Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

19
Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018 Implementasi Wasiat Berupa“HonorariumMenurut Pandangan Wahbah Zuhaili Zaiyad Zubaidi, Muhammad Yanis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Email: [email protected] Abstrak: Peralihan harta selain kewarisan dalamIslam salah satunya dikenal dengan wasiat, yaitu dengan cara berpesan seseorang terhadap sebagian harta kekayaannya pada saat seseorang tersebut masih hidup dan berlaku setelah meninggalnya pewasiat.Salah satu bentuk wasiat ialah wasiat yang berupa honorarium.Wasiat honorarium adalah wasiat yang berasal dari pokok harta peninggalan mayit, dan jenis ini masuk dalam wasiat yang berupa benda yang mempunyai ukuran tertentu yang harus di berikan kepada orang yang berhak menerima wasiat yang telah di wasiatkan oleh seseorang sebelum ia meninggaldunia, seperti angsuran tahunan, bulanan, atau harian, yang tidak berbeda dengan wasiat pada umum nya hanyasajaiamenggunakan system angsuran. Wasiat berupa honorarium ini umumnya dikenal di wilayah timur seperti Mesir. Mengenai batas waktu pemberian wasiat berupa honorarium ini terdapat perbedaan pendapat Wahbah Az-zuhaili yang mengatakan bahwa wasiat honorarium tidak boleh melebihi dua (2) generasi jika lebih maka untuk generasi selebihnya dianggap batal. Untuk memperoleh jawaban dari hal tersebut maka dalam Penelitian ini penulis menggunakan kepustakaan (library Research)dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriktif-analisis-kompratif, yaitu

Transcript of Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Page 1: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Implementasi Wasiat

Berupa“Honorarium”

Menurut Pandangan Wahbah Zuhaili

Zaiyad Zubaidi,

Muhammad Yanis

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Email: [email protected]

Abstrak: Peralihan harta selain kewarisan dalamIslam salah satunya dikenal

dengan wasiat, yaitu dengan cara berpesan seseorang terhadap sebagian harta

kekayaannya pada saat seseorang tersebut masih hidup dan berlaku setelah

meninggalnya pewasiat.Salah satu bentuk wasiat ialah wasiat yang berupa

honorarium.Wasiat honorarium adalah wasiat yang berasal dari pokok harta

peninggalan mayit, dan jenis ini masuk dalam wasiat yang berupa benda yang

mempunyai ukuran tertentu yang harus di berikan kepada orang yang berhak

menerima wasiat yang telah di wasiatkan oleh seseorang sebelum ia

meninggaldunia, seperti angsuran tahunan, bulanan, atau harian, yang tidak

berbeda dengan wasiat pada umum nya hanyasajaiamenggunakan system

angsuran. Wasiat berupa honorarium ini umumnya dikenal di wilayah timur

seperti Mesir. Mengenai batas waktu pemberian wasiat berupa honorarium ini

terdapat perbedaan pendapat Wahbah Az-zuhaili yang mengatakan bahwa wasiat

honorarium tidak boleh melebihi dua (2) generasi jika lebih maka untuk generasi

selebihnya dianggap batal. Untuk memperoleh jawaban dari hal tersebut maka

dalam Penelitian ini penulis menggunakan kepustakaan (library Research)dan

dilakukan dengan menggunakan metode deskriktif-analisis-kompratif, yaitu

Page 2: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

183 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

menggambarkan konsep pemikiran wahbah Az-Zuhaili tentang wasiat berupa

Honorarium berikut dengan landasan hukumnya.Hasil penelitian menunjukkan

bahwa. Wasiat berupa Honorarium sama seperti wasiat lainnya hanya saja

berbeda dalam pemberiannya yang dilakukan secara berangsur-angsur. Wahbah

Az-Zuhaili menggunakan metode istimbat hukum maqasid syari‟ah (Dharuriyat)

yaitu kepentingan untuk memelihara harta. Dalam hal ini pemeliharaan harta si

pewasiat yang akan diwasiatkan kepada penerimanya harus dapat dipastikan

sampai untuk yang berhak. Pemberian wasiat secara berangsur-angsur dilakukan

agar harta yang diwasiatkan dapat membawa manfaat untuk jangka waktu yang

lama sehingga tidak sia-sia. Dan juga pemberian wasiat dengan jalan angsuran

sering terjadi dalam kasus si penerima wasiat yang masih berada dibawah umur

yang mana ia tidak dapat menggunakan hartanya secara baik, maka oleh sebab itu

untuk menghindari pemanfaatan dari pihak lain jalan terbaik adalah dengan

angsuran sesuai kebutuhan si penerima wasiat namun tidak melebihi dari

sepertiga harta yang dimiliki keseluruhan si pewasiat tentunya.

Kata Kunci :Wasiat, Honorarium

Abstract: The transition of treasures other than religious in Islam, one of which is

known as a testament, is through a message of some of its wealth when the person

is alive and occurs after the death of a testament. One form of wills is an

honorarium. The honorarium will be a testament derived from a Mayite estate, and

this type is entered into a will which has a certain size that must be given to the

person who has the right to accept a will that has been waged by a person before

he passed away, such as annual, monthly, or daily installments, which is no

different from his generalized wills in his general drifting system installments.

Wills in the form of honorarium is commonly known in the eastern regions such as

Egypt. As for the deadline for this honorarium, there is a difference in the opinion

of Wahbah Az-Zuhaili who said that an honorarium will not exceed two (2)

generations if more then for the other generation is considered void. To obtain an

answer from this, in this research the author uses library Research and is done

using the method-analysis-comparative methods, namely, describing the concept of

the thought of the Wahbah Az-Zuhaili of wills in the form of Honorarium with its

legal basis. The results showed that. Wills in the form of the Honorarium is just as

other wills are only different in the grade given. Wahbah Az-Zuhaili uses the

special method of law Maqasid Syari'ah (Dharuriyat), which is the interest to

preserve wealth. In this case, the maintenance of the property will be disclosed to

the recipient must be ensured to the right. Probate will gradually be done so that

the declared property can bring benefits for a long period so it is not in vain. And

also the provision of a will in installments often occur in the case of the recipient

who is still under the age of which he is not able to use his property properly,

therefore to avoid the utilization of the other parties the best way is in installments

according to the needs of the recipient but not exceeding the third property owned

by the wills, of course.

Keywords: wills, honorarium

Page 3: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 184

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

PENDAHULUAN

eralihan harta selain kewarisan dalam Islam salah satunya dikenal

dengan wasiat, yaitu dengan cara berpesan seseorang terhadap sebagian

harta kekayaannya pada saat seseorang tersebut masih hidup dan berlaku

setelah meninggalnya pewasiat. Wasiat sering menjadi suatu problematika dalam

kehidupan masyarakat yang sering menimbulkan permasalahan. Maka bagaimana

umat Islam harus memberikan harta wasiat tersebut tentu harus merujuk kepada

ajaran yang sudah tertulis dalam kitab-kitab fiqh tentang kewarisan dan wasiat

(Amir Syarifuddin, 2008: 321-322).

Dalam wasiat, terdapat beberapa persoalan yang harus terlebih dahulu

selesaikan, di antaranya menunaikan segala hak-hak yang berkaitan dengan si

manyit seperti membayar biaya pemakaman dan hutang-piutang ketika pewasiat

masih hidup dengan harta yang di tinggalkan oleh si mayit tersebut. Dalam hukum

Islam, yang berhak menerima harta wasiat adalah orang yang di wasiatkan oleh

yang mempunyai harta diketika dia masih hidup dengan harta kekayaanya apabila

dia meninggal dan merujuk orang tertentu sebagai pihak yang berhak atas sebagian

harta kekayaan yang di tinggalkannya dengan suatu wasiat. Wasiat merupakan

hukum yang mengatur tentang peralihan harta si mayit kepada kerabat yang masih

hidup, karena wasiat merupakan peralihan harta yang disebabkan karena perbuatan

tertulis atau ucapan yang akurat oleh pewasiat terhadap harta kekayaannya yang

baru di laksanakan ketika pewasiat meninggal dunia.

Untuk orang yang berwasiat, para ulama sepakat bahwa orang yang

berwasiat yaitu setiap orang yang memiliki harta dengan kepemilikan yang sah.

Menurut malik wasiat orang bodoh dan anak kecil yang mengerti berbagai macam

ibadah adalah sah. Abu Hanifah mengatakan,wasiat anak kecil yang belum dewasa

tidak dibolehkan. Sedangkan menurut Syafi‟i yaitu dua pendapat tersebut. Begitu

juga wasiat bagi orang kafir menurut mereka sah jika tidak berwasiat dengan

sesuatu yang diharamkan (Ibnu Rusyd, 2007: 666).

Salah satu bentuk wasiat ialah wasiat yang berupa honorarium. Wasiat

honorarium adalah wasiat yang berasal dari pokok harta peninggalan mayit, dan

jenis ini masuk dalam wasiat yang berupa benda yang mempunyai ukuran tertentu

yang harus di berikan kepada orang yang berhak menerima wasiat yang telah di

wasiatkan oleh seseorang sebelum ia meninggal dunia, dalam bentuk angsuran baik

itu tahunan, bulanan, atau harian, yang tidak berbeda dengan wasiat pada

umumnya hanya saja ia menggunakan system angsuran (Wahbah Az-Zuhaili, 2007:

225). Wasiat berupa honorarium ini umumnya dikenal di wilayah timur seperti

Mesir.

Adapun pendapat dikalangan para ulama fiqih golongan malikiyah,

hanafiyah dan syafiiyah memperbolehkan wasiat yang berupa honorarium,karena

wasiat tersebut diambil dari harta pokok si mayit, yang dilihat dari segi wasiat nilai

guna (Wahbah Az-Zuhaili, 2007: 226).

Dalam hal ini jumhur ulama mengambil dasar hukum dari al-Qur‟an surat

al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut:

P

Page 4: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

185 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

.

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat

untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban

atas orang-orang yang bertakwa.

Maka dari ayat tersebut di atas jumhur ulama mengambil dasar hukum

tentang kewajiban wasiat yang harus diberikan oleh keluarga kepada yang orang

yang diwasiatkan oleh pewasiat sebelum meninggal dunia.

Pelaksanaan wasiat ini berbeda-beda, sesuai dengan waktunya, sama ada wasiat

diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau untuk seumur hidup. Menurut jumhur

ulama golongan Hanafiyah dan Malikiyah, jika wasiat honorarium untuk jangka

waktu tertentu, baik berasal dari pokok harta peninggalan atau dari pendapatan

yang dihasilkannya maka sepertiga harta peninggalan harus ditahan (dibekukan).

Kemudian dari harta peninggalan beserta hasilnya ini, setiap bulannya akan diambil

ukuran yang dijelaskan oleh mushill, meski sepertiga ini melebihi batas wasiat

mushill. Jika wasiat honorarium untuk masa waktu seumur hidup, dilihat dari segi

ukuran dan pelaksanaannya, jenis ini juga sama seperti wasiat honorarium untuk

jangka waktu tertentu. Menurut Imam Malik dan Abu Yusuf, masa seumur hidup

mushaalah ini dikira-kirakan dengan usia pada umumnya orang-orang yang

sekurun dengannya, lalu sepertiga dari keseluruhan harta, yang dibekukan hanya

bagian secukupnya untuk biaya masa tersebut. Sedangkan untuk batasan waktu ini

Wahbah Az-Zuhaili mengatakan wasiat honorarium tidak boleh melebihi dua (2)

generasi jika lebih maka untuk generasi selebihnya dianggap bata.

KAJIAN TEORI

Pengertian Wasiat

Kata washiat dalam bahasa Arab diambil dari kata “washaytusy-syai‟a” yang

berarti menyambungkan sesuatu. Dinamakan demikian karena wasiat menyambung

sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dengan sesuatu lain setelah kematian.

Karena orang yang berwasiat (mushii) menyambung beberapa perbuatan yang

dibolehkan baginya ketika masih hidup supaya diteruskan ketika ia telah

meninggal. Secara bahasa kata wasiat artinya berpesan, menetapkan memerintah,

mewajibkan dan mensyariatkan (Ahmad Rofiq, 2001: 183). Wasiat berarti pesan,

baik berupa harta maupun lainnya (Syaikh Kamil Muhammad, 2008: 520).

Wasiat berasal dari kata و ىص yang artinya menyampaikan (Ahmad

Rofiq, 2001: 183). Wasiat adalah iishaa‟ إيءاص (memberikan pesan, perintah,

pengampuan, perwalian) dan secara etimologi diartikan sebagai janji kepada

orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya

Page 5: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 186

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

atau setelah meninggalnya (Wahbah az-Zuhaili, 2011: 154).

Wasiat adalah

berderma dengan harta setelah meninggal atau perintah untuk mengurusi sesuatu

sepeninggalnya (Syaikh Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, 2009: 205).

Sedangkan dalam istilah para ahli fikih, wasiat adalah perintah untuk

melakukan sesuatu perbuatan setelah meninggal. Atau dengan kata lain, bersedekah

dengan harta setelah mati (Saleh Al-Fauzan, 2006: 545).

Secara etimologi diartikan sebagai janji kepada orang lain untuk

melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya atau setelah

meninggalkannya; aushaitu lahu au ilaih; aku memberikan pesan atau perintah

untuknya; berarti aku menjadikannya sebagai washi (pelaksana) yang akan

menguasai orang setelahnya (pihak penerima/ mushaa „alaih). Arti ini populer

dengan istilah kata wishaayah (Wahbah Az-Zuhaili, 2011: 154-155).

Sedangkan menurut syar‟i adalah pemberian seseorang untuk orang lain,

berupa barang, piutang, atau sesuatu yang bermanfa‟at, agar si penerima wasiat

menjadi pemilik pemberian tersebut sepeninggalan si pemberi wasiat.

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa wasiat adalah mendermakan

kepemilikan setelah si pemberi wasiat meninggal (Sayyid Sabiq, 2017: 951).

Washiyyat, ialah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang kan

dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Jelasnya pengelolaan terhadap

yang jadi objek wasiat, berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal.

Menurut asal hukum, wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan

dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam

sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim (Teungku

Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, 1997: 300).

Wasiat juga merupakan penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang

kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga

pemilik harta meninggal dunia (Ali Parman, 1995: 99).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wasiat

adalah kepemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat

meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru‟.

Memberikan haknya kepada seseorang untuk memiliki sesuatu baik merupakan

kebendaan atau manfaat secara suka rela yang ditangguhkan sampai terjadinya

kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.

Dasar Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendekatkan diri

kepada Allah SWT pada akhir kehidupan seseorang angar kebaikannya bertambah,

karena dalam wasiat terdapat kebaikan. Karena yang bersedekah pada saat hidup

saja merupakan kebaikan, maka bersedekah setelah ia meninggal juga termasuk

kebaikan.

Kata wasiat dalam Al-Qur‟an disebutkan sembilan kali, dan kata lain yang

seakar disebut dua puluh lima kali. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur‟an yang

menjadi dasar hukum wasiat yaitu:

Page 6: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

187 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Surah Al-Baqarah 180

.

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat

untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban

atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah 180).

Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang dalam keadaan mardh

al-mawt dan mempunyai harta yang berlebih, maka dianjurkan untuk berwasiat

terhadap kerabat-kerabatnya yang sangat membutuhkan. Disisi lain bagi pihak yang

mendengarkan atau menerima wasiat, diharuskan bersikap jujur dan adil. Oleh

krena jika orang-orang tersebut dengan sengaja mengubah isi wasiat, maka hal ini

akan menghalangi tercapainya maksud baik dari pewasiat dan akan menanggung

dosa atas perbuatannya tersebut. Ayat ini mewajibkan kepada orang-orang yang

menyadari kedatangan tanda-tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang

ditinggalkan berkaitan dengan hartanya dengan catatan apabila harta tersebut

banyak (M. Quraish Shihab, 2002: 261).

Surah An-Nisa‟ ayat 11

.

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian

dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari

dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk

dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),

Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

Page 7: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 188

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa‟ ayat 11).

Ayat-ayat yang lalu merupakan pedahuluan tentang ketentuan memberi

kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat

laki-laki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu bapak dan kerabat

yang akan diatur Allah Tuhan yang mahatinggi. Ayat ini memerinci ketetapan-

ketetapan tersebut dengan menyatakan bahwa Allah mewasiatkan kamu, yakni

mensyariatkan menyangkut pembagian pusaka untuk anak-anak kamu, yang

perempuan maupun laki-laki, dewasa maupun anak-anak.

Surah An-Nisaa‟ ayat 12

.

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika

isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari

harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat

atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat

harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu

mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki

maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan

anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau

seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari

kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu

itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.(Q.S. An-Nisa‟

ayat 12).

Page 8: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

189 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Ayat pertama menunjukkan diisyaratkannya wasiat untuk para kerabat, dan

dua ayat terakhir menjadikan warisan sebagai hak yang pelaksanaanya diakhirkan

setelah pelaksaan wasiat dan pembayaran hutang, namun pembayaran hutang juga

didahulukan sebelum pelaksanaan wasiat.

Berdasarkan uraiannya secara syar‟i dari sisi ia harus dikerjakan atau harus

ditinggalkan. Para ulama berpendapat mengenai wasiat menjadi beberapa pendapat.

Globalnya adalah sebagai berikut:

Pendapat pertama: wasiat diwajibkan bagi setiap orang yang meninggalkan

harta, sedikit ataupun banyak. Pendapat ini dinyatakan oleh Az-Zuhri dan Abu

Mijlaz. Ibnu Hazm juga sependapat dengan ini. Riwayat lain dari Ibnu Umar,

Thalhah, Az-Zubair, Abdullah bin Abi Aufa, Thalhah bin Muththarif, Thawus,

serta Asy-Sya‟bi menyatakan bahwa wasiat adalah wajib. Asy-Sya‟bi berkata, “ini

merupakan perkataan Abu Sulaiman dan Seluruh Sahabat kami.” Mereka berdalil

dengan firman Allah surah Al-Baqarah 180 yang telah disebutkan di atas.

Pendapat kedua: wasiat wajib bagi kedua orang tua dan kerabat yang tidak

mewarisi dari mayit. Ini pendapat Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir, Az-

Zuhri.Pendapat ketiga: yaitu pendapat empat Imam dan pendapat madzhab

Zaidiyah bahwa hukum wasiat berbeda-beda sesuai keadaan. Bisa wajib, sunnah,

haram, makruh, atau mubah (Sulaiman Al-Faifi, 2017: 952).

Rukun Wasiat

Dalam Hukum Islam syarat-syarat wasiat mengikuti rukun-rukunnya.

Apabila salah satu rukun wasiat tidap dapat dipenuhi maka wasiat tidak akan bisa

dilaksanakan, begitupula apabila salah satu dari wasiat tersebut tidak terpenuhi

maka wasiat bisa dinyatakan tidak sah.

Para ahli hukum berselisih tentang rukun dan syarat-syarat wasiat

sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak

syara‟. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan

dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Berbeda dengan pendapat

ulama Hanafiyah rukun wasiat itu hanya satu yaitu ijab dan qabul.

Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh Al-Mazdahib Al- Arba‟ah

menjelaskan rukun wasiat: “Rukun wasiat terdiri dari empat komponen yaitu orang

yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan

sighat.” (Abdurrahman al-Jaziri, tt: 231). Demikian pula menurut Muhammad

Jawad Mughniyah dalam kitab fiqh lima mazhab menjelaskan tentang rukun

wasiat: “Rukun wasiat terdiri dari empat yaitu: sighat, orang yang berwasiat,

orang yang menerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.”( Muhammad Jawad

Mughniyah, 1964: 178).

Jumhur ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu Mushii (pihak

pembuat wasiat), Mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih (sesuatu/barang yang

diwasiatkan) dan sighat (ucapan serah terima) (Wahbah az-Zuhaili, 161). Dari

keempat rukun di atas masing-masing memiliki syarat yang harus dipenuhi

Page 9: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 190

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun

wasiat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Redaksi wasiat (Shighat)

Shighat wasiat ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau

dinyatakan oleh seseorang yang akan berwasiat dan atau penerima

wasiat. Shighat wasiatsendiri terdiri dari ”ijab” dan q”qabul”. Ijab ialah

kata-kata atau pernyataan yang diucapkan oleh yang berwasiat,

sedangkan qabul ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan oleh

seseorang yang akan menerima wasiat sebagai tanda penerimaan dan

persetujuannya.

2. Pemberi wasiat (mushiy)

Orang yang berwasiat ialah setiap orang yang memiliki barang yang

akan diwasiatkan secara sah dan tidak ada paksaan. Setiap orang yang

berkecukupan harta boleh mewasiatkan sebagian dari hartanya selama

tidak merugikan ahli waris dan orang yang dipaksa untuk berwasiat atau

tidak sengaja dalam berwasiat, maka wasiatnya tidak sah.

3. Penerima Wasiat (muhan lah)

Ulama Syafi-iyyah sepakat bahwa orang yang menerima wasiat

adalah orang yang tidak masuk dalam golongan ahli waris.

Akan tetapi, apabila wasiat diberikan kepada ahli waris maka harus

dengan persetujuan dari semua ahli waris yang bersangkutan. Oleh

sebab itu jika ahli waris yang lain menyetujui, maka wasiat tersebut

diperbolehkan. Izin dari pihak ahli waris yang sangat diperlukan karena,

harta yang telah diwariskan adalah harta orang yang telah meninggal

dunia dan merupakan hak mereka bersama, yang harus dibagi sesuai

ketentuan Hukum Islam. Maka, apabila ahli waris yang lain tersebut

telah rela hak mereka dikurangi sesuai dengan jumlah yang telah

diwasiatkan orang yang telah meninggal, barulah wasiat dapat

dilaksanakan (Muhammad Jawad Mughniyah, 2004: 504).

4. Barang yang diwasiatkan

Semua Imam Mazhab sepakat bahwa barang yang diwasiatkan harus

bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaanya. Sehingga tidak

sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasannya tidak bisa dimiliki,

seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar‟i, seperti

minuman keras, jika si pemberi wasiat seorang muslim. Sebab wasiat

identik dengan kepemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan,

berarti tidak ada wasit. Begitu juga sah mewasiatkan buah-buahan di

kebun tahun tertentu ataupun untuk selamanya.

Syarat Berwasiat

a) Syarat-syarat wasiat antara lain:

1. Baligh (dewasa)

2. Orang yang berakal

Page 10: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

191 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

3. Orang nerdeka (bukan hamba sahaya)

4. Amanah

Orang yang berwasiat hendaknya memenuhi empat kriteria di atas sehingga

wasiat dapat terlaksana, namun apabila dia seorang kafir harbi atau kafir yang

lainnya (dzimmy) maka wasiatnya dapat di terima selama ia bukan budak, akan

tetapi apabila yang berwasiat itu seorang hamba sahaya (budak) kemudian sebelum

meninggal ia merdeka atau orang yang mahjur karena bodoh (safih) maka di

anggap sah karena ia seorang mukallaf yang merdeka. Islam tidak menjadi syarat

bagi orang yang berwasiat sehingga sah wasiat seorang kafir (dzimmy dan harbi)(

Abi „Abdul Mu‟thi, 2005: 253).

Lebih lanjut lagi imam Sayyid Sabiq dalam kitabnya menjelaskan bahwa

syarat seorang mushiy(orang yang berwasiat) adalah: Baligh, berakal, berakal,

merdeka dan tidak adanya paksaan dari pihak lain. Akan tetapi apabila yang

berwasiat adalah seorang anak kecil atau orang gila atau seorang hamba maka

dianggap tidak sah wasiatnya. Sedangkan untuk orang yang menerima wasiat

(mushiy lahu) adalah orang yang bukan tujuan maksiat dan ia juga harus ikhlas

(menerima apa adanya) berdasarkan atas bunyi ketentuan wasiat yang dibuat oleh

seorang mushiy berdasarkan atas sesuatu yang diperbolehkan dalam agama, namun

apabila seorang kafir berwasiat kepada seorang hamba (budak) muslim dan orang

yang murtad maka tidak sah wasiatnya, akan tetapi didalam kitab-kitab yang lain

disebutkan bahwa para ulama salaf sepakat bahwa seorang musha lahu (yang

menerima wasiat) ketika ia murtad hingga ia meninggal maka hal tersebut dianggap

maksiat.

Semua mazhab sepakat bahwa wasiat seorang gila yang dibuat dalam

keadaan gila dan wasiat anak kecil yang belum mumayyiz, tidak sah. Tetapi

mereka berselisih pendapat mengenai wasiat anak kecil yang sudah mumayyiz.

Mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi‟i mengatakan wasiat anak umur sepuluh tahun

penuh diperbolehkan (jaiz).

Mazhab Hanafi mengatakan tidak boleh, kecuali jika wasiat itu

menyangkut persiapan kematian dan penguburannya. Seperti diketahui kedua

masalah ini tidak perlu adanya wasiat (Abi „Abdul Mu‟thi, 2005: 206).

b) Syarat-syarat si penerima wasiat:

Sasaran penerima menurut ketentuan al-Qur‟an adalah ibu-bapak

dan karib kerabat (QS. Al Baqarah (2): 180), tetapi penjabaran dari

sasaran wasiat itu merupakan lapangan ijtihad para ahli hukum (Sidik

Tono, 2012: 77.

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang-orang atau

badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris, ketentuan ini sejalan

dengan rumusan Pasal 171 huruf f dan Pasal 194 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia.

Mahzab empat sepakat akan tidak bolehnya wasiat untuk ahli

waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Mahzab

Imamiyah mengatakan: “Wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan

ahli waris dan tidak tergantung pada persetujuan para ahli waris lainnya,

sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.”

Page 11: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 192

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Di kalangan mazhab Hanafi syarat orang yang menerima wasiat (al

musha lah) harus:

a. Mempunyai keahlian memiliki, jadi tidak sah berwasiat kepada

orang yang tidak bisa memiliki.

b. Orang yang menerima wasiat itu masih hidup ketika

dilangsungkan ucapan wasiat, meskipun dalam perkiraan karena itu

bisa memasukkan wasiat kepada janin yang masih ada dalam

kandungan ibunya.

c. Yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap

orang yang berwasiat secara sengaja atau secara salah.

d. Orang yang diwasiati itu tidak disyariatkan harus orang Islam, oleh

karena itu sah saja wasiat orang muslim kepada kafir dzimmi.

e. Wasiat tersebut tidak ditujukan kepada orang yang murtad (Ahmad

Rofiq, 1997: 452- 453).

Batalnya Wasiat

Wasiat menjadi batal jika salah satu syarat yang telah tersebut diatas

tidak ada. Ia juga batal, jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. jika orang yang berwasiat mengidap penyakit gila hinggga berakhir

pada kematian.

2. Jika si penerima wasiat meninggal dunia sebelum si pemberi wasiat.

3. Jika harta yang diwasiatkan tersebut hancur sebelum si penerima

sempatmenerimanya.

4. Wasiat batal karena persyaratan keterikatan wasiat, seperti

keterangan yang telah dikemukakan ialah adanya qabul wasiat

setelah mushi meninggal. Jadi, apabila qabul tida dapat diwujudkan,

wasiat hukumnya batal.

5. Sedangkan apabila musha lah meninggal setelah mushi meninggal,

dan sebelum qabul wasiat dari pihak musha lah, ahli waris musha la

boleh menerima atau menolak wasiat itu. Apabila pewasiat ialah

penguasa.

6. penarikan wasiat. Apabila seseorang berwasiat suatu

barang,kemudian di pertengahan masa hidupnya dia menarik wasiat

itu, misalnya dia berkata,” saya menghilangkan wasiat atau

membatalkan wasiat,” maka penarikan wasiat itu sah, dan wasiat

pun batal.

Macam-macam Wasiat

a. Wajib

Hukum wasiat menjadi wajib sekiranya terdapat tanggung-jawab syar‟i

yang harus dilaksanakan kepada Allah swt dan manusia yang harus

dilaksanakan, sedemikian sehingga khawatir jika tidak diwasiatkan hal

itu tidak sampai kepada yang berhak. seperti zakat dan haji dan dia

bimbang harta ini akan habis sekiranya tidak diwasiatkan. Contohnya

Page 12: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

193 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

seperti wasiat untuk mengembalikan barang titipan dan utang yang

tidak diketahui dan tanpa suat, atau wasiat akan kewajiban-kewajiban

yang menjadi tanggungan sepert zakat, haji, kafarat, fidyah puasa,

fidyah shalat, dan sejenisnya. Hukum ini telah disepakati.

b. Mustahab

Wasiat hukumnya mustahab (sangat dianjurkan) dalam perbuatan

takarrub (pendekatan diri kepada Allah swt) iaitu dengan mewasiatkan

sebagian dari harta yang ditinggalkan untk diberikan kepada para

sanak-kerabat yang miskin (terutama yang tidak akan menerima

bahagian harta warisan). Atau orang-orang shaleh yang memerlukan,

atau hal-hal yang berguna bagi masyarakat, seperti pembangunan

lembaga pndidikan, kesehatatan sosial dan sebagainya. Contohnya

seperti wasiat kepada para kerabat ynag bukan ahli waris, dan wasiat

yang ditunjukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan dan untuk

orang-orang yang membutuhkan. Orang yang meninggalkan kebaikan

(memiliki harta yang banyak; menurut adat) disunnahkan menjadikan

seperlima hartanya untuk orang-orang fakir yang dekat, jika tidak ada,

maka untuk orang-orang miskin dan orang-orang alim agamis.

c. Haram

Hukum wasiat menjadi haram menurut syara‟ jika dia

mewasiatkan perkara yang diharamkan melakukannya seperti

mewasiatkan arak, atau mewasiatkan sesuatu yang boleh mencemar

akhlak masyarakat. Selain haram wasiat sebegini tidak boleh

dilaksanakan. Antara wasiat yang diharamkan ialah wasiat yang

bertujuan menyusahkan ahli waris dan menghalang mereka

daripada menerima bagian yang di tetapkan oleh syarak. Allah

melarang wasiat yang bertujuan menyusahkan (memudharatkan)

orang lain, firman Allah swt: Maksudnya: Wasiat-wasiat tersebut

hendaknya tidak mendatangkan mudharat (kepada waris-waris). (setiap

satu hukum itu) ialah ketetapan dari Allah swt. Dan ingatlah Allah

maha mengetahui lagi maha penyabar.

d. Harus (Mubah)

Hukum wasiat menjadi harus (mubah) sekiranya wasiat

ditujukan untuk sahabat atau orang kaya yang mana mereka bukan dari

golongan yang berilmu dan shaleh. Jika wasiat bertujuan baik dan

bertujuan untuk menghubungkan silaturahmi maka wasiat ini dia

anggap sunat kerana ia bertujuan mentaati Allah swt. Contohnya seperti

wasiat yang ditujukan untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain atau

para kerabat sendiri. Wasiat untuk mereka ini boleh.

Page 13: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 194

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

e. Makruh

Wasiat adalah makruh sekiranya pewasiat seorang kurang berada

dan memiliki waris-waris yang miskin serta memerlukan harta. Wasiat

juga makruh sekiranya diberikan kepada orang yang fasik dan jahat

serta pewasiat merasakan kemungkinan besar harta ini akan digunakan

kearah kejahatan. Contohnya seperti wasiat yang ditujukan untuk ahli

fasik dan maksiat. Wasiat secara mufakat dimakruhkan bagi orang fakir

yang memiliki ahli waris, kecuali bila ahli waris dalam keadaan kaya,

maka wasiat berhukum dimubahkan.

Ulama Syafi‟iyah mengategorikan beberapa hukum wasiat ditinjau dari

jenis wasiatnya. Beberapa hukum tersebut adalah:

a. Wasiat yang diwajibkan (wasiat wajibah)

Suatu wasiat harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki

tanggungan tersebut tetap menjadi hak orang yang memberi titipan atau

memberi hutang (kreditur) sekali pun pihak yang diberi titipan atau

hutang telah meninggal. Sehingga menjadi kewajiban ahli waris atau

penerima wasiatnya untuk menunaikan kewajiban mengembalikan hak

tersebut kepada pihak kreditur.

b. Wasiat yang diharamkan.

Diharamkan untuk mewasiatkan kepada seseorang yang memiliki

mental perusak. Sehingga jika orang tersebut diamanahi sebuah

tanggungan harta wasiat, maka dikuatirkan akan dirusaknya.

c. Wasiat yang dimakruhkan

Wasiat yang dimakruhkan adalah wasiat yang melebihi batas

maksimal dari harta yang dimiliki oleh pewasiat, yaitu sebanyak 1/3

dari keseluruhan harta yang dimiliki pewasiat. Disamping itu,

dimakruhkan pula seseorang memberi wasiat kepada ahli warisnya

sendiri.

d. Wasiat yang disunnahkan (sunnah muakad)

Jika suatu wasiat dilakukan dengan cara memenuhi semua syarat

yang telah ditentukan dan tidak tergolong wasiat yang diwajibkan,

diharamkan, atau dimakruhkan, maka wasiat tersebut dikategorikan

sebagai wasiat yang di sunnahkan. Termasuk dalam hukum ini pula

adalah wasiat terhadap fakir miskin dan sebagainya. Wasiat

mempunyai hukum sunnah jika ia berwasiat untuk menafkahkan

sebagian kepadanya setelah ia meninggal dunia (Saleh Al-Fauzan:.

447).

HASIL PENELITIAN

Biografi Wahbah Az-Zuhaili

Wahbah Az-Zuhaili lahir di Dir „Athiyah, terletak di kawasan al-

Qalmun yang merupakan privinsi an-Nabak di Damaskus. Jaraknya sekitar 89 Km

dari ibukota Damaskus menuju arah Hims. Ulama yang memiliki nama lengkap

Page 14: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

195 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Wahbah bin Syekh Musthafa al-Zuhaili Abu Ubadah ini lahir pada tahun 1351

Hijriyah bertepatan dengan 6 Maret 1932 Masehi. Ayahnya seorang ulama besar

bernama Musthafa az-Zihaili dan bekerja sebagai petani sekaligus pedagang yang

hafal Al-Qur‟an pencinta Al-Sunnah yang peduli terhadap kehidupan sosial dan

agama (Saiful Amin Ghofur, 2008: 174). Ibunya bernama Fatimah binti Musthafa

Sa‟dah juga dikenal sebagai sosok yang berpegang teguh pada ajaran agama.

Ayahnya wafat pada hari jumat 13 Jumadil awal 1395 H. bertepatan dengan 23

Maret 1975 M. Sedangkan sang ibu wafat pada tanggal 11 Jumadil Akhir

1404 H. bertepatan dengan 13 Maret 1984 M (Badi‟ as-Sayyid, 2010: 34).

Lazimnya keluarga muslim, sejak dini Wahbah az-Zuhail belajar membaca

dan menghafal Alquran. Beliau tergolong anak yang cerdas, sehingga dapat

menguasai pelajaran dalam waktu yang relatif singkat. Orantuanya

mendatangkan guru Alquran khusus seorang mu‟allimah hafizhah dari keluarga

Qathmah.

Wahbah Zuhaili mengenal dasar-dasar agama Islam pertama sekali di

bawah bimbingan ayahnya. Sewaktu kecil belajar di sekolah dasar dan menengah

di tanah kelahirannya. Kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Syar‟iyyah

Universitas Damaskus, selesai pada tahun 1953 M dengan peringkat pertama.

Kemudian mendapat peringkat kesarjanaan dari Fakultas Syar‟iyyah Universitas

Al-Azhar pada tahun 1956 M, lagi-lagi dengan peringkat pertama. Beliau juga

berhasil mendapatkan Ijazah pada bidang pendidikan dari fakultas Bahasa Arab

pada Universitas Al-Azhar. Kemudian mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas

Syar‟ah Universitas Damaskus tahun 1963 M diangkat sebagai pembantu dekan

pada fakultas yang sama. Jabatan dekan sekaligus ketua jurusan Fiqih al-Islami.

Dalam waktu yang relatif singkat dari masa pengangkatannya sebagai pembantu

dekan. Selanjutnya, wahbah Zuhaili dilantik sebagai guru besar dalam disiplin

hukum Islam pada salah satu Universitas di Suriah.

1. Pemikiran Wahbah az-Zuhaili

Wahbah az-Zuhaili dikenal sebagai sosok yang berakhlak mulia, tawaduk,

sungguh- sungguh serta bersemangat dalam mencapai cita-cita. Beliau

menghabiskan sekitar 16 jam dalam sehari untuk membaca dan menela‟ah

buku untuk kemudian dituangkan dalam tulisannya. Semboyan kehidupannya

adalah firman Allah Swt.: ....dan bertakwalah engkau kepada Allah, maka Allah

akan mengajarimu. Beliau juga sering memotivasi mahasiswanya dengan moto:

“Rahasia keberhasilan adalah dengan senantiasa menjalin hubungan baik

dengan Allah Swt.”

Wahbah az-Zuhaili adalah sosok ulama yang sangat benci dengan

sikap ta‟assub mazhabi (fanatik mazhab). Hal itu mungkin perlu kita

garisbawahi, karena hal tersebut merupakan pengakuan dari seorang muridnya

sendiri bernama Badi‟ as-Sayyid al- Lahham. Beliau merupakan ulama

berpandangan serta memiliki pemikiran yang luas. Hal ini dapat terlihat dari

kitab-kitab buah karyanya. Meskipun banyak mengarang kitab-kitab fiqh, tapi

beliau tidak menyandarkan diri dan terlalu fanatik terhadap salah satu mazhab. Hal

Page 15: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 196

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

ini tampak terlihat pada salah satu kitab karangan beliau yang cukup

fenomenal, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu yang terdiri dari 10 jilid. Wahbah az-

Zuhaili memaparkan pendapat masing-masing ulama di kalangan mazhab tentang

masalah fiqh berikut dengan dalil-dalilnya secara sistematis tanpa memihak ke

salah satu pendapat manapun. Kalaupun Wahbah terkesan sependapat dalam satu

masalah dengan salah satu ulama mazhab, hal itu dilakukan karena kekuatan

dalil dari ulama tersebut. Bukan karena ta‟assub mazhab.

2. Karya-karya Wahbah az-Zuhaili

Wahbah az-Zuhaili merupakan ulama yang paling produktif dalam

melahirkan tulisan- tulisan, baik yang berjilid-jilid hingga mencapai 10.000

halaman maupun berupa makalah atau artikel singkat yang berkisar sekitar tiga

puluhan halaman. Beliau menjadikan kegiatan tulis menulis sebagai bagian yang

terbesar dan tak terpisahkan dalam hidupnya. Hal itu tercermin dari perkataan

beliau pada pengantar kitab al-Fiqh al-Hanbali al-Muyassar yang dikutip salah

seorang muridnya Badi‟ as-Sayyid al-Lahham:

“.............Saya merasakan kebahagiaan terindah dalam dunia tulis

menulis dan meyakini bahwa hal tersebut merupakan amalan yang paling

jelas ibadah ruhaniyahnya. Sesungguhnya menyibukkan diri dengan ilmu

dan pembahasan fikih merupakan jalan ibadah yang benar guna mencapai

ridha Allah Swt.”

Al-Laiizam bahkan merasa tidak berlebihan ketika menyamakan

gurunya tersebut dengan al-Imam as-Suyuti dari sisi produktif dalam menulis.

Hingga saat ini, paling tidak Wahbah az-Zuhaili telah menelurkan lebih dari 130

kitab dan artikel yang telah dicetak. Berikut ini akan coba penulis tulis

secukupnya:

a. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami- Dirasat Muqarannah , (Dar Al-Fikr,

Damsyiq, 1963)

b. Al-Wasir fi Usul Al-Fiqh, (Universiti Damsyiq, 1966)

c. Al-Fiqh al_Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadisthah, (Damsyiq,

1967)

d. Nazariat al-Darurat alSyar;iyyah, Maktabah al-Farabi, (Damsyiq,

1969)

e. Al-Alaaqat a-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, (Beirut,

1981)

f. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), (Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984)

g. Usul al_fiqh al-Islami (Dar al-Fikr, Damsyiq, 1986)

h. Fiqh al_mawaris fi al-Shari “at al-Islamiah, (Dar al-Fikr, Damsyiq

1987)

i. Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, (dar al-Fikr, Damsyiq 197)

j. Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa As-Syari‟at Wa al-Manhaj, (16

jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1999)

k. Al-Qisah al-Qur‟aniyyah Hidayah wa Bayan, (Dar Khair, Damsyiq

1992) dan lain sebagainya.

Page 16: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

197 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Tentang Wasiat Honorarium

Menurut wahbah Az-zuhaili wasiat honoraium itu adalah wasiat yang

berupa benda yang diberikan kepada seseorang dengan cara berangsur-angsur dari

harta yang telah diwasiatkan oleh pewasiat.

Wasiat ini sangat perlu untuk saat sekarang ini,karna banyak orang yang

tidak bisa menjaga hartanya disebabkan gaya hidup yang boros tidak mengelola

hartanya dengan baik. Oleh karna itu wasiat ini sangat membantu terselamatkan

harta seseorang dan tentunya semua Wasiat dengan bertujuan memberikan

mamfaat dan sebagainya.

Wasiat ini Para ulama fiqih golongan Malikiyyah, Hanafiyah, dan

Syafi‟iyyah memperbolehkan wasiat yang berupa honorarium yang berasal dari

pokok harta peninggalan mayit, dan jenis ini masuk dalam wasiat berupa benda dan

jasa yang dapat diambil nilai manfaatnya. Karena, ia merupakan wasiat akan

ukuran tertentu dari harta peninggalan yang mana pemberiannya dilakukan dengan

cara angsuran baik itu tahunan, bulanan, atau harian. Karenanya, ia tidak berbeda

dengan wasiat yang berupa harta dengan ukuran tertentu. Hanya, diberikan dengan

menggunakan sistem angsuran.

Hukumnya boleh, wasiat yang berupa honorarium yang berasal dari

pendapatan yang dihasilkan harta peninggalan si mayit, yang berarti dilihat dari

segi wasiat nilai guna, karena ia merupakan wasiat satu bagian dari hasil

pendapatan beberapa benda.

Contoh wasiat berupa Honorarium yaitu misalnya ketika si mayit

meninggal dan meninggalkan harta berupa benda baik itu bangunan, atau pun

sebuah lembaga yang dapat memberikan nilai manfaat maka hasil yang diperoleh

dari harta yang ditinggalkan kemudian akan diberikan kepada si penerima wasiat

secara berangsur-angsur sesuai kesepakatan dalam jangka waktu tertentu dalam hal

ini menurut Wahbah Az-Zuhaili tidak boleh melebihi daripada dua generasi dan

jika ia berupa uang maka ia akan dibekukan selanjutnya akan diberikan secara

berangsur baik itu perbulan atau pun pertahun dan sebagainya sesuai dengan yang

telah diwasiatkan.

Harus diperhatikan yaitu sekiranya mengira-ngirakan ukuran wasiat agar

bisa diketahui perbandingannya dari harta peninggalan mayit. Jika masih dalam

kadar sepertiga harta maka wasiat dibenarkan. Dan jika lebih dari sepertiga maka

wasiat masih bergantung kepada izin dari ahli waris.

Wahbah az-zuhaili, ulama kontemporer abad ini juga menyebutkan

pendapat yang sama dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu menyebutkan bahwa

wasiat Pelaksanaan wasiat honorarium berbeda-beda, tergantung pada waktunya,

yaitu untuk jangka waktu tertentu, atau untuk seumur hidup.

a. Wasiat honorarium untuk jangka waktu tertentu, menurut jumhur

ulama golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah, sepertiga harta si

mayit ditahan (dibekukan). Kemudian dari harta peninggalan beserta

hasilnya, setiap bulan akan diambil sesuai dengan ukuran yang

Page 17: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 198

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

dijelaskan oleh mushii, meski sepertiga ini melebihi batas wasiat

mushii.

b. Jika wasiat honorarium untuk masa waktu seumur hidup dilihat dari

segi ukuran dan pelaksanaannya, jenis ini juga sama seperti wasiat

honorarium untuk jangka waktu tertentu. Menurut Imam Malik dan

Abu Yusuf, masa seumur hidup mushaa lah dikira-kirakan dengan

usia pada umumnya orang-orang yang sekurun dengannya, lalu dari

sepertiga harta, yang dibekukan hanya bagian secukupnya untuk

biaya masa tersebut.

c. Wahbah az-zuhaili menyebutkan istilah di dalam Fiqh al-Islam wa

Adillatuhu bahwa wasiat honorarium adalah wasiat bilmartabaat

yang artinya wasiat yang diberikan secara angsuran,wasiat

honorarium berbeda-beda pelaksanaannya, tergantung pada

waktunya, yaitu untuk jangka waktu tertentu, atau untuk seumur

hidup. Namun, yang membedakan wasiat honorarium ini dengan

bentuk wasiat lainnya terletak pada cara pemberian yang dilakukan

secara berangsur-angsur sedangkan hartanya tetap sama yaitu

berasal dari harta pokok si pewasiat.

d. Untuk perihal wasiat honorarium Wahbah Az-Zuhaili menggunakan

metode istimbat hukum maqasid syari‟ah (Dharuriyat) yaitu

kepentingan untuk memelihara harta. Dalam hal ini pemeliharaan

harta si pewasiat yang akan diwasiatkan kepada penerimanya harus

dapat dipastikan sampai untuk yang berhak. Pemberian wasiat

secara berangsur-angsur dilakukan agar harta yang diwasiatkan

dapat membawa manfaat untuk jangka waktu yang lama sehingga

tidak sia-sia. Dan juga pemberian wasiat dengan jalan angsuran

sering terjadi dalam kasus si penerima wasiat yang masih berada

dibawah umur yang mana ia tidak dapat menggunakan hartanya

secara baik, maka oleh sebab itu untuk menghindari pemanfaatan

dari pihak lain jalan terbaik adalah dengan angsuran sesuai

kebutuhan si penerima wasiat namun tidak melebihi dari sepertiga

harta yang dimiliki keseluruhan si pewasiat tentunya.

Metode Istimbat Hukum Wahbah Az-Zuhaili Tentang Wasiat Honorarium

Untuk perihal wasiat honorarium Wahbah Az-Zuhaili menggunakan metode

istimbat hukum maqasid syari‟ah (Dharuriyat) yaitu kepentingan untuk memelihara

harta. Dalam hal ini pemeliharaan harta si pewasiat yang akan diwasiatkan kepada

penerimanya harus dapat dipastikan sampai untuk yang berhak. Pemberian wasiat

secara berangsur-angsur dilakukan agar harta yang diwasiatkan dapat membawa

manfaat untuk jangka waktu yang lama sehingga tidak sia-sia. Dan juga pemberian

wasiat dengan jalan angsuran sering terjadi dalam kasus si penerima wasiat yang

masih berada dibawah umur yang mana ia tidak dapat menggunakan hartanya

secara baik, maka oleh sebab itu untuk menghindari pemanfaatan dari pihak lain

Page 18: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

199 | Zaiyad Zubaidi dan Muhammad Yanis

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

jalan terbaik adalah dengan angsuran sesuai kebutuhan si penerima wasiat namun

tidak melebihi dari sepertiga harta yang dimiliki keseluruhan si pewasiat tentunya.

Dalam hal mengambil hukum terhadap wasiat honorarium wahbah az-zuhaili

tidak menyebutkan dalil secara khusus didalam kitabnya akan tetapi patokan wasiat

tidak boleh melebihi dari pada satu pertiga apabila lebih harus ada izin dari pihak

ahli waris.

KESIMPULAN

1. Wahbah az-zuhaili menyebutkan istilah di dalam Fiqh al-Islam wa

Adillatuhu bahwa wasiat honorarium adalah wasiat bilmartabaat yang

artinya wasiat yang diberikan secara angsuran,wasiat honorarium berbeda-

beda pelaksanaannya, tergantung pada waktunya, yaitu untuk jangka waktu

tertentu, atau untuk seumur hidup. Namun, yang membedakan wasiat

honorarium ini dengan bentuk wasiat lainnya terletak pada cara pemberian

yang dilakukan secara berangsur-angsur sedangkan hartanya tetap sama yaitu

berasal dari harta pokok si pewasiat.

2. Untuk perihal wasiat honorarium Wahbah Az-Zuhaili menggunakan metode

istimbat hukum maqasid syari‟ah (Dharuriyat) yaitu kepentingan untuk

memelihara harta. Dalam hal ini pemeliharaan harta si pewasiat yang akan

diwasiatkan kepada penerimanya harus dapat dipastikan sampai untuk yang

berhak. Pemberian wasiat secara berangsur-angsur dilakukan agar harta yang

diwasiatkan dapat membawa manfaat untuk jangka waktu yang lama

sehingga tidak sia-sia. Dan juga pemberian wasiat dengan jalan angsuran

sering terjadi dalam kasus si penerima wasiat yang masih berada dibawah

umur yang mana ia tidak dapat menggunakan hartanya secara baik, maka

oleh sebab itu untuk menghindari pemanfaatan dari pihak lain jalan terbaik

adalah dengan angsuran sesuai kebutuhan si penerima wasiat namun tidak

melebihi dari sepertiga harta yang dimiliki keseluruhan si pewasiat tentunya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj.Abu Usamah Fakhtur, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2007.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani,

dkk, Jakarta: Gema Insani, 2007.

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Cet. 4,

2001.

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Al-Jami‟ fii Fiqhi An-Nisa‟ Terjemahan M.

Abdul Ghoffar E.M, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukin, Jakarta:

Cakrawala Publising, 2009.

Page 19: Implementasi Wasiat “Honorarium Menurut Pandangan Wahbah ...

Implementasi Wasiat Berupa“Honorarium”Menurut Pandangan Wahbah…... | 200

Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa „Adillatuhu Jilid 10, Penerjemah Abdul

Hayyie al- Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Asy-Syarbul Mumti‟ Kitaabul Waqf

wal Hibah wal Washiyyah, Penerjemah Abu Hudzaifah, Lc, Panduan

Wakaf, Hibah dan Wasiat, Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2009.

Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta:Gema Insani, 2006.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,Jakarta: Gema Insani, 2011.

Sayyid Sabiq, Ringkasan Fikih Sunnah, Jakarta: Beirut Publishing, 2017.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Fiqh Mawaris, Semarang: Pt. Pustaka

Rizki Putra, 1997

Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Quran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati, 2002.

Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayidd Sabid, Jakarta: Beirut

Publishing, 2017.

Sayyid Sabiq, op. cit,

Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-'Arba‟ah. Juz II dan III, Beirut: Dar

alFikr, t.th.

Muhammad Jawad Mughniyah, Ahwal al Syahsiyah, Beirut: Daar al Ilm II

Milayani, 1964.

Abi „Abdul Mu‟thi Muhammad bin Umar, Nihayatu al-zain fi Irsyad al-Mutbtada

„in, Lebanon Dar al-Fikr, 2005.

Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit,

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan,

Jakarta Pusat: Kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat

Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1997.

Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur‟an,Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008.

Badi‟ as-Sayyid, Syeikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili-Ulama Karismatik

Kontemporer-Sebuah Biografi, Penerj. Ardiansyah, Bandung: Cita Pustaka

Media, 2010.