dan Salmonella adalah negatif. Sedangkan pengujian organoleptik menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis gelatin mempunyai nilai bau yang sama dengan standar tetapi nilai penampakan dan warnanya lebih rendah dari gelatin standar dan komersial. A B S T R A C T: Characterization of gelatin produced from catfish (Pangasius hypopthalmus) bone by acid extraction. By: Rosmawaty Peranginangin, Mulyasari, Abdul Sari and Tazwir

Characterization of gelatin quality produced from catfish (Pangasius hypopthalmus) bone by dipping process in HCl solution at pH 0.37 followed by cooking for 7 hours at 90oC and filtering,then d y n t e f l r t a 5 oC for 36-48 hours had been conducted. Result of the experiment revealed rig h itae t 0 that the yield was 15.38%, while the water, ash , protein and calcium contents were 9.26%, 2.26%, 85.91% and 57.5 mg/100 g respectively. Escherichia coli and Salmonella test gave negative result but from organoleptic test panelist agree that gelatin from catfish bone had lower appearance and colour than commercial and standard gelatin although the odor was similar to standard gelatin. KEYWORDS: gelatin, bone fish, acid extraction, characterization

PENDAHULUAN Gelatin adalah suatu bahan tambahan protein murni yang diperoleh dari hidrolisis kolagen. Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuata g l t n t p A, bahan baku diberi perlakuan n eai ie perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal dengan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diberikan adalah perendaman dalam larutan basa. Proses ini disebut dengan proses alkali (Utama, 1997; Anon., 2002). Perlakuan dengan proses asam akan menghasilkan gelatin dengan titik isoelektrik pH 6 dan 9 yang menyebabkan muatan total positip sesuai untuk penggunaan dalam pangan. Bahan baku yang berasal dari ikan biasanya diproses dengan tipe A (Wiyono, 2001). Proses asam lebih disukai dibandingkan proses basa, karena pembuatan gelatin dengan proses asam memerlukan waktu yang relatif singkat dibandingkan proses basa. Gelatin mengandung 19 asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai

polimer panjang (Glicksman, 1969). Senyawa gelatin merupakan suatu polimer linier yang tersusun oleh satuan berulang asam amino glisin-prolin atau glisinhidroksiprolin (Anon., 2002). Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin merupakan asam amino yang utama (Charley, 1 8 ) 92. Penggunaan gelatin dalam pengolahan pangan lebih banyak disebabkan oleh sifat fisik dan kimia gelatin yang khas dan juga karena nutrisinya yang mengandung protein, rendah kalori dan bebas dari k l s e o . Asam amino yang ditemukan pada gelaoetrl tin tidak lengkap, yaitu tidak terdapat asam amino triptofan (Anon., 2002; Fernandez e a ., 2001). tl Dalam industri pangan gelatin dapat berfungsi sebagai pembentuk gel, pemantap emulsi, pengental, p n i a a r, pelapis, dan pengemulsi. Gelatin sebagai egkt i pelindung koloid dapat berguna dalam industri fotografi dan pelapisan logam dalam industri electroplating. Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke gel, atau sebaliknya, juga dapat membengkak atau mengembang dalam ardni ( i i g n Yoshimura e a , 2 0 ) S f t s f t y n t l. 0 0 . i a - i a a g dimiliki gelatin tersebut membuat gelatin lebih disukai

* )

Peneliti pada Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

15

R. Peranginangin, Mulyasari, A. Sari dan Tazwir

dibandingkan bahan-bahan pembentuk gel lainnya seperti gum xantan, karaginan dan pektin (Utama, 1997). Banyak persyaratan mutu gelatin yang diberikan oleh industri dan hal ini ditentukan oleh penggunaan bahan gelatin tersebut. Untuk tujuan pemakaian dalam bidang farmasi misalnya pembuatan kapsul keras dan kapsul lunak juga mempunyai persyaratan kekuatan gel dan viskositas yang berbeda. Demikian juga dengan pemakaian dalam produk pangan. Pada awalnya persyaratan utama dari gelatin adalah kekuatan gel kemudian diikuti oleh persyaratan viskositas, kemudian berkembang dengan persyaratan lainnya seperti kimia dan mikrobiologi. Nilai komersial gelatin semakin tinggi dengan semakin tingginya kekuatan gel dan viskositasnya (Wainewright, 1977). Karakteristik kimia dan teknis dari gelatin merefleksikan suhu lingkungan asal dari setiap spesies (Arnesen & Gildberg, 2002). Umumnya kolagen dari spesies yang berasal dari lingkungan temperatur rendah mempunyai kandungan asam amino (p o i e rln dan hydroxyproline) yang lebih rendah dari spesies yang hidup pada temperatur tinggi. Dengan demikian gelatin yang diproduksi dari kolagen temperatur rendah mempunyai sejumlah ikatan hidrogen yang rendah dalam larutan air dan titik leleh yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin yang dibuat dari spesies ikan dari lingkungan temperatur tinggi atau dari mamalia (Choi & Regenstein, 2000, Yoshimura e a , t l. 2000). Dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi mutu gelatin yang diproduksi dari tulang ikan patin secara asam untuk mengetahui kemungkinan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pangan dan farmasi. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan utama adalah tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang diperoleh dari limbah pengolahan fillet dari Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauta , I s i u P r n n t t t e tanian Bogor. Tulang ikan segar disimpan dalam cool box y n d b r ag iei es lalu dibawa ke Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan di Jakarta untuk diproses lebih lanjut. Bahan-bahan lain yang digunakan sebagai pembanding gelatin yang dihasilkan adalah gelatin pangan terbuat dari sapi yang dijual secara komersial yang kemudian disebut sebagai gelatin komersial dan gltns e a i tandar tipe A dari kulit ikan perairan dingin

buatan SIGMA yang diperuntukkan khusus R&D bukan untuk pangan. Bahan lain yang digunakan adalah HCl pekat untuk larutan perendaman tulang ikan, dan NaOH 0,1 M untuk netralisasi larutan. Metode Tulang ikan patin dicuci dengan air bersih untuk selanjutnya dilakukan perebusan untuk degreasing yaitu menghilangan lemak serta kotoran lain yang menempel pada tulang. Perebusan ini dilakukan selama 25 menit pada suhu 80oC. Tulang yang sudah direbus kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama tiga hari sehingga kering. Bahan ini disimpan dalam suhu kamar dan digunakan sebagai bahan baku untuk ekstraksi gelatin. Tulang ikan yang telah bersih dipotong-potong 1,5-2 cm. Kemudian tulang ikan dilakukan demineralisasi sehingga diperoleh ossein, y i u t l n at uag yang sudah menjadi lunak. Demineralisasi dilakukan dengan merendam tulang dalam larutan HCl pH 0,37 selama 24 jam dengan perbandingan 1:4 (w/v). Tulang kemudian dicuci dengan air mengalir sampai tercapai pH 6-7. Kemudian dilakukan ekstraksi yaitu proses konversi kolagen menjadi gelatin. Pada proses ekstraksi perbandingan antara ossein dengan air pengekstrak (aquades) adalah 1:3 (w/v). Suhu yang digunakan adalah 90oC serta lama ekstraksi 7 jam. Hasil ekstraksi disaring menggunakan kapas dan kain saring blacu, kemudian filtrat dituang ke dalam pan alumunium 48 x 39 cm yang diberi alas plastik tahan panas High Density Polyethylene (HDPE) dengan ketebalan 0,6 cm. Pengeringan dilakukan pada oven 50oC selama 36-48 jam sehingga diperoleh gelatin berbentuk lembaran (Nurilmala, 2004). Analisis mutu gelatin dilakukan terhadap : kadar total protein dengan metode Kjeldahl (AOAC, 1984), kadar total lemak (Apriyantono e a. 1989), kadar t l, abu dan kadar air , kadar kalsium, titik leleh dan titik gel (Suryaningrum & Utomo, 2002) dan titik isoelektrik protein (Wainewright, 1977). Filtrat dianalisis kadar nitrogennya dengan metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1984). Kadar nitrogen terlarut yang paling rendah ditentukan sebagai daerah titik isoelektrik (pI). Analisis asam amino dilakukan dengan menggunakan HPLC (Waters Associates) dengan detektor model 440 Absorbance Detector Waters Associates (AOAC, 1984). Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis adalah: -Temperatur kolom - Kolom - Kecepatan alir - Batas tekanan : 3 oC 8 : pico tag 3.9 x 150 nm coulom : sistem gradien linier : 3000 psi

16

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

- Program - Fase gerak

:g a i n rdet : Asetonitril 60% - Buffer natrium asetat 1 M, pH 5,75 - Detektor : UV,panjang gelombang 254 nm Analisis asam lemak menggunakan alat GC (Hitachi 263-50). Jenis rekorder yang digunakan adalah Htachi D 2000 (AOAC, 1984). Analisis kadar kalsium i (Apriyantono e a. 1989) dengan menggunakan AAS t l, Perkin Elmer 2380 sehingga absorbansi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang 422,7 nm. Analisa mikrobiologi meliputi : Escherichia coli (SNI 01-2332, 1991) dan Salmonella (SNI 01-2335, 1991). Uji organoleptik (Soekarto & Hubeis, 1991) yang dilakukan adalah uji pasangan berarah. Sejumlah sampel disajikan bersama dengan pembanding, kemudian sifat mutu produk yang meliputi warna, bau dan penampakan dinilai apakah lebih baik, sama, atau kurang. Pembanding yang digunakan adalah gelatin standar dan gelatin komersial. Panelis yang menguji Ta e 1 bl . Ta l 1 be .

adalah panelis terlatih sebanyak 15 orang. Data hasil respon dari 15 orang panelis terlatih dianalisis dengan c r ta e . Tabel yang digunakan adalah tabel beda aa bl nyata pada uji segitiga dengan hipotesis berekor satu. Jika jumlah panelis 15 orang, maka untuk dinyatakan berbeda nyata, jumlah respon yang terkecil terhadap pembanding harus mencapai 9 orang pada tingkat beda nyata 5%, atau mencapai 10 orang pada tingkat beda nyata 1%. HASIL DAN BAHASAN Kekuatan Gel, Viskositas dan pH Gelatin dari Tulang Ikan Patin Gelatin yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai kekuatan gel 279,10 bloom, viskositas sebesar 4,17 cPs dan pH 4,61 (Tabel 1). Untuk gelatin sebagai bahan pangan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan untuk bahan farmasi pada Tabel 3. Dibandingkan dengan Tabel 2 dan 3 maka kekuatan gel gelatin yang diperoleh termasuk kelas

Nilai kekuatan gel (bloom), viskositas (cPs) dan pH gelatin tulang ikan patin, standar dan komersial Value of gel strength (bloom), viscosity (cPs) and pH of catfish, standard and commercial gelatin

Parameter/ Parameters Kekuatan gel/ Gel strength Viskositas/Viscosity pH

Gelatin Tulang ikan patin/ Catfish bone 279.10 4.17 4.61 Standar/ Standard Tidak membentuk gel/ Not forming gel 6.00 5.90 Komersial/ Commercial 328.57 7.00 5.00

Ta e 2 bl . Ta l 2 be .

Sp s f k s g l t n pangan eiiai eai Edible gelatin specifications

Pa ra m e te r/Param eters Kekuatan Gel/Gel strength (Bloom) Viskositas/Viscosity (cPs) pH Abu/Ash (% ) Kadar air/Moisture (% ) Jumlah bakteri (TPC)/Numb er of b acteria (cfu/100g) Koliform/Coliform (MPN/100g) E.coli Salmonella

Ke la s A/ A Grade 220 4.5 1.0 1x103 30

Ke la s B/ B Grade 180 3.5 5.5-7.0 2.0 14 5x10 3 30 Negatif/Negative Negatif/Negative

Ke la s C/ C Grade 100 2.5 2.0 1x10 4 150

17

R. Peranginangin, Mulyasari, A. Sari dan Tazwir

khusus yang memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk pangan maupun untuk farmasi. Hasil penelitian dari segi kekuatan gel tidak dibandingkan dengan gelatin standar karena gelatin ini dikhususkan untuk tidak menjendal pada suhu kamar maupun dingin karena digunakan untuk bahan blocking dalam immunokimia (Sigma, 2002).

Nila merah hanya 3,20 cPs (Jamilah & Harvinder, 2002). Nilai pH gelatin dari tulang ikan patin (4,61) lebih rendah dari pH standar (5,9) dan pH gelatin komersial (5,0). Dengan demikian gelatin tulang ikan patin memenuhi kriteria sebagai bahan pangan (pH 4,5) tetapi tidak memenuhi untuk farmasi (pH 5,5-7,0).

Ta e 3 bl . Ta l 3 be .

Spesifikasi gelatin untuk farmasi Pharmaceutical gelatin specifications

Parameter/Parameters Kadar air/Moisture content (%) Kekuatan gel/Gel strength (Bloom) Viskositas/Viscosity (cPs) Abu/Ash (%) pH Mikrobiologi/Microbiology (cfu/100 g) E. coli /100 g Salmonella

Kelas khusus/ Mutu kesatu/ Mutu kedua/ Mutu ketiga/ Special class First class Second class Third class 14.0 240 4.7 1.0 14.0 200 4.2 1.0 5.5 7.0 0,05). Karboksi metil kitosan (KMK) yang dihasilkan dari kitosan cangkang rajungan dengan proses eterifikasi menggunakan rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1 menghasilkan rendemen tertinggi (93,8%). Jika menggunakan kitosan dari kaki rajungan, diperlukan rasio 0,8:1,2 untuk menghasilkan rendemen tertinggi (~ 90%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan rendemen KMK yang dihasilkan dari kitosan limbah udang windu, yaitu 57-98% (Dwiyitno e a ., 2004). Dwiyitno e a tl t l. (2004) menggunakan rasio kitosan:monokloro asetat 11 :.

81

D.A. Oktavia, S. Wibowo dan Y.N. Fawzya

90 80 Rendemen/Yield (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 (1:1) (0.9:1.1) (0.8:1.2)Cangkang/Carapace Kaki/Leg

Perbandingan kitosan : monokloro asetat/ Ratio chitosan : monochloro acetate

Gambar 2. Figure 2.

Rendemen karboksimetil kitosan yang dibuat dari kitosan limbah cangkang dan kaki rajungan dengan berbagai rasio campuran kitosan dan monokloro asetat. Yield of carboxymethyl chitosan made from swim crab carapace and leg chitosan at various mixing ratio of chitosan and monochloro acetate.

Meningkatnya rendemen disebabkan oleh banyaknya jumlah gugus asetil dari monokloro asetat yang mensubstitusi ion H+ pada gugus OH- dan amida kitosan. Bila jumlah monokloro asetat yang ditambahkan cukup banyak, rendemen karboksimetil kitosan juga akan meningkat. Selain rasio tersebut, suhu juga berperan terhadap meningkatnya rendemen dan penggunaan suhu yang tinggi akan mengakibatkan reaksi eterifikasi lebih baik (Bader & Birkholz, 1997). Hasil tersebut di atas memberikan indikasi bahwa peningkatan jumlah monokloro asetat yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan rendemen. Di sisi lain, jenis bahan baku yang digunakan juga tidak berpengaruh secara nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Kelarutan Sifat karakteristik lain dari kitosan larut air adalah kelarutannya. Pengaruh jumlah monokloro asetat dan jenis bahan baku yang digunakan terhadap kelarutan KMK yang dihasilkan tampak seperti pada Gambar 3. Hasilnya cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 64,5% - 95,5%. Jumlah monokloro asetat memberikan pengaruh yang nyata (p< 0,05) terhadap kelarutan KMK. Peningkatan jumlah monokloro asetat hingga 1,1 bagian (rasio kitosan:monokloro asetat = 0,9:1,1)

mampu meningkatkan kelarutan KMK secara nyata (p< 0,05). Peningkatan jumlah monokloro asetat lebih dari itu (rasio kitosan:monokloro asetat = 0,9:1,1 dan 0,8:1,2) tidak mampu meningkatkan kelarutan KMK secara nyata (p< 0,05). Pada dasarnya, eterifikasi dengan monokloro asetat merupakan upaya untuk meningkatkan jumlah gugus fungsional yang lebih bersifat polar sehingga meningkatkan kelarutan. Semakin banyak jumlah monokloro asetat yang digunakan pada reaksi eterifikasi akan mengakibatkan makin banyak gugus asetil yang mensubstitusi ion H + , sehingga menghasilkan kelarutan KMK yang tinggi pula. Namun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah monokloro asetat hingga batas tertentu saja (rasio kitosan:monokloro asetat = 0,9:1,1) yang mampu meningkatkan kelarutan KMK secara nyata. Peningkatan jumlah monokloro asetat yang lebih tinggi tidak memberikan pengaruh cukup berarti terhadap peningkatan kelarutan KMK. Fenomena ini mungkin dapat dijelaskan dengan melihat tingkat substitusinya (derajat substitusi). Di sisi lain, dari gambar tersebut juga tampak bahwa KMK yang dihasilkan dari kitosan kaki rajungan memiliki kelarutan lebih rendah (79,9%) daripada KMK dari kitosan cangkang (95,5%). Jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kelarutan KMK yang dihasilkan (p< 0,05). Mengingat perbedaan kelarutan yang cukup besar tersebut, pemisahan kaki dengan

82

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

100 Kelarutan/Solubility (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 (1:1) (0.9:1.1) (0.8:1.2)Cangkang/Carapace Kaki/Leg

Rasio kitosan : monokloro asetat/ Chitosan : monochloro acetate ratioGambar 3. Figure 3. Kelarutan karboksimetil kitosan yang dibuat dari kitosan limbah cangkang dan kaki rajungan dengan berbagai rasio campuran kitosan dan monokloro asetat. Solubility of carboxymethyl chitosan made from swim crab carapace and leg chitosan at various mixing ratio chitosan and monochloro acetate.

cangkang rajungan diharapkan akan dapat menghasilkan produk KMK yang lebih homogen dengan kelarutan yang lebih baik. Cangkang rajungan menghasilkan KMK yang lebih tinggi kelarutannya daripada kaki rajungan. Perbedaan fungsi bagian tubuh rajungan (cangkang dan kaki) mungkin dapat menyebabkan perbedaan keberadaan kitosan pada bahan tersebut sehingga menuntut perlakuan yang tidak sama. Kemungkinan lain adalah adanya perbedaan fisik bahan antara cangkang dan kaki. Hal ini mengindikasikan perlunya perlakuan yang lebih pada kaki rajungan untuk menghasilkan KMK yang setara dengan KMK dari cangkang rajungan. Cangkang rajungan yang berupa lembaran terbuka memberikan peluang lebih besar bagi akses reaksi selama proses pembuatan kitosan, baik dengan NaOH pada tahap deproteinasi maupun HCl pada tahap demineralisasi, daripada kaki rajungan yang menyerupai pipa. Kelarutan suatu zat pada dasarnya tergantung pada sifat fisikokimia zat terlarut dan pelarutnya, suhu, tekanan dan pH larutan (Fawzya e a t l., 2004). Demikian juga dengan kelarutan KMK, sangat ditentukan oleh keberhasilan reaksi eterifikasi dengan monokloro asetat. Semakin banyak gugus asetil yang mensubstitusi ion H+ pada gugus hidroksil maupun amina, maka kelarutan KMK semakin tinggi (Dwiyitno e a , 2 0 ) Adanya peningkatan kelarutan KMK t l. 0 4 .

sesuai dengan bertambahnya perbandingan jumlah monokloro asetat yang ditambahkan pada kitosan. Aumeilia (2004) juga mendapatkan bahwa penggunaan jumlah mol monokloro asetat yang lebih tinggi akan meningkatkan nilai kelarutan karboksimetil kitin. Namun data kelarutan ini tidak menunjukkan korelasi dengan derajat substitusi (DS) (Gambar 5). Perlakuan rasio 0,8:1,2 yang menghasilkan kelarutan tertinggi tidak menghasilkan DS yang tertinggi. DS tertinggi dihasilkan oleh perlakuan rasio 0,9:1,1. Perlakuan rasio 1:1 menghasilkan kelarutan yang tidak terlalu tinggi (sekitar 64%), meskipun DS mencapai nilai sekitar 1. Hal yang sama dilaporkan oleh Nudga e t a ( 9 4 dalam Hayes (1986), bahwa O-Karboksimetil l. 1 7 ) kitosan yang dihasilkan belum larut dalam air meskipun mempunyai DS>1, dan tidak larut jika DS < 1. Sebaliknya, Muzzarelli e a ( 9 2 dalam Hayes t l. 1 8 ) (1986) melaporkan bahwa N-Karboksimetil kitosan larut dalam air meskipun DS-nya berkisar antara 0,251,0. Sedangkan Hayes (1986) menemukan bahwa N,O-Karboksimetil kitosan dengan DS 0,40,8 bersifat larut dalam air. Viskositas Karakteristik lain yang mencirikan suatu polimer adalah kemampuannya dalam menghasilkan larutan yang lebih kental daripada pelarut murninya. Pengaruh rasio kitosan : monokloro asetat dan jenis bahan baku

83

D.A. Oktavia, S. Wibowo dan Y.N. Fawzya

yang tidak berbeda nyata terhadap viskositas KMK yang dihasilkan, disajikan pada Gambar 4 yang hasilnya bervariasi antara 450-485 cPs. Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi (Fawzya e a , 2 0 ) t l. 0 4 . Selain itu, viskositas kitosan dan turunannya berkaitan dengan panjang rantai polimer yang juga mencerminkan berat molekulnya. Polimer dengan rantai panjang sehingga BM-nya tinggi akan memiliki viskositas tinggi dan sebaliknya (Kyoon e a , 2 0 ) t l. 0 3 . Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemotongan rantai polimer sehingga menyebabkan turunnya viskositas adalah suhu, waktu, enzim-enzim tertentu dan basa kuat yang terjadi misalnya pada proses deasetilasi kitin dan karboksimetilasi (Rinaudo ea t l., 1992). Pemanasan yang terjadi akan memutus rantai polimer (depolimerisasi) yang akan menghasilkan KMK dengan rantai yang lebih pendek.

Derajat Substitusi (DS) Derajat substitusi (DS) menggambarkan jumlah gugus hidroksil pada monomer N-asetil-glukosamin yang disubstitusi oleh gugus karboksimetil. Derajat substitusi pada KMK yang dihasilkan dari kitosan cangkang rajungan berkisar antara 1,05-1,11 , sedangkan yang diperoleh dari kitosan kaki rajungan berkisar antara 1,00-1,15 (Gambar 5). Te l h t pada Gambar 5 bahwa peningkatan jumlah ria monokloro asetat tidak selalu menghasilkan DS yang tinggi. Nilai DS 1-2 menunjukkan bahwa substitusi kemungkinan terjadi di dua tempat yaitu di gugus amin (NH2), dan gugus hidroksil (OH) pada posisi O di C6. Menurut Hayes (1986), setiap monomer kitosan secara teoritis dapat mengalami substitusi di tiga tempat yaitu pada posisi N dan gugus hidroksil pada posisi O di C3 dan O di C6; namun karena posisi N

500 Viskositas/Viscosity (cPs) 460 420 380 340 300 260 220 180 140 100 (1:1) (0.9:1.1) (0.8:1.2)Cangkang/Carapace Kaki/Leg

Perbandingan kitosan : monokloro asetat/ Ratio chitosan : monochloro acetate

Gambar 4. Figure 4.

Viskositas karboksimetil kitosan yang dibuat dari kitosan limbah cangkang dan kaki rajungan dengan berbagai rasio campuran kitosan dan monokloro asetat. Viscosity of carboxymethyl chitosan made from swim crab carapace and leg chitosan at various mixing ratio chitosan and monochloro acetate. dan posisi O di C6 jauh lebih reaktif daripada O di C3 maka substitusi kemungkinan besar hanya terjadi di posisi N dan posisi O di C 6, sehingga nilai DS maksimum adalah 2. Penelitian Hayes (1986) diperkuat juga oleh Thatte (2004) yang menunjukkan bahwa reaksi eterifikasi yang terjadi pada kitosan menjadi KMK adalah seperti pada Gambar 6 dan 7. Derajat substitusi yang dihasilkan dengan rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1 berbeda nyata (p0,05) terhadap rasio kitosan : monokloro asetat 1:1. Perlakuan jenis limbah cangkang tidak berbeda nyata dengan jenis limbah kk. ai Hasil ini tampaknya sejalan dengan kelarutan KMK yang dihasilkan. Peningkatan jumlah monokloro asetat hingga rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1 dapat meningkatkan DS secara nyata, lebih dari itu

pengaruhnya tidak cukup berarti. Ini memberikan indikasi bahwa peningkatan kelarutan KMK yang dihasilkan berkaitan erat dengan tingkat DSnya. Tampaknya efektifitas substitusi ditentukan oleh jumlah monokloro asetat yang ditambahkan. Penambahan monokloro asetat yang berlebihan tidak memberikan pengaruh yang lebih baik, baik terhadap DS maupun kelarutan KMK yang dihasilkan. B g i a ah li id p tt r a ip r ud k j l b hl n u . aamn a n aa ejd el iai ei ajt

Gambar 6. Karboksimetilasi kitosan pada posisi O. Figure 6. O-Carboxymethylation of chitosan.

Sumber/Source: Hayes (1986); Thatte (2004)

85

D.A. Oktavia, S. Wibowo dan Y.N. Fawzya

Gambar 7. Karboksimetilasi kitosan pada posisi N. Figure 7. N-Carboxymethylation of chitosan.

Sumber/Source: Hayes (1986); Thatte (2004)

Kemungkinan terjadinya polimerisasi atau reaksi silang tampaknya dapat dikesampingkan mengingat rendemen yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Faktor waktu mungkin dapat meningkatkan DS maupun kelarutan KMK karena akan memberikan peluang lebih banyak bagi terjadinya reaksi eterifikasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh volume yang ada di dalam sistem, penambahan monokloro asetat yang semakin banyak sehingga volume di dalam sistem juga semakin banyak mengakibatkan substitusi belum berjalan optimal dengan waktu reaksi yang sama (2 jam). Akibatnya nilai DS belum meningkat. Ada kemungkinan apa i a w k u e e i i a i bl at trfks diperpanjang akan menghasilkan nilai DS yang meningkat. Substitusi terjadi pada posisi N dan masing-masing dari 2 gugus hidroksil pada posisi O kitosan (posisi O di C3 dan O di C6), tetapi hanya di gugus NH2 dan -OH pada posisi C6 yang secara nyata t r a is b t t s . ejd usiui Derajat substitusi juga dipengaruhi oleh jumlah natrium hidroksida yang digunakan pada saat pembentukan alkoksida kitosan. Menurut Manguiat e a ( 0 1 dalam Fawzya e a (2004) adanya variasi t l. 2 0 ) t l. nilai derajat substitusi kemungkinan disebabkan

terbentuknya reaksi samping, yaitu asam glikolat yang menyebabkan asam monokloro asetat tidak tersubstitusi secara sempurna karena sebagian telah bereaksi dengan natrium hidroksida. pH Nilai pH berpengaruh pada kualitas KMK, karena pemanfaatannya akan semakin luas dengan pH yang mendekati netral (Wuriyandari, 2002). Derajat keasaman produk KMK yang didapat berkisar antara 3,5-4 (Ta e 1 . bl ) Nilai pH yang didapat masih di bawah netral, sebagaimana hasil yang diperoleh oleh Dwiyitno (2003) yaitu pH < 4. Nilai pH ini sesuai dengan perlakuan pengaturan pH yaitu setelah reaksi eterifikasi, pH yang didapatkan masih belum mendekati pH netral, karena pada penelitian ini tidak dilakukan pencucian terhadap produk KMK yang dihasilkan. Tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan dan jenis limbah rajungan yang digunakan. Untuk menghasilkan KMK dengan pH netral, dapat dilakukan dengan cara pencucian berulang-ulang menggunakan metanol yang harganya relatif lebih murah dibandingkan IPA ( s p o i a k h l . iorpl loo)

Ta e 1 bl . Ta l 1 be .

pH karboksimetil kitosan pH of carboxymethyl chitosanPe rba ndinga n kitosa n : m onokloro a se ta t/ Ratio chitosan : m onochloro acetate 1:1 3.5 + 0.71 3.5 + 0.71 0.9 : 1.1 3.5 + 0.71 3.5 + 0.71 0.8 : 1.2 4.0 + 0 4.0 + 0

Je nis lim ba h/Type of waste Cangkang/Carapace Kaki/Leg

86

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

KESIMPULAN 1 . Jumlah monokloro asetat yang digunakan maupun jenis bahan baku tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen KMK yang dihasilkan. Rendemen KMK tertinggi adalah 93,8% yang diperoleh dari kitosan cangkang rajungan yang mendapat perlakuan eterifikasi dengan rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1. Jumlah monokloro asetat maupun jenis bahan berpengaruh nyata terhadap kelarutan KMK yang dihasilkan. Monokloro asetat berpengaruh nyata terhadap KMK yang dihasilkan hingga rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1 dan lebih dari itu tidak memberikan pengaruh berarti. Kelarutan tertinggi adalah 95,5% yang diperoleh dari kitosan cangkang rajungan dengan perlakuan eterifikasi menggunakan rasio kitosan:monokloro asetat 0,8:1,2. Sementara itu, kitosan cangkang rajungan menghasilkan KMK dengan kelarutan lebih tinggi daripada KMK dari kitosan kaki rajungan. Jumlah monokloro asetat berpengaruh nyata terhadap derajat substitusi KMK yang dihasilkan hingga pada rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1, namun selebihnya tidak berpengaruh. Sementara itu, jenis bahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas maupun derajat substitusi KMK yang dihasilkan. Proses untuk menghasilkan KMK yang digunakan dalam penelitian ini masih belum mampu menghasilkan KMK dengan pH netral atau mendekati netral. Penambahan monokloro asetat sebaiknya dibatasi hingga rasio kitosan:monokloro asetat 0,9:1,1 untuk menghasilkan tingkat kelarutan dan derajat substitusi yang optimal.

DAFTAR PUSTA K AAnonymous. 2002. American Society for Testing Materials (ASTM) Method. 6(3): 314-316. Anonymous. 2004. There is A Lot More to Shell Fish than Meets The Eye. www.cheminst.ca/ncw/articles/ 1995_shellfish_e_.htmlinst.ca/ncw/article Alamsyah, A. 2000. Modifikasi Pembuatan Kitosan Larut A r. S r psi. Program St d Teknologi Hasil Perikanan. i ki ui Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 3 p . 6 p Aumeilia, W. 2 0 . Pengaruh Jumlah Asam Monokloro 04 Asetat dan Jenis Pelarut Organik Pengendap pada Pembentukan Karboksimetil Kitin. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Pancasila. Jakarta. p. 38-40 Bader, H.J. and Birkholz, E. 1997. Teaching chitin chemity.I Muzzarelli, R.A.A and Peter, M.G. ( d . . C i i sr n es) h t n Handbook. European Chitin Society. p. 507-519. Bough, W.A., Wu A.C.M., Campbell, T.E., Holmes, M.S. , and Perkin, B.E. 1978. Influence of manufacturing variables of the characteristics and effectiveness of chitosan products. Biotechnology Bioengineering. 20:1945-1955. Chen, Rong-Huei, Chang, Jaan-Rong and Shyur, J - h i uSi. 1997. Effects on ultrasonic conditions and storage in acidic solutions on changes in molecular weight and polydispersity of treated chitosan. Carbohydrate Research. 299:287-294. Chen, Lingyun, Du, Yumin and Zeng, Xiaoqing. 2003. Relationships between the molecular structure and moisture-absorpstion and moisture-retention abilities of carboxymethyl chitosan. II. Effect of degree of deacetylation and carboxymethylation. Carbohydrate Research. 338:333-340. Chen, Lingyun, Tian, Zhigang, Du, Yumin and Sun, L. 2004. Effect of the degree of deacetylation and the substitution of carboxymethyl chitosan on its aggregation behavior.J. of Polymer Science Part B: Polymer Physics. 43(3):296-305. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Stt s i aitk Perikanan Tangkap Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta p 1 . . 7 Dwiyitno. 2003. Pengaruh Suhu terhadap Karakteristik Karboksimetil Kitosan (CMCTs. Laporan Teknis. ) Bagian Proyek Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 4 6. Dwiyitno, Basmal, J. dan Mulyasari. 2004. Pengaruh suhu esterifikasi terhadap karakteristik karboksimetil kitosan (CMCts). J. Penel. Perik. Indonesia. E i i ds Pasca Panen. 10 (3):67-73. Fawzya, Y.N., Zilda, D.S., Mulyasari, Chasanah, E., Ambarwaty, D., Wibowo, S. dan Suparno. 2004. Pengaruh suhu dan perbandingan kitosan dengan asam monokloro asetat (kimo) terhadap karakteristik karboksimetil kitosan. Laporan Teknis Riset Produksi Kitosan dan Derivatnya serta Uji Aplikasinya. Bagian Proyek Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 39-70.

2 .

3 .

4 .

5 .

SARAN 1 . Untuk menghasilkan produk KMK dengan kelarutan homogen dan lebih baik, hendaknya dilakukan pemisahan antara kaki dan cangkang rajungan. Perlu dilakukan upaya perbaikan proses yang digunakan untuk menghasilkan KMK dengan pH yang netral atau mendekati netral. Faktor waktu dan suhu perlu dipertimbangkan sebagai variabel yang dapat berpengaruh terhadap DS maupun kelarutan KMK. Pengaruh jumlah monokloro asetat yang berlebihan perlu dikaji untuk dapat menjelaskan fenomena yang ada.

2 .

3 .

4 .

87

D.A. Oktavia, S. Wibowo dan Y.N. Fawzya

Gates, K.W. 1991. Waste reduction, water conservation and recovery of seafood by products Marine Technol . Soc. J. 25:44 51. Hayes, E.R. 1986. N, O-Carboxymethyl Chitosan and Preparative Method Therefore. US Patents. 4,619,995. 7 pp. Kyoon, N.H., Won, J.N. and Meyers, S.P. 2003. Eff c o et f time/temperature treatment parameters on depolymerization of chitosan. J Appl. Poly. S i. 87:1890 . c 1894. Lembono, S. 1989. Pembuatan Susu Bubuk Kedelai dengan Alat Pengering Semprot. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. p 3 . . 9 L n Yu-Hsin, Liang, Hsiang-Fa, Chung, Ching-Kuang, i, Chen, Mei-Chin and Sung, Hsing-Wen. 2005. Physically crosslinked alginate/n,o-carboxymethyl chitosan hydrogels with calcium for oral delivery of protein drugs. Biomaterials. 26:2105-2113. Muzzarelli, R.A.A., Rocchetti, R., St anic, V. and Weckx, M. 1997. Methods for the determination of degree of acetylation of chitin and chitosan. I Muzzarelli, R.A.A. n and Peter, M.G. ( d . . Chitin Handbook. European es) Chitin Society. p. 109-132. Rinaudo, M., Le Dung, Pham and Milas, M. 1992. A new and simple method of synthesis of carboxymethylchitosans. I Brine, C.J., Sandford, P.A. and Zikakis, n J.P. ( d . . Advances in Chitin and Chitosan. E s v e es) leir Appl. Sci. p. 516-523.

Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur St t s i a.2nd ed. PT. Gramedia, Jakarta. 748 pp. aitk Sii, A.L., Nichadain, S.N., Moore, J.A. and Kirchman, vtl D.L. 1997. Chitin degradation proteins produced by the marine bacterium Vibrio harveyii growing on different forms of chitin. Appl. Environment. Microbiology. 63(2):408-413. Thatte, M.R. 2004. Synthesis and Antibacterial Assessment of Water-Soluble Hydrophobic Chitosan Derivatives Bearing Quaternary Ammonium Functionaiy. D s e tation. Faculty of Louisiana St Univerlt i s r ate s t a d Agricultural Mechanical College. Department iy n of Chemistry. Baton Rouge Los Angeles. 107 pp. W ibowo, S., Savant, V. a d Torres, J.A. 2003. E f c o n fet f Chitosan Concentration and Treatment Time on Protein Adsorption From Surimi Wash Water. [PhD dissr e tation], Corvallis, OR: Oregon St Univ. 142 pp. ate W u A.C.M. and Bough, W.A. 1978. A study of variables in , the chitosan manufacturing process in relation to molecular weight distribution, chemical characteristics and waste-treatment effectiveness. I Muzarelli, n R.A.A. and Pariser, E R ( d . . Proceedings of The .. es) First International Conference on Chitin/Chitosan. Cambridge, MA. p. 88-102. W uriyandari, Y. 2 0 . Pengembangan Turunan Kitosan 02 Larut A r. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu i Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta. 16 pp.

88

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

PENGARUH KONSENTRASI ASAM MONOKLORO ASETAT DAN JENIS PELARUT SEBAGAI BAHAN PENGENDAP TERHADAP PRODUKSI KARBOKSIMETIL KITIN) ) Th. Dwi Suryaningrum* , Jamal Basmal* dan Wi a Aumeilia**) n

ABSTRAK Riset pengaruh konsentrasi asam monokhloro asetat (2, 4, dan 6 mol) dan jenis pelarut organik (metanol dan isopropanol) terhadap sifat-sifat karboksimetil kitin dari cangkang rajungan ( Portunus pelagicus) telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam monokhloro asetat yang digunakan semakin tinggi rendemen karboksimetil kitin yang dihasilkan, dan menunjukkan hasil yang lebih baik pada derajat substitusi, kelarutan dan kekentalan. Pelarut isopropanol menghasilkan rendemen, derajat substitusi, dan kelarutan karboksimetil kitin yang lebih baik dari pada metanol. Namun demikian, derajat deasetilasi dan kekentalan karboksimetil kitin lebih baik jika menggunakan metanol daripada menggunakan isopropanol. Hasil karboksimetil kitin terbaik dihasilkan dari kombinasi perlakuan 4 mol asam mokhloroasetat dan pelarut pengendap metanol, yaitu menghasilkan rendemen sebesar 46,4%, derajat deasetilasi 51,4%, derajat substitusi 0,8, kelarutan 26,2 g/L, viskositas 131,2 cPs, kadar air 8,1% dan kadar abu 1,9%. A B S T R A C T: Effect of monochloro acetic acid concentration and type of solidifying solvent on production of carboxymethyl chitin. By: Th. Dwi Suryaningrum, Jamal Basmal and Wina Aumeilia

A research on the effect of monochloro acetic acid concentration (2, 4, and 6 mol) and type of organic solvent (methanol and isopropanol) on the characteristics of carboxymethyl chitin extracted from swimcrab shell (Portunus pelagicus) has been carried out. The results showed that the higher the mol amount of monochloroacetic acid used, the higher the yield of carboxymethyl chitin resulted and showed better results on degree of substitution, solubility and viscosity. I o r spo panol solvent resulted in a better yield, degree of substitution and solubility than methanol did. However, the degree of deacetylation and viscosity of carboxymethyl chitin were better when using methanol than isopronanol. The best result of carboxymethyl chitin was obtained by using combination treatment of 4 mol monochloro acetic acid and solidifying solvent of methanol, resulted in 46.4% yield, 51.4% degree of deacetylation, 0.8 degree of substitution, 26.2 g/L solublt 131.2 cPs viscosity, 8.1% of moisture content and 1.9% of ash content. iiy, KEYWORDS: carboxymethyl chitin, swimcrab shell, characteristics of carboxymethyl chitin

PENDAHULUAN

2asetamido-2-deoksi--D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan (1 4)glikosidik atau disebut juga Industri perikanan seperti pengolahan udang, N a e i --D-glukosamin (Whistler & Miller, 1 7 ) K t n -stl 93. ii kepiting, rajungan dan lobster dapat menghasilkan dapat digunakan pada berbagai industri pangan dan limbah berupa cangkang yang jumlahnya cukup besar, non pangan maupun farmasi dan diperkirakan yaitu berkisar antara 40-60% untuk udang, dan 75- kebutuhan kitin mencapai satu milyar ton setiap 85% untuk kepiting (Peranginangin, 2004). Apa i a tahunnya (Dahuri, 2003). bl limbah tersebut tidak dimanfaatkan akan menimbulkan Kitin memiliki kemampuan sebagai pengikat air, masalah pencemaran lingkungan. Di lain pihak, limbah pengikat lemak, koagulan dan bersifat biodegradable tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku sehingga membuat kitin menjadi bahan baku yang industri yang bernilai ekonomi tinggi, karena limbah atraktif (Hirano, 1988). Kitin dan derivatnya dapat tersebut adalah sumber utama kitin. digunakan sebagai biomedikal dalam berbagai macam Kitin merupakan biopolimer dengan berat molekul tujuan seperti bakteriostatik, kosmetik, spermisidal, tinggi yang paling banyak terdapat di alam setelah sarung tangan operasi, imobilisasi enzim, membran selulosa. Struktur kimianya merupakan polimer dari dialisis, kontak lensa, obat luka, antikolesterol,

* ) *) *

Peneliti pada Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Mahasiswa Fak. Farmasi Univ. Pancasila

89

T.D. Suryaningrum, J. Basmal dan W.Aumeilia

antigastritik, antibilirubin, dan antikoagulan (Olsen e t a ,1 8 ) l. 9 8 . Salah satu kekurangan kitin adalah sifatnya yang t d k l r t a r. Kitin larut dalam asam mineral pekat ia au i seperti asam asetat, asam klorida, asam sulfat, asam nitrat, asam fosfat dan asam anhidrat (Anon., 1981), sehingga menyebabkan penggunaan kitin menjadi terbatas. Namun, dalam bentuk turunannya, misalnya karboksimetil kitin, menjadi larut dalam air, b r i a esft biodegradable dan biocompatible s r a t d k t k i . et ia osk Karboksimetil kitin banyak digunakan dalam industri kosmetik sebagai pelembab dan sel aktivator untuk menghaluskan dan membersihkan kulit. Selain itu karboksimetil kitin digunakan sebagai antielektrostatik, pelindung rambut, penyerap bau dan bersifat antibakteri (Samarin e a ., 2 0 ) t l 01. Untuk membuat karboksimetil kitin dilakukan eterifikasi dengan substitusi gugus karboksimetil pada atom C6. Kitin mempunyai dua gugus hidroksi pada C 3 dan C6 dalam tiap monomer N-asetil-D-glukosamin. Gugus hidroksi pada C6 l b h r a t f d r C3. M d f k s ei eki ai oiiai kimia pada gugus-gugus tersebut akan menghasilkan bermacam-macam derivat kitin. Kitin dibedakan dengan kitosan berdasarkan derajat deasetilasinya. Pada kitin derajat deasetilasinya berkisar antara 1570% sedangkan kitosan lebih dari 70% (Bustaman, 1989). Pembuatan senyawa karboksimetil kitin pada prinsipnya sama dengan pembuatan karboksimetil kitosan, hanya pada preparasi kitosan didahului dengan proses deasetilasi menggunakan NaOH yang dilakukan pada suhu tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya depolimerisasi yang membuat gugus asetil semakin mudah dilepaskan, sehingga diperoleh derajat deasetilasi tinggi. Proses tersebut juga akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen, bobot molekul dan viskositas yang dihasilkan (Shalaby & Shah, 1991). Untuk menghindari hal ini Sheng e a (2001) melakukan t l. proses deasetilasi pada suhu beku, dalam kondisi ini derajat deasetilasi tidak sampai 70% dan tidak terjadi depolimerisasi yang menimbulkan terjadinya fragmentasi polimer dan akhirnya menyebabkan turunnya bobot molekul dan viskositas. Pada prinsipnya ada 2 tahap yang harus dilakukan untuk pembentukan karboksimetil kitin. Tahap pertama kitin direaksikan dengan natrium hidroksida sehingga menjadi bentuk alkoksida kitin, dimana gugus hidroksil kitin disubstitusi dengan gugus Na+. Tahap kedua adalah substitusi gugus karboksil (COO-) dengan menggunakan asam monokloro asetat dengan alkoksida kitin menjadi karboksimetil kitin. Substitusi gugus karboksil pada gugus hidroksi kitin menjadi karboksilmetil kitin sangat dipengaruhi proses pengolahannya (Bader & Birkholz, 1997).

Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan karboksimetil kitin menggunakan asam monokloro asetat dengan konsentrasi yang berbeda dan jenis pelarut organik (isopropanol dan metanol) sebagai bahan pengendap untuk melihat perbedaan rendemen serta mutu (derajat deasetilasi, derajat substitusi, kekentalan dan kelarutan) karboksilmetil kitin yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang rajungan (Portunus pelagicus) yang diperoleh dari limbah pengolahan rajungan di Cirebon. Kulit rajungan kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai kering kemudian dibawa ke Jakarta dengan menggunakan karung plastik. Sedangkan bahan bantu yang digunakan adalah NaOH, asam monokloro asetat, serta bahan kimia lainnya untuk analisis mutu karboksimetil kitin. Metode Ekstraksi kitin Untuk memperoleh kitin dari limbah rajungan dilakukan tahapan sebagai berikut (Hong & Meyer, 1989). a . Deproteinasi: Deproteinasi dilakukan dengan cara merebus cangkang rajungan dalam larutan NaOH 4% (1:10 b/v), pada suhu 70oC selama 2 jam, kemudian dicuci dan dinetralkan. b . Demineralisasi: Cangkang rajungan yang telah mengalami deproteinasi direndam dalam larutan HCl 10% 1:10 (b/v) selama 5 jam pada suhu kamar sambil diaduk-aduk, kemudian dinetralkan dan dikeringkan sehingga diperoleh ktnkrn. ii eig Pembuatan karboksimetil kitin Kitin yang telah diperoleh digiling menjadi bubuk kitin, kemudian dilakukan alkalinasi dengan menggunakan NaOH 50% sambil diaduk selama 3 jam pada suhu kamar dan dibekukan dengan menggunakan freezer pada suhu + - oC semalam. 4 Alkali kitin kemudian dibiarkan mencair kembali pada suhu kamar kemudian ditambah isopropanol dengan perbandingan 1:1, diaduk satu jam dan disaring (Sheng e a , 2 0 ) Alkali kitin kemudian ditambah t l. 0 1 . asam monokloro asetat sebanyak 2 mol (13,96 gram), 4 mol (27,98 gram) dan 6 mol (41,89 gram) tiap N asetil glukosamin. Penambahan dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk selama 1 jam dan

90

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

didiamkan pada suhu kamar selama 24 jam. Kitin kemudian diatur pH-nya sampai 7-8 dengan menambahkan asam asetat 10%, diencerkan dengan menggunakan air, kemudian disaring dengan kain saring. Filtrat yang diperoleh diendapkan menggunakan pelarut organik metanol atau isopropanol kemudian dikeringkan dalam oven 50-60oC selama 48 jam. Skema pembuatan karboksimetil kitin dapat dilihat pada Gambar 1.

Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap kitin dan karboksimetil kitin yang diperoleh. Terhadap kitin diamati rendemen, mutu organoleptik (bentuk dan warna), pengukuran derajat deasetilasi, kadar air dan kadar abu (AOAC, 1984). Pengukuran derajat deasetilasi dilakukan untuk mengetahui bahwa produk yang diproses tersebut adalah kitin. Derajat

Bubuk kitin/ Chitin powder Isopropanol

Alkalinasi/Alkalination NaOH 50%, suhu kamar, diaduk 3 jam, dibekukan semalam/ NaOH 50%, ambient temp., stirred 3 hrs, frozen overnight

Pengendapan/Precipitation diaduk 1 jam/Stirred 1 h

Penyaringan/Filtering Asam Monokloro asetat 2,4,6 mol/ Monochloro acetic acid 2,4,6,mol Karboksimetilasi/Carboxymetilation Diaduk homogen, suhu kamar, semalam/ Homogenously stirred at ambient temp. overnight Asam asetat 10%/ Acetic acid 10 % Pengaturan pH/pH adjustment

Pengendapan/Precipitation Isopropanol Methanol

Pengeringan/Drying oven 50-55oC

KARBOKSIMETIL KITIN CARBOXYMETHYL CHITIN

Gambar 1. Skema pembuatan karboksimetil kitin. Figure 1. Schema of carboxymethyl chitin production.

91

T.D. Suryaningrum, J. Basmal dan W.Aumeilia

deasetilasi kitin harus berkisar antara 15-70% (Bustaman, 1989). Pengukuran derajat deasetilasi dilakukan dengan menggunakan Fourir Transform Infra RedFTIR (Robert, 1997). Spektrum diambil dengan scanning pada daerah bilangan gelombang 4000 c m-1 sampai 600 cm-1. Derajat deasetilasi diukur dengan menggunakan metode base line. Untuk perhitungan dengan metode base line, p n a t r i g i uck etng diukur dan dicatat dari garis yang diperoleh, dan absorpsi dihitung dengan rumus (1). Untuk derajat deasetilasi, penentuan dan perhitungan dilakukan pada nilai absorbansi 1655 cm-1 dan nilai absorbansi 3450 cm-1 dengan rumus (2).

disubstitusi oleh gugus karboksimetil, ditentukan dengan metode titrasi bebas air menggunakan asam perklorat 0,1 N dalam dioksan (AOAC, 1984); dan penentuan kelarutan dilakukan dengan melarutkan karboksimetil dalam air pada suhu kamar dengan menggunakan metode gravimetri (AOAC, 1984). Kekentalan diukur pada larutan karboksimetil kitin 1% pada suhu 20oC dengan menggunakan Viskometer Brookfield. Kadar air dan kadar abu dianalisis menggunakan metode AOAC (1984). Percobaan dilakukan dengan 2 kali ulangan. HASIL DAN BAHASAN Ktn ii Rendemen kitin yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 14,7-14,8%. Secara teoritis cangkang rajungan mengandung 15-20% kitin (Whist e & M l e 1973). Rendahnya rendemen kitin yang l r i l r, dihasilkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor selama proses pengolahan, seperti pencucian dan pengeringan yang memungkinkan hilangnya kitin selama proses tersebut di atas. Kitin tidak larut dalam ar,l r tan basa yang encer dan pekat, larutan asam i au encer dan pelarut organik lainnya. Akan teta i k t n p ii larut dalam asam-asam mineral pekat seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat, asam fosfat dan asam asetat anhidrat (Seichi & Nishi, 1995). Diduga hilangnya kitin terjadi pada proses demineralisasi. Dalam proses ini konsentrasi HCl yang digunakan sebesar 10%, sedangkan waktu perendaman 5 jam. Dalam proses ini kemungkinan sebagian kitin larut mengingat bahwa kitin dapat larut dalam asam klorida pekat, sehingga menyebabkan rendahnya rendemen kitin yang dihasilkan. Karakteristik kitin diamati secara organoleptik (bentuk dan warna), derajat deasetilasi, kadar air dan abu (Tabel 1). Semua parameter kitin hasil percobaan

A = Log

Po ..................... () 1 P

Keterangan: Po = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung P = Jarak antara garis dasar dengan puncak

A1655 1 x 100% % N deasetilasi = 1 x A3450 1,33 Keterangan: A 1655 = Nilai absorbansi pada 1655 cm-1 A 3450 = N l i Absorbansi pada 3450 cm-1 ia 1,33 = Rasio A 1655 dengan A 3450 pada N-deasetilasi 100% Terhadap karboksimetil kitin dilakukan analisis gugus fungsi dengan membandingkan spektrum infra merah kitin menggunakan FTIR yang pengukuran derajat deasetilasinya dilakukan dengan menggunakan metode yang sama dengan kitin. Derajat substitusi untuk mengetahui jumlah gugus hidroksil pada satuan N-asetil-glukosamin yang Ta e 1 bl . Ta l 1 be .

Karakteristik kitin yang diolah dari cangkang rajungan Chitin characteristics processed from swim crab shellKitin hasil percobaan/ Chitin from experiment 14.67 14.83% Serbuk/Powder Putih/White 33.51 8.04 0.65

Parameter/Parameters

Persyaratan kitin *) Requirement for chitin *)

Rendemen/Yield Bentuk/Shape Warna/Colour Derajat deasetilasi/Degree of deacetylation (%) Kadar air/Moisture content (%) Kadar abu/Ash content (%)* Anon. (2003) )

Butiran-serbuk/Granular-powder Putih/W hite 15.0 < X < 70.0 < 10 < 2.0

92

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 4 Tahun 2005

memenuhi persyaratan kitin yang telah distandarkan. Pada penelitian ini diperoleh derajat deasetilasi kitin 33,5% yang tergolong rendah tetapi sudah memenuhi persyaratan kitin yang telah distandarkan dalam dunia perdagangan (15-70%). Kadar air dan kadar abu kitin yang akan digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan karboksimetil kitin masing-masing 8,0% dan 0,7%. Dengan demikian kitin yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya. Karboksimetil Kitin Identifikasi karboksimetil kitin Identifikasi gugus fungsi karboksimetil dilakukan menggunakan FTIR dengan membandingkan spektrum infra merah kitin dan karboksimetil kitin untuk melihat terjadinya eterifikasi (Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan spektrum gugus fungsional salah satu kitin yang diberi perlakuan eterifikasi dengan 4 mol asam monokloro asetat dan pelarut organik isopropanol dengan kitin yang tidak diberi perlakuan. Kedua spektrum tersebut menghasilkan serapan yang tajam pada 3428-3445 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH). Pada kitin terdapat serapan pada bilangan gelombang 1660 c m-1 yang menunjukkan adanya gugus karbonil (C=O) sedangkan pada karboksimetil kitin tidak ada. Pada kedua spektrum terdapat serapan pada 1557-1558 c m-1 yang menunjukkan adanya gugus NH (amida). Sedangkan spektrum karboksimetil kitin memperlihatkan adanya puncak pada bilangan gelombang 1415 cm-1 yang diserap kuat, yang menunjukkan adanya gugus asetil (CH3-COOH) (Pine e a , 1 8 ) t l. 9 8 , dimana pada kitin puncak tersebut tidak ada. Perlakuan penambahan asam monokloro asetat pada kitin akan menyebabkan terjadinya eterifikasi gugus karboksilat dari asam monokloro asetat yang akan mensubstitusi gugus Na+ pada alkoksida kitin menjadi karboksimetil kitin. Rincian bilangan gelombang dan gugus fungsi pada spektrum kitin dan karboksimetil k t n d pat dilihat dalam Tabel 2. ii a Ta e 2 bl . Ta l 2 be .

Rendemen karboksimetil kitin Rendemen karboksimetil kitin yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 37,5-81,4% seperti yang disajikan dalam Gambar 3. Pada perlakuan peningkatan konsentrasi asam monokloro asetat dalam penelitian ini diharapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan akan semakin banyak pula jumlah gugus karboksil dari monokloro asetat yang akan mensubtitusi ion Na+ pada gugus COONa+ pada alkoksida kitin menjadi karboksimetil kitin. Peningkatan konsentrasi asam monokloro asetat akan meningkatkan gugus karboksil, yang menyebabkan l b h b r i a l r t a r. Kar