Infra Kota

4
Medan Kota Medan yang dilalui beberapa sungai besar (Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut dan Sungai Serdang), sungai kecil (Sungai Batuan, Sungai Badera dan Sungai Kera) dan beberapa anak sungai lainnya. Masalah banjir ini juga disebabkan karena terjadinya sedimentasi (pelumpuran) saluran drainase dan kecenderungan masyarakat yang terbiasa membuang sampah ke sungai. Alih fungsi daerah resapan menjadi permukiman dan pertumbuhan penduduk di sepanjang bantaran sungai juga berkontribusi terhadap terjadinya banjir. Permasalahan banjir di Kota Medan tidak bisa dilepaskan dari wilayah-wilayah sekitarnya (Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo) yang merupakan kawasan tangkapan hujan dan air yang sangat strategis untuk pembangunan wilayah Propinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Dalam hal penanganan banjir dilakukan dengan pengelolaan kawasan sekitar daerah aliran sungai (DAS) dari hulu di kabupaten Karo hingga ke hilir. Pembangunan di sektor lain dilakukan dengan menyusun rencana pengembangan kawasan Central Business District (CDB) di Kota Medan. Jakarta a. Pencemaran Udara Pencemaran udara akan menimbulkan kerugian kurang lebih senilai Rp 4,3 triliun pada tahun 2015 apabila masalah tersebut tidak segera ditangani. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, cukup banyak warga Jakarta yang menderita infeksi saluran pernapasan jika dibandingkan dengan daerah lain. Penyebab utama dari polusi udara sekitar 70 persen dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Pada tahun 1998, kerugian akibat pencemaran udara sudah mencapai Rp1,8 triliun. b. Pengelolaan Sampah Jumlah sampah setiap harinya yang dihasilkan oleh DKI Jakarta adalah 25.650 meter kubik atau setara dengan 6.000 ton. Padahal, sampah yang dapat diolah di TPA yang dimiliki oleh Pemda Jakarta baru 88 persennya atau setara dengan 22.500 meter kubik. Permasalahan ini kemudian terus meningkat dan diantaranya ditunjukkan oleh longsornya TPA Bantar Gebang akibat volume sampah yang terlalu besar.

description

infra

Transcript of Infra Kota

MedanKota Medan yang dilalui beberapa sungai besar (Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut dan Sungai Serdang), sungai kecil (Sungai Batuan, Sungai Badera dan Sungai Kera) dan beberapa anak sungai lainnya. Masalah banjir ini juga disebabkan karena terjadinya sedimentasi (pelumpuran) saluran drainase dan kecenderungan masyarakat yang terbiasa membuang sampah ke sungai. Alih fungsi daerah resapan menjadi permukiman dan pertumbuhan penduduk di sepanjang bantaran sungai juga berkontribusi terhadap terjadinya banjir. Permasalahan banjir di Kota Medan tidak bisa dilepaskan dari wilayah-wilayah sekitarnya (Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo) yang merupakan kawasan tangkapan hujan dan air yang sangat strategis untuk pembangunan wilayah Propinsi Sumatera Utara secara keseluruhan.Dalam hal penanganan banjir dilakukan dengan pengelolaan kawasan sekitar daerah aliran sungai (DAS) dari hulu di kabupaten Karo hingga ke hilir. Pembangunan di sektor lain dilakukan dengan menyusun rencana pengembangan kawasan Central Business District (CDB) di Kota Medan.

Jakartaa. Pencemaran UdaraPencemaran udara akan menimbulkan kerugian kurang lebih senilai Rp 4,3 triliun pada tahun 2015 apabila masalah tersebut tidak segera ditangani. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, cukup banyak warga Jakarta yang menderita infeksi saluran pernapasan jika dibandingkan dengan daerah lain. Penyebab utama dari polusi udara sekitar 70 persen dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Pada tahun 1998, kerugian akibat pencemaran udara sudah mencapai Rp1,8 triliun.b. Pengelolaan SampahJumlah sampah setiap harinya yang dihasilkan oleh DKI Jakarta adalah 25.650 meter kubik atau setara dengan 6.000 ton. Padahal, sampah yang dapat diolah di TPA yang dimiliki oleh Pemda Jakarta baru 88 persennya atau setara dengan 22.500 meter kubik. Permasalahan ini kemudian terus meningkat dan diantaranya ditunjukkan oleh longsornya TPA Bantar Gebang akibat volume sampah yang terlalu besar.c. Permasalahan BanjirPermasalahan banjir terkait dengan aktivitas dan jumlah penduduk yang terus meningkat di wilayah metropolitan ini. Setidaknya ada 78 titik rawan genangan di DKI Jakarta yang menyebabkan pada tahun 1996 dan 2002 terjadi banjir cukup besar. Selain itu, permasalahan banjir juga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terdapatnya penyempitan sungai akibat sedimentasi partikel-partikel yang terbawa, yang berdampak pada meningkatnya aliran air permukaan (run-off), perubahan lahan alami menjadi lahan terbangun yang menimbulkan bahaya erosi dan menurunkan infiltrasi air tanah, terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami amblesan (land subsidance), dan hingga tahun 2002, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup signifikan (sebesar 65,8 persen). Tambahan pula apabila land subsidance mencapai 2 m, sementara kenaikan muka air laut mencapai 60 cm, diperlukan upaya untuk memompa air di daerah genangan yang kedalamannya mencapai 2,6 m di bawah permukaan laut.d. Terjadinya Krisis AirIsu lainnya yang terdapat dalam kawasan Jabodetabekjur adalah adanya krisis air. Hal ini terlihat dari fakta bahwa warga ibukota mengkonsumsi air tanah yang tidak sehat karena sudah tercemar oleh berbagai bahan polutan padahal sekitar 55 persen warga Jakarta menggunakan air tanah dan hanya 45 persen saja yang menggunakan air dari PDAM. Studi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa hampir sebagian besar sumur dari 48 sumur yang dipantau di Jakarta telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober 2004. Kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta juga semakin meningkat. Bahkan, beberapa sumur terindikasi memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu mangan (Mn) di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27 persen pada bulan Juni 2004 dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33 persen. Untuk parameter deterjen, persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29 persen pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada bulan Oktober. Diduga peningkatan ini terjadi karena memasuki musim hujan.e. Sanitasi Kota tidak memadaiPermasalahan lain yang terkait adalah tidak memadainya fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus), truk tinja, saluran air limbah (sewerage system), dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang sudah banyak yang tidak memadai. Kasus ini juga terdapat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), baru sekitar 55 persen penduduk Indonesia yang mempunyai akses sanitasi. Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank rumah tangga yang tidak dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke dalam tanah dan tercampur dengan air tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat dekat. Kurangnya fasilitas sanitasi tersebut menimbulkan berbagai penyakit mulai dari diare, demam berdarah hingga polio.f. KemacetanDinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 11 persen per tahun, sedangkan pertambahan jalan tidak sampai satu persen per tahun. Hal ini menyebabkan ketimpangan prasarana jalan dengan kendaraan. Jika kendaraan roda empat saja panjangnya rata-rata empat meter dan dibariskan secara berurutan, maka lahan yang dibutuhkan sepanjang 12.800 kilometer. Jumlah ini tidak akan bisa tertampung pada ruas jalan yang tersedia. Selain itu, setiap hari terdapat kendaraan yang masuk dari daerah-daerah sekitar Jakarta yang berjumlah lebih dari 1,2 juta.Dari sisi kelembagaan, permasalahan kemacetan disebabkan oleh tidak adanya sistem pengelolaan transportasi yang utuh dan terpadu untuk wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), baik dalam pengelolaan lalu lintas, termasuk program pembangunan infrastrukturnya. Akibatnya, tidak ada integrasi dalam pembiayaan sehingga masing-masing instansi memiliki program dan kegiatan yang tidak terpadu.g. Rendahnya Pelayanan Transportasi UmumSelain jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan yang ada, komposisi kendaraan yang lalu lalang di Jakarta juga tidak seimbang. Dari jumlah itu, kendaraan pribadi mencapai lebih dari 90 persen, mulai dari sepeda motor, mobil berumur tua, hingga mobil-mobil mewah. Selain itu, fasilitas kereta api juga belum dapat menampung 25 juta pergerakan yang ada di Jabodetabek, karena yang dapat ditampung oleh KA hanya 2,5 persen saja. Jika masalah-masalah kereta api tidak bisa dicarikan solusinya, masyarakat akan menderita karena luas jalan dibanding dengan luas kendaraan yang ada tidak sebanding lagi. Ini berarti akan terjadi kemacetan total di seluruh jalan di Jakarta.