Keterlambatan Imunisasi

41
BAB I PENDAHULUAN Pada masa awal kehidupannya, bayi sangat rentan terkena penyakit berbahaya, seperti penyakit saluran pernapasan akut, Polio, kerusakan hati, Tetanus, Campak, dan penyakit berbahaya lainnya. Anak yang terkena penyakit-penyakit tersebut memiliki risiko kematian yang tinggi. Jika tidak sampai meninggal dunia, serangan virus dari penyakit tersebut akan menyebabkan derita fisik dan mental berkepanjangan dan bahkan bisa menimbulkan cacat. Pemberian imunisasi dasar lengkap berguna untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya. Imunisasi merupakan salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus-menerus dan menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutuskan mata rantai penularan. Imunisasi selalu dikaitkan dengan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Hal ini dikarenakan pemberian imunisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya

description

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Transcript of Keterlambatan Imunisasi

Page 1: Keterlambatan Imunisasi

BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa awal kehidupannya, bayi sangat rentan terkena penyakit

berbahaya, seperti penyakit saluran pernapasan akut, Polio, kerusakan hati,

Tetanus, Campak, dan penyakit berbahaya lainnya. Anak yang terkena penyakit-

penyakit tersebut memiliki risiko kematian yang tinggi. Jika tidak sampai

meninggal dunia, serangan virus dari penyakit tersebut akan menyebabkan derita

fisik dan mental berkepanjangan dan bahkan bisa menimbulkan cacat. Pemberian

imunisasi dasar lengkap berguna untuk memberi perlindungan menyeluruh

terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya.

Imunisasi merupakan salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit

melalui pemberian kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus-menerus

dan menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan

perlindungan kesehatan dan memutuskan mata rantai penularan. Imunisasi selalu

dikaitkan dengan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Hal ini dikarenakan

pemberian imunisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap berbagai penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran

bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan

kesehatan anak dan pada awal kehidupan anak belum mempunyai kekebalan

sendiri.

Walaupun program imunisasi telah dibuktikan sebagai tindakan

pencegahan yang paling cost-effective, tingkat imunisasi remaja masih rendah

dibandingkan dengan imunisasi yang dilakukan pada bayi dan anak-anak (Lee et

al,. 2008). Program imunisasi remaja telah direkomendasikan sejak tahun 1996,

tetapi diestimasikan 35 juta remaja diseluruh dunia belum divaksinasi secara

adekuat (Oster et al,. 2005).

Jumlah remaja usia 13 tahun keatas yang tidak pernah menderita cacar air

dan telah divaksin untuk cacar air sebanyak satu kali adalah 75,7%, sedangkan

remaja pada usia yang sama yang tidak pernah menderita cacar dan yang telah

Page 2: Keterlambatan Imunisasi

divaksin dua kali hanya 18,8%. Dari tahun 2006 hingga 2007, peningkatan jumlah

vaksinasi HepB adalah 5,2%, vaksinasi MMR adalah 0,5%, vaksinasi dT adalah

12,6%, dan untuk vaksinasi VAR adalah 9,5% (CDC, 2007). Dalam 348.077

kunjungan, 269.217 (77%) bersifat non-preventif, 61.066 (18%) bersifat preventif,

dan hanya 17.794 (5%) bersifat kunjungan khusus untuk mendapatkan vaksinasi

(Lee et al., 2008). Insiden pertusis telah meningkat dalam 25 tahun belakangan

dengan corak perpindahan insiden dari anak-anak ke remaja dan dewasa muda dan

95% kasus pertusis terjadi pada remaja usia 10-19 tahun

(Wilson,2006). Setiap tahun terdapat 140.000-320.000 kasus baru

Hepatitis B, dan lebih dari 70% penderitanya adalah remaja dan dewasa muda

(CDC, 2002).

Resiko penyakit kronis pada penderita hepatitis B jauh lebih besar bila

infeksi terjadi mulai dari awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi terjadi

pada usia dewasa. Infeksi penyakit hepatitis B pada masa bayi mempunyai resiko

untuk menjadi kronis sekitar 90% dan sebanyak 25-30% diantaranya akan

berkembang menjadi sirosis hepatis atau primer carcinoma hepatocelluler

(Depkes RI, 2002).

Page 3: Keterlambatan Imunisasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit

dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit

yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata

imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya

akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk

terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya. Imunisasi biasanya lebih

fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih

belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit

berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus

dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan dan hidup anak.

2.2 TUJUAN IMUNISASI

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada

seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat

(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia. Beberapa

penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak,

polio, difteri, tetanus, cacar air, tbc, dan lain sebagainya.

2.3 JENIS IMUNISASI

2.3.1 IMUNISASI AKTIF

Imunisasi aktif adalah tubuh anak sendiri membuat zat anti yang

akan bertahan selama bertahun-tahun (A.H Markum, 2002).

Adapun tipe vaksin yang dibuat “hidup dan mati”. Vaksin yang

hidup mengandung bakteri atau virus (germ) yang tidak berbahaya, tetapi

dapat menginfeksi tubuh dan merangsang pembentukan antibodi. Vaksin

yang mati dibuat dari bakteri atau virus, atau dari bahan toksit yang

Page 4: Keterlambatan Imunisasi

dihasilkannya yang dibuat tidak berbahaya dan disebut toxoid. (A.H

Markum, 2002).

2.3.2 IMUNISASI PASIF

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,

dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus

memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya.

Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau

pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus

(Satgas IDAI, 2008).

Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami saat ibu hamil

memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir

trimester pertama kehamilan dan jenis antibodi yang ditransfer melalui

plasenta adalah immunoglobulin G (LgG). Transfer imunitas alami dapat

terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer

adalah immunoglobulin A (LgA). Sedangkan transfer imunitas pasif secara

didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya.

Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak

berlangsung lama, sebab kadar zat-zat anti yang meningkat dalam tubuh

anak bukan sebagai hasil produksi tubuh sendiri, melainkan secara pasif

diperoleh karena pemberian dari luar tubuh. Salah satu contoh imunisasi

pasif adalah Inmunoglobulin yang dapat mencegah anak dari penyakit

campak (measles). (AH, Markum, 2002)

Page 5: Keterlambatan Imunisasi

2.4 JADWAL IMUNISASI

2.5 IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN

Page 6: Keterlambatan Imunisasi

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, Hepatitis B, Polio, DTP, dan

Campak.

A. BCG (Bacillus Calmette Guerine)

a. Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosis.

b. Kontra indikasi:

Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin,

furunkulosis dan sebagainya.

Mereka yang sedang menderita TBC.

Pasien tersangka HIV yang telah memberikan gejala.

c. Reaksi sesudah imunisasi BCG

1. Reaksi normal lokal

2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula

3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu

pengobatan)

8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm

2. Reaksi pada kelenjar

Merupakan respon selular pertahanan tubuh

Kadang terjadi di kel.axilla dan supraklavikula

Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi

Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)

Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan

d. Komplikasi

1. Abses ditempat suntikan

2. Limfadenitis Supurativa

Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi

Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi

Bila telah matang di aspirasi

Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan

e. Reaksi pada yang pernah tertular TBC:

Page 7: Keterlambatan Imunisasi

Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari

sesudah imunisasi),4 - 6 minggu timbul scar.

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada

dasarnya untuk mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman

Depkes perihal imunisasi BCG, pada umur 0-l2 bulan, tetap

disetujui.

Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk

anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio

M.deltoidus kanan. WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin

BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di tempat lain

(bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah

deltoid lebih mudah dilakukan, ulkus yang terbentuk tidak

membantu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di

daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku

untuk keperluan diagnosis apabi!a diperlukan.

Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya

diragukan mengingat (1) efektivitas perlindungan hanya 40%,

(2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat (meningitis) ternyata

mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA

(bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%)

walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak.

Saat ini sedang dikembangkan vaksin BCG baru yang lebih

efektif.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan

pada pasien imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan

steroid jangka panjang, atau pada infeksi HIV).

B. Hepatitis B

Program vaksin hepatitis B (hepB) segera setelah lahir perlu lebih

digalakkan, mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk

memutuskan rantai transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

a. Indikasi:

Page 8: Keterlambatan Imunisasi

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan

oleh virus hepatitis B.

b. Kontra indikasi:

Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-

vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi

berat

c. Efek Samping

Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar

tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya

hilang setelah 2 hari.

d. Jadwal imunisasi hepatitis B

Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir,

mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap

hepatitis dengan resiko transmisi maternal kurang lebih sebesar

45%.

Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat

bayi berumur 1 bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal

interval hepB-2 dan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2 yaitu pada umur

3-6 bulan.

Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status

HbsAG positif yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak

diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu HbsAG negatif.

Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin

hepB-1 monoivalen (uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin

kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan.

e. Hepatitis B saat bayi lahir

Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui,

hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan

dilanjutkan pada umur 1 dan atara umur 3-6 bulan. Apabila semula

status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan

Page 9: Keterlambatan Imunisasi

selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat

diberikan HBIg (hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi

berumur 7 hari.

Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam

waktu 24-48 jam setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I

diberikan juga HBIg 0,5 ml.

f. Ulangan vaksinasi hepatitis B

Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan

Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B yang telah

memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5

tahun, sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi

anti HBs yang protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola

epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola

epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa

imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan.

Idealnya, pada usia ini dilakukan pemeriksaan anti HBs.

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah

memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan

(catch-up vaccination).

Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur

10-12 tahun. apabila titer pencegahan tercapai (catch-

upimmunization).

C. DPT

a. Indikasi

Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis

dan tetanus.

b. Kontra indikasi

Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau

gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi

pertusis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis

Page 10: Keterlambatan Imunisasi

pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan

untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.

c. Cara pemberian dan dosis:

g. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar

suspensi menjadi homogen.

h. Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml

sebanyak 3 dosis.

i. Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya

diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).

d. Efek Samping

Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam,

kemerahan, pada tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala

berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan merancau yang biasanya

terjadi 24 jam setelah imunisasi.

e. Jadwal Imunisasi

Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan

(DTwP atau DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu)

dengan interval 4-6 minggu, DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur

2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3 bulan dan DTwP atau

DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau DTaP-

4) diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur

18-24 bulan dan DTwP atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5

tahun.

f. Vaksinasi ulangan

Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin

dengan komponen partusis (DTwP atau DTaP), mengingat

kejadian pertusis pada dewasa muda penularan pada bayi dan

anak.

Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di

sekolah. Ulangan DT-6 diberikan pada usia 12 tahun, mengingat

masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.

Page 11: Keterlambatan Imunisasi

Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult

dose), tetapi di Indonesia dT tidak ada di pasaran.

D. Polio

a. Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.

b. Cara pemberian dan dosis:

Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2 (dua) tetes

sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis

minimal 4 minggu.

Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper)

yang baru.

c. Kontra indikasi:

Pada individu yang menderita imunodefisiensi tidak ada efek yang

berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang

sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare,

maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh.

d. Efek Samping

Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa

paralis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.

e. Jadwal Imunisasi Polio

Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan

daerah endemik polio maka sesuai pedoman program imunisasi

nasional untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang lebih tinggi

diperlukan tambahan imunisasi polio yang diberikan setelah lahir.

Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan

diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin

agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat

diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini , IPV dapat menjadi

alternatif.

Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya

tidak kurang dari 4 minggu.

Page 12: Keterlambatan Imunisasi

Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5

ml, intramuskular.

Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4

selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).

E. Campak

a. Indikasi:

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.

b. Cara pemberian dan dosis:

Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus

dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5

ml cairan pelarut.

Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan

kiri atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-

7 tahun (kelas 1 SD) setelah catch-up campaign campak pada

anak Sekolah Dasar kelas 1 – 6.

c. Kontra indikasi:

Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu

yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia,

limfoma.

d. Efek Samping:

Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan

selama 3 hari yang dapat terjadi 8 – 12 hari setelah vaksinasi.

Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan,

pada umur 9 bulan.

Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi

campak pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang

masih mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan

28,3% diantara kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun

sudah diimunisasi saat bayi. Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian

imunisasi campak ulang pada saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun). Namun

Page 13: Keterlambatan Imunisasi

apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 15-18 bulan, ulangan campak

umur 5 tahun tidak diperlukan.

2.6 IMUNISASI DIANJURKAN

A. MMR (Measles, Mumps, Rubella)

a. Indikasi:

Vaksin kombinasi campak-beguk/gondong-rubela (MMR)

memberikan proteksi melawan ketiga penyakit tersebut. Anak-anak

harus diimunisasi dengan MMR pada usia 12 bulan dengan dosis

kedua pada usia 4 tahun. MMR juga direkomendasikan bagi semua

anak dan orang dewasa yang belum pernah menerima dua dosis vaksin

MMR.

b. Kontra indikasi

Pasien dengan imunodepresi, riwayat alergi telur dan alergi obat

neomisin dan kanamisin. Para ibu dilarang menerima vaksin jika

mereka hamil atau ada kemungkinan menjadi hamil dalam 28 hari.

c. Cara pemberian dan dosis MMR

Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu

kali 0,5 ml, secara subkutan.

MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan

imunisasi lainnya.

Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur

12-18 bulan imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu

diberikan. Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18

tahun.

B. Haemophilus Influenza tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:

PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)

Page 14: Keterlambatan Imunisasi

a. Jadwal imunisasi

Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.

Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis

ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.

Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP

atau DTaP dalam bentuk vaksinasi kombinasi.

b. Dosis

Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara

intramuskular.

Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin

kombinasi berisi vaksin PRP-T) dalam kemasan Prefilled

syringe 0,5 ml.

c. Ulangan

Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18

bulan 16

Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan

1 kali.

C. Deman Tifoid

Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik

(polisakarida) dan oral. Vaksin capsular Vi polysaccharide diberikan

intramuskular atau subkutan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan di

lakukan setiap 3 tahun.

Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3

dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan

dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk

turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.

D. Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan

(underexposure).

Page 15: Keterlambatan Imunisasi

a. Jadwal imunisasi

Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang

dari 12 bulan. Vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur

lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunization yaitu

mengejar imunisasi hepB sebelumnya atau vaksin hepB yang tidak

lengkap.

b. Dosis pemberian

Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular

di daerah deltoid.

E. Varisela

Efektifitas vaksin varisela memang tidak diragukan lagi, namun

karena harganya masih mahal sehingga belum dapat terjangkau oleh

semua lapisan masyarakat, sehingga imunisasi rutin belum dapat

terlaksana.

Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih

berat daripada anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat

mengakibatkan bayi menderita sindrom varisela konginetal dengan angka

yang tinggi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan

pada anak yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.

a. Jadwal imunisasi

Untuk menghindari perubahan penyakit tersebut, pada saat ini

imunisasi varisela direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang

belum terpajan.

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela,

vaksinasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurung 72 jam

setelah kontak.

b. Dosis

Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau

dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu

Page 16: Keterlambatan Imunisasi

F. Vaksin Pneumokokus

Terdapat 2 jenis vaksin yaitu PPV23 yang merupakan polisakarida murni

dan PCV yang merupakan vaksin konjugat

a. Jadwal Imunisasi

Apabila pertama kali diberikan pada usia 2-6 bulan: 3 dosis dengan

interval 6-8 minggu dan 1 dosis ulangan pada 12-15 bulan.

Apabila pertama kali diberikan pada usia 7-11 bulan: 2 dosis

dengan interval 6-8 minggu dan 1 dosis ulangan pada 12-15 bulan.

Apabila pertama kali diberikan pada usia 12-23 bulan:2 dosis

dengan interval 6-8 minggu.

Apabila pertama kali diberikan pada usia 24 bulan: cukup diberikan

1 dosis.

b. Indikasi

Untuk mengurangi: Invasive pneumococcal disease (IPD), pneumonia,

OMA, karier, occult bacteremia

c. Kontraindikasi

Bengkak, eritema, indurasi, dan nyeri di tempat suntikan

Demam > 38 oC, gelisah, pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan

menurun, muntah, diare, urtikaria

Sindrom nefrotik,limfadenopati (jarang)

Pada kedaaan BBLR (< 1500 gram) vaksin Pneumokokus diberikan setelah usia

6-8 minggu tanpa melihat usia kehamilan. Vaksin konjugat diperlukan karena

anak <2 tahun tidak berespon terhadap vaksin polisakarida.

2.7 KETERLAMBATAN IMUNISASI

Keterlambatan imunisasi bukan menjadi suatu alasan anak tidak

dapat memperoleh imunisasi. Ada beberapa alasan mengapa jadwal

Page 17: Keterlambatan Imunisasi

imunisasi seorang anak terlambat, diantaranya ketidaktahuan orang tua

terhadap pentingnya imunisasi, orang tua yang terlalu sibuk dengan

pekerjaan, serta pandangan-pandangan tertentu tentang imunisasi.

Imunisasi terlambat dari jadwal tidak akan mengurangi efektivitas

vaksinasi untuk membentuk imunitas tubuh, hanya saja selama jangka

waktu tersebut antibodi terhadap penyakit itu sudah berkurang, sehingga

memungkinkan untuk terkena penyakit itu. Imunisasi yang terlambat

tersebut dapat tetap diberikan.

Berikut rekomendasi untuk jadwal imunisasi yang tidak teratur

Page 18: Keterlambatan Imunisasi

2.8 PENYAKIT-PENYAKIT YANG DAPAT TIMBUL AKIBAT TIDAK

DILAKSANAKAN IMUNISASI

Diperlukan sejumlah imunisasi dalam beberapa tahun pertama kehidupan seorang

anak untuk memproteksi anak tersebut melawan penyakit-penyakit menular yang

paling serius. Sistem imunitas pada anak kecil tidak bekerja sebaik sistem

imunitas pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, karena sistem

tersebut belum matang. Oleh karena itu diperlukan lebih banyak dosis vaksin.

Dalam beberapa bulan pertama kehidupannya, seorang bayi telah terproteksi

terhadap kebanyakan penyakit menular oleh antibodi dari ibunya yang dialihkan

kepada bayi selama masa kehamilan. Pada saat antibodi tersebut telah habis, bayi

tersebut menghadapi risiko infeksi yang serius dan dengan demikian imunisasi

pertama diberikan sebelum antibodi tersebut habis sama sekali. Imunisasi adalah

cara yang paling aman dan efektif untuk memberikan proteksi melawan penyakit.

Setelah imunisasi, kemungkinan anak terkena penyakit akan jauh berkurang

apabila penyakit tersebut merebak di komunitas. Manfaat proteksi terhadap

penyakit jauh melebihi risiko yang sangat kecil akibat imunisasi.

Beberapa penyakit yang dapat timbul akibat tidak dilakukannya imunisasi pada

saat kanak-kanak antara lain:

a. Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak

hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap

merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di

negara berkembang maupun di negara maju faktor resiko infeksi dan faktor resiko

progresi infeksi menjadi penyakit ( resiko penyakit ).

Resiko Infeksi TB Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah :

anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah

endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang

tidak sehat.

Page 19: Keterlambatan Imunisasi

b. Hepatitis B

Prevalensi penyakit hepatitis B pada bayi lebih besar (lebih dari 90 persen)

dibandingkan pada orang dewasa. Oleh karena itu, bagi bayi vaksin hepatitis B

mutlak perlu diberikan.

Ciri-ciri penderita hepatitis B umumnya tak diketahui secara jelas karena

penderita seperti orang sehat. Akibatnya ia tak segera menyadari dirinya telah

tertular virus hepatitis B, bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Jika

didapatkan gejala kuning pada mata, kulit, lesu, tak memiliki nafsu makan serta

sakit lambung-seperti maag yang tak sembuh dalam tempo enam bulan pada anak,

segera periksa ke dokter.

Virus hepatitis B diketahui sebagai salah satu virus yang paling mudah

menular. Bahkan, penularan virus ini 100 kali lebih menular daripada HIV (virus

penyebab AIDS), dan diperkirakan menginfeksi 10 kali lebih banyak daripada

HIV. Virus itu menyerang hati dan merusak organ tubuh secara tak langsung

melalui gangguan sistem kekebalan. Pada serangan tahap awal masih bisa

disembuhkan jika segera diobati. Namun, jika penyakit berkembang lebih berat

maka akan mencapai tahap hepatitis akut, sirosis (pengerasan hati), sampai

kemudian mengakibatkan munculnya kanker hati.

c. Penyakit polio.

Penyakit ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang

terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh. Poliomyelitis

atau Polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus.

Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),

masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat

memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan

melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Polio menular melalui kontak

antarmanusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang

memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses.

Page 20: Keterlambatan Imunisasi

Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan

amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi

dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen

kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab penyakit polio

terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan strain 3

(Leon). Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan

sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Sedangkan Strain 2

adalah yang paling jinak.

Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu Polio non-paralisis, Polio

paralisis spinal, dan Polio bulbar. Polio non-paralisis menyebabkan demam,

muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung,

otot terasa lembek jika disentuh.

Polio Paralisis Spinal Jenis Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang

belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada

batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan

kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan

mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki.

Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler darah pada

dinding usus dan diangkut seluruh tubuh.

Poliovirus menyerang saraf tulang belakang dan neuron motor yang

mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,

pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini

biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang

otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar sepanjang

serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat,

virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki

kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi

terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan

tungkai menjadi lemas, kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi

parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh

dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.

Page 21: Keterlambatan Imunisasi

Polio Bulbar, polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan

alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron motor

yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai

otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang

berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori

yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses

menelan dan berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf

yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang

mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat

menyebabkan kematian. 5 – 10% penderta yang menderita polio bulbar akan

meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya

terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim

''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena

kerusakan pada fungsi penelanan. korban dapat tidak bernapas akibat sekresi

mucus yang berlebihan pada traktus respiratorius kecuali dilakukan penyedotan

atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot mukus yang disekresikan

sebelum masuk ke dalam paru-paru.

Penyakit Polio dapat ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut

dan tenggorokan) atau dari tinja penderita yang telah terinfeksi selain itu juga

dapat menular melalui oro-fecal (makanan dan minuman) dan melalui percikan

ludah yang kemudian virus ini akan berkembangbiak di tengorokan dan usus lalu

kemudian menyebar ke kelenjar getah bening, masuk ke dalam darah serta

menyebar ke seluruh tubuh.

Penularan terutama sering terjadi langsung dari manusia ke manusia

melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut). Virus Polio dapat bertahan lama pada air

limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber

penularannya. Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya lingkungan oleh

virus polio dari penderita yang telah terinfeksi, namun virus ini hidup di

lingkungan terbatas.

d. Penyakit campak

Page 22: Keterlambatan Imunisasi

Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi

virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis

(peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini

disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus. Penularan

infeksi terjadi karena menghirup droplet penderita campak. Penderita bisa

menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4

hari setelah ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala

muncul.

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, imunisasi aktif

dan kekebalan pasif yang diperoleh bayi yang lahir ibu yang telah kebal

(berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah

bayi berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi, remaja

dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.

Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu

berupa:

Panas badan

nyeri tenggorokan

batuk (Cough)

nyeri otot

mata merah (conjuctivitis)

Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah

timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang

mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam

tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah

samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan

tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.

Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas

serta suhu tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya

turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang.

Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama

Page 23: Keterlambatan Imunisasi

beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan

merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.

e. Difteri, Pertusis dan Tetanus.

Difteri disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat

menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Difteri merupakan penyakit

menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah menular dan

menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya

terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain

yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau

makanan yang terkontaminasi.

Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri

gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.

Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran

yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan

lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa

hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran,

kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat

berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan saraf

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang

anak-anak yang belum diimunisasi. Pada tahun 2000, di seluruh dunia dilaporkan

30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit ini

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang

berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik

dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,

melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan

paralisis pernapasan.

Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang terdapat

ditanah, kotoran hewan, debu, dan sebagainya. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh

manusia melalui luka yang tercemar kotoran. Di dalam luka bakteri ini akan

berkembang biak dan membentuk toksin (racun) yang menyerang saraf.

Page 24: Keterlambatan Imunisasi

UNICEF (United Nations Children’s Fund/Dana PBB untuk Anak-Anak)

menyebutkan dalam situsnya bahwa tetanus sangat berisiko terkena pada bayi-

bayi yang dilahirkan dengan bantuan dukun bayi di rumah dengan peralatan yang

tidak steril; mereka juga beresiko ketika alat-alat yang tidak bersih digunakan

untuk memotong tali pusar dan olesan-olesan tradisional atau abu digunakan

untuk menutup luka bekas potongan. Angka kematian yang diakibatkan oleh

tetanus berkisar antara 15-25%.

Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi bakterial yang menyerang

sistem pernapasan yang melibatkan pita suara (larinks), trakea dan bronkial.

Infeksi ini menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan

serangan batuk yang parah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella

pertussis yang bersarang di saluran pernapasan dan sangat mudah tertular.

Pertusis dapat menyerang segala umur, 60 % menyerang anak-anak yang

berumur kurang dari 5 tahun. Penyakit ini akan menjadi serius jika menyerang

bayiberumur kurang dari 1 tahun. Biasanya pada bayi yang baru lahir dan

keadaannya menjadi lebih parah. Pada tahun 2000 diperkirakan 39 juta kasus

terjadi dan 297.000 kematian terjadi didunia yang diakibatkan oleh pertusis.

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan

jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk

melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi

hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan respons imunologi

sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai antibodi yang optimal.

Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena

belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan

masih dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life

long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita

harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum

selesai.

Page 25: Keterlambatan Imunisasi

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Imunisasi merupakan hal yang terpenting dalam usaha melindungi

kesehatan anak. Imunisasi bekerja dengan cara merangsang timbulnya kekebalan

tubuh yang akan melindungi anak dari penyakit-penyakit seperti polio, campak,

influenza, tetanus, difteri dan pertusis (batuk rejan).

Page 26: Keterlambatan Imunisasi

Tanpa pemberian vaksin, jumlah kematian anak-anak yang ditimbulkan

oleh penyakit tersebut meningkat dan banyak orang yang mengalami komplikasi

kronik setelah menderita penyakit tersebut.

Pada keadaan tertentu juga imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai

dengan jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan

untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak

menjadi hilang manfaatnya tetapi belum mempunyai antibodi yang optimal.

Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan

imunisasi yang belum selesai.

3.2 SARAN

1. Pengetahuan ibu mempunyai pengaruh positif terhadap kelengkapan

imunisasi dasar, yang berarti bahwa semakin baik pengetahuan ibu tentang

manfaat imunisasi akan berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi

dasar pada bayi.

2. Motivasi ibu mempunyai pengaruh positif terhadap kelengkapan imunisasi

dasar. Yang berarti bahwa semakin baik motivasi ibu akan berpengaruh

meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) 2011 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia, 2011.

2. Pudjiadi, Antonius H., Hegar, Badriul., Handryastuti, Setyo., Idris,

Nikmah Salamia., Gandaputra, Ellen P., dan Harmoniati, Eva Devita.

2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Page 27: Keterlambatan Imunisasi

3. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat

pertama di kabupaten/ WHO; alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. –

Jakarta : WHO Indonesia, 2008.

4. Australian Government Department of Health and Aging. 2005. Imunisasi.

Commonwealth of Australia.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pusat Promosi Kesehatan.

2009. Berikan Imunisasi Dasar Lengkap Untuk Melindungi si Buah Hati.

Jakarta.

6. Gold, Ronald. Immunization. In: Feldman. William, editors. Evidance-

Based Pediatric. University of Toronto. Canada: 2000, p39-41