IMPLEMENTASI ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA YANG … ASAS... · Ketentuan Hukum acara perdata ......
Transcript of IMPLEMENTASI ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA YANG … ASAS... · Ketentuan Hukum acara perdata ......
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1156
IMPLEMENTASI ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA YANG TELAH
MEMILIKI KEKUATAN HUKUM TETAP YANG DIGUGAT KEMBALI
DENGAN SENGKETA OBYEK YANG SAMA TETAPI DENGAN SUBYEK
YANG BERBEDA
Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*
Abstrak
Penulisan ini mengkaji tentang adanya suatu perkara yang dahulu
telah terdapat putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap,
digugat kembali dengan subyek yang berbeda tetapi obyek yang
sama. Hal ini dapat membuat rasa kepastian hukum para pencari
keadilan menjadi terganggu dikarenakan tidak adanya kepastian
hukum yang jelas, karena gugatan yang dahulu telah ada putusan
yang berkekuatan hukum tetap jika digugat kembali bertentangan
dengan asas nebis in idem.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu perkara
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat digugat kembali
walaupun dengan subyek berbeda, mengingat ketentuan pada pasal
1917 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya subyek yang sama
dan obyek yang sama yang dapat disebut sebagai nebis in idem lalu
Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI tentang
nebis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002
yang bertentangan dengan Pasal 1917 KUHPerdata, Kaidah
Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan
subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah
diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan
dinyatakan Nebis In Idem1 dan juga untuk mengetahui suatu
putusan hakim terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap (yurisprudensi) mengikat para hakim lainnya, mengingat
yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang –
undangan.
Kata kunci : Nebis In Idem, Yurisprudensi.
1. Pendahuluan
Mengajukan gugatan menjadi suatu cara untuk menuntut hak atau memaksa pihak
lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita
oleh Penggugat melalui putusan pengadilan serta bertujuan memberikan perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah pihak menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
* Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.,MH., Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh
Situbondo. 1 http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=18&lang=in&act=view&cat=AskExpert/105
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1157
Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan merupakan permohonan yang
disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain
agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam gugatan
selalu ada pihak pengugat, tergugat, atau turut tergugat, sengketa melalui pengadilan
tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of
Procedur).2
Ketentuan Hukum acara perdata pada dasarnya tidak membebani hak dan
kewajiban, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum
materiil perdata yang ada atau melindungi hak perseorangan. Dengan kata lain, hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiil. Sedangkan hukum materiil sebagaimana terjemahan
dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, menjadi pedoman bagi warga
masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam
masyarakat. Tidak sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja,
melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Diharapkan dengan adanya hukum acara
perdata, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan
oleh pihak lain melalui Pengadilan dan tidak menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Sehubungan dengan tahap pelaksanaan putusan tersebut, dalam setiap putusan
yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara,
perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan
dan unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan
kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap
pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van
gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap,terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu
perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi
dengan obyek yang sama. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian dan ketelitian seorang hakim
dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Nebis In Idem. Nebis
In Idem adalah sebuah perkara dengan obyek yang sama, para pihak yang sama dan materi
pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap
baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung Nebis In Idem,
harus dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard), namun jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi
perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak
termasuk Nebis In Idem. Pasal 1917 KUHPerdata yang mengatakan hanya subyek dan
obyek yang sama dapat disebut sebagai Nebis In Idem. Diperkuat juga oleh Putusan
Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober 1975. Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar
obyek gugatannya sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena
pihak-pihaknya tidak sama, tidak ada Nebis In Idem.3
3http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt-sultra.go.id/Download-
document/52-Putusan-Perkara-Perdata-No.-25-Tahun-2011.html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en&ct=clnk
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1158
2. Pengertian Sistem Hukum
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan
yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem
adalah suatu perangkat komponen yang berkaitan secara terpadu dan dikoordinasikan
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.4 Pendapat lain tentang
sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait mengait satu sama
lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian
selanjutnya.5 Sedangkan hukum didefinisikan sebagai suatu sistem konseptual aturan
hukum dan putusan hukum, suatu produk kesadaran hukum, yang terdiri atas suatu
keseluruhan aturan hukum dan putusan hukum yang saling berkaitan.6 Sedangkan
Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil unsur-unsur dalam sistem
mencakup antara lain: Seperangkat komponen, elemen, bagian. Saling berkaitan dan
tergantung. Kesatuan yang terintegrasi. Memiliki peranan dan tujuan tertentu. Interaksi
antar sistem membentuk sistem lain yang lebih besar.7 Hukum sulit didefinisikan karena
kompleks dan beragamnya sudut pandang yang akan dikaji. Van Apeldoorn mengatakan
bahwa ”definisi hukum sangat sulit dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya
yang sesuai dengan kenyataan”. Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum
menurut para ahli hukum terkemuka berikut ini8 : Mr. E.M. Meyers, Hukum adalah
semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah
laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam
melaksanakan tugasnya. Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang pelanggaran
terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya. Utrecht, Hukum
adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.9 Simorangkir, dan
Woerjono Sastropranoto, Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan
diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.10
Dari pengertian sistem dan hukum maka
dapat diartikan bahwa : Sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang berlaku pada
suatu negara tertentu yang di patuhi dan di taati oleh setiap warganya.11
Dengan konsep sistem hukum tersirat bahwa tata hukum (legal Order)
merupakan suatu kesatuan (unity) meskipun seringkali kompleks.12
Meuwissen,
mengartikan sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya berbagai
4 http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistem-hukum-di-indonesia/ 5 http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum 6 Bruggink alih bahasa Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal 137 7 http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum 8 http://vjkeybot.wordpress.com/2011/12/03/sistem-hukum-indonesia 9 Ibid 10 Ibid 11 www.slideshare.net, Op.Cit. 12 Julius Stone, Legal system and Lawyers’ Reasoning, hlm 21, (Dikutip dari : Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem
Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni, 2009), hlm 11
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1159
norma / kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis konsisten menjadi suatu
kesatuan tertentu.13
Sedangkan menurut Bruggink, sistem hukum ialah aturan – aturan
hukum dan putusan – putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu
dalam hubungan saling berkaitan.14
Bruggink menambahkan, hukum adalah suatu gejala
yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi. Jika orang meletakkan titik berat
pada aspek hukum ini, maka kita sudah berbicara tentang suatu sistem hukum.15
Dan
ilmu hukum menurut Bruggink mempunyai tugas menata aturan – aturan hukum dan
putusan – putusan hukum sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin menampilkan
gambaran keseluruhan yang tertata dalam suatu ikhtisar (overzichtelijke gehelen).16
Jadi
sistem hukum sebagai system of reasons pengadilan menurut hemat penulis harus
dibaca dalam pengertian sebagaimana yang dikemukan oleh pound yaitu sebagai sebuah
ideal tentang apa yang seharusnya meskipun bisa jadi bahwa apa yang seharusnya
tersebut sebagian telah ditranformasikan ke dalam bentuk peraturan. Seperti diakui oleh
pound, ideal memang memiliki peranan yang tidak bisa diremehkan dalam sejarah
perkembangan hukum.17
Maka sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan-
peraturan saja namun peraturan-peraturan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang sah
apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum,
yurisprudensi, dan kebiasaan.18
3. Sistem Hukum di Indonesia
Sistem hukum Indonesia sebagai suatu sistem aturan yang berlaku di negara
Indonesia adalah sistem aturan yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur –
unsur hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling
bertautan, saling mengaruh memengaruhi serta saling mengisi.19
Oleh karenanya
membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem hukum yang berlaku di Indonesia
tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur
hukum bagaikan suatu organ yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang
lain.20
Sistem hukum Indonesia saat ini masih menganut campuran antara hukum adat,
hukum agama, serta sistem hukum eropa. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena
sistem hukum Indonesia menganut sebagian besar hukum peninggalan Belanda.
Indonesia yang notabene menjadi daerah atau wilayah "jajahan" Belanda selama
berabad-abad tentunya tidak bisa lepas dari sistem hukum yang ditinggalkan Belanda.21
Sehingga sistem hukum Indonesia adalah campuran dari sistem hukum agama, hukum
adat, dan hukum Eropa yang lebih tepatnya hukum Belanda.22
Menurut penulis sistem
hukum Indonesia tersebut terbentuk tidak dengan sendirinya, melainkan hasil dari
13 Meuwissen, Teori Hukum, hlm 20 (dikutip dari : Ibid) 14 Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, hlm 139 (dikutip dari : Ibid) 15 Ibid, hlm 137 16 Ibid 17 Roscoe pound, Law Finding Through Experience And Reason, hlm 1-2 (dikutip : Ibid) 18 ngobrolinhukum.wordpress.com, Op. Cit 19 IIlhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010) hal 39 20 Ibid 21 http://rizroi.blogspot.com/2013/03/sistem-hukum-indonesia-sistem-hukum-di-indonesia-Menganut-Campuran-
Sistem-Hukum-Dunia.html 22 Ibid
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1160
perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dominan hukum peninggalan belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan
Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat
Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak
terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,
yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-
budaya yang ada di wilayah nusantara.23
Terdapat tiga pilar utama yang mendukung atau mempengaruhi pembentukan
sistem hukum di Indonesia, yaitu24
:
1. Sistem hukum barat, ini merupakan warisan dari Belanda yang mana pada saat
itu mereka menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sistem hukum yang
diterapkan para koloni di Indonesia pada saat itu ialah Burgerlijk Wetboek (BW)
yang mengatur hukum perdata di Indonesia dengan menyesuaikan daerah hukum
negara Indonesia atau prinsip concordantie. Dan sistem BW tersebut masih
diterapkan hingga saat ini di Indonesia karena sampai sekarang, Indonesia belum
mampu untuk membuat hukum perdatanya sendiri.
2. Sistem hukum adat, sifat dari sistem hukum ini komunal. Dimana dalam sistem
hukum ini terdapat hukum kebiasaan yang menjadi cermin kepribadian bangsa
Indonesia serta campuran dari hukum islam. Hukum adat ini tidak tertulis di
dalam perundang-undangan, hanya saja hukum adat ini bersifat mutlak di
sebagian besar daerah Indonesia yang mayoritas masih menggunakannya.
Hukuman yang berlaku dalam sistem hukum ini juga melalui musyawarah warga
sekitar atau sudah ditentukan oleh para pendahulu.
3. Sistem hukum islam, sistem hukum ini sudah ada jauh sebelum penjajah datang
ke Indonesia. Dimana kedatangan agama islam di Indonesia disambut cukup
baik oleh masyarakat yang merupakan agama yang berasal dari Arab. Kemudian
terdapat kerajaan islam pertama di Indonesia yakni Samudera Pasai, dimana
sejak berdirinya kerajaan islam tersebut, sistem hukum islam pun sudah
diterapkan.
Menurut Titon Slamet Kurnia, sistem hukum Indonesia, dari perspektif ilmu
hukum tidak memiliki keterkaitan dengan rezim kolonial, meskipun untuk mencegah
kekosongan dalam tata peraturan sehingga peraturan perundang – undangan produk
rezim kolonial tetap diberlakukan.25
Sistem hukum Indonesia sebagai suatu kaidah
adalah sesuatu yang abstrak, sementara yang konkret ialah sumber – sumber hukum
yang menjelaskan darimana sistem kaidah itu berasal.26
23 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia 24 http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/ Sistem_Hukum_di_Indonesia.html 25 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit, hlm 20 26 Ibid, hlm 42
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1161
4. Pengertian Sumber Hukum
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum disebut source of law. Perkataan sumber
hukum berbeda dengan dasar hukum, landasan hukum atau pun payung hukum. Dasar
hukum adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang mendasari suatu
tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat
dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada
pengertian tempat dari mana asal muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal.27
Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian. Pertama, yang
dapat dipahami sebagai source of law ada dua yaitu custom dan statute. Oleh karena
itu source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and
legislation, yaitu customary and statuary creation of law. Kedua, source of law juga
dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law.
Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti
norma, moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagainya
yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula
disebut sebagai sumber hukum atau the source of law.28
Pengertian yang lain bahwa
Sumber Hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.29
Menurut Soedikno ada beberapa arti sumber hukum30
:
1. Sebagai asas hukum.
2. Hukum terdahulu yang memberi bahan.
3. Dasar berlakunya.
4. Tempat mengetahui hukum.
5. Sebab yang menimbulkan hukum.
Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu: Keputusan otoritas yang
berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan.31
Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan. Sumber hukum
dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam
pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang macam, jenis, atau bentuk-
bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang,
Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya. Sumber hukum dalam pengertian
hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya:
Keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori
atau ajaran dari ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan
hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya,
maupun ekonomi.32
27 http://ratusanmakalah.wordpress.com/hukum-perdata/pengertian-sumber-hukum/ 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid 31 http://www.pustakasekolah.com/sumber-sumber-hukum.html 32 Ibid
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1162
Sumber – sumber hukum juga dapat diartikan sebagai bahan – bahan yang
digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.33
Istilah sumber
hukum mengandung banyak pengertian, dapat dilihat dari segi historis, sosiologis,
filsufis, dan ilmu hukum, yang masing – masing disiplin mengartikan nya dari
perspektifnya terhadap hukum dan melihat hukum dari sudut pandangnya masing –
masing.34
Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala sosial
sehingga harus didekati secara ilmiah.35
Filsuf dan yuris sebaliknya, memandang hukum
sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai.36
Sumber hukum bisa berupa
tulisan, dokumen, naskah, dan lain sebagainya yang kemudian dipergunakan oleh suatu
bangsa atau negara untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa dan rakyatnya pada
masa tertentu.37
5. Putusan Hakim dan Kekuatan Putusan Hakim
Putusan Hakim menurut Andi Hamzah adalah hasil atau kesimpulan dari suatu
perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk
putusan tertulis maupun lisan.38
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan
hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.39
Bukan hanya yang di
ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep
putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di
persidangan oleh hakim.40
Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah
kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu
dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak – pihak yang
berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
HIR tidak mengatur secara rinci mengenai kekuatan putusan. Namun para ahli
hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing. Di antaranya adalah ;
a) Soepomo dalam literaturnya menjelaskan 3 (tiga) kekuatan putusan, yakni41
:
1. Kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat lagi.
Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat (bindende
kracht, binding force).
2. Kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para pihak,
yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk
33 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, Cet-4 2012) hlm 255 34 Ibid 35 P.Van et al, Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht. W.E.J. Tjeenk-Willinjk.1985
(dikutip dari : Ibid) 36 Ibid 37 http://www.anneahira.com/sumber-hukum-di-indonesia.htm 38
Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm 485 39
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 206 40
Ibid, hlm 175 41
Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993) , hlm . 57
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1163
eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berperkara sepanjang
mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.
3. Kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap atau
memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan
(executoriale kracht, executionary power).
b) Sudikno Mertokusumo42
, putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:
1. Kekuatan Mengikat,
Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak secara paksa
diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menentapkan hak
itu.Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang
bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan
atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa
pihak-pihak yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang
dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua
belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan
putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat kedua
belah pihak.
Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang
hendak mencoba memberikan dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan,43
yaitu :
a. Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan yang lazimnya
disebut ”gezag van gewijisde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena
mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan;
menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini putusan dapat
menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan merupakan
sumber materiil. Disebut juga ajaran hukum materiil karena memberi akibat
yang bersifat hukum pada putusan. Mengingat bahwa putusan hanya mengikat
para pihak dan tidak memberi wewenang untuk mempertahankan hak
seseorang terhadap pihak ketiga dan saat ini ajaran ini telah ditinggalkan.
b. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil melainkan
sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara
yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.
Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata- mata hanyalah
sumber wewenang prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti
tentang hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa.
c. Teori Hukum Pembuktian
42
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 182 43
Ibid, hlm 213
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1164
Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang di tetapkan
didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori
ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno
yang sudah tidak banyak penganutnya.
d. Terikatnya para Pihak pada Putusan
Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan
negatif, yakni ;
1) Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa
apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif benar.
Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro
veritate habetur). Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para
pihak ini didasarkan pada undang- undang Ps. 1917-1920 BW.
2) Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah
bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus
sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara
yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat
hukum:Nebis in idem (ps.134 Rv). Kecuali didasarkan atas pasal 134 Rv,
kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan asas ”litis finiri
oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk
mengajukan upaya hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan
oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalam hukum acara
kita putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti positif
maupun dalam arti negatif.
e. Kekuatan hukum yang pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht
van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk
upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh
kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun
oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum khusus yakni
request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pendapat para ahli hukum lain,
ada yang berpandangan bahwa suatu putusan mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang negatif kalau belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan
sejak mempunyai kekuatan hukum yang pasti memperoleh kekuatan hukum
yang positif, maka putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti
sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang dijatuhkan
harus dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak harus menghormati dan
mentaatinya.
2. Kekuatan Pembuktian
Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik,
tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak,
yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1165
pelaksanaannya. Putusan itu sendiri merupakan akta otentik yang dapat
digunakan sebagai alat bukti.
3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau
sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata
hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga realisasi atau
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu
putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak
dapat direalisasikan atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan
dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan
hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya
apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu
putusan memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di
Indonesia yang menganut ”Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa” (Ps. 4 ayat 1 Undang – undang No. 4 tahun 2004) dan semua putusan
pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang
berbunyi ”Demi Keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 435 Rv
jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004)44
6. Upaya Hukum Terhadap Putusan
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kehilafan, bahkan tidak
mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap
putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau
kehilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada
umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan.45
Sifat dan berlakunya upaya hukum, bergantung pada apakah itu merupakan
upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa46
:
a) Upaya hukum biasa, pada asasnya terbuka setiap putusan selama tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang menggunakannya hapus dengan
menerima putusan. Upaya ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk
sementara. Upaya hukum biasa ialah :
1. Perlawanan (verstek),
Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar
hadirnya tergugat (Ps. 125 ayat 3 jo Ps. 129 HIR, Ps. 149 ayat 3 jo Ps. 153 Rbg.). Pada
asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya)
dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya
hukum banding.
44
Ibid, hlm 184 45
Ibid, hlm 232 46
Ibid, hlm 233
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1166
2. Banding,
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu
putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu
atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan
permohonan banding. Ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada
pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan
dalam dua tingkat itu disandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan pada
tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan
pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.
3. Kasasi.
Terhadap putusan – putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan
– pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan
pengadilan yang dimintakan Banding dapat dimintakan Kasasi kepada Mahkamah
Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun
2005 tentang Kehakiman, Pasal 43 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung). Jadi apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan
hak melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat atau hak
memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh Pengadilan Tinggi, permohonan
pemeriksaan Kasasi tidak dapat diterima (Pasal 43 Undang- undang No. 5 tahun 2004
tentang Mahkamah Agung).
Dalam meninjau alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan
Kasasi, dipakai sebagai dasar Pasal 30 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, yaitu karena :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang
– undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
b) Upaya hukum istimewa, digunakan untuk putusan-putusan yang telah berkekuatan
hukum yang pasti dan sudah tidak dapat diubah serta tidak tersedia lagi upaya
hukum biasa. Upaya hukum ini hanyalah dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang
disebut dalam Undang-undang saja. Yang termasuk upaya hukum istimewa ialah
1. Peninjauan Kembali (request civil),
Diatur dalam Pasal 66 Undang-undang No. 4 tahun 2004 Kehakiman.
Permohonan PK dapat diajukan secara tertulis maupun lisan oleh para pihak
sendiri (ayat 1) kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri
yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Permohonan PK tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan
dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan satu kali saja.
2. Perlawanan dari pihak ketiga (derdenverzet).
Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara
dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW). Akan tetapi apabila pihak
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1167
ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (Pasal 378 Rv).
7. Tinjauan Umum Tentang Nebis Ins Idem
Nebis in idem adalah asas hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun
pidana. Dalam hukum perdata, asas ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara
dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang
diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau
menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Pengertian dari kamus
hukum tentang nebis in idem adalah asas yang menyatakan bahwa tidak boleh satu
perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya
oleh pengadilan.47
Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa
dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-
pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk nebis in idem. Sebuah
gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung nebis in idem, hakim
harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan,
Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat
formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk nebis in idem
dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana,
juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang
sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini
semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili
untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar nebis in
idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau
penuntutannya jika ditemukan nebis in idem. Sebuah perkara yang nebis in idem yang
tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa
tidak dapat diterima.48
Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana:
1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,
2. Telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seperti
menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis
finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis
in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979
dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, “antara perkara ini
dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem,
sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh
karena ada pihak yang tidak diikut sertakan sehingga masih terbuka kemungkinan
untuk menggugat lagi”.
3. Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama49
47
Dzulkifli Umar & Utsman Handoyo, Op. Cit, hlm 279 48
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091011085032AAsqjgM 49
http://advokatku.blogspot.com/2008/01/nebis-in-idem.html
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1168
Pengertian tentang asas nebis in idem terdapat pada ketentuan pasal 1917 Kitab
Undang – undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan Hakim
yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai
soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang
dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula
dimajukan oleh dan terhadap pihak – pihak yang sama didalam hubungan yang sama
pula”. Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan
objek yang sama pula.
Dalam perkembangan asas nebis in idem, kadang sering muncul perkara yang
mirip dengan asas nebis in idem, yaitu pekara yang digugat kembali dengan objek yang
sama tetapi subyek berbeda. Karena itu, agar tidak menjadi kesimpang siuran kaidah
hukum yang tidak jelas, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI
tentang nebis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002, dengan
majelis hakim sebagai berikut :
1. H. Suharto, SH
2. H. Achmad Syamsudin, SH
3. H. A. Kadir Mappong, SH
Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan subyeknya
berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan
berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Nebis In Idem50
Pada dasarnya asas nebis in idem dapat terlaksana dengan baik dan demi
kepastian bagi pencari keadilan, maka sesuai dengan SEMA No. 3 TAhun 2002, Ketua
MA telah meminta agar Pengadilan tingkat pertama untuk mempertimbangkan
mengenai perkara serupa yang pernah diputus dimasa lalu, baik dalam eksepsi maupun
dalam pokok perkara.51
Tetapi ada hal yang menarik berkaitan dengan yurisprudensi, yaitu pertentangan
antara yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya tentang Nebis In Idem, Menurut
kamus istilah hukum Foekema Andreal, Belanda-Indonesia :Nebis In Idem penunjukan
yang berlaku untuk asas bahwa satu sengketa atau satu perkara yang sama tidak boleh
lebih dari satu kali diserahkan untuk diputuskan oleh Pengadilan. Tetapi Putusan
Mahkamah Agung tanggal 23 Juli 1973 No.102 K/Sip/1972 apabila dalam perkara baru
ternyata para pihak berbeda dengan pihak- pihak dalam perkara yang sudah diputus
lebih dahulu, maka tidak ada Nebis In Idem. Dan dalam Putusan Mahkamah Agung
tanggal 22 Oktober 1975. Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar obyek gugatannya
sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya
tidak sama, tidak ada Nebis In Idem.52
Jika terjadi pertentangan antara yurisprudensi
yang satu dengan yang lainnya, maka menurut penulis, yurisprudensi yang terakhirlah
yang digunakan sebagai pedoman sumber hukum bagi para hakim.
50
http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=18&lang=in&act=view&cat=AskExpert/105 51
Varia Peradilan, Hal. 161, bulan Pebruari 2011 52
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt-sultra.go.id/Download-
document/52-Putusan-Perkara-Perdata-No.-25-Tahun 2011.html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en&ct=clnk
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1169
Dalam hukum acara perdata juga, berlaku asas Nebis in Idem, dalam artian
putusan dengan objek sengketa, subjek yang terlibat sengketa, dasar hukum yang sama
dan telah mendapat kekuatan hukum tetap tidak dapat dipersengketakan ulang di
pengadilan. Namun untuk beberapa kasus spesifik tertentu, keberlakuan asas Nebis in
Idem yang mendasarkan diri pada asas kepastian hukum dapat disimpangi dengan asas
keadilan dan kemanfaatan. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menutup
diri untuk menguji materiil undang-undang atau pasal yang sama dengan yang dahulu
pernah diuji-materiil-kan, dengan ketetuan pengajuan uji materiil memaparkan
argumentasi dan dasar bernalar yang berbeda dari sebelumnya dengan suatu alasan yang
memadai yang mampu menyimpangi kemutlakan asas Nebis in Idem.53
sedangkan
menurut penulis, jika ditemukan suatu bukti baru yang kuat, maka nebis in idem pun
bisa disimpangi.
8. Hakim dan Yurisprudensi
Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, sehingga tanpa hakim
pengadilan tidak layak dikatakan sebagai lembaga peradilan. Bahkan dalam
perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan
pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri.
Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula
halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh
keberadaan hakim dalam lembaga peradilan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu
fungsi hakim yang sangat penting adalah mengembangkan yurisprudensi.
Dalam kepustakaan hukum anglo saxon perkataan yurisprudensi mengandung
arti yang lebih luas dari perkataan yurisprudensi dalam hukum Eropa Kontinental. Di
dalam kepustakaan anglo saxon, yurisprudensi selain bermakan hukum (dalam putusan)
hakim, juga bermakna filsafat hukum dalam ilmu hukum. Sedangkan dalam
kepustakaan Eropa kontinental dan dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang disebut
yurisprudensi adalah kumpulan keputusan Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi)
mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijaksanaan) hakim sendiri
yang diikuti sebagai pedoman oleh lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir
sama. Beberapa literatur mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi
adalah keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang selalu diikuti oleh hakim lain
(sesudahnya) dalam hal memutus sesuatu perkara yang sifatnya sama.
Secara garis besar yurisprundensi (dilihat dari daya ikatnya) bagi hakim lain,
dibagi menjadi dua, yaitu yurisprudensi yang bersifat tetap dan yurisprudensi tidak
tetap.54
a. Yurisprundensi tetap, yurisprudensi dapat dikatakan yurisprudensi tetap, apabila
keberadaannya selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Ini berarti, bentuk
yurisprudensi ini sudah menjadi kaidah hukum. Contoh dari yurisprudensi tetap
ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 47/kr/28 Maret 1957 yang
53
http://hery-shietra.blogspot.com/2013/04/nebis-in-idem-tidak-berlaku-mutlak.html 54
http://violetence.blogspot.com/2011/09/sumber-sumber-hukum-formal-dan-materiil.html
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1170
menyatakan bahwa yang menjadi dasar keputusan oleh Pengadilan Negeri
adalah surat dakwaan dan bukan surat tuduhan yang dibuat oleh polisi dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
b. Yurisprudensi tidak tetap, putusan hakim dapat dikatakan sebagai yurisprudensi
tidak tetap, apabila tidak selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Sebagai catatan,
seringkali putusan-putusan yang dimaksud dalam yurisprudensi tersebut di atas,
baikyang bersifat tetap atau yang tidak tetap biasanya sangat tergantung dari
hakim MA lebih menguntungkan. Kemungkinan seperti ini disebabkan oleh
kenyataan, bahwa masih banyak pihak yang untuk memperoleh keadilan hukum
selalu berupaya sampai ke Mahkama Agung, sehingga putusannya dianggap
solid.
Pengembangan yurisprudensi selain menggambarkan keadilan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia. Dalam konteks tersebut, yurisprudensi sebagai sumber hukum atau inspirasi
hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-
perkara nyata yang dihadapi masyarakat. Selain itu yurisprudensi juga dapat
dikategorikan sebagai fatwa hakim yang mempunyai integritas keilmuan yang tidak
diragukan. Oleh karena itu, yurisprudensi merupakan hasil ijtihad seorang hakim
sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Yurisprudensi dalam
kategori ini, di antara cirinya ialah bersifat kasuistik, karena merupakan respon atau
jawaban atas kasus yang diajukan oleh pencari keadilan. Kaitannya dengan
pengembangan yurisprudensi, hakim mempunyai peranan yang penting dan strategis.
Tentunya hakim dalam hal ini adalah hakim dalam lembaga peradilan secara fungsional.
Dikatakan demikian karena hakim dalam melaksanakan tugas-tugasnya senantiasa
berhadapan dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus
yang terjadi di masyarakat tidak semua mempunyai ketentuan hukum secara normatif
dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi adakalanya bahkan di antara kasus-
kasus yang diajukan pada hakim banyak yang tidak mempunyai dasar hukum secara
jelas dan tegas dalam Undang-Undang. Terhadap kasus-kasus yang demikian inilah
hakim mempunyai tanggung jawab dan dituntut untuk berijtihad sesuai dengan ilmunya.
Ijtihad atau fatwa hakim dalam memberikan putusan terhadap suatu kasus yang tidak
mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang itulah yang kemudian disebut dengan
istilah yurisprudensi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi hakim
yang penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Oleh karena itu, yang paling
penting bagi hakim dalam mengembangkan yurisprudensi adalah kemampuan hakim itu
sendiri. Dalam artian bahwa hakim hendaknya mempunyai integritas keilmuan yang
diandalkan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan
yurisprudensi.
Ada beberapa alasan para hakim mengikuti keputusan hakim lain, dalam
memutuskan perkara yang sifatnya sama. Alasan pertama adalah alasan psikologi, yang
kedua adalah alasan bersifat praktis dan ketiga adalah persesuaian pendapat.55
a. Alasan psikologis
55
Ibid
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1171
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa keputusan hakim
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkompeten
di dalamnya. Dalam kenyataannya, keputusan hakim juga dapat dan mampu
menyusun pendapat umum (Publik Opini) bahwa yang diputuskan adalah benar
adanya. Sehingga semua pihak yang berkecimpung dalam masalah hukum
tertentu yang sejenis dengan perkara yang serupa dengan perkara yang telah
diputuskan oleh hakim tadi secara tidak langsung dirinya merasa terikat di
dalamnya. Termasuk di dalamnya para hakim itu sendiri. Lebih-lebih, hakim
yang secara organisasi berada dalam stuktur di bawah hakim yang memutuskan
perkara tadi (misalnya putusan hakim Mahkamah Agung). Keputusan hakim
Mahkamah Agung apabila tidak diikuti oleh hakim yang berada dalam tingkat
yang lebih rendah, akan menimbulkan beban psikologis yang tidak
menguntungkan bagi hakim yang bersangkutan. Meskipun tidak ada satu
ketentuan pun yang mengharuskan agar ia harus selalu berpedoman pada
keputusan hakim yang ada di atasnya. Dalam hal keputusan yang diputuskan
oleh hakim Mahkamah Agung, hal yang demikian dapat ditafsirkan sebagai
salah satu bentuk pengawasan yang tidak langsung kepada para hakim yang
berada di bawahnya.
b. Alasan praktis
Kesan yang akan timbul apabila seorang hakim yang memutus perkara
yang jenisnya sama yang tidak sesuai dengan keputusan hakim yang diputuskan
oleh hakim yang berada di atasnya adalah seakan-akan ia memutuskan tanpa
mengindahkan norma-norma hukum yang ada. Alangkah janggalnya, apabila
suatu putusan hakim yang lebih rendah secara administrasi akan bertentangan
dengan keputusan hakim yang secara administrasi sementara jenis dan sifat dari
jenis perkara tersebut adalah sama. Sebab, apabila seseorang terlibat dalam
sebuah perkara tidak puas, maka tentunya ia akan mengajukan banding kepada
Pengadilan yang lebih tinggi. Yang menyebabkan keputusan hakim terdahulu
akan dibatalkan.
c. Persesuaian Pendapat
Persesuaian pendapat ini bukan hanya menyangkut bagi para hakim itu
sendiri melainkan untuk rasa sekarang semua pihak (para praktisi dan akademis)
telah menganggap bahwa apabila sebuah kasus ditangani tanpa berdasarkan
yurisprudensi (keputusan hakim yang telah ada), akan menimbulkan reaksi yang
tidak sedikit, ini berarti bahwa pada dasarnya semua pihak mengingkari adanya
persesuaian pendapat tetang yurisprudensi sebagai sumber hukum.
Di samping beberapa alasan yang menyebabkan yurisprudensi itu diikuti oleh
hakim yang lainnya, yurisprudensi dapat berperan untuk menciptakan standar hukum
dan pembinaan landasan hukum yang sejenis.56
56
Ibid
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1172
a. Menciptakan standar hukum
Dengan adanya yurisprudensi ini diharapkan akan menciptakan standar
hukum yang benar-benar mengandung unsur-unsur aktual, dalam kasus-kasus
tertentu yang terjadi pada sebuah Negara (peradilan) pada sebuah Negara.
b. Membina landasan hukum yang sama
Keseragaman hukum yang sama pada suatu yurisprudensi yang akan mampu
menciptakan standar hukum yang sama, dengan sendirinya akan berperan dan
berfungsi membina dan mewujudkan landasan hukum yang sama. Apabila
terjadi persamaan-persamaan persepsi yang sama terhadap sebuah kasus yang
sama, baik oleh praktisi dan akedemisi dan para pencari keadilan dan hakim
yang telah menjadikan yurisprudensi sebagai landasannya, yang demikian itu
akan sangat berpengaruh pada pembinaan hukum yang sama dalam hal
mengadili dan memeriksa kasus yang sifat dan jenisnya berbeda. dengan adanya
landasan hukum yang sama yang secara tidak langsung juga dibina bersama,
keefektivitasan dalam menangani sebuah kasus akan tercapai. Ini merupakan
salah satu bentuk pengisisan hukum oleh hakim.
9. Daya ikat yurisprudensi terhadap para Hakim, mengingat yurisprudensi berada
diluar tata urutan peraturan perundang – undangan.
Para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing, namun
dapat diambil garis besar bahwa kekuatan putusan antara lain57
:
1. Kekuatan mengikat,
Sifat mengikat ini bertujuan untuk menetapkan suatu hak atau suatu hubungan
hukum antara para pihak yang berperkara. Dalam hukum acara kita putusan mempunyai
kekuatan mengikat baik dalam arti positif maupun negatif. Yakni dapat dijelaskan
sebagai berikut :
i. Dalam arti positif, bahwa pada prinsipnya putusan pengadilan itu untuk
menyelesaikan perselisihan antara mereka yang sebagaimana yang mereka
kehendaki. Pihak-pihak tersebut harus tunduk dan patuh kepada putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan. Dan tidak boleh melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan putusan tesebut, karena putusan mempunyai kekuatan
mengikat terhadap para pihak yang berperkara (Pasal 1917-1920 BW).
ii. Sedangkan dalam arti negatif, bahwa kekuatan mengikat pada suatu putusan
ialah hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya
antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan
dari tindakan tersebut dapat mengakibatkan ”Nebis in Idem” (Pasal 134 RV).
2. Kekuatan pembuktian
Tujuannya adalah untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh para pihak,
yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk eksekusi.
Sehingga putusan harus dibuat secara tertulis, dan juga merupakan akta otentik yang
dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Sekalipun putusan tidak mempunyai kekuatan
57
Abdul Manan, Op. Cit, hlm 309
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1173
mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap
pihak ketiga. Kekuatan pembuktian terhadap putusan pidana, diatur dalam pasal 1918
dan 1919 BW, namun tentang kekuatan pembuktian putusan perdata tidak ada
ketentuannya. Menurut pasal 1916 ayat 2 Nomer 3 BW maka putusan hakim adalah
persangkaan. Putusan hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar : apa yang
telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habateur).
Adapun kekuatan pembuktian putusan perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian putusan
terdahulu.58
3. Kekuatan Eksekutorial.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau memperoleh
kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht,
executionary power). Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan
kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap
pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht
van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).Terhadap putusan yang berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dapat dilanjutkan pada tahap eksekusi. Menurut
M. Yahya Harahap,eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata
cara lanjutan dari proses pemerikasaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain
daripada tindakan yang bersinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara
Perdata.59
Aturan-aturan inilah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi. Namun dalam
pelaksanaan nya tidak terlepas dari dari peraturan lain seperti yang terdapat pada asas-
asas hukum, yurisprudensi maupun praktik peradilan sebagai alat pembantu
memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam konkreto.60
Daya ikat yurisprudensi terhadap hakim sangat tinggi sekali, walaupun
yurisprudensi berada diluar aturan perundang - undangan. Keduanya merupakan sumber
hukum yang diakui. Berdasarkan pembentukannya sumber hukum61
:
a. Undang – undang
Menetapkan hukum secara in – abstracto, yang berlaku secara umum orang
yang tunduk pada kekuasaan undang-undang. Pembentukan UU :
1. Alasan politis
2. Alasan praktis
3. Alasan cost benefit principles, Yang artinya menjangkau masa yang akan
datang.
b. Yurisprudensi
Pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim:
58
Ida Iswojokusumo dalam Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 183 59
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 1 60
Ibid 61
http://nizarlaw08.blogspot.com
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1174
1. Pasal 14 UU no. 14 tahun 1970 jo UU no. 4 tahun 2004 jo UU no. 48 tahun
2009
2. Pasal 27 UU no. 14 tahun 1970 jo pasal 28 UU no. 4 tahun 2004 jo pasal 5
UU no. 48 tahun 2009.
Dari dasar hukum tadi, hakim memiliki kewenangan untuk membuat hukum
dalam bentuk rechtvinding, dengan mendasarkan pada :
1. Pertimbangan filosofis
2. Pertimbangan yuridis
3. Pertimbangan social, psikologis, ekonomis, politis,
Dan berdasarkan daya berlakunya, yurisprudensi memiliki daya ikat concreto
yaitu daya ikatnya hanya berlaku bagi yang berperkara saja Sedangkan Undang –
undang memiliki daya ikat abstarcto yaitu tidak hanya yang berperkara saja tetapi
berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang.
Para hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, Bahkan dalam
perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan
pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri.
Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula
halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh
keberadaan hakim dalam lembaga peradilan. Maka fungsi hakim yang sangat penting
adalah mengembangkan yurisprudensi. Yurisprudensi sebagai sumber hukum atau
inspirasi hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap
perkara-perkara nyata yang dihadapi masyarakat.
Ada beberapa alasan para hakim mengikuti keputusan hakim lain, dalam
memutuskan perkara yang sifatnya sama. Alasan pertama adalah alasan psikologi, yang
kedua adalah alasan bersifat praktis dan ketiga adalah persesuaian pendapat.
a. Alasan psikologis
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa keputusan hakim
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkompeten
di dalamnya. Dalam kenyataannya, keputusan hakim juga dapat dan mampu
menyusun pendapat umum (Publik Opini) bahwa yang diputuskan adalah benar
adanya. Sehingga semua pihak yang berkecimpung dalam masalah hukum
tertentu yang sejenis dengan perkara yang serupa dengan perkara yang telah
diputuskan oleh hakim tadi secara tidak langsung dirinya merasa terikat di
dalamnya. Termasuk di dalamnya para hakim itu sendiri. Lebih-lebih, hakim
yang secara organisasi berada dalam stuktur di bawah hakim yang memutuskan
perkara tadi.(misalnya putusan hakim Mahkamah Agung). Keputusan hakim
Mahkamah Agung apabila tidak diikuti oleh hakim yang berada dalam tingkat
yang lebih rendah, akan menimbulkan beban psikologis yang tidak
menguntungkan bagi hakim yang bersangkutan. Meskipun tidak ada satu
ketentuan pun yang mengharuskan agar ia harus selalu berpedoman pada
keputusan hakim yang ada di atasnya. Dalam hal keputusan yang diputuskan
oleh hakim Mahkamah Agung, hal yang demikian dapat ditafsirkan sebagai
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1175
salah satu bentuk pengawasan yang tidak langsung kepada para hakim yang
berada di bawahnya.
b. Alasan praktis
Kesan yang akan timbul apabila seorang hakim yang memutus perkara
yang jenisnya sama yang tidak sesuai dengan keputusan hakim yang diputuskan
oleh hakim yang berada di atasnya adalah seakan-akan ia memutuskan tanpa
mengindahkan norma-norma hukum yang ada. Alangkah janggalnya, apabila
suatu putusan hakim yang lebih rendah secara administrasi akan bertentangan
dengan keputusan hakim yang secara administrasi sementara jenis dan sifat dari
jenis perkara tersebut adalah sama. Sebab, apabila seseorang terlibat dalam
sebuah perkara tidak puas, maka tentunya ia akan mengajukan banding kepada
Pengadilan yang lebih tinggi. Yang menyebabkan keputusan hakim terdahulu
akan dibatalkan.
c. Persesuaian Pendapat
Persesuaian pendapat ini bukan hanya menyangkut bagi para hakim itu
sendiri melainkan untuk rasa sekarang semua pihak (para praktisi dan akademis)
telah menganggap bahwa apabila sebuah kasus ditangani tanpa berdasarkan
yurisprudensi (keputusan hakim yang telah ada), akan menimbulkan reaksi yang
tidak sedikit, ini berarti bahwa pada dasarnya semua pihak mengingkari adanya
persesuaian pendapat tetang yurisprudensi sebagai sumber hukum.
Di samping beberapa alasan yang menyebabkan yurisprudensi itu diikuti oleh
hakim yang lainnya, yurisprudensi dapat berperan untuk menciptakan standar hukum
dan pembinaan landasan hukum yang sejenis.
a. Menciptakan standar hukum
Dengan adanya yurisprudensi ini diharapkan akan menciptakan standar
hukum yang benar-benar mengandung unsur-unsur aktual, dalam kasus-kasus
tertentu yang terjadi pada sebuah Negara (peradilan) pada sebuah Negara.
b. Membina landasan hukum yang sama
Keseragaman hukum yang sama pada suatu yurisprudensi yang akan
mampu menciptakan standar hukum yang sama, dengan sendirinya akan
berperan dan berfungsi membina dan mewujudkan landasan hukum yang sama.
Apabila terjadi persamaan-persamaan persepsi yang sama terhadap sebuah kasus
yang sama, baik oleh praktisi dan akedemisi dan para pencari keadilan dan
hakim yang telah menjadikan yurisprudensi sebagai landasannya, yang demikian
itu akan sangat berpengaruh pada pembinaan hukum yang sama dalam hal
mengadili dan memeriksa kasus yang sifat dan jenisnya berbeda.dengan adanya
landasan hukum yang sama yang secara tidak lagsung juga dibina bersama,
keefektivitasan dalam menangani sebuah kasus akan tercapai. Ini merupakan
salah satu bentuk pengisisan hukum oleh hakim.
Implementasi Asas Nebis in Idem ....... (Muhammad Yusuf Ibrahim)
1176
10. Penutup
Berdasarkan uraian mengenai Implementasi Asas Nebis In Idem dalam Perkara
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang digugat kembali dengan sengketa
obyek yang sama dan subyek yang berbeda, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pertimbangan Hakim MA mengeluarkan yurisprudensi Nomor : 1226
K/Pdt/2001 walaupun subyek berbeda tetapi objek sama tetap dikatakan sebagai
Nebis In Idem yang mana berbeda dengan Pasal 1917 KUHPerdata yang
mengatakan hanya subyek dan obyek yang sama dapat disebut sebagai Nebis In
Idem tidak saling bertentangan, justru adanya yurisprudensi tersebut semakin
menutup celah hukum yang ada pada pasal 1917 KUHPerdata tentang apa yang
disebut sebagai asas nebis in idem, dan juga semakin memperkuat kepastian
hukum.
2. Bahwa daya ikat yurisprudensi terhadap para hakim sangat tinggi, walaupun
yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang – undangan. Karena
berdasarkan daya berlakunya, yurisprudensi memiliki daya ikat concreto yaitu
daya ikatnya hanya berlaku bagi yang berperkara saja Sedangkan Undang –
undang memiliki daya ikat abstarcto yaitu tidak hanya yang berperkara saja
tetapi berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Bruggink alih bahasa Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2011
Ida Iswojokusumo dalam Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia,Yogyakarta : Liberty, 1998
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009,
(mengutip dari Julius Stone, Legal system and Lawyers’ Reasoning)
IIlhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010
Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Liberty, 1986
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1998
Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita,
1993
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana, Cet-4 2012
2. Laman
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1167-1177
1177
http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=18&lang=in&act=view&cat=AskExpert/
105
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:NkmJ6Leuv0YJ:www.pt
sultra.go.id/Download-document/52-Putusan-Perkara-Perdata-No.-25-Tahun
2011.html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en&
ct=clnk
http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistem-hukum-di-
indonesia/
http://www.slideshare.net/dimahana/sistem-hukum
http://vjkeybot.wordpress.com/2011/12/03/sistem-hukum-indonesia
http://rizroi.blogspot.com/2013/03/sistem-hukum-indonesia-sistem-hukum-di-
indonesia-Menganut-Campuran-Sistem-Hukum-Dunia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia
http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/ Sistem_Hukum_di_Indonesia.html
http://nizarlaw08.blogspot.com
http://violetence.blogspot.com/2011/09/sumber-sumber-hukum-formal-dan-
materiil.html
http://hery-shietra.blogspot.com/2013/04/nebis-in-idem-tidak-berlaku-mutlak.html
http://advokatku.blogspot.com/2008/01/nebis-in-idem.html
3. Media Cetak
Varia Peradilan, bulan Pebruari 2011
4. Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Kehakiman
Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung