repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48449/1/AHMAD IMAM... ·...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48449/1/AHMAD IMAM... ·...
v
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Pembuktian Tidak Langsung (Indirect Evidence) Dalam
Kasus Perjanjian Kartel Impor Bawang Putih (Analisis Putusan MA Nomor 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017). Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah (Kegelapan) ke zaman terang benderang seperti sekarang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan,
arahan dan nasehat serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan
ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatuallah Jakarta.
3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. pembimbing skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan arahan
dalam membimbing peneliti dalam penulisan skripsi ini.
4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallah
Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai
untuk peneliti mengadakan study kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Siswanto dan ibu Chuzanah selaku orang tua peneliti yang senantiasa
memberikan segala sesuatu kepada peneliti dan senantiasa memberikan
motivasi serta nasehat.
6. Pihak-pihak lain yang bersedia berdiskusi khususnya terkait judul skripsi ini.
vi
Peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang tidak bisa
disebutkan semua yang telah membantu membantu peneliti dalam proses
penulisan sampai dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
dari Allah SWT. Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, namun peneliti berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pihak.
Ciputat, 10 Oktober 2019
A. Imam Santoso
vii
Daftar Isi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... .... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... .... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... .... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... .... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... .... vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... .... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. ... 8
D. Metode Penelitian ..................................................................... ... 9
E. Sistematika Penelitian .............................................................. ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HUKUM PERSAINGAN USAHA
DAN PEMBUKTIAN DI INDONESIA ...................................... .... 14
A. Kerangka Konseptual .................................................................. .... 14
1. Konsep Persaingan Usaha ....................................................... .... 14
2. Dasar Hukum Persaingan Usaha ............................................. .... 16
3. Konsep Pembuktian ................................................................ .... 17
4. Dasar Hukum Pembuktian Tidak Langsung ........................... .... 22
5. Pembuktian Tidak Langsung Dalam Kasus Persaingan
Usaha ....................................................................................... .... 23
B. Kerangka Teori ........................................................................... .... 24
1. Teori Keadilan Hukum ........................................................... .... 24
2. Teori Kepastian Hukum .......................................................... .... 25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................... .... 26
BAB III PEMBUKTIAN TIDAK LANGSUNG DALAM PUTUSAN MA
NOMOR 1495 K/PDT.SUS-KPPU/2017 TENTANG KASUS
PERJANJIAN KARTEL IMPOR BAWANG PUTIH. ............. .... 28
A. Kronologi Kasus Importasi Bawang Putih dalam Putusan ......... .... 28
viii
B. Pertimbangan Hakim Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017 Tentang Kasus Perjanjian Kartel Impor
Bawang Putih .............................................................................. .... 32
C. Amar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ............... .... 35
BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERKAIT
PENERAPAN PEMBUKTIAN TIDAK LANGSUNG .............. .... 37
A. Legitimasi Putusan MA Nomor 1495 (K/Pdt.sus/KPPU/2017) . .... 37
B. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamamah Agung dalam
penerapan alat bukti tidak langsung ............................................ .... 38
C. Dampak Putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 K/Pdt.sus-
KPPU/2017 ................................................................................. .... 42
BAB V PENUTUP ...................................................................................... .... 59
A. Kesimpulan ................................................................................. .... 57
B. Rekomendasi ............................................................................... .... 58
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .... 59
LAMPIRAN .................................................................................................... ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi Negara Republik Indonesia pada jangka
panjang telah menghasilkan kemajuan diberbagai sektor salah satunya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tentunya kemajuan yang telah
tercapai didorong oleh kebijakan-kebijakan pembangunan itu sendiri pada
sebelum era reformasi termasuk pembangunan ekonomi yang didasarkan
pada GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dan rencana PELITA
(Pembangunan Lima Tahunan) serta kebijakan lainya.
Walaupun banyak kemajuan diberbagai bidang khususnya pada
sektor pembangunan ekonomi yang dihasilkan oleh pemerintahan
sebelum reformasi yang ditunjukan adanya pertumbuhan ekonomi secara
pesat, namun masih banyak persoalan-persoalan yang harus dipecahkan
seiring adanya tantangan globalisasi ekonomi dan perkembangan usaha
swasta yang begitu pesat di era 1990-an.
Setelah era reformasi pemerintah menyadari bahwa banyak
persoalan ketimpangan sosial ekonomi yang mana hanya sedikit saja
rakyat Indonesia yang ikut andil dalam pembangunan usaha dan ekonomi,
dimana sebelum era reformasi para pengusaha dan elit yang dekat dengan
kekuasaan mendapat kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga
menimbulkan ketimpangan ekonomi dan ketimpangan sosial. Disisi lain
tekanan globalisasi ekonomi yang tak terhindarkan menuntut
pemerintahan baru (setelah reformasi) juga melakukan reformasi hukum
khususnya dibidang ekonomi.
Dinamika ekonomi yang tidak lepas dari perkembangan dunia
global menuntut Indonesia saat itu (awal reformasi) harus mengikuti,
yang mana pergerakanya sangat dinamis dan kompetitif. Dunia ekonomi
dikaitkan dengan istilah bisnis, yang mana menurut ensiklopedia bebas
2
berarti suatu komunitas yang menjual barang atau jasa kepada konsumen.
Bisnis sendiri memiliki dampak yang cukup besar dalam perkembangan
perekonomian Negara, dimana banyak barang dan jasa masuk ke Negara
untuk melakukan transaksi.
Adanya transaksi ekonomi yang dilakukan oleh komunitas,
individu dan sosial dalam lingkup nasioal maupun internasional
menyebabkan terjadinya suatu kompetisi yang kuat, maka sangat perlu
diawasi untuk menegakan nilai-nilai persaingan usaha untuk menjaga
stabilitas harga pasar dan tentunya perekonomian Negara, yang mana
memiliki dampak besar dalam meningkatkan perekonomian rakyat dan
menjaga adanya ketimpangan ekonomi sesuai falsafah Negara Indonesia
Pancasila yakni, sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia”.
Penegakan hukum dalam kegiatan persaingan usaha di Indonesia
dimulai lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang mana
memiliki latar belakang adanya perjanjian yang dilakukan antara Dana
Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia,
pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui
pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar
US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi, akan tetapi
dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum
ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya Undang-Undang
anti-monopoli, akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan
merupakan satu-satunya alasan penyusunan Undang-Undang tersebut.1
Sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut Negara belum
maksimal dalam mengaplikasikan pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang
menyatakan bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas dasar
filsafat demokrasi ekonomi dalam wujud ekonomi kerakyatan. Salah satu
1Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, DKK, Hukum Persaingan Usaha Antara
Teks Dan Kontek, Kerja Sama Republik Indonesia Dan Germany (Indonesia : 2009), h. 12
3
sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi adalah melalui pengaturan
terhadap persaingan usaha.
Secara praktik setiap pelaku usaha melakukan usaha sangat kotor
dan cenderung memonopoli pasar yang tujuan-nya untuk bisa bertahan
dalam kompetisi pasar, maka sejak adanya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat segala bentuk usaha diatur dengan regulasi yang jelas dengan tujuan
untuk memberikan dampak positif bagi perkembangan bisnis di Indonesia
dan menciptakan suatu iklim yang sehat serta menghilangkan segala
bentuk pemusatan ekonomi terhadap satu golongan. Tentunya kegiatan
tersebut dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip dan cita-cita
perekonomian Indonesia yaitu menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 : Keseimbangan hak dalam
berusaha dan/atau kesinambungan hajat hidup Warga Negara. Selain itu
juga prinsip-prinsip dalam persaingan usaha tertera pada Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu : Pelaku usaha Indonesia dalam
menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan dalam kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Bentuk upayanya, dalam penegakan hukum dalam bidang larangan
persaingan usaha tidak sehat dan monopoli maka pada bab VI Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengamanatkan dibentuknya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kalau kita tinjau dari segi
ketatanegaraan KPPU masuk pada state auxiliary organ yakni, lembaga
negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang
membantu pelaksanaan tugas lembaga pokok negara (Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif).2 Sedangkan subtansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Konpres, (Jakarta: konpres, 2008), h. 24.
4
1999 sendiri yakni : kegiatan yang dilarang, perjanjian yang dilarang dan
posisi dominan dalam usaha.3
Semenjak KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) berdiri,
sebagai institusi Negara yang dibentuk oleh Undang-Undang tentunya
memiliki capaian-capaian dalam penegakan dikasus persaingan usaha.
Salah satunya dalam Penelitian ini, akan membahas tentang perjanjian
kartel bawang putih yang objeknya merupakan salah satu komoditas yang
sifatnya menjadi kebutuhan sehari-hari, artinya bawang putih menjadi
hasil bumi yang kemudian dijadikan satu barang dagangan dalam dunia
bisnis nasional maupun internasional.
Pada tahun 2013 terjadi suatu perjanjian usaha dalam kasus
importasi bawang putih yang sebagian diikuti oleh terlapor dalam putusan
KPPU Nomor 05/KPPU-I/2013 berakibat harga bawang yang naik secara
tidak wajar yang kemudian menjadi persoalan berakibat menjadi tinjauan
atau objek daripada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam penelitian ini peneliti melihat Putusan KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha)Nomor 05/KPPU-I/2013 tersebut, ada 19
perusahaan dan 3 institusi pemerintah yang terlibat atas dugaan kegiatan
importasi bawang putih. Dimana beberapa perusahaan tersebut
diidentifikasi oleh KPPU telah diduga melanggar pasal 11, pasal 19 huruf
c dan pasal 24 yakni yang secara subtansi melakukan perjanjian terlarang
dimana berupaya untuk mengadakan kartel harga bawang putih dipasaran,
melakukan kegiatan yang berpotensi melakukan monopoli pasar serta
pelaku usaha melakukan persekongkolan dengan pihak lain. Putusan
KPPU tersebut, peneliti menganggap kontroversial disisi Peraturan
Perundang-Undangan. Kontroversial yang dimaksud dalam Peraturan
Perundang-Undangan adalah KPPU dalam putusanya dianggap memiliki
pelanggaran dalam menggunakan dasar hukum.
3Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, DKK, Hukum Persaingan Usaha Antara
Teks Dan Kontek, Kerja Sama Republik Indonesia Dan Germany (Dubes Indonesia : 2009), h. xii
5
Para pelaku usaha, setelah adanya putusan KPPU mengajukan
upaya hukum banding Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam putusan
perkara Nomor. 2/Pdt.sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Utr. dan menolak putusan
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) putusan perkara
Nomor.2/Pdt.sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Utr. dengan pertimbangan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Judex Factie) menilai pelanggaran
Pasal 19 huruf c tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang dipersyaratkan
sebagaimana diatur pada pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
hanya didasarkan pada alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence)
sebagaimana dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam
perkara Nomor 2/Pdt.sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Utr.
Setelah putusan pada tahap banding yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MA RI). Berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung
Nomor 1495 K/Pdt.Sus-KPPU/2017 menarik untuk dianalisis bahwa
Hakim Agung memperkuat putusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan
Usaha) dalam penggunaan alat bukti tidak langsung dalam
putusannya.Secara praktik alat bukti tidak langsung sering kali digunakan
oleh-oleh Negara yang menganut konsep hukum Anglo Saxon. Berbeda
dengan yang dianut oleh Indonesia yang menganut sistem hukum Civil
Law.
Berdasarkan uraian di atas menarik untuk dilakukan suatu
penelitiaan untuk kepentingan pembuatan skripsi dan bertujuan
memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut judul :
Pembuktian Tidak Langsung Dalam Kasus Perjanjian Kartel Impor
Bawang Putih. (Analisis Putusan MA No 1495 K/Pdt.sus-KPPU/2017)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
6
Sesuai dengan latar belakang yang dijelaskan diatas, terdapat
beberapa persoalan yang berkaitan dengan putusan KPPUatas dugaan
pelanggaran Pasal 11, 19 huruf c dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang dilakukan oleh 19 perusahaan impor bawang putih, ada
beberapa persolan/masalah yang muncul yaitu :
a. Bahwa indirect evidence berupa bukti ekonomi tidak dapat dijadikan
sebagai alat bukti berdasarkan ketentuan paham hukum yang dianut
indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bahwa timbulnya perkara ini berdasarkan adanya laporan dugaan yang
menuduhDirektorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian
Perdagangan menolakdan diindikasi menghambat beberapa pelaku
usaha menanyakan mengenai mekanisme perpanjangan SPI (Surat
Persetujuan Impor).
c. Bahwa penetapan kebijakan impor khususnya yang menggunakan
Skema kuota kemeterian perdagangan tidak ada koordinasi dengan
instansi terkait.
d. Tidak ada bukti adanya perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku
usaha lainnya untuk tujuan mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi atau pemasaran suatu barang, khususnya Bawang Putih
karena pelaku usaha mempunyai kepentingan sendiri-sendiriserta
pelaku usaha tersebut jelas mempunyai sistem/usaha yang sangat
berbeda.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah diatas, maka
penelitian ini hanya dibatasi pada perihal pembatalan putusan majelis Komisi
Pengawas Persaingan Usaha oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan pada
7
tahap kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara oleh putusan MA (Mahkamah Agung) No. 1495 K/Pdt.sus-
KPPU/2017.
3.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas bahwa dapat dilihat adanya
tidak kesesuaian antara paham hukum di Indonesia yang mana hakim
menggunakan dasar hukum pembuktian tidak langsung. Agar pembahasan
terfokus dan ideal sehingga tidak meluas dalam pembahasan maka perlu
dibatasi untuk menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan.4
perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kekuatan Pembuktian Tidak Langsung (Indirect Evidence)
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
b. Bagaimana Pertimbangan HukumMahkamah Agung Perkara No. 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017.Terkait pembuktian tidak langsung (Indirecht
Evidence) dalam kasus perjanjian kartel importasi bawang putih?.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan diadakanya penelitian ini dalam penulisan skripsi
yakni :
a. Bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum oleh majelis KPPU dalam
putusan KPPU No. 05/KPPU-I/2013 pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Persaingan Usaha Tidak
Sehat terhadap putusan Pengadilan Negeri jakarta Utara Nomor 2/Pdt.Sus-
KPPU/2015/PN Jkt. dan putusan Mahkamah Agung Nomor 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017.
b. Bertujuan untuk mencari kesesuaian pertimbangan KPPUKPPU No.
05/KPPU-I/2013, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada putusan
Nomor 2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt dan Mahkamah Agung pada putusan
4 Bambang Waluyo, Penelitihan Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) ,
h. 26
8
Nomor 1495 K/Pdt.sus-KPPU/2017 dalam memutus upaya keberatan dari
pihak pemohon sebagaimana tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri
Nomor 2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt. dan putusan Mahkamah Agung
Nomor 1495 K/Pdt.sus-KPPU/2017.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuannya untuk memenuhi syarat kelulusan dan meraih gelar Strata
1 Ilmu Hukum, ada beberapa hal yang merupakan manfaat dari studi ini
diantaranya:
a. Penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan rujukan sebagai karya ilmiah
dimana penelitiaan ini didasari pada teori-teori yang didapatkan di
bangku perkuliahan.
b. Penelitian yang dilakukan penulis menambah wawasan penulis tentang
hukum persaingan usaha dan dapat dijadikan bahan bacaan dan masukan
kepada pemerintah agar tegas dan berdasarkan prosedur dan rule yang
baik dan benar mengenai pelaksaan dan penegakan hukum secara teknis
terhadap undang-undang.
G. Metode penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.5
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis. Tipologi
penelitian normatif - yuridis merupakan penelitian yang dilakukan dengan
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di
5 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 30
9
masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.6
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan Yuridis, maka pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan ini digunakan
untuk menelaah aturan-aturan yang berkaitan dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan PraktikMonopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber pada penelitian ini antara lain mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, bahan non hukum/tersier.
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-
putusan hakim.7Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan
hukum primer adalah :
1) Putusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Nomor :
05/KPPU-I/2013, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Nomor : 2/Pdt.sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Utr., Putusan MA RI
(Mahakamah Agung Republik Indonesia) Nomor :
1495/KPdt.Sus-KPPU/2017.
2) UUD NRI 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
3) Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji.Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum. (Jakarta : Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h.18 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta : Kencana, cet-IV 2010), h.35
10
4) Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
6) PERMA (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003)
tentang Tata Cara Pengajuan Pihak Keberatan Atas Putusan
Pengadilan Negeri Dalam Kasus Persaingan Usaha.
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum dalam bidang persaingan usaha tidak sehat
meliputi meliputi buku-buku teks, kamus hukum,jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas norma hukum
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahanhukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupabuku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
a. Prosedur Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini,
maka peneliti menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan
cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
menganalisa secarasistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar,
peraturan perundang-undangandan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahasdalam skripsi ini.
b. Pengolahan Data dan Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis
uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
11
dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
c. Analisis Data dan Bahan Hukum
Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pokok-
pokok penting dalam persaingan usaha tidak sehat terutama dalam hal
pentingnya bersaing secara sehat serta batasan-batasan bagi pelaku usaha
dalam persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat membantu sebagai
dasar acuan danpertimbangan hukum yang berguna dalam menangani
masalah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
H. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun sesuai dengan “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan
dan materi yang diteliti, adapaun perincian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan
judul atau latar belakang. Selain itu, diuraikan juga
mengenai, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode
penelitian dan rancangan sistematika.
BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP HUKUM
PERSAINGAN USAHA & PEMBUKTIAN DI
INDONESIA
Bab ini membahas Tinjauan umum tentang persaingan
usaha dan konsep pembuktian, yang menguraikan
mengenai pengertian persaingan usaha, pengertian kartel,
12
dan teori-teori yang digunakan serta kajian review
terdahulu, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual,
BAB III APLIKASI & PENERAPAN ALAT BUKTI TIDAK
LANSUNG DALAM PUTUSAN MA NOMOR 1495
K/Pdt.Sus-KPPU/2017.
Bab ini memuat tinjauan umum yang akan membahas
terkait kekuatan hukum pembuktian tidak langsung, dan
membahas secara spesifik kronologi hakim dalam
memutuskan perkara kartel impor bawang putih dan
pertimbangan hakim.
BAB IV IMPLIKASI DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG TERKAIT PENERAPAN ALAT BUKTI
TIDAK LANGSUNG
Bab ini berisi tinjuan dan dampak Kasus Pelanggaran
Hukum Persaingan Usaha Dalam Perjanjian Kartel Impor
Bawang Putih. (Analisis Putusan MA No 1495 K/Pdt.sus-
KPPU/2017)
BAB V PENUTUP
Bab terakhir ini memberikan kesimpulan dari penelitian
yang merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian dan
saran atau rekomendasi yang diharapkan dalam memberi
sumbangan ilmu pengetahuan.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP HUKUM PERSAINGAN USAHA
DAN PEMBUKTIAN DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
1. Konsep Persaingan Usaha
a. Definisi Hukum Persaingan Usaha
Dalam dinamika ekonomi identik dengan pasar yang mana
pasar sebagai suatu tempat untuk menjalankan roda ekonomi dan
aktifitas ekonomi sebagai suatu yang akan diberlakukan sesuai dengan
aturan-aturan. Salah satu dinamika pasar kita mengenal dengan istilah
persaingan usaha yaitu kegiatan perusahaan atau pelaku usaha yang
berada pada posisi bersaing untuk menjaga stabilitas harga pasar.1
Pengertian dari persaingan usaha sendiri banyak literatur yang
memberikan istilah yaitu (competition law) berarti hukum anti
monopoli. Hermansyah dalam bukunya lebih memilih menggunakan
hukum persaingan usaha saja, karena ia memandang lebih cocok
dengan subtansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri.2
Penulis menyimpulkan tentang pemahaman pengertian hukum
persaingan usaha berarti bertujuan memberikan batasan hukum yang
mengatur tentang segala bentuk aktivitas pasar, yang berguna untuk
memberikan keteraturan pasar, dan mencegah terjadinya monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Menurut Arie Siswanto yang dimaksud
persaingan usaha itu beberapa instrumen hukum yang dibuat bertujuan
untuk melakukan stabilitas harga pasar agar persaingan itu tetap
1Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, DKK, Hukum Persaingan
Usaha Antara (Buku Teks), Kerja Sama Republik Indonesia Dan Germany
(Indonesia : 2009), h. 45
2Hermannsyah, Pokok-Pokok Persaingan Usaha Di Indonesia, (Prenada
Media Group : 2008), h. 1
14
dilakukan sehingga pelaku usaha tidak memiliki upaya untuk
melakukan monopoli pasar.3
Agar terciptanya suatu pasar yang baik, sehat maka memang di
Indoensia sangat diperlukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat.
Adapun anatomi atau subtansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 membahas tentang :4
1. Perjanjian yang dilarang
a) Oligopoli
b) Penetapan Harga
c) Pembagian Wilayah
d) Pemboikotan
e) Kartel
f) Trust
g) Oligopsoni
h) Integrasi Vertikal
i) Perjanjian Tertutup
j) Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
2. Kegiatan yang dilarang
a) Mmonopoli
b) Monopsoni
c) Penguasaan Pasar
d) Persengkongkolan
3. Posisi Dominan
a) Perihal Jabatan Rangkap
b) Perihal Pemilikan Saham
3 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Ghalia Indonesia, Jakarta : 2004), h.2
4 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,(Prenada Media
Group:2012) h. 107-267
15
c) Penggabungan, Peleburan dan Pengambil Alihan
2. Dasar Hukum Persaingan Usaha
a. Landasan Hukum Persaingan Usaha Menurut UUD 1945
Aturan terkait persaingan usaha dalam memori pembentukanya
tentunya memiliki latar belakang yang kemudian keberadaanya
dikehendaki. Sebelum terbentuknya hukum persaingan usaha praktik
monopoli dan dominasi pasar sangatlah marak. Pemerintah
membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk tujuan
utamanya menjaga stabilitas ekonomi dan pemerataaan ekonomi.
Menurut pasal 33 ayat (4) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Mengatakan “Perekonomian nasional
diselengarakan atas dasar ekonomi demokrasi, ekonomi berdasarkan
kebersamaan, efesiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
b. Landasan Hukum Persaingan Usaha Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Amanat daripada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
secara jelas dapat dikaitkan dengan suatu penegakan hukum dalam
bidang perekonomian. Negara telah diberikan kewenangan oleh
UUD 1945 untuk membentuk Undang-Undang dibawah UUD 1945.
Aturan turunan tertuang dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi : Para pelaku usaha di
Indonesia dalam menjalankan kegiatanya berasaskan ekonomi
demokrasi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku
usaha dan kepentingan umum.
16
c. Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Kemudian dalam penegakan hukum persaingan usaha
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
yang secara subtansi terdiri dari Pembentukan, Tujuan, Tugas,
fungsi, Organisasi, Pengangkatan, Pemberhentian, Tata Kerja yang
terakhir ketentuan Penutup.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat penting dalam
perananya untuk menjadi pengawas dan penegakanya dalam kasus
persaingan pasar yang sangat dinamis dan kompetitif. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mengeluarkan Keputusan
KPPU Nomor : 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang tata cara
penyampaian laporan dan penanganan dugaaan pelanggaran terhadap
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999.
d.Upaya Hukum Dalam Hukum Persaingan Usaha
Untuk menjamin hak pelaku usaha dalam putusan KPPU
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA RI Nomor 1 Tahun 2003
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap
Putusan KPPU.
3. Konsep Pembuktian
a. Definisi Pembuktian
Dalam konsep hukum acara dikenal dengan istilah hukum
pembuktian (Law of Evidence), pembuktian sendiri berasal dari
kata bukti kalau diartikan memiliki suatu informasi atau data
untuk mendukung suatu rekonstruksi kejadian dimasa lalu5. Suatu
proses litigasi pembuktian sangat menentukan seserorang bersalah
atau tidak bersalah. Dalam tahapan ini menjadi sangat sulit ketika
5Eddy Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta ; Penerbit Erlangga, 2012), h. 1
17
berusaha merekonstruksi peristiwa masa lalu untuk menjadi
kebenaran.6
Kesulitan dalam dalam pembuktian dalam litigasi didukung
oleh beberapa hal, salah satunya yang dikatakan dalam buku
subekti ”Kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai
dengan system adversarial yakni hakim bersifat pasif, sekalipun
kebenaran diragukan hakim tidak bebas berpendapat.7
Berbicara evidence menurut Eddy O.S. Hiariej dekat
dengan alat yang digunakan untuk membuktikan dalam proses
persidangan untuk mencari kebenaran suatu fakta persidangan.8
Jadi kita memahami secara sederhana bahwa pembuktian adalah
upaya untuk mencari kebenaran dalam pesidangan yang didukung
oleh alat bukti dan barang bukti.
b. Teori Pembuktian
Menurut pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat memberikan amanat kepada Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) untuk bisa menegeluarkan produk hukum berupa
putusan. Bisa dipahami bahwa memang Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Merupakan lembaga yang memiliki status ganda
kalau dilihat dari wewenangnya (Quasi Yudisial).
Perihal kewenangan KPPU dalam putusan tentunya sangat
berkaitan erat dengan pembuktian. Menurut subekti pembuktian
diperlukan di suatu persengketaan unuk membuktikan kebenaran
dalil, dan pembuktian hanya diperlukan dimuka hakim.9 Tentu
6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika,2016), h. 96
7 Subekt, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1987), h. 9
8 Eddy Hiariej, Teori Dan Hukum Pembuktian. (Jakarta ; Penerbit Erlangga, 2012) h. 23.
9 Moh. Tufiq Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta,
2004) h. 93
18
sangatlah perlu untuk bisa memahami terkait tipologi pembuktian
pembuktian :10
1. Pembuktian yang harus dibuktikan dengan minimal dua alat
bukti yang sah minimal memenuhi alat bukti yang bersifat
materil dan formiil.
2. Pembuktian yang didasarkan atas tidak ada dukungan keyakinan
hakim.
Lebih lanjut Yahya Harahap mengatakan kebenaran yang
digali oleh hakim hanya kebenaran formil, walaupun bukti yang
diajukan dalam persidangan hakim tidak memerlukan keyakinan
hakim.
Dapat dipahami bahwa konsep pembuktian pada wilayah
hukum perdata di Indonesia memang murni menggunakan dua alat
bukti yakni menggunakan bukti formil saja yang artinya
menggunakan bukti yang benar-benar secara fisik sehingga
kebenaran bukti itu bersifat haqiqi.
c. Alat Bukti
Dalam Hezien Inlandsch Reglement (H.I.R) Pasal 183
mengatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Pasal tersebut terang menyebutkan perihal Konsep
pembuktian di Indonesia begitupun Komisi Pengawas Persaingan
Usaha juga menganut konsep pembuktian tersebut namun
dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa pembuktian di Indonesia dalam
10
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika, 2016). h. 498
19
konsep Acara Perdata menggunakan pasal 184 juga yaitu
keyakinan hakim yang artinya menggunakan konsep (Negatief
Wettelijk Stelsel. Selanjutnya alat bukti yang digunakan
pembuktian sebagai berikut :
Mengenai alat bukti Komisi Pengawas Persaingan Usaha
juga menggunakan konsep alat bukti yang ada pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek Voor Indonesia)
menurut Pasal 1866 mengatakan :
Alat pembuktian meliputi :
1. Bukti tertulis
2. Bukti Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Semuanya tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang
tercantum dalam bab-bab berikut. Menngenai alat bukti juga diatur
pada Hezien Inlandsch Reglement (H.I.R.) Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
Dan persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat dan atau dokumen
4. Petunjuk
5. Keterangan Pelaku usaha.
Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh
KPPU dalam Perkom (Peraturan Komisi) Nomor 4 Tahun
2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk
20
penanganan perkara kartel antara lain:
(1) Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota
produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
(2) Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang
dikeluarkan oleh pelaku usaha secara individu selama
beberapa periode terakhir (bias tahunan atau per-
semester).
(3) Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah
penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama
beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan).
(4) Data kapasitas produksi.
(5) Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan
perusahaan yang saling berkoordinasi.
(6) Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan
keuntungan yang berlebih/excessive profit.
(7) Hasil analisis data concious parallelism terhadap
koordinasi harga, kuota produksi atau pembagian
wilayah pemasaran.
(8) Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-
masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa
periode terakhir.
(9) Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga
terlibat beserta perubahannya.
(10) Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya
komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi
antar para peserta kartel.
(11) Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas
terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan
diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.
(12) Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan
perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya
21
kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan
kesepakatan dalam kartel.
4. Dasar Hukum Pembuktian Tidak Langsung
Pembuktian dalam konsep hukum di Indonesia menggunakan
konsep pembuktian langsung yaitu pembuktian yang berdasarkan bukti-
bukti fisik yang berdasarkan alat bukti. Konsep pembuktian pada
hukum Persaingan usaha menggunakan dua konsep pembuktian yakni
Pembuktian Langsung dan Pembuktian tidak langsung.11
Pembuktian tidak langsung seringkali digunakan KPPU Untuk
memutuskan perkara persaingan usaha. Secara praktik pembuktian
tidak langsung sering kali digunakan oleh-oleh Negara yang menganut
konsep hukum Anglo Saxson. Misalkan Negara Australia, dalam hal
membuktikan adanya kesepakatan (meeting of the minds) yang
diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar
hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa
dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan
bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga
yang serupa (dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya. Namun
bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala
peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar
yang bersaing secara ketat (highly competitive).12
Pembuktian tidak langsung sendiri dalam konsep hukum di
Indonesia seharusnya tidak mengenal atas doktrin yang selama ini
dianut dan dipakai yakni dalam hukum acara HIR (Herzein Inlandsch
Reglement), RBG (Rechtregment voor de Buitengewesten) ataupun
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun pada banyak
11
A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9. 12
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), h. 43.
22
kasus landasanya didasarkan pada bukti ekonomi dan bukti komunikasi.
Sukarmi dalam bukunya mengatakan bukti komunikasi lebih penting
dari pada bukti ekonomi. Bukti komunikasi yaitu bukti dimana pelaku
kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan
substansi komunikasi tersebut.13
5. Legitimasi Pembuktian Tidak Langsung Dalam Kasus Persaingan
Usaha
Konsep pembuktian menurut hukum di Indonesia memiliki
tipologi yang berbeda-beda. dalam hukum perdata diisisi lain yang
karakter hukumya dipengaruhi oleh hukum eropa continental yang
mana sangat dipengaruhi oleh doktrin Undang-Undang, bahwa
kebenaran yang harus diterapkan adalah kebenaran Undang-Undang.
Selain itu konsep hukum perdata seorang hakim yang memutus perkara
bersifat pasif dan yang dicari adalah kebenaran formil. Dalam hukum
persaingan usaha yang kalsifikasinya mengikuti hukum acara perdata
seharusnya memiliki satu karakter pembuktianya berdasarkan konsep
Hukum Acara di Indonesia pula.
Perdebatan penggunaan pembuktian tidak langsung selalu
terjadi dalam kasus perjanjian kartel umumnya pada kasus persaingan
usaha, banyak dari kalangan akademisi dan praktisi memperdebatkan
terkait legalitas pembuktian tidak langsung ini.14
Para praktisi hukum
terkadang tidak konsisten dalam menerapkan konsep pembuktian dalam
kasus khususnya persaingan usaha. Terkadang praktisi atau institusi
Negara menggunakan tafsir petunjuk dalam pasal 42 Undang-Undang
Nomor Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai pintu terjadinya praktik
pembuktian tidak langsung.
13
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan
Usaha, Edisi 6, 2011) h. 141 14
Susanti Adi Nugroho,HukumPersaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan
Praktikserta penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 606.
23
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sendiri
menggunakan Pasal 72 ayat (3) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010
Jo. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.15
Padahal kalau
para praktisi konsisten dalam menganut konsep pembuktian seharusnya
menggunakan konsep pembuktian yang berdasarkan kebenaran formil
(kebenaran yang didasarkan alat-alat bukti yang diajukan dalam proses
peradilan).
B. Kerangka Teori
1.Teori Keadilan Hukum
Dalam jerih payah untuk mewujudkan keadilan dalam hukum
hampir tidak pernah terlaksanakan mungkin yang kita pandang dalam
negara yang menganut hukum positif keadilan adalah terwujudnya
hukum yang berdasarkan hukum yang berlaku dan tertulis. Upaya ini
seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikan nya.16
Dalam dinamika hukum tentunya selalu berkembang yang
kemudian hukum menjadi carut-marut dan tidak terukur lagi untuk
membicarakan keadilan didalamnya. Jika kita akan menghendaki
keadilan dalam hukum maka yang mana akan terjadi keseimbangan
antara hak dan kewajiban serta kesempurnaan Negara dalam
menjalankan keadilan maka hans kelsen dalam bukunya tentang konsep
keadilan menurut teori hukum murni yaitu hukum harus dibebaskan
dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis
bahkan nilai-nilai etis.
15
Susanti Adi Nugroho,HukumPersaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan
Praktikserta penerapan Hukumnya..................................................., h. 606. 16
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung : Nuansa dan
Nusa media, 2004), h.,239.
24
2.Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan
kepastian hukum.17 Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih
menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis
mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan
bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang
artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang
dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan
merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang
paling substantif adalah keadilan.18
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu
Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang ditemukan tersebut
yakni:
Skripsi : Muhzen Muzadi, Hukum Bisnis, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallah Jakarta.
Pembahasan skripsi : Kekuatan bukti tidak langsung (Indirect Evidence)
17
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta : 2008), h.,158.
18 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (
yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), h.59.
25
pada kasus kartel tentang pengaturan produk bibit ayam broiler (Studi
kasus putusan Mahkamah Agung NOMOR444K/PDT.SUS-
KPPU/2018).Perbedan dalam penulisan skripsi diatas terletak pada objek
penelitianya terkait kasus pengaturan dalam kartel produk bibit ayam
broiler.Persamaan : Penggunaan teori dan pembahasan perihal pembuktian
tidak langsung dalam kasus persaingan usaha.
Skripsi : Darwin Yohanes, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Lampung.Pembahasan :Penggunaan Bukti Tidak Langsung
(Indirect Evidence) Dalam Penanganan Pelanggaran Hukum Persaingan
Usaha.Perbedaan : Skripsi ini membahas secara teoritik mekanisme
penggunaan bukti tidak langung atau Indirect Evidence untuk
membenarkan dalam hukum persaingan usaha tanpa ada study kasus di
dalamnya.Persamaan : Membahas legalitas dan kekuatan bukti tidak
langsung dalam penerapan hukum persaingan usaha.
Skripsi : Indriani, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallah Jakarta.
Pembahasan :Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) (Analisis
Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016)Perbedaan :Letak perbedaan penelitian
tersebutyakni berada pada membenarkan Penggunaan alat bukti tidak
langsung oleh Mahkamah Agung. Persamaan :Membahas legalitas dan
kekuatan bukti tidak langsung dalam penerapan hukum persaingan
usaha.Jurnal :Muhamad Dandy Satria Tanato Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Kampus UI Depok 16424, yang berjudul : Tinjauan Yuridis
Praktik Anti Prsaingan Dalam Kasus Importasi Bawang Putih (Perkara
Nomor 05/KPPU-I/2013). Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda,
penelitian yang diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi
yang lebih fokus kepada analisis yuridis terhadap putusan MA No 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017 tentang importasi bawang putih yang membatalkan
Putusan peradilan Negeri Jakarta Utara.
26
Skripsi : Maulana Ichsan Setiadi, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang diterbitkan pada tahun
2014 dengan judul Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor 16/KPPU-
L/2009 tentang Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan (Cleaning
Service) di Bandara Soekarno Hatta.Perbedaan : dalam penelitian skripsi
di atas yakni berdasarkan data-data yang didapatkan di Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dan menelaah mekanisme KPPU memutuskan
sengketa persaingan usaha, sedangkan penelitian ini objeknya yakni
putusan Mahkamah Agung dan ditinjau dari segi pembuktian tidak
langsung dalam doktrin hukum di Indonesia. Persamaan : Dalam penulisan
kesamaan berada pada study kasus yaitu kasus importasi bawang putih.
Skripsi : Ali Alatas, seorang mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
pada tahun 2015 dengan judul Pembuktian Perjanjian Kartel Semen
Menurut Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Studi Kasus Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/ KPPU-I/2010. Skripsi tersebut
menganalisis putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010 yang tidak dianggap
terbukti secara sah telah melakukan adanya pelanggaran sebagaimana
yang diindikasikan adanya ciri persaingan usaha tidak sehat berupa kartel
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perbedaan skripsi tersebut
dengan skripsi peneliti adalah objek kasus atau penelitianya sedangkan
persamaanya bahwa dalam skripsi ini menganalisis mengenai kekuatan
hukum bukti tidak langsung (circumstantial evidence).
27
BAB III
PEMBUKTIAN TIDAK LANGSUNG TENTANG KASUS PERJANJIAN
KARTEL IMPOR BAWANG PUTIH PUTIH.
A. Kronologi Kasus Importasi Bawang Putih dalam Putusan.
1. Kronologi Kasus Importasi Bawang Putih
Para pelaku usaha pada perusahaan yang bergerak dibidang
importasi bawang putih dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) yang mana ketika proses majelis tidak terbukti secara
formil telah melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pembuktian yang ada pada putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Memang dalam fakta risalah persidangan di
Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah terbukti terjadi lonjakan
harga yang signifikan di daerah Provinsi Jawa Timur berdasarkan
survey Badan Statistik, dari bulan Oktober 2012 - Mei 2013.
Perihal bukti komunikasi ada beberapa perusahaan yang
memiliki kedekatan emosional atau diduga memiliki afiliasi
kelompok dan ada saat bersamaan mengurus Surat Persetujuan
Impor (SPI) di Kementrian Perdagangan Republik Indonesia
sehingga terjadi suatu koordinasi antar kelompok pelaku usaha.
Berikut kelompok yang melakukan koordinasi yaitu : CV Bintang,
CV Karya Pratama, CV Mahkota Baru, CV Mekar Jaya, PT Dakai
Impex, PT Dwi Tunggal Buana, PT Global Sarana Perkasa, PT Lika
Dayatama, PT Mulya Agung Dirgantara, PT Sumber Alam Jaya
Perkasa, PT Sumber Roso Agromakmur, PT Tritunggal Sukses dan
PT Tunas Sumber Rezeki menguasai pasokan bawang putih dalam
negeri untuk bulan November 2012 – Februari 2012 sebesar 56,68%
(lima puluh enam koma enam puluh delapan persen) atau sebesar
23.518.018 kg.
28
Kemudian CV Agro Nusa Permai, CV Kuda Mas, CV Mulia
Agro Lestari menguasai pasokan bawang putih dalam negeri untuk
bulan November 2012 – Februari 2012 sebesar sebesar 14,03%
(empat belas koma nol tiga persen) atau 5.515.000 kg.
Terakhir PT Lintas Buana Unggul, PT Prima Nusa Lentera
Agung dan PT Tunas Utama Sari Perkasa menguasai pasokan
bawang putih dalam Negeri untuk bulan November 2012 – Februari
2012 sebesar sebesar 10,67% (sepuluh koma enam puluh tujuh
persen) atau sebesar 3.217.000 kg.
Setelah persidangan di majelis KPPU dan para pelaku usaha
importasi bawang putih diputus bersalah oleh Komisi persaingan
Usaha kemudian melakukan upaya hukum banding ke pengadilan
Negeri Jakarta Utara, yang dalam putusanya pengadilan Negeri
Jakarta Utara pada Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN
Jkt.Utr., tanggal 12 November 2015 memberikan putusan menerima
eksepsi Termohon (Perusahan Importasi Bawang Putih) Keberatan
yang sebagaian eksepsi (Jawaban) diterima oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara.
2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam putusan Nomor :
2/Pdt.sus-KPPU/2015/PN.Jkt.Utara menyatakan dalam putusanya:
a. Menerima dan mengabulkan keberatan dari Pemohon Keberatan
untuk seluruhnya.
b. Membatalkan putusan Termohon Keberatan
c. Menyatakan Pemohon Keberatan tidak melanggar Pasal 19 huruf
(c) Undang Undang Persaingan Usaha
d. Menyatakan Pemohon Keberatan tidak melanggar Pasal 24
Undang-Undang Persaingan Usaha
e. Memerintahkan Turut Termohon Keberatan I sampai dengan
Turut Termohon Keberatan XXI untuk mematuhi putusan ini
29
f. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar seluruh biaya
perkara.
B. Putusan Mahkamah Agung dan Pertimbangan Hukum Hakim.
1. Posisi Perkara
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor : 1495
K/Pdt.sus-KPPU/2017 pihak-pihak yang terbukti melanggar Pasal
11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat antara lain :
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU).
Melawan : Termohon I, CV Bintang, Termohon II, CV
Karya Pratama, Termohon III, CV Mahkota Baru, Termohon IV,
CV Mekar Jaya, Termohon V, PT Dakai Impex, Termohon VI,
PT Dwi Tunggal Buana, Termohon VII, PT Global Sarana
Perkasa, Termohon VIII, PT Lika Dayatama, Termohon IX, PT
Mulya Agung Dirgantara, Termohon X, PT Sumber Alam Jaya
Perkasa, Terlmohon XI, PT Sumber Roso Agromakmur,
Termohon XII, PT Tritunggal Sukses, Termohon XIII, PT Tunas
Sumber Rezeki, Termohon XIV, CV Agro Nusa Permai,
Termohon XV, CV Kuda Mas, Termohon XVI, CV Mulia Agro
Lestari, Termohon XVII, PT Lintas Buana Unggul, Termohon
XVIII, PT Prima Nusa Lentera Agung, Terlapor XIX, PT Tunas
Utama Sari Perkasa.
2. Pertimbangan Hakim Atas PutusanMA NOMOR 1495
K/PDT.SUS-KPPU/2017 Tentang Kasus Perjanjian Kartel Impor
Bawang Putih.
1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Dalam kasus importasi bawang putih pada tahun 2013 ini,
KPPU mengajukan permohonan kasasi yang kemudian hakim
Mahkamah Agung memiliki pertimbangan sebagai berikut :
30
Menimbang, bahwa berdasarkan memori kasasi yang
diterima tanggal 7 Desember 2015 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Putusan ini, Pemohon Kasasi meminta agar :
1. Menyatakan permohonan kasasi dan memori kasasi dari
Pemohon Kasasi sah dan dapat diterima
2. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi untuk
seluruhnya
3. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt.Utr. tanggal 12 November 2015;
dan selanjutnya mengadili sendiri perkara a quo dan
menjatuhkan amar sebagai berikut :
- Menyatakan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt.Utr. tanggal 12 November 2015
batal demi hukum.
- Menguatkan Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-I/2013 tanggal
20 Maret 2014
- Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar seluruh
biaya yang timbul dalam perkara ini.
Bahwa terhadap memori kasasi, Termohon Kasasi I dan II
telah mengajukan kontra memori kasasi tanggal 3 Februari 2016,
Termohon Kasasi III, IV, V, VI, VII, VIII, XI, dan XIII
mengajukan kontra memori kasasi tanggal 15 Januari 2016,
Termohon Kasasi IX mengajukan kontra memori kasasi tanggal 26
Januari 2016, Termohon Kasasi X mengajukan kontra memori
kasasi tanggal 22 Desember 2015, Termohon Kasasi XII
mengajukan kontra memori kasasi tanggal 29 Januari 2016,
Termohon Kasasi XIV dan XVI mengajukan kontra memori kasasi
tanggal 21 Maret 2016, Termohon Kasasi XV mengajukan kontra
memori kasasi tanggal 18 Januari 2016, Termohon Kasasi XVII
dan XVIII mengajukan kontra memori kasasi tanggal 27 Januari
31
2016, yang pada pokoknya menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena
setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 7 Desember
2015 dan kontra memori kasasi tanggal 22 Desember 2015, tanggal
15 Januari 2016, tanggal 18 Januari 2016, tanggal 26 Januari 2016,
tanggal 27 Januari 2016, tanggal 29 Januari 2016, tanggal 3
Februari 2016, dan tanggal 21 Maret 2016, dihubungkan dengan
pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta
Utara telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai
berikut :
Bahwa di dalam persekongkolan (conspiracy), bukti tidak
langsung (indirect evidence) menjadi sangat penting, karena Pelaku
Usaha dengan Pelaku Usaha lain dan pihak lain akan melakukan
perjanjian diam/silent agreement, yang diikuti oleh concerted
action atau perilaku yang saling menyesuaikan, misalnya
penggunaan dan pemanfaatan orang-orang tertentu yang sama.
Bahwa Judex Facti telah keliru menafsirkan “pihak lain”
dengan berpendapat bahwa “pihak lain” berdasarkan Pasal 24
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat haruslah Pelaku
Usaha, bukan pemerintah dan seterusnya. Karena concerted action
atau perilaku yang saling menyesuaikan, bisa dilakukan dengan
banyak pihak termasuk dengan institusi pemerintah berupa
tindakan kolusi, sehingga pemerintah yang dalam hal ini adalah
Termohon Kasasi XVII dan Termohon Kasasi XVIII termasuk ke
dalam pengertian “pihak lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, walaupun in
32
casu Pemohon Kasasi tidak menjatuhkan sanksi kepada Termohon
Kasasi XVII dan XVIII karena mereka adalah “pihak lain”, bukan
Pelaku Usaha (vide Pasal 47 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat).
Bahwa akibat dari tindakan Pelaku Usaha a quo
mengganggu tata niaga bawang putih nasional :
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) tersebut dan
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt.Utr., tanggal 12 November 2015
yang membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 05/KPPUI/2013 tanggal 20 Maret 2014 serta Mahkamah
Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar
sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini.
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi dikabulkan, maka Para Termohon Kasasi harus
dihukum untuk membayar biaya perkara, Memperhatikan, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang - Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
serta Peraturan Perundang-Undangan lain yang bersangkutan.
C. Amar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan analisa
putusan sebagai berikut :
MENGADILI:
33
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt.Utr., tanggal 12 November 2015 :
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi :
- Menerima eksepsi Termohon Keberatan/Komisi Persaingan Usaha
(KPPU) untuk sebagian :
- Menyatakan permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Keberatan XI/Terlapor IX/PT Mulya Agung Dirgantara dan
Pemohon Keberatan XII/Terlapor I/CV Bintang tidak dapat diterima
:
- Menolak eksepsi Termohon Keberatan/Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) untuk selain dan selebihnya.
Dalam Pokok Perkara:
1. Menolak keberatan Para Pemohon Keberatan/Para Terlapor
2. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX,
Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV,
Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, dan
Terlapor XIX tidak terbukti melanggar Pasal 11 Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha.
3. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX,
Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV,
Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, dan
Terlapor XIX terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal
19 huruf c Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999.
4. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX,
34
Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV,
Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII,
Terlapor XIX, Terlapor XXI, dan Terlapor XXII terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 24 Undang Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
5. Menyatakan bahwa Terlapor XX tidak terbukti melanggar Pasal 24
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6. Menghukum Terlapor I, membayar denda sebesar Rp
921.815.235,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus
lima belas ribu dua ratus tiga puluh lima rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan
Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
7. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp 94.020.300,00
(sembilan puluh empat juta dua puluh ribu tiga ratus rupiah) yang
harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha).
8. Menghukum Terlapor III, membayar denda sebesar Rp
838.012.500,00 (delapan ratus tiga puluh delapan juta dua belas ribu
lima ratus rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan
Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di
Bidang Persaingan Usaha).
35
9. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp
838.013.400,00 (delapan ratus tiga puluh delapan juta tiga belas ribu
empat ratus rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
10. Menghukum Terlapor V, membayar denda sebesar Rp
921.815.730,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus lima
belas ribu tujuh ratus tiga puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
11. Menghukum Terlapor VI, membayar denda sebesar Rp
921.813.750,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus tiga
belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha).
12. Menghukum Terlapor VII, membayar denda sebesar Rp
921.813.750,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus tiga
belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
13. Menghukum Terlapor VIII, membayar denda sebesar Rp
704.286.000,00 (tujuh ratus empat juta dua ratus delapan puluh enam
ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
36
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan
Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha).
14. Menghukum Terlapor IX, membayar denda sebesar Rp
518.733.450,00 (lima ratus delapan belas juta tujuh ratus tiga puluh
tiga ribu empat ratus lima puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha).
15. Menghukum Terlapor X, membayar denda sebesar Rp
837.990.000,00 (delapan ratus tiga puluh tujuh ribu sembilan ratus
sembilan puluh ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha).
16. Menghukum Terlapor XI, membayar denda sebesar Rp
842.513.400,00 (delapan ratus empat puluh dua juta lima ratus tiga
belas ribu empat ratus rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara
sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha).
17. Menghukum Terlapor XII, membayar denda sebesar Rp
921.815.730,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus lima
belas ribu tujuh ratus tiga puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
37
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha).
18. Menghukum Terlapor XIII, membayar denda sebesar Rp
838.013.850,00 (delapan ratus tiga puluh delapan juta tiga belas ribu
delapan ratus lima puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara
sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha).
19. Menghukum Terlapor XIV, membayar denda sebesar Rp
919.597.635,00 (sembilan ratus sembilan belas ribu lima ratus
sembilan puluh tujuh ribu enam ratus tiga puluh lima rupiah) yang
harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
Persaingan Usaha) 20. Menghukum Terlapor XV, membayar denda
sebesar Rp 20.015.325,00 (dua puluh juta lima belas ribu tiga ratus
dua puluh lima rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
20. Menghukum Terlapor XVI, membayar denda sebesar Rp
433.267.200,00 (empat ratus tiga puluh tiga juta dua ratus enam puluh
tujuh ribu dua ratus rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha).
38
21. Menghukum Terlapor XVII, membayar denda sebesar Rp
921.815.730,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta delapan ratus lima
belas ribu tujuh ratus tiga puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang
persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha).
22. Menghukum Terlapor XVIII, membayar denda sebesar Rp
11.679.300,00 (sebelas juta enam ratus tujuh puluh sembilan ribu tiga
ratus rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan
Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggarandi
Bidang Persaingan Usaha) 24. Menghukum Terlapor XIX, membayar
denda sebesar Rp 921.815.235,00 (sembilan ratus dua puluh satu juta
delapan ratus lima belas ribu dua ratus tiga puluh lima rupiah) yang
harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi
Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 423755 (pendapatan denda pelanggaran di bidang
persaingan usaha);
- Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara,
yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp 500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
39
BAB IV
IMPLIKASI PERTIMBNGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
TERKAIT PENERAPAN ALAT BUKTI TIDAK LANGSUNG
A. Legitimasi Putusan MA Nomor 1495 (K/Pdt.sus/KPPU/2017)
Perkara praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sering
berlanjut pada upaya keberatan dan kasasi karena banyak pelaku usaha
yang tidak menerima alat bukti tidak langsung (indirect evidence) yang
digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, secara khusus perkara kartel. Penggunaan
alat bukti tidak langsung (indirect evidence) hingga saat ini menjadi
perdebatan dikalangan akademisi, lawyer, praktisi hukum dan penegak
hukum.1
Hal ini terjadi pada beberapa kasus persaingan usaha,hakim pada
Mahkamah Agung membuat terobosan baru dalam memutuskan perkara
kartel oleh KPPU dengan menggunakan alat bukti tidak langsung
(indirect evidence) dengan menguatkan putusan KPPU terkait perkara
kartel. Setelah putusan kasus kartel impor bawang putih dipaparkan di bab
sebelumnya tentu kita bisa memahami bahwa pada praktiknya para hakim
menggunakan suatu asumsi, persoalanya dan legitimisi suatu asumsi
ketika dijadikan satu bukti bisakah menjadi alat bukti yang kuat. Tentunya
tidak, karena pada prinsip acara peradilan bukti harusnya menggunakan
alat bukti yang sah yang sudah diatur dalam pasal 42 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Dalam upaya hakim memutus perkara persaingan usaha seharusnya
bisa dihindari dalam penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect
1 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
serta penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 606.
40
evidence), sebab pada praktik penegakan hukum dalam kasus persaingan
usaha sangat membutuhkan penyidikan dan penyelidikan yang serius
untuk membuktikan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Menjadi kontroversial jika KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
selalu menggunakan alat bukti tidak langsung ditambah lagi dengan
penguatan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ini akan
menjadi dasar pengakuan (Legitimasi) bagi KPPU dalam menganalisa
hukum secara sembarangan, mengingat dalam hukum persainga usaha alat
bukti tidak langsung belum diakui secara tertulis.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa para pelaku usaha dalam
melaksanakan kegiatan usaha selalu berkembang perihal pelanggaran,
maka dari itu seharusnya penegakan hukumnya yang harus dibenahi dan
diperkuat struktur KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) bukan
menggunakan ala bukti tidak langsung secara sembarangan dan
menggunakan analisa pasal dengan cara tidak mendalam dan tanpa dasar
yang jelas.
B. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamamah Agung dalam
penerapan alat bukti tidak langsung.
Walaupun masih banyak pro kontra terkait pasal 42 perihal alat
bukti petunjuk.Alat bukti Petunjuk adalah alat bukti yang berasal dari
pengetahuan Majelis Komisi yang diketahui dan diyakini kebenarannya.2
Sedangkan banyak praktisi hukum yang cenderung menafsirkan bukti
tidak langsung yakni bukti ekonomi dan bukti komunikasi masuk pada
wilayah bukti petunjuk. Mungkin pada satu kasus tertentu bisa diterapkan
namun pada kasus impor bawang putih ini, tidak satupun ditemukan
adanya bukti komunikasi maupun ekonomi. Pada proses peradilan yang
telah dilaksanakan seperti pemerikasaan perkara, pembuktian dan yang
paling penting dalam perkara di pengadilan adalah putusan yang mana
2 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 161.
41
sebagai tahap terakhir bagi para pihak untuk memastikan keadilan dan
kepastian hukum. Dimana dalam putusan hakim memberikan suatu
pertimbangan hukum yang nantinya menjadi dasar hakim menjatuhkan
suatu putusan. Agar putusan pengadilan mencapai tujuan hukum yang
kongkrit yakni keadilan dan kepastian hukum tentunya hakim sebagai
wakil Negara atau aparat Negra sekaligus wakil Tuhan dibumi, hakim
perlu sangat mengetahui duduk perkara dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau tertulis maupun yang tak tertulis seperti
hukum adat dan lain sebagainya.
Pengertian putusan hakim sendiri yakni, upaya hakim untuk
menyelesaikan suatu perkara atau untuk mengakhiri atau menyelesaikan
sengketa antar pihak yang dalam unsurnya terdapat dua hal yaitu apa
yang diucapkan dan apa yang tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam
persidangan.3
Dalam putusan yang paling penting yaitu suatu pertimbangan
hakim, karena sudah dikemukakan di atas bahwa putusan mengandung
keadilan dan kepastian hukum para pihak oleh karenanya suatu putusan
harus baik, teliti dan cermat.4 Pada kasus importasi bawang putih ini
hakim agung telah memberikan pertimbangan putusan sebagai berikut :
a) Bahwa setelah Mahkamah Agung meneliti secara seksama memori
kasasi tanggal 7 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal
22 Desember 2015, tanggal 15 Januari 2016, tanggal 18 Januari
2016, tanggal 26 Januari 2016, tanggal 27 Januari 2016, tanggal 29
Januari 2016, tanggal 3 Februari 2016, dan tanggal 21 Maret 2016,
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini
Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah salah menerapkan hukum.
3Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty : 1982),
hal. 167. 4Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004), h. 140.
42
b) Bahwa di dalam persekongkolan (conspiracy), bukti tidak langsung
(indirect evidence) menjadi sangat penting, karena Pelaku Usaha
dengan Pelaku Usaha lain dan pihak lain akan melakukan
perjanjian diam/silent agreement, yang diikuti oleh concerted
action atau perilaku yang saling menyesuaikan, misalnya
penggunaan dan pemanfaatan orang-orang tertentu yang sama.
c) Bahwa akibat dari tindakan Pelaku Usahaa quo mengganggu tata-
niaga bawang putih nasional.
Berdasarkan pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
memberikan putusan sebagai berikut :
MENGADILI:
1 . Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) tersebut.
2 . Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
2/Pdt.Sus-KPPU/2015/PN Jkt.Utr., tanggal 12 November 2015.
Kalau kita telaah dalam putusan ini hakim menggunakan alat
bukti tidak langsung dalam kasus kartel importasi bawang putih ini.
Secara umum tipologi penalaran hukum bermacam-macam yaitu a)
Aliran Hukum Alam b) Aliran Hukum Positif c) Aliran Hukum
Utilitarianisme d) Aliran hukum mazhab sejarah e) Aliran hukum
sosiological jurisprudence f) Aliran realisme hukum.5
Indonesia sendiri mengadopsi aliran positivisme hukum yang
ciri hukumnya yaitu hukum positif artinya hukum yang diberlakukan
oleh Negara. Lebih dari pada itu hukum positif menghendaki
kebenaran berdasarkan Undang-Undang. Tokoh aliran positivisme
hukum Jhon Austin secara garis besar hukum dibagi menjadi dua
macam yaitu hukum tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum tuhan yakni hukum yang dibuat oleh tuhan untuk manusia
5 Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika : Cetakan ke 6 2014), h. 47
43
ciptaanya, kalau hukum yang dibuat manusia dibagi menjadi dua :
hukum positif dan hukum moralitas positif. Hukum positif merupakan
hukum yang dibuat oleh petinggi-petinggi dalam Negara dan
dilaksanakan oleh petinggi-petinggi pula.6
Bahwa dalam kasus ini, Hakim Mahkamah Agung
menggunakan pembuktian tidak langsung dalam pertimbanganya yang
mana seharusnya dalam doktrin hukum positif tidak dikenal adanya
pembuktian tidak langsung (Indirect evidence). Memang sulit dalam
kasus kartel untuk membuktikan misalnya telah dilakukanya
pelanggaran pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Sisi lain menurut Mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho
mengatakan bahwa pengadilan negeri sebagai peradilan umum dinilai
kurang tepat menjadi yurisdiksi yang ditunjuk memeriksa keberatan
yang diajukan pelaku usaha sebagai pihak atas keberatan putusan
KPPU karena lebih pada persoalan kompetensi. Maksud kompetensi
di sini lebih kepada kurangnya pengertian dan kesulitan dalam
memeriksa dan memutus sengketa persaingan usaha yang kompleks
sehingga acap kali putusan yang dijatuhkan menjadi bias.7
Kemudian dampak dari putusan ini akan menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum dan terkesan non due process of law, bagi
pihak yang mencari keadilan akan menjadi bias atas adanya putusan
hakim yang tidak didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku.
C. Dampak Putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 K/Pdt.sus-
KPPU/2017
1. Praktik Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Pada realitanya kalau kita melihat peristiwa hukum dalam kasus
importasi bawang putih selalu ada yang kontroversi dalam produk
hukumnya, mulai dari peraturan-peraturan mengenai persaingan usaha
6Antonius Cahyadi dkk, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta, Prenada : 2007) hal 64.
7https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59bcd106a1fdd/mau-dibawa-ke-mana-
upaya-keberatan-atas-putusan-kppu/ .
44
maupun produk hukum yang dihasilkan melalui putusan komisi
maupun putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat akhir.
Menjadi persoalan kemudian ketika kasus persaingan usaha ini
menjadi tidak statis dalam praktik penerapan hukumnya dikarenakan
banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari perbedaan latar
belakang pendidikan hakim yang memutuskan, kasus yang bermacam-
macam modus operandinya yang dilakukan oleh para pelaku usaha dan
beragai macam lainya.
Tentunya ini sangat mempengaruhi pada putusan yang
dihasilkan oleh institusi pengadilan sendiri. Dapat kita lihat dalam
website resmi Mahkamah Agung yang mana banyak sekali putusan
terkait persaingan usaha, dimana hakim berbeda-beda dalam
memutuskan suatu perkara peraingan usaha. Berikut perbedaan para
hakim terkait kasus persaingan usaha dengan hubunganya dengan
pembuktian tidak langsung atau indirect evidence.
2. Analisis pasal yang dilanggar menurut Hakim Mahkamah Agung
Penelitian ini yang berjudul pembuktian tidak langsung
(Indirecht Evidence) dalam kasus perjanjian kartel importasi bawang
putih analisi putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 (K/Pdt.sus-
KPPU/2017) yang mana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
pada 14 Februari 2014 telah memutus 19 perusahan yang bergerak
dibidang impor bawang putih, dua institusi Negara dan satu Menteri
Perdagangan Indonesia telah melanggar pasal 11, 19, 24 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal 11 berbunyi : ”Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
45
a. Unsur kartel
Bahwa dalam pasal 11 pihak perusahaan tidak melalakukan
kartel, mengingat kartel menurut Dita Wiradiputra selaku memberikan
keterangan ahli dalam persidangan Majelis (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) KPPU mengatakan kartel yaitu apabila pelaku usaha
bersama-sama untuk mempengaruhi harga pasar. Kategori kartel
apabila 90 % menurutnya pelaku usaha telah menguasai pasar,
sedangkan yang memiliki ijin untuk melakukan importasi bawang putih
32 (Tiga puluh) perusahaan.
Dapat kita lihat bersama bahwa, sesungguhnya KPPU seharusny
tidak bisa mengatakan bahwa perusahaan importasi bawang putih
melakukan kartel karena dalam proses pemeriksaan atau pembuktian di
majelis dibantah dengan adanya ijin beberapa perusahaan.
b. Unsur Perjanjian
Perihal perjanjian pihak majelis KPPU tidak bisa membuktikan
adanya suatu perjanjian yang dilakukan antar pelaku usaha yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga pasar, produksi dan lain
sebagaiya, bahwa KPPU hanya membuktikan secara asusmi tanpa di
dasari pada fakta dan dokumen yang jelas dan rigid.
Bahwa dalam paham hukum yang dianut di Indonesia
merupakan hukum positif yang mana dalam proses hukum harus
berdasarkan Undang-Undang yakni terkait pembuktian harus
mengunakan alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (HIR/RBG) atau Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada
pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatakan :
Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi
46
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Mengingat bahwa pada pasal 42 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat mengatakan :
Alat-alat bukti pemeriksaan komisi berupa :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat dan atau dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan pelaku usaha.
Setelah peneliti mengamati bahwa tidaklah tepat Hakim
Mahkamah Agung menggunakan Pembuktian tidak langsung (Indirecht
Evidence). Mengingat bahwa masih banyak pro kontra dalam
penggunaan pembuktian tidak langsung dan yang lebih tepat Indonesia
menggunakan pembuktian langsung.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 K/Pdt.sus-KPPU/2017
mengandung kelalaian yang menimbulkan kekacauan hukum.
Penjelasan di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa Hakim
Mahkamah Agung menggunakan penalaran hukum yang dianut oleh
Negara Cammon law dalam memutus sengketa persaingan usaha,
misalnya Austria, Amerika dan lain sebagainya. Hal ini dapat
menyebabkan suatu kekacauan paham hukum di Indonesia yang
menyebabkan inkonsistensi terhadap putusan hakim Mahkamah Agung
sendiri perihal kasus persaingan usaha dan menimbulkan tidak adanya
47
keadilan dan kepastian hukum terhadap pihak yang berperkara di
Mahkamah Agung.
Dalam kasus ini sudah dipaparkan kronologi kasus, teori hukum
di Indonesia dan penerapnya. Persoalanya apakah Hakim Mahkamah
Agung memutus sebuah perkara sudah berdasarkan asas keadilan dan
kepastian hukum ?. mari kita memberikan suatu gambaran teori tentang
keadilan dan kepastian hukum agar memberikan pencerahan dalam
perkembangan hukum di Indonesia dan penerapanya.
a. Teori Keadilan
Berbicara keadilan menjadi peroalan besar ketika dihadapkan
pada realita masyarakat yang begitu dinamis. Dari zaman Adam dan
hawa diciptakan sudah terjadi satu problematika ketika harus
menikahkan anaknya habil dan qobil, tak lepas zaman itu saja sampai
sekarang pun persoalan keadilan dalam praktik susah untuk dirumuskan
walaupun banyak kalangan akademisi, praktisi berusaha untuk
merumuskan keadilan yang bersifat ideal.
Pada akhirnya manusia merumuskan suatu keadilan diserahkan
pada wilayah pemegang otoritas yang memang memiliki kekuasaan
untuk menafsirkan keadilan. Misalkan kita mengambil contoh
pemegang otoritas pada agama islam. Pada zaman awal bangsa arab
memeluk Islam pemegang otoritas kala itu yaitu Nabi Muhammad
SAW artinya semua persoalan keadilan tergantung pada pandangan dan
pendapat Nabi Muhammad SAW atau kita kenal dengan Hadist. Setelah
Nabi Muhammad Tiada otoritas pemegang kekuasaan atau yang berhak
menafsirkan keadilan semakin lama terlembagakan penjadi suatu
pemerintahan Khulafaur Rosyidin dan seterusnya.8
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dalam kajian buku Atas Nama Tuhan Dari Fiqh Otoriter
menjadi Fiqih Otoritatif karya Abu Fadl. (2016 : Pamulang School).
48
Modern ini, manusia menyadari bahwa tidak ada yang sanggup
seperti Nabi Muhammad sebagai pemegang otoritas tunggal dan
absolut. Akhirnya akademisi, praktisi membuat suatu teori hukum
modern yang mana otoritas diberikan ke Lembaga Negara yang
tentunya memiliki suatu konsep Negara berdasarkan Hukum (Recht
Staate). Hari ini di Indonesia berbicara soal keadilan, Negara
menyerahkan otoritas penafsir keadilan berada pada institusi Peradilan
dan keadilan yang benar dan absolut yakni yang dihasilkan oleh
lembaga peradilan melalui perangkat-perangkatnya yakni Hakim.
1. Peradilan sebagai pelaksana keadilan hukum
Peradilan merupakan institusi Negara tempat manusia dalam
lingkup Negara untuk mencari keadilan hukum. Maka peradilan
menjadi harapan bagi warga Negara untuk memastikan nasib pada
setiap persoalan-persoalan hukum yang terjadi pada setiap interaksi
yang ada pada dinamika sosial. Dalam kasus importasi ini betapapun
pelaku usaha menggantungkan nasibnya untuk mendapatkan keadilan
hukum pada upaya hukum tingkat akhir agar ada kepastian penerapan
yang dilaksanakan oleh KPPU (Komisi Pengawas Ppersaingan Usaha)
Prinsip penerapan penegakan hukum dan kemandirian peradilan
menjadi keharusan dalam melaksanakan proses peradilan, terlebih
Mahkamah Agung posisinya pada kasus ini sebagai Judex Juris
(Memeriksa hakim judex factie) yang seharusnya memeriksa apakah
sudah benar penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim judex pactie
atau pengadilan tinggi. Mengingat tujuan hukum memang untuk
kepentingan publik, mejamin keadilan, tertib sosial, menjaga
orisinalitas hukum itu sendiri dan lain sebagainya.
Dalam kasus importasi bawang putih ini penggunaan bukti tidak
langsung ini terkesan hakim Mahkamah agung tidak perlu menafsirkan
secara berlebihan terkait penggunaan bukti tidak langsung yang pada
49
praktiknya memang sulit untuk dibuktikan serta memang belum ada
hukum yang mengaturnya. Kalaupun ada bukti tidak langsung di atur
dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Hakim Mahkamah
Agung harus bisa setidaknya 3 syarat dalam menggunakan alat bukti
tidak langsung yakni Hakim Agung Pengadilan Federal Australia Nye
Perram memberikan tiga syarat dalam penggunaan pembuktian tidak
langsung yaitu :9
Pertama : Hakim, melalui keterangan saksi atau saksi ahli,
menemukan adanya perilaku seorang pelaku usaha yang tidak
memotong harga produk yang diperdagangkannya untuk meningkatkan
market share atau pangsa pasar sedangkan lawannya menaruh harga di
atas marginal cost.
Kedua : adanya pertemuan yang dilakukan para pelaku usaha
untuk saling bertukar informasi.
Ketiga : Hakim menemukan adanya motif pelaku usaha yang
bersepakat untuk mengatur harga.
Tiga hal tersebut setidaknya Hakim Mahkamah Agung
menemukan salah satunya saja, namun pada hasil putusanya tidak
ditemukan sama sekali terkait adanya saksi yang menujukan adanya
pelaku usaha melakukan market share dan marginal cost, Hakim
Mahkamah Agung juga tidak menemukan dan melihat adanya
pertemuan bahkan pada risalah persidangan tersebut satu sama lain
pelaku usaha tidak saling kenal dan Hakim Agung sendiri tidak
menemukan motif adanya pelaku usaha melakukan kesepakatan untuk
mengatur harga.
9 Indriani, Skripsi berjudul Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Eidence) Dalam
Perkara Kartel Sepeda Motor Matik Yamaha dan Honda (Analisis Putusan Nomor 04/KPPU-
I/2016), (Repository UIN Jakarta : 2018), hal. 42.
50
Bahkan Hakim Agung malah melanggar beberapa pasal dalam
Hukum Acara yaitu asas Testimonium de Auditu yaitu di saat seseorang
memberikan kesaksian yang bukan hasil dari melihat, mendengar,
ataupun menyaksikan sendiri suatu peristiwa yang menjadi masalah
atau berkaitan dengan masalah.
2. Konsep keadilan pada peradilan hukum di Indonesia
Penegakan hukum (Law Enforcement) dan system peradilan
merupakan sendi keadilan yang utama bagi seluruh warga dunia yang
mencari keadilan melalui proses peradilan. Maka teori dan praktik (das
sollen dan das sein) harus berjalan seimbang minimal dalam kasus
persaingan usaha khususnya kasus importasi bawang putih ini antara
konsep hukum di Indonesia, Undang-Undang dan penerapan Undang-
Undang berjalan seirama. Tentunya konsep hukum kita tidak mengenal
adanya alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence) yang kemudian
pada prinsipnya haram atau kontradiksi dengan konsep hukum kita.
Namun Hakim Mahkamah Agung Begitu lemah menggunakan alat
bukti tidak langsung (Indirect Evidence) untuk menentukan nasib
keadilan para pelaku usaha impor bawang putih. Keadilan sendiri
merupakan keniscaayaan yang harus dilaksanakan setiap makhluk tuhan
di bumi yang bertujuan untuk menciptakan tatanan sosial dan
ketertiban. Secara teoritis Jhon Rawls dalam bukunya yang berjudul A
Theory Of Justice (Teori Keadilan) mengatakan “keadilan merupakan
kebajiakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam
sistem pemikiran.10
Berangkat dari keadilan definisi yang diberikan Jhon Rawls
tersebut seharusnya Hakim Mahkamah Agung mengedepankan
keadilan menurut Undang-Undang dan asas hukum dalam konsep
hukum di Indonesia sebagai pondasi, agar dalam setiap putusanya ada
10
Jhon Rawls, A Theory Of Justice (Teori Keadilan), (Yogyakarta, Terjemahan Cetakan
ke II : 2006). h. 3.
51
konsistensi dan penyeragaman hukum (Unifikasi). Memang suatu
keadilan bersifat relatif namun keadilan juga memiliki batasan-batasan
dan standarisasi yang diberikan oleh para ahli maupun Peraturan
Perundang-Undangan Yang berlaku.
Hans Kelsen sebagai tokoh hukum positif memandang hukum
sebagai senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu.11
dapat
dikatakan bahwa hukum positif merupakan hukum yang dalam
kenyataan terjadi dan tidak menghiraukan adanya pengaruh, dan
diidentikan dengan Undang-Undang.
Al-Qur’an juga menyebutkan konsepsi dan perintah keadilan agar
ditegakan dalam kehidupan dunia yang mana keadilan menjadi penting
untuk keberlangsungan hidup manusia dan memberikan tatanan sosial
yang baik, teratur dan ketaqwaan untuk hubungan vertikal maupun
horizontal. Sesuai firman Allah SWT. Yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa.Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(QS. Al-Maidah Ayat 8).
Untuk menjamin suatu keadilan di Indonesia, Negara secara
historis memilih untuk menjadi Negara yang menganut aliran hukum
positif atau Undang-Undanglah sebagai kebenaran untuk mewujudkan
suatu keadilan hukum bagi warganya yang mana Negara menganut
paham hukum dari Negara Belanda sebagai Legacy Penjajahan. Maka
dari itu suatu keadilan dapat tercapai ketika Institusi Negara bisa secara
konsisten melakukan penerapan hukum agar masyarakat yang mencari
keadilan di Institusi Peradilan memiliki kepercayaan dalam upayanya
mencari keadilan.
11
Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2001). h. 62
52
Solusinya dalam kasus ini seharusnya hakim mengikuti rumusan
Undang-Undang yang seharusnya menjadi landasan agar tidak tercipta
suatu trobosan hukum yang dilakukan oleh hakim menjadi
kontroversial, sehingga merugikan pihak-pihak yang mencari keadilan
hukum dalam proses peradilan.
3. Prinsip kepastian hukum di Institusi peradilan Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan sekumpulan aturan yang
bersifat kolektif kolegial dimana pada proses pembuatanya para pihak
yang berwenang berlandaskan prinsip-prinsip dan tujuan hukum sendiri
sebagai suatu keharusan. Pada proses panjang pembuatan hukum
tentunya memakan waktu yang panjang dan tenaga yang tak sedikit
pula untuk menyelesaikan agar menjadi Undang-Undang yang sah
kemudian diterapkan di wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia
(NKRI).
Hans Kelsen berpandangan bahwa hukum merupakan sistem
norma yang menekankan aspek “seharunya” dengan menyertakan
aturan yang harus dilakukan. Tentunya Uundang-Undang dalam
lingkup Negara Indonesia yang proses nya begitu panjang melibatkan
beberapa institusi Negara seperti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan
Presiden.
Hasil panjang yang melibatkan dua institusi Negara tersebut
kemudian menjadi Uundang-Undang isi aturanya bersifat umum,
menjadi pedoman bagi rakyat Indonesia perihal bertingkah laku baik
hubungan antara sesama individu ataupun masyarakat. Isi Undang-
Undang itu juga berdasarkan nilai-nilai resultante masyarakat Indonesia
yakni pancasila, dasar bernegara warga Negara Republik Indonesia
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 serta nilai-nilai yang hidup didalam
masyarakat itu sendiri.
Undang-Undang sebagai hasil dari pemikiran yang panjang,
berdiskusi panjang dan segala dinamika pengesahanya tentunya kita
tidak bisa menganggap sebagai aturan yang buruk atau menggeneralisir
53
bahwa semua aturan yang dibuat oleh legislatif itu buruk. Mungkin ada
beberapa Undang-Undang yang terkesan pesanan dari oknum, atau
kepentingan politis bahkan sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan
masyarakat Indonesia.
Harapan dari terbentuknya suatu norma yang bersifat
deliberative dan disahkan menjadi Undang-Undang, melalui proses
panjang yang pada pelaksanaanya menjadi batasan-batasan atau
membebani masyarakat yang terikat pada keberlakuan teritorialnya /
yurisdiks, Adanya suatu aturan dan pelaksanaan itulah sebagai
implementasi adanya kepastian hukum.12
Utrech mengatakan setidaknya ada dua hal pengertian dari
kepastian hukum yang pertama adanya kepastian atau minimal
masyarakat mengetahui apa yang boleh dilakukan dana apa yang tidak
boleh dilakukan. Kedua mengantisipasi adanya tindakan abuse of power
dalam suatu negara yang dilakukan oleh institusi Negara.
Kepastian hukum merupakan asas yang diadopsi oleh Negara
Republik Indonesia yang bertujuan dan kepastian kepada seluruh
masyarakat yang mencari suatu keadilan di dalam Mahkamah atau
institusi Negara. Dalam konsep penganut hukum positif Negara sebagai
pemegang otoritas memberikan kepastian kepada masyarakat melalui
dibentuknya Undang-Undang yang tertulis. Menurut Austin hukum
positif memiliki Unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.13
Maka dari itu subtansi hukum yang dianut oleh Indonesia
kurang lebih memiliki unsur untuk menjaga kemungkinan adanya abuse
of power oleh pemerintah Indonesia sendiri. Begitupun pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam subtansi Undang-Undangnya juga
memiliki Unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Oleh sebab
itu hakim dalam memutuskan perkara seharusnya mengakan subtansi
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,( Jakarta : Kencana, 2008), h. 58. 13
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Tangsel : Logos Wacana Ilmu, Cet.II,
1999). h. 57.
54
Undang-Undang bukan keluar dari konteks Undang-Undang dan
melegalkan pembuktian tidak langsung sebagai dasar putusanya.
Karena merugikan pihak pencari keadilan yang disebabkan oleh Komisi
Persaingan Usaha dalam memutus sebuah perkara.
Menjadi problematika-kontroversial pada perkembangan hukum
di Indonesia khususnya pada produk hukum yang bersifat “vonis” atau
putusan hakim dalam kasus ini. bahwa secara kasuistik pada bidang
persaingan usaha beberapa putusan Hakim Mahkamah Agung menjadi
suatu yurisprudensi yang rapuh dan tak mendasar kalau dikaji dan
dibahas menggunakan teori pada hukum common Law ataupun Eropa
Continental.
4. Urgensi Mahkamah Agung menguatkan Putusan KPPU
Setelah kita membahas terkait akar konsep alat bukti langsung
dan alat bukti tidak langsung yang bertujuan untuk mengetahui akar
persoalan pada putusan Mahkamah Agung dalam kasus importasi
bawah putih ini tentunya perlu juga kita paparkan urgensi Mahkamah
Agung menguatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 K/Pdt.Sus-
KPPU/2017 :
“Bahwa di dalam persekongkolan (conspiracy), bukti tidak
langsung (indirect evidence) menjadi sangat penting, karena Pelaku
Usaha dengan Pelaku Usaha lain dan pihak lain akan melakukan
perjanjian diam/silent agreement, yang diikuti oleh concerted
actionatau perilaku yang saling menyesuaikan, misalnya penggunaan
dan pemanfaatan orang-orang tertentu yang sama.”
Pertimbangan tersebutlah yang menjadi jantung dari putusan
Mahkamah Agung yang kemudian menjadi kekacauan penerapan
hukum di Indonesia dan mengabaikan Undang-Undang yang tertulis.
Memang dalam kasus persaingan usaha pelaku usaha sulit untuk
ditebak dan dibuktikan ketika melakukan silent comunication disitulah
justru institusi Negara di uji kecanggihan dalam fase pembuktian. Maka
55
dari itu Mahkamah Agung dalam putusanya terkesan putus asa yang
berujung mengambil jalan pintas dengan dasar alat bukti tidak langsung
sebagai dasar putusanya untuk menentukan nasib keadilan seseorang.
Dampak dari putusan yang diambil atas dasar putus asa karena tidak
bisa membuktikan secara kongkrit atau secara formil/fisik menjadi
kontroversial dan menimbulkan persoalan baru dalam dinamika hukum
di Institusi Peradilan.
5. Dampak penegakan hukum atas putusan MA Agung Nomor 1495
K/Pdt.Sus-KPPU/2017
Indonesia merupakan Negara yang masyarakatnya begitu plural
dari segi aspek kehidupan yang kemudian disatukan pada tradisi
kemerdekaan dan memiliki dasar ber-Negara yaitu pancasila, UUD
1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainya. Untuk memahami dan
melihat aspek praktis hukum di Indonesia kita bisa melihat putusan
peradilan di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pada wilayah praktis Indonesia menganut konsep hukum
modern yang mana salah satunya mencoba untuk meyunifikasi hukum
agar pemberlakuan hukum menjadi seragam dan menimbulkan
kepastian hukum. Penjelasan di atas telah disinggung bahwa hukum di
Indonesia merupakan satu kesatuan deliberatif yang artinya hukum di
Indonesia bersifat umum atau teritorial yang mana bisa diberlakukan
pada semua bentuk kelompok aspek kehidupan.
Menjadi berbahaya ketika putusan Mahkamah Agung tidak
mengindahkan perintah Undang-Undang sehingga yang awalnya tujuan
pertama hukum di adakan untuk menciptakan keadilan dan kepastian
hukum tidak dapat terpenuhi secara praktis. Dampak putusan tersebut
tentunya membuat berkurangnya trust masyarakat kepada institusi
peradilan sendiri, Belum lagi ketika kita membahas perihal individu
para hakim pada wilayah integritas.
56
Tetapi pada kali ini kita tidak membahas wilayah integritas
hakim, namun kita membahas putusan yang tidak sesuai dengan amanat
Undang-Undang akan berdampak buruk bagi kepercayaan masyarakat
untuk mencari keadilan di institusi peradilan karena institusi peradilan
akan terkesan abuse of power.
Terakhir dampak buruk atas putusan Mahkamah Agung ini
menjadi kebiasaan bagi Komisi pengawas persaingan usaha dalam
memutuskan kasus persaingan itu sendiri ketika dasar pembuktian
indirect evidence dikuatkan oleh Mahkamah Agung sehingga
menimbulkan kesewenang-wenangan pada institusi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha.
Pada penelitian ini bukanya tidak mendukung dinamisasi
hukum, mengingat Negara kita merupakan Negara yang menganut
hukum positif yang mana hukum menjadi panglima atau Undang-
Undang menjadi tolok ukur untuk menjadikan seseorang bersalah atau
tidak adil atau tidak dengan kata lain adil ialah yang termaktub dalam
Undang-Undang. Kalaupun pada kasus importasi bawang putih ini
dimasa depan alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence) ada payung
hukumnya penulis sangat mendukung agar dinamisasi hukum di
Indonesia berkembang seiringan dengan bentuk-bentuk perilaku
masyarakat Indonesia sendiri.
Alat bukti tidak langsung atau (Indirect evidence) menjadi
kontoversial pada tatanan hukum di Indonesia saat ini. Beberapa kasus
hukum di Indonesia menggunakan alat bukti tidak langsung untuk
menjadi dasar putusanya khususnya pada kasus persaingan usaha yang
mendominasi. Banyak kalangan praktisi hukum, akademisi memiliki
perbedaan pendapat perihal penggunaan alat bukti tidak langsung
sebagai dasar untuk memutuskan sebuah perkara.
Memang pada faktanya Komisi Pengawas Persaingan Usaha
kesulitan untuk menemukan bukti secara kongkrit atau bukti fisik
57
karena itu menjadi ukuran berkualitas atau tidaknya hasil lidik dan sidik
di internal KPPU sendiri. Harus kita pahami bahwa pertama, KPPU
merupakan lembaga quasi yudisial yang memang dari segi kinerja
cukup berat dilakukan oleh Institusi KPPU sendiri dari mulai
penyidikan, penyelidikan sampai putusan. Kedua struktur KPPU
bukanlah struktur seperti kepolisian atau kejaksaan yang memang
memiliki keahlian khusus untuk melakukan penyidikan penyelidikan.
Mengingat kemampuan itu sangatlah mempengaruhi dari hasil
dari tindakan apalagi ini menyangkut soal nasib keadilan rakyat
tentunya sangat diperlukan keahlian khusus dibidangnya. Sangat
disayangakan ketika Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat akhir
menganulir keputusan Pengadilan Negeri ketika menerapkan hukum
sudah sesuai Peraturan Perundangan - Undangan. Menjadi persoalan
Ketika institusi menjadi keterbiasaan membuat suatu kebijakan atau
keputusan yang tidak didasarkan pada Peraturan Undang-Undang
tentunya terkesan hukum dimanifestasikan secara serampangan dan
mengarah ke Abuse Of Power (Penyelewengan Kekuasaan). Peneliti
sepenuhnya mendukung adanya dinamisasi hukum ketika terjadi pada
bidang persaingan usaha karena pada prinsipnya hukum itu berkembang
mengikuti perkembangan masyarakat namun karena paham hukum di
Indonesia adalah hukum positif seharusnya alat bukti tidak langsung
dirumuskan institusi berwenang agar legalitas dan legitimasinya tidak
absurd. Bukanya peneliti mendukung status quo pada hukum di
Indonesia tetapi peneliti lebih sepakat ketika formulasi hukum yang
diadopsi di Indoensia dirumuskan secara tertulis yang bertujuan untuk
menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam persaingan usaha di
Indonesia.
Bahwa kasus persaingan usaha merupakan murni persoalan
ekonomi yang mana analisisnya berdasarkan ilmu ekonomi murni.
Pakar hukum persaingan usaha Anna Maria Tri Anggraini mengatakan
58
bahwa sebaiknya kasus persaingan usaha dalam penanganya dialihkan
ke Pengadilan Niaga karena persoalan ekonomi dan menjadi tepat sebab
hakim Peradilan Niaga punya skill untuk menganalisa secara ekonomi.
Penempatan penanganan kasus persaingan usaha secara wilayah
kompetensi absolut pada peradilan seharusnya linier dengan posisi dan
subtansi kasus. Sehingga ini menimbulkan keserasian subtantif dan
penerapan hukum persaingan usaha pada ranah Peraturan Perundan-
Undangan pada hukum Persaingan Usaha.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang ada pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa :
1. Menurut peneliti penggunaan pembuktian tidak langsung kurang tepat karena
alat bukti tidak langsung belum diatur dalam hukum di Indonesia serta metode
alat bukti tidak langsung juga tidak didukung oleh alat bukti langsung misalkan
perihal surat perjanjian antar pelaku usaha atau dokumen kegiatan usaha yang
berhubungan dengan kasus ini.
2. Menurut peneliti pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia,
seharusnya putusan Hakim Mahkmah Agung mengikuti paham hukum dan
hukum yang tertulis di Indonesia, serta teliti dalam memeriksa perkara sehingga
melahirkan putusan yang kredibel dan mencapai keadilan dan kepastian hukum.
B. Rekomendasi
Dari kesimpulan di atas, peniliti memberikan rekomendasi yang
nantinya memberikan masukan kepada pemerintah dan sebagai bahan
diskusi serta kajian dalam ranah hukum persaingan usaha yaitu :
1. Peneliti menyarankan DPR RI, Praktisi Hukum (Advokat, Jaksa
Kepolisian dan akademisi) duduk bersama untuk membahas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang bertujuan untuk memperkuat
penegakan hukum Komisi Persaingan Usaha misalnya ditambah
struktur penegakan hukum yang melibatkan elemen kepolisian dan
kejaksaan. Terlebih khusus merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1995 perihal alat bukti tidak langsung.
2. Menurut peneliti Hakim Mahkamah Agung seharusnya tidak
memutuskan perkara tidak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku
60
dan bersungguh-sungguh dalam menganalisa suatu peristiwa hukum
yang terjadi.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali Zainudin, Filsafat Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika : Cetakan ke 6 2014)
Anggraini Maria TriAnna, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi
Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha,
Edisi 4, 2010)
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
Asshiddiqie Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Konpres, (Jakarta: konpres, 2008)
Cahyadi Antonius dkk, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta, Prenada :
2007)
Diantha Pasek Made I, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016)
Djamil Fathurrahman , Filsafat Hukum Islam, (Tangsel : Logos Wacana
Ilmu, Cet.II, 1999)
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum,( yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010)
Friedrich Joachim Carl, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung :
Nuansa dan Nusamedia, 2004)
Hamzah Andi , Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta : Cet-IV
2010)
Harahap Yahya M., Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika,2016),
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
(jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
62
Hiarije O.J. Eddy , Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta ; Penerbit
Erlangga, 2012)
Junaidi A., “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 (
2008)
Keraf Sonny, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta :
Kanisius,1998)
Lubis Fahmi Andi, dkk. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan
Konteks, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, (Jakarta: ROV
Creative Media, 2009)
Makarao Tufiq Moh., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2004)
Marzuki Peter Mahmud , Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV
2010)
Marzuki Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta : 2008)
Mertokusumo Sudikno,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta,
Liberty : 1982)
Nugroho Adi Susanti, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,(Prenada
Media Group:2012)
Rasjidi Lili dan I.B Putra Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem,
(bandung : Remaja Rosdakarya, 1993)
Rawls Jhon, A Theory Of Justice (Teori Keadilan), (Yogyakarta,
Terjemahan Cetakan ke II : 2006)
Siswanto Arie, Hukum Persaingan Usaha, (Ghalia Indonesia, Jakarta :
2004)
Soekanto Soerjono dan Mahmudji Sri. Peranan dan Penggunaan
Kepustakaan Dalam Penelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen
Universitas Indonesia, 1979)
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1987)
63
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal
Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011)
Syarifin Pinpin, PIH (Pengantar Ilmu Hukum), (Bandung : CV. Pusaka
Setia, 1999)
Waluyo Bambang, Penelitihan Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1996).
Peraturan Perundang-Undangan
- HIR (HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT)
- PERMA (Peraturan Mahkamah Agung Nomor I Tahun 2003) Tentang
Tata Cara Pengajuan Pihak Keberatan atas putusan Pengadilan Negeri
dalam kasus persaingan usaha
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Skripsi
Billah Arifin Syamsul, 2017, Persekongkolan Dan Perjanjian Kartel
Dalam Impor Bawang Putih, Tangsel, (Repository UIN Jakarta)
MuhzenMuzadi, 2018, Kekuatan bukti tidak langsung (Indirect Evidence)
pada kasus kartel tentang pengaturan produk bibit ayam broiler
(Repository UIN Jakarta)
Indriani, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatuallah Jakarta. (Repository UIN
Jakarta)
64
Darwin Yohanes, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Lampung. (Repository UNILA)
Website
http://jakarta.bisnis.com/read/(diakses-21februari 2018)
https://id.wikipedia.org/wiki/Persaingan(ekonomi)https://id.wikipedia.org/
wiki/Kartel
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59bcd106a1fdd/mau-dibawa-
ke-mana-upaya-keberatan-atas-putusan-kppu/