IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ......
Transcript of IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA' · Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk ......
IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA'
Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam‟ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm.
Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama
fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti „sumber hukum Islam‟, mereka menggunakan al-
adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang
dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar‟iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara‟ yang diambil (diistimbathkan)
daripadanya untuk menemukan hukum‟.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al
Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas
(Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber
hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, „„uruf, madzhab as-Shahâbi,
syar‟u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh
sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh
adalah ad-dzara‟i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai
dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan
Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal
ketika diutus ke Yaman.
انث يعار ت جثم، أ ، قال ن ع ا تعث إن ان سهى ن عه صه للا عشض نك قضاء؟”: ف تقض إ أقض تكتاب :، قال ”ك
، قال ؟”:للا ف كتاب للا نى ك :قال ”فئ صه للا سهى، قال فثسح سسل للا عه :” عه صه للا ف سح سسل للا نى ك فئ
سهى؟ ال آن، قال :قال ” ذ سأ قال :أجت سهى صذس، عه صه للا ”:فضشب سسل للا انز ذ لل انح فق سسل سسل للا
سهى عه صه للا ا شض سسل للا سهى ن عه ”صه للا
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:
“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab
Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan
sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata:
“Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz
dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang
diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya
perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum
padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia
pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan
para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia
berhukum memutus permasalahan.
A. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD (اجتاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh
siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad
sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at
dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang
mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”.
Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalamberibadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
JENIS-JENIS IJTIHAD
ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Ijma‟ dalam istilah ahli ushul
Ijma‟ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'
Adapun rukun ijma‟ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat para mujtahid kaum
muslimin dalam suatu masa atas hukum syara‟ .
„Kesepakatan‟ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma‟ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa. Karena „kesepakatan‟ dilakukan lebih dari satu orang,
pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara‟ dalam suatu masalah,
dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara‟
hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara‟ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma‟. Karena
ijma‟ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam
dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan
pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar
mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang „banyak‟ secara ijma‟ sekalipun
jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan
kesepakatan yang banyak itu hujjah syar‟i yang pasti dan mengikat.
Kehujjahan Ijma‟
Apabila rukun ijma‟ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung
seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin
walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya.
Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik
dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu
disepakati menjadi aturan syar‟i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya.
Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah
disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma‟ dengan hukum
syar‟i yang qath‟i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga
dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal
yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di
antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau
[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Al Qur‟an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena
adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham
dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur‟an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran
dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian
hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas
sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur‟an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar‟i dan
termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma‟ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan
selanjutnya menjadi hukum syar‟i.
Diantara ayat Al Qur‟an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka
dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan „kembali
kepada Allah dan Rasul‟ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn
Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah
satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma‟. Bahwasanya para shahabat
Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata „qiyas‟. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma‟
menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang „kalâlah‟ kemudian ia
berkata: “Saya katakan (pengertian) „kalâlah‟ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya)
benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan „kalâlah‟ adalah
tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti
kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan
anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan
tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur‟an
maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber
hukum syara‟. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara‟ yang tetap berjalan dengan
munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap
hukum syara‟ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi.
2. Fara‟ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar‟i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara‟.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu
adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.
Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari
kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam
Alquran dan
MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti
juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang
syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua
sifat :
- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan
syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui apa yang
ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-
mukjizat ayat-ayat-Nya.
Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur‟an, tentang Sunnah, tentang masalah
Ijma‟ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid
dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat
mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu
memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan
menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-
Syariah.
TINGKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya
dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi,
Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia
menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh
imam madzhab tersebut.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga
macam;
Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan
menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa
yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang
disandarkan atas isthishlah.
B. TAQLID
Secara bahasa taqlid berasal dari kata د ذا – (yuqollidu)قهذ – (qallada) قم .(taqlîdan)تقه
Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama
ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak
mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang
dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam
tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum
itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada
hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika
seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam
hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang
tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah
yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita
sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta
dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan
argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
إرا قم نى اتثعا يا أزل للا تذ ال ا ي آتاهى ال عقه كا ن آتاءا أ ا عه قانا تم تث يا أني
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah
swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka
menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek
moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak
juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama,
Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang
dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui
bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba‟ kepada apa
yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut
sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah
terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya
sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan
dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada
ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat
kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat
dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid
kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar
pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah
dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah
dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan
pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau
karena tidak nampak dalil baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim:
Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-
Dzikr adalah al-Qur‟an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya
selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
نطيا خثشا كا للا ح إ انحك آاخ للا ي ف تتك يا ته اركش
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah
Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba‟(mengikuti) kepadanya,
dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya.
Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang
Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau
dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba‟
kepadanya.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin
Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu
tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai
pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil
menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini
tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika
orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang
terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada
kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan
pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan
hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti
semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in
dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana
yang salah ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,
ى آثاس إا عه ح أي جذا آتاءا عه زش إال قال يتشفا إا تم قانا إا قثهك ف قشح ي نك يا أسسها ي كز تذ ي
جذت ا ي ذ تكى تأ ج ن قال أ ى يقتذ آثاس إا عه ح أي جذا آتاءا عه آتا ى عه كافش ا أسسهتى ت ءكى قانا إا ت
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu)
berkata: „Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama)
yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu
menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu
diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’
Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba‟ diantara hal yang menunjukkan
perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba‟ adalah larangan para imam kepada para
pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba‟:
Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan
kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau
berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”
Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan
keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan
setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”
Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi‟i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw,
ittiba‟lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang
menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid
kepadaku”.
Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada
seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau
juga berkata, “Ittiba‟ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan
para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka
lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa
para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang
yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para
imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap
taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba‟ kepada hujjah dan melarang
umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya
Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam
ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak
berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada
dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan
terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.
C. ITTIBA`
Menurut bahasa Ittiba‟ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari
kata ittaba‟a ( اتث)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya
diantaranya iqtifa‟ (اقتياء)(menelusuri jejak), qudwah(قذج) (bersuri teladan) dan uswah(أسج)
(berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan
mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani
dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba‟ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau
yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu
Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil
padanya, maka engkau adalah muttabi‟(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah
melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad
SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang
menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan
hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah,
Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan
sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang
awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh
keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan
merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba‟
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba‟
kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini
Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt
berfirman,
: قال للا تعان ركش للا خش و ا ان شج للا كا ج حسح ن أس نكى ف سسل للا كثشا ﴿ نقذ كا
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut
Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
تا : قال للا تعان فا يا اكى ع سل فخز يا آتاكى انش ﴿
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba‟ adalah seseorang mengikuti apa yang datang
dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba‟ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang
diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan
kewajiban, kebid‟ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya
atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
Ittiba‟ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan
kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan
nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:
..... : قال سسل للا صه للا عه سهى أصه ت ا سأ ا ك (سا انثخاس)... صه
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba‟ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba‟ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan
adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara
yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam
meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan
yang sama dengan batasan ittiba‟ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba‟
Seorang muslim wajib ittiba‟ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang
beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur‟an yang
memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba‟ kepada Rasulullah saw di antaranya firman
Allah swt.
: قال للا تعان ال حة انكافش للا ا فئ ن ت سل فئ انش ﴿ قم أطعا للا
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
: قال للا تعان س للا إ اتقا للا سسن للا ذ يا ت آيا ال تقذ زا ان عهى ﴿ ا أ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan
bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba‟ kepada sabilil
mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang
berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
ي : قال للا تعان ن ؤي ش سثم ان تث غ ن انذ تعذ يا تث سل ي شاقق انش ي ن ﴿ جى ا ت صه
ساءخ يصشا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa‟[4]: 115).
Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam,
bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan
beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana
para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa
kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)."
Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata
dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt.
Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan
tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang.
Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh
karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya
baik, maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:
تى ت : قال للا تعان ك غيس سحى ﴿ قم إ للا غيش نكى رتكى فاتثع حثثكى للا للا حث
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi
setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah
Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya
kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala
ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara
waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan
ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada
Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin.
Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia
tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya,
dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah
itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak
memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang
diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya
yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali
Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt
sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
: قال للا تعان ال ى حز ى ف عه ال خ ناء للا أ ﴿ أال إ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih
banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah
saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-
mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya
dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa
husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.
D. TALFIQ
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau
kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan
saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa
wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu
semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum
dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti
pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam
ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih
suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu
mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang
bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-
ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-
perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam
agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma‟luumun minaddiini
bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma‟, yang mana mengingkarinya
adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.
Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan,
dan satu kelompok lagi membolehkan.
Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di
kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.
Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas
ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua
kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh
menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati.
Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat,
pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(„iddah
melahirkan dan „iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh
menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan
sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat
ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua
sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq
terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah
permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita
adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak
terjadi pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat
suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan
khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula
batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi
khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq,
tidak ada sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar
yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita
yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al
Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut.
Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah
masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut
pandang adalah kebolehannya (talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa
keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma'
mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran
ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah
ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
Alasan Pertama Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini.
Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli
ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad
untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi
dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai
rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin
Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya.
Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan
peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak
boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka
yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain
dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah,
perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri? Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat
Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa,
kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab.
Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara
keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan
disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini
berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
Alasan Ketiga
Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:
“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah,
selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah
orang yang paling menjauhi hal tersebut “.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil
syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu
cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.
Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa harus
ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?
Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan,
tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi
Muhammad saw:
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk
menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:
„Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam
mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu
yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun)
serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu
kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia
tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat
imam madzhab yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal
tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja
yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar„iyat.
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap
saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu
masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu
sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al
Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar‟i, yaitu hukum Islam yang berhubungan
dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i‟tiqadi atau hukum
khuluqi,
3. Status hukum syar‟i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa
ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam‟u „l-Jawami‟ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad
adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu‟. (Jam‟u „l-
Jawami‟, Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz
ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu‟tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga
berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu
disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap
aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur „ulama‟ telah bersepakat bahwa ijtihad
hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu
A'lam
Terima kasih kami haturkan pada segenap mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala
pihak yang telah menunjang terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. Mohon maaf atas
segala khilaf dan salah. dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa
website yang kami jadikan referensi. Terimakasih