IndonesiaJurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia...

31
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia April 2015 InoVasi Volume 11: April 15 Page 620 ANALISA KOREKSI FISKAL TERHADAP PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT MULYA ADHI PRAMITHA , JAKARTA HUSIN., S.E., M.Ak (Dosen Tetap STIE PPI) ABSTRAKSI Tujuan penelitian ini, untuk mendapatkan inforamasi dengan tingkat validitas dan dipercaya terkait ketaatan PT. Mulya Adhi Pramitha, jakarata dalam mematuhi ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku dengan dilakukannya koreksi fiskal atas laporan keuangan komersial tahun 2014 serta menjabarkan secara terperinci mengenai alasan dilakukannya koreksi. Penelitian ini, dengan metode deskriptif kualitatif secara obyektif dan menjelaskan data atau even dengan penjelasan secara kualitatif. Adapun fokus metode kualitatif ini, pada metode penelitian observasi hasil pekarjaan. data dianalisis dengan cara non- statistik dengan tidak harus menabukan angka. Kesimpulan hasil penelitian ini, bahwa PT. Mulya Adhi Pramitha belum melakukan penyusunan laporan keuangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini terlihat dari koreksi perusahaan sebesar Rp 1.061.181.382, akan tetapi setelah peneliti lakukan penelitian dan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku terdapat koreksi tambahan dari Peneliti sebesar Rp 1.232.217. Dengan total koreksi adalah Rp 2.248.398.578 yang terdiri dari koreksi positif sebesar Rp 2.264.100.501 dan koreksi negatif sebesar Rp 15.701.923. Akibat koreksi, terjadi kenaikan besarnya laba komersial dari Rp 1.1 63.69 7.999,- menjadi sebesar Rp 3.412.096.5 77,- berrati telah terjadi kenaikan laba sebesar 193% yang diakui oleh fiskal 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Cita-cita menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai amanat Undand-undang 1945. maka, dibutuhkan sumber penghasilan untuk membiayai pembangunan, salah satu sumber penerimaan terbesar yang sangat diharapkan untuk mengisi kas negara adalah pajak oleh wajib pajak ke kas negara, baik wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan. Sehingga, pemerintah bekerja keras untuk menciptakan berbagai macam peraturan dalam rangka menertibkan sistem perpajakan di Indonesia. STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia

Transcript of IndonesiaJurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia...

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 620

    ANALISA KOREKSI FISKAL TERHADAP PAJAK PENGHASILANBADAN PADA PT MULYA ADHI PRAMITHA , JAKARTA

    HUSIN., S.E., M.Ak(Dosen Tetap STIE PPI)

    ABSTRAKSITujuan penelitian ini, untuk mendapatkan inforamasi dengan tingkat validitas dan

    dipercaya terkait ketaatan PT. Mulya Adhi Pramitha, jakarata dalam mematuhiketentuan peraturan perpajakan yang berlaku dengan dilakukannya koreksi fiskal ataslaporan keuangan komersial tahun 2014 serta menjabarkan secara terperincimengenai alasan dilakukannya koreksi.Penelitian ini, dengan metode deskriptif kualitatif secara obyektif dan menjelaskandata atau even dengan penjelasan secara kualitatif. Adapun fokus metode kualitatif ini,pada metode penelitian observasi hasil pekarjaan. data dianalisis dengan cara non-statistik dengan tidak harus menabukan angka.

    Kesimpulan hasil penelitian ini, bahwa PT. Mulya Adhi Pramitha belummelakukan penyusunan laporan keuangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturanperpajakan yang berlaku. Hal ini terlihat dari koreksi perusahaan sebesar Rp1.061.181.382, akan tetapi setelah peneliti lakukan penelitian dan disesuaikandengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku terdapat koreksi tambahan dariPeneliti sebesar Rp 1.232.217. Dengan total koreksi adalah Rp 2.248.398.578 yangterdiri dari koreksi positif sebesar Rp 2.264.100.501 dan koreksi negatif sebesar Rp15.701.923. Akibat koreksi, terjadi kenaikan besarnya laba komersial dari Rp 1.163.69 7.999,- menjadi sebesar Rp 3.412.096.5 77,- berrati telah terjadi kenaikan labasebesar 193% yang diakui oleh fiskal

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Penelitian

    Cita-cita menjadi bangsa yang adil dan makmur sesuai amanatUndand-undang 1945. maka, dibutuhkan sumber penghasilan untukmembiayai pembangunan, salah satu sumber penerimaan terbesar yangsangat diharapkan untuk mengisi kas negara adalah pajak oleh wajib pajak kekas negara, baik wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan. Sehingga,pemerintah bekerja keras untuk menciptakan berbagai macam peraturandalam rangka menertibkan sistem perpajakan di Indonesia.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 621

    Pajak bagi suatu perusahaan dalam menunjukkan kinerja atas profityang diperoleh, berarti apabila perusahaan memperoleh pengahsilan tinggiberrati pajak yang dibayarkan tinggi, akibatnya penerimaan Negara atas pajaktinggi. Dan apabila perusahaan laba kecil dan bahkan tidak mempoleh laba ,berrati perusahaan tidak membayar pajak berrati tidak mempunyai kontribusibagi pembangunan, yang pada suatu saat akan mempunyai dampak yangtidak baik bagi perusahaan tersebut. Akan tetapi, disisi lain pajak sebagaisalah satu pengurang profit bagi suatu badan usaha, untuk itu perusahaanharus melakukan langkah-langkah strategis dan bijaksana dengan tidakberlawanan dengan Peraturan Perpajakan, sehingga kedua unsur tersebut diatas dapat tercapai secara seimbang dengan tidak saling merugikan.

    Dalam perhitungan laba kena pajak badan, maka PeraturanPerpajakan diharuskan mempunyai prioritas utama yang harus dilaksanakandi atas Standar Akuntansi Keuangan melalui penyesuaian (koreksi fiskal).

    Laporan keuangan perusahaan biasanya harus disesuaikan denganperaturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut digunakan sebagai dasar SuratPemberitahuan Pajak Penghasilan yang akan disampaikan ke kantor pajak.Hal ini disebabkan, laporan keuangan komersial mengacu pada StandarAkuntansi Keuangan (SAK), sedangkan laporan keuangan fiskal mengacu padaPeraturan Perpajakan. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukanpenyesuaian fiskal (koreksi fiskal), harus dilakukan rekonsiliasi laporankeuangan komersial yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangandisesuaikan menjadi lap oran keuangan fiskal sesuai dengan PeraturanPerpajakan sehingga diperoleh laba yang menjadi dasar perhitungan laba kenapajak perusahaan tersebut.

    Berdasarkan perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporankeuangan fiskal dibedakan menjadi beda tetap dan beda waktu. Beda tetap,yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak bolehdikurangkan dari penghasilan kena pajak, dan beda waktu yaitu perbedaanpembebanan suatu biaya dimana jangka waktu pembebanannya berbeda.Koreksi fiskal dapat menyebabkan laba kena pajak berkurang (koreksinegatif) atau laba kena pajak bertambah (koreksi positif).

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 622

    PT. Mulya Adhi Pramitha adalah badan usaha yangmenyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan danmerupakan wajib pajak yang harus menghitung, melaporkan danmenyetorkan sendiri pajak terutang atas penghasilan yang diperolehnyaberdasarkan self assessment system yang dianut oleh sistem perpajakan diIndonesia. Agar pajak yang dihitung, dilaporkan, dan disetor sesuai denganperaturan perpajakan maka PT. Mulya Adhi Pramitha harus melakukankoreksi fiskal atas laporan keuangan komersialnya, dari penyesuaian (koreksifiskal) yang dilakukan akan menyebabkan laba kena pajak bertambah (koreksiPositif) atau laba kena pajak berkurang (koreksi negatif) yang berpengaruhterhadap besarnya pajak yang akan disetorkan oleh PT. Mulya Adhi Pramithake kas negara.

    1.2 Perumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang masalah, maka peneliiti merumuskanpokok-pokok permasalahan yang di identifikasi untuk di teliti yaitu :

    1. Jenis jenis biaya-biaya atau penghasilan apa saja yang harus dikoreksipada laporan keuangan komersial khususnya Laporan Laba Rugi danLaporan Harga Pokok Penjualan PT. Mulya Adhi Pramitha tahun buku2014?

    2. Bagaimana perlakuan pajak terhadap laba rugi fiskal hasil koreksi yang telahdilakukan PT. Mulya Adhi Pramitha tahun buku 2014?

    1.3 Ruang Lingkup Masalah

    Keterbatasan waktu, tenaga, dana peneliti, dan teori – teori dan supayapenelitian dapat dilakukan secara mendalam dan menghindari pembatasanpenelitian yang terlalu luas dan kurang mengarah. Peneliti membatasimasalah pada “Analisis Koreksi Fiskal atas laporan Keuangan KomersialTerhadap Laba Kena Pajak badan pada PT. Mulya Adhi Pramitha tahun buku2014”

    1.4 Tujuan

    Berdasarkan pokok permasalahan, maka yang menjadi tujuan penelitian iniadalah :

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 623

    1. Mengetahui jens-jenis biaya-biaya apa saja yang harus dikoreksi padaLaporan Harga Pokok Penjualan dan Laporan Laba Rugi PT. MulyaAdhi Pramitha tahun buku 2014 dengan Undang-Undang PPh No. 07tahun 1983 yang terakhir dirubah dengan No.36 Tahun 2008.

    2. Mengetahui perlakuan pajak atas laba/rugi fiskal yang dihasilkan dari koreksifiskal yang telah dilakukan PT. Mulya Adhi Pramitha tahun buku 2014.

    B. LANDASAN TEORI

    Koreksi Fiskal

    Perbedaan pertimbangan yang mendasari penyusunan lap oran keuangankomersial dengan kebijakan perpajakan menghasilkan jumlah angka laba yangberbeda (laba komersial dan laba fiskal). Ketentuan perpajakan mempunyaikriteria tertentu tentang pengukuran dan pengakuan terhadap unsur-unsur yangumumnya terdapat dalam laporan keuangan. Ukuran-ukuran tersebut dibuatuntuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh setiap wajibpajak ke negara. Demikian juga halnya dengan standar akuntansikeuangan mempunyai kriteria dalam pengukuran dan pengakuan setiapunsur yang terdapat dalam laporan keuangan, laporan keuangan komersialyang disusun berdasarkan seperangkat standar akuntansi yang ditujukan untukmenilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial suatu entitas.

    Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan lap orankeuangan fiskal adalah sebagai berikut :

    1. Perbedaan metode dan pro sedur, diantaranya :

    a. Metode penilaian persediaan, akuntansi komersial memperbolehkanmemilih metode perhitungan harga perolehan persediaan seperti metodeaverage, first in first out (FIFO), pendekatan laba bruto, pendekatanharga jual eceran, dan lain-lain.sedangkan dalam fiskal hanyadiperbolehkan memilih dua metode, yaitu metode average dan metodefirst in first out (FIFO).

    b. Memilih metode penyusustan dan amortisasi, akuntansi komersialmemperbolehkan memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus,metode jumlah angka tahun, dan metode saldo menurun, metode jam jasa,metode jumlah unit produksi, metode berdasarkan jenis dan kelompok,metode anuitas, metode persediaan, untuk semua jenis harta

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 624

    berwujud/aktiva tetap. Dalam fiskal, metode penyusutan hanya meliputimetode garis lurus dan metode saldo menurun untuk harta berwujud nonbangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi pada metodegaris lurus saja. Selain perbedaan metode, ada juga perbedaan dalammenafsir umur ekonomis atau masa manfaat suatu aktiva. Dimana dalamakuntansi komersial, manajemen dapat menetukan sendiri umuraktivanya, sedangkan dalam fiskal umur ekonomis atau masamanfaat diatur dan ditetapkan berdasarkan keputusan menterikeuangan. Dalam akuntansi keuangan komersial diperbolehkan adanyaresidu atau nilai sisa dari suatu aktiva dalam perhitungan penyusutan.Akan tetapi menurut fiskal nilai sisa ini tidak diperhitungkan karenaseperti telah dijelaskan di Pasal 10 dan 11 Undang-undang No. 36Tahun 2008, dasar penyusutan adalah harga perolehan yaknipengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atauperubahan aktiva berwujud kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakanuntuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yangmempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun.

    c. Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusanpiutangditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskalpenghapusan piutang dilakukan pada saat piutang tersebut nyata-nyatatidak dapat ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalamperaturan perpajakan. Pembentukan cadangan dalam fiskal hanyadiperbolehkan untuk industri tertentu seperti usaha bank dan sewaguna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi dan usaha pertambangandengan jumlah yang dibatasi secara ketat oleh aturan perpajakan.

    2. Perbedaan perlakuan dan pengakuan penghasilan dan biaya, antara lain:

    a) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukanmerupakan objek pajak penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal,penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total penghasilan kenapajak atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi komersial.

    b) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi

    pengenaan pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi laporan keuangan,

    penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total penghasilan

    menurut akuntansi komersial, contohnya: Bunga deposito/bunga

    tabungan dan diskonto SBI.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 625

    c) Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi keuangan komersial sebagaibiaya atau pengurang penghasilan, tetapi dalam fiskal, pengeluaran tersebuttidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sesuai dengan UU No. 36Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) UU PPh, yaitu:

    1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun sepertidividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransikepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

    2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadipemegang saham, sekutu, dan anggota keluarga.

    3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadanganpiutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usahadengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dancadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yangketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan KeputusanMenteri Keuangan.

    4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransidwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajakpribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebutdihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.

    5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan ataujasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruhpegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dankenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan denganpelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan MenteriKeuangan.

    6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegangsaham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewasebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

    7. Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisansebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan olehwajib pajak orang pribadi yang memeluk agama islam dan atau wajibpajak dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepadabadan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

    8. Pajak penghasilan9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan wajib

    pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutan, firma atau

    perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi dalam saham.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 626

    11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksipidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

    2.3.1 Perbedaan Waktu dan Permanen

    Ada dua perbedaan waktu yaitu:

    a. Beda waktu/sementara (temporary difference). Perbedaansementara terjadi karena adanya perbedaan saat pengakuan terhadappendapatan maupun beban oleh Peraturan undang-undangperpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan, dan perbedaantersebut secara otomatis akan terkoreksi di kemudian hari.

    b. Beda tetap (permanentdifference). Perbedaan tetap terjadi karenaStandar Akuntansi Keuangan mengakui semua pemasukan merupakanpenghasilan yang akan menambah laba, dan semua pengeluaranmerupakan pengurang laba kena pajak. Sementara bagi undang-undangperpajakan ada beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakanfaktor penambah laba kena pajak, karena pendapatan tersebut telahdikenakan pajak bersifat final. Dan tidak semua pengeluaran adalahfaktor pengurang laba kena pajak, hal ini dikarenakan adabeberapa jenis pengeluaran yang bukan merupakan bagian darikegiatan perusahaan yang secara langsung berhubungan denganperolehan penghasilan.

    2.1.2 Koreksi Positif dan Koreksi Negatif

    Ada 2 (dua) macam koreksi fiskal, yaitu:

    a. Koreksi fiskal positif, yaitu koreksi atau penyesuaian yang akanmenyebabkan bertambahnya laba kena pajak yang pada akhirnyapajak terutang badan akan bertambah besar, yang terdiri dari:

    1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentinganpemegang saham, sekutu, atau anggota.

    2) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan3) Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk

    natura atau kenikmatan.4) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada

    pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewasehubungan dengan pekerjaan.

    5) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan.6) Pajak penghasilan.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 627

    7) Gaji yang dibayarkan.8) Sanksi administrasi.9) Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal.10) Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal.

    11) Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.12) Penyesuaian positif fiskal lainnya.

    b. Koreksi fiskal negatif, yaitu penyesuaian yang akan menyebabkanberkurangnya laba kena pajak, sehingga pajak terutang badanakan lebih kecil, diantaranya:

    1) Selisih penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal.2) Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal.3) Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.4) Penyesuaian negatif fiskal lainnya.

    Teknik rekonsiliasi fiskal dapat dilakukan seperti berikut ini:

    1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi komersial tetapitidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan denganmengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilanmenurut akuntansi komersial, yang berarti mengurangi labamenurut akuntansi komersial, dan sebaliknya.

    2. Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansitetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan menurutfiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan biaya tersebutdari total biaya menurut akuntansi komersial yang berartimenambah laba menurut akuntansi komersial, dan sebaliknya.

    3. METODE PENELITIAN3.1 Kerangka Pemikiran

    Wajib Pajak Badan biasanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yangberbentuk Perseroan Terbatas. Perusahaan-perusahaan ini dalamprakteknya tentu melakukan proses pembukuan dan pada akhirnya akanmenghasilkan laporan keuangan berupa Neraca dan Rugi Laba. Laporankeuangan seperti ini biasanya dibutuhkan oleh berbagai macam pihakterutama sekali adalah pemilik perusahaan dan kreditur. Laporan keuanganini pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan.

    Gambar 3.1 Hubungan Antar Variabel Penelitian

    Koreksi fiskal atas

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 628

    lap oran keuangankomersial

    (variabel Y)

    Laba kena Pajak(variabel Y)

    Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif,alasannya yaitu untuk mengetahui, menggambarkan, memaparkan jalannya suatupenelitian yang tengah berlangsung atau mengetahui permasalahan yangterjadi di perusahaan tempat penulis mengadakan penelitian.

    Menurut Sugiyono (2009:6) mengatakan metode deskriptif yaitu:“Penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa membuatperbandingan/menghubungkan dengan variabel lainnya ”.

    Beberapa penyebab utama perbedaan laba komersial dan laba fiskal yangbanyak ditemui di lapangan adalah sebagai berikut :

    1. Adanya penghasilan yang bukan objek pajak menurut fiskal (non taxableincome),

    2. Adanya penghasilan yang dikenakan PPh Final sehingga tidak perlu lagidihitung dalam SPT Tahunan,

    3. Adanya biaya-biaya yang menurut ketentuan fiskal tidak bolehdikurangkan (non deductible expenses), dan

    4. Adanya perbedaan waktu pengakuan biaya seperti biaya penyusutan danamortisasi.

    3.2 Hipotesis

    Dari latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah diuraikandi atas maka hipotesis yang diambil adalah,:

    Hi[poteisi alternative (Ha 1) menyatakan adanya biaya-biaya ataupenghasilan yang harus dikoreksi pada laporan keuangan komersialkhususnya Laporan Laba Rugi dan Laporan Harga Pokok Penjualan PT.Mulya Adhi Pramitha tahun buku 2014.

    Hopteisis Alternative kedua : menyatkan adnya perlakuan pajak ataslaba/rugi fiskal yang dihasilkan dari koreksi fiskal yang telah dilakukan PT.Mulya Adhi Pramitha tahun buku 2014.artinya semakin banyak koreksipositif maka akan semakin besar laba kena pajak (semakin kecil rugi

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 629

    fiskal yang berkaitan dengan kompensasi kerugian pada perhitungan pajakditahun berikutnya), serta semakin banyak koreksi negatif maka akan semakinkecil laba kena pajak perusahaan (semakin besar rugi yang diakui olehfiskal).

    3.3 Asumsi

    Asumsi dari penelitian ini adalah masih terdapat biaya - biaya danpenghasilan yang perlu di koreksi fiskal untuk mendapatkan PenghasilanKena Pajak, karena tidak semua ketentuan dalam Standar AkuntansiKeuangan digunakan dalam peraturan perpajakan.

    3.4 Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:

    1. Data Primer, data yang diperoleh melalui wawancara atau tanya jawab secaralangsung dengan karyawan yang berwenang dan berhubungan langsungdengan objek yang diteliti.

    2. Data sekunder, data yang diperoleh dengan mengumpulkan data laporankeuangan komersial tahun 2009

    3.5 Populasi dan Sampel

    Penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitiankualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentudan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapiditransferkan ke tempat lain pada situasi social yang memiliki kesamaandengan situasi social pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitiankualitatif bukan dinamakan nara sumber, atau partisipan, informan, temandan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukandisebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitiankualitatif adalah untuk menghasilkan teori (Sugiyono, 2007:50).

    3.6 Tekhnik Analisis Data

    Tekhnik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan datasehingga lebih dimengerti. Metode analisis data yang digunakan atauditerapkan untuk menganalisis dalama penelitian ini adalah : MetodeAnalisis Deskriptif yaitu metode yang dilakukan dengan cara

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 630

    mengumpulkan data, menyusun, menginterprestasikan sehinggadiperoleh gambaran yang jelas terhadapa masalah yang diteliti.

    Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis melalui langkah-langkah di bawah ini:

    a. Membandingkan dan melakukan koreksi atas laporan keuangankomersial yang telah dibuat oleh PT. Mulya Adhi Pramitha denganperaturan perpajakan yang ada.

    b. Menghitung besarnya pajak terutang dari laporan keuangan fiskal sertamembandingkannya dengan besarnya pajak terutang berdasarkan laporankeuangan komersial.

    4.PEMBAHASAN

    4.1.1 Pendapatan dan Biaya yang Non-Deductible

    Di bawah ini merupakan pendapatan dan biaya yang menurut ketentuanpajak tidak diperkenankan untuk dibiayakan (Non Deductible) sehingga perludi koreksi fiskal.

    1). Tunjangan Makan

    PT PT. Mulya Adhi Pramitha menyediakan makan dan minumanbagi seluruh karyawan di tempat kerja. Pemberian makanan dan minumandi tempat kerja merupakan natura yang diberikan oleh perusahaankepada karyawan.

    Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadidua yaitu natura yang sifatnya deductible expense (diperbolehkan untukdibiayakan) serta natura yang sifatnya non deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible expense adalahpemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura ataukenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untukmendorong pembangunan di daerah tersebut, dan natura dan kenikmatanyang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai saranakeselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 631

    Pemberian natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan nondeductible expense.

    Perusahaan memang tidak melakukan koreksi atas biaya tunjanganmakan ini. Akan tetapi, setelah penulis lakukan pemeriksaan nilai tunjanganmakan PT. Mulya Adhi Pramitha tidak seluruhnya merupakan biaya untukmakan karyawan. Sebagian merupakan biaya makan di luar kantor yangdilakukan oleh para karyawan yang tidak ada kaitannya dengan tiga hal yangsebelumnya disebutkan, seperti menjamu customer atau auditor ataupundalam rangka gathering perusahaan. Karena itulah berdasarkan aturan diatas, nilai tunjangan makan baik dalam Laporan Harga Pokok Penjualanmaupun Laporan Laba Rugi harus dikoreksi.

    Setelah diperiksa total koreksi fiskal atas tunjangan makan adalah Rp42.257.474,-, yang merupakan penjumlahan dari Rp 40.917.375,- hasilkoreksi dari laporan HPP dan Rp 1.340.099,- hasil koreksi dari Laporan LabaRugi. Ini merupakan koreksi positif karena beda tetap. Dengan demikian,nilai yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto untuktunjangan makan adalah Rp 281.027.751,-

    2). Tunjangan Kesehatan

    Berdasarkan Undang Undang PPh Tahun 1984 beserta perubahannyaterakhir yaitu no. 36 Tahun 2008, Pemberian kenikmatan kepada pegawaiberupa biaya pengobatan pegawai yang dibayar langsung ke rumah sakit,dokter atau apotik, tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible) dan bukan objek PPh Pasal 21 (non-taxable), akan tetapi apabiladiberikan dalam bentuk tunjangan atau penggantian pengobatan merupakanbiaya yang dapat dikurangkan dan merupakan objek PPh Pasal 21.

    Tunjangan kesehatan atau biaya pengobatan ini perlu diperhatikan carapembayarannya, yaitu :

    i. Biaya pengobatan karyawan yang dibayar perusahaan langsung ke rumah

    sakitatau dokter dan apotek, pembayaran tersebut sebagai pemberian

    kenikmatansehingga tidak boleh dibayarkan dan bukan objek PPh Pasal

    21

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 632

    bagi penerimanya.Sebagai contoh apabila perusahaan mempunyai

    rumah sakit atau poliklinik sendiri.

    ii. Biaya penggantian pengobatan, pemberian tunjangan pengobatan, uangpengobatan, sebagai biaya yang dapat dikurangkan terhadappenghasilan bruto (deductible expense) dan objek PPh Pasal 21

    Selama tahun 2014 perusahaan membayar uang ganti terhadapkaryawan yang melakukan pengobatan ke klinik atau Rumah Sakit, ini bukanmerupakan penghasilan bagi karyawan dan bukan objek PPh 21.Berdasarkan data di atas, hal ini merupakan salah satu bentukkenikmatan/natura bagi karyawan yang tentu saja tidak dapat dibiayakan.Karena itu, senilai Rp 1.445.000,- (Laporan Harga Pokok Produksi)ditambah dengan Rp 7.939.019,- (Laporan Laba Rugi) harus dikoreksinegative. Ini merupakan jenis koreksi karena beda tetap.

    3). Tunjangan Jamsostek

    PT. Mulya Adhi Pramitha membayar tunjangan Jamsostek setiapbulannya dengan perincian sebagai berikut :

    Tabel 4.3 Prosentase Nilai Tunjangan Jamsostek

    Jenis Tunjangan Prosentase

    KeteranganJKK (JaminanKecelakaan Kerja)

    0.89% Dibayar oleh Perusahaan

    JKM (JaminanKematian)

    0.30% Dibayar oleh PerusahaanJHT (Jaminan Hari Tua) 3.70% Dibayar oleh PerusahaanJHT (Jaminan HariTua)

    2.00% DibebankankepadaKaryawanJPK (Jaminan

    PemeliharaanKesehatan)

    3.00% Dibayar olehPerusahaan (BelumBerkeluarga)JPK (Jaminan

    PemeliharaanKesehatan)

    6.00% Dibayar olehPerusahaan (SudahBerkeluarga)

    Pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untukmendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihatdi pasal 6 ayat 1 Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 633

    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun2008, dinyatakan bahwa :

    “Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengankegiatan usaha diantaranya adalah biaya berkenaan dengan pekerjaanatau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dantunjanganyang diberikan dalam bentuk uang”

    “Iuran atau premi Jaminan Kematian (JKM), Jaminan KecelakaanKerja (JKK) ke PT. Jamsostek merupakan biaya yang dapat dikurangkan danmerupakan objek PPh 21”

    “Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) ke PT. Jamsostek atau iuran pensiunke Dana Pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dapatdikurangkan dan bukan objek PPh Pasal 21”

    Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapatmenyimpulkan bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan bagipegawai tetap dan sifatnya taxable atau terutang serta wajib dipotongpajakpenghasilan. Tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja adalah biayayang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karenamerupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

    Akan tetapi, seperti yang terlihat pada tabel di atas,berbeda dengantunjangan lain yang dibayarkan oleh perusahaan, tunjangan JHT sebanyak 2%dibebankan kepada karyawan. Hal ini sesuai dengan PP No. 14 Tahun 1993sebagaimana telah beberapa kali dirubah terakhir dengan PP No. 76 Tahun2007, pasal 9 ayat (1) huruf b, yaitu besarnya iuran program sosial tenaga kerjauntuk Jaminan Hari Tua adalah sebesar 5,70% dari upah sebulan.

    Diperjelas pada pasal 9 ayat (3), yang menyatakan bahwa IuranJaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,sebesar 3,70% ditanggung oleh pengusaha dan sebesar 2% ditanggung olehtenaga kerja”

    Sebanyak 3,70% JHT yang telah dibayar perusahaan, merupakanbiaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal ini dapat dilihat dalamBuku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 2 1/26, yaitu bagi perusahaan yang

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 634

    sudah ikut program JAMSOSTEK, pembayaran iuran Jaminan Hari Tua(JHT) sebesar 3,70% merupakan biaya yang dapat dikurangkan daripenghasilan bruto, tapi bukan merupakan objek PPh 21.

    Dan diperjelas dalam Undang-undang Pajak Penghasilan No.36tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu untuk menentukan besarnyapenghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usahatetap tidak boleh dikurangkan antara lain premi asuransi kesehatan, asuransikecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa, yangdibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberikerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yangbersangkutan.

    Meskipun perusahaan tidak melakukan koreksi atas biaya tunjanganjamsostek ini, akan tetapi berdasarkan ketentuan di atas sebanyak 2% daritotal JHT yang dibayar tidak boleh dikurangkan dari laba bruto dan harusdikoreksi karena telah dibebankan kepada karyawan.

    Karena itu, senilai Rp 48.870.251,- (koreksi Laporan HPP) dan Rp40.941.541,- (koreksi Laporan Laba Rugi) harus dikoreksi. Dari hasil koreksitersebut maka jumlah tunjangan Jamsostek yang diakui pajak adalah Rp.245.101.969,-

    Jumlah koreksi tunjangan tersebut merupakan koreksi fiskal positif danmerupakan bedatetap artinya sifatnya permanen (final) dan koreksi fiskal yangdilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajakberikutnya.

    4). Tunjangan PPh 21

    Pada umumnya jika suatu biaya yang terkait dengan karyawan akanterutang PPh 21 jika biayanya diakui misalnya biaya gaji, tunjangan bonus dansebagainya. Jika pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapatdibebankan sebagai biaya fiscal (Non deductible) sehingga bagi karyawan yangmenerima bukan merupakan penghasilan (Non Taxable).

    Imbalan bruto berarti karyawan akan menerima imbalan sejumlahtertentu kemudian oleh perusahaan akan dipotong PPh 21 sesuai dengan

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 635

    tarif yang berlaku sehingga karyawan akan memperoleh uang sejumlahimbalan dikurangi PPh 21 yang harus dipotong.

    Take home pay berarti karyawan akan menerima imbalan sesuai denganjumlah tertentu yang sudah disetujui pada awal bekerja dan perusahaanyang akan menanggung PPh 21 yang harus dipotong dan disetor. Ada duaalternative perlakuan dari transaksi tersebut diatas, yaitu :

    a) PPh 21 diakui sebagai natura/kenikmatan (pajak yang dibayar ditanggungperusahaan) perhitungannya akan sama dengan Imbalan bruto.Tunjangan PPh 21 yang disetor Non Taxable dan Non Deductible.

    b) PPh 21 diakui sebagai biaya perusahaan atau penghasilan darikaryawan, lebih dikenal dengan istilah gross up. PPh 21 yang disetorTaxable dan Deductible.

    Pemilihan pengakuan di atas biasanya dilakukan berdasarkan taxplanning yang dibuat perusahaan sesuai dengan kondisi masing-masingperusahaan.

    Sesuai dengan Pasal 9 huruf h UU PPh No. 36/2008 yang tidak termasukdeductable expense/biaya yang boleh dikurangkan adalah Pajak Penghasilan.

    Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas tunjangan PPh 21 tidak dapatdibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, karena telah di bebankankepada karyawan (dip otong dari gaji karyawan).Karena itu, dalam Lap oranLaba Rugi jumlah tunjangan PPh 21 sebesar Rp. 233.152.713,52 dikoreksifiskal negatif, dan merupakan beda tetap.

    5). Penyusutan

    UU PPh No. 36 tahun 2008 Pasal 6 ayat (b), tertulis :

    ”Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud danamortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lainyang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A”

    Sesuai dengan pasal 11 ayat (6) metode penyusutanyang dip erbolehkan untuk kelompok bangunan permanen maupun tidak

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 636

    permanen adalah metode garis lurus (pasal 11 ayat (1) penyusutandilakukan pada bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaatyang telah ditentukan bagi harta tersebut) dan untuk kelompok bukanbangunan menggunakan metode garis lurus atau saldo menurun (pasal 11ayat (2) penyusutan dapat dilakukan dalam bagian-bagian yang menurunselama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarifpenyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisabuku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat azas.

    Dalam melakukan perhitungan biaya penyusutan atas aktiva,perusahaan belum mengelompokkan aktiva – aktiva tersebut sesuai denganketentuan pajak yang berlaku. Oleh karena itu, penulis mengoreksi biaya– biaya penyusutan atas aktiva perusahaan, diantaranya :

    a).Biaya penyusutan kendaraanPT. Mulya Adhi Pramitha menyediakan kendaraan tertentu bagi

    pegawai tertentu, kendaraan tersebut disusutkan selama 5 (lima) tahundengan metode garis lurus untuk laporan komersial dan untuk fiskaldigunakan metode saldo menurun yang masuk kelompok 2 dengan masamanfaat 8 (delapan) tahun.

    Dari hasil perhitungan dip eroleh bahwa penyusutan komersial denganmetode penyusutan garis lurus adalah sebesar Rp 39.100.000, sedangkanpenyusutan fiskal dengan metode saldo menurun untuk kendaraan kategori1 adalah Rp 14.474.520, dan untuk kategori 2 adalah Rp 53.414.855(lihat lamp iran 4). Penyusutan kendaraan kategori 2 merupakan penyusutanuntuk kendaraan yang dipergunakan oleh pegawai dimana kendaraantersebut dibawa pulang, maka sesuai dengan KEP-220/PJ/2002 yangmulai berlaku pada 18 April 2002, penyusutannya hanya dapat dibebankansebesar 50% dan merupakan kelompok 2 aktiva bukan bangunan daribeban.

    Maka total selisih beban penyusutan kendaraan adalah Rp2.081.948 dan harus dikoreksi negatif beda waktu.

    b).Biaya penyusutan peralatan kantorSesuai dengan kebijakan manajemen PT. Mulya Adhi Pramitha

    penyusutan peralatan kantor diestimasi dengan umur ekonomis selama 5

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 637

    (lima) tahun dan penyusutan dihitung berdasarkan metodepenyusutan garis lurus, sehingga beban penyusutan untuk peralatankantor pada tahun 2014 untuk laporan keuangan komersial sebesar Rp41.856.534 (lihat lampiran 5a). Untuk keperluan dalam pelaporan pajakPT. Mulya Adhi Pramitha menggunakan metode saldo menurun kelompok1 dengan masa manfaat 4 (empat) tahun. Penyusutan hasil perhitunganpenulis adalah Rp 27.609.784 (lihat lampiran 5b), dari data yangdiperoleh diketahui tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk peralatankantor yang dikapitalisasi. Dari perhitungan di atas dapat disimpulkanbahwa penyusutan komersial lebih besar dibandingkan penyusutanuntuk fiskal sebesar Rp 14.246.749 yang harus dikoreksi positif bedawaktu.

    c).Penyusutan mesinKebijakan akuntansi PT. Mulya Adhi Pramitha dalam

    pengalokasian pembebanan penyusutan mesin adalah dengan menggunakanmetode garis lurus dengan estimasi umur ekonomis selama 5 (lima) tahun,sedangkan untuk keperluan pajak PT. Mulya Adhi Pramithamenetapkan untuk menggunakan metode saldo menurun yang termasukdalam kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun. Sebagai akibat dariperbedaan kedua metode tersebut jumlah biaya penyusutan mesin yangdiakui oleh wajib pajak badan dan fiskal akan berbeda karena itu perbedaanjumlah penyusutan yang terjadi harus disesuaikan.

    Dalam laporan harga pokok penjualan PT PT. Mulya AdhiPramitha tahun 2014 dilaporkan besar penyusutan untuk mesin sebesar Rp1.338.356.18 1 (lihat lampiran 6a) sementara perhitungan penyusutan menurutmetode saldo menurun untuk tahun 2014 adalah sebesar Rp781.301.233 (lihat lampiran 6b) yang menyebabkan perbedaansementara dan harus dikoreksi positif karena beban penyusutan yangdiakui oleh fiskal lebih kecil dari penyusutan yang diakui oleh komersialyaitu sebesar Rp 557.054.948.

    d). Penyusutan peralatan dan perlengkapan pabrikDalam pengalokasian beban penyusutan untuk pelaporan pajak,

    PT. Mulya Adhi Pramitha menerapkan metode garis lurus dimanaperalatan dan perlengkapan termasuk dalam kategori aktiva tetap bukan

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 638

    bangun kelompok 1 dengan umur ekonomis 4 tahun. Sementara untukpelaporan pajak menggunakan metode saldo menurun dimana peralatan danperlengkapan pabrik dibagi menjadi 2 kategori yaitu harta bukan bangunankelompok 1 dengan masa manfaat 4 (empat) tahun dan harta bukan bangunankelompok 2 dengan masa manfaat 8 (delapan) tahun.

    Total beban penyusutan atas peralatan dan perlengkapan selamatahun 2014 yang dilaporkan dalam laporan harga pokok penjualandengan menggunakan metode penyusutan garis lurus adalahsebesar Rp 1.117.547.190 (lihat lampiran 7a) sedangkan penyusutandengan metode saldo menurun untuk pelaporan pajak sebesar Rp711.257.394 yang terdiri dari Rp 697.224.582 untuk beban penyusutanperalatan dan perlengkapan pabrik yang termasuk dalam aktiva bukanbangunan kategori 1 dan Rp 14.032.812 untuk beban penyusutanperalatan dan perlengkapan pabrik yang termasuk dalam aktiva bukanbangunan kategori 2 (lihat lampiran 7b), dengan demikian terdapat perbedaansementara yang harus dikoreksi negatif menurut laporan keuangan PT. MulyaAdhi Pramitha karena penyusutan untuk pajak lebih besar dari penyusutankomersial sebesar Rp 406.289.796.

    Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa darilaporan harga pokok penjualan terdapat koreksi fiskal negatif yangmengakibatkan beda waktu sebesar Rp 4.188.790 dan koreksi fiskalpositif yang mengakibatkan beda tetap sebesar Rp 4 10.478.586.

    6).Biaya Perj alananBiaya Perjalanan yang dimaksud di Laporan Laba Rugi adalah

    biaya tiket pesawat yang digunakan oleh pihak manajemen dalammelakukan perjalanan pulang pergi ke Korea. Perjalanan yang dilakukanini tidak hanya untuk urusan bisnis, tetapi juga untuk urusan pribadi.

    Sesuai dengan penjelasan pasal 9 ayat (1) UU PPh No.36/2008yaitu pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan brutoadalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha ataukegiatan untuk (3M) mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang pembebannya dapat dilakukan dalam tahunpengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 639

    Setelah dilakukan pengecekan, besar biaya perjalanan untuk urusanpribadi adalah Rp 12.555.270. Berdasarkan penjelasan pada paragrafsebelumnya, maka biaya perjalanan sebesar Rp 12.555.270 perludikoreksi fiskal karena tidak ada hubungannya dengan kegiatan 3M. Inimerupakan koreksi fiskal negatif karena beda tetap.

    7).Biaya kendaraanBiaya kendaraan yang dimaksud disini adalah biaya yang

    dikeluarkan untuk pembelian bahan bakar, toll dan parkir kendaraanperusahaan. Total biaya bahan bakar yang menjadi beban perusahaan padatahun 2009 adalah sebesar Rp. 120.049.150 untuk kendaraan yang dipakaioleh pegawai tertentu yang dipergunakan atas jabatan atau pekerjaanpegawai tersebut dan kendaraan tersebut dibawa pulang oleh pegawaitersebut.

    Dalam laporan terlihat bahwa perusahaan tidak mengoreksi biayakendaraan. Meskipun demikian, sesuai dengan KEP-220/PJ/202 yang mulaiberlaku pada 18 April 2002 Pasal 3 ayat (1) kendaraan perusahaan(sedan) yang dibawa pulang & dikuasai pegawai maka atas biaya bahanbakarnya hanya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebesar 50%dari biaya komersialnya. Berdasarkan aturan tersebut, penulismengoreksi biaya kendaraan perusahaan. Besar biaya bahan bakar, tolldan parkir kendaraan yang menjadi pengurang penghasilan yangdiperkenankan oleh fiskal adalah 50% dari Rp 220.049.150 sebesar Rp.110.024.575, dan ini merupakan koreksi positif karena beda tetap.

    8).Biaya Pemeliharaan KendaraanBiaya kendaraan yang menjadi beban perusahaan pada tahun 2009

    adalah sebesar Rp. 120.049.150 untuk kendaraan yang dipakai oleh pegawaitertentu yang dip ergunakan atas jabatan atau pekerjaan pegawai tersebut dankendaraan tersebut dibawa pulang oleh pegawai tersebut. Sama seperti biayakendaraan, perusahaan juga belum melakukan koreksi atas biayapemeliharaan kendaraan.

    Sesuai dengan KEP-220/PJ/2002 yang mulai berlaku pada 18April 2002 pasal 3 ayat 2 :

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 640

    ”Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraansebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki dan dipergunakanperusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapatdibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biayapemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan”

    Berdasarkan ketentuan di atas, maka penulis mengoreksi biaya yangdapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah 50% dari Rp. 120.049.150sebesar Rp. 62.049.929,50. Ini merupakan koreksi positif karena bedatetap.

    9).Biaya PerhubunganBiaya perhubungan sebesar Rp 193.161.643,70 terdiri dari Rp.

    188.033.884 yang merupakan biaya atas pemakaian telpon dan internet,serta Rp 5.127.760 merupakan biaya atas pembelian pulsa atau pembayaranbiaya telpon pasca bayar bagi pegawai perusahaan.

    Biaya telepon dan internet merupakan biaya yang berhubungandengan kegiatan perusahaan, karena itu sesuai dengan UU No. 36 tahun2008pasal 6 ayat 1(a), biaya listrik, telepon dan air yangpembayarannya dapat dibuktikan dari tagihan merupakan biaya yangdapat dikurangkan.

    Sementara biaya pemakaian telpon pribadi dapat dikategorikansebagai bentuk kenikmatan/natura. Jika merujuk kepada UU 36 tahun2008 pasal 9 ayat 1(e), jelas biaya ini tidak dapat dibebankan. Akantetapi, berdasarkan KEP - 220/PJ./2002yang mulai berlaku 18 April 2002tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian TeleponSeluler dan Kendaraan Perusahaan pasal 1 ayat 2 :

    “Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikantelepon seluler yang dimiliki dan dip ergunakan perusahaan untuk pegawaitertenu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biayaperusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya berlangganan atau pengisianulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.”

    Berdasarkan aturan tersebut, meskipun perusahaan tidak melakukankoreksi atas biaya perhubungan, tetapi penulis mengoreksi positif biaya

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 641

    perhubungan sebesar 50% dari Rp. 5.127.760 yaitu sebesar Rp.2.563.880, karena beda tetap.

    10) Biaya Pelayanan (Entertainment)

    Dasar aturannya yaitu: Surat Edaran DJP No. SE-27/PJ.22/1986,tgl 14 Juni 1 986.Biaya entertainment/jamuan/representatif mempunyaisyarat tertentu agar biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaanuntuk entertainment/jamuan/representative tersebut dapatdikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dalam menentukan labarugi fiskal sebagai dasar pengenaan pajak penghasilan sesuai dengansurat edaran SE-27/PJ.22/1 986 yaitu biaya yang dikeluarkan tersebutmerupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memeliharapenghasilan dan harus melampirkan daftar nominatif dalam SPTTahunan PPh pada tahun pajak yang bersangkutan.

    Daftar nominatif entertainment terdiri dari:

    1) Nomor urut2) Tanggal diberikannya entertainment3) Nama/tempat entertainment diberikan4) Alamat entertainment5) Jumlah biaya entertainment6) Relasi: nama, posisi, nama perusahaan, jenis usaha.

    Dalam laporan laba rugi PT Mulya Adhi Pramitha terdapat biayauntuk entertainment sebesar Rp. 59.414.050,- biaya tersebut tidak bolehdikurangkan dari jumlah laba rugi bruto perusahaan dalam meghitungjumlah laba rugi fiskal atau harus dikoreksi fiskal positif beda tetap karenaPT Mulya Adhi Pramitha tidak (dapat) melampirkan daftar nominatifatas biaya entertainment tersebut sesuai dengan surat edaran SE-27/PJ.22/1 986.

    11). Biaya Lain – lainBiaya lain-lain harus dibuat rinciannya dan harus dipisahkan

    antara biaya yang dapat dikurangkan dengan biaya yang tidak dapatdikurangkan, apabila tidak ada rinciannya dan tidak ada bukti-bukti yangsah maka biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Biaya lain-lainPT Mulya Adhi Pramitha sebesar Rp 361.491.347, tidak ada rinciannya,

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 642

    sehingga penulis mengkoreksi biaya tersebut sebagai koreksi positif bedatetap.

    12). Biaya MessBiaya mess ini terdiri dari biaya listrik, air, telpon, tv kabel dan biaya

    pemeliharaan mess yang digunakan sebagai tempat tinggal karyawanselama tahun 2014. Hal ini dikategorikan sebagai natura/kenikmatan yangditerima oleh karyawan dan tidak ada hubungannya dengan kegiatanperusahaan. Maka sesuai dengan UU 36/2008 pasal 9 ayat 1(e), biayamess sebesar Rp. 209.431.223 perlu dikoreksi fiskal. Ini merupakankoreksi fiskal positif karena beda tetap.

    13). Pendapatan BungaPendapatan bunga dari bunga simpanan yang diterima PT. Mulya Adhi

    Pramitha pada tahun 2009 adalah sebesar Rp. 9.43 1.185,66. Sesuai denganundang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkansalah satu penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final adalah :

    ”penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bungaobligasi dan dan surat utang Negara dan bungan simpanan yang dibayarkanoleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi”

    Pendapatan bunga bersifat final yang artinya pajak penghasilannyatelah dipotong pada saat penghasilan tersebut diterima, sehingga pada saatperhitungan pajak penghasilan pada akhir tahun pendapatan bunga tersebuttidak boleh diperhitungkan lagi dan harus dikoreksi negatif karena beda tetapsebesar Rp. 9.43 1.185,66.

    14). SumbanganPada umumnya sumbangan dan bantuan tidak boleh dikurangkan

    karena bagi penerimanya pada umumnya bukan objek pajak. Namun untuklebih tegasnya kita harus melihat ketentuan di Pasal 9 ayat (1) no.36 tahun2008 yang mengatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan.

    Di Pasal 9 ayat (1) huruf g tertulis sebagai berikut :

    ”Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisansebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecualisumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j,

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 643

    huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakatatau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atausumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakuidi Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk ataudisahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkanPeraturan Pemerintah”

    Berdasarkan isi Pasal 4 ayat 3,yang dikecualikan dari objek pajakdiantaranya:

    1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan zakatataulembaga amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.

    2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garisketurunanlurus atau sederajat.

    Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,atau penguasaan di antara pihak – pihak yang bersangkutan :

    a. Warisan.

    Sumbangan yang dimaksud dalam Laporan Laba Rugi PT. MulyaAdhi Pramithamerupakan sumbangan sehubungan dengan kelahiran,kematian, ataupun pernikahan karyawan perusahaan. Hal ini samasekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan.

    Maka jelas disini sumbangan sebesar Rp. 10.466.091,- harusdikoreksi. Dan ini merupakan koreksi fiskal negatif karena beda tetap.

    15). Biaya Seragam Karyawan (Uniform)

    Selama tahun 2014 PT. Mulya Adhi Pramitha membebankan biayaseragam karyawan di bagian produksi dalam laporan laba rugiperusahaan sebesar Rp. 12.510.730,- dalam rangka mendukung danmenunjang keselamatan kerja karyawan serta Rp. 1.869.801,- adalah biayaseragam karyawan kantor.

    Sesuai dengan penjelasan UU.No.17/2000 pasal 9 ayat (1) huruf eyang terakhir dirubah dengan UU no.36 Tahun 2008, bahwa pemberianpakaian seragam kepada karyawan bagian produksi dalam hal peningkatan

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    InoVasi Volume 11: April 15 Page 644

    keselamatan karyawan, bukan merupakan penghasilan bagi karyawantetapi boleh dibebankan sebagai biaya dalam menghitung laba (rugi)fiskal. Oleh karena itu biaya pakaian seragam karyawan bagian produksitersebut tidak perlu dikoreksi dalam perhitungan laba rugi fiskal PT.Mulya Adhi Pramitha

    Akan tetapi, perlu dibedakan antara seragam karyawan yangbekerja di pabrik dengan karyawan di bagian kantor, karena nyata-nyatakaryawan yang bekerja di kantor tidak ada pengaruh keselamatan kerjadengan seragam yang digunakan, walaupun di dalam UU PPh tahun 1984beserta perubahan - perubahannya tidak terlalu jelas dibedakan antaraseragam karyawan di pabrik atau di kantor, namun penulismenyimpulkan bahwa seragam karyawan kantor sebesar Rp.1.869.801,- harus dikoreksi positif beda tetap karena pakaian tersebuttidak berhubungan dengan keselamatan kerja karyawan kantor.

    4.1.2 Pendapatan dan Biaya yang Deductible

    Selain biaya-biaya yang dikoreksi di atas, penulis juga akanmenjelaskan mengenai biaya-biaya yang tidak perlu dikoreksi. Artinyabiaya-biaya berikut dalam pencatatannya telah sesuai dengan UUperpajakan yang berlaku.

    1). Bahan Baku

    Dalam melakukan penilaian persediaan, PT. Mulya Adhi Pramithamenggunakan metode penilaian persediaan first in first ou method (FIFO),sehingga nilai persediaan yang dilaporkan oleh PT PT. Mulya AdhiPramitha di dalam perhitungan harga pokok produksi tidak perlu diST

    IE P

    utra

    Per

    dana

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 645

    koreksi karena telah sesuai dengan metode penilaian persediaan yang diperbolehkanoleh peraturan perpajakan yaitu metode first in first out method (FIFO) dan averagemethod. Sesuai dengan UU.No.36/2008 pasal ayat (1) huruf a, biaya untukmendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelianbahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalamperhitungan pajak penghasilan, maka biaya bahan baku tidak perlu dikoreksi.

    2).Biaya Gaji Karyawan dan BonusBerdasarkan UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan

    bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usahatetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk diantaranya tercantum dalam pasal 6 ayat1(a) no.2 :

    “biaya yang berkenaan dengan pekerjaan termasuk upah, gaji, honorarium,bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang”

    Berdasarkan ayat tersebut, maka biaya-biaya seperti Gaji Karyawan, Bonus,Pesangon, serta biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan pekerjaan atauproduksi, tidak perlu dikoreksi fiskal.

    3).PesangonBerdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.1 6/PMK.03/20 10 Pasal 2 ayat (1),

    yaitu “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang, Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkansekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.”

    Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukanpembayaran pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenagakerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal21 (PPh final) yang terutang atas pesangon.Atas pembayaran uang pesangon iniperusahaan dapat membebankan sebagai biaya/ pengurang penghasilan dalammenghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan terutang (merupakan deductableexpenses).

    Pesangon yang dibayarkan oleh perusahaan atau pemberi kerja adalah deductible bagiperusahaan.Karena memenuhi prinsp taxability-deductibility. Pesangon tersebut memangdikenakan pajak bersifat final, tapi itu adalah pajak atas penghasilan karyawan.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 646

    4).Biaya Overhead PabrikBiaya – biaya overhead pabrik seperti biaya listrik & air, biaya bahan bakar

    kendaraan, biaya pengangkutan, biaya pemeliharaan dan perbaikan mesin, biayapemakaian dan biaya pembungkus, itu semua merupakan biaya – biaya yangberhubungan langsung dengan biaya untuk memelihara penghasilan sesuai denganpasal 6 ayat (1) UU.PPh.No. 17/2000 yang terakhir dirubah dengan no.36 tahun 2008.Selainitu, biaya tersebut merupakan biaya yang digunakan untuk kepentingan untukmendapatkan penghasilan dan merupakan biaya rutin, bukan biaya untuk kepentinganpemilik, maka biaya tersebut tidak perlu dikoreksi fiskal.

    5). Biaya Penjualan & Umum

    Biaya penjualan dan umum terdiri dari :

    a. Biaya Pengangkutan, merupakan biaya rental forklift untuk pengangkutanbahan baku atau material.

    b. Biaya Sewa, merupakan biaya atas sewa mesin fotocopy.c. Biaya Pemeliharaan dan Pebaikan, merupakan biaya pemeliharaan alat – alat kantor

    seperti komputer dan printer.d. Biaya Pemakaian, merupakan biaya pembelian alat tulis kantor dan biaya pemasangan

    aplikasi komputer.

    Sama halnya dengan Biaya Overhead Pabrik, biaya – biaya di atas jugamerupakan biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan perusahaan. Olehkarena itu tidak perlu dilakukan koreksi fiskal.

    6). Biaya asuransi

    Asuransi bangunan yang dilaporkan dalam laporan laba rugI PT. Mulya AdhiPramitha untuk tahun 2009 sebesar Rp. 25.688.785,20. Berdasarkan UU PPh No. 36 tahun2008 Pasal 6 ayat 1(a) :

    “Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biayapembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga,sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biayaadministrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan”

    Sesuai dengan peraturan di atas, maka biaya asuransi bangunan boleh dibiayakan

    7). Biaya Bea Materai & Pajak Lainnya, Biaya Administrasi Bank.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 647

    Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 1(a) no. 8 dan no.9dijelaskan bahwa biaya administrasi dan biaya pajak kecuali pajak penghasilanmerupakan biaya yang deductible. Biaya pajak yang dimaksud dalam laporan keuanganPT Mulya Adhi Pramitha merupakan biaya atas pajak listrik, Pajak Bumi danBangunan, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).Maka sesuai dengan UndangUndang di atas, biaya Bea Materai dan Pajak Lainnya sebesar Rp. 100.648.418,07serta biaya Administrasi bank sebesar Rp. 122.244.0596,18 dapat dibiayakan dan tidakperlu dikoreksi.

    8).Keuntungan Selisih KursSesuai butir 1 huruf (a) SE-03/PJ.31/1997 tanggal 13 Agustus 1997 mengenai

    Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs yang menyebutkan bahwaberdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf l Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, keuntungankarena selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi Objek PajakPenghasilan.

    Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asingatau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter.Atas keuntungan yang diperolehkarena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan systempembukuan yang dianut oleh WP dengan syarat dilakukan secara taat asas.

    9).Beban Bunga & Kerugian Selisih Kurs Mata Uang AsingBerdasarkan Pasal 6 ayat 1(a) UU PPh no. 36 tahun 2008, yang termasuk biaya

    fiskal yaitu biaya yang dip ergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan diantaranya; Beban bunga, sewa dan royalti ( ayat 1a no.3) dan -

    Kerugian selisih kurs mata uang asing ( ayat 1 e)

    10). Biaya Penyusutan bangunan.Dalam undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) huruf b, menyatakan

    bahwa penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasiatas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masamanfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 bolehdikurangkan dari penghasilan bruto dalam menentukan besarnya laba (rugi) fiskal.

    Sesuai dengan pasal 11 ayat (6) metode penyusutan yang dip erbolehkanuntuk kelompok bangunan permanen maupun tidak permanen adalah metode garis lurus(pasal 11 ayat (1) : penyusutan dilakukan pada bagian-bagian yang sama besar selamamasa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut).

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 648

    Bangunan yang dimiliki oleh PT Mulya Adhi Pramitha diperoleh pada tahun1999 hingga 2001 dengan estimasi masa manfaat adalah selama 20 tahun dan total hargaperolehan sebesar Rp 5.694.430.170. Dengan demikian periode pembebanan penyusutan atasbangunan tersebut adalah dari tahun perolehan sampai dengan 20 tahun berikutnya dansesuai kebijakan akuntansi perusahaan, metode penyusutan yang diterapkan adalahmetode garis lurus. Biaya penyusutan yang dibebankan selama tahun 2014 adalah sebesarRp 284.721.509, baik untuk laporan keuangan komersial maupun untuk laporankeuangan fiskal yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), sehingga biayapenyusutan untuk bangunan tidak perlu dikoreksi.

    4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

    Dalam laporan keuangan komersial PT Mulya Adhi Pramitha dilaporkan bahwa

    perusahaan tersebut mengalami laba sebelum pajak sebesar Rp 1.163.697.999,- dan setelah

    dilakukan koreksi sesuai dengan peraturan pajak maka laba yang diakui oleh fiskal adalah

    sebesar Rp 3.4 12.096.577,-.

    Koreksi fiskal atas laporan keuangan komersial PT Mulya Adhi Pramitha

    berpengaruh terhadap pengakuan besar kecilnya laba (rugi) yang dialami oleh PT Mulya

    Adhi Pramitha, dimana dari hasil koreksi dapat dilihat bahwa terdapat koreksi positif

    sebesar Rp 2.264.100.501 dan koreksi negatif sebesar Rp 15.701.923.

    Akibat dari adanya koreksi positif dan negatif tersebut maka terjadi kenaikan

    besarnya laba komersial dari Rp 1 .163.697.999,-menjadi sebesar Rp 3.412.096.577,- yang

    artinya jumlah sebesar Rp 2.248.398.578 atau 193% kenaikan dari laba atau laba yang

    diakui oleh fiskal lebih besar.

    Banyaknya biaya-biaya yang dikoreksi positif mengakibatkan keuntungan

    yang diakui oleh fiskal semakin besar dan semakin besar biaya yang dikoreksi positif maka

    semakin kecil rugi yang diakui oleh fiskal.

    5. Kesimpulan dan Saran 5.1

    Kesimpulan

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Mulya Adhi Pramitha belum sepenuhnyamelakukan koreksi fiskal dengan tepat sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku,

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 649

    dimana masih terdapat biaya dalam laporan laba rugi dan laporan harga pokok penjualanyang belum dikoreksi.

    Dalam penelitian terlihat bahwa koreksi yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesarRp 1.016.181.382,81. Akan tetapi, setelah penulis teliti kembali dan disesuaikan denganperaturan – peraturan perpajakan dan Undang – undang yang berlaku, ada tambahankoreksi dari penulis yaitu sebesar Rp 1.232.217.195,63. Dengan demikian total koreksiadalah sebesar Rp 2.248.398.578,44.

    5.2 SARAN

    Dari kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran sebagaiberikut :

    1. Memperkecil atau meminimalkan koreksi positif atas biaya-biaya yang ada denganmematuhi setiap peraturan perpajakan yang ada seperti:

    a. Membuat daftar nominatif untuk biaya entertainment atau representatif, karena jumlahbiaya tersebut sangat besar nilainya/material.

    b. Sebaikya biaya perumahan yang dibayarkan PT Mulya Adhi Pramitha kepadakaryawan tertentu dijadikan sebagai tunjangan sewa rumah bagi karyawan yang menjadipenghasilan bagi karyawan tersebut sehingga biaya tersebut tidak dikoreksi fiskal positif.

    c. Agar biaya lain-lain tidak dikoreksi fiskal positif seluruhnya, maka sebaiknyabiaya-biaya tersebut dibuatkan rinciannya serta dipisahkan antara biaya yang bolehdikurangkan dengan biaya yang tidak boleh dikurangkan.

    2. Sebaiknya karyawan pada divisi akuntansi dan pajak harus selalu mengetahui setiapperkembangan peraturan perpajakan terbaru atau perubahan-perubahan peraturan pajak yangdilakukan oleh Dirjen Pajak, apabila tidak demikian maka setiap kelalaian akan mendapatkansanksi pajak.

    3. Sebaiknya Peraturan Pajak ditaati dengan semestinya, karena setiap pelanggaran yangdilakukan oleh wajib pajak akan dikenakan sanksi pajak.

    DAFTAR PUSTAKA

    Frank K. Reilly (University of Notre Dame, Keith C. Brown (University of Texas at Austin),Investment Analysis and Portfolio Management, 6th Edition, The Dryden Press, 2000.

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

  • Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen danAkuntansi STIE Putra Perdana Indonesia

    April 2015

    Inovasi Volume 10: April 15 Page 650

    Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2006, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2006. Mulyono,Djoko., Akuntansi Pajak, Edisi ke-2, Yogakarta, Penerbit Andi, 2007. Pardiat, AkuntansiPajak, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2010.

    Republik Indonesia, Keputusan Direktur Jendral Nomor KEP-220/PJ/2002 tentang PerlakuanPajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan.

    Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata CaraPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, UangManfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang DibayarkanSekaligus.

    Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 tentangPenyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atauImbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Naturadan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaanyang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

    Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentangPenyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

    Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.3 1/1997 tentangPerlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs.

    Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986tentang Biaya “Entertainment” dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18).

    Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atasUndang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan.

    Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

    Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Cet. Ke- 13. Bandung : Alfabeta, 2009.

    Yahya, Johannes., Akuntansi Perpajakan Pos – Pos Neraca, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2010

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia

    STIE

    Put

    ra P

    erda

    na

    Indo

    nesia