Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

17
Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak Penghasilan Orang Pribadi DESTIAN FUADI Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Program S1 Ekstensi Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai biaya kepatuhan yang timbul dari peraturan Surat Edaran DJP Nomor SE-29/PJ/2010 dimana untuk wajib pajak kawin pisah harta diatur khusus dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi biaya kepatuhan dari perjanjian kawin pisah harta dan manajemen pajak untuk wajib pajak kawin pisah harta dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi. Menurut teori Sandford (1998) biaya kepatuhan terdiri atas biaya langsung, biaya waktu, dan biaya psikologis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan aspek biaya kepatuhan bagi wajib pajak kawin pisah harta yang lebih besar daripada tidak pisah harta dan menjelaskan cara manajemen pajaknya sesuai wawancara narasumber. Kata Kunci : pisah harta, biaya kepatuhan, manajemen pajak penghasilan orang pribadi Abstract. This study discusses the compliance costs arising from regulation No. SE-29/PJ/2010 where to split the treasure arranged marriage specifically in the fulfillment of personal income tax liability. This study aims to identify the compliance costs of mating separation agreement and management of property taxes for married taxpayers split the treasure in the fulfillment of personal income tax liability. According to the theory Sandford (1998) compliance costs consist of direct costs, time costs, and psychological costs. The results of this study describes aspects of compliance costs for taxpayers mating separation greater treasure than not explain how to split property and tax management according informant interviews. Keywords : marital status separate assets, compliance costs, management income tax PENDAHULUAN Setiap tahunnya potensi pajak bagi penerimaan negara terus meningkat. Hal ini menyebabkan pajak menjadi sumber utama pendapatan pemerintah. Salah satu jenis pajak yang memiliki pendapatan besar adalah pajak penghasilan, khususnya pajak penghasilan yang berasal dari subjek pajak orang pribadi. Dalam perhitungan pajak penghasilan orang pribadi terdapat beberapa komponen yang berpengaruh, seperti komponen penghasilan dan komponen biaya sebagai pengurang perhitungan pajak. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk pajak penghasilan orang pribadi pun bevariasi, dilihat dari kondisi maupun status Wajib Pajak itu sendiri. Salah satunya adalah apabila Orang Pribadi memiliki perjanjian kawin pisah harta. Untuk memberikan kepastian bagi wajib pajak yang melakukan perjanjian kawin pisah harta, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan mengenai cara pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi bagi Wanita Kawin yang melakukan perjanjian pisah harta dan penghasilan atau wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dengan suaminya.Peraturan ini tertuang dalam Surat Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Transcript of Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Page 1: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta

dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak Penghasilan Orang Pribadi

DESTIAN FUADI

Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Program S1 Ekstensi

Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai biaya kepatuhan yang timbul dari peraturan Surat

Edaran DJP Nomor SE-29/PJ/2010 dimana untuk wajib pajak kawin pisah harta diatur khusus

dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi biaya kepatuhan dari perjanjian kawin pisah harta dan manajemen pajak untuk

wajib pajak kawin pisah harta dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi.

Menurut teori Sandford (1998) biaya kepatuhan terdiri atas biaya langsung, biaya waktu, dan

biaya psikologis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan aspek biaya kepatuhan bagi wajib pajak

kawin pisah harta yang lebih besar daripada tidak pisah harta dan menjelaskan cara manajemen

pajaknya sesuai wawancara narasumber.

Kata Kunci : pisah harta, biaya kepatuhan, manajemen pajak penghasilan orang pribadi

Abstract. This study discusses the compliance costs arising from regulation No. SE-29/PJ/2010

where to split the treasure arranged marriage specifically in the fulfillment of personal income

tax liability. This study aims to identify the compliance costs of mating separation agreement and

management of property taxes for married taxpayers split the treasure in the fulfillment of

personal income tax liability. According to the theory Sandford (1998) compliance costs consist

of direct costs, time costs, and psychological costs. The results of this study describes aspects of

compliance costs for taxpayers mating separation greater treasure than not explain how to split

property and tax management according informant interviews.

Keywords : marital status separate assets, compliance costs, management income tax

PENDAHULUAN

Setiap tahunnya potensi pajak bagi

penerimaan negara terus meningkat. Hal ini

menyebabkan pajak menjadi sumber utama

pendapatan pemerintah. Salah satu jenis

pajak yang memiliki pendapatan besar

adalah pajak penghasilan, khususnya pajak

penghasilan yang berasal dari subjek pajak

orang pribadi. Dalam perhitungan pajak

penghasilan orang pribadi terdapat beberapa

komponen yang berpengaruh, seperti

komponen penghasilan dan komponen biaya

sebagai pengurang perhitungan pajak. Cara

menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

untuk pajak penghasilan orang pribadi pun

bevariasi, dilihat dari kondisi maupun status

Wajib Pajak itu sendiri. Salah satunya

adalah apabila Orang Pribadi memiliki

perjanjian kawin pisah harta. Untuk

memberikan kepastian bagi wajib pajak

yang melakukan perjanjian kawin pisah

harta, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan

peraturan mengenai cara pengisian SPT

Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi

bagi Wanita Kawin yang melakukan

perjanjian pisah harta dan penghasilan atau

wanita kawin yang memilih untuk

menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri terpisah dengan

suaminya.Peraturan ini tertuang dalam Surat

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 2: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-

29/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010.

Perjanjian kawin sendiri sebenarnya

bukanlah suatu hal baru di Indonesia.

Fenomena seperti pernikahan dengan warga

negara asing (WNA), kesetaraan gender,

hingga maraknya kasus perceraian yang

ujungnya mempermasalahkan harta bawaan

nikah sebagai salah satu penguat bahwa

perjanjian kawin khususnya pisah harta

sangatlah penting dilakukan bagi calon

pasangan suami isteri.

Meningkatnya fenomena perkawinan

disertai perjanjian pisah harta menunjukan

bahwa perjanjian tersebut kini menjadi tren

tersendiri untuk pasangan di Indonesia.

Perjanjian pisah harta bertujuan untuk

mengantisipasi perebutan harta apabila di

kemudian hari salah satu pasangan

meninggal atau bercerai.

Konsep penggabungan penghasilan

dalam keluarga ditekankan untuk melihat

kemampuan ekonomis sebuah keluarga. Hal

tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 8

undang-undang tentang pajak penghasilan

yang terakhir dirubah dengan undang-

undang No. 36 tahun 2008. Penggunaan

keluarga sebagai taxable unit akan

mempengaruhi hak dan kewajiban

perpajakan bagi anggota keluarganya. Di

Indonesia, dengan digunakannya keluarga

sebagai taxable unit, maka pelaksanaan hak

dan kewajiban perpajakan dilakukan oleh

kepala keluarga. Pemberian pilihan bagi

wajib pajak wanita kawin untuk

menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri juga merupakan

upaya menyetarakan gender dalam

perpajakan. Wajib pajak diberikan

kesempatan yang sama dalam perpajakan

untuk menentukan status perpajakannya.

Berbeda dengan sistem individual

atau separate filing, bias gender secara

eksplisit ataupun implisit tidak terjadi. Hal

ini dikarenakan setiap wajib pajak memiliki

hak dan kewajiban perpajakannya sendiri

tanpa terkait dengan hak dan kewajiban

perpajakan pasangan menikahnya. Indonesia

menggunakan sistem separate filing bagi

wajib pajak wanita kawin yang memilih

untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri. Dalam perhitungan

pajak penghasilan terutang bagi wajib pajak

wanita kawin yang menjalankan hak dan

kewajiban perpajakannya sendiri, masih

terkait dengan penghasilan milik suaminya.

Sehingga system separate filing yang

diterapkan Indonesia bagi wajib pajak

wanita kawin yang memilih untuk

menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri tidak murni

(Anggarsari, hlm.4, 2010).

Peraturan mengenai wajib pajak bagi

wanita kawin yang memilih untuk

menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri merupakan salah satu

bentuk penerapan teknik pemungutan pajak

self assessment system. Dalam menentukan

pajak terutangnya, wajib pajak wanita kawin

dapat memilih ingin bergabung atau

berpisah perhitungannya dengan suaminya.

Pemilihan status ini ditentukan oleh wajib

pajak wanita kawin dan bukan ditentukan

oleh pemerintah ataupun pegawai pajak.

Sehingga wajib pajak wanita kawin

diberikan kebebasan dalam menentukan

status perpajakannya yang akan berpengaruh

terhadap perhitungan pajak penghasilan

terutangnya.

Penggunaan teknik pemungutan self

assessment system akan menimbulkan hak

dan kewajiban perpajakan yang lebih besar

bagi para wajib pajak. Hak dan kewajiban

perpajakan bagi wajib pajak wanita kawin

sama seperti hak dan kewajiban perpajakan

bagi wajib pajak orang pribadi lainnya. Hak

dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak

orang pribadi terdapat dalam Undang-

undang tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana terakhir kali

diubah dengan Undang undang Nomor 28

Tahun 2007.

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 3: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Dalam hal ada perjanjian pemisahan

harta antara suami dan istri, maka NPWP

suami dan istri berbeda, dan mereka

dianggap sebagai individu (tax unit) yang

berbeda di muka pajak. Seperti yang telah

disebutan diawal, bahwa pajak merupakan

elemen penting bagi pendapatan negara

khususnya di Indonesia. Jadi sangatlah

diharapkan bagi seluruh masyarakat apabila

sudah memenuhi persyaratan sebagai wajib

pajak maka dapat menjalankan segala aspek

perpajakannya dengan baik dan benar.

Dalam kasus wajib pajak orang

pribadi yang memiliki perjanjian kawin

pisah harta, maka besarnya biaya yang harus

dikeluarkan bukan hanya sebesar hutang

pajaknya, namun biaya-biaya yang berkaitan

dengan pemenuhan kewajiban

perpajakannya salah satunya adalah

compliance cost. Peraturan Perpajakan di

Indonesia membedakan tata cara perpajakan

antara orang pribadi yang melakukan

perjanjian kawin pisah harta dan tanpa

perjanjian.

Biaya kepatuhan (compliance cost)

adalah biaya yang dibebankan secara

langsung dan tidak langsung kepada wajib

pajak. Beban yang ditanggung oleh wajib

pajak bukanlah beban secara terhitung

dalam rupiah, namun beban waktu yang

terbuang (timing cost) dan beban perasaan

memenuhi kepatuhan pajak (pschycological

cost). Prof Haula Rosdiana (2009) juga

menambahkan biaya administratif

(administrative cost), deadweight efficiency

loss from taxation, the excess burden of tax

evasion, and, avoidance cost. Maksud dari

teori diatas adalah akan terjadi biaya

diantaranya untuk pngadministrasian,

kerugian sebagai akibat dari ketidak

efisiensi, dan beban berlebih untuk

penghindaran pajak, dan penghindaran

biaya.

Di lain pihak, Sanford (1985)

membagi cost of taxation menjadi tiga yaitu

sacrifice of income, distortion cost, dan

running cost. Sacrifice of income merupakan

pengorbanan wajib pajak untuk meyisihkan

atau mengurangi penghasilan yang

seharusnya bisa digunakan untuk keperluan

lain bila tidak ada pungutan pajak.

Sedangkan distortion cost berhubungan

dengan dampak pemungutan pajak terhadap

proses produksi suatu entitas bisnis. Hal ini

menyangkut perubahan-perubahan dalam

proses produksi dan faktor-faktor produksi

karena adanya pajak tersebut. Lalu untuk

running cost adalah biaya-biaya ekstra yang

harus dikeluarkan akibat adanya

pemungutan pajak, dengan kata lain bila

tidak ada pungutan pajak maka biaya-biaya

tersebut tidak ada. Running cost mencakup

administrative cost bagi pemerintah sebagai

pemungut pajak, yang merupakan biaya

operasional pemungutan pajak. Termasuk di

antaranya adalah anggaran rutin pegawai

pajak ATK, transportasi, air, telepon, listrik,

dan lain-lain.

Running cost juga termasuk

compliance cost yang harus dikeluarkan

bagi masyarakat sebagai wajib pajak.

Sanford kemudian membagi compliance

cost menjadi tiga yakni direct money cost

yang merupakan biaya dalam bentuk uang

(jasa konsultan pajak, akuntan, transportasi,

dan lain-lain), time cost yang merupakan

waktu yang harus diluangkan oleh wajib

pajak untuk mengurus proses pembayaran

pajak (mengisi formulir, mengisi SPT

mengajukan banding dan lain sebagainya),

serta psychic cost yamg merupakan dampak

emosional yang dirasakan wajib pajak ketika

menjalankan proses pembayaran pajak.

Peneliti akan melakukan penelitian

yang difokuskan dalam implikasi biaya

kepatuhan dari perjanjian kawin pisah harta

dalam pemenuhan kewajiban pajak

penghasilan orang pribadi baik dari sisi

perbedaan dalam perhitungan pajak

penghasilan tahunan orang pribadi dan biaya

yang berkaitan dengan pelaksanaan

kepatuhan perpajakan (compliance cost)

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 4: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

yang berbeda dari wajib pajak tanpa

perjanjian kawin khususnya pisah harta.

METODE PENELITIAN

Dalam penulisan ini, penulis dalam

melakukan pendekatan penelitiannya dengan

metode kualitatif. Fokusnya adalah

mengetahui apa saja yang akan ditanggung

oleh wajib pajak yang memiliki perjanjian

kawin pisah harta dalam pemenuhan pajak

penghasilan orang pribadi dihitung dari total

biaya kepatuhan (compliance cost). Penulis

berfikir bahwa dalam menjelaskan dan

menjabarkan hal-hal apa saja yang akan

ditanggung wajib pajak dengan perjanjian

kawin pisah harta sangat cocok digunakan

metode kualitatif untuk menjadi pendekatan

penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat

Bogdan dan Taylor (1975) dalam Lexy J.

Moleong (2002: 3) yang menyatakan

”metodologi kualitatif” sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Jenis penelitian berdasarkan tujuan

deskriptif, berdasarkan manfaat murni

karena dengan inisiatif peneliti sendiri

dalam menentukan latar belakang dan tujuan

dan berdasarkan dimensi waktu cross

sectional yaitu “penelitian dimana data

dikumpulkan hanya sekali (yang dilakukan

selama periode hari, minggu, atau bulan)

untuk menjawab pertanyaan penelitian.”

(Sekaran, 2006, hal.315). Data yang diambil oleh peneliti berupa

data kualitatif dari wawancara dan studi

kepustakaan. Narasumber di dalam penelitian

ini antara lain :

a. Kepala Seksi Kepatuhan, Direktorat

Potensi dan Penerimaan Pajak Bapak

Drs. Moch. Faisol. Dari informan

terebut penulis mencari data berupa

potensi PPh OP yang mungkin

diperhitungkan oleh negara dengan

perhitungan penghasilan digabung

untuk pajak penghasilan orang

pribadi.

b. Pengajar Brevet dan Ekstensi FISIP

UI, Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si.

Penulis memilih untuk menjadikan

beliau sebagai narasumber karena

dianggap telah mahir dan menguasai

topik yang sesuai dengan penelitian

ini, yakni pajak penghasilan. Penulis

mencari penjelasan mengenai

perbedaan perhitungan antara

pasangan kawin dengan perjanjian

pisah harta dan tanpa pisah harta

c. Guru Besar Perpajakan FISIP UI

Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.

Penulis dapat mengetahui teori-teori

yang berkaitan dengan manajemen

pajak, peraturan perbedaan

penghitungan pajak penghasilan

antara perjanjian pisah harta dengan

tidak serta implikasi dari adanya

peraturan tersebut

d. Beberapa wajib pajak dengan

perjanjian kawin pisah harta, antara

lain:

Ibu Michaela Riani

Lina Cahyono

Ibu dr. Nina

Ibu Amira Wulandari

Penulis mewawancarai

beberapa wajib pajak dengan

status kawin perjanjian pisah

harta. Tujuannya adalah untuk

mengetahui apa yang menjadi

keluhan atau bagaimana

kewajiban perpajakannya

dijalankan.

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 5: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Implikasi Biaya Kepatuhan dari

Perjanjian Kawin Pisah Harta dalam

Pemenuhan Kewajiban Pajak

Penghasilan Orang Pribadi

Sesuai dengan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan Pasal 8 ayat (1) dan (2) secara

eksplisit bahwa Indonesia merupakan negara

yang secara konsep menggunakan keluarga

sebagai tax unit dalam pajak penghasilan.

Apabila keluarga dimasukan kedalam

konsep tax unit, ini berarti dalam

perhitungan pajak penghasilan berdasarkan

pada penghasilan yang dimiliki oleh seluruh

anggota keluarga. Pasal 8 ayat (1) dalam

penjelasannya menyebutkan bahwa

penghasilan anggota keluarga lain yang

menjadi tanggungan juga ikut digabungkan

dalam menghitung pajak penghasilan

terutang. Penghasilan bagi isteri atau wanita

kawin yang digabungkan adalah penghasilan

dari pekerjaan bebas ataupun dari

penghasilan yang belum dipotong pajak

penghasilan meskipun itu dari satu ataupun

lebih pemberi kerja.

Pengecualian konsep tax unit dalam

keluarga untuk menghitung Pajak

Penghasilan pasal 21 (PPh 21) terjadi

apabila wanita kawin (isteri) menerima

penghasilan yang sudah dipotong oleh satu

pemberi kerja. Maka konsep tax unit dalam

keluarga berubah menjadi orang pribadi. Tax

unit berupa orang pribadi ini akan terus

berlanjut dalam kondisi isteri hanya

memperoleh penghasilan dari satu sumber

dan telah dipotong PPh 21. Jikalau isteri

memperoleh penghasilan dari satu pemberi

kerja dan belum dipotong PPh 21, maka

konsep tax unit dalam keluarga sebagai

kesatuan ekonomis dapat terpenuhi.

Berlakunya orang pribadi sebagai tax

unit tentu akan menimbulkan perbedaan

dalam mengikuti aturan formal Undang-

undang Perpajakan khususnya dalam

pemenuhan kewajiban PPh 21. Suami dan

isteri akan menjalankan kewajiban

perpajakannya masing-masing atau

penghasilan isteri tidak digabung dalam

penghasilan keluarga (suami) dalam

perhitungan PPh 21. Dalam pertimbangan

biaya yang harus dipenuhi seseorang

ataupun keluarga ataupun siapa saja yang

dianggap sebagai tax unit, maka konsep

compliance cost dapat dijadikan acuan.

Pemenuhan kewajiban perpajakan pada

umumnya akan sebanding dengan besarnya

compliance cost yang harus ditanggung oleh

wajib pajak.

Selanjutnya pada Peraturan Dirjen

Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 tentang Tata

Cara Pendaftaran NPWP bagi Anggota

Keluarga, bagi wajib pajak wanita kawin

diperbolehkan memiliki kedudukan sebagai

kepala keluarga dalam pajak penghasilan.

Diperbolehkannya peran sebagai kepala

keluarga bagi wajib pajak wanita kawin juga

perlu memperhatikan beberapa kondisi

diantaranya tidak adanya perjanjian pisah

harta antara suami dan isteri. Selain itu,

diperbolehkannya wajib pajak wanita kawin

menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri bahkan bertindak

sebagai kepala keluarga dalam aspek pajak

penghasilan apabila suami bukanlah wajib

pajak. Suami dikatakan bukan sebagai wajib

pajak apabila suami tidak bekerja atau dalam

keadaan penghasilan yang diterimanya tidak

melebihi PTKP setahun.

Dengan adanya peraturan ini, dengan

kata lain pemerintah seperti tidak melihat

perbedaan perlakuan pajak penghasilan

terutama dari jenis kelamin atau disebut bias

gender. Keadaan dalam keluarga dilihat

kemampuan ekonomis anggota keluarga

tersebut. Kesetaraan gender bahkan sangat

terasa dalam adanya perjanjian kawin pisah

harta. Segala urusan ekonomi diurus oleh

masing-masing individu yang bersangkutan.

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 6: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Pergeseran konsep tax unit yang

semula berada di kepala keluarga (suami)

yang mewakili keluarga, menjadi beban

masing-masing individu dalam keluarga

yang menerima keuntungan ekonomis dalam

tahun pajak tersebut. Tax unit yang telah

bergeser tersebut tidak sepenuhnya menjadi

tanggung jawab individu karena Indonesia

msaih berpegang kepada konsep keluarga

meskipun tidak secara utuh. Konsep

keluarga sebagai tax unit tidak seperti pada

Undang-undang tahun 1983 dimana suami

wajib menjadi kepala keluarga yang

menjalankan kewajiban perpajakan. Hal ini

dapat dilihat dari pembebanan kepada pihak

isteri yang dalam status perkawinannya

memiliki perjanjian kawin pisah harta.

Secara individu apabila sudah menjadi wajib

pajak baik itu secara objektif maupun

subjektif diharuskan mengerti pajak

terutama pajak penghasilan pasal 21. Seperti

kutipan wawancara dengan Bapak Tunas

Hariyulianto, S.E., M.Si. (28/5/20014,

KPDJP) selaku Akademisi Fiskal UI berikut

ini :

“Mungkin konsep taxable unit yang

semula ada pada keluarga terutama

suami bergeser kepada masing-

masing individu dalam keluarga

tersebut ada benarnya, namun tidak

terjadi secara utuh. Buktinya dalam

penghitungan PPh 21 dalam

menghitung penghasilan neto

masing digabung terlebih dahulu

dari pihak suami dan isteri. Dari

total penerimaan kedua belah pihak

lalu pajak yang terutang dihitung

secara proporsional.”

Pendapat ini juga didukung oleh akademisi

lainnya yaitu guru besar Fiskal UI, Prof. Dr.

Gunadi (21/5/2014, JakPus) :

“Saya masih setuju kalau

Indonesia masih menggunakan

konsep keluarga sebagai tax

unit. Penghasilan suami dan

isteri dihitung bersama dahulu.

Kembali kepada prinsip

kekeluargaan, gotong royong

dan lain-lain. Mungkin

alasannya agar memperkuat

komunikasi antar keluarga

sehingga meskipun pisah harta

tetap saja menghindari dari

perceraian.”

Mengenai hasil wawancara kedua

narasumber tersebut dapat kita ketahui

bahwa perubahan konsep pengenaan

kewajiban perpajakan dari satu entitas

keluarga terutama merujuk pada Undang-

undang tahun 1983 yang menekankan

kepada suami sebagai kepala keluarga untuk

menjalankan segala kewajiban perpajakan

keluarganya termasuk didalamnya

kewajiban pajak isteri.

Sebagai wajib pajak dengan status

kawin pisah harta, suami dan isteri terlebih

dahulu menggabungkan penghasilan

mereka, lalu membagikan jumlah pajak yang

terutang masing-masing sesuai dengan

proporsi penghasilannya. Berbeda dengan

wajib pajak dengan status kawin, terutama

yang tidak memiliki perjanjian kawin pisah

harta dan isteri memiliki NPWP dengan

menumpang NPWP suami. Pada saat

penghitungan pajak terutang keluarga di

akhir tahun, maka penghasilan isteri tidak

digabungkan bersama penghasilan suami.

Penghasilan isteri dikategorikan sebagai

penghasilan final (kasus untuk wajib pajak

wanita kawin dengan satu pemberi

penghasilan). Metode penghitungan pajak

penghasilan bagi wajib pajak pisah harta

dengan cara menggabungkan terlebih dahulu

penghasilan suami dan isteri, akan

menyebabkan kekurangan bayar di akhir

tahunnya meskipun penghsilan yang

diterima isteri dari satu pemberi penghasilan

dan telah dipotong PPh 21.

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 7: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Cedric Sandford (1993) membagi

compliance cost dalam tiga jenis biaya,

antara lain :

a. Direct Money Cost

Pengertian untuk istilah ini

adalah uang yang secara

langsung dikeluarkan dalam hal

pemenuhan kewajiban demi

usaha untuk memenuhi

kepatuhan (compliance).

b. Time Cost

Pengertian untuk istilah ini

adalah beban waktu yang secara

langsung ataupun tidak langsung

ditanggung oleh wajib pajak

dalam rangka pemenuhan

kewajiban perpajakan. Contoh

dari time cost adalah

pengorbanan waktu yang harus

ditanggung wajib pajak untuk

mendaftarkan diri, menghitung

pajak, membayar pajak, hingga

melaporkan pajak.

c. Psychic atau psychological cost.

Pengertian untuk istilah ini

adalah beban pikiran yang harus

dirasakan secara langsung

maupun tidak langsung oleh

wajib pajak dalam rangka

pemenuhan kewajiban

perpajakan. Contoh dari

psychological cost adalah beban

pikiran apabila saat jatuh tempo

penghitungan atau pembayaran

pajak, dan beban mental apabila

dilakukannya pemeriksaan pajak.

Beban ini semakin terasa apabila

wajib pajak tersebut kurang

memahami pajak atau tidak

mengetahui secara pasti

ketentuan dan peraturan pajak.

Akibat ketidaktahuan tersebut,

wajib pajak jadi merasa takut

atau bersalah apabila kewajiban

pajak dirinya kurang benar, salah

atau tidak sesuai ketentuan.

Ketidaktahuan hingga

mengakibatkan kesalahan

tersebut akan menimbulkan

sanksi berupa denda administrasi

atau bahkan pidana.

Implikasi biaya kepatuhan atas

pemenuhan kewajiban pajak penghasilan

orang pribadi wajib pajak apabila menlihat

teori Compliance Cost menurut Sandford

adalah pada 3 pokok, yaitu direct cost, time

cost, dan pscychological cost.

A.1. Implikasi Direct Money Cost dari

Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta

dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak

Penghasilan Orang Pribadi

Implikasi yang terjadi bagi wajib

pajak kawin pisah harta khususnya beban

pajak terutang menjadi lebih besar karena

metode penghitungannya dengan

menjumlahkan penghasilan suami dan isteri

dalam satu tahun pajak tersebut. Metode

penggabungan penghasilan tersebut akan

menyebabkan kekurangan bayar pajak akhir

tahun dan semakin membesar jumlahnya

apabila penghasilan yang diterima suami

dan isteri tidak berbeda jauh jumlahnya.

Metode penggabungan penghasilan

suami dan isteri berdasarkan peraturan yang

tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak

Nomor SE-29/PJ/2010. Dalam pasal 8 ayat

(3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

dikatakan bahwa :

“penghasilan neto suami-isteri

sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf b dan huruf c dikenai

pajak berdasarkan penggabungan

penghasilan neto suami isteri dan

besarnya pajak yang harus

dilunasi oleh masing-masing

suami isteri dihitung sesuai

dengan perbandingan

penghasilan neto mereka”

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 8: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Dari metode penghitungan yang

digabung tersebut, maka jumlah kesatuan

ekonomis dalam keluarga menjadi

meningkat meskipun isteri menerima

penghasilan hanya dari satu pemberi kerja

dan sudah dipotong PPh 21. Dalam SPT

masing-masing mereka mencantumkan

jumlah penghasilan neto dengan

menggabung terlebih dahulu penghasilan

suami dan isteri. Pada penghasilan neto SPT

Tahunan isteri berjumlah total dengan

penghasilan suaminya. Begitu pula dengan

SPT Tahunan suami, pada jumlah

penghasilan neto berdasarkan jumlah

penghasilan bersama dengan isterinya.

Sependapat dengan pihak pejabat

negara, menurut Kasi Kepatuhan Direktorat

Potensi dan Kepatuhan Pajak, Bapak Drs.

Moch. Faisol (19/52014, KPDJP) dari hasil

wawancara mengatakan bahwa :

“Saya rasa untuk pisah harta

masih konsep keluarga mas.

Karena kan tadi penghasilannya

masih digabung. Suami dan isteri

menggabungkan dahulu

penghasilannya….”

Hal ini juga akan berlaku bagi wajib

pajak dengan perjanjian kawin pisah harta

meskipun isteri menerima penghasilan dari

satu pemberi kerja dan telah dipotong PPh

21 oleh pihak pemberi kerja tersebut.

Penghasilan yang digabung tersebut bisa

menyebabkan tarif pajak menembus lapisan

atasnya yang akan lebih menyebabkan pajak

kurang bayar semakin besar. Misalnya

terjadi total penghasilan neto digabung

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah). Pada total penghasilan tersebut,

maka sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dari total penghasilan yang

digabung tersebut akan masuk ke lapisan

tarif berikutnya.

Kejadian tersebut terjadi karena

lapisan dasar penghasilan tarif dibawahnya

adalah sebesar diantara lebih dari Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

sampai dengan RP 250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah) dengan tarif

pajak 15% (lima belas persen). Pada

kejadian dimana penghasilan gabungan

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah), maka sebesar Rp 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah) akan masuk

kedalam lapisan diatasnya yaitu sebesar

antara Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) sampai dengan Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

dengan tarif 25% (dua puluh lima persen).

Padahal apabila tax unit ada pada individu

meskipun status mereka suami maupun

isteri, peningkatan tarif ke level diatasnya

tidak akan terjadi, atau bahkan kejadian

kurang bayar pajak mungkin tidak terjadi

pula karena pajak akhir tahunnya akan nihil

apabila telah dipotong PPh 21 oleh instansi

pemberi penghasilan.

Setelah mengetahui jumlah pajak

terutang untuk satu kesatuan keluarga yaitu

sebesar Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima

juta rupiah), maka untuk masing-masing

individu selanjutnya dibebankan pajak

terutang secara proporsional dari

perbandingan pernghasilan yang di dapat

masing-masing individu baik isteri maupun

suami.

Penghitungan penghasilan suami

sendiri apabila tidak digabung dengan isteri

hanya sampai pada lapisan tarif pajak 15%

(lima belas persen), namun karena status

kawinnya dengan memiliki perjanjian pisah

harta dengan isteri maka lapisan tarif

pajaknya menjadi 25% (dua puluh lima

persen). Kenaikan tarif tersebut sangatlah

berpengaruh pada pajak terutang sebagai

implikasi status kawin perjanjian pisah

harta.

Pada keadaan seperti diatas, maka

pajak terutang bagi isteri adalah sebesar dari

proporsi penghasilan isteri dalam

penghasilan total isteri dan suami yaitu

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 9: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta

rupiah). Hasil tersebut merupakan proporsi

80.000.000 (penghasilan isteri) dibagi

dengan 300.000.000 (penghasilan gabungan)

lalu dikalikan dengan total pajak terutang

gabungan yaitu sebesar 45.000.000.

Selanjutnya akan terjadi pajak yang masih

harus dibayar bayar bagi isteri secara

individu sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta

rupiah) apabila pengasilannya telah dipotong

PPh 21 sebesar Rp 7.000.000,00 (tujuh juta

rupiah) oleh pemberi kerja.

Keadaan kurang bayar ini sesuai

dengan pendapat narasumber yang

memastikan bahwa pasti akan terjadi kurang

bayar pada SPT Tahunan masing-masing

yaitu suami dan isteri apabila memiliki

perjanjian kawin pisah harta. Hal ini

didukung dengan pernyataan Drs. Moch.

Faisol (19/5/2014, KPDJP) Kasi Kepatuhan

Kantor Pusat Direktorat Potensi dan

Kepatuhan bahwa :

“Secara pasti ya. Coba mas

buktikan sendiri. Karena pajak

mereka yang seharusnya kecil

namun karena digabung maka

penghasilan tersebut semakin

besar. Oleh sebab itu pajak

penghasilannya pasti menjadi

lebih besar meskipun pada

akhirnya utang pajak sebenarnya

diambil dari rasio penghasilan

masing-masing pada

penghasilan gabungan”

Guru Besar Fiskal UI Prof. Dr.

Gunadi juga memberikan pernyataan yang

mendukung bahwa implikasi direct cost

status kawin pisah harta bahkan semakin

besar daripada status kawin tanpa pisah

harta dengan hasil penghitungan pajak akhir

tahunnya semakin membesar. Berikut

pernyataan Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014,

JakPus) adalah sebagai berikut :

“Itu memang sisi negatifnya.

Throw backs atau kekurangan

dari sistem NPWP sendiri tapi

penghitungan pajaknya

digabung memang seperti itu.”

Tabel 5.1 Simulasi Penghasilan Gabungan Suami Isteri Pisah Harta

Ph Isteri (Individu) Ph Gabungan Ph Suami (Individu)

5% 50.000.000 50.000.000 50.000.000

15% 30.000.000 200.000.000 170.000.000

25% 50.000.000

30%

Pajak

Terutang 7.000.000 45.000.000 28.000.000

Bagi wajib pajak dengan status

kawin pisah harta juga mengakui hal yang

demikian. Sebelum pelaporan SPT Tahunan,

wajib pajak masih harus membayarkan

pajak yang masih harus dibayar padahal

sudah pernah dipotong oleh pemberi

penghasilan. Salah satu narasumber yang

saya wawancarai yaitu Ibu dr. Nina

(23/5/2014, Depok) menyatakan bahwa :

“Setiap tahun saya selalu bayar

pajak. Masalah pelaporan juga

selalu melalui drop box yang

disediakan oleh kantor atau

pengelola. Padahal penghasilan

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 10: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

saya dari kantor juga sudah

dipotong pajak. Entah saya salah

atau benar dalam

penghitungannya yaitu dengan

perbandingan penghasilan saya

sendiri dengan jumlah saya

dengan bapak pokoknya selalu

saja masih harus bayar pajak

tambahan setiap tahunnya. ”

A.2. Implikasi Time Cost dari Pemilihan

Perjanjian Kawin Pisah Harta dalam

Pemenuhan Kewajiban Pajak

Penghasilan Orang Pribadi

Seperti kata pepatah di Indonesia

yang sering disebutkan khususnya untuk

orang-orang sibuk atau dengan waktu yang

sangat terjadwal setiap harinya, waktu

diibaratkan adalah sebagai uang. Semakin

banyak waktu yang terbuang diibaratkan

sebagai semakin banyak pula uang yang

sudah terbuang. Begitu pula dengan

sebaliknya, semakin banyak waktu yang

dimanfaatkan maka itu seperti keuntungan

bahkan dalam bentuk uang.

Dari kedua cara kepemilikan NPWP

Pribadi bagi calon wajib pajak, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa pada tahap awal

self assessment system yaitu pendaftaran

atau memiliki NPWP, wajib pajak memang

harus meluangkan waktu demi pajak. Hal ini

didukung dengan kewajiban bagi wajib

pajak untuk mendatangi kantor pajak

setempat dimana wajib pajak tinggal atau

berdomisili sesuai KTP bagaimanapun cara

pendaftaran baik dengan cara manual

ataupun online.

Kewajiban meluangkan waktu

bahkan dimulai dari pendaftaran menjadi

wajib pajak. Sebagai calon wajib pajak, saat

mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP

diwajibkan mendatangi langsung Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan

domisili calon wajib pajak ditanda pengenail

yaitu KTP, ataupun SIM. Kewajiban

menjadi wajib pajak timbul salah satunya

karena subjek pajak tersebut sudah memiliki

penghasilan yang melebihi Penghasilan

Tidak Kena Pajak.

Pada saat mendatangi langsung KPP,

subjek pajak harus meniggalkan kegiatan

usahanya, bahkan tempat kegiatan usaha

atau tempat menerima penghasilan jauh dari

KPP subjek pajak yang dilihat melalui tanda

pengenal. Hal tersebut merupakan salah satu

tanda bahwa untuk medapatkan NPWP,

subjek pajak diharuskan mengurangi

waktunya untuk bekerja, demi mendapatkan

NPWP. Kegiatan yang seperti ini sepertinya

sangat cocok dengan pribahasa waktu adalah

uang, dimana waktu yang dikorbankan wajib

pajak untuk mendapatkan NPWP seperti

kehilangan kesempatan mendapatkan

keuntungan atau opportunity cost dalam

usahanya.

Pada kasus penghitungan pajak wajib

pajak penghasilan orang pribadi dengan

status kawin pisah harta, maka kewajiban

wajib pajak adalah menghitung

penghasilannya dengan metode digabung

dengan penghasilan pasangannya. Untuk

penghitungan digabung seperti ini, maka

pada saat penghitungan pajak diharuskan

saling berkomunikasi atau setidaknya

meluangkan waktu untuk menghitung pajak

agar sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Keadaan dimana membutuhkan

waktu untuk menghitung pajak seperti ini,

apabila wajib pajak isteri maupun suami

bekerja dan dalam kondisi yang sangat sibuk

maka terjadi pengorbanan waktu demi

melaksanakan kewajiban pajak. Sesuai

dengan pernyataan wajib pajak Ibu Lina

Cahyono (17/5/2014, Depok) dikatakan

bahwa :

“Setiap penghitungan SPT, saya

dan suami saling berkoordinasi.

Misalnya bisa saja melalui SMS,

e-mail ataupun apabila saat

ingat dikerjakan dirumah

bersama-sama. Kami berdua

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 11: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

sangat sibuk, tapi terkadang

saya menyuruh suami saja yang

menghitung. Saya hanya tinggal

SMS atau telpon jumlah

penghasilan saya tahun ini

berapa…”

Kejadian berbeda terjadi dari

pernyataan wajib pajak Amira Wulandari

(25/5/204, Depok) menyatakan bahwa :

“Sebenarnya saya tidak terlalu

concern mengenai penghitungan

pajak saya. Yang penting kata

teman saya sih pasti kurang

bayar jadi saya tulis saja

penghasilan saya yang ada 1721

nya atau berapa ya mas hahaha.

Paling 15 menit selesai

menghitung SPT”

Lebih lanjut, wajib pajak juga mengutarakan

bahwa ia tidak terlalu jujur mengisi SPT

setiap tahunnya seperti yang ditambahkan

berikut ini,

“……Iya sih ada penghasilan

lain yang belum dipotong

misalnya seminar, wawancara

dan lain-lain. Tapi bukannya

saya tidak jujur tapi lebih

tepatnya saya sendiri juga lupa

berapa uang yang saya terima

setiap tahunnya….”

Padahal apabila wajib pajak tersebut

mengerti mengenai peraturan pajak

Indonesia maka dengan sukarela meminta

bukti pemotongan bahwa mungkin saja

penghasilan yang ia terima dari seminar dan

wawancara sudah dipotong PPh 21. Dari

bukti potong yang dilakukan oleh pihak

pemberi penghasilan tersebut, maka jumlah

penghasilan yang sebenarnya diterima dan

juga jumlah pajak yang telah dipotong bisa

lebih tepat dan sesuai dengan keadaan

sebenarnya.

Biaya dalam memenuhi kewajiban

pajak bila dilihat dari beban pengorbanan

waktu sebenarnya pasti dirasakan oleh

seluruh wajib pajak yang taat. Maksudnya

taat disini adalah memenuhi seluruh kriteria

kepatuhan menurut teori dari Nasucha

(2004) yang telah disebutkan diatas.

Pengorbanan waktu memang sebenarnya

tidak semua orang bisa menghitungnya

(uncountable), bahkan menurut salah satu

narasumber saya di Kantor Pusat DJP,

Bapak Drs. Moch. Faisol

(19/5/2014,KPDJP) mengatakan bahwa :

“Menurut saya compliance cost

itu kurang substansi. Masalah

biaya kepatuhan tidak begitu

terhitung khususnya dari segi

biaya. Apalagi sudah banyak

fasilititas diberikan pemerintah

untuk mengurangi biaya-biaya

pajak yang tidak langsung

berkaitan dengan pembayaran

pajak.”

Maksud dari kalimat yang diutarakan

oleh Bapak Drs. Moch. Faisol tersebut

adalah bahwa keberadaan biaya pajak sudah

pasti terjadi (exist), namun besaran biaya

tersebut sangat sulit sekali dihitung terutama

pada aspek biaya waktu. Hal yang telah

diutarakan tersebut didukung dengan

beberapa fakta bahwa misalnya pada tahap

pendaftaran, waktu yang terbuang untuk

mendaftarkan diri menjadi wajib pajak

sudah mulai dipangkas oleh pemerintah

dengan salah satunya diberikan fasilitas

pendaftaran NPWP secara online.

Beberapa fasilitas yang diberikan

pemerintah dalam upaya untuk membuat

wajib pajak merasa nyaman dalam

melaporkan pajaknya turut didukung oleh

akademisi Fiskal FISIP UI, Bapak Tunas

Hariyulianto, S.E., M.Si. (28/5/2014,

KPDJP) bahwa :

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 12: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

“Ya. Itu tidak memberikan efek

yang besar. Untuk timing cost,

kan sekarang banyak fasilitas

pelaporan mulai dari drop box,

kantor pos, atau bahkan e-

filling”.

Fasilitas lain yang diberikan

pemerintah dalam upaya melayani

masyarakat khususnya wajib pajak yang

dianggap sebagai pahlawan negara salah

satunya yang sangat bermanfaat bagi wajib

pajak adalah fasilitas pelaporan pajak

melalui drop box, kantor pos, dan jasa

pengiriman lainnya. Semua itu diberikan

dengan tujuan untuk efisiensi waktu bagi

wajib pajak dalam melapor SPT ke KPP

dimana wajib pajak tersebut terdaftar.

A.3. Implikasi Pscychological Cost dari

Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta

dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak

Penghasilan Orang Pribadi

Beban selanjutnya yang harus

ditanggung oleh subjek pajak setelah

menjadi wajib pajak adalah menanggung

beban psikis atau mental demi

melaksanakan kewajiban perpajakan dengan

baik dan benar sesuai dengan Undang-

undang dan peraturan perpajakan. Perasaan

bersalah ataupun gelisah biasanya terjadi

dalam memenuhi kewajiban perpajakan

sesuai aturan, misalnya perasaan bingung,

takut akan kesalahan penghitungan, takut

akan denda ataupun sanksi administrasi

dalam pelaporan, bahkan merasa takut

terjadi kesalahpahaman mengenai aturan

pajak yang apabila terjadi kesalahan dapat

menimbulkan hukuman pidana bagi wajib

pajak.

Menurut Henry R. Jex (1988)

mengenai pengertian beban mental atau

psikologis adalah beban kerja yang

merupakan selisih antara tuntutan beban

kerja dari suatu tugas dengan kapasitas

maksimum beban mental seseorang dalam

kondisi termotivasi. Sesuai dengan apa yang

terjadi pada wajib pajak dalam memenuhi

tuntutan peraturan mengenai perpajakan.

Beberapa contoh sanksi administrasi

tersebut akan menimbulkan beban pajak

yang meningkat dari beban pajak

sebenarnya yang terjadi sebagai akibat dari

beberapa kesalahan wajib pajak dalam

mengimplementasikan peraturan perpajakan

dengan baik dan benar. Seperti yang

diutarakan oleh Prof. Dr. Gunadi

(21/5/2014, JakPus) adalah sebagai berikut :

“oleh sebab itu sangatlah penting

mengetahui peraturan pajak up to date.

Itulah sebabnya banyak jasa konsultan,

karena bisa meminimalisir beban pajak

terutama denda karena kesalahan-

kesalahan yang semestinya tidak

dilakukan.”

Dari beberapa sanksi yang akan

diterima oleh wajib pajak yang pada intinya

tidak menjalankan kewajiban perpajakannya

dengan baik dan benar sesuai Undang-

undang perpajakan baik denda atau sanksi

administrasi maupun denda pidana penjara

ataupun kurungan, maka akan menimbulkan

kekhawatiran bagi wajib pajak apabila

terjadi kesalahan dalam SPT pribadinya.

Sesuai dengan salah satu narasumber

saya, wajib pajak status kawin pisah harta,

Ibu Amira Wulandari (25/5/2014, Depok)

memaparkan bahwa :

“ya sebenarnya ada

kekhawatiran dari saya dan

suami mengenai kewajiban pajak

kami berdua. Saya dan bapak

sering berdiskusi saat tiba

waktunya melaksanakan

kewajiban pajak. Mengenai

kabar bahwa terdapat sanksi

berupa denda, atau denda

lainnya bahkan denda Rp

100.000,00 (seratus ribu rupiah)

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 13: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

yang paling saya ingat apabila

tidak lapor SPT, namun yang

paling saya khawatirkan adalah

hukuman penjaranya mas….”

Sebagai wajib pajak pisah harta,

narasumber masih memiliki perasaan

bersalah apabila tidak melakukan kewajiban

perpajakannya dengan baik dan benar sesuai

peraturan perpajakan. Padahal keadaan

Indonesia saat ini dimana tingkat

pengawasan terhadap wajib pajaknya sangat

minim.

Minimnya pengawasan pemerintah

dalam upaya menegakan kepatuhan

perpajakan terutama disebabkan oleh masing

sedikitnya jumlah pegawai atau sumber daya

manusianya dalam mengawasi wajib pajak.

Seperti pemaparan oleh narasumber saya,

Bapak Drs. Moch. Faisol (19/5/2014,

KPDJP) bahwa :

“Sebagai alat kontrol negara ini

mau menguji WP sebagai

parameter.. Data mas.jadi di kita

itu data WP minim sekali mas.

Intinya di data mas. Misalnya

gini mas Destian lapor di SPT-

nya penghsilan 1000 (seribu).

Pas lapor self assessment yang

tau bener sendiri atau salah

siapa? Negara kita ini berapa

penduduknya? 200 juta

lebih.pegawai kita berapa? 30

juta. Jadi setiap satu pegawai

mengawasi 6 juta lebih warga

negara”

Akibat dari masih minimnya jumlah

pegawai pajak, maka pengawasan pada

wajib pajak di Indonesia khususnya wajib

pajak orang pribadi tidaklah terlalu ketat.

Peraturan yang dibuat mengenai besarnya

sanksi maupun denda hingga lamanya

kurungan bahkan penjara tidak akan berguna

apabila tidak dilakukannya pengawasan.

Rendahnya pengawasan terhadap wajib

pajak oang pribadi di Indonesia didukung

oleh pernyataan akademisi pajak di Fakultas

FISIP UI, Bapak Tunas Hariyulianto, S.E.,

M.Si. (28/5/2014, KPDJP) bahwa :

“Karena itu tadi mas kembali

kepada pengawasan yang sangat

kurang. Wajib pajak merasa

tidak diawasi. Banyak yang tidak

melapor pajak, atau bahkan

membayar pajak terutangnya di

akhir tahun tapi tidak apa-apa.”

Sebagai akademisi di bidang

perpajakan, narasumber saya Bapak Tunas

juga merasakan bahwa pengawasan fiskus di

Indonesia masih sangatlah rendah bahkan

cenderung tidak terasa terutama dalam

pemenuhan kepatuhan pajak penghasilan

orang pribadi. Hal ini juga diakui oleh salah

satu wajib pajak pisah harta yaitu Ibu dr.

Nina (23/5/2014, Depok) yang menyatakan

bahwa :

“sebenarnya saya juga merasa

bingung untuk hal itu ya. Banyak

teman saya yang mengakui tidak

melapor pajak. Dia punya

NPWP, namun tidak lapor SPT,

tidak membayar pajak akhir

tahun, pokoknya tidak peduli

mengenai pajak…”

Dari beberapa ulasan narasumber

diatas, mungkin saja bahwa sisi

pscychological cost tidak begitu berdampak

signifikan di Indonesia. Hal tersebut

disebabkan karena minimnya pengawasan

yang dilakukan pemerintah khususnya bagi

wajib pajak orang pribadi. Padahal

instrument berupa peraturan dan perundang-

undangan sudah sangat jelas mengatur

mengenai sanksi adminitrasi, denda sampai

dengan pidana yang menyebabkan wajib

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 14: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

pajak terkena hukuman kurungan atau

bahkan penjara.

Apabila membahas minimnya

pengawasan, guru besar Fiskal FISIP UI,

Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014, JakPus) juga

ikut menambahkan bahwa :

“Dimana orang gak jujur itu

juga melihat bagimana comply

atau tidak comply itu terpaksa.

Kita harus bisa menciptakan

great system. Sistemnya harus

dibuat bagaimana orang harus

comply. Dipaksa jujur. Seperti

dipaksa bagaimana orang tidak

bisa memalsukan. Itu

pelanggaran karena seharusnya

mengisi SPT secara jujur

mengenai hartanya. Tapi

kembali lagi ke pengawasan

apakah orang pajaknya bisa

tahu atau tidak.”

Pada intinya, apabila sistem di

Indonesia menganut self assessment, maka

konsekuensinya adalah pengawasan. Seperti

kutipan wawancara dengan Kasi Kepatuhan

Ditjen Potensi dan Kepatuhan Kantor Pusat

DJP, Bapak Drs. Moch. Faisol (19/5/2014,

KPDJP) berikut ini :

“Intinya di self assessment

system. Sebuah negara yang

menganut ini ya konsekuensinya

pada pengawasan mas”

Rendahnya pengawasan oleh

aparatur negara khususnya di Indonesia dan

secara khusus mengenai pajak penghasilan

orang pribadi, akan membuat masyarakat

menjadi tidak patuh. Peraturan mengenai

sanksi dan hukuman dari pelanggaran pajak

akan terasa tidak berguna. Oleh sebab itu,

kekhawatiran wajib pajak akan kewajiban

perpajakannya akan semakain berkurang.

B. Manajemen Pajak bagi Wajib Pajak

Kawin Pisah Harta

Melihat beberapa gambaran mengenai total

biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib

pajak dalam upaya pemenuhan kewajiban

perpajakannya bahwa dapat diketahui bahwa

beban yang harus dikeluarkan oleh wajib

pajak bukanlah hanya dari pajak terutangnya

saja secara langsung namun ada beberapa

aspek lain yaitu biaya waktu (time cost) dan

beban psikis (pscychological cost). Semua

biaya ataupun benda seperti direct cost, time

cost, dan pscychological cost dinamakan

dengan sebutan biaya kepatuhan

(compliance cost).

5.2.1. Melakukan Pencatatan Atas Setiap

Transaksi dan Penghasilan

Pada kewajiban pajak penghasilan

orang pribadi status kawin pisah harta,

semua beban atau biaya tersebut dapat

dirasakan atau ditanggung kedua belah

pihak baik suami dan isteri. Berbeda dengan

pemenuhan kewajiban pajak penghasilan

orang pribadi status kawin tanpa pisah harta

karena yang menanggung beban pajak selain

biaya langsung (direct cost) hanya pada

pihak suami.

Dari segi biaya langsung (direct

cost), sangat bergantung kepada

pengetahuan wajib pajak mengenai jumlah

penghasilan dalam satu tahun pajak tersebut.

Kesalahan dalam penggabungan jumlah

penghasilan bisa berdampak cukup besar

terhadap total beban pajak yang harus

ditanggung wajib pajak pisah harta.

Misalnya mengetahui penghasilan apa saja

yang masuk ke penghasilan final.

Pada penghasilan final misalnya

bunga deposito, tidak seharusnya

memasukannya kedalam komponen

penghasilan sesuai aturan pengisian SPT

Tahunan. Apabila wajib pajak lalai akan hal

ini, maka beban pajak langsung (direct cost)

yang harus ditanggung akan semakin besar.

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 15: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Ketentuan mengenai pentingnya

memisahkan objek pajak penghasilan final

didukung oleh narasumber guru besar Fiskal

FISIP UI, Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014,

JakPus) :

“memang yang

terpenting adalah dalam

memanage pajak

penghasilan orang

pribadi dengan cara

mengetahui bagian-

bagian dari penghasilan.

Penghasilan mana yang

final, atau bahkan bukan

objek pajak.”

5.2.2. Mengetahui Fasilitas-Fasilitas yang

Diberikan DJP Beberapa poin diatas sangat

dibutuhkan dalam melakukan manajemen

pajak penghasilan orang pribadi khususnya

dengan status kawin pisah harta. Beberapa

biaya pajak yang timbul dari status kawin

pisah harta misalnya direct cost, time cost

dan pscychological cost dapat diminimalisir

atau setidaknya menanggulangi beban pajak

yang lebih besar atau yang seharusnya tidak

dikeluarkan dalam upaya mematuhi

kewajiban perpajakan pajak penghasilan

oang pribadi.

Untuk selanjutnya, biaya mengenai

waktu yang harus dikorbankan oleh wajib

pajak kawin pisah harta dalam pemenuhan

kewajiban pajak bisa diminimalisir dengan

banyak fasilitas yang telah diberikan oleh

pemerintah khususnya memanjakan wajib

pajak agar mematuhi peraturan perpajakan.

Seperti hail wawancara dengan narasumber

Ibu Lina Cahyono (17/5/2014, Depok)

menyatakan bahwa :

“Ya saya selalu menaruh SPT

saya di drop box. Semua orang

kantor juga begitu. Kita sih

ikutin arus aja mas dikira

memang sudah ketetapan

hahaha. Tapi ternyata memang

itu merupakan fasilitas ya? Saya

kurang tahu soalnya”.

Selain itu, wajib pajak juga dapat

menggunakan fasilitas lainnya yang sama-

sama tidak mewajibkan wajib pajak untuk

lapor langsung ke KPP tempat wajib pajak

terdaftar, misalnya kantor pos atau jasa

pengiriman surat lainnya. Didukung dengan

pendapat akademisi Fiskal FISIP UI, Bapak

Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si.

(28/5/2014, KPDJP) yang menyatakan

bahwa :

“Untuk timing cost, kan

sekarang banyak fasilitas

pelaporan mulai dari drop box,

kantor pos, atau bahkan e-

filling”

Selanjutnya ada pendapat yang

dikemukakan oleh narasumber yaitu Bapak

Drs. Moch. Faisol (19/5/2014, KPDJP)

yang menyatakan bahwa :

“sudah banyak fasilititas

diberikan pemerintah untuk

mengurangi biaya-biaya pajak

yang tidak langsung berkaitan

dengan pembayaran pajak.”

KESIMPULAN

Beberapa poin penting yang dapat ditarik

dalam penelitian ini pertama implikasi biaya

kepatuhan (compliance cost) pemilihan

perjanjian kawin pisah harta dalam

memenuhi kewajiban pajak penghasilan

orang pribadi dilihat dalam beberapa aspek,

yaitu biaya pajak langsung (direct cost),

time cost, dan pscychological cost. Seluruh

implikasi biaya kepatuhan tersebut harus

ditanggung oleh masing-masing pihak baik

suami maupun isteri sesuai SE DJP No.

29/PJ/2010. Apabila dibandingkan dengan

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 16: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh

wajib pajak tanpa perjanjian kawin pisah

harta, maka secara keseluruhan beban pajak

penghasilan orang pribadi pisah harta lebih

besar. Kedua, manajemen pajak yang dapat

dilakukan wajib pajak kawin pisah harta

adalah dengan melakukan pencatatan

terutama dari penghasilan agar mendapat

nilai penghasilan neto yang sesungguhnya.

Pencatatan tersebut juga dapat memberikan

fasilitas pajak lainnya seperti mendapat

perlakuan norma untuk mendapat nilai

penghasilan neto.

DAFTAR PUSTAKA

Anggarsari, Susi Diah.__.Analisis Perlakuan

Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak

Wanita Kawin Vol. 17. 2010

Bohari, Pengawasan Keuangan Negara,

Jakarta : Rajawali Pers. 1995

Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada. 2006

Brotodihardjo, Santoso. Pengantar Ilmu

Hukum Pajak. Bandung: Eresco, 1993

Creswell, John W. Research Design:

Qualitative and Quantitatives

Approaches. California: SAGE

Publications. 1994

.

. Research Design

Qualitative and Quantitative And Mixed

Approach. Fourth Editon California:

Sage Publication. 2013

Emzir, Prof. Dr. Metodologi Penelitian

Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. 2012

Gunadi, Pajak Internasional, Jakarta :FEUI.

1999

. Perpajakan. Jakarta: Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. 1998

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu

Hukum Adat Indonesia. Bandung :

Bandar Maju. 1992

Hardy. Pemeriksaan Pajak, Jakarta: Penerbit

Kharisma. 2003

Haris, H. Benjamin. Corporate Tax

Incidence and Its Implications for

Progressivity. Urban Institute. 2009

Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta :

Penerbit Andi. 2008

Mansury, R. Kebijakan Fiskal. Tangerang:

YP4. 1999

_________. Pajak Penghasilan Lanjutan.

Jakarta: Ind-Hill Co. 1999

Mujono, Djoko. Pengantar PPh dan PPh

21. Yogyakarta: CV. ANDI. 2007

Nasucha, Chaizi. Reformasi Administrasi

Publik. Jakarta : Geamedia. 2004

Neuman, William Lawrence. Social

Research Methods: Qualitative and

Quantitative Approaches (Forth Series),

New York: Pearson Education. 1999

Nurmantu, Prof. Safri. Pengantar

Perpajakan, Jakarta, Granit. 2003

__________________. Dasar-Dasar

Perpajakan. Jakarta: IND-HILL-CO.

1994

Robbin P. Stephen. Teori Organisasi,

Struktur, Desain dan Aplikasi, Practice

Hall International, Inc, Alih Bahasa

Yusuf Udaya. 1994

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014

Page 17: Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin ...

Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Teori

Perpajakan dan aplikasi. Jakarta:

Rajawali Press. 2005

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto.

Panduang Lengkap Tata Cara

Perpajakan di Indonesia. Jakarta :

Visimedia. 2009

Sandford, Cedric. Successful Tax Reform.

1993

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata.

Jakarta : Intermasa. 2003

Suparmoko, M. Keuangan Negara: Dalam

Teori dan Praktek. Yogyakarta. 2000

Sutedi, Adrian. Hukum Pajak Hak

Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.

2011

Slemrod, Joel. Why Do People Pay Taxes :

Tax Compliance and Enforcement,

Michigan : The University Of Michigan

Press. 1995

Soemitro, Rochmat, Dasar – dasar Hukum

Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung.

1997

_______________. Pajak dan

Pembangunan, Bandung : Eresco. 1998

Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania. Asas

dan Dasar Perpajakan .Jakarta :

Gramedia. 2004

Satrio, J. dan Yunanto. Hukum Adat

Perkawinan. Bandung : Citra Aditya

Bhakti. 1993

Suand, Erly. Perencanaan Pajak Edisi 5.

Jakarta : Salemba Empat. 2006

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan

Indonesia : Berlaku Oleh Umat Islam.

Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 1974

Waluyo dan Ilyas, Wirawan B. Perpajakan

Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.

2000

Zain, Dr. Mohammad. Manajemen

Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat.

2005

Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014