Impor Hortikultura
-
Upload
zaleyna-nilmaz -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of Impor Hortikultura
PENDAHULUAN
Telah dibukanya perdagangan bebas pada masa sekarang ini, setiap negara harus
membuka pasar dalam negerinya untuk dimasuki negara lain. Semua hambatan tarif dan non
tarif pada semua komoditi pada akhirnya akan dihapuskan kecuali beberapa komoditi
penting, seperti makanan pokok. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya persaingan yang
ketat dalam pasar di Indonesia. Indonesia mengimpor beberapa komoditas pertanian dari
negara atau kelompok negara seperti Jepang, USA, ASEAN, APEC antara lain
dikelompokkan ke dalam kelompok serealia, kelompok peternakan, kelompok ikan,
kelompok hortikultura, kelompok perkebunan dan kelompok bahan pakan ternak. Beberapa
kelompok produk pertanian tersebut memiliki trend yang meningkat misalnya kelompok
peternakan khususnya daging beku, kelompok perkebunan khususnya gula dan kelompok
hortikultura terutama buah-buahan (Agroindonesia, 2004).
Tingginya impor komoditas pangan merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah
penduduk yang besar sehingga menjadi sasaran bagi negara lain untuk memasukkan
produknya. disamping itu peningkatan pendapatan per kapita dapat dipandang sebagai salah
satu pemicu (trigger) meningkatnya permintaan impor barang konsumsi, apalagi bila
peningkatan pendapatan tersebut tanpa diikuti dengan pertumbuhan tingkat menabung
(saving rate) yang memadai. (Suryana, 1997).
Ketergantungan pangan yang sangat tinggi pada pasokan luar negeri akan dapat
mengancam ketahanan (ketersediaan) pangan dalam negeri, terutama apabila pasokan dalam
negeri dan pasar dunia sangat tipis. Bagi Indonesia, apabila tidak segera dilakukan langkah
antisipasi yang tepat, hal tersebut akan mengakibatkan krisis pangan yang serius serta
meningkatnya jumlah tenaga penganggur dan penduduk miskin yang semula bekerja di
bidang pertanian akan memicu kerawanan sosial.
PEMBAHASAN
Perkembangan impor buah-buahan Indonesia dari negara-negara ekportir selama lima
tahun memiliki kecenderungan yang meningkat. Permintaan buah-buahan juga dipengaruhi
adanya unsur musiman. Hal ini menyebabkan permintaan buah-buahan cenderung
berfluktuatif dalam satu tahunnya.
Penguasaan pasokan oleh negara-negara pengekspor buah-buahan pada umumnya
dikuasai oleh negara China, Australia dan Amerika Serikat. Persentase dari ketiga negara
tersebut kurang lebih sekitar 80 persen. Hasil peramalan menunjukkan bahwa permintaan
impor buah mengalami peningkatan di masa yang akan datang. Penurunan hanya terjadi pada
permitaan impor apel dan anggur dari China. Hal ini menunjukkan adanya ekspekstasi untuk
melakukan mengimpor dari jumlah impor yang pada waktu sebelumnya dan pada saat negara
pengekspor mengalami pucak musim panen permintaan impor untuk buah-buahan mengalami
peningkatan. Nilai tukar dan harga buah itu sendiri secara keseluruhan tidak berpengaruh
nyata terhadap permintaan buah impor, akan tetapi terdapat dugaan permintaan impor buah
mengalami penurunan ketika nilai tukar melemah terhadap Dollar USA dan harga buah impor
meningkat. Untuk buah lokal secara umum masih dapat mensubstisuti dari buah impor.
1. Contoh kasus
a. Permintaan Impor Apel
Apabila diurutkan berdasarkan negara asalnya maka selama tahun 2001 – 2005 rata-
rata impor Apel Indonesia terbesar pertama berasal dari negara China. Amerika
Serikat, New Zealand, Perancis dan Australia. Rata-rata impor apel Indonesia dari
China adalah sebesar 42.007 ton. Impor apel Indonesia terbesar dari negara China
terjadi pada tahun 2004, yaitu sebesar 73.153 ton.
China merupakan negara asal impor apel Indonesia terbesar. Selama tahun 2001–
2005, impor apel Indonesia dari China menunjukkan trend yang meningkat. Pada
tahun 2001 permintaan impor apel Indonesia dari China sebesar 27.202 ton.
Kemudian meningkat 24,81 persen menjadi 27.942 ton pada tahun 2002. Pada tahun
2003 terjadi penurunan sebesar 0,67 persen dari tahun 2002, menjadi sebesar 28.310
ton. Tahun 2004 meningkat sebesar 116,93 persen dari tahun 2003 menjadi 34.927
ton dan pada tahun 2005 meningkat 21,12 persen menjadi 41.996 ton. Rata-rata
pertumbuhan impor apel dari China dari tahun 2001 sampai 2005 adalah sebesar
40,55 persen.
b. Permintaan Impor Anggur
Apabila diurutkan berdasarkan negara asalnya maka sepanjang tahun 2001 - 2005,
rata-rata impor anggur Indonesia terbesar pertama berasal dari negara Australia.
Amerika Serikat, China, Chili,dan Afrika Selatan berturut-turut merupakan negara
asal impor anggur Indonesia terbesar kedua, ketiga, keempat dan kelima.
Australia merupakan negara asal impor anggur Indonesia terbesar. Secara umum
Indonesia tidak pernah tidak mengimpor anggur dari Austalia. Umumnya impor
anggur dari Austalia akan memuncak di awal tahun dan akhir tahun. Terjadi
peningkatan tajam permintaan anggur dari tahun 2001 sampai 2003 yaitu sebesar
65,13 persen. Pada tahn 2001 permitaan anggur impor dari Australia sebesar 4.443
ton menjadi 7.337 pada tahun 2002. Pada tahun 2003 menurun sebesar 46,75 persen
menjadi 3.907 ton. Terjadi peningkatan tajam pada tahun 2004 yaitu meningkat
sebesar 169,92 persen dari tahun 2003 menjadi sebesar 10.546 ton. Tahun 2005
menurun sebesar 28,08 persen menjadi sebesar 7.796 ton.
2. Penyebab Kecenderungan Impor
Kecenderungan lebih menghargai produk impor mengindikasikan beberapa
kemungkinan antara lain:
1 produksi domestik yang belum dapat mengimbangi permintaan
2) jenis dan kualitas komoditas pertanian tidak sesuai dengan preferensi konsumen
3) bahan yang diperlukan untuk bahan baku dan olahannya tidak dapat diproduksi
sendiri
4) harga barang impor cukup bersaing dengan produk dalam negeri, sebagai akibat
adanya kebijakan untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan non tarif-
barrier dan penurunan besarnya tarif sejalan dengan liberalisasi perdagangan dunia.
3. Fluktuasi Harga Sayuran dan Buah-Buahan
Fluktuasi harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral yang sering muncul
dalam pemasaran komoditas hortikultura. Misalnya pada bulan Januari 2006 harga pisang
naik sekitar 128 persen dibanding bulan sebelumnya, sedangkan harga jeruk naik sebesar 83
persen dan harga bawang merah naik paling tinggi yaitu sebesar 190 persen (Irawan et al.,
2006). Fluktuasi harga yang tinggi menyebabkan penerimaan dan keuntungan usaha yang
diperoleh petani dari hasil kegiatan usahataninya sangat berfluktuasi. Kondisi demikian tidak
kondusif bagi pengembangan agribisnis hortikultura karena keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan agribisnis hortikultura menjadi tidak stabil padahal tingkat keuntungan yang tinggi
dan stabil umumnya justru merupakan daya tarik utama bagi pelaku bisnis untuk melakukan
investasi dan memperluas usahanya.
Berdasarkan koefisien variasi harga bulanan sayuran, buah, padi dan palawija
menurut provinsi, terlihat bahwa koefisien variasi harga tersebut umumnya lebih tinggi pada
komoditas sayuran dibanding buah. Pada pasar konsumen koefisien variasi harga bawang
merah, cabai merah, kentang dan kubis berkisar antara 14,54 persen hingga 33,85 persen
sedangkan untuk komoditas pisang dan jeruk hanya sebesar 6,73 persen dan 8,96 persen. Hal
ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga atau ketidakstabilan harga sayuran lebih tinggi
daripada buah. Fluktuasi harga tertinggi terjadi pada cabai merah yang memiliki koefisien
variasi harga sebesar 27,43 persen di pasar produsen dan 33,85 persen di pasar konsumen.
Dibanding komoditas padi dan palawija nilai koefisien variasi harga sayuran juga lebih besar,
dengan kata lain harga sayuran lebih berfluktuasi dibanding harga padi dan palawija. Pada
pasar konsumen koefisien variasi harga padi, jagung, ubikayu dan kacang tanah hanya sekitar
7,39-11,35 persen, artinyak estabilan harga keempat komoditas tersebut sekitar 3 hingga 4
kali lipat dibanding harga cabai merah. Begitu pula pada pasar produsen koefisien variasi
harga padi dan palawija (6,63-10,20%) juga lebih rendah dibanding sayuran (11,67-27,43%)
tetapi sedikit lebih tinggi dibanding buah (6,25% dan 8,32%).
Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara
kuantitas pasokan dan kuantitas permintaan yang dibutuhkan konsumen. Jika terjadi
kelebihan pasokan maka harga komoditas akan turun, sebaliknya jika terjadi kekurangan
pasokan. Dalam proses pembentukan harga tersebut perilaku petani dan pedagang memiliki
peranan penting karena mereka dapat mengatur volume penjualannya yang disesuaikan
dengan kebutuhan konsumen. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
fluktuasi harga yang relatif tinggi pada komoditas sayuran pada dasarnya terjadi akibat
kegagalan petani dan pedagang sayuran dalam mengatur volume pasokannya sesuai dengan
kebutuhan konsumen.
Kondisi demikian dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Pertama, produksi sayuran cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu saja,
misalnya sekitar 90 persen produksi bawang merah nasional hanya dihasilkan di 6
provinsi dan 82 persen produksi cabai dihasilkan di 7 provinsi. Struktur produksi
demikian tidak kondusif bagi stabilitas harga karena jika terjadi anomali produksi
(misalnya gagal panen akibat hama atau lonjakan produksi akibat pengaruh iklim) di
salah satu daerah sentra produksi maka akan berpengaruh besar terhadap
keseimbangan pasar secara keseluruhan.
b. Kedua, struktur produksi yang terkonsentrasi secara regional diperparah pula oleh
pola produksi yang tidak sinkron antar daerah produsen. Setiap daerah produsen
sayuran umumnya memiliki pola produksi bulanan yang relatif sama sehingga total
produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu. Konsentrasi
produksi secara temporer tersebut misalnya dapat disimak pada pola produksi kentang
dan kubis di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
menyumbang sekitar 90 persen dan 78 persen produksi nasional. Di keempat provinsi
tersebut sekitar 60-65 persen produksi kentang dan kubis hanya dihasilkan pada bulan
Januari hingga Mei sehingga pada bulan-bulan tersebut harga kedua komoditas
tersebut cenderung mengalami penurunan tajam.
c. Ketiga, permintaan komoditas sayuran umumnya sangat sensitif terhadap perubahan
kesegaran produk. Sementara itu komoditas sayuran umumnya relatif cepat busuk
sehingga petani dan pedagang tidak mampu menahan penjualannya terlalu lama
dalam rangka mengatur volume pasokan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, karena
hal itu dapat berdampak pada penurunan harga jual yang disebabkan oleh penurunan
kesegaran produk. Konsekuensinya adalah pengaturan volume pasokan yang
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen tidak mudah dilakukan karena setelah
dipanen petani cenderung segera menjual hasil panennya agar sayuran yang
dipasarkan masih dalam keadaan segar.
d. Keempat, untuk dapat mengatur volume pasokan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen maka dibutuhkan sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan
kesegaran produk secara efisien. Namun ketersediaan sarana penyimpanan tersebut
umumnya relatif terbatas akibat kebutuhan investasi yang cukup besar sedangkan
teknologi penyimpanan sederhana yang dapat diterapkan oleh petani sangat terbatas.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi pemasaran dan meningkatkan daya saing
agribisnis sayuran diperlukan beberapa upaya yaitu:
1) Mengembangkan teknologi penyimpanan yang efisien dan kebutuhan biaya investasi
cukup rendah agar dapat diterapkan oleh petani. Hal ini dibutuhkan agar petani dapat
mengatur penjualannya dengan tujuan mendapatkan harga yang lebih
menguntungkan, dengan kata lain meningkatkan posisi tawar petani.
2) Meningkatkan aksesibilitas petani terhadap lembaga modal untuk mengurangi
desakan kebutuhan modal petani. Upaya ini tidak hanya dapat meningkatkan posisi
tawar petani tetapi berguna pula untuk mengurangi kekuatan pedagang dalam
mengendalikan harga beli dari petani (kekuatan monopsoni/oligopsoni) yang
seringkali dibangun dengan memberikan pinjaman modal kepada petani dengan
ketentuan petani harus menjual sayurannya kepada pedagang pemberi pinjaman. Di
samping itu upaya ini juga berguna untuk menekan marjin pemasaran yang
disebabkan oleh keuntungan pedagang yang berlebihan akibat adanya kekuatan
monopsoni pada pedagang.
3) Mengembangkan sinkronisasi produksi secara lintas daerah produsen sayuran untuk
mengurangi fluktuasi harga yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume
pasokan dan kebutuhan konsumen. Upaya ini diperlukan untuk mengurangi risiko
usaha petani disamping merangsang investasi baru.
4) Mengembangkan daerah sentra produksi baru yang lebih tersebar secara regional. Di
samping dapat mengurangi fluktuasi harga yang disebabkan oleh anomali produksi
upaya ini diperlukan pula untuk memperkecil marjin pemasaran yang disebabkan
oleh biaya pengangkutan yang tinggi akibat jarak pemasaran yang relatif jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Bambang. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Hargs dan Marjin Pemasaran Sayuran
Dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(4) : 358-373. [Online]. Tersedia:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-4c.pdf. (Diakses pada tanggal 20
April 2014)
Nusantara, Taufan. 2006. Peramalan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor buah
Indonesia.[Online].Tersedia:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/
123456789/1349/A06tsn_abstract.pdf?sequence=1. (Diakses pada tanggal 20 April
2014)