imunisasi

26
TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan 1,2,5 Imunisasi adalah suatu cara pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan. Berdasarkan asal-mulanya, imunitas atau kekebalan dibagi dalam dua hal, yaitu pasif dan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi. Baik pasif maupun aktif dapat 6

Transcript of imunisasi

Page 1: imunisasi

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan1,2,5

Imunisasi adalah suatu cara pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada

antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan

untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk

menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin

tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit

yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman.

Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek

samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa

kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.

Berdasarkan asal-mulanya, imunitas atau kekebalan dibagi dalam dua hal,

yaitu pasif dan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar

tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin

yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan

imunoglobulin. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri

akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi. Baik pasif maupun aktif dapat

berlangsung alami, biasanya bawaan (congenital) atau didapat (acquired).

Imunitas pasif bawaan (passive congenital immunity), terdapat pada bayi

baru lahir (neonatus) sampai bayi berumur 5 bulan. Neonatus mendapatnya dari ibu

sewaktu di dalam kandungan, yaitu berupa zat anti (antibodi) yang melalui jalan darah

menembus plasenta. Zat anti itu berupa globulin gama yang mengandung imunitas

seperti yang juga dimiliki ibu. Namun zat anti itu lambat laun akan lenyap dari tubuh

bayi. Dengan demikian sampai umur kurang lebih 5 bulan, bayi dapat terhindar dari

beberapa penyakit infeksi, misalnya difteria, campak, dan lain-lain.

Imunitas pasif didapat (passive acquired immunity), zat anti didapatkan oleh

anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti

ini akan dikeluarkan lagi dari tubuh anak. Bahan zat anti demikian dapat berupa

globulin gama murni yang didapat dari darah orang yang pernah mendapat penyakit,

misalnya campak. Sebenarnya tidak hanya globulin gama murni yang dapat

digunakan, tetapi darah atau serumnya dapat pula dipakai untuk disuntikkan, tetapi

6

Page 2: imunisasi

tentunya dalam hal yang terakhir ini diperlukan jumlah yang jauh lebih banyak.

Contoh lain ialah pemberian serum anti tetanus, serum anti difteri dan berbagai serum

hiperimun, seperti yang spesifik untuk pertusis, hepatitis B, dan rubela.

Imunitas aktif, dibagi dua bagian :

1. didapat secara alami (naturally acquired), contohnya adalah difteria.

2. sengaja dibuat (artificially induced). Cara pemberian terdiri dari tiga macam

antigen, yaitu :

- live attenuated bacteria or viruses: virus atau bakteri liar ini dilemahkan,

biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Berasal dari virus hidup :

campak, rubela, polio sabin. Berasal dari bakteri : BCG, demam tifoid

- killed bacteria or virus, misalnya kolera, tifus abdominalis, pertusis, polio salk

- toksoid, contoh : difteria, tetanus, botulinum

Berdasarkan lokalisasi dalam tubuh, imunitas dibagi dalam :

- Imunitas humoral ; imunitas ini terkandung dalam imunoglobulin (Ig). Setiap

molekul Ig terdiri dari rantai H dan L. Rantai H terdiri dari bermacam-macam tipe,

tetapi yang terpenting untuk imunitas ialah rantai G, A dan M. Oleh karena itu

dinamakan juga IgG, IgA dan IgM.

- Imunitas selular ; terdiri dari : a. fagositosis sel-sel sistem retikulo endotelial. b.

kemampuan sel tubuh untuk menolak dan mengeluarkan benda asing. c. alergi

kulit terhadap benda asing. d. mengenal antigen secara cepat dan bereaksi secara

cepat untuk menghindarkan akibat buruk.

Patofisiologi1,2

Walaupun belum diperoleh bukti yang nyata benar, namun pendapat umum

menyatakan bahwa stem cell merupakan permulaan semua sel yang mengakibatkan

imunitas yang menempuh dua jalan yaitu melampaui timus (sel T) dan bursa (sel B).

Dua organ ini penting untuk pembuatan sel imunitas. Dalam bidang imunologi kuman

atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Bila antigen untuk pertma kali

masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat

anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut sebagai antibodi.

Selanjutnya bila tubuh terserang antigen yang sama atau yang telah dikenal terlebih

dahulu, maka port d’entrée pertama-tama akan berhadapan dengan sel T dan bila

diperlukan maka sel T ini akan memberikan informasi kepada sel B agar secepatnya

membuat imunoglobulin untuk memusnahkan antigen tersebut. Jalan kebalikan juga

7

Page 3: imunisasi

dapat terjadi (sel B memberikan informasi kepada sel T), hanya cara informasi ini

belum diketahui benar.

Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody terhadap

antigen, tidaklah terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai pengalaman untuk

mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh sudah pandai

membuat zat anti dan pembentukkannya pun sangat cepat. Akan tetapi setelah

beberapa bulan / tahun jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang karena akan

dirombak oleh tubuh, sehingga imunitas tubuh pun akan menurun. Agar tubuh tetap

kebal diperlukan perangsangan kembali oleh antigen.

Bila seseorang mendapat imunisasi baik oral maupun parenteral maka reaksi

imunitas akan terjadi pada sel T dan B. oleh karenanya walaupun imunisasi sudah

lama diberikan dan kadar zat anti dalam darah sudah menurun, belumlah berarti

bahwa imunitas tubuh telah hilang. Masih ada imunitas sel (sel T) yang bila perlu

dapat mengenal secara cepat sehingga produksi zat anti dapat terjadi.

Imunisasi yang diwajibkan (PPI)1

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DPT, dan campak.

BCG (Bacillus Calmette Guerin)1,2,5

Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC).

BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin disuntikkan secara

intrakutan di insertio m.deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,05 ml untuk bayi

dibawah usia 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak usia 1 tahun atau lebih. Jika diberikan

pada usia lebih dari 2 bulan maka uji mantoux terlebih dahulu, jika uji mantoux (+)

maka tidak perlu diimunisasi.

Vaksin BCG ulangan tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan mengingat :

1. efektivitas perlindungan hanya 40%

2. sekitar 70% kasus TBC berat ternyata mempunyai parut BCG

3. kasus dewasa dengan BTA positif di Indonesia cukup tinggi (25-36%) walaupun

mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien

imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada

pasien HIV).

8

Page 4: imunisasi

Reaksi yang mungkin terjadi:

Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul

kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah

menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka

terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12

minggu dengan meninggalkan jaringan parut.

Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa

disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6

bulan.

Komplikasi yang mungkin timbul adalah:

Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena

penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk

mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi

(pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.

Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau

dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.

DPT1,2,3,4,5

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan

tetanus.

Dasar :

- vaksin difteri ; toksin kuman yang dilemahkan (toksoid)

- vaksin tetanus ; toksoid

- vaksin pertusis ; kuman B. pertusis yang dimatikan

Daya proteksi vaksin difteri dan tetanus adalah 80-95%, sedangkan pertusis adalah

50-60%. Imunisasi DPT ataupun DT diberikan Intramuskular atau subkutan dalam.

Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3x, dimulai pada usia 3 bulan dengan dosis

masing-masing 0,5 ml dengan selang 4 minggu (1 bulan ), kemudian diperkuat

dengan imunisasi keempat yang diberikan 1 tahun setelah imunisasi ketiga. Ulangan

imunisasi berikutnya dilakukan pada usia 5 tahun (usia masuk sekolah) masih

menggunakan DPT. Selanjutnya ulangan imunisasi dilakukan setiap 5 tahun dengan

menggunakan DT saja tanpa pertusis karena vaksin tersebut tidak dianjurkan pada

anak usia lebih dari 7 tahun karena reaksi dapat lebih hebat.

9

Page 5: imunisasi

DPT sering menyebabkan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri

di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena

adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan

demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di

tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-

gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.

Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:

demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)

kejang

kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami

kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)

syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).

Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi

DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit

otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai

kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.

Kontraindikasi : riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia.

Imunisasi Polio1,2,3,4

Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis.

Terdapat 2 macam vaksin polio:

IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah

dimatikan dan diberikan melalui suntikan.

OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah

dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV)

efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan

1 jenis polio.

Jadwal imunisasi polio

- Polio-0 diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik

polio. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat

bayi meninggalkan rumah sakit agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio

vaksin dapat diekskresikan melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi

alternatif.

- Polio-1,2,3 dapat diberikan bersama dengan DPT 1,2,3.

10

Page 6: imunisasi

- Polio-4 diberikan satu tahun setelah polio 3 atau diberikan bersamaan DPT 4.

- Polio-5 diberikan pada umur 5 tahun atau diberikan bersamaan DPT 5.

Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes

(0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air

gula. Vaksin Salk mengandung 3 tipe, disuntikkan subkutan, yang pertama umur 3

bulan, yang kedua 4 minggu kemudian dan yang ketiga 6-7 bulan sesudah yang

kedua. Efek samping tidak ada.

Manfaat vaksin Salk dan Sabin sebenarnya sama, namun untuk negara yang sedang

berkembang vaksin Sabin lebih menguntungkan karena lebih murah (tanpa suntikan),

mudah didistribusikan dan mudah diberikan kepada anak.

Kontra indikasi pemberian vaksin polio:

Diare berat

Penyakit akut atau demam

Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin, streptomisin)

Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)

Kehamilan

Imunisasi Campak1,2,4,5

Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek).

Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL, pada umur 9 bulan. Pada

bayi yang baru lahir mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya

yang pernah terinfeksi morbili dan kekebalan pasif tersebut bertahan selama ± 6

bulan. Apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 15-18 bulan ulangan

campak pada umur 5 tahun tidak diperlukan. Tetapi bila anak baru datang pada usia

diatas 12 bulan dan ia belum pernah menderita penyakit campak maka sebaiknya

vaksinasi segera dilakukan.

Kontra indikasi pemberian vaksin campak:

infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38° Celsius

gangguan sistem kekebalan

pemakaian obat imunosupresan

alergi terhadap protein telur

kehamilan

11

Page 7: imunisasi

Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis

dan kejang yang ringan, serta ensefalitis dalam waktu 30 hari setelah imunisasi

(kejadian 1 diantara satu juta suntikan).

Imunisasi Hepatitis B1,4

Imunisasi bertujuan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B.

Lokasi penyuntikan di daerah deltoid secara intramuskular, dengan dosis 0,5 ml.

Jadwal imunisasi :

Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling

tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi

maternal sebesar 45%

Hepatitis B II diberikan dengan interval 1 bulan dari hepatitis B I (saat bayi

berumur 1 bulan)

Hepatitis B III diberikan dengan interval 2-5 bulan setelah hepatitis B II (saat bayi

umur 3-6 bulan)

Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan

selanjutnya diketahui bahwa HbsAg ibu positif maka masih dapat diberikan HBIg 0,5

ml sebelum bayi berumur 7 hari. Vaksinasi hepatitis B dapat diberikan kepada ibu

hamil dengan aman dan tidak membahayakan janin,

Apabila sampai umur 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B,

maka secepatnya diberikan. Ulangan imunisasi hepatitis B (hep B IV) dapat

dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun.

Reaksi imunisasi : segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi,

pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri rasa mual dan

nyeri sendi. Imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat.

Efek samping yang berarti tidak pernah dilaporkan.

Imunisasi yang dianjurkan1

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi / anak namun belum masuk ke

dalam program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, Tifoid, Hepatitis A, Varisela,

dan influenza.

MMR1,4,5

12

Page 8: imunisasi

Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap measles, mumps dan rubella, vaksin

MMR mengandung ketiga virus tersebut yang telah dilemahkan. Vaksin MMR

diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.

MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikkan imunisasi

lainnya.

Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan,

imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan diberikan

pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun (sebelum pubertas).

Reaksi imunisasi : kadang-kadang timbul kenaikan suhu ringan pada hari ke-5 atau

ke-7 atau rasa nyeri dan kemerahan pada tempat suntikan.

Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih. Imunisasi MMR

sebaiknya tidak diberikan kepada:

Alergi yang berat (gelatin atau neomisin)

anak dengan demam akut

anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin

anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia,

limfoma maupun akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran

atau obati imunosupresan.

wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil

Imunisasi Hib1,4,5

Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b.

Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan

berat yang bisa menyebabkan anak tersedak.

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu PRP-T dan

PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex).

Jadwal imunisasi :

Vaksin PRP-T diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan

Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan

Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DPT dalam bentuk vaksin

kombinasi dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan

Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

Dosis :

13

Page 9: imunisasi

Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.

Imunisasi Hib tidak dianjurkan pada wanita hamil, bila terdapat demam dan

hipersensitivitas terhadap komponen vaksin. Efek samping yang serius tidak pernah

dilaporkan, namun dapat terjadi reaksi lokal berupa pembengkakan, nyeri, dan

kemerahan kulit atau reaksi umum berupa ruam kulit, demam dan urtikaria.

Imunisasi Demam Tifoid1,3,4,5

Imunisasi ini diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif terhadap penyakit demam

tifoid. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral. Vaksin

capsular Vi polysaccharida diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan setiap 3

tahun. Sedangkan vaksin oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam

3 dosis dengan interval selang hari (hari 1, 3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan

setiap 3-5 tahun.

Vaksin demam tifoid oral :

Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena kuman dapat

dimatikan oleh asam lambung.

Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau

antimalaria yang aktif terhadap salmonella.

Vaksin polisakarida parenteral :

Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella typhi,

polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida,

disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.

Kontraindikasi ; alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, juga pada saat

demam, penyakit akut maupun kronik progresif.

Reaksi imunisasi pada pemberian vaksin oral dapat dijumpai demam, mencret,

muntah dan kemerahan kulit, sedangkan vaksin suntikan hanya nyeri ringan,

kemerahan, dan pembengkakan pada tempat suntikan.

Efek samping yang berbahaya jarang sekali terjadi.

Imunisasi Hepatitis A1,4

Imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis

A. di Indonesia telah beredar kombinasi hepatitis B/hepatitis A.

14

Page 10: imunisasi

Jadwal imunisasi :

Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun

Vaksin kombinasi tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin

kombinasi ini diindikasikan terutama untuk mengejar imunisasi pada anak yang

belum pernah mendapat imunisasi hep B sebelumnya atau vaksinasi hep B yang

tidak lengkap.

Dosis pemberian :

Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah

deltoid.

Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mg dan hepA 720µ) dalam kemasan

prefilled syringe 0,5 ml intramuskular

Reaksi imunisasi biasanya berupa kemerahan dan pembengkakan pada daerah

suntikkan, kadang-kadang demam, lesu, mual, muntah dan hilang nafsu makan.

Imunisasi Varisela1,3,4

Vaksin varisela berisi virus varisela zoster strain OKA hidup yang telah dilemahkan,

kemasan dalam bentuk beku-kering.

Jadwal imunisasi :

Direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat

mencegah apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak.

Dosis :

Dosis 0,5 ml, subkutan, 1 kali.

Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8

minggu.

Kontraindikasi :

Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit 1200/µl

atau adanya bukti defisiensi imun seluler seperti selama pengobatan induksi penyakit

keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, pasien dalam pengobatan kortikosteroid, dan

pasien yang alergi terhadap neomisin.

Kejadian ikutan Pasca Imunisasi1

Klasifikasi

15

Page 11: imunisasi

Tidak semua kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) disebabkan oleh imunisasi

karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena

itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai :

Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

Derajat sakit resipien, apakah memerlukan perawatan, menderita cacat, atau

menyebabkan kematian

Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan

Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan

produksi, atau kesalahan prosedur.

Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam

2 klasifikasi, yaitu :

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas

kesehatan di lapangan.

Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO

untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :

Kesalahan program

sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik

pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin, misalnya :

o dosis antigen (terlalu banyak)

o lokasi dan cara menyuntik

o sterilisasi semprit dan jarum suntik

o jarum bekas pakai

o tindakan dan antiseptik

o kontaminasi vaksin dan peralatan suntik

o penyimpanan vaksin

o pemakaian sisa vaksin

o jenis dan jumlah pelarut vaksin

o tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi

kontra)

Reaksi suntikan

16

Page 12: imunisasi

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi

suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat

suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,

pusing, mual sampai sinkope.

Reaksi vaksin

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi

terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis

biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat

seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini

sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pamakaian

tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian

khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk

kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus

diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

Koinsiden (faktor kebetulan)

Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini terjadi secara

kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan

ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi

setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.

Sebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke

dalam satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok

ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan

informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai sebagai pencatatan dan pelaporan KIPI.

WHO pada tahun 1991 melalui expanded programme on imunisation (EPI) telah

menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh semua negara. Untuk negara

berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontorl vaksin dan

mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan

baik, alat yang sekali pakai, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi

patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian

pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.

17

Page 13: imunisasi

2. klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah komnas PP KIPI.

Vaccine Safety Commitee (1994) membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda

dengan laporan Commitee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar

klasifikasi saat ini, yaitu :

o Tidak terdapat bukti hubungan kausal

o Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal

o Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal

o Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal

o Bukti memastikan hubungan kausal

Pelaporan

KIPI adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan

oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan penanggulangan KIPI menetapkan bahwa

KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan

setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik

setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara

kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab

KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya

dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi

dan dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan adalah semua kejadian yang berhubungan dengan

imunisasi seperti :

o Abses pada tempat suntikan

o Semua kasus limfadenitis BCG

o Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat

berhubungan dengan imunisasi

o Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat

berhubungan dengan imunisasi

o Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau

masyarakat berhubungan dengan imunisasi

Tindak lanjut

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan

dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang

melihat pola tertentu di daerah binaannya. Di lain pihak, dalam beberapa keadaan

18

Page 14: imunisasi

untuk KIPI tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak

berhubungan dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah penyuntikan DPT.

Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau pihak keluarga menganggap

kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka

untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan etuas kesehatan.

ANALISA KASUS

Dalam analisa kasus pasien anak laki-laki usia 2 tahun 2 minggu 4 hari, BB : 15 kg

PB : 91 cm datang ke poliklinik anak RSPAD untuk jadwal imunisasi, pasien datang

tanpa keluhan sama sekali. Sebelumnya pasien sudah mendapat imunisasi dasar

berupa : BCG, DPT I, II, III, Polio 0, I, II, III, Hepatitis B I, II, III. Keterangan yang

didapat dari imunisasi tersebut adalah imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal.

Sedangkan imunisasi ulangan yang sudah dilakukan berupa : DPT IV, dan polio V,

keterangannya yaitu imunisasi ulangan belum lengkap karena belum waktunya untuk

imunisasi ulangan berikutnya. Pada penatalaksanaan dan anjuran berikutnya presentan

menganjurkan untuk imunisasi demam tifoid, imunisasi hepatitis A, dan imunisasi

Hib, dengan selang waktu pemberian 1 bulan. Imunisasi ini sesuai dengan

rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, periode 2004 imunisasi demam tifoid dan

hepatitis A diberikan ≥ 2 tahun. Imunisasi Hib pada umur 12 – 60 bulan diberikan 1x.

Pada umur 5 tahun presentan menganjurkan untuk imunisasi ulangan DPT V dan

Polio V dan umur 6 tahun untuk imunisasi MMR.

19

Page 15: imunisasi

Jadwal Imunisasi

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004* (* Revisi

September 2003)

Vaksin

Umur pemberian Imunisasi

Bulan Tahun

Lhr 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12

  Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)

  BCG                                    Hepatitis B 1 2         3                      Polio 0   1   2   3       4     5      

  DTP     1   2   3       4     5     6 dT atau TT

  Campak              1

           2

   

  Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (Non PPI, dianjurkan)

  Hib        1   2   3     4              MMR                    1         2      Tifoid                       Ulangan, tiap 3 tahun 

  Hepatitis A                      Diberikan 2x, interval

6 - 12bl 

  Varisela                                 

Keterangan Jadwal Imunisasi IDAI, Periode 2004

Umur Vaksin Keterangan

Saat lahir

Hepatitis B-1

Polio-0

HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

1 bulan Hepatitis B-2

Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

0-2 bulan

BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur >3 bulan  sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2 bulan DTP-1

Hib-1

DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)

20

Page 16: imunisasi

Polio-1 Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.

Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1 

4 bulan DTP-2Hib-2Polio-2

DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T)

Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2

Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2

6 bulan DTP-3Hib-3Polio-3

DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T)

Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.

Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3 

6 bulan Hepatitis B-3

HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

9 bulan Campak-1

Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan

15-18 bulan

MMR

Hib-4

Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bln

Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).

18 bulan

DTP-4Polio-4

DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.

Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-5

2 tahun Hepatitis A

Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan  dua kali dengan interval 6-12 bulan.

2-3 tahun

Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.

5 tahun DTP-5Polio-5

DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)

Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5 

6 tahun MMR Diberikan untuk catch-up imunization pada anak yang belum mendapat MMR-1

10 tahun

dT/TT

Varisela

Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.

Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

21

Page 17: imunisasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ranuh

IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Edisi ke-2,

IDAI : Balai Penerbit, 2005. h. 1-256.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Pediatri Pencegahan. Dalam : Hassan

R, Alatas H, Latief A, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-1,

Jakarta : Balai Penerbit, 1985. h. 1-22.

3. Wahab Samik A. Praktek – praktek imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting.

Nelson Ilmu kesehatan Anak. Edisi ke-15, 2000.h.1248

4. American Academy of Pediatrics. Recommended Immunization Schedules for

Children and Adolescents – United States, 2007 dari : http://www.pediatrics.org

diakses tanggal 1 Januari 2007.

5. http://www.medicastore.com ,

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs289/en/,

http://www.medsafe.govt.nz/profs/datasheet/v/vaxigripinj.htm/ tentang penjelasan

imunisasi

6. Glauber JH. The Immunization Delivery Effectiveness Assessment Score. Journal

of Pediatrics.July 2003;I : e39-e-45

Cohen NJ, dkk. Physician Knowledge of Catch-up Regimens and

Contraindications for childhood Immunizatios. Journal of Pediatrics. May 2003 :

III : 925-932

22