HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI NUSYUZ -...
Transcript of HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI NUSYUZ -...
HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI NUSYUZ
(Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara No. 377/Pdt. G/2006)
Disusun oleh :
Hadi Zulkarnain
106044201462
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI NUSYUZ
(Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara Nomor 377/Pdt. G/2006)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hadi Zulkarnain
NIM 106044201462
Di Bawah Bimbingan
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag
NIP. 197602132003122001 NIP. 197106301997032002
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Desember 2010
Hadi Zulkarnain
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis
panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad
saw yang telah menebarkan cahaya islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis
dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam.
Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut
ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis
lalui. Semua ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi
ini, diantaranya adalah:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adik-adik dan saudara-saudaraku
tersayang yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi penulis.
Senyummu adalah penyemangatku dalam menjalani kehidupan ini. Semoga
Allah selalu melindungi serta selalu memberikan nikmat sehat.
ii
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Bapak Kamarusdiana, M.Ag
selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan program studi Ahwal Asy
Syakhshiyyah yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama
menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag dan Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag selaku dosen
pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
5. Dr. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Dr. Azizah, MA selaku dosen penguji yang
sudah menyempatkan waktunya untuk menguji penulis.
6. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi
ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis
dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi
amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.
7. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
8. Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur beserta staff Pengadilan
Agama Jakarta Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur serta telah
membantu dalam kelancaran birokrasi.
iii
9. Teman-teman seperjuangan AKI 2006. Selama 4 tahun kenal dan kuliah
bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.
10. Khusus untuk teman kosan (Sukri, Ari, Irfan, Musyawa, Fauji), Thank’s for
All. You are the best friend. “SEMANGAT”
Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai
kebaikan di sisi Allah swt dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 4 Februari 2011
Hadi Zulkarnain
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 8
D. Metode Penelitian .................................................................................... 9
E. Review Study Terdahulu ....................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ 13
BAB II PANDANGAN FUQAHA TENTANG HADHANAH DAN
PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Hadhanah ............................................................................ 15
B. Dasar Hukum Hadhanah ....................................................................... 18
C. Syarat-syarat untuk Mendapatkan Hak asuh ........................................ 19
D. Pihak-pihak yang Berhak Atas Hak Asuh ............................................ 26
E. Hak Asuh Anak jika Istri Nusyuz ......................................................... 27
BAB III HADHANAH & PERMASALAHANNYA MENURUT ATURAN
PERKAWINAN di INDONESIA
A. Pengertian Hadhanah ............................................................................ 30
B. Syarat-syarat untuk Mendapatkan Hak Asuh ....................................... 32
C. Pihak-pihak yang Berhak Atas Hak Asuh ............................................ 34
D. Hak Asuh Anak jika Istri Nusyuz ......................................................... 35
v
BAB IV PANDANGAN HAKIM PA JAKTIM TENTANG HAK ASUH
ANAK PASCA PERCERAIAN AKIBAT ISTRI NUSYUZ
A. Gambaran Putusan No. 377/Pt. G/2006 PA Jaktim ............................... 38
B. Pertimbangan Hakim PA Jaktim dalam Memutuskan Perkara No. 377/
Pt. G/2006 .............................................................................................. 48
C. Analisa Penulis Terhadap Putusan No. 377/Pt. G/2006 PA Jaktim ...... 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 56
B. Saran-Saran ........................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 59
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita, sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk membentuk keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa saling memahami
antara suami istri sehingga dapat tercipta keharmonisan, ketenangan dan kasih
sayang karena ketiga poin tersebut merupakan kunci dari tujuan perkawinan.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Rum ayat 21 menyatakan :
:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.
Ar-Rum : 21)
Lihatlah betapa indahnya bahasa Al-Qur’an dalam menggambarkan
kebutuhan manusia terhadap perkawinan, serta ketenangan dan kebahagiaan yang
lahir dari pada perkawinan tersebut. Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 187 :
2
... ...
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
(QS. Al-Baqarah : 187)
Ayat diatas mengibaratkan suami istri sebagai pakaian bagi pasangannya
karena masing-masing saling melindungi pasangannya.
Oleh karena itu, keperluan suami kepada istri dan keperluan istri kepada
suami adalah seperti keperluan masing-masing kepada pakaian. Pakaian diperlukan
untuk menutupi seluruh badan dan menghindari suatu yang menyakitkan begitu juga
dengan suami dan istri, masing-masing akan menjaga kemuliaan, kehormatan serta
memberikan kebahagiaan kepada pasangan masing-masing.
Namun tidak setiap pasangan yang terikat dalam perkawinan tersebut dapat
menyelesaikan misinya dengan sempurna, dalam perkawinan akan terjadi pergolakan
dalam rumah tangga yang berawal dari faktor-faktor tertentu. Pergolakan tersebut
akan membawa pernikahan kepada perceraian antara suami istri yang tidak menemui
jalan penyelesaian. Suami istri sendiri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat
mengambil keputusan bercerai walaupun perceraian tersebut dibolehkan.1 Perceraian
merupakan jalan terakhir karena dampaknya yang tidak sedikit dan sangat serius,
sehingga dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Nabi SAW
menyatakan :
1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2000), cet.
Keempat, h.240.
3
لابغض الحال: عن ابن عمر رضي هلل عنو ان النبي صلى هلل عليو و سلم قا ل
(رواه ابوا داود) عند هلل الطال ق2
“ Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : sesuatu
yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian. (HR. Abu Daud)
Terjadinya perceraian ini membawa berbagai konsekuensi logis yang harus
diterima masing-masing pihak, termasuk anak hasil perkawinan mereka sebagai pihak
yang paling dirugikan.
Salah satu hal penting yang mungkin kurang dipertimbangkan ketika terjadi
perceraian adalah tanggung jawab pemeliharaan anak atau hak asuh anak.
Pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua, baik ketika kedua
orang tuanya masih hidup rukun dalam ikatan perkawinan maupun ketika mereka
gagal karena terjadi perceraian. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal, diantaranya
masalah ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah lain yang menjadi kebutuhan
pokok anak.
Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi di
semua aspek kehidupan manusia, terminologi anak perlu dipahami lebih luas dan
menyeluruh agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada
terpenuhi kebutuhan materil anak saja, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan
cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktor penentu pembentuk kepribadian anak.3
2 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Al-Qahirah, Dar Al-Harin, 1988/1408 H), Juz kedua, h.226
4
Sehingga kualitas komunikasi antara anak dan orang tua mutlak perlu mendapatkan
perhatian. Bila hal ini tidak terpenuhi, maka pada akhirnya anak akan mencari
konpensasi diluar yang besar kemungkinan akan lebih mendatangkan pengaruh
negatif dari pergaulan mereka.
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,
hadhanah ini berarti disamping atau berada dibawah ketiak. Sedangkan secara
terminologisnya, hadhanah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz
atau yang kuang mampu kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi
keperluannya sendiri.4
Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah melakukan pemeliharaan anak-anak
yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi
belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.5
Namun yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa terdapat perbedaan antara
tanggung jawab pemeliharaan bersifat materil dan tanggung jawab pemeliharaan yang
bersifat pengasuhan.
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2000), cet.
Keempat, h.240. 4 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta. Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999),
h.415 5 Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta Timur, Prenada Media, Juli 2003),
cetakan pertama, h.176
5
Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam
merupakan kewajiban ayah. Sedangkan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat
pengasuhan, dalam berbagai literature fiqh, prioritas utama hak pengasuhan anak
diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum mumayyiz. Apabila anak tersebut
sudah mumayyiz, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib (hakim) siapakah diantara
kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih pandai untuk mendidik anak itu,
selanjutnya si anak hendaklah diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur
kemaslahatan itu. Akan tetapi kalau keduanya sama saja, anak itu harus disuruh
memilih kepada siapa diantara keduanya yang lebih disukai oleh si anak.6
Secara umum, sudah dapat diketahui bahwa bagi anak yang belum mumayyiz
hak pengasuhannya diprioritaskan kepada ibu, tetapi bagaimanakah jika perceraian
orang tuanya itu terjadi karena nusyuz yang dilakukan oleh ibunya. Artinya, si ibu
adalah orang yang sudah pernah terbukti melalaikan kewajibannya sebagai istri.
Apakah si ibu masih layak diberi prioritas untuk melakukan pengasuhan terhadap
anaknya ?
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 49 ayat 1 disebutkan bahwa salah
seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak
dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
6 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta, Attahiriyah, Januari 1976), cetakan ketujuh belas,
h.403
6
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
Sementara itu dalam KHI pasal 105 point a disebutkan bahwa : “Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.
Kedua aturan diatas merupakan pegangan para hakim dalam memutuskan
perkara hadhanah, selain juga memakai rujukan lainnya. Karena itu bagaimanakah
para hakim memutuskan perkara yang berkaitan dengan hak asuh anak pasca
perceraian karena istri nusyuz. Apakah para hakim akan tetap memberikan prioritas
hak asuh kepada ibu ? ataukah mengalihkan kepada selain ibu ?
Hal inilah yang menjadi pemikiran penulis dalam melihat beberapa kasus
perceraian yang mengakibatkan sengketa hadhanah atau pengasuhan anak, karena
jika para hakim melihat hasil dari perceraian tentang hadhanah hak asuhnya harus
diberikan kepada ibu jika anak itu belum mumayyiz, maka akan menjadi tidak adil
bagi pihak ayah dari anak tersebut jika perceraian tersebut diakibatkan karena istri
melakukan nusyuz. Sehingga hal ini menurut penulis harus mendapatkan perhatian
lebih dari para hakim dalam memutuskan perceraian akibat nusyuz yang berdampak
pada hadhanah atau pengasuhan anak, walaupun dalam KHI atau Undang-Undang No
1 Tahun 1974 diatur bahwa hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz jatuh atau
diberikan kepada pihak ibu.
7
Berdasarkan masalah diatas penulis tertarik untuk mengkaji dan melihat lebih
jauh permasalahan tersebut yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul
Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusyuz (Analisa Putusan nomor 377/Pdt.
G/2006/PA Jaktim).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Karena pembahasan mengenai hak asuh anak akibat istri nusyuz demikian
luasnya, maka perlu kiranya penulis memberikan batasan masalah agar tidak melebar
dan lebih terarah, pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pembahasannya
mengenai hak asuh anak setelah perceraian karena istri nusyuz dalam putusan No.
377/Pdt. G/2006/PAJT.
2. Perumusan Masalah
Menurut pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa “ Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
Akan tetapi berdasarkan putusan yang penulis dapat dari pengadilan agama
Jakarta Timur majelis hakim dalam menetapkan putusan untuk orang tua yang
8
nusyuz hanya merujuk pada pasal 105 poin a Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya”.
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merincikan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana pendapat fuqaha tentang hak asuh anak pasca perceraian karena
istri nusyuz ?
2. Bagaimana perundang-undangan perkawinan di Indonesia mengatur tentang
hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz ?
3. Bagaimana pandangan hakim yang menyelesaikan perkara No. 377/Pdt.
G/2006/PA Jaktim tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri
nusyuz ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah terjawabnya
semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu :
1. Untuk mengetahui pendapat fuqaha tentang hak asuh anak pasca perceraian
karena istri nusyuz.
2. Untuk mengetahui perundang-undangan perkawinan di Indonesia dalam
mengatur tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz.
9
3. Untuk mengetahui pandangan hakim yang menyelesaikan perkara No.
377/Pdt. G/2006/PA Jaktim tentang hak asuh anak pasca perceraian karena
istri nusyuz.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang
hukum Islam
2. Menjadikan bahan pertimbangan para penegak hukum dalam hal ini hakim,
untuk lebih mengedepankan prinsip keadilan dalam memutuskan perkara
selain mengedepankan pertimbangan hukum.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan hak hadhanah pada
istri yang nusyuz
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan hukum normatif yang
memiliki persamaan dengan penelitian doktrinal.7 Yaitu cara mendekati masalah yang
akan diteliti dikonsepkan sebagian kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia dianggap pantas atau sebaliknya, benar atau salah dan
sebagainya. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif,
menggambarkan sebuah permasalahan lalu diambil kesimpulan.
7 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. II (Jawa Timur:
Bayumedia Publising, 2006)h.45
10
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorisasi menjadi bahan hukum
primer, sekunder dan tersier. Adapun bahan hukum primernya mencakup peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian putusan No. 377/Pdt.
G/2006/PAJT, selanjutnya bahan hukum sekundernya terdiri dari buku, jurnal, karya
ilmiah yang ada kaitannya dengan objek penelitian, sedangkan bahan hukum
tersiernya adalah kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
study dokumentasi terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Disamping
itu, penulis juga akan melakukan wawancara terhadap hakim yang memutus perkara
No. 377/Pdt. G/2006/PAJT dan juga kepada para pihak dalam perkara.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data dilakukan dengan cara mengedit data, lalu disusun
agar dapat menjadi bagian yang menyatu dari teks-teks, diberikan pengkodean data
berdasarkan kategorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan masing-masing
permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis secara kualitatif.
5. Teknik Analisis Data
11
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa
sehingga menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Data-data dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat membantu menjawab
permasalahan penelitian.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara
penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada,
lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Teknik penulisan dan
penyusunan juga berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum, Cet Ke-1 tahun 2007.
E. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review studi terdahulu sebelum menentukan judul
proposal, dalam review studi terdahulu penulis menemukan beberapa skripsi yang ada
kaitannya dengan hadhanah. Diantaranya adalah :
1. Hak Hadhanah Menurut UU Keluarga Islam di Mahkamah Syari’ah Negeri
Selangor, Malaysia, oleh: Khaslaili binti Lahuri (106044103565).
Skripsi ini membahas tentang hadhanah yang di dalam Undang-undang Keluarga
Islam di Negeri Malaysia dijelaskan bahwa ibu lebih berhak atas hak hadhanah
setelah perceraian berlaku.
Selain itu juga dijelaskan syarat-syarat yang berlaku bagi orang yang berhak
atas hak hadhanah menurut Undang-undang Keluarga Islam di Negeri Selangor
12
Seksyen 83 Enakmen No. 2 tahun 2003 adalah Islam, akal yang sempurna, berumur
yang melayakkan dia memberi penjagaan dan kasih sayang yang diperlukan oleh
anak-anak itu, berkelakuan baik dan tinggal di tempat di mana anak itu tidak akan
mungkin dihadapkan oleh sesuatu hal yang berdampak negatif dari akhlak dan
jasmani.
2. Hadhanah Persfektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan No. 1185/ Pdt. G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057).
Skripsi ini membahas tentang Hak Asuh Anak dalam pandangan Madzhab
Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Bahwasanya secara teoritis, Imam Hanafi tidak mensyaratkan beragama Islam bagi
yang akan melakukan hadhanah terhadap anak yang beragama Islam selama anak itu
belum mumayyiz (di bawah umur tujuh tahun).
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas mujtahid, orang tua
yang murtad setelah putusnya perkawinan tidak memiliki hak asuh anaknya, karena
salah satu syarat bagi orang yang melakukan hadhanah adalah beragama Islam.
Artinya, bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah
terhadap anaknya.
Secara praktis prioritas hak asuh orang tua murtad terhadap anak di bawah
umur menurut keputusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan hak pengasuhnya
diberikan kepada ayah karena ibu dari anak tersebut keluar dari agama islam
13
(murtad), demi menjaga kemashlahatan dan menjaga akhlak anak dan menjaga
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan serta kehormatan anak.
3. Kekerasan Karena Istri Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan) oleh: Nur Shollah (102044225103).
Skripsi ini membahas tentang suami yang melakukan kekerasan karena istri
tidak taat pada suami. Hal ini juga dapat di katakan nusyuz.
Kekerasan dalam pandangan hukum Islam bahwa suami hendaknya jangan
sampai memukul wajah dan bagian tubuh lainnya yang dapat melukai apalagi
mencelakakan terhadap diri istri.
Dengan demikian skipsi yang akan penulis angkat berbeda dengan skripsi-
skripsi yang sudah dibahas terdahulu, karena skripsi penulis akan membahas tentang
hak hadhanah terhadap anak yang sudah mumayyiz dalam kasus perceraian karena
istri nusyuz dengan menganalisa putusan No. 377/Pdt. G/2006/PAJT.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline dalam
bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut :
BAB I: Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, review study terdahulu serta sistematika penulisan.
BAB II: Membahas tentang hadhanah dan permasalahannya menurut fuqaha,
meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat
14
untuk mendapatkan hak asuh anak, pihak-pihak yang berhak atas hak
asuh, hak asuh anak jika istri nusyuz.
BAB III: Membahas tentang Hadhanah dan permasalahannya menurut aturan
perkawinan di Indonesia, meliputi pengertian hadhanah, syarat-syarat
untuk mendapatkan hak asuh, pihak-pihak yang berhak atas hak asuh
anak, hak asuh anak jika istri nusyuz.
BAB IV: Dalam bab ini berisi tentang pandangan hakim PA Jaktim tentang hak
asuh anak pasca perceraian akibat istri nusyuz.
BAB V: Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi yang berisi tentang
kesimpulan dan saran
15
BAB II
PANDANGAN FUQAHA TENTANG HADHANAH DAN
PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Hadhanah
Secara etimologi (Bahasa), hadhanah (pemeliharaan anak) berarti “al-janb”
yang berarti disamping atau berada di bawah ketiak1, atau bisa juga berarti
meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan
sesuatu dalam pangkuan.2 Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang
belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya, karena mereka tidak bisa
mengerjakan keperluan diri sendiri.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah hadhanah berasal dari
kata ( انحضن ) yang artinya lambung, seperti kalimat رة من انحضن انحضانت مأخ
Artinya hadhanah diambil dari kata al hidhan, hal ini diungkapkan dalam bentuk
ضو“ حضن انطاێش ب ” yang artinya burung itu menghimpit dibawahnya, begitu pula
dengan perempuan (ibu) yang menghimpit anaknya.3
1 Abu Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut. Dar Al-Kutub, 1987), Juz II. h. 212
2 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta.
Kencana, 2004), h. 166 3 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut. Darul Kitab Al Araby, 1973), cet.ke-2, jilid II, h.
288
16
Secara terminologi hadhanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil
untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak
mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri.4
Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang
yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tapi kehilangan akal (kecerdasan
berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh
perceraian atau karena meninggal dunia di mana anak belum dewasa dan tidak
mampu mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang
bertangggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.
Menurut Husein Bahreisj, hadhanah adalah melakukan pemeliharaan dan
mendidik anak5, dan menurut ahli fiqh lainnya hadhanah adalah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan yang sudah besar
tapi belum mumayyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup
dan memikul tanggung jawabnya.6
4 Muhammad Husein Zahabi, Al-Syari‟ah al Islamiyah: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib
Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib al-Ja‟fariyah, (Mesir. Dar al Kutub al Hadisah, 1968), h. 398 5 Husein Bahreisj, Masalah Agama Islam, (Surabaya. Al-Ikhlas, 1980), h. 56
6 As Sayyid Sabiq, op.cit, h. 160
17
Madzhab Syafi‟i mengatakan bahwa hadhanah adalah menjaga seseorang
yang tidak mampu untuk mengurus diri sendiri dan mendidiknya dengan pelbagai
elemen sesuai dengan perkembangan.7
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hadhanah adalah untuk mendidik anak-
anak yang sepatutnya mendapatkan hak penjagaan dan Madzhab Maliki berpendapat
bahwa hadhanah adalah sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan
kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.8
Menurut hukum Islam hadhanah (mengasuh anak atau memelihara anak)
adalah wajib dan merupakan hak anak agar anak menjadi manusia yang beragama
untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat, Firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat
At-Tahrim ayat 6 menyatakan :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim : 6)
Yang dimaksud tentang memelihara keluarga dalam ayat di atas adalah
mengasuh, memelihara serta mendidik mereka sehingga berguna bagi agama bangsa
7 Mustofa AL-Khin, Mustofa Al-Bugho dan Ali Asy-Syarbaji, Kitab Nikah Madzhab Syafi‟i,
(Kuala Lumpur. Pustaka Salam, 2005), h. 951 8 Muhammad ibn Ahmad ibn „Arafah al-Dasuqi, Hashiyat al-Dasuqi „ala al Sharh al-Kabir,
(Kairo. Dar Ihya al Kutub al-„Arabiyah, 1980), juz 2,h. 526
18
dan negara. Kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya dipertegas lagi dengan
hadist Nabi :
اهلل عنو قال شة سض سهم: عن ابى ىش و صهى اهلل عه نذ : قال اننب د ن كم م
دانو, عهى انفطشة اه ي نصشانو, فٲب مت ىم , ا مت تنتج انبي مجسانو كمثم انبي ا
يا جزعاء (ساه انبخاسی )تشف9
“ Dari Abi Hurairoh ra: Nabi SAW bersabda: tiap-tiap anak dilahirkan
menurut fitrahnya (suci bersih) maka ibu bapaknya yang menjadikan Yahudi,
Nasroni, Majusi, sama halnya dengan seekor hewan ternak maka ia akan melahirkan
ternak pula tiada kamu lihat kekurangannya “ (H.R.Bukhori )
B. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib,
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan
istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 233 menyatakan :
..... .....
“ Adalah kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian anak dan istrinya “.
(QS. Al-Baqarah : 233)
9 Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhori, (Beirut. Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987
M), Cet Ke-3, h.1270
19
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
terjadinya perceraian. Dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
عاء : عن عبذ اهلل بن عمش ان امشٲة قا نت ل اهلل ان ابنى ىزا كا ن بطنى نو ا سس
اء, ثذى نو سقاء اساد ان نتزعو من فقا ل , حخشي نو ح ان اباه طهقنى
سهم و ل اهلل صهى اهلل عه (ساه اب داد)انت احق بو ما نم تنكحى : اسس10
Artinya : “ Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan berkata
: Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang
memberi minumnya dan pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya
telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW,
„Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum menikah dengan
orang lain.”
Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran,
kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan
mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka, bahkan Rasulullah SAW
sangat mengecam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa dengan tingkah laku
anak-anak mereka.
C. Syarat-syarat Mendapatkan Hak Asuh
Tidak semua orang bisa mendapatkan hak asuh. Ada sejumlah ketentuan atau
syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pengasuhan.11
10
Abi Daud Sulaiman bin As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut. Daarul Fikr, 1994), h. 525 11
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta. Attahiriyah, 1975), cet.ke-15, h. 404
20
Pemeliharaan atau pengasuhan anak memiliki dua rukun, yaitu orang tua yang
mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan
itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk
memelihara hasil perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus
berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-
sendiri.
Seseorang yang bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai
berikut :12
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena
tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan
agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang bukan Islam dikhawatirkan
anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
12
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta. Prenada Media Group), h. 328-
329
21
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa
besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq
yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya
rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang
masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :
1. ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang
telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah
pengasuhan siapa pun.
Sedangkan menurut Abd. Rahman Ghazaly dalam fiqh munakahat, dikatakan
syarat-syarat untuk hadhin adalah sebagai berikut :13
1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan
hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang
berjauhan tempatnya dengan tempat si anak atau hampir seluruh waktunya
dihabiskan untuk bekerja.
2. Hendaklah ia orang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal, dan tidak terganggu
ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab,
13
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta. Prenada Media Group, 2003), h. 181
22
sedangkan orang yang belum mukallaf adalah orang yang tidak dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah
4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang
berhubungan dengan budi pekerti anak.
5. Hendaklah hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan
mahram dengan si anak, jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan
mahram dengan si anak maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah,
seperti ia kawin dengan paman si anak.
6. Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak, jika hadhinah orang
yang membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang
paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah karena
ibu memiliki rasa kasih sayang yang lebih dibandingkan dengan ayah, sedangkan
dalam usia sangat muda dibutuhkan kasih sayang.
Sedangkan ulama fikih mengemukakan beberapa syarat yang terkait dengan
pengasuhan anak yang harus dimilki oleh pengasuhnya, baik wanita maupun laki-
laki. Syarat-syarat itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu syarat umum untuk para
pengasuh wanita dan pria, syarat khusus untuk wanita, dan syarat khusus untuk pria.
1. Syarat umum untuk pengasuhan wanita dan pria
a. Baligh (dewasa)
23
b. Berakal, ulama Madzhab Maliki menambahkannya dengan cerdas, dan
ulama Madzhab Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak
menderita penyakit yang berbahaya/menular.
c. Memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak.
d. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik
e. Beragama Islam.14
Fuqaha berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh
nonmuslim.15
Ulama Madzhab Syafi‟i dan Madzhab Hambali mensyaratkan bahwa
pengasuh harus seorang muslim atau muslimah, karena orang non Islam tidak punya
kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, di samping itu
dikhawatirkan juga pengasuh akan menyeret anak itu masuk ke dalam agamanya.
Akan tetapi ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki tidak mensyaratkan
pengasuh itu seorang muslimah, jika ia wanita. Alasan mereka adalah sebuah riwayat
yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh memilih pada anak untuk
berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi
anak itu memilih ibunya. Lalu Rasulullah SAW bersabda :
يا فأخزىا ساه اب دادانهيم اىذىا فمانت انصبت إنى أب16
“Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayahnya” (HR. Abu Daud).
14
Satria Efendi, op. cit, h. 172 15
Abdurrahman al-Juzairi, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut. Dar al-Fikr), jilid IV, h.
596-598 16
Al Maktabah Al Syamilah, Sunan Abi Daud, (Daarul Fikr, 2008), juz ke 4, h. 681, No.
2244
24
Dalam hal pengasuh anak adalah laki-laki, timbul pertanyaan apakah
disyaratkan ia seorang muslim. Ulama Madzhab Hanafi mensyaratkan pengasuh laki-
laki harus sama-sama muslim dengan anak yang diasuhnya. Akan tetapi, ulama
Madzhab Maliki tidak mensyaratkan laki-laki pengasuh harus seorang muslim.17
Akan tetapi alangkah lebih baik kalau seandainya anak tersebut, baik anak
laki-laki ataupun anak perempuan jika diasuh oleh orang yang seagama dengannya
(Islam), dan tidak dibenarkan anak tersebut diasuh oleh nonmuslim. Dasarnya adalah
demi kemaslahatan dan sebagai sarana preventif (sadd al-dzari’ah)18
agar anak
tersebut tetap konsisten dengan agamanya dan tidak terpengaruh dengan agama
pengasuhnya. Karena secara praktis biasanya anak-anak akan mengikuti agama dan
tradisi orang tua atau orang-orang yang sering berkomunikasi dengan mereka.
2. Syarat khusus untuk pengasuh wanita19
Menurut para ahli fikih syarat khusus untuk pengasuh wanita adalah sebagai
berikut :
a. Wanita pengasuh tidak mempunyai suami (belum kawin) setelah
dicerai suaminya. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW:
ساه احمذ )أنت أحق ما ال تنكحى ..... 20
ابداد21
انبيقى22
( انحاكم
17
Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum
Islam, (Jakarta. Prenada Media Group, 2008), cet ke 1, h. 123 18
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut. Dar al-Ma‟rifah, 1973), jilid II, h.
198 19
Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan,op. cit, h. 124 20
Ahmad ibn Hanbal Asy syaibani, Al-Fathu Al-Rabaani, (Kairo, Daar Asy syihab, 1949), juz
ke IV, h. 64, hadits ke 41
25
“Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin
dengan lelaki lain”. (HR. Abu Daud dan Baihaqi dan Hakim).23
Akan
tetapi, apabila wanita tersebut kawin dengan kerabat anak asuhnya,
maka ia boleh mengasuhnya.
b. Wanita pengasuh merupakan mahram (haram dinikahi) anak, seperti
ibu, saudara perempuan ibu dan nenek. Oleh sebab itu, menurut ulama
fikih, saudara perempuan ibu tidak boleh menjadi pengasuh anak itu,
karena bukan mahramnya.
c. Menurut ulama Madzhab Maliki, pengasuh tidak boleh mengasuh
anak tersebut dengan sikap yang tidak baik, seperti marah dan
membenci anak itu. Ulama fikih lain tidak mengemukakan syarat ini.
d. Ulama Madzhab Syafi‟i dan Madzhab Hambali menambahkan syarat,
apabila anak asuh masih dalam usia menyusu pada pengasuhnya,
tetapi ternyata air susu pengasuhnya tidak ada atau ia enggan untuk
menyusukan anak itu, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh.
3. Syarat-syarat khusus bagi laki-laki
Jika anak kecil tersebut tidak memiliki pengasuh wanita, maka pengasuhnya
dapat dilakukan oleh kaum pria, selagi ia memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a. Jika pengasuhnya adalah mahram (haram dinikahi).
21
Abu Daud Sulaiman Asy Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut, Daar Ibn Hazm, 1952), juz I,
h. 351, hadits ke 2276 22
Baihaqi, As-sunan Al-Kubro, (Beirut, Daarul Fikr), jilid 8, h. 4, hadits ke 1 23
Abi Daud Sulaiman bin As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut. Daarul Fikr, 1994), h. 525
26
Para fuqaha membolehkan untuk melakukan hadhanah bagi wanita
oleh pria yang muhrim baginya, baik anak tersebut masih kecil,
disenangi atau tidak disenangi pengasuh laki-laki, ketika tidak ada
wanita yang berhak melakukan hadhanah baginya.
b. Pengasuh yang bukan mahram (boleh dinikahi).
Jika ada orang yang bukan muhrim bagi anak, maka itu diperbolehkan
dengan syarat pengasuh tersebut memenuhi kriteria hadhanah, yakni
adanya wanita yang ikut membantu laki-laki tersebut dalam mengasuh
anak.24
D. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hak Asuh
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah ini milik wanita (ibu atau yang
mewakilinya) atau hak anak yang diasuh tersebut.
Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat
dan mendidik anak merupakan hak pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan
alasan bahwa apabila pengasuh ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan,
boleh ia lakukan dan hak itu gugur. Akan tetapi jika hadhanah ini hak anak, maka
menurut mereka, hak itu tidak dapat digugurkan.25
24 Huzemah T. Yanggo, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta
Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta. Al-Mawardi, 2004), h. 134 25
Al-Kasani, Badai’ al-Shanai’, (Mesir. Maktabah al Ilmiyah, 1996), Juz VII, h. 234
27
Sedangkan menurut jumhur ulama bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama,
antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili (guru besar fikih Islam
di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhanah itu berserikat antara ibu, ayah dan
anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan
adalah hak anak yang diasuh.26
Akibat hukum dari perbedaan pendapat para ulama tentang hak hadhanah ini
adalah sebagai berikut :27
a. Apabila kedua ibu bapak enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka
bisa dipaksa, selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak
tersebut.
b. Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti nenek
dan bibinya, maka ibu tidak boleh dipaksa. Karena seseorang tidak boleh
dipaksa untuk menggunakan haknya.
c. Menurut ulama Madzhab Hanafi, apabila istri menuntut khulu’ pada suaminya
dengan syarat anak dipelihara oleh suaminya, maka khulu’nya sah, tetapi
syaratnya batal, karena pengasuhan anak merupakan hak ibu. Akan tetapi
jumhur ulama tidak sependapat dengan ulama Madzhab Hanafi, karena
menurut mereka hak pengasuhan anak adalah hak berserikat yang tidak bisa
digugurkan. Apabila terjadi perpisahan antara suami istri tersebut, maka boleh
26
Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, op.cit, h. 117 27
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam,
(Jakarta. Prenada Media Group, 2008), edisi pertama, cet ke 1, h. 117-118
28
saja anak berada di bawah asuhan ibu, tetapi biaya pengasuhan harus
ditanggung ayah.
d. Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil anak
dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara‟ yang
membolehkannya, seperti ibu itu gila atau dipenjara.
E. Hak Asuh Anak Jika Istri Nusyuz
Pada umumnya fuqaha sepakat bahwa ibu mempunyai keutamaan hak
hadhanah. Namun, hak hadhanah dapat digugurkan dan dicabut dengan alas an si ibu
telah melakukan nusyuz terhadap suami seperti murtad28
, berperilaku tidak terpuji,
berbuat maksiat seperti berzina, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar rumah
dan mengabaikan anak yang diasuhnya.29
Tujuan dari keharusan tidak adanya
perilaku diatas adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan,
pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak.30
Di samping alasan-alasan yang dikemukakan diatas, menurut jumhur ulama
istri yang menikah lagi dengan laki-laki lain dapat menggugurkan hak hadhanahnya.
Akan tetapi, jika laki-laki tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak
hadhanah ibu tersebut masih berlaku.31
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama
Madzhab Syi‟ah Imamiyah mengemukakan bahwa hak hadhanah ibu gugur secara
28
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus. Dar al-Fikr, 1989), cet ke-
3, h. 7306 29
Ibid, h. 7298 30
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta. Lentera, 2001), h. 308 31
Ibnu Qudamah, al-Mughniy, (Kairo. Mathba‟ah al-Qahirah, 1969), h. 299
29
mutlak disebabkan perkawinannya dengan laki-laki lain, baik laki-laki tersebut
memiliki kasih sayang atau tidak.32
Prinsip dasar yang dapat dijadikan alasan hak hadhanah ibu gugur adalah
adanya situasi dan kondisi pada ibu yang dapat merugikan kepentingan dan
kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi dalam hadhanah
adalah kemaslahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa memperhatikan hak ibu atau
ayahnya. Hak hadhanah ibu atau ayah dapat gugur jika anak dikumpulkan dengan
orang yang dibencinya.33
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa fikih tidak mengatur secara rinci
tentang hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah. Pengguguran hak hadhanah
dapat dipahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang hak hadhanah.
Adapun alasan-alasan digugurkannya hak hadhanah seseorang antara lain tidak bisa
dipercaya, berperilaku tidak terpuji, membahayakan kepentingan anak.
32
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam,
(Jakarta. Prenada Media Group, 2008), cet ke 1, h. 132 33
Anwar al-Jundi, Mabadi’ al-Qadha al-Syar’I, (Kairo. Dar al-Fikr al-Arabi, 1978), jilid I. h.
373-374
30
BAB III
HADHANAH DAN PERMASALAHANNYA MENURUT ATURAN
PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian Hadhanah
Pemeliharaan anak (hadhanah) terdiri dari dua kata yaitu, kata “pemelihara”
dan kata “anak”, pemelihara berasal dari kata “pelihara” yang memiliki arti jaga,
rawat. Sedangkan kata pemeliharaan berarti proses, cara, perbuatan, memeliharakan,
penjagaan, perawatan, pendidikan.1
Menurut Yahya Harahap pemeliharaan adalah tanggung jawab orang tua
untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya, serta mencukupi kebutuhan
hidup seorang anak oleh orang tua.2
Jadi pemeliharaan anak tersebut meliputi pengawasan, pelayanan dan
pembelanjaan dalam arti yang luas. Pengawasan berarti membentuk lingkungan anak
dalam suasana yang sehat, baik jasmani maupun rohani, sehingga anak menjadi
manusia yang memiliki jiwa sosial. Pelayanan berarti menanamkan rasa kasih sayang
orang tua terhadap anak.3 Sedangkan kebutuhan hidup adalah kebutuhan primer atas
tempat tinggal. Makanan dan pakaian menjadi kebutuhan hidup yang lebih
ditekankan pada soal nafkah.
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta. Balai
Pustaka, 1989), cet ke-2, h. 661 2 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan. CV. Zahir Trading, 1975), cet ke-1,
h. 204 3 Ibid
31
Yahya Harahap tidak memasukkan pendidikan sebagai bagian dari
pemeliharaan, hal ini berdasarkan Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974
yang memisahkan pemeliharaan dengan pendidikan, namun keduanya merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan istilah pemeliharaan anak yang
dimuat dalam bab XIV pasal 98, pasal 105, dan pasal 106. Dalam pasal 98 dijelaskan
bahwa batas usia anak mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 12 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum menikah.
Pasal 105 dan 106 secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan
anak dan harta. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika terjadi perceraian, pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 12 tahun adalah hak ibunya,
jika sudah mumayyiz maka anak tersebut disuruh memilih siapa diantara ayah atau
ibu yang memegang hak pemeliharaannya.
Namun biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, selain itu juga orang tua
berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa, dan
orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan
kelalaian dari kewajiban orang tua tersebut.
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) batas usia anak yang wajib
diasuh adalah yang belum mencapai usia 12 tahun dan belum dapat mengurus dirinya
sendiri sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang
telah melangsungkan perkawinan telah dianggap dewasa, dan pada masa tersebut
orang tua tidak berkewajiban memberikan pemeliharaan dan nafkah kepada anak.
32
Begitu juga pasal 156 point a menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena
perceraian, bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila telah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan.
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 point c dinyatakan
apabila pemegang hadhanah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, meskipun biaya nafkah, dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
Mengambil dari syarat-syarat yang terdapat pada pasal 49 ayat 1 Undang-
undang Perkawinan dan pasal 156 point c Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka
seorang pengasuh harus dapat dipercaya dan mampu untuk melaksanakan kewajiban
dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak (hadhanah), di samping itu seorang
pengasuh harus taat beribadah.
Berdasarkan uraian diatas pemeliharaan dan pendidikan anak pada dasarnya
adalah usaha-usaha untuk memelihara, menjaga kelangsungan hidup anak dengan
memperhatikan segala kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmani maupun rohani,
semata-mata demi kesejahteraan anak sehingga anak dewasa atau telah berumur 21
tahun.
B. Syarat-syarat Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Sebagaimana pandangan Hukum Islam yang mengatur tentang syarat-syarat
pemeliharaan anak, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 juga memiliki syarat-syarat
33
tertentu, yakni yang tertuang dalam pasal 49 Undang-undang Perkawinan. Pasal
tersebut terbagi dalam dua ayat, yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat 1
“Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
Ayat 2
“Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut”.
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam juga mengatur syarat-syarat untuk
mendapatkan hak asuh, yakni dalam pasal 156 poin c yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.
Mengenai syarat-syarat untuk mendapatkan hak asuh anak, Undang-undang
dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara rinci. Akan tetapi dari penjelasan
kedua Undang-undang tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi seorang
pengasuh harus memiliki kriteria sebagai berikut :
34
1. Dapat dipercaya
2. Mampu untuk melaksanakan kewajiban dalam pemeliharaan dan pengasuhan
anak
3. Seorang pengasuh harus taat beribadah dan
4. Dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak
Selain kedua Undang-undang di atas, para fuqaha juga menjelaskan bahwa
syarat-syarat yang harus dimilki seorang pengasuh adalah dewasa, berpikiran sehat,
beragama islam, dapat dipercaya untuk memegang amanah dan berahklak baik serta
berlaku adil dalam pemeliharaannya.
C. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hak Asuh
Secara global sebenarnya Undang-ndang Perkawinan memberi aturan tentang
pemeliharaan anak yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan, di
dalam pasal 41 disebutkan4 :
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
pengadilan memberikan keputusannya”.
Dari penjelasan di atas bahwa Undang-undang perkawinan tidak menjelaskan
secara terperinci mengenai siapa yang lebih berhak untuk memelihara anak yang
masih dibawah umur jika terjadi perceraian. Tetapi bila dilihat dari pasal 41 diatas
4Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta. PT Pradnya
Paramita, 2008), cet. 39, h 549
35
tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya ibulah yang berhak untuk
memelihara anaknya, kecuali terdapat sesuatu yang dapat menghalangi ibunya untuk
melaksanakan tugas tersebut, dan pengadilan memutuskan siapa yang berhak untuk
memelihara anak itu, dan jika anak tersebut ikut ibunya maka bagi bapaknya untuk
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
oleh anaknya, disamping itu seorang bapak berkewajiban untuk selalu
memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan jiwa anaknya, dengan
mengunjunginya secara berkala sehingga anak tersebut merasa aman dan tentram
seolah-olah tidak ada perpisahan antara ibu dan bapaknya.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam tentang siapa yang berhak untuk
memelihara dan mendidik anak (hadhanah) terdapat dalam pasal 105 yang
menyebutkan bahwa :
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya, sedangkan pemeliharaan yang sudah mumayyiz atau sudah berumur 12 tahun
disuruh memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan”.
Maksud dari penjelasan diatas, bahwa pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz berada ditangan ibunya, tetapi setelah anak tersebut mumayyiz, maka si
anak berhak untuk memilih diantara ayah atau ibunya yang akan menjadi
pemeliharanya.
D. Hak Asuh Anak Jika Istri Nusyuz
Dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah dijelaskan
bahwa “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
36
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam juga mengatur syarat-syarat untuk
mendapatkan hak asuh, yakni dalam pasal 156 poin c yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.
Selain dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, penjelasan tentang hak asuh anak apabila istri telah melakukan nusyuz juga
diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 30 No. 23 Tahun 2002 yang
berbunyi :5
1. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau hak
asuh orang tua dapat dicabut.
5 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung. PT Citra
Umbara, 2003), h. 16
37
2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Penjelasan pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak menjelaskan bahwa :
1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
2. menumbuhkembangkan anak sesuia dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan dan
Undang-undang Tentang Perlindungan Anak telah mengatur tentang pengasuhan
anak yang dapat dicabut oleh pengadilan apabila si istri benar-benar telah melalaikan
kewajibannya sebagai orang tua terhadap anaknya serta berkelakuan buruk yang akan
menimbulkan dampak negatif bagi kesejahteraan dan masa depan anak.
38
BAB IV
PANDANGAN HAKIM PA JAKTIM TENTANG HAK ASUH
ANAK PASCA PERCERAIAN AKIBAT ISTRI NUSYUZ
A. Gambaran Putusan No. 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim
A.1 Penemuan Fakta (duduk perkara)
Duduk perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan tertera pada
Nomor 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim adalah perkara tentang cerai talak antara
Muhamad Harsono bin Alif Rosidin yang berkedudukan sebagai pemohon dengan
Mas Indahyati binti Sirotol Mustakim yang berkedudukan sebagai termohon.
Adapun duduk perkaranya adalah pemohon telah mengajukan permohonannya
pada tanggal 13 Maret 2006 yang pada pokoknya pemohon memberikan alasan-
alasannya sebagai berikut :
1. Bahwa pada hari Minggu, tanggal 22 Juli 1989 telah dilangsungkan
pernikahan antara pemohon dan termohon yang tercata di KUA Kecamatan
Jatinegara, Jakarta Timur dengan Kutipan Akta Nikah Nomor
364/141/VII/1989.
2. Bahwa selama dalam membina rumah tangga pemohon dan termohon dalam
keadaan rukun dan keduanya bertempat tinggal berpindah-pindah. Terakhir di
Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur selama 12
tahun. Dan dari pernikahan tersebut pemohon dan termohon telah dikaruniai 3
orang anak bernama Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir pada tanggal 13
39
September 1990, Nur Rahman Azzahra yang lahir tanggal 27 Januari 1992
dan Nurul Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 1993.
3. Sejak 1 Januari 2000 sampai dengan 2001 kehidupan rumah tangga pemohon
dan termohon mulai tidak harmonis dan sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus yang memang sulit diatasi sehingga
perselisihan tersebut sudah tentu membawa akibat buruk bagi kelangsungan
hidup berumah tangga yang selama ini telah dibina dan memuncak pada
tanggal 8 Juli 2001.
4. Terjadinya pertengkaran dan perselisihan tersebut disebabkan karena :
a. Bahwa termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras
b. Termohon berani memukul pemohon
c. Termohon tidak memperdulikan, memperhatikan pemohon dan lebih
mementingkan diri sendiri
d. Termohon berkata minta cerai sehingga pemohon merasa tersinggung
sebagai suami sah
5. Dalam hal ini pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan
cara bermusyawarah secara baik, tetapi tidak berhasil sehingga pemohon
merasa bahwa rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh
karena itu, pemohon mengambil kesimpulan untuk bercerai dengan termohon.
6. Bahwa anak-anak pemohon dan termohon tinggal bersama termohon karena
mengingat anak masih di bawah umur, maka untuk kepentingan anak-anak itu
sendiri dan rasa kasih sayang terhadap mereka, maka anak tersebut ditetapkan
40
dalam pemeliharaan termohon, sedangkan biaya pemeliharaan dan
pengasuhan ditanggung oleh pemohon.
Dalam petitum (tuntutan) yang dimohon oleh pemohon kepada Pengadilan
Agama Jakarta Timur adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya
2. Memberi izin kepada pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap termohon
3. Menetapkan anak permohon dan termohon yang bernama Muhamad Syaeful
Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990, Nur Rahman Azzahra yang
lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir pada
tanggal 12 November 2003 berada dalam pemeliharaan dan pengasuhan
pemohon
4. Menghukum pemohon untuk memberikan nafkah anak melaui termohon
untuk setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa
5. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Dalam hal ini, pada hari sidang yang telah ditentukan pemohon dan termohon
telah hadir di persidangan, dan majelis hakim telah berusaha mendamaikan kedua
belah pihak berperkara akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Kemudian majelis
hakim membacakan permohonan pemohon yang tetap mempertahankan isi dan
maksud permohonan tersebut. Di samping itu atas permohonan pemohon, termohon
memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
41
1. Bahwa termohon telah mengerti semua dalil-dalil dan alasan-alasan yang
dikemukakan pemohon
2. Bahwa benar antara pemohon dan termohon telah pisah rumah dan terjadi
pertengkaran sejak Juli 2001
3. Bahwa benar penyebabnya tersebut pernah memukul, egois dan tidak
memperhatikan pemohon
4. Bahwa termohon tidak keberatan namun termohon tetap menginginkan
pengasuhan 3 orang anak dan nafkahnya setiap bulan
Untuk menguatkan alasan-alasan permohonannya, pemohon telah mengajukan
bukti tertulis yang berupa :
1. Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama pemohon dan termohon yang
terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang dengan nomor
register 364/141/VII/2004 yang diberi tanda P-1
2. Surat izin dari atasan tanggal 10 Agustus 2004 yang diberi tanda P-2
3. Surat kesepakatan bersama yang dibuat tanggal 4 Mei 2004 yang diberi tanda
P-3
Selain bukti tertulis pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut :
Saksi 1 (satu) yang bernama Mulkarin Akbar bin Kadar, agama islam,
menerangkan dibawah sumpahnya sebagai berikut :
a. Bahwa saksi adalah saudara misan dari ibu kandung pemohon
42
b. Bahwa sejak nikah tahun 1989 rumah tangga pemohon dan termohon
baik-baik saja sampai tahun 2000, lalu pemohon dan termohon telah pisah
tempat tinggal selama 5 tahun
c. Bahwa penyebab pisah tersebut karena masing-masing egois ingin
menang sendiri dalam pengaturan rumah tangga
d. Bahwa saksi mengetahui sejak pisah tersebut
e. Bahwa saksi sudah menasehati namun tidak berhasil
Saksi 2 (dua) yang bernama Sirotol Mustakin bin Muhaja, agama islam,
menerangkan dibawah sumpahnya sebagai berikut :
a. Bahwa saksi adalah bapak kandung termohon
b. Bahwa pemohon dan termohon tidak rukun dan masing-masing telah
pisah rumah selama 5 tahun
c. Bahwa penyebabnya diawali pertengkaran karena masing-masing egois
d. Bahwa saksi telah memberi nasehat kepada termohon namun tidak
berhasil
Menimbang, bahwa atas keterangan dua orang saksi tersebut, para pihak
membenarkan dan menerimanya.
Menimbang, bahwa pemohon dalam kesimpulannya menyatakan ia tetap pada
permohonannya dan mohon putusan.
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini, pengadilan
menunjuk hal-hal yang tercantum dalam berita acara persidangan perkara ini.
A.2 Pertimbangan Hukum
43
Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim menimbang bahwa pemohon
dan termohon adalah suami isteri yang sah menikah pada tanggal 23 Juli 1989 yang
tercatat di KUA Kecamatan Tanah Abang dengan Kutipan Akta Nikah Nomor
364/141/VII/1989 tanggal 24 Juli 1989 (P1).
Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah
pihak, namun tidak berhasil.
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini
adalah pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus yang disebabkan karena
termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras, termohon berani memukul
pemohon, termohon tidak memperdulikan pemohon, dan sejak 1 April 2001 pemohon
dan termohon telah pisah tempat tinggal. Dan untuk menguatkan dalil-dalilnya,
pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis seperti P-1 dan saksi-saksi
sebagaimana tersebut diatas.
Menimbang, bahwa terhadap bukti-bukti serta keterangan para pihak dalam
jawaban di persidangan akan diadakan penilaian sebagai berikut :
1. Bukti surat bertanda P-1 adalah Kutipan Akta Nikah Nomor
364/141/VII/1989 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Tanah Abang pada tanggal 24 Juli 1989 telah bermaterai
cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya. Bukti tersebut adalah surat
yang dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Yang
berisikan data tentang telah dilaksanakannya pernikahan antara pemohon
dan termohon menurut ajaran Agama Islam. Dengan demikian majelis
44
hakim dapat menilai bahwa bukti P adalah akta autentik yang telah
memenuhi syarat formil dan materil, sehingga berdasarkan pasal 165 HIR
Jo. Pasal 285 Rbg, alat bukti tersebut kekuatan pembuktiannya sempurna
dan mengikat, serta sesuai dengan pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
bahwa akta nikah adalah satu-satunya buku tentang sahnya suatu
perkawinan.
2. Bahwa sebagian dari keterangan/kesaksian pemohon dan termohon
Mulkarin Akbar bin Kadar dan Sirotul Mustakim bin Muhaja adalah
saling bersesuaian dan berhubungan antara keterangan yang satu dengan
yang lainnya yang menyatakan :
1. Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon tidak rukun lagi karena
sering cekcok
2. Bahwa termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras
3. Bahwa termohon berani memukul pemohon
4. Bahwa termohon tidak memperdulikan, memperhatikan pemohon dan
lebih mementingkan diri sendiri
5. Bahwa antara pemohon dan termohon sejak 1 April 2001 telah pisah
tempat tinggal
Sedangkan keluarga/para saksi telah berusaha mendamaikan/memberi nasehat
agar kedua pihak hidup rukun kembali namun tidak berhasil, maka kesaksian dari
pihak pemohon dan termohon tersebut dapat dipakai sebagai bukti dalam
persidangan.
45
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti pemohon dihubungkan dengan
keterangan para saksi serta dihubungkan pula dengan keterangan kedua belah pihak
dalam jawab menjawab dipersidangan dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut :
1. Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sudah tidak dapat
diharapkan untuk rukun lagi karena terbukti antara pemohon dan
termohon sejak 1 Januari 2000 sudah sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang mengakibatkan kedua belah pihak pisah tempat tinggal
dan sudah tidak pernah kumpul lagi, sehingga hal tersebut untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 jo. Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam dan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah
tidak dapat diwujudkan lagi, karena hak dan kewajiban dari masing-
masing pihak sudah tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya
Menimbang, bahwa fakta-fakta tersebut diatas kedua belah pihak telah
kehilangan hakikat dan makna suatu perkawinan, oleh karena itu majelis hakim
berpendapat ikatan perkawinan pemohon dan termohon sudah tidak bisa
dipertahankan lagi karena mempertahankan suatu ikatan perkawinan yang telah rapuh
seperti itu tidak akan membawa maslahat bahkan akan menyebabkan mudlarat yang
lebih besar bagi kedua belah pihak.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
alasan permohonan pemohon telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam
Pasal 39 (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan
46
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
oleh karena majelis hakim dapat menerima alasan dan mengabulkan permohonan
pemohon.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan kesanggupan/kemampuan
pemohon majeis hakim menganggap cukup adil pemohon memberikan akibat cerai
sesuai dengan surat kesepakatan bersama yang dibuat pemohon dan termohon.
Menimbang, bahwa mengenai anak pemohon dan termohon yang bernama
Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990, Nur Rahman
Azzahra yang lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir
pada tanggal 12 November 1993 tetap berada pengasuhan dan pemeliharaan
termohon sebagai ibu kandungnya dan kepada pemohon tetap dibebani untuk
memberikan nafkah anak setiap bulannya. Minimal sesuai dengan ketentuan Pasal
105 huruf a dan Pasal 156 huruf a dan d Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa berdasrkan ketentuan Pasal 89 ayat 1 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara ini.
Mengingat segala ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku dan dalil-
dalil syar’i yang kaitannya dengan perkara ini.
A.3 Penetapan Hukumnya
Dalam penetapan hukumnya majelis hakim menetapkan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan pemohon
47
2. Mengizinkan pemohon untuk menjatuhkan thalak satu raj’ie terhadap
termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur
3. Menetapkan tiga orang anak dari perkawinan pemohon dan termohon yang
bernama Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990,
Nur Rahman Azzahra yang lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul
Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 1993 tetap berada
pengasuhan dan pemeliharaan termohon
4. Menghukum pemohon untuk memberikan Nafkah anak sejumlah Rp
2.000.000,- (dus juta rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa dan
dapat berdiri sendiri
5. Menetapkan akibat cerai sesuai dengan surat kesepakatan bersama yang
dibuat tanggal 4 Mei 2006
6. Membebankan kepada pemohon untuk membayar semua biaya perkara ini
sejumlah 275. 000,- (dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah)
Demikian putusan dalam musyawarah putusan majelis hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2006 M, bertepatan dengan
tanggal 5 Jumadil Ula 1427 H, yang dibacakan oleh Drs. Tb. A. Murtaqi Sy., S.H
sebagai Ketua Majelis Hakim, Drs. Faizal Kamil, S.H, M.H dan Dra. Nurroh Sunnah,
S.H masing-masing sebagai Hakim anggota dan dibantu oleh Drs. Cece Mustofa
sebagai Panitera pengganti yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
dengan dihadiri oleh pemohon dan termohon.
48
B. Pertimbangan Hakim PA Jaktim dalam Memutuskan Perkara No. 377/Pdt.
G/2006
Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Nurroh Sunah, S.H
(HakimPengadilan Agama Jakarta Timur) di Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah
sebagai berikut :
Untuk mengajukan sebuah perkara, dapat diajukan secara bersamaan dan
dapat juga diajukan secara terpisah. Proses persidangannya pun seperti persidangan
pada biasanya.
“ gugat hak asuh anak dapat diajukan bersama dengan perceraian dan dapat juga
terpisah, kalau prosesnya ya seperti persidangan biasa.”
Dalam putusan perkara Nomor 377/Pdt.G/2006/PAJT, majelis hakim
menetapkan bahwa 3 orang anak bernama Muhammad Syaeful Jabbar, Rahman
Azzahra dan Nurul Mutmainah berada dibawah asuhan dan pemeliharaan termohon
sebagai ibu kandungnya yang benar-benar telah terbukti melakukan nusyuz terhadap
pemohon.
Majelis hakim mempertimbangkan putusan tersebut berdasarkan persetujuan
suami untuk memberikan hak asuh anak tetap berada dalam asuhan si ibu karena
mengingat si anak belum mencapai pada tahap mumayyiz. Akan tetapi penulis tidak
sependapat dengan pernyataan hakim berdasarkan perkara yang diajukan pada tahun
2006 dengan umur ketiga anak tersebut yang sudah mencapai pada tahap mumayyiz.
49
“ ketika terjadi perceraian bila anak yang belum mumayyiz hak asuhnya jatuh pada
ibunya sesuai peraturan dengan syarat ibunya tidak kehilangan hak/layak untuk
mendidik.”
Di samping itu, juga demi kepentingan si anak serta rasa kasih sayang
terhadap mereka, dan si anak tersebut juga sudah terbiasa tinggal bersama ibunya.
Maka, dari pihak ibu menerima atas persetujuan suami walaupun pada petitumnya
suami menginginkan agar hak asuh anaknya terhadap suami dikabulkan oleh majelis
hakim. Oleh karena itu, secara tidak langsung telah terjadi kesepakatan diantara
keduanya dan majelis hakim memerintahkan kepada para pihak untuk mentaati dan
melaksanakan kesepakatan tersebut.
Kemudian Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa perkara tersebut
belum mencapai dalam tahap nusyuz yang dapat membahayakan kepentingan si anak
baik dalam pendidikannya maupun kesejahteraannya.
“ kalau hanya nusyuz terhadap suami tidak menghilangkan hak asuh anak, tapi kalau
perbuatan nusyuz itu berkaitan dengan perilaku ibu untuk mendidik dan merawat
anak tetap ada kaitannya dan bisa menghilangkan hak asuh anak.”
Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan tidak setuju bila hak asuh anak
tersebut dicabut dari pengasuhan si ibu, kecuali kalau nusyuznya tersebut berkaitan
dengan sikap dan perbuatan yang kurang baik untuk merawat dan mendidik anak
seperti sering mabuk, terjerumus menjadi wanita asusila.1
1 Hasil wawancara dengan Drs. Nurroh Sunah, S.H (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur), Tanggal 15 Desember 2010. Di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur. Pukul 14.00 WIB
50
“ kalau pencabutan hak asuh anak terhadap istri yang nusyuz semata-mata pada
suami, saya tidak setuju dicabut,tapi kalau nusyuznya itu berkaitan dengan sikap dan
perbuatan untuk merawat dan mendidik saya setuju dialihkan. Seperti sering mabok,
terjerumus menjadi wanita susila dan hal lain sebagainya.”
Dalam mempertimbangkan sebuah perkara, majelis hakim juga melihat bukti-
bukti yang ada untuk membuktikan bahwa si isteri benar-benar telah melakukan
nusyuz seperti pemabuk atau pezina baik berupa bukti tertulis atau tidak tertulis.
“ alat bukti yang dipakai oleh hakim untuk membuktikan istri itu nusyuz adalah bisa
bukti tertulis berupa hasil pemeriksaan laboratorium, visum dokter, dan keterangan
saksi-saksi yang bersangkutan.
Akan tetapi pemohon (suami) tetap harus memberikan nafkah kepada
anaknya, yang tentunya sesuai dengan kemampuan pemohon sampai anak tersebut
dewasa atau dapat berdiri sendiri. Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 149 huruf (d)
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa biaya hadhanah yang belum
mencapai umur 12 tahun di tanggung oleh bapaknya sampai anak tersebut dewasa.
C. Analisa Penulis Terhadap Putusan No. 377/Pdt. G/2006
Dengan adanya perceraian, maka akan timbul akibat-akibat hukum terkait,
baik bagi mantan suami atau istri, yang meliputi harta benda, nafkah anak, nafkah
istri dan penguasaan anak. Adapun hubungan antara mantan suami istri dapat
berakhir dengan mudah, demikian pula dengan harta benda. Namun hubungan dengan
anak-anak merupakan tanggung jawab yang berkelanjutan meskipun kedua mantan
suami istri telah berpisah. Apabila terjadi penguasaan anak antara suami istri, maka di
51
sinilah Pengadilan Agama berperan yang akan memberikan putusan kepada siapa
anak itu akan diasuh, kepada ibu atau kepada bapaknya ?
Dalam berbagai literatur pengutamaan memperoleh hak pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz (belum berumur dua belas tahun) akibat perceraian adalah ibu,
namun tentu saja hal pemeliharaan tersebut tidak serta merta dilimpahkan kepada si
ibu tanpa melihat kondisi riil yang berkaitan dengan kepentingan anak yang antara
lain meliputi perkembangan moral dan akhlak, pendidikan serta agama si anak. Untuk
itu kecakapan seorang pemegang hak asuh anak mutlak diperlukan.
Demikian pula dalam perUndang-undangan (KHI dan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang perkawinan) dalam hal menentukan siapa yang lebih berhak
mengasuh anak bukan merupakan sesuatu yang tetap, tetapi hanya dijadikan sebagai
pedoman dan gambaran umum bagi hakim dalam mengambil keputusan, sehingga,
dalam implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Timur sengketa hak asuh anak
lebih bersifat fleksibel dan kasuistik, tergantung pada pertimbangan hakim dalam
kasus yang terjadi.
Dalam putusan perkara Nomor 377/Pdt.G/2006/PAJT, majelis hakim
menetapkan bahwa 3 orang anak bernama Muhammad Syaeful Jabbar, Rahman
Azzahra dan Nurul Mutmainah berada dibawah asuhan dan pemeliharaan termohon
sebagai ibu kandungnya yang benar-benar telah terbukti melakukan nusyuz terhadap
pemohon. Putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim bersama-sama dengan
52
putusan permohonan cerai talak, putusan semacam ini sejalan dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan yang terdapat dalam pasal 178 HIR/189 R.Bg.2
Apabila kita teliti kembali tujuan ibu diutamakan untuk memelihara anak
adalah anggapan bahwa ibu lebih sabar, lebih lembut, lebih penyayang dalam
melakukan pemeliharaan anak, lain halnya apabila ibu berhalangan menurut hukum
untuk memelihara anak dikarenakan ibu berani memukul suami, mempunyai sifat
egois dan berwatak keras, tidak memperdulikan/memperhatikan suami dan berkata
minta cerai yang dapat menyinggung perasaan suami, maka tidak ada kebaikan bagi
anak bahkan berbahaya bagi perkembangan jiwanya.
Bagi orang tua yang telah terbukti melalaikan kewajiban terhadap anaknya
maka hak asuhnya dapat dicabut oleh pengadilan, hal ini diatur dalam pasal 49
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
1. salah seorang atau keduanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang, dengan keputusan daalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
2 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989), (Jakarta. Pusat Kartini, 1970), cet. 5, h. 53
53
2. meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam
pasal 30 yang berbunyi :
1. Dalam hal orang tua sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa
orang tua dapat dicabut
2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melaui penetapan
pengadilan.
Dari Undang-undang tersebut diatas, maka dalam putusan perkara Nomor
377/Pdt. G/2006/PAJT penulis beranggapan bahwa yang lebih berhak untuk
memelihara dan mendidik anak tersebut demi kemashlahatan dan terhindar dari hal-
hal yang membahayakan adalah ayahnya atau orang yang lebih cakap untuk merawat
dan mendidik anak. Hal ini juga diatur dalam Pasal 156 point a dan c Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang berbunyi :
“ Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayahnya
54
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah3
“Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.
Akan tetapi pada kenyataannya, Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur dalam putusan Nomor 377/Pdt. G/2006/PAJT, menetapkan bahwa hak asuh
anak tetap berada dalam asuhan ibunya walaupun si ibu telah terbukti nusyuz.4
Majelis hakim mempertimbangkan putusan tersebut berdasarkan persetujuan
suami untuk memberikan hak asuh anak tetap berada dalam asuhan si ibu karena
mengingat si anak belum mencapai pada tahap mumayyiz dan demi kepentingan si
anak serta rasa kasih sayang terhadap mereka. Di samping itu, juga dikarenakan si
anak sudah terbiasa tinggal bersama ibunya. Maka, dari pihak ibu menerima atas
persetujuan suami walaupun pada petitumnya suami menginginkan agar hak asuh
anaknya terhadap suami dikabulkan oleh majelis hakim. Oleh karena itu, secara tidak
langsung telah terjadi kesepakatan diantara keduanya dan majelis hakim
memerintahkan kepada para pihak untuk mentaati dan melaksanakan kesepakatan
tersebut.
3 Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan
Haji, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta. 2004), h. 26 4 Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 377/Pdt. G/2006PAJT
55
Dengan dasar kesepakatan inilah Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur dalam putusan Nomor 377/Pdt. G/2006/PAJT menetapkan anak tetap berada
dalam asuhan si ibu walaupun si ibu telah terbukti nusyuz terhadap suami.
Berdasarkan pernyataan hakim diatas, penulis menyatakan tidak sependapat,
dikarenakan perkara yang diajukan pada tahun 2006 dalam putusannya menyatakan
bahwa ketiga anak tersebut belum mencapai pada tahap mumayyiz. Sedangkan pada
faktanya membuktikan bahwa umur ketiga anak tersebut sudah mencapai pada tahap
mumayyiz. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa antara bunyi putusan dengan fakta
dipersidangan tidak sesuai.
Kemudian Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa perkara tersebut
belum mencapai dalam tahap nusyuz yang dapat membahayakan kepentingan si anak
baik dalam pendidikannya maupun kesejahteraannya. Oleh karena itu, majelis hakim
menyatakan tidak setuju bila hak asuh anak tersebut dicabut dari pengasuhan si ibu,
kecuali kalau nusyuznya tersebut berkaitan dengan sikap dan perbuatan yang kurang
baik untuk merawat dan mendidik anak seperti sering mabuk, menjadi wanita asusila
atau si ibu kurang memperhatikan si anak baik dalam pendidikannya maupun
kesejahteraannya. 5
Dalam pasal 178 HIR/189 R.Bg ayat (3) disebutkan bahwa :
5 Hasil wawancara dengan Drs. Nurroh sunah, S.H (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur), Tanggal 15 Desember 2010. Di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur. Pukul 14.00 WIB
56
“Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau
mengabulkan lebih daripada yang digugat”
Jadi, seorang hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan petitum
atau apa yang dituntut para pihak dalam surat gugatannya dan tidak boleh
menjatuhkan putusan lebih dari yang dituntut, karena hal tersebut telah melanggar
Undang-undang.
Ketentuan mengenai siapa yang berhak mengasuh anak dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia (KHI & UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan) bukan merupakan sesuatu yang tetap, tetapi hanya dijadikan sebagai
gambaran umum bagi hakim dalam mengambil keputusan, sehingga dalam
implementasinya di Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Jakarta Timur
sengketa hak asuh anak lebih bersifat fleksibel dan kasuistik berdasarkan apa yang
diinginkan oleh para pihak yang berperkara.6
Akan tetapi apabila dalam putusan majelis hakim terdapat pasal-pasal dari
perUndang-undangan yang ada maka keputusan tersebut akan terlihat lebih adil bagi
semua pihak karena ada dasar hukum yang dijadikan landasan.
Terlebih lagi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 62
point 1, dijelaskan yaitu :
6 Hasil wawancara dengan Drs. Nurroh Sunah, S.H (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur), Tanggal 15 Desember 2010. Di Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur. Pukul 14.00 WIB
57
1. Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-
peraturan yang bersangkutan atas sunber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melihat dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
sesuai registrasi No. 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim. Untuk penulis ada beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik dari hal tersebut, yaitu :
1. Tentang permasalahan hadhanah, fuqaha sepakat bahwa apabila terjadi
perceraian, ibu mempunyai hak utama atas anak yang masih di bawah umur dan
belum mumayyiz. Ketika anak tersebut telah dewasa dan mumayyiz, maka anak
tersebut harus memilih dengan siapakah dia akan tinggal. Namun, hak hadhanah
dapat digugurkan dan dicabut dengan alasan murtad, berperilaku tidak terpuji,
berbuat maksiat seperti berzina, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar
rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya.
2. Dalam Undang-undang Perkawinan juga telah mengatur tentang permasalahan
hadhanah, yaitu dalam pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang berbunyi
bahwa seorang atau orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
disebabkan karena orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap
anaknya dan berkelakuan buruk sekali yang dapat merugikan kesejahteraan dan
masa depan anak. Begitu juga diatur dalam pasal 156 point c yang berbunyi
Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
59
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
3. Adapun dasar hukum dari hakim dalam memutuskan kasus ini adalah
berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri untuk tetap memberikan hak
pengasuhan anak terhadap istri. Selain itu, Majelis Hakim juga
mempertimbangkan bahwa perkara tersebut belum mencapai dalam tahap nusyuz
yang dapat membahayakan kepentingan si anak baik dalam pendidikannya
maupun kesejahteraannya. Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan tidak
setuju bila hak asuh anak tersebut dicabut dari pengasuhan si ibu, kecuali kalau
nusyuznya tersebut berkaitan dengan sikap dan perbuatan yang kurang baik untuk
merawat dan mendidik anak seperti sering mabuk, menjadi wanita asusila atau si
ibu kurang memperhatikan si anak baik dalam pendidikannya maupun
kesejahteraannya.
B. Saran - saran
Setelah kita perhatikan dari kasus diatas, ada beberapa saran-saran yang dapat
penulis berikan kepada semua pihak terkait pada permasalahan ini, diantaranya :
Kepada orang tua diharapkan walaupun terjadi perceraian, orang tua tetap harus
memenuhi hak-hak anak mereka karena bagaimanapun juga anak adalah tanggung
jawab mereka sebagai orang tua yang membutuhkan rasa cinta dan kasih sayang.
Untuk para hakim haruslah adil dalam memutuskan permasalahan pengasuhan
anak, karena masalah ini bukan hanya tanggung jawab siapa yang lebih berhak,
melainkan permasalahan anak tersebut yang akan berakibat pada masa depan mereka.
60
Dan untuk penerapan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak haruslah lebih giat
dijalankan, karena dengan terlaksananya Undang-undang tersebut denan efektif maka
insya Allah akan terjamin hak-hak anak-anak untuk lebih bisa merasakan kehidupan
dan masa depan yang lebih baik.
61
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Karim dan Terjemahnya
Alam, SH, MH, Drs. H. Andi Syamsu dan Drs. H. M. Fauzan, SH, MH. Hukum
Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam, Jakarta, Prenada Media
Group, 2008, edisi pertama, cet ke 1
Al-Juzairi, Abdurrahman, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut. Dar al-Fikr), jilid
IV, h. 596-598
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut. Dar al-Ma’rifah, 1973), jilid
II, h. 198
Al-Jundi, Anwar, Mabadi’ al-Qadha al-Syar’I, (Kairo. Dar al-Fikr al-Arabi, 1978),
jilid I. h. 373-374
Al-Bukhari, Al Imam Al-Hafiz Abi Abdillah Muh. Bin Ismail, Shahih Muslim,
(Beirut. Al Maktabah Al Asriyyah, 1164), jilid 1
Asy syaibani, Ahmad ibn Hanbal, Al-Fathu Al-Rabaani, (Kairo, Daar Asy syihab,
1949), juz ke IV
Bahreisj, Husein, Masalah Agama Islam, (Surabaya. Al-Ikhlas, 1980), h. 56
Daud, Abu. Sunan Abu Daud, Al-Qahirah, Dar Al-Harin, 1988/1408 H, Juz, Kedua.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe,
1999).
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta. Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998), h. 14
Faridh, Miftah. 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta, Gema Insani Press, 1999,
cet. 1
Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Ciputat: FSH,
2007
Ghazaly, Abd. Rahman, Fikih Munakahat, Prenada Media, Jakarta Timur, cetakan
pertama, Juli 2003
62
Ghazali, Mohd. Nurzulaili, Nusyuz, Shiqaq dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah
dan Undang-undang Keluarga Islam, Kolej Universiti Islam
Malaysia, Bandar Baru Nilai, Malaysia, cetakan pertama 2007
Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan. CV. Zahir Trading, 1975),
cet ke-1, h. 204
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. II (Jawa
Timur: Bayumedia Publising, 2006)
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta. Lentera, 2001), h.
308
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cet. IV (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008)
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
RosdaKarya, 2004)
Nuruddin, MA, Dr. H. Amir dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M, Ag. Hukum Perdata
Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan
Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI), Jakarta, Kencana, 2004,
cet. Kedua
Pendidikan, Departemen dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta.
Balai Pustaka, 1989), cet ke-2, h. 661
Qhardawi, Dr. Yusuf. Halal dan Haram, Darul Ma’rifah ad Darul Baidha’, Cetakan
Pertama, 1405 H/1985 M
Qudamah, Ibnu, al-Mughniy, (Kairo. Mathba’ah al-Qahirah, 1969), h. 299
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2000, cet.
Keempat.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Jakarta. Attahiriyah, 1975), cet.ke-15, h. 404
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta. Prenada
Media, 2006, cet ke 1
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta.
Kencana, 2004), h. 166
63
Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunah, (Beirut. Darul Kitab Al Araby, 1973), cet.ke-2, jilid II,
h. 288
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta. PT
Pradnya Paramita, 2008), cet. 39, h 549
Suryabrata, Sumadi, Pengembangan Alat Ukur Psikologi, (Yogyakara. Rajawali
Press, 2000), hal 25
Wawancara Pribadi Dengan Drs. Nasrul (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur),
Tanggal 3 November 2010. Di Kantor Pengadilan Agama Jakarta
Timur
Yanggo, Huzaemah Tahido, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan
Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan
Aktivitas Anak, (Jakarta. Al-Mawardi, 2004), h. 134
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta. Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsiran Al Qur’an, 1973), h. 104
Zakaria Anshari, Abu Yahya Fathul Wahab, (Beirut. Dar Al-Kutub, 1987), Juz II. h.
212
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus. Dar al-Fikr, 1989),
cet ke-3, h. 7306
Undang-undang
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hadi Zulkarnain
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 30 Desember 1987
No. Pokok : 106044201462
Semester : XI (sembilan)
Jurusan/Konsentrasi : SAS/Administrasi Keperdataan Islam
Adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melakukan wawancara dengan :
Nama : Drs. Nasrul
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama
Hari/Tanggal : Rabu/3 November 2010
Waktu/Tempat : 14.00 WIB/Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur
Tema : Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusyuz
Demikian surat ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Mahasiswa Hakim
Hadi Zulkarnain Drs. Nasrul, S.H.