IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT AN- NISA’...
Transcript of IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT AN- NISA’...
i
IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT AN-
NISA’ AYAT 34 PADA MASYARAKAT DESA PASEKAN
KECAMATAN AMBARAWA KABUPAREN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
ACHMAD SAEFUDIN ZUHRI
NIM: 222-12-001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT AN-
NISA’ AYAT 34 PADA MASYARAKAT DESA PASEKAN
KECAMATAN AMBARAWA KABUPAREN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
ACHMAD SAEFUDIN ZUHRI
NIM: 222-12-001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
iv
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan arahan dan
koreksi, maka naskah sekripsi mahasiswa :
Nama : Achmad Saefudin Zuhri
NIM : 222-12-001
Judul : IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM
SURAT AN-NISA’ AYAT 34 PADA MASYARAKAT
DESA PASEKAN KECAMATAN AMBARAWA
KABUPATEN SEMARANG
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 13 September 2018
Pembimbing
Dr. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A
NIP. 19740104 200003 1 003
v
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. NakulaSadewo V No. 9 Tlpn. (0298) 3419400 SalatigaKodePos 50721
Website : http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT
34 PADA MASYARAKAT DESA PASEKAN KECAMATAN AMBARAWA
KABUPAREN SEMARANG
Oleh:
Achmad Saefudin Zuhri
222-12-001
telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Fakultas Syari‟ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Kamis, tanggal 20
September 2018 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
sarjana dalam hukum Islam.
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si. .........................
Sekretaris Sidang : Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. .........................
Penguji I : Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. .........................
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. .........................
Salatiga,1 Oktober 2018
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dr. Siti Zumrotun, M. Ag.
NIP: 19670115 199803 2 002
vi
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Achmad Saefudin Zuhri
NIM : 222-12-001
Jurusan : Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyyah)
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : IMPLEMENTASI HUKUM NUSYUZ DALAM SURAT
AN-NISA’ AYAT 34 PADA MASYARAKAT DESA
PASEKAN KECAMATAN AMBARAWA
KABUPATEN SEMARANG
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 13 September 2018
Yang menyatakan
Achmad Saefudin Zuhri
NIM : 222-12-001
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Sebagai manusia harus bisa mengerti tidak hanya ingin dimengerti
PERSEMBAHAN
Untuk Murobbil Jismi kedua orang tuaku,
Murobir ruhi semua Kyai, Dosen, guru yang telah mendidikku,
Sahabat-sahabat seperjuanganku,
Istriku tercinta yang selalu mendukungku,
dan anakku tersayang yang selalu menyemangatiku.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “
Implementasi Hukum Nusyuz Dalam Surat An-nisa‟ ayat 34 Pada Masyarakat
Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang” dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam semoga terus terlimpahkan kepada
Rasulullah SAW, para sahabat dan para pengikutnya yang setia. Dan semoga
kita layak mendapatkan syafa‟at Beliau kelak pada hari perhitungan amal.
Aaamiiin...
Skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.H.I., M.Si selaku Ketua Jurusan Hukum
Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyyah) IAIN Salatiga.
4. Bapak Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A selaku dosen pembimbing
skripsi.
5. Semua Civitas IAIN Salatiga.
6. Kedua orang tuaku yang senantiasa mendoakan perjuangan anaknya.
7. Semua guru-guruku yang telah membimbing dan mendidikku.
ix
8. Istri dan anakku tercinta yang selalu mendukung dan menyemangatiku.
9. Teman-temanku semua yang telah membantu dan mendukungku.
10. Semua pihak yang telah berjasa dalam menyelesaikan skripsi ini sampai
selesai.
Akhir kata, penulis mendoakan semoga semua pihak yang telah
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini selalu mendapat limpahan
rahmat, berkah dan hidayah Allah SWT. Semoga penulis juga mendapatkan
ilmu yang bermanfa‟at, barokah dunia sampai akhirat. Aaamiin...
Salatiga, 13 September 2018
Penulis
Achmad Saefudin Zuhri
NIM : 222-12-001
x
ABSTRAK
Zuhri, Achmad Saefudin. 2018, Implementasi Hukum Nusyuz Dalam Surat
An-Nisa‟ Ayat 34 Pada Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan
Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing : Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc, MA.
Kata Kunci : implementasi hukum nusyuz, surat an-nisa‟ ayat 34
Masyarakat yang kurang begitu mengetahui dengan istilah hukum nusyuz,
implementasi dan penyelesainnya secara otomatis juga tidak mengacu
terhadap Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 34. Seperti terjadi di Desa Pasekan
Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang bahwa masih banyak masyarakat
yang belum memahami tentang nusyuz sehingga banyak terjadi perselisihan di
dalam rumah tangga akan tetapi tidak disadari bahwa hal itu adalah nusyuz.
Ketertarikan peneliti bermula ketika melihat dan mengamati masyarakat
sehingga muncul pemikiran banyak orang mengamati hukumnya tapi tidak
sampai dalam memikirkan penerapan hukumnya. Pertanyaan yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana pemahaman, penerapan,
penyelesaian hukum nusyuz dan penyebab terjadinya nusyuz dimasyarakat
Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif interaktif yaitu merupakan study yang mendalam menggunakan
teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan alamiahnya.
Peneliti menginterpretasikan bagaimana orang mencari makna daripadanya.
Peneliti melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara (interview).
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya
tidak memahami akan istilah hukum nusyuz, penerapan dan penyelesainnya
sehingga mereka dalam menyelesaikan nusyuz dengan cara mereka sendiri
bahkan banyak juga yang tidak menyadari kejadian nusyuz sehingga dianggap
hal biasa dan tidak ada upaya dalam menyelesaikannya. Faktor utamanya
kejadian nusyuz dikarenakan faktor ekonomi dan kurangnya pemahaman
agama islam.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................... iv
PENGESAHAN .......................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
ABSTRAK .......................................................................................x
DAFTAR ISI ..................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................7
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................7
D. Manfaat Penelitian .........................................................................7
E. Penegasan Istilah ...........................................................................8
F. Tinjauan Pustaka .........................................................................10
G. Metodologi Penelitian .................................................................12
1. Jenis Penelitian .....................................................................13
2. Pendekatan Penelitian ...........................................................15
3. Lokasi Penelitian ..................................................................17
xii
4. Sumber dan Jenis Data .........................................................17
5. Metode Pengumpulan Data ..................................................19
6. Metode Pengolahan Data ......................................................20
7. Metode Analisis Data ...........................................................21
H. Sistematika Pembahasan .............................................................22
BAB II. TINJAUAN HUKUM NUSYUZ MENURUT PARA AHLI DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Nusyuz .........................................................................................25
1. Pengertian Nusyuz .................................................................25
2. Dasar Hukum Nusyuz ...........................................................27
3. Bentuk-Bentuk Nusyuz .........................................................30
4. Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz .........................................34
5. Penyelesaian Nusyuz .............................................................36
B. Hak Suami Terhadap Istri Nusyuz ...............................................51
1. Hak Ditaati ............................................................................52
2. Hak memberi pelajaran .........................................................53
3. Hak Mencegah Nafkah .........................................................53
4. Hak Mentalak .......................................................................54
xiii
BAB III. DESKRIPSI DATA PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Semarang .....................................................................................56
1. Lokasi Penelitian ..................................................................56
2. Kondisi Wilayah Penelitian ..................................................56
a. Batas Wilayah ................................................................56
b. Luas Wilayah .................................................................57
3. Kondisi Masyarakat ..............................................................57
a. Jumlah Penduduk ...........................................................57
b. Etnis ...............................................................................58
c. Agama atau Aliran Kepercayaan ...................................58
d. Pendidikan ......................................................................60
e. Kondisi Sosial Ekonomi.................................................61
B. Profil Informan ............................................................................61
C. Pemahaman Masyarakat Desa Pasekan Tentang Hukum Nusyuz
1. Tokoh Agama .......................................................................64
2. Tokoh Pemerintahan .............................................................65
3. Masyarakat Umum ...............................................................66
D. Faktor-Faktor Penyebab Nusyuz masyarakat Desa Pasekan
1. Tokoh Agama .......................................................................68
2. Tokoh Pemerintahan .............................................................69
3. Masyarakat Umum ...............................................................70
xiv
E. Penerapan dan Penyelesaian Hukum Nusyuz Masyarakat Desa
Pasekan
1. Tokoh Agama .......................................................................72
2. Tokoh Pemerintahan .............................................................74
3. Masyarakat Umum ...............................................................75
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Pemahaman Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Tentang
Hukum Nusyuz ...................................................................................78
1. Tokoh Agama ..............................................................................78
2. Tokoh Pemerinyahan ...................................................................79
3. Masyarakat Umum ......................................................................79
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz masyarakat Desa Pasekan
Kecamatan Amabarawa .....................................................................81
1. Tokoh Agama ..............................................................................81
2. Tokoh Pemerintahan ...................................................................81
3. Masyarakat Umum ......................................................................82
C. Penerapan dan Penyelesaian Hukum Nusyuz Masyarakat Desa Pasekan
Kecamatan Ambarawa .......................................................................83
1. Tokoh Agama ..............................................................................83
2. Tokoh Pemerintahan ...................................................................84
3. Masyarakat Umum ......................................................................84
4.
xv
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................86
B. Saran ..................................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................89
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu tahap paling penting dalam kehidupan
setiap muslim, karena hanya melalui perkawinan seseorang bisa dinilai
sah untuk memasuki kehidupan rumah tangga. Di samping itu perkawinan
juga merupakan langkah awal dalam membangun stabilitas sosial dalam
masyarakat. Ketika suatu pasangan mengikrarkan dirinya untuk sanggup
menempuh kehidupan rumah tangga maka keduanya telah memasuki
tahap kehidupan yang baru. Membangun mahligai rumah tangga berarti
menyatukan dua watak yang berbeda, bekerja sama untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani masing-masing, bersama-sama mentaati
perintah agama, dan bermasyarakat serta bernegara dengan baik. (Adhim,
1999: 129)
Untuk mencapai tahap perkawinan tidak hanya dibutuhkan
kematangan fisik saja, namun yang tidak kalah penting adalah kesiapan
mental terutama komitmen dalam mengemban tanggung jawab serta
kewajiban sebagai suami atau istri nantinya. Dengan demikian tampak
bahwa konsekuensi yang akan ditanggung oleh seseorang terlihat begitu
besar jika melakukan keteledoran dalam rumah tangganya. Sebaliknya,
jika hubungan perkawinan berjalan dengan harmonis, maka effective side
effect seperti tolong menolong akan didapat. (Adhim, 1999: 154)
2
Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam persoalan
rumah tangga, terutama berkenaan dengan rasa keadilan dan
penghormatan terhadap hak serta kewajiban suami-istri yang terbina
dalam struktur keluarga. Islam menyatakan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan setara derajatnya dihadapan Allah SWT. Hanya satu yang
menjadi pembeda di antara keduanya, yaitu kadar ketakwaan kepada
Allah SWT. Islam memerintahkan masing-masing suami istri untuk
memperlakukan pasangannya dengan baik dan penuh dengan kelembutan
. Islam menyeru para suami untuk melaksanakan hal tersebut dengan
pertimbangan bahwa ia adalah pemimpin dan pemilik wewenang untuk
menceraikan istri dengan wasiat yang indah dibawah ini. (Firdaus, 2011 :
264)
فيه خيرا كثيرا وعبشروهه ببلمعروف فإن كرهتمو هه فعسى أن تكرهوا شيئب ويجعل للا
91
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak” (QS. An-Nisa:19).
Namun demikian kenyataan seringkali menunjukkan bahwa
hubungan suami istri tidak selalu harmonis. Kadang-kadang suatu
pasangan gagal dalam menyelamatkan biduk rumah tangganya karena
menghadapi masalah yang dianggap berada di luar kemampuannya.
3
Kadang-kadang wanita mengabaikan hak Suaminya atau kurang
maksimal dalam melakukan kewajibannya terhadap rumah dan anak-
anaknya. (Mahmud, tt: 265) Hal seperti ini seringkali muncul karena
ketidak sanggupan dari salah satu pihak, bisa suami atau istri, untuk
melaksanakan kewajiban masing-masing. Apabila ketidaksanggupan itu
datang dari salah satu pihak saja, yakni dari pihak suami atau istri, maka
hal tersebut termanifestasi dalam sebuah perilaku yang disebut dengan
nusyuz. (Yahya, 2008: 30) Perilaku nusyuz merupakan persoalan awal
dalam rumah tangga sebelum menjalar kepada persoalan berikutnya yang
lebih parah, yaitu masalah syiqaq. Pada permasalahan nusyuz, sikap
mengacuhkan pasangan baru terjadi pada salah satu pihak suami atau istri.
(as-Sadlan, tt : 30)
Dalam QS An_nisa ayat 34 ada tiga tahap dalam penyelesaian nusyuz
. Yang berbunyi :
فقىا ي ا أ بعضهى عهى بعض وب م للا ا فض عهى انساء ب ايى جال قى انر
انحات قاتات حافظات أيىانهى فانص ا حفظ للا نهغيب ب فعظىه شىزه تي تخافى وانل
ضاجع واضربىه في ان عهياا واهجروه كا للا سبيلا إ أطعكى فل تبغىا عهيه فإ
ا ﴾٤٣:النساء﴿ كبيرا
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
4
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.”(QS. An-Nisa‟ : 34 )
Tahap Yang harus dilakukan dalam penyelesaian yang pertama yaitu
“Maka Nasehatilah Mereka” nasehatilah mereka apa saja yang Allah
wajibkan kepada mereka berupa pergaulan yang baik kepada suami, dan
pengakuan akan kedudukannya terhadap Istri. Sebagaimana Nabi SAW
bersabda yang artinya:
Jika aku dibolehkan memerintahkan untuk sujud kepada yang lain
pastilah aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Pengobatan yang tahap kedua yaitu :
“......... Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka.....”
Menurut Imam Al-Qurtubi ini pendapat yang bagus, karena apabila
suami berpaling dari ranjang istrinya (tidak menggaulinya), maka jika si
istri itu mencintai suaminya, hal itu akan membuat dia susah sehingga dia
akan kembali untuk berbaikan. Dan jika ia membencinya maka akan
5
muncul pertentangan dari istri, hingga bahwa akan Nampak penentangan
datang dari pihak istri. Adapun batas memisahkan diri dari istri itu
menurut ulama adalah satu bulan,(kadir, 2008 : 401) sebagaimana yang
dilakukan Nabi SAW ketika Nabi bercerita rahasia kepada Hafshah lalu ia
menyebarkannya kepada Aisyah lalu keduanya berdemonstrasi kepada
beliau. Dan tidak sampai pada waktu empat bulan yang Allah jadikan
sebagai batas orang yang melakukan Li‟an.
Pengobatan yang tahap terakhir adalah“dan pukullah mereka.”Allah
memerintahkan agar memulainya dengan Nasehat dahulu kemudian pisah
ranjang, bila belum berhasil maka pukullah, karena itulah yang dapat
memperbaikinya dan yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak
suaminya. (Imam, tt: 401) Sedangkan pukulan disini adalah pukulan
pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan, tidak mematahkan tulang
dan tidak menyebabkan luka seperi meninju dan yang semisalnya, karena
tujuannya untuk memperbaiki bukan untuk yang lain.
Pada era zaman sekarang yang semua serba canggih, dengan
penawaran Al-Qur‟an dalam menyelesaikan nusyuz banyak orang yang
mungkin tidak memperhatikan hal itu. Banyak penelitian tentang
hukumnya akan tetapi tidak memperhatikan bagaimana penerapan
hukumnya dimasyarakat, oleh karena itu peneliti memilih meneliti
penerapan hukumnya dibanding meneliti hukumnya. Peneliti memilih
mengadakan penelitian hal itu di Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa,
Kabupaten Semarang. Karena di Desa tersebut merupakan masyarakat
6
semi, artinya dikatakan Desa akan tetapi gaya hidup masyarakat sudah
seperti kehidupan kota walaupun keadaan Desa tersebut merupakan
pedesaan.
Atas dasar Latar Belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih
dalam tentang “Implementasi hukum nusyuz dalam surat An-nisa’
ayat 34 pada masyarakat desa Pasekan kecamatan Ambarawa
Kabupaten Semarang” .
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarlatar belakang masalah di atas, maka diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman hukum nusyuz dikalangan masyarakat desa
Pasekan Kecamatan Ambarawa?
2. Mengapa terjadi nusyuz dimasyarakat Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa?
3. Bagaimana penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz di masyarakat
Desa Pasekan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pemahaman masyarakat Desa Pasekan tentang hukum
nusyuz dalam surat an-nisa‟ ayat 34.
2. Mengetahui faktor penyebab terjadinya nusyuz di masyarakat Desa
Pasekan.
3. Mengetahui penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz di masyarakat
Desa Pasekan.
D. Manfa`at Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dilaksanakan adalah :
8
1. Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
keluarga, terutama persoalan yang menyangkut adab dalam berumah
tangga yang sesuai dengan hukum Fiqih dan hukum positif Indonesia.
2. Memberi kontribusi positif bagi umat Islam dalam upaya
mewujudkan tujuan nikah yaitu terbentuknya keluarga yang
harmonis.
E. Penegasan Istilah
1. Implementasi,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Implementasi adalah
pelaksanaan atau penerapan. Nurdin Usman berpendapat bahwa
implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi
suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.(
Usman, 2002 : 70 )
2. Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan
yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (koentjaraningrat, 2012
: 122). Sedangkan menurut Djojodiguno masyarakat adalah suatu
kebulatan daripada segala perkembangan dalam hidup bersama antar
manusia dengan manusia.
9
3. Hukum
Menurut Van Kan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang
bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam
masyarakat. Sedang pengertian hukum dalam islam yaitu secara
bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu, sedangkan menurut
istilah, ialah : “khittoh (titah) Allah, atau sabda Nabi Muhammad
yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik titah
itu mengandung tuntutan suruhan, larangan atau membolehkan
sesuatu atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau memperbolehkan
sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang
(mani‟) bagi sesuatu hukum” (Rivai, 1993 : 12)
4. Nusyus
Nusyuz adalah suatu tindakan bangkit melawan suami dengan
kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. (Azzam, 2009
: 128)
Kata Nusyuz dalam Kamus Bahasa Indonesia disamakan dengan
kata Nusyu yang artinya perbuatan tidak taat dan membangkang dari
seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan
oleh hukum. Nusyuz secara bahasa berasal dari Nasyazat-Nusyuzan
Almar‟atu ala Zaujiha artinya wanita mendurhakai suaminya.
Menurut istilah, nusyuz adalah pelanggaran yang dilakukan oleh
seorang istri terhadap kewajibannya yang ditetapkan oleh Allah agar
10
taat kepada suaminya. Sehingga istri seolah-olah menempatkan
dirinya lebih tinggi daripada suaminya padahal menurut biasanya dia
mengikuti atau mematuhi suaminya itu. Singkatnya ia telah durhaka
kepada suaminya.
Dalam Agama, perkataan nusyuz itu, dipakai laki-laki dan
wanita, yaitu kalau seorang lelaki berlaku kasar atau marah kepada
istrinya, sehingga tidak mau tidur bersama-sama, dinamakan laki-laki
itu nusyuz kepada istrinya.
F. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis meneliti tentang masalah ini, sebagai bahan acuan
dan perbandingan peneliti telah menemukan beberapa skripsi yang
berkaitan dengan dengan penulisan skripsi ini, antara lain berjudul :
1. Perlindungan Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004,
diteliti oleh Shofa Qonita. ( Mahasiswa UIN malang )
Hasil dari penelitian tersebut adalah kekerasan yang terjadi
Dalam masyarakat juga karena pemahaman yang salah terhadap suatu
ayat ataupun hadits seperti yang terdapat dalam surat Al-Nisa‟ ayat
34, yaitu : Wadzribuuhunna sering dijadikan alasan atau landasan
untuk melakukan kekerasan terhadap istri. Masih dalam ayat yang
sama lafadz qawwamun, yang berarti suami berkewajiban
mengayomi, memberi perhatian,dan melakukan pergaulan yang baik
11
terhadap istri atau pada sebagian masyarakat justru dimaknai sebagai
kekuasaan untuk melakukan kesewenang-wenangan terhadap istri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shofa Qonita, yaitu
bahwa upaya untuk menanggulangi masalah perlindungan kekerasan
dalam rumah tangga perspektif hukum Islam dan Undang-undang No.
23 Tahun 2004 dilihat dari jenis hukumnya. ( Qonita, 2005 )
2. Skripsi Dwi Meitayani yang berjudul “Konsep Nusyuz dalam
madzhab Syafi‟i Perspektif keadilan Gender”. Oleh Dwi Meitayani (
Mahasiswa STAIN Purwokerto ).
Hasil penelitian menunjukan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Prosedur penanganan nusyuz seorang istri tampak begitu diperhatikan
sementara cara menangani nusyuz suami terlampau sederhana.
Lahirnya pendapat Imam Syafi‟i terilhami oleh kondisi sosial budaya
masyarakat tempat Imam Syafi‟i menetap yang seperti kebanyakan
lingkungan sosial pada masa lalu memang menempatkan perempuan
pada posisi yang inferior bahkan marginal. ( Meitayani, 2005 )
3. Pandangan Imam Al Syafi‟i Tentang Nusyuz Dalam Perspektif
Gender, Oleh Imam Bagus Susanto ( Mahasiswa UIN Malang )
Tema dalam penelitian ini terfokus pada Pendapat Imam Syafi‟i
tentang Hukum Nusyuz Dalam Perspektif Gender, serta istinbat
hukum Imam Syafi‟i tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender. (
Susanto, 2012 : 61 )
12
4. Nusyuz Studi Komparatif Antara Imam Syafi‟i dan Amina Wadud,
oleh Husni Mubarok ( Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga )
Kesimpulan penelitian tersebut adalah Imam Syafi‟i dan Amina
Wadud sama-sama mengartikan nusyuz istri dari An nisa‟ ayat 34,
perbedaannya terletak pada ketentuan ketaatan Imam Syafi‟i
mengartikan kepatuhan sebagai kepatuhan total istri kepada suami.
Sedangkan Amina Wadud, mengartikan qanitat bukan sebagai
kepatuhan, apalagi dikaitkan dengan kepatuhan pada suami. Dalam
penyelesaian nusyuz pun mereka berbeda pendapat, hal ini karena
karakter intlektual fiqih mereka berbeda. Penelitian tersebut
menghasilkan perbandingan mengenai konsep nusyuz antara Imam
Syafi‟i dan Amina Wadud. ( Mubarok, 2009 )
Keempat skripsi diatas lebih jauh membahas tentang nusyuz,
perbedaan dengan skripsi ini adalah lebih memusatkan bagaimana
penerapan hukum nusyuz yang terkandung dalam QS. An-Nisa 34
dimasyarakat desa pasekan.
G. Metodologi Penelitian
Secara umum penelitian diartikan sebagai suatu proses pengumpulan
dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data
menggunakan metode-metode ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif
ataupun kualitatif, ekspremental atau non ekspremental, interaktif atau
13
non interaktif. Metode-metode tersebut telah dikembangkan secara
intensif, melalui uji coba sehingga telah memiliki prosedur yang baku.
Metode penelitian ada kalanya juga disebut “metodologi penelitian”
(sebenarnya kurang tepat tetapi banyak digunakan), dalam makna yang
lebih luas bisa berarti “disain” atau rancangan penelitian. Rancangan ini
berisi rumusan tentang objek atau subyek yang akan diteliti, teknik-teknik
pengumpulan data, prosedur pengumpulan dan analisis data berkenaan
dengan fokus masalah tertentu (Sukmadinata, 2005 : 5)
Pada dasarnya metode penelitian merupakan suatu cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010 :
2). Penelitian berangkat dari suatu permasalahan yang bertujuan menjadi
sistem kedisiplinan ilmu, yang pada umumnya tujuan penelitian bersifat
penemuan, pembuktian dan pengembangan. Sehingga permasalahan yang
digunakan dapat mempunyai kecocokan dengan metode penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian empiris atau
lapangan. Adapun pengertian dari penelitian empiris merupakan
penelitian yang pada awalnya adalah data skunder, untuk
kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer
dilapangan, atau terhadap masyarakat (Soekanto, 2006 : 52).
Penelitian hukum empiris juga menggunakan data skunder
sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data
primer atau data lapangan. Akibat dari jenis datanya (data
14
skunder dan data primer), maka alat pengumpul datanya terdiri
dari studi dokumen, pengamatan (observasi), dan wawancara
(interview) (Asikin, tt : 134)
Pada penelitian hukum empiris atau sosiologis selalu diawali
dengan studi dokumen, sedangkan pengamatan (observasi)
digunakan pada penelitian yang hendak mencatat atau
mendeskripsikan prilaku (hukum) masyarakat. Wawancara
(interview) digunakan pada penelitian yang mengetahui misalnya
: presepsi, kepercayaan motivasi, informasi, yang sangat pribadi
sifatnya. Penetapan sampling harus dilakukan, terutama jika
hendak meneliti prilaku (hukum) warga masyarakat dan
pengelolaan datanya dapat dilakukan baik secara kualitatif atau
kuantitatif.
Akhirnya, kegunaan penelitian hukum empiris adalah untuk
mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses
penegakan hukum (law enforcement). Karena penelitian jenis ini
dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada
dibalik pelaksanaan dan penegakan hukum. Di samping itu, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam penyusunan
suatu peraturan perundang-undangan (Asikin, tt : 135)
Penelitian Hukum Empiris mempunyai dua tujuan yang
pertama, menggambarkan dan mengungkap, dan kedua
menggambarkan dan menjelaskan. Kebanyakan penelitian
15
empiris memberikan penjelasan mengenai peristiwa dengan
mencari makna yang sesungguhnya dengan menurut persepsi
partisipan. Maka dengan hal ini peneliti bisa mengungkap fakta
yang sesungguhnya, berhubungan dengan implementasi atau
penerapan hukum nusyus dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 34
menurut masyarakat desa Pasekan kecamatan Ambarawa, dan
dapat mengetahui cara penyelesaian nusyuz dalam kehidupan
rumah tangga di Desa Pasekan.
2. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan dalam
penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang
ditujukan untuk mendiskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran
orang secara individual, maupun kelompok (Sukmadinata, 2005 :
60). Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-
prinsip dan penjelasan yang mengarah kepada penyimpulan.
Penelitian kualitatif bersifat induktif, peneliti membiarkan
permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan
terbuka untuk interpretasi. Data dihimpun dengan pengamatan
yang seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang
mendetail disertai catatan-catatan hasil wawancara yang
mendalam, serta hasil analisis dokumen dan catatan-catatan.
16
Penelitian Kualitatif memiliki dua tujuan utama, yaitu
pertama, menggambarkan dan mengungkap, dan yang kedua
menggambarkan dan menjelaska. Kebanyakan penelitian
kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatori. Beberapa penelitian
memberikan deskripsi tentang situasi yang kompleks, dan arah
bagi penelitian selanjutnya. Penelitian memberikan eksplanasi
(kejelasan) tentang hubungan antara peristiwa dengan makna
terutama menurut persepsi partisipan (Sukmadinata, 2005 : 60)
Pada pendekatan penelitian kualitatif ini, peneliti
menggunakan metode kualitatif interaktif. Metode kualitatif
interaktif merupakan studi yang mendalam menggunakan teknik
pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan
alamiahnya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana orang
mencari makna daripadanya.
Dengan pendekatan kualitatif tersebut, peneliti dapat
mendeskripsikan data dari hasil pengamatan dan penelitian yang
telah dilakukan di Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa
Kabupaten Semarang. Yaitu yang berhubungan dengan
permasalahan dalam hal pemahaman dan penerapan hukum
nusyuz yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 34
dan penyelesainnya pada masyarakat Desa Pasekan.
17
3. Lokasi Penelitian
Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan penelitian
ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substansi yaitu
pergilah dan jajahilah lapangan untuk melihat apakah terdapat
kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan (Moleong,
2002 : 86). Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti
merupakan di Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, kabupaten
semarang.
Adapun alasan pengambilan lokasi tersebut, dikarenakan di
Desa Pasekan kecamatan Ambarawa ditemukan banyak kejadian
yang dikategorikan nusyuz. Maka dengan hal ini peneliti bisa
mengungkap fakta yang sesungguhnya, berhubungan dengan
permasalahan dalam hal implementasi/penerapan hukum nusyuz
yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 34 serta
mengetahui pemahaman dan penyelesaian nusyus menurut
masyarakat Desa Pasekan dengan berbagai latar belakang
masyarakat.
4. Sumber dan Jenis Data
Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu
penelitian. Yang dimaksud dengan sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya
18
adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2002 :
157)
a. Data primer ini diperoleh dengan menggunakan metode
wawancara dengan sumber pertama tanpa perantara.
Dalam hal ini peniliti mewancarai tiga tipologi
masyarakat yaitu tokoh agama, tokoh pemerintahan dan
masyarakat biasa. Tokoh agama yaitu yang dilakukan
dengan orang yang berinisial UUB, UMS, UMN, UTJ,
UMR. Tokoh pemerintahan dengan orang yang berinisial
WA, PY, TS, BR, JS. Selanjutnya dari masyarakat biasa
yaitu dengan orang yang berinisial KD, MM, SY, SN,
AM.
b. Sumber data sekunder atau data tangan kedua adalah :
data yang diperoleh oleh peneliti dari subyek
penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data
dokumentasi atau data laporan yang sudah tersedia
(Azwar, 1998 : 91). Data sekunder adalah data yang
mendukung adanya data utama. Data sekunder dapat juga
diperoleh melalui literatur atau buku-buku yang berkaitan
dengan pokok pembahasan, diantaranya yaitu
perkawinan idaman, Syaikh Mahmud Al-Misri, Fiqh
Sunnah oleh Sayyid sabiq, dan buku-buku lain yang
berkaitan dengan pembahasan nusyuz.
19
5. Metode Pengumpulan Data
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewancara yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002 : 186). Jenis
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi
terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam dalam mengorek
keterangan lebih jauh (Arikunto, 2006 : 227)
Jenis wawancara semi terstruktur ini peneliti gunakan agar
dalam proses wawancara peniliti tidak kebingungan dalam
berdialog. Juga berfungsi untuk memperoleh jawaban yang lebih
luas dari informasi yang diberikan informan. Dalam wawancara
ini, peneliti telah menentukan beberapa informan, dalam hal ini
peneliti melakukan wawancara langsung dengan tiga tipologi
masyarakat yaitu dengan masyarakat Desa pasekan yang
berinisial UUB, UMS, UMN, UTJ, UMR sebagai tokoh agama
islam. WA, PY, TS, BR, JS sebagai tokoh pemerintahan. KD,
MM, SY, SN, AM, sebagai masyarakat biasa. Hal tersebut
dilakukan untuk mendapatkan informasi yang sangat inti dari
implementasi/penerapan, pemahaman hukum nusyuz yang
terkandung dalam surat an-Nisa ayat 34 serta penyelesaian
perselisihan dalam rumah tangga di Desa Pasekan kecamatan
20
Ambarawa. Adapun jenis data yang diperoleh pada saat
wawancara secara langsung terhadap informan penelitian.
6. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data pada dasarnya tergantung pada jenis
datanya, upaya yang dilakukan bekerja yang diperoleh dari
sumber data primer, sumber data sekunder, pendapatan dari
dengan data, pengorganisasian data, memilah-memilahnya
menjadi satuan dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan
menemukan pola, apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan orang lain. Setelah data
dikumpulkan dari lapangan dengan lengkap, maka tahap
berikutnya adalah pengolahan dan menganalisis data (Sunggono,
2003 : 125). Metode pengolahan data dalam penelitian ini sebagai
berikut :
a. Edit (Editing)
Sebelum diolah data yang telah diperoleh perlu diedit
terlebih dahulu. Dengan kata lain data atau keterangan
yang dikumpulkan yang perlu dibaca sekali lagi dan
diperbaiki jika masih terdapat hal-hal yang salah atau
yang masih meragukan (Nazir, 2009 : 358)
b. Klasifikasi (Clasifiying)
Klasifikasi adalah klasifikasi (pengelompokan), data
hasil dokumentasi diklarifikasi berdasarkan kategori
21
tertentu (Moleong, 2005 : 104-105). Proses
pengelompokan data yang diperlukan. Seluruh data yang
berasal dari wawancara dan dokumentasi.
c. Verifikasi (Verifiying)
Adalah suatu tindakan untuk mencari kebenaran
tentang data-data yang diperoleh, sehingga pada nantinya
dapat meyakinkan kepada penbaca tentang kebenarannya
penelitian tersebut (Kusuma, 2000 : 85)
d. Konklusi (Concluding)
Langkah terakhir adalah kongklusi atau menarik
kesimpulan, dalam artian cara penganalisa data-data
secara prehensif serta menghubungkan makna data yang
diperoleh peneliti. Penyimpulan data-data harus
dilakukan secara cermat dengan mengecek kembali data-
data yang telah diperoleh (Kusuma, 2000 : 89).
Khususnya tentang penerapan konsep hukum nusyuz di
Desa Pasekan.
7. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan kerja
seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2002 : 280-281).
22
Dari rumusan tersebut diatas dapatlah kita menarik bahwa
analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data.
Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan dan
tanggapan peneliti, gambar, foto, dokumen, berupa laporan
biografi artikel dan sebagainya. Pekerjaan analisis data dalam hal
ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan
kode, dan mengkategorisasikannya. Pengorganisasian dan
pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan tema dan
hipotesis kerja yang pada akhirnya diangkat menjadi teori
subtantif.
Adapun metode analisis data yang digunakan pada penelitian
ini adalah analisis deskriptif kualitatif yakni metode penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang akan diamati. Sehingga
dapat menggambarkan keadaan atau status fenomena mengenai
Implementasi atau penerapan hukum nusyuz yang tekandung
pada QS. An-Nisa‟ ayat 34 dan penyelesainnya pada masyarakat
Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang
H. Sistematika Pembahasan
Penyusunan skripsi ini disistematikan dalam bab-bab tertentu yang
antara bab satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan. Dan untuk
23
menghasilkan suatu membahasan yang runtut maka dari bab-bab dibagi
dalam sub-sub bab.
Bab pertama berisi pendahuluan yang menguraikan meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Yang secara kongkrit menggambarkan keseluruhan isi penyusunan
skripsi.
Sedangkan bab yang kedua berisi Tinjauan hukum tentang nusyuz
yang mencakup pengertian dan dasar hukum, bentuk-bentuk nusyuz,
akibat hukum perbuatan nusyuz dan penyelesaian nusyuz yang dilakukan
oleh suami dan isteri serta mencakup implementasi. Hal ini perlu
dibahas karena menguraikan secara lengkap dalam bab dua yang
berkaitan dengan judul penyusunan skripsi.
Selanjutnya bab ketiga yang berisi Laporan penelitian meliputi
gambaran umum Desa Pasekan, profil informan, Pemahaman Masyarakat
tentang nusyuz, sebab-sebab terjadinya nusyuz, penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
Adapun bab keempat Analisis hasil penelitian meliputi, pembahasan
pemahaman hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa, sebab-sebab terjadinya nusyuz dan implementasi/penerapan
hukum nusyuz serta penyelesainnya di desa Pasekan kecamatan
Ambarawa
24
Bab kelima merupakan bab yang terakhir yang berisi penutup dari
penyusunan skripsi meliputi kesimpulan dan saran-saran.
25
BAB II
TINJAUAN HUKUM NUSYUZ MENURUT PARA AHLI DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Nusyuz
1. Pengertian Nusyuz
Nusyuz secara etimologis berarti tempat yang tinggi. Adapun
secara terminologis maknanya pembangkangan seorang wanita
terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk
ditaatinya. Seakan wanita itu merasa paling tinggi, bahkan lebih
tinggi dari suaminya. ( Firdaus, 2011 : 359 )
Menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya memberi
arti nusyuz dengan arti sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari
suatu tempatnya. Jika konteksnya dikaitkan dengan hubungan suami
istri maka ia mengartikan sebagai sikap istri yang durhaka,
menentang dan membenci kepada suaminya. ( Munawwir, 1997 :
1418 ). Sedangkan menurut Ustman al-Khusyt, memaknai Nusyuz
yaitu istri yang tidak mau berdandan, membangkang suami diatas
ranjang, keluar rumah tanpa izin suami, dan meninggalkan kewajiban
agama. ( al-Khusyt, 2007 : 105 )
Menurut para fuqoha, nusyuz mempunyai beberapa pengertian
diantaranya : menurut fuqoha Hanafiyah seperti yang dikemukakan
Shaleh Ghanim mendefinisikannya dengan ketidaksenangan yang
26
terjadi diantara suami istri. Ulama madzhab Maliki berpendapat
bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami istri. Sedangkan
menurut Ulama Syafi‟iyyah, nusyuz adalah perselisihan diantara
suami istri. Sementara itu Ulama Hambaliyah berpendapat bahwa
nusyuz adalah ketidaksenangan dari pihak istri atau suami yang
disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.(Sadlan, 2004 : 25-26)
Istri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam
didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika istri tidak mau
melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan
batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan
dan mengatur keperluan rumah tangga sehari hari dengan sebaik
baiknya. ( KHI, pasal 83(1) dan 84(1) )
Para ulama membedakan antara nusyuz dan syiqaq, karena nusyuz
dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami istri. Nusyuz berawal
dari salah satu pihak, baik istri maupun suami bukan kedua-duanya
secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan
nusyuz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq. (Aziz, 1996: 1353 ).
Kamal Muchtar, peminat dan pemerhati hukum islam tentang
perwakinan, mendefinisikan sebagai perselisihan suami istri yang
diselesaikan oleh dua orang hakam (Juru damai). ( Aziz, 1996 : 1708
)
Gus Dur pernah menyatakan bahwa ia ingin meluruskan
pandangan tentang posisi perempuan agar hak laki-laki dan hak
27
perempuan menjadi semakin berimbang. Ia memetik firman Allah
dalam Al-Qur‟an, “Sesungguhnya aku ciptakan kalian sebagai laki-
laki dan perempuan”, adapun perbedaan keduanya hanya bersifat
biologis. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, persamaan hak antara
laki-laki dan prempuan adalah nilai Islami. ( Ibad, 2011 : 75 )
2. Dasar Hukum Nusyuz
Dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu sesuai apa yang
diharapkan oleh setiap pasangan. Kecekcokan, ketegangan,
pertengkaran, perselisihan, perdebatan, saling mengejek bahkan
saling memaki kerap kali terjadi, semua itu hal yang lumrah terjadi
dalam perjalanan membina rumah tangga. Akan tetapi sudah
semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan
bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Pada kenyataannya
sering terjadi persoalan dalam rumah tangga meskipun sekecil apapun
dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga, sehingga dapat
memunculkan hal yang biasa kita kenal dalam hukum islam dengan
istilah nusyuz.
Hal ini dapat kita temukan dalam ayat Al-Qur‟an surah An Nisa‟
ayat 34 yang berbunyi :
أيىانهى فقىا ي ا أ بعضهى عهى بعض وب م للا ا فض عهى انساء ب ايى جال قى انر
28
ا حفظ للا انحات قاتات حافظات نهغيب ب فانص شىزه تي تخافى وانل فعظىه
ضاجع واضربىه في ان عهياا واهجروه كا للا سبيلا إ أطعكى فل تبغىا عهيه فإ
ا ﴾٤٣:النساء﴿ كبيرا
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-
laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(QS. An-Nisa‟ :
34 )
Ayat di atas sering kali dikutip dan dijadikan sebagai landasan
tentang nusyuznya istri terhadap suami, meskipun secara tersurat
tidak dijelaskan permulaan terjadinya nusyuz istri terhadap suami
melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaian terjadinya
nusyuz yang ditawarkan oleh ayat tersebut. Atau dapat ditarik
kesimpulan dari isi kandungan ayat di atas adalah :
a. Kepemimpinan dalam rumah tangga
b. Hak dan kewajiban suami istri
c. Solusi atau penyelesian nusyuz yang dilakukan oleh istri
Dalam ayat lain juga disebutkan, tepatnya surah An-Nisa ayat
128 yang artinya :
29
“dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya. Maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh). Maka
sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.(QS An-Nisa : 128)
Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya
suami, walaupun pada realitanya maupun dalam literature-literatur
kajian fiqh persoalan tentang nusyuznya suami kurang mendapat
perhatian.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam mengatur masalah
nusyuz tampaknya mengikuti alur pikiran jumhur ulama bahwa
nusyuz hanya ditujukan kepada istri, hal ini terlihat dari bunyi pasal
80 ayat (7) dan pasal 84 ayat (1). Aturan mengenai persoalan nusyuz
dipersempit hanya pada nusyuznya istri saja serta akibat hukum yang
ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz
KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu
bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang
istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam bataas-batas
yang dibenarkan oleh hukum islam. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya
nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang
sah ( KHI, Pasal 83 ayat 1 dan pasal 84 ayat 1 dan 4).
30
3. Bentuk-Bentuk Nusyuz
Berdasarkan pada pasal 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai salah
satu pedoman / kaidah tertulis dalam hal perkawinan, telah mengatur
tentang nusyuz istri yang menyatakan bahwa :
a. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
b. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huru a dan b tidak berlaku kecuali
hal-hal untuk kepentingan anaknya.
c. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri tidak nusyuz.
d. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus di
dasarkan atas bukti yang sah.
Dari pengertian nusyuz sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
sebagai sikap pembangkangan terhadap kewajiban-kewajiban dalam
kehidupan perkawinan ( Basyir, 1995 : 81 ), sebenarnya para ulama
telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk
perbuatan nusyuz itu sendiri. Dan diantara tingkah laku maupun
ucapan yang dianggap sebagai perbuatan nusyuz istri antara lain :
a. Apabila istri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama
tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar‟i.
31
b. Keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya, akan
tetapi madzhab Syafi‟i dan Hambali berpendapat bahwa apabila
keluarnya istri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk
nusyuz, akan tetapi jika keluarnya istri itu bukan karena
kebutuhan suami maka istri itu dianggap nusyuz.
c. Istri menolak untuk tidur bersama suaminya. Dalam suatu hadis
dijelaskan tentang kewajiban seorang istri kepada suaminya,
untuk tidak menolak apabila diajak oleh suaminya untuk
melakukan hubungan suami-istri, yang artinya yaitu:
“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan
suami- istri, kemudian si istri menolaknya, maka malaikat akan
melaknatnya hingga pagi”(Sunan Abi Daud :2141)
Istri yang menolak untuk tidur bersama suaminya, tanpa
suatu alasan yang sah maka ia dianggap nusyuz, sesuai dengan
dalil yang berbunyi:
متى إمتنعت من فراشه او خرجت من منزله بغير إذنه:انشىز
“Nusyuz itu ialah apabila si istri tidak mau seranjang atau
keluar rumah tanpa ijin suami”(Sarbini, tt : 295).
d. Membangkangnya seorang istri untuk hidup dalam satu rumah
dengan suami dan dia lebih senang hidup di tempat lain yang
tidak bersama suami. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab
Tafsir Al-Bahrul Muhit dengan ungkapannya yaitu bahwa
perbuatan nusyuz adalah :
32
انشىز هى إيتاعها ي انقاو فى بيته وإقايتها فى يكا اليريد
اال قاية فيه
“Nusyuz adalah lalainya istri dalam menjalankan kewajiban
di rumah suaminya dan keluarnya istri dari rumah tanpa
keinginan atau tanpa seizin suami” (al Jamal, 1993 : 251)
Untuk mengenali bentuk bentuk perbuatan nusyuz dapat juga
mengkaitkannya dengan kata yang artinya menghilangkan, dalam arti
perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik
dohir maupun batinnya, sehingga seorang istri tersebut selalu
meninggalkan kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga
suami merasa benci dan tiada kepedulian kepadanya ( al Jamal, 1993 :
452 )
Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa
nusyuz istri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika istri tidak
disibukkan oleh perbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau
tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh
suaminya (az-Zuhaili, 1997 : 6851).
Sedangkan menurut Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri
nusyuz istri adalah :
a. Ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan
yang sah.
b. Istri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi
kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang
dibenarkan syara‟.
33
c. Keduanya tinggal di rumah istri, tetapi istri melarang sang suami
untuk memasuki rumahnya. ( Musa, 1956 : 222 )
Menurut Shaleh bin Ghanim, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz
yang berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur sapa seorang
istri kepada suaminya yang semula lembut, tiba tiba berubah jadi
kasar dan tidak sopan. Bila dipanggil suami, istri tidak menjawab,
atau menjawab dengan nada terpaksa, atau pura-pura tidak
mendengar dan mengulur-ulur jawaban, berbicara dengan suara keras
dan nada tinggi, berbicara dengan laki-laki lain yang tidak
mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat telepon atau
bersurat-suratan), dengan tujuan yang tidak dibenarkan syara‟,
mencaci-maki, berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita
keburukan suami dengan tujuan melecehkannya dihadapan orang lai,
tidak menepati janji terhadap suami, menuduh suami berbuat mesum
dan meminta cerai tanpa alasan yang jelas (Ghanim, tt : 31-32)
Sebaigamana istri, nusyuz suami pun dapat berupa ucapan,
perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya sekaligus.
Sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Shaleh bin Ghanim sebagai
berikut ( Ghanim, tt : 33-34 ) :
a. Mendiamkan istri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi
selalu menggunakan kata-kata kasar dan menyakitkan.
b. Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
34
c. Berburuk sangka terhadap istri, dan tidak mengajak istri tidur
bersama.
d. Menyuruh istri melakukan maksiat dan melanggar larangan
Allah.
Sementara itu, bentuk nusyuz yang berupa perbuatan dapat
berupa :
a. Tidak menggauli istrinya tanpa udzur atau sebab-sebab yang
jelas.
b. Menganiaya istri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan
dengan tujuan hendak mencelakakan istri.
c. Tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
d. Menjauhi istri karena penyakit yang dideritanya.
e. Besenggama dengan istri melalui duburnya.
4. Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz
Menurut Muhammad 'Ali al-Sabuni (2001, 370-371), apabila
terjadi nusyuz yang dilakukan oleh istri maka Islam memberikan cara
yang jelas dalam mengatasinya adalah sebagai berikut :
a. Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur
kata yang baik.
b. Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
c. Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan
siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran
baginya.
35
d. Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa
mengatasi istri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim
(mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya. Sesuai QS. An-
Nisa ayat 35 yang artinya :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS. An-Nisa:35)
Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri
yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa' Ayat 34 di atas tersebut,
ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus
berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali,
tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan
kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi‟i, termasuk Imam
Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut
tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan
seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal istri nusyuz.
(Aziz, 1996 : 1355). Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat
mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah
yang lebih baik adalah memaafkannya (Nawawi, tt : 7).
Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut
jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada
suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari istri) tanpa adanya suatu
alasan yang dapat dibenarkan secara syar‟i atau secara „aqli maka istri
36
dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam kitab
Fat-hul qarib dijelaskan ويسقظ با نشىز قسها وفقتها maksudnya “Dan
menjadi gugurlah sebab nusyuz, yaitu hak menerima gilirannya dan
nafaqahnya”. Dalam hal suami beristri lebih dari satu (poligami)
maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan
nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih
wajib memberikan tempat tinggal (Basyir, 1995 : 81).
Menurut mazhab Hanafi, apabila seorang istri mengikatkan
(tertahan) dirinya di rumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin
suaminya, maka istri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar
rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak
dapat dibenarkan secara syar‟i maka ia disebut nusyuz dan tidak
mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah
menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang istri di rumah
suami (Mughniyah, 1964 : 102).
5. Penyelesaian Nusyuz
Kita mengetahui bahwa nusyus bisa terjadi pada perempuan dan
juga laki-laki. Akan tetapi, watak perempuan berbeda dengan laki-
laki. Oleh karena itu, penyembuhannya juga berbeda secara teori,
karena berbedanya bentuk nusyuz antara mereka (as-Subki, 2010 :
302). Seorang suami dalam banyak kesempatan sebagai kepala
keluarga boleh mengambil tindakan pendisiplinan demi kemaslahatan
37
dan keutuhan keluarganya. Namun, tindakan pendisiplinan itu bukan
untuk menyakiti melainkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Menurut al Imam Fakhruddin ar-Razi, keberhasilan pernikahan
tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak
pihak lain. Mencurahkan semua kemampuan untuk menghilangkan
sebab-sebab perselisihan sangat diperlukan. Karena keluarga
merupakan nucleus terbentuknya masyarakat dalam pandangan Islam.
Selama nucleus tersebut baik, maka terbentuklah masyarakat yang
mapan dan kuat (Al Khayyath, 2007 : 16). Di antara unsur yang
paling pokok dalam pergaulan antara suami dan istri adalah unsur
kasih sayang, rasa tenang, dan saling mengasihi (Al Khayyath, 2007 :
209).
Baik nusyuz yang datang dari istri maupun suami, keduanya
memiliki cara-cara penyelesaiannya, yaitu :
a. Apabila nusyuz dari pihak suami maka penyelesaiannya seperti
ditegaskan dalam QS. 4: 128 istri diberi hak mengadakan
perjanjian dengan suaminya guna kebaikan hubungan keduanya.
Isinya terserah pada kesepakatan bersama, misalnya suaminya
berjanji dengan ikrar tidak akan mengulangi lagi. Dalam surat an-
Nisa: 128 terdapat petunjuk bagaimana istri harus bersikap.
Hendaknya istri mengadakan musyawarah, pendekatan, dan
perdamaian dengan suaminya.
38
Dengan mengutip pendapat Imam Malik, Yunahar Ilyas
(1997: 129) mengemukakan langkah-langkah yang bisa ditempuh
istri guna menghadapi nusyuz suami. Menurut Imam Malik, istri
boleh mengadukan suaminya kepada hakim. Hakimlah yang akan
memberi nasehat kepada suami. Apabila tidak berhasil hakim
dapat melarang istri untuk taat pada suami, tetapi suami tetap
wajib memberi nafkah. Dan hakim juga membolehkan sang istri
pisah ranjang, bahkan tidak kembali kerumah suaminya. Setelah
pelaksanaan hukuman tersebut dan sang suami belum juga
memperbaiki diri, hakim boleh memutuskan perceraian jika sang
istri menginginkannya. Pendapat Imam Malik ini seimbang
dengan sikap yang harus diambil oleh suami bila menghadapi
nusyuz istrinya. Hanya bedanya untuk kasus nusyuz suami yang
melaksanakan tiga tahapan itu hakim, bukan sang istri sendiri.
Menurut hemat penulis, tahapan pertama itu bisa saja dilakukan
oleh istri bersamaan dengan musyawarah, seperti yang dianjurkan
oleh al-Quran surat an-Nisa ayat 128 di atas, sebelum kasusnya
diajukan kepada hakim. Akan tetapi, kalau nasehat istri tidak
digubris suami dan musyawarah tidak menghasilkan perbaikan,
barulah istrinya mengadukan kasusnya kepada hakim (Ilyas, 1997
: 129).
b. Dalam hal terjadi nusyuz Istri, Islam sebagaimana disyaratkan
dalam surat an-Nisa: 34, telah mengajarkan agar seorang suami
39
menempuh tiga tahapan, yaitu menasehati, pisah tidur, dan
terakhir, memukul yang tidak berakibat fatal (ghair mubarrah).
Jika diketahui bahwa istrinya telah bersikap nusyuz itu maka
suaminya harus bertindak sebagai berikut :
1) Menasehati dengan baik
Maka hendaklah ia menasehati istrinya dengan lemah
lembut, dan mengingatkannya terhadap apa yang telah
diwajibkan Allah kepadanya. Lalu hendaklah ia memberinya
harapan akan pahala dari Allah lantaran mentaatinya dan agar
ia termasuk kedalam golongan wanita-wanita salehah yang
taat kepada Allah dan menjaga kehormatan suaminya saat
tidak ada. Lalu hendaklah ia mengingatkan akan hukum
Allah jika bermaksiat kepada-Nya, dan bahwasanya apabila
ia tetap dengan nusyusnya ia berhak untuk memisahkan
tempat tidurnya dan kemudian memukulnya (Kamal, 2007 :
537). Langkah ini menjadi pilar utama bagi keutuhan dan
keharmonisan keluarga. Akan tetapi nasehat yang baik
terkadang tidak berguna, mengingat adanya hawa nafsu yang
lebih dominan atau adanya kekaguman yang terlalu
berlebihan terhadap keindahan. Istri terkadang lupa kalau
dirinya adalah partner bagi laki-laki dalam keluarga
(Manshur, 2012 : 318). Nasehat yang baik mempunyai
40
pengaruh yang besar terhadap jiwa dan hati nurani. Firman
Allah QS. Fusshilat ayat 34 yang artinya :
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS.
Fusshilat:34)
Imam Qurthubi mengatakan, “Maksudnya, berilah
wanita-wanita itu nasehat dari kitabullah”. Jadi jelaskanlah
apa saja yang diwajibkan Allah atas diri mereka agar
berinteraksi dan memperlakukan suami dengan baik (Anis, tt
: 104). Suami hendaknya memberi nasehat ketika istri sedang
sendirian. Karena dikhawatirkan ada intervensi dari pihak
luar terhadap masalah intern keluarga. Suami juga perlu
mengingatkan bahwa jika istri meneruskan nusyuz, maka hal
itu akan menghancurkan mahligai rumah tangga (Anis, tt :
107).
2) Menjauhi istri (hajr) di tempat tidur
Hajr berasal dari kata hijrah yang berarti memutuskan.
Allah berfirman,” Pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka.” (an-Nisa: 34). Suami menakut nakuti istrinya
tersebut dengan cara menjauhinya dan tidak melakukan
41
hubungan intim dengannya, dengan harapan dia tidak akan
tahan menghadapi cara ini (Kamal, 2007 : 741). Ibnu Abbas
R.A berkata, “al Hajr berarti suami tidak menyetubuhi dan
menggumuli istrinya di ranjangnya, melainkan dia hanya
memalingkan punggungnya terhadap istrinya di ranjangnya”
(Syakir, 2014 : 126). Kata madhja‟ berarti tempat tipu
muslihat dan daya tarik yang dijadikan oleh perempuan
pelaku nusyuz sebagai kekuatannya. Jika suami mampu
membentengi diri dari tipu daya tersebut maka istri yang
diduga melakukan nusyuz telah kehilangan senjata utamanya
(Mansyur, 2012 : 318). Pada akhirnya istri akan kembali
tidak nusyuz lagi. Langkah ini memiliki ketentuan khusus
yang harus diperhatikan suami agar tidak menimbulkan
madharat yang lebih besar lagi. Seperti jangan sampai
diketahui oleh anak-anak, karena akan mempengaruhi
psikologis mereka atau menyembunyikan dari orang asing
agar tidak menimbulkan kesan atau praduga yang salah. Akan
tetapi terkadang langkah ini pun tidak berhasil, maka perlu
diambil langkah yang berikutnya, meskipun lebih keras tapi
bisa ditoleransi ketimbang hancurnya bangunan rumah
tangga akibat nusyuz. Perlakuan suami seperti ini diharapkan
akan menarik istri untuk bertanya sebab-sebab suami
42
meninggalkannya ditempat tidur. Sehingga istri bisa
instrospeksi terhadap dirinya.
Pisah ranjang adalah hukuman psikologis yang sangat
berat. Tak pelak, hukuman yang paling berat bagi manusia
adalah hukuman yang menyentuh kelebihannya, yang
membuat dirinya ragu akan eksistensinya, dan menghantam
sesuatu yang paling dibanggakannya. Sesudah jelas hatinya
meragukan eksistensi kewanitaannya. Ia melihat laki-laki
yang lebih kuat itu berhak untuk ditakuti dan ditaati, dan ia
merasa dirinya lemah karena tak bisa lagi membanggakan
diri dengan senjata keindahan dan rayuannya melalaui hukum
psikologis ini, wanita terpaksa meletakkan senjata. Saat
senjata pamungkas tak lagi manjur, bisa dipastikan ia menjadi
pihak yang terkalahkan. Dengan begitu ia tak berani
berbangga diri. Kebanggaan wanita adalah jika keindahan
dan rayuannya berhasil menaklukkan lelaki. Kebanggaan itu
sirna jika keindahan dan rayuannya justru menghinakan
dirinya (Anis, tt : 204). Suami hanya dibenarkan melakukan
hajr terhadap istrinya di dalam rumah. Berdasarkan sabda
Nabi saw yang artinya:
Dari Mu‟awiyah bin Haidah, ia berkata: Saya bertanya
kepada Rasulullah: “Apakah hak istri atas suaminya?
”Beliau menjawab: “Kamu harus memberinya makan
43
apabila kamu makan, harus memberinya pakaian apabila
kamu berpakaian, tidak boleh memukul mukanya dan tidak
boleh menjelek jelekannya, serta tidak boleh mendiamkannya
kecuali dalam rumahnya. (HR Abu Dawud) (Syakir, 2014 :
126)
3) Jika tidak berhasil maka istrinya boleh dipukul dengan tidak
berat.
Kalau diteliti dari aspek kebahasaan, kata dharaba, tidak
hanya berarti memukul. Memang arti asal kata itu adalah
memukul sesuatu dengan yang lain. Tapi kemudian bisa
memiliki arti memotong, memenggal, membunuh, meliputi,
berpergian, membuat, menjelaskan, memberi perumpamaan,
menutupi dan semacamnya. Dari sekian banyak arti ini,
secara global kata tersebut mempunyai dua arti. Pertama,
melakukan tindakan yang lunak. Untuk makna ini, memiliki
arti memberi contoh, menutupi, berpergian, membimbing dan
semacamnya. Kedua, melakukan tindakan keras dan kasar.
Dalam pengertian ini, dharaba berarti membunuh,
memenggal, melukai dan sejenisnya. Untuk menjelaskan
kalimat yang banyak arti seperti ini, harus melihat dan
mempertimbangkan berbagai faktor berbagai faktor serta
indikasi lainnya (Yasid, 2005 : 399). Berkaca dari perjalanan
44
hidup Rasulullah beliau adalah orang yang sangat
menghargai kaum wanita. Salah satu misi beliau adalah
meningkatkan harkat martabat perempuan.
Penafsiran ulama mengenai kata dharaba adalah bahwa
pukulan yang dimaksud ini bukanlah pukulan untuk
menyakiti tapi untuk mendidik. Dalam kenyataannya tidak
semua perempuan mudah untuk diluruskan suaminya, ada
model perempuan yang hanya bisa diluruskan dengan
pemaksaan secara fisik. Di dalam memukul perlu
diperhatikan hal-hal berikut (Kamal, 2007 : 574) :
a) Pukulan itu tidak boleh sampai melukai.
b) Tidak boleh sampai melukai dalam memukul.
c) Tidak memukul wajah, dan dijaga agar pukulan itu tidak
mengenai bagian-bagian vital yang dapat
membahayakan.
Dalam Ihya Ulum al Din, Al Ghazali mengatakan apabila
istri berbuat nusyuz sedangkan laki-laki adalah pemimpin
bagi perempuan, maka suaminya mesti mendidik dan
membuatnya taat, meski dengan cara paksa. Demikian juga
ketika istrinya sengaja meninggalkan shalat, ia harus
memaksanya agar mau mengerjakan shalat, akan tetapi cara
mendidiknya harus dilakukan bertahap (Manshur, 2012 :
320). Apabila perselisihan dan perseteruan semakin
45
memanas, diutuslah dua juru damai, seorang dari keluarga
suami dan seorang dari keluarga istri, untuk melakukan
perbaikan masalah setelah meneliti kondisi masing-masing
suami istri dan mengetahui sebab konflik (az-Zuhaili, 2012 :
286).
Tiadalah seorangpun yang ragu bahwa memukul itu
lebih sedikit madharatnya terhadap keadaan dari terjadinya
perceraian bagi perempuan yang bercerai berai dalam lingkup
keluarga (as-Subki, 2010 : 308). Adapun memukul dengan
siwak dan sejenisnya lebih sedikit bahayanya daripada
menjatuhkan cerai pada istri. Karena dengan perceraian
berarti meruntuhkan bangunan keluarga dan
menceraiberaikan keutuhannya. Jika dikiaskan dengan
bahaya yang lebih besar maka hukuman ini menjadi yang
lebih ringan dengan kebaikan dan keindahan (as-Subki, 2010
: 314).
Demikian dalam konteks nusyus, al-Quran sama sekali
tidak pernah menekankan agar istri mentaati suami.
Sebagaimana kaum feminis muslim lainnya, kata dharaba
dalam surat an-Nisa 34 tidak selalu dipandang dengan
memukul, akan tetapi juga bisa dimaknai dengan
maknamakna lainnya, misalnya “memberi contoh”. Barlas
menyatakan bahwa tindakan pemukulan pada dasarnya
46
bertentangan dengan pandangan dan ajaran tentang
kesetaraan di dalam seksualitas yang diajarkan oleh Al-
Qur‟an bahwa perkawinan harus didasarkan pada cinta,
permaafan, keharmonisan, dan ketenangan. Sebagai manusia
biasa, istri-istri rasul juga pernah berbuat salah dan menyakiti
hati. Tapi Rasul tidak pernah memukul dan melakukan
tindakan kekerasan pada mereka. Rasul tidak melakukan
jalan kekerasan untuk membuat istri-istri beliau patuh. Rasul
mengedepankan pendekatan kejiwaan daripada harus
melakukan tindakan kekerasan kepada istri-istri beliau
(Yasid, 2005 : 340). Interpretasi Ibnu Abbas ketika
menafsirkan adh dharab sebagai ”menyentuhkan kayu siwak
pada wanita” (Anis, tt : 202)
Terkait dengan kata dharaba, kebanyakan muslim
mengartikan sebagai sanksi berupa pemukulan terhadap istri.
Namun, Wadud, menjelaskan bahwa kata dharaba bisa berarti
“memukul” dan bisa pula berarti “memberi contoh,” dan kata
itu tidak dengan kata dharraba, yang berarti ”memukul
dengan keras dan berulang ulang.” Dengan demikian, ayat
tersebut harus dibaca” sebagai larangan berperilaku kejam
terhadap istri.” Meskipun hal ini bukanlah satu satunya cara
untuk mengartikan kata dharaba, dan sekalipun kita
menafsirkannya sebagai kebolehan untuk memukul istri,
47
tetapi cukup beralasan bila kita mengartikannya sebagai
bentuk pembatasan, seperti yang dilakukan oleh Wadud. Ada
dua alasan yang mendasarinya. Pertama, kita dapat
menyimpulkannya dari contoh lain dalam al-Quran, yaitu
tentang Ya‟qub dan istrinya, sebagaimana yang dijelaskan
oleh para penafsir. Dalam al-Qur‟an, Tuhan menyuruh
Ya‟qub agar mengambil (dengan tangannya) “seikat rumput,
maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar
sumpah”(Q.S.38: 44).
Beberapa penafsir berpendapat bahwa Ya‟qub disuruh
untuk menggunakan ranting pohon. Kedua, kita juga dapat
menarik kesimpulan bahwa Al-Qur‟an menggunakan kata
dharaba dalam pengertian batasan, bukan perintah, dengan
cara menganalisis konteks historis dari ajaran tersebut. Pada
masa ketika laki-laki tidak memerlukan izin untuk
memperlakukan istrinya secara tidak patut, ayat tersebut tidak
bisa dipahami sekedar sebagai pemberian izin, dalam konteks
semacam itu, ayat tersebut jelas merupakan pembatasan
karena al-Quran menjadikan dharaba sebagai jalan terakhir,
bukan jalan pertama atau kedua. Dan, jika al-Quran sendiri
berusaha menghentikan perlakuan kasar terhadap istri pada
masa yang misoginis itu, maka tidak ada alasan bagi kita
untuk menganggap ayat itu sebagai pembenaran atas
48
perlakuan kasar terhadap istri, terutama pada masa yang kita
klaim beradab ini (Yasin, 2005 : 325).
Husein menyatakan bahwa sesungguhnya banyak
kemungkinan untuk mengartikan kata dharaba. Makna
”pukullah mereka dengan tangan” sebagaimana yang banyak
digunakan oleh ulama fiqih, menurut Husein, bukanlah
makna yang tepat karena bertentangan dengan semangat anti
kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana yang bisa
ditarik kesimpulannya dari hadis shahih ”sebaik baik kamu
adalah yang paling baik terhadap istrinya, aku adalah yang
terbaik terhadap istriku.”
Dalam hal ini, Husein tampak condong untuk
mengambil pendirian Muhamad Sahrur (2004 : LVII) yang
mengartikan kata tersebut sebagai “bertindak tegaslah
terhadap mereka” yang bisa dilaksanakan dengan proses
arbitrase, walaupun bukannya tanpa catatan sama sekali.
Pemukulan istri sangat diterima oleh masyarakat pada waktu
itu. Nabi berusaha sebaik mungkin untuk memberikan
keadilan pada perempuan tapi itu tidak mudah. Idealnya al-
Quran tidak akan pernah menyetujui dominasi laki-laki
terhadap perempuan dalam bentuk apapun.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa durhakanya sang istri ada tiga tingkatan:
1) Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami
berhak memberi nasehat kepadanya.
2) Sesudah nyata kedurhakaannya suami berhak untuk
berpisah tidur dengannya.
49
3) Kalau dia masih durhaka suami berhak memukulnya
(Sahrani, 2010 : 187).
Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum
dapat diselesaikan baru dibolehkan suami menempuh jalan
lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Firman Allah
yang artinya: “Jika dia sudah taat kepadamu janganlah
mencari cari jalan untuknya” (QS. An-Nisa‟ : 34)
Mengandung arti suami tidak boleh menempuh cara
apapun selain dari itu termasuk menceraikannya. Dari
pemahaman terhadap ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak
menghendaki adanya perceraian kecuali setelah tidak
menemukan cara lain untuk mencegahnya (Syarifudin, 2009 :
193). Al Quran menegaskan, seandainya tujuan tersebut
sudah tercapai tetapi langkah-langkah itu tetap diambil, maka
pelakunya telah berbuat dhalim. “Janganlah mencari cari
jalan untuk menyusahkannya.” Al Quran kemudian
menekankan larangan berbuat dhalim dengan mengatakan
bahwa Allah maha tinggi lagi maha besar. Sesungguhnya
Allah Mahatinggi lagi Maha besar (Manshur, 2012 : 322).
Apabila kekhawatiran perempuan tersebut terbukti, maka
tidak ada pilihan baginya, kecuali salah satu di antara dua hal
berikut:
1) Menerima terhadap apa yang terjadi. Pilihan inilah yang
banyak dilakukan oleh kebanyakan kaum perempuan di
negara kita, di bawah penamaan dan dalih yang berbeda-
50
beda. Akan tetapi, ia boleh tidak menerima apa yang
terjadi berdasarkan firmannya: ”Maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.
Dan ini mengantarkan pada pilihan kedua.”
2) Menolak apa yang terjadi. Pilihan ini terjadi ketika
seorang perempuan tidak menerima tindakan sewenang
wenang dan nusyuz sang suami, atau terhadap
pengabaian dan sikap tak acuh terhadap diri dan anak
anaknya. Dalam keadaan demikian ayat tersebut
memberikan pedoman apa yang seharusnya dilakukan
olehnya, yaitu perdamaian antara keduanya, yakni
dengan mempertemukan pandangan jernih masing-
masing melalui dialog yang menentramkan hati, dan
dalam perdamaian tersebut terdapat kebaikan (Shahrur,
2015 : 459).
Adapun yang dimaksud shulh sebagai suatu solusi
sebagaimana disebutkan dalam ayat itu adalah perundingan
yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak
sampai menceraikan istrinya, diantaranya dengan kesediaan
istri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafaqah atau
kewajiban non materi dalam arti kesediaan untuk
memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami
51
kepada istrinya yang lain. Cara ini pun termasuk salah satu
langkah untuk menghindari perceraian (Syarifudin, 2009 :
194)
B. Hak Suami terhadap Istri Nusyuz
Dalam menyikapi istri yang nusyuz, yang terpenting juga adalah harus
dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat
persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki
unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang
dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu
adanya undang-undang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur
matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai
pertanggung jawaban secara hukum (Munajat, 2004 : 10).
Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz maka untuk mengetahui
apakah suatu perbuatan „ketidaktaatan‟ tertentu seorang istri dapat
dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat
dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula
perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa
perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya
berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk
mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyuz para mufassir berangkat
dari pemaknaan atas kata "خىف "dalam rangkaian kalimat awal Ayat surat
52
an-Nisa‟ (4): 34 ( تي تخافى yang menurut mereka memiliki dua arti (وانل
yaitu ظ (prasangka) dan عهى (pengetahuan), walaupun sebagian mufassir
ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal
dan ar-Razi (ar-Rozi, tt : 93 dan as-Syahir, tt : 43)
Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan
nusyuz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu
perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari
perbuatan nusyuz tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan
pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam
klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat.
Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah
berlebihan atau tidak. Dalam hal ini hak-hak suami dalam menyikapi istri
yang berbuat nusyuz adalah sebagai berikut :
1. Hak Ditaati
QS an-Nisaa‟ : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami)
berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat
kejadianya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk
keperluan keluarganya. Istri-istri yang salehah adalah yang patuh
kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta memelihara harta
benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm
keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-
Nya kepada istri-istri itu.
53
2. Hak Memberi Pelajaran
Apabila terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap
membangkang (nusyuz), hendaklah diberi nasehat secara baik-baik.
Apabila dengan nasehat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah
suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih belum juga mau taat,
suami dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul (yang
tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
3. Hak Mencegah Nafkah
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz
tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut
(Mughniyah, 1996 : 402). Demikian pula menurut Sayyid Sabiq,
bahwa suami berhak menta'zir istrinya yang nusyuz, seperti dengan
pencegahan nafkah disamping melakukan tindakan-tindakan yang
telah ditentukan dalam al-Qur'an, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya (Sabiq, 1990 : 229).
Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang istri berlaku
nusyuz yaitu istri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah
tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syar‟i maka
menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah, Menggugurkan
nafkahnya yang berupa kebendaan dan Gugur pula nafkah yang
terhutang (Sabikh, 1965 : 28).
54
Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban
suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis
karena kedurhakaan istri kepada suaminya dalam rumah tangga itu
harus dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang artinya :
“kemudharatan yang lebih berat harus dihilangakan dengan
yang lebih ringan” (Rahman, 1976 : 82)
4. Hak Mentalak
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 34 dijelaskan
bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, Perceraian; dan Atas
keputusan pengadilan. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya
yaitu pasal 39 ayat 2 bahwa untuk melakukan perceraian harus ada
alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami-istri.
Suami-istri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena
terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara
bersamaan (syiqaq) dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk
menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang
bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator,
maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali
memutuskan hubungan tali perkawinan suami-istri tersebut agar
situasi tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak
kekerasan (Ghanim, tt : 69)
55
Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang
memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh Allah
ialah :
a. istri berbuat zina
b. istri nusyuz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya
c. istri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang
menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang
berat yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan
damai dan teratur (Yunus, 1983 : 113).
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan
dengan persoalan nusyuz secara umum, maka terdapat minimal tiga
hak atau kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap
sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena adanya beberapa alasan
yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan
penafsiran atas ayat an-Nisa‟ (4): 34 secara keseluruhan terutama
menyangkut konsep kedudukan dan relasi suami istri dalam rumah
tangga.
56
BAB III
DESKRIPSI DATA PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Semarang
1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang diteliti oleh peneliti yaitu di Desa Pasekan
Kecamatan Ambarawa kabupaten Semarang. Oleh karena itu untuk
lebih mengetahui kondisi dan keadaan lokasi penelitian dalam
mewujudkan adanya kesesuaian realitas sosial dengan data yang ada,
maka perlu untuk dideskripsikan mengenai profil lokasi penelitian
berdasarkan data profil Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa
Kabupaten Semarang.
2. Kondisi Wilayah Penelitian
a. Batas Wilayah
Batas Wilayah Lokasi Penelitian
BATAS DESA KECAMATAN
Sebelah utara Baran Ambarawa
Sebelah selatan Tlogo Jambu
Sebelah timur Panjang Ambarawa
Sebelah barat Banyukuning Bandungan
Sumber data statistik Desa Pasekan
57
b. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Pasekan berdasarkan dari data kantor
Desa Pasekan adalah 758.587 Ha.
3. Kondisi Masyarakat
a. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data tahun 2018, jumlah penduduk Desa
Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang tercatat
sebesar 7.326 jiwa dengan perincian tabel sebagai berikut :
Jumlah Penduduk Desa Pasekan
USIA LAKI-
LAKI
PEREMPUAN JUMLAH
0-5 267 226 493
6-10 304 292 596
11-15 262 241 503
16-20 275 225 500
21-25 271 297 568
26-30 291 322 613
31-35 340 290 630
36-40 320 279 599
41-45 273 256 529
46-50 250 253 503
51-55 269 212 421
56-60 221 234 455
58
61-KEATAS 436 479 915
JUMLAH 3.720 3.606 7.326
Sumber data statistik Desa Pasekan
b. Etnis
Semua etnis masyarakat Desa Pasekan adalah Jawa. Sehingga
bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa Jawa.
c. Agama atau Aliran Kepercayaan
Agama yang dianut oleh penduduk Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang antara lain : Islam, Kristen,
Katolik, Penganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan data
dari Kantor Desa Pasekan dengan perencian sebagai berikut :
Keagamaan dan Kepercayaan penduduk Desa
Pasekan
NO AGAMA JUMLAH PENGANUT
1 Islam 6.707
2 kristen 91
3 Katholik 45
4 Penganut Tuhan
YME
6
Sumber data statistik Desa Pasekan
Sarana ibadah umat beragama di Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang terdiri dari masjid 12 buah,
mushola/langgar 15 buah.
59
Sarana Peribadatan Penduduk Desa Pasekan
NO Jenis Prasarana Jumlah
1 Masjid 12
2 Mushola/Langgar 15
Sumber Data Statistik Desa Pasekan
Melihat dari segi keagamaan masyarakat Desa Pasekan,
mayoritas beragama Islam walaupun belum semua yang
beragama Islam taat pada agama, akan tetapi masyarakat tak
jarang mengadakan kegiatan keagamaan berupa pengajian rutin,
misal pengajian lapanan yang dilaksanakan kurang lebih sekali
dalam 35 hari, pengajian halal bihalal, pengajian muslimatan,
pengajian peringatan hari hari besar Islam, pengajian dalam
rangka selamatan desa, jama‟ah yasin tiap malam jum‟at dan
sebagainya. Agama islam di Desa Pasekan termasuk masih baru
berkembang apabila dibanding daerah-daerah lain akan tetapi saat
sekarang sudah banyak perkembangan, banyak juga pemuda yang
di pondok pesantren. Pendidikan keagamaan seperti TPQ dan
pengajian-pengajian bagi pemuda juga sudah banyak dilakukan di
setiap Dusun masyarakat Desa Pasekan. Sebagian kecil yang
menganut kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa, mereka yakin
dengan Islam akan tetapi tidak melaksanakan syari‟at-syari‟at
Islam seperti sholat, puasa dll. Pada dasarnya kepercayaan
mereka berprinsip sebagai manusia harus berbuat baik terhadap
60
sesama dan kelak akan menerima balasan yang setimpal.
Walaupun masyarakat Desa Pasekan tidak hanya beragama Islam
akan tetapi mereka hidup rukun berdampingan dibuktikan dengan
sering mengadakan upacara adat istiadat secara bersamaan, hidup
berdampingan gotong royong dan damai dalam menjalani hidup
bertetangga.
d. Pendidikan
Pendidikan formal masyarakat Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang dari yang tidak sekolah sampai
sarjana semua ada. Berdasarkan data dari kantor Desa Pasekan
perincian pendidikan formal masyarakat Desa Pasekan sebagai
berikut :
Pendidikan Penduduk Desa Pasekan
NO TINGKATAN JUMLAH
1 SD 3164
2 SMP 1082
3 SMA 537
4 AKADEMI 14
5 SARJANA 32
Sumber data statistik Desa Pasekan
61
e. Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Ambarawa merupakan masyarakat yang terdiri dari bermacam-
macam latar belakang, akan tetapi kehidupan social masyarakat
Desa Pasekan secara umum hidup rukun dan damai. Kerukunan
kehidupan masyarakat di Desa tersebut dengan ditandai dengan
semangat gotong royong yang tinggi setiap mengadakan kegiatan
seperti kerja bakti membersihkan jalan desa, membersihkan
saluran air, kerja bakti perbaikan jalan, kerja bakti setiap mau
mengadakan pengajian akbar atau selamatan desa dll. Masyarakat
Desa Pasekan masih kental dengan adat istiadat Jawa.
Kondisi ekonomi di Desa Pasekan pada dasarnya bermacam-
macam, namun sebagian besar masyarakat Desa Pasekan
berpropesi sebagai buruh bangunan, ada juga pedagang, tani,
sopir, karyawan pabrik dll.
B. Profil Informan Masyarakat Desa Pasekan
Dalam paparan penilitian ini mencakup implementasi, pemahaman
dan penyelesaian hukum nusyuz yang terkandung dalam surat An-Nisa‟
ayat 34 di Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.
62
Profil Informan
NO Nama Informan Keterangan
1 UUB Usia 45 tahun, Beliau
alumni pondok pesantren
MHM Lirboyo Kediri,
sebagai tokoh agama Desa
Pasekan, beliau juga ketua
sekaligus sebagai pengajar
TPQ Nuril Mubin.
2 UMS Usia 40 tahun, Beliau
alumni pondok pesantren
dawar Boyolali, sebagai
tokoh agama juga imam
masjid di Dusun
Praguman Desa Pasekan
dan juga sebagai guru
ngaji di masjid tersebut.
3 UMN Usia 50 tahun, Beliau
sebagai tokoh agama Desa
Pasekan, juga ta‟mir
masjid Baitur Rohman
dusun Tambakselo dan
juga ketua jama‟ah yasin
ibu-ibu.
4 UTJ Usia 40 tahun, beliau
sebagai tokoh agama Desa
Pasekan sekaligus imam
mushola ar-Rohman dusun
Tambakselo dan juga
sebagai Guru ngaji.
5 UMR Usia 45 tahun, beliau
sebagai tokoh agama Desa
Pasekan sekaligus imam
mushola dusun
Tambakselo dan juga
sebagai Guru ngaji.
6 WA Usia 28 tahun, Beliau
sebagai kepala Dusun
Tambakselo Desa
Pasekan.
7 PY Usia 30 tahun, beliau
sebagai BPD Desa
Pasekan.
63
8 TS Usia 43 tahun, Beliau
sebagai Ketua RT 06 Desa
Pasekan.
9 BR Usia 52 tahun, Beliau
sebagai Bendahara
Lembaga Dusun dan juga
seorang guru SD.
10 JS Usia 39 tahun, beliau
sebagai ketua Lembaga
Dusun.
11 KD Usia 42 tahun, Beliau
sebagai warga masyarakat
umum Desa Pasekan yang
bekerja sebagai tukang
bangunan.
12 MM Usia 46 tahun, Beliau
sebagai warga masyarakat
umum Desa Pasekan yang
bekerja sebagai tukang
bangunan.
13 SY Usia 35 tahun, Beliau
sebagai warga masyarakat
umum Desa Pasekan yang
bekerja sebagai kuli
bangunan.
14 SN Usia 49 tahun, Beliau
sebagai warga masyarakat
umum Desa Pasekan yang
bekerja sebagai tani.
15 AM Usia 60 tahun, Beliau
sebagai warga masyarakat
umum Desa Pasekan yang
bekerja sebagai tukang
bangunan.
64
C. Pemahaman Masyarakat Desa Pasekan Tentang Hukum Nusyuz
1. Tokoh Agama
a. Sebagai tokoh agama dan ketua TPQ Nuril Mubin di Desa
Pasekan UUB mengatakan :
Menurut pendapat saya nusyuz itu pembakangan yang
dilakukan seorang istri kepada suaminya atau sebaliknya.
Masyarakat sini yaa orang-orang tertentu yang paham nusyuz
bahkan banyak yang belum pernah sama sekali mendengar
istilah nusyuz apalagi paham, dengar saja dereng nate mas
(wawancara, 4 September 2018).
b. Sebagai tokoh agama dan imam masjid sekaligus guru ngaji UMS
mengatakan :
Nusyuz itu yaa tidak patuhnya seorang istri terhadap
suaminya, mungkin karena ada suatu sebab. Kalau mayarakat
sini yang paham yaa mungkin orang-orang yang pernah ngaji di
pesantren, itu saja belum mesti tau, karena memang istilah
nusyuz jarang sekali didengar apalagi dikalangan masyarakat
sini (wawancara, 27 Agustus 2018).
c. Sebagai tokoh agama, Ta‟mir masjid Baiturrohman dan juga
ketua jamaah yasin ibu-ibu UMN mengatakan :
Saya baru dengar ada istilah nusyuz, memangnya nusyuz itu
apa, o kalau diterangkan begitu saya paham dan ternyata itu
sering terjadi dalam rumah tangga saya. Tapi kulo bten mudeng
kalo itu namine nusyuz, setau saya ngoten niku geh istri yang
berani sama suaminya saja tidak tau istilahnya (wawancara 26
Agustus 2018).
d. Sebagai tokoh agama dan imam mushola sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UTJ mengatakan :
Nopo geh mas nusyuz niku, mungkin kalo diterangkan sedikit
saya paham dan pernah mengalami juga. Kalo masyarakat geh
65
tetep katah seng mbten paham, saya mawon yaa baru dengar ini
istilah nusyuz (wawancara, 28 Agustus 2018).
e. Sebagai tokoh agama dan imam musholla sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UMR mengatakan :
Kulo nembe mireng nusyuz niku nopo geh mas, masyarakat
mriki geh tetep katah seng bten ngertos mas, kulo geh nembe
mireng niki og mas, cobi maksude nopo to nusyuz niku mas, cobi
diterangke (wawancara 6 September 2018).
2. Tokoh Pemerintahan
a. Sebagai tokoh pemerintahan WA tentang pemahaman nusyuz
mengatakan :
Saya tidak tau pak istilah nusyuz itu apa, saya juga baru
dengar ada istilah tentang nusyuz, memangnya nusyuz itu
membahas apa to pak. Masyarakat sini yaa tentunya banyak yang
kurang tau tentang nusyuz seperti saya ini pak, apalagi yang tua
tua tidak sekolah apa ngaji, saya aja yang masih terbilang muda
juga ga paham istilah nusyuz pak (wawancara, 5 September
2018).
b. Sebagai tokoh pemerintahan PY tentang pemahaman nusyuz
mengatakan :
Saya selama hidup di Desa Pasekan baru kali ini pak
mendengar kata nusyuz, saya dari kecil yaa ngajinya cuma di
Desa paling ngaji membaca Al-Qur‟an itu. Nusyuz itu bahasa
Arab geh pak, mungkin kalau diterangkan maksudnya geh saya
paham pak. Kalo masyarakat seusia saya kemungkinan besar ya
ga paham maksud nusyuz juga, karena kebanyakan masyarakat
sini khususnya seusia saya ya ngajinya cuma di Desa saja kayak
saya itu (wawancara, 4 September 2018).
c. Sebagai tokoh pemerintahan (Ketua RT) TS tentang pemahaman
nusyuz mengatakan :
Nusyuz niku cekcoknya rumah tangga geh mas, saya pernah
dengar dulu waktu ngaji, kalo ga salah masalah dalam rumah
tangga itu. Kalo masyarakat sini saya yaqin banyak yang tidak
66
tau tentang nusyuz mas, walaupun sebenarnya banyak yang
mengalami hal itu tapi bten paham (wawancara, 4 September
2018).
d. Sebagai tokoh pemerintahan (Bendahara Dusun) BR tentang
pemahaman nusyuz mengatakan :
Nusyuz niku nopo geh mas, saya belum paham istilah kata
nusyuz. Mungkin kalo diterangkan terlebih dahulu saya paham
dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan mas.
Masyarakat sini yaa kalau menurut saya banyak yang ga paham
dengan kata-kata nusyuz, setau saya itu bahasa masih asing di
telinga masyarakat sini mas (wawancara, 3 September 2018).
e. Sebagai tokoh pemerintahan (Ketua Lembaga Dusun) JS tentang
pemahaman nusyuz mengatakan :
Setau saya dulu pernah dengar-dengar kalau ga salah nusyuz
itu istri yang durhaka nopo geh...intinya yaa seperti itu menurut
pengetahuan saya mas, tapi secara jelasnya saya kurang paham
mas. Mayarakat sini setau saya yaa ga jauh bebeda dengan saya
mas bahkan kemungkinan lebih banyak yang ga paham walaupun
tetap ada sebagian yang mengalami hal nusyuz mas (wawancara,
27 Agustus 2018).
3. Masyarakat Umum
a. Sebagai masyarakat umum KD tentang pemahaman hukum
nusyuz mengatakan :
Kulo dereng paham mas nusyuz niku nopo. Mungkin geh bten
paham istilahe niku mas. Masyarakat sini saya kira juga belum
sami paham mas nusyuz niku nopo (wawancara, 4 September
2018).
b. Sebagai masyarakat umum MM tentang pemahaman hukum
nusyuz mengatakan :
Sepintas riyen saya pernah dengar nusyuz niku istri yang
marah, intine ngoten tapi ga tau juga itu salah apa benar mas,
kalau diterangkan secara rinci insyaAllah paham kulo mas saget
ngarani nusyuz niku pripun. Masyarakat sini geh katah seng bten
67
paham mas, saya disini belum pernah mendengar kata-kata
nusyuz niku kok, tapi kalau suami istri yang marah-marahan
banyak mas Cuma mereka tidak tau kalau seperti itu dinamakan
nusyuz mas (wawancara, 4 September 2018).
c. Sebagai masyarakat umum SY tentang pemahaman hukum
nusyuz mengatakan :
Kulo mboten ngertos mas nusyuz niku nopo, coba
diterangkan saja mas maksude nusyuz itu apa. Masyarakat sini
ya saya kira sama lah seperti saya tidak paham juga maksud kata
nusyuz niku (wawancara, 5 September 2018).
d. Sebagai masyarakat umum SN tentang pemahaman hukum
nusyuz mengatakan :
Kulo niku mboten sekolah mboten ngaji mas, mboten ngertos
maksude niku nopo, dulu ngajinya yaa latihan membaca al-
Qur‟an niku mas teng ndeso jaman riyen dados geh mboten
paham mas, cobi diterangke mawon mas supaya saya paham
maksude pripun. Wong wong mriki geh katah seng mboten paham
kados kulo niki mas, gaweane geh nyambut gawe niku ten tegal
sawah (wawancara, 3 september 2018).
e. Sebagai masyarakat umum AM tentang pemahaman hukum
nusyuz mengatakan :
Kulo niku mboten paham ngoten niku mas, nembe mireng
jenenge nusyuz niku. Maksude nopo niku to mas. Masyarakat ten
mriki do mboten nggateake hukum-hukum ngoten niku mas.
Mungkin geh sakjane pun do sami nate nglampahi seng jenenge
nusyuz niku (wawancara, 5 September 2018).
68
D. Faktor-Faktor Penyebab Nusyuz Masyarakat Desa Pasekan
1. Tokoh Agama
a. Sebagai tokoh agama dan ketua TPQ Nuril Mubin di Desa
Pasekan UUB tentang penyebab-penyebab terjadinya nusyuz
masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Kalau menurut saya ya memang sudah sewajarnya dalam
rumah tangga itu terjadi nusyuz atau tepatnya percekcokan
karena memang pasti dalam berumah tangga itu memang untuk
menghadapi masalah, tapi yang jadi masalah dalam
mengatasinya itu (wawancara, 4 September 2018).
b. Sebagai tokoh agama dan Imam Masjid sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UMS tentang penyebab-penyebab terjadinya
nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Kebanyakan nusyuz itu terjadi pada masyarakat sini ya
karena faktor tuntutan ekonomi (wawancara, 27 agustus 2018).
c. Sebagai tokoh agama dan ta‟mir masjid sekaligus ketua jamaah
yasinan ibu-ibu di Desa Pasekan UMN tentang penyebab-
penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Nusyuz ten mriki itu tidak lepas dari faktor ekonomi mas
(wawancara, 26 agustus 2018).
d. Sebagai tokoh agama dan imam musholla sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UTJ tentang penyebab-penyebab terjadinya nusyuz
masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
69
Geh karena kurangnya pemahaman akan hal agama mas
terutama tentang tugas sebagai suami istri (wawancara, 8
Agustus 2018).
e. Sebagai tokoh agama dan imam musholla sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UMR tentang penyebab-penyebab terjadinya
nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Ngoten niku ki karena dalam menghadapi kehidupan rumah
tangga mboten paham ilmu agama terutama mas (wawancara, 6
September 2018).
2. Tokoh Pemerintahan
a. Sebagai tokoh pemerintahan WA tentang penyebab-penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Ya menurut pengalaman saya memang tuntutan kehidupan
sehingga menjadikan pertengkaran dalam rumah tangga itu dan
memang kurangnya akan pemahaman agama (wawancara, 5
September 2018).
b. Sebagai tokoh pemerintahan (BPD) PY tentang penyebab-
penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Itu karena tuntutan faktor ekonomi kalau menurut saya dan
akhirnya banyak wanita yang ikut bekerja kalau disini dipabrik
itu sehingga kurang komunikasi (wawancara, 4 September 2018).
c. Sebagai tokoh pemerintahan (ketua RT) TS tentang penyebab-
penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Ya kurangnya pengertian dalam rumah tangga karena
kesibukan yang rata-rata disini suami istri kerja semua
(wawancara, 4 September 2018).
70
d. Sebagai tokoh pemerintahan (Bendahara Dusun) BR tentang
penyebab –penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Kalau disini itu ya faktor pemahaman akan hal nusyuz itu
yang kurang, artinya belum memahami akan hak dan kewajiban
suami istri (wawancara, 3 September 2018).
e. Sebagai tokoh pemerintahan (Ketua Lembaga Dusun) JS tentang
penyebab-penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Kalau menurut saya nusyuz itu terjadi karena tuntutan
kehidupan atau persaingan yang ketat yang menimbulkan iri
sehingga rumah tangga itu sering terjadi percekcokan dan
didukung kurangnya pemahaman masyarakat akan hukum
agama. Maka terjadilah nusyuz karena memang persaingan
kehidupan yang begitu tinggi pada masyarakat ditambah tidak
paham akan hal hukum terutama hukum islam(wawancara, 27
agustus 2018).
3. Masyarakat Umum
a. Sebagai masyarakat umum KD tentang penyebab-penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Kalau menurut saya memang masyarakat sini itu ketika
menikah belum memahami hal yang berkaitan dengan ilmu
rumah tangga sehingga rentan terjadi percekcokan dalam rumah
tangga (wawancara, 4 September 2018).
b. Sebagai masyarakat umum MM tentang penyebab-penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Menurut saya hal itu karena kurangnya pendidikan agama
sehingga tidak paham dalam mengatur rumah tangga yang baik
(Wawancara, 4 September 2018).
71
c. Sebagai masyarakat umum SY tentang penyebab-penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Karena dalam hal pernikahan banyak yang niatnya tidak
sesuai artinya persiapan untuk berumah tangga yang memang
belum matang (wawancara, 5 September 2018).
d. Sebagai masyarakat umum SN tentang penyebab-penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Karena masyarakat itu sendiri yang kurang bahkan tidak
mau aktif dalam mengikuti pengajian-pengajian sehingga tidak
bertambah akan ilmu agama sehingga tidak ada upaya untuk
menjaga rumah tangganya dengan baik (Wawancara, 3
September 2018).
e. Sebagai masyarakat umum AM tentang penyebab penyebab
terjadinya nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Niku nek menurut pengamatan kulo faktor terbesar geh
faktor ekonomi yang ditambah dengan pemahaman agama
ingkang kurang mas (wawancara, 5 September 2018).
72
E. Penerapan dan Penyelesaian Hukum Nusyuz Masyarakat Desa
Pasekan
1. Tokoh Agama
a. Sebagai tokoh agama dan ketua TPQ Nuril Mubin di Desa
Pasekan UUB tentang penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz
masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Menurut pengamatan dan setau saya masyarakat Desa
Pasekan sini kalau mengalami hal nusyuz yaa tidak sepenuhnya
menerapkan sesuai apa yang disarankan dalam Al-Qur‟an,
karena memang pemahamannya belum bisa sepenuhnya, mereka
dalam menangani hal itu biasanya akan minta tulung atau
istilahnya sambat atau mengeluh pada tokoh agama atau orang
yang dianggap mampu untuk menangani hal itu atau membantu
menasehati dan memberikan solusinya, ngoten niku mas
(wawancara, 4 September 2018).
b. Sebagai tokoh agama dan Imam Masjid sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UMS tentang penerapan dan penyelesaian hukum
nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Nusyuz niku belum begitu bisa dimengerti masyarakat mriki
mas, jadi dalam penerapannya ya tidak begitu paham bagaimana
seharusnya. Tapi biasanya menurut pengalaman saya kalau ada
masyarakat yang sudah bingung mengatasi masalah rumah
tangganya mereka akan sowan atau minta solusi kepada kyai
atau orang yang dianggap tua atau lebih berpengalaman dalam
hal itu (wawancara, 27 Agustus 2018).
c. Sebagai tokoh agama dan ta‟mir masjid sekaligus ketua jamaah
yasinan ibu-ibu di Desa Pasekan UMN tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
73
Kalau saya dalam menangani hal nusyuz yaa adanya ngalah
kaleh garwane niku mas, nanti kan sembuh sendiri walaupun
sebenarnya hal itu akan selalu terulang kembali. Kalau saya
menerapkan seperti yang panjenangan terangkan tadi bagi saya
sulit untuk menasehati istri karena kalau saya bilang satu kata
saja biasanya istri sudah menjawab banyak kata, jadi yaa
menurut saya alangkah baiknya diam saja nrimo mas, apalagi
kok harus pisah ranjang yaa saya sendiri malah bingung mas. Itu
menurut pengalaman saya mas, kalau orang-orang mungkin yaa
diam saja gitu karena juga tidak paham dengan apa yang
dianjurkan dalam Al-Qur‟an (wawancara, 26 Agustus 2018).
d. Sebagai tokoh agama dan imam musholla sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UTJ tentang penerapan dan penyelesaian hukum
nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Menyelesaikan nusyuz khususnya kalau saya itu cara
menasehatinya dengan mengajak istri untuk mengaji bersama
yang membahas tentang pernikahan, rumah tangga misalnya
dengan bersama-sama membaca kitab akhlaqunnisa‟,
„uqudullujain, dengan begitu sang istri tidak merasa dinasehati
jadi mudah masuk. Itu kalau saya mas dalam mengatasi masalah
nusyuz karena menurut saya begitu lebih mudah. Mungkin kalo
masyarakat yang sedikit punya bekal ilmu agama begitu lebih
enak, tapi itu hanya pemikiran saya saja wong saya juga
sebenarnya belum paham anjuran al-Qur‟an dalam
menyelesaikan nusyuz, itu semua pengalaman yang saya alami
selama menjalani rumah tangga (wawancara, 8 Agustus 2018).
e. Sebagai tokoh agama dan imam musholla sekaligus guru ngaji di
Desa Pasekan UMR tentang penerapan dan penyelesaian hukum
nusyuz masyarakat Desa Pasekan mengatakan :
Kulo mboten patek mangertos niku mas, pengalaman kulo
geh dalam keluarga hanya diam-diam saja dalam setiap masalah
nanti berlalu dengan sendirinya, mboten begitu memperhatikan
untuk menanganinya, tapi mungkin memang kebetulan keluarga
saya dingin-dingin saja. Kalau masyarakat sini yang memang
tidak begitu pengalaman geh mungkin sami kaleh kulo ngoten
niku, tidak ada upaya dalam menanganinya (wawancara, 6
September 2018).
74
2. Tokoh Pemerintahan
a. Sebagai tokoh pemerintahan WA tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Saya kok belum ngerti pak penerapan nusyuz niku,
pemahaman nusyuz saja saya masih bingung pak, tapi saya kira
orang yang pemahamannya seperti saya ini masih banyak pak di
sini (wawancara, 5 September 2018).
b. Sebagai tokoh pemerintahan (BPD) PY tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Kalau menurut pengalaman saya ya dengan memarahi istri
itu kalau dia tidak sesuai atau istilahnya durhaka gitu ya sama
suami, jadi langsung saya peringatkan gitu. Kalau masyarakat
pada umumnya mungkin ya macam-macam dalam
penyelesainnya, memang karena sebenarnya pemahaman
masyarakat tentang nusyuz masih sangat minim sekali mas di sini
itu (wawancara, 4 September 2018).
c. Sebagai tokoh pemerintahan (ketua RT) TS tentang penerapan
dan penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Di sini itu jarang mas yang memperhatikan itu, ya karena
kesibukan masyarakat sini yang mayoritas pekerja semua.
Sebenarnya itu sangat penting pemahaman hal nusyuz itu karena
bersangkutan dalam membina rumah tangga dan pastinya
sebenarnya banyak yang mengalami hal itu, tapi jarang sekali
ada yang membahas hukum nusyuz apalagi menerangkan. Oleh
karena itu dalam penerapannya yaa menurut keinginan orangnya
sendiri, jelas tidak mengacu dalam ajaran hukum islam
(wawancara, 4 September 2018).
75
d. Sebagai tokoh pemerintahan (Bendahara Dusun) BR tentang
penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa
Pasekan mengatakan :
Saya kira dalam penerapannya hukum nusyuz itu ya tidak
begitu, karena memang masyarakat sini masih kurang atau
belum memahami hukum nusyuz. Kalau saya pribadi biasanya
dengan mengingatkan “piye ngajine dinggo”, begitu mas
pegamatan saya (wawancara, 3 September 2018).
e. Sebagai tokoh pemerintahan (Ketua Lembaga Dusun) JS tentang
penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa
Pasekan mengatakan :
Untuk saya pribadi bila terjadi nusyuz ya langsung saya
ingatkan secepat mungkin, intinya sebagai laki-laki harus bisa
tegas. Kalau menurut pengamatan saya pribadi karena memang
masyarakat sini pada umumnya kurang tau akan nusyuz bahkan
tidak tau sama sekali apa itu nuyuz sehingga bila terjadi problem
dalam rumah tangga cara penyelesainnya sering terjadi dengan
kekerasan rumah tangga, yang intinya dengan main kasar,
marah-marah entah dengan membanting suatu benda, bahkan
karena memang tidak paham itu tadi akhirnya berujung
perceraian, bukannya diatasi dengan musyawarah baik-baik atau
dinasihati sesuai perintah agama Islam. Begitu menurut
pengamatan saya pada umumnya masyarakat Desa sini yang
memang sangat kurang sekali pemahaman akan hal nusyuz. Yang
lebih mengherankan setelah terjadi pertengkaran mereka seolah-
olah pisah, tapi kembali lagi entah waktu dekat atau lama, dan
itu terulang-ulang kembali. Hal itu tidak sedikit terjadi di
masyarakat pada umumnya (wawancara, 27 agustus 2018).
3. Masyarakat Umum
a. Sebagai masyarakat umum KD tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Berhubung saya itu tidak memahami hal nusyuz, kalau hal itu
terjadi sama saya ya saya hadapi dengan diam saja, itu menurut
76
saya yang efektif tidak menimbulkan masalah yang lebih besar
dengan suami diam untuk mengalah, kalau saya mau menasehati
juga bingung cara menasehatinya, wong saya dengar kata-kata
nusyuz ya karena ada wawancara ini (wawancara, 4 September
2018).
b. Sebagai masyarakat umum MM tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Kalau saya alhamdulillah sedikit-sedikit dulu ngaji, jadi yaa
dalam mengatasinya dengan kepala dingin dengan sedikit
mengalah dan pelan-pelan dinasehati, walaupun itu mungkin
lama dalam penyelesainnya tapi menurut saya insyaAllah itu
cara yang baik untuk membimbing istri supaya nusyuznya tidak
fatal. Kalau dalam masyarakat ya macem-macem mengatasinya,
tapi karena memang pemahaman akan hal nusyuz niku taseh
minim di sini ya banyak yang tidak memperhatikan hal itu
(Wawancara, 4 September 2018).
c. Sebagai masyarakat umum SY tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Pendapat saya ya itu tadi berhubung memang saya belum tau
akan hal nusyuz, tapi setelah ada wawancara ini saya jadi sedikit
tau maksud nusyuz dan hal itu ternyata memang sebenarnya
banyak terjadi dimasyarakat. Kalau menurut pengalaman saya
dalam berumah tangga menangani hal nusyuz ya dengan
didiamkan atau mengajak musyawarah antara suami istri tapi
menurut pengamatan saya masyarakat sini juga tidak jauh
berbeda akan pemahaman nusyuz, yang intinya belum paham ya
kemungkinan hanya dengan diam itu (wawancara, 5 September
2018).
d. Sebagai masyarakat umum SN tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
77
Nusyuz itu jarang sekali mas dipahami oleh masyarakat
mriki pada umumnya. Pendapat kulo kalau orang itu sering
mengikuti pengajian-pengajian seng enten ndeso mriki geh
insyaAllah masalah nusyuz saget terselesaikan dengan
sendirinya, tapi kalau wong niku tidak paham nusyuz dan tidak
ikut pengajian-pengajian geh paling-paling hanya dengan diam
tidak ada upaya untuk mengatasinya (Wawancara, 3 September
2018).
e. Sebagai masyarakat umum AM tentang penerapan dan
penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa Pasekan
mengatakan :
Wah geh menurut kulo wong memang banyak seng mboten
paham nusyuz niku nopo, seperti saya bilang tadi saya ya baru
dengar niki. Geh kebanyakan kalau terjadi nusyuz ngatasine geh
nek mboten diam yaa dengan memarahinya itu (wawancara, 5
September 2018).
78
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sebelum mengetahui akan penerapan hukum nusyuz, tentunya
pemahaman hukum nusyuz itu sendiri harus digali atau diteliti terlebih dahulu,
peneliti mendahulukan para tokoh agama karena memang secara umum tokoh
agama itulah paling tidak yang dianggap tau akan hal tersebut oleh
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya peneliti mewancarai dengan para
tokoh pemerintahan, karena paling tidak para tokoh pemerintahan Desa itulah
yang memimpin masyarakat, oleh sebab itu keterangan dari para tokoh
pemerintahan itu sangatlah penting untuk digali. Selanjutnya peneliti
mewancarai masyarakat umum karena ingin tau langsung keterangan dari
masyarakat umum yang mewakili warga masyarakat Desa Pasekan.
A. Pemahaman Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa
Tentang Hukum Nusyuz
1. Tokoh Agama
Hasil wawancara dengan lima tokoh agama, dua diantaranya
paham akan hukum nusyuz karena memang beliau berlatar belakang
dari pondok pesantren, dua diantaranya lagi justru balik bertanya
karena memang baru dengar dengan istilah nusyuz. Sedangkan yang
satunya lagi sama sekali belum paham, setelah saya uraikan tentang
pengertian dari nusyuz ternyata beliau sendiri ternyata malah sering
mengalami akan terjadinya nusyuz dalam keluarganya. Pendapat
79
mereka tentang pemahaman masyarakat, semuanya berpendapat
bahwa pada umumnya masyarakat belum memahami dengan hukum
nusyuz.
2. Tokoh Pemerintahan
Dari hasil wawancara dengan tokoh pemerintahan dua
diantaranya sedikit paham atau lebih tepatnya pernah mendengar akan
hal nusyuz sewaktu ngaji, akan tetapi juga belum paham sepenuhnya.
Sedangkan tiga diantaranya sama sekali belum paham. Memang latar
belakang pendidikan keagamaan dari semua tokoh pemerintahan
hanya didapat dari ngaji di Desa, yang mayoritas dengan pengajaran
membaca Al-Qur‟an. Pendapat mereka akan pemahaman masyarakat
juga memperkirakan bahwa pemahaman akan hal nusyuz tidak jauh
berbeda dengan mereka sendiri, yakni belum memahami akan hal
nusyuz bahkan banyak yang belum pernah mendengar akan istilah
nusyuz.
3. Masyarakat umum
Sedangkan wawancara dengan lima orang yang dikategorikan
masyarakat umum, hanya satu yang pernah dengar dengan istilah
nusyuz, itupun sepintas pernah dengar bahwa nusyuz itu istri yang
marah, tidak beda dengan tokoh pemerintahan bahwa pernah
mendengar sewaktu ngaji dulu. Empat yang lainnya belum pernah
mendengar sama sekali kata nusyuz dan belum memahami sama
sekali. Setelah peneliti menguraikan maksud dari nusyuz, lima orang
80
yang diwawancarai berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya
juga belum memahami tentang hukum nusyuz.
Dengan begitu secara umum masyarakat pada umumnya di Desa
Pasekan belum paham tentang hukum nusyuz, bahkan masih banyak
yang belum mendengar sama sekali. Tapi ada juga yang mengalami
nusyuz yang tidak menyadarinya, dikarenakan memang mereka juga
tidak paham dengan nusyuz.
Pemahaman Masyarakat Desa Pasekan Tentang Nusyuz
NO Informan Paham
(Pernah Dengar)
Tidak Paham
(Belum Dengar)
1 5 Orang Tokoh
Agama
2 Orang 3 Orang
2 5 Orang Tokoh
Pemerintahan
2 Orang 3 Orang
3 5 Orang Masyarakat
Umum
1 Orang 4 Orang
Jumlah 5 Orang 10 Orang
Dari 15 orang yang peneliti wawancarai, yang dikategorikan
paham atau pernah dengar saja ada 5 orang. Sedangkan yang 10 orang
tidak paham dan belum pernah dengar. Sedangkan pendapat mereka
(15 orang) tentang pemahaman masyarakat Desa Pasekan tentang
hukum nusyuz, semua mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya
belum paham dan bahkan belum pernah mendengar istilah hukum
nusyuz.
81
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz Masyarakat Desa
Pasekan Kecamatan Ambarawa
1. Tokoh Agama
Dari lima tokoh agama yang peniliti wawancarai dua diantaranya
berpendapat bahwa terjadinya nusyuz karena faktor ekonomi. Dua
diantaranya lagi berpendapat karena kurang pahamnya akan ilmu
agama, khususnya tentang hak dan kewajiban suami istri. Dan yang
satunya berpendapat sebenarnya terjadinya nusyuz merupakan hal
kewajaran dalam rumah tangga, tapi yang dipermasalahkan dalam
mengatasi atau menanganinya tidak paham. Dari tiga macam
pendapat mereka yang berbeda memang termasuk sebagai faktor
utama dalam terjadinya nusyuz. Mereka berpendapat dilandasi dengan
pengalaman yang dialami mereka masing-masing.
2. Tokoh Pemerintahan
Hasil wawancara dengan lima orang tokoh pemerintahan, ada
yang berpendapat karena tuntutan ekonomi, suami istri yang bekerja
semua sehingga kurangnya komunikasi dalam rumah tangga yang
menyebabkan perselisihan. Akan tetapi pada dasarnya memang faktor
dari kurangnya pemahaman ilmu agama yang membahas hukum
dalam rumah tangga, sehingga dalam membina rumah tangga tidak
bisa berjalan dengan baik.
82
3. Masyarakat Umum
Dari lima orang yang dikategorikan masyarakat umum, dua
diantaranya berpendapat bahwa faktor penyebab nusyuz dikarenakan
kurangnya pemahaman ilmu dalam rumah tangga sebelum melangkah
pada pernikahan, hal itu memang benar dan banyak terjadi
dimasyarakat. Tidak dipungkiri memang seharusnya penyuluhan
agama tentang hal pernikahan itu sangat penting, misalkan dilakukan
oleh pihak KUA dengan mengadakan penyuluhan di desa-desa.
Sedangkan yang lainnya berpendapat karena faktor ekonomi dan
masyarakat tidak mau aktif dalam kajian-kajian keagamaan yang ada.
Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz Masyarakat Desa Pasekan
NO Pendapat Informan Faktor
Ekonomi
Kurangnya
Ilmu
Agama
Kurang
pemahaman
ilmu rumah
tangga
sebelum
menikah
1 5 Orang
Tokoh Agama
2 Orang 3 Orang 0
2 5 Orang
Tokoh Pemerintahan
4 Orang 1 Orang 0
3 5 Orang
Masyarakat Umum
1 Orang 2 Orang 2 Orang
Jumlah 7 Orang 6 Orang 2 Orang
Dari 15 orang yang peniliti wawancarai tentang faktor penyebab
terjadinya nusyuz ada 3 macam pendapat, 7 orang berpendapat karena
faktor ekonomi/tuntutan kehidupan, 6 orang berpendapat karena
kurangnya ilmu agama, sedangkan yang dua orang berpendapat
83
karena kurangnya pemahaman ilmu rumah tangga sebelum menikah.
Artinya faktor utama penyebab terjadinya nusyuz masyarakat Desa
Pasekan Kecamatan Ambarawa yaitu karena faktor ekonomi/tuntunan
kehidupan dan karena kurangnya pemahaman agama dalam
masyarakat.
C. Penerapan dan Penyelesaian Hukum Nusyuz Masyarakat Desa
Pasekan Kecamatan Ambarawa
1. Tokoh Agama
Dari lima tokoh agama yang peneliti wawancarai dalam
penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz, memang karena
kurangnya pemahaman masyarakat Desa Pasekan tentang nusyuz
sehingga mereka berbeda beda dalam menyelesaikannya. Diantaranya
dengan meminta solusi kepada tokoh agama atau kepada orang yang
dianggap tua dan mampu untuk membantunya. Ada juga yang hanya
mendiamkan saja atau menerima karena memang bingung untuk
mengatasinya. Dan ada juga dengan mengajak ngaji bersama-sama
bahkan ada yang tidak ada upaya untuk mengatasi. Dalam
penyelesainnya berbeda-beda memang dari awal pemahaman
masyarakat tentang nusyuz masih kurang, sehingga tidak mengacu
terhadap hukum yang ada dalam Al-Qur‟an.
84
2. Tokoh Pemerintahan
Sedangkan pendapat dan pengamatan dari para tokoh
pemerintahan tentang penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz
dalam masyarakat Desa Pasekan, seperti para tokoh agama mereka
berpendapat dikarenakan kurangnya pemahaman tentang hukum
nusyuz sehingga dalam menyelesaikannya tidak punya landasan
artinya dengan cara mereka sendiri-sendiri, ada yang dengan cara
marah, ada juga yang hanya dengan mengingatkan saja, bahkan tak
sedikit yang hanya mendiamkan yakni tidak ada upaya untuk
menyelesaikannya.
3. Masyarakat Umum
Pengamatan dari lima masyarakat umum yang diwawancarai
tentang penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz masyarakat Desa
Pasekan tidak jauh berbeda dengan tokoh pemerintahan. Bahwa pada
umumnya masyarakat Desa Pasekan yang berangkat dari kurang
pahamnya hukum nusyuz, maka dalam penerapan dan penyelesainnya
kebanyakan dengan diam saja atau tidak ada upaya untuk
menyelesaikannya.
Karena dampak kurang pemahaman akan hal nusyuz, tujuan
pernikahan sulit untuk tercapai. Seharusnya pihak terkait seperti KUA
atau Kemenag setempat mengadakan safari penyuluhan agama
khususnya pemahaman tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami
85
istri harus benar-benar dipahami. Permasalahan besar berangkat dari
yang kecil, oleh karena itu membangun dan membina rumah tangga
yang baik sangat penting untuk mewujudkan bangsa ini lebih baik.
Penerapan dan Penyelesaian Nusyuz Masyarakat Deasa Pasekan
NO Pendapat
Informan
5 Orang
Tokoh
Agama
5 Orang
Tokoh
Pemerintahan
5 Orang
Masyarakat
Umum
Jumlah
1 Minta Solusi
Tokoh Agama
2 Orang 0 0 2 Orang
2 Menasehati
Dengan /
Mengajak Ngaji
1 Orang 0 1 Orang 2 Orang
3 Mengingatkan
saja
0 1 Orang 0 1 Orang
4 Mengingatkan
Dengan Tegas
0 1 Orang 0 1 Orang
5 Mendiamkan
saja Dengan
Mengalah
1 Orang 0 0 1 Orang
6 Tidak ada upaya
Untuk
Menyelesaikan/
Dengan cara
semaunya
1 Orang 3 Orang 4 Orang 8 Orang
Dari kesimpulan tabel di atas bahwa dalam penerapan dan
penyelesaian nusyuz masyarakat Desa Pasekan kebanyakan dengan
cara semaunya atau tidak ada upaya untuk menyelesaikan. Sedangkan
yang ada upaya menyelesaikan, hanya sampai tahap menasehati saja.
Hal itu memang dikarenakan akan kurang pahamnya masyarakat akan
hal nusyuz sehingga mereka dalam menyelesaikan nusyuz tidak
mengacu pada surat an-Nisa‟ ayat 34.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan memaparkan pembahasan sekripsi ini, maka
dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemahaman masyarakat Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa,
Kabupaten Semarang tentang hukum nusyuz yang terkandung dalam
Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 34 yaitu bahwa masyarakat Desa
Pasekan sebagain besar belum memahami tentang hukum nusyuz atau
istilah kata nusyuz. Terbukti ketika diwawancari apa itu nusyuz
mayoritas masyarakat yang diwawancarai bingung dalam
menjawabnya, yakni belum paham dengan istilah nusyuz. Walaupun
sebenarnya banyak masyarakat yang mengalami hal nusyuz dalam
rumah tangganya.
2. Faktor Faktor penyebab nusyuz masyarakat Desa Pasekan Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang yaitu dominan disebabkan oleh
faktor ekonomi yakni tuntutan kehidupan yang tinggi dan disebabkan
faktor kurang pahamnya akan nusyuz yakni pemahaman akan hal hak
dan kewajiban suami istri yang tidak diperhatikan, hal itu karena
pengetahuan agama yang kurang.
3. Implementasi atau penerapan dan penyelesaian hukum nusyuz di
masyarakat Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
87
Semarang yaitu bahwa Masyarakat Desa Pasekan dalam menerapkan
hukum nusyuz juga tidak memandang Al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat
34, dikarenakan kurang pahamnya masyarakat akan hal hukum
nusyuz. Begitu juga dalam menyelesaikan atau menangani nusyuz
masyarakat Desa Pasekan juga tidak mengacu pada Al-Qur‟an surat
an-nisa‟ ayat 34, hal itu tak lain juga disebabkan masyarakat yang
kurang paham akan hal nusyuz. Akan tetapi masyarakat dalam
menangani hal nusyuz juga bermacam-macam, walaupun sedikit ada
pengacuan terhadap surat an-Nisa‟ ayat 34 tersebut, tapi hal itu tidak
disadarinya. Cara masyarakat dalam menghadapi atau menangani
nusyuz antara lain dengan :
a. Meminta solusi kepada tokoh agama atau orang yang dianggap
mampu.
b. Menasehati dengan mengajak ngaji bersama-sama.
c. Mengingatkan saja.
d. Langsung mengingatkan dengan tegas.
e. Mendiamkan saja karena dirasa tidak mampu untuk menasehati
atau mengingatkan, yang akhirnya menerima apa adanya.
f. Tidak memperhatikan akan hal nusyuz yakni dianggap biasa
tanpa ada upaya menyelesaikannya.
88
B. Saran
Dari pembahasan skripsi ini dapat dipahami secara jelas bahwa
pemahaman, implementasi atau penerapan dan penyelesaian hukum
nusyuz dimasyarakat masih kurang, artinya hukum itu ada tapi banyak
masyarakat yang belum paham akan hal itu. Oleh karena itu untuk para
pakar hukum islam khususnya terutama dalam hal nusyuz untuk dapat
meneliti kembali akan penerapan hukum nusyuz, karena kebanyakan
meneliti hukumnya akan tetapi tidak memperhatikan dalam
penerapannya.
Untuk pemerintah diharapakan dalam mewujudkan negara yang
tentram bahagia, diawali dengan memperhatikan kedamaian dalam rumah
tangga, misalkan dengan mengatur persiapan dalam pernikahan supaya
tujuan nikah dapat terwujud dengan baik.
Bagi masyarakat terutama untuk masyarakat Desa Pasekan
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang untuk lebih lagi
memperhatikan akan hal hak dan kewajiban suami istri, supaya dapat
membina rumah tangga dengan baik, yang akhirnya dapat mwujudkan
kedamaian dalam rumah dan jauh dari hal nusyuz.
89
DAFTAR PUSTAKA
Adhim, Muhammad Fauzil.1999. Kupinang engkau dengan Hamdalah.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Al Qurtubi, Syaikh Imam Al Jami‟ li Ahkam Al Qur‟an. Tanpa tahun. Tafsir
Al-Qurtubi. Terjemahan oleh Ahmad Rijal Kadir. 2008. Jakarta:
Pustaka azam .
Al-Jamal, Muh. Yusuf Asy-Syahir. 1993. Tafsir Al-bahr Al-muhit. Beiruit:
Dar al-Alamiyah.
Al-Khayyath, Muhammad Haitsam. 2007. Problematika Muslimah di Era
Modern. Jakarta: Erlangga.
Al-Khusyt, Muhammad Utsman. 2007. Membangun Harmonisme Keluarga.
Jakarta: Qisthi Press.
Al-mashri, Syaikh Mahmud.Tanpa tahun. Perkawinan idaman.Terjemahan
oleh Imam Firdaus. 2011. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qur‟an dan terjemahan. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an.
Departemen Agama RI.
Amirudin & Zainal Asikin. Tanpa Tahun. Pengantar Metode Penelitian
hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anis, Abdussami‟. Tanpa Tahun. Metode Rosulullah Mengatasi Problematika
Rumah Tangga. Jakarta: Qisthi Press.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur penelitian:Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Ar-Rozi, Fahruddin. Tanpa Tahun. Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatihi
al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr.
As-Sabuni, Ali. 2001. Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur‟an.
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
As-Sadlan, Shaleh bin Ghanim. Tanpa tahun. Nusyuz. Terjemahan oleh Abu
Hudaifah Yahya. 2008. Nusyuz Petaka Rumah Tangga. Jakarta: Nurul
Qolbi.
90
As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam
Islam. Jakarta: Amzah.
Astuti. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 5 September 2018.
Aziz, Dahlan Abdul. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahab. 2009. Fiqih Munakahat
Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1997. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-
Fikr.
Basyir, Ahmad Azhar. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII
Press.
Busroni. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 3 Setember 2018.
Ibad, M.N. 2011. Kekuatan Perempuan Dalam Perjuangan Gus Dur-Gus
Miek. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur‟an Klasik dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta: al-„Itishom Cahaya
Umat.
Kasdiyanto. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 4 September 2018.
Koentjaraningrat. 2012. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusuma, Ahwal. 2000. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung:
Sinar Baru Aldasindo.
Manshur, Abd al-Qodir. 2012. Buku Pintar Fiqih Wanita. Jakarta: Zaman.
Mariman. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 6 September 2018.
Marsum. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 5 september 2018.
Meitayani, Dwi. 2005. Konsep Nusyuz dalam Madzhab Syafi‟i Perspektif
Keadilan Gender. Skripsi Stain Purwokerto: tidak diterbitkan.
91
Moleong, Lexy J. 2002. Metode penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya.
Mubarok, Husni. 2009. Nusyuz Studi Komparatif Antara Imam Syafi‟i dan
Amina Wadud. Skripsi UIN Suka Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
Mufid. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 4 September 2018.
Mughniyyah, Muhammmad Jawad. 1964. Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah. Beirut:
Dar al-Ilm Li al-Malayin.
Muhamad, Husein. 2004. Islam Agama Ramah Perempuan Pembela Kiai
Pesantren. Yogyakarta Lkis.
Munajat, Mahrus. 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Munawwir, Achmad Warsun. 1997. Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progesif.
Musa, Muhammad Yusuf. 1956. Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-
Islami. Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi.
Nawawi, Muhammad. Tanpa Tahun. Syarh Uqud al-Lujjayn fi Huquq az-
Zaujain. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ngadeli. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 26 Agustus 2018.
Nuansa Aulia(Ed). 2012. Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan. Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Priyadi. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 4 September 2018.
Qonita, Shofa. 2005. Perlindungan Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun
2004. Skripsi UIN Malang: tidak diterbitkan.
Riva‟i, Muh. 1993. Ushul Fiqih. Bandung : PT Al Ma‟arif.
Sabikh, Muhammad Ali. 1965. Al-ahkam Syari‟ah fi Ahwal as-Syakhsiyyah.
Sabiq, As-Sayyid. 1910. Fiqh As-Sunnah. Al-Qohiroh: Fath al-I‟lam al-
„Arabi.
92
Sahlan. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 27 Agustus 2018.
Sahrani, Sohari. 2010. Fikih Munakahat Kajian Fiqh Lengkap. Jakarta:
Rajawali.
Sarbini, Muhammad Alkatib. Tanpa Tahun. Mughni Al-Muhtaj. Mesir:
Musthofa Al-bab Al-halabi.
Shahrur, Muhamad. 2015. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta:
Kalimedia.
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press.
Suaefi. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 27 Agustus 2018.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif R&D. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Sukirno. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 3 September 2018.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :
PT Remaja Rosda Karya.
Sunggono, Bambang. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Susanto, Imam Bagus. 2012. Pandangan Imam Al-Syafi‟i Tentang Nusyuz
Dalam Perspektif Gender. Skripsi UIN Malang: Tidak diterbitkan.
Sutiyok. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 5 September 2018.
Syakir, Ahmad. 2014. Mukhtashar Tafsir Ibnu katsir. Jakarta: Darus Sunnah.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara
Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:
Kencana.
Syuaisyi, Syaikh Hafizh Ali. Tanpa tahun. Tuhfatul Ursyi wa Bahjatu An-
nufus. Terjemahan oleh Shiddiq, Abdul Rosyad. 2005. Kado
Pernikahan. Jakarta : Pustaka Al-kaustar.
Trimo. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 4 September 2018.
Tumijan. Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 28 Agustus 2018.
Ubaidillah, Wawancara. Kab. Semarang. Tanggal 4 September 2018
93
Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Bandung:
CV Sinar Baru.
Yasid. 2005. Fiqh Realitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasin, Cecep Lukman. 2005. Cara al-Qur‟an Membebaskan Wanita. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
Yunus, Muhammad. 1983. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta:
Hidakarya Agung.