IJTIHAD

19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya. Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing- masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks. Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap

description

IJTIHAD

Transcript of IJTIHAD

Page 1: IJTIHAD

BAB I

PENDAHULUAN1.1    Latar Belakang

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman

Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat,

tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa

yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode

tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak

bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang

semakin kompleks problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu

disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,

fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil

ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang

terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala

lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu”

dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-

dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah

ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh

persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih

kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali

hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi

di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi.

1.2    Rumusan Masalah

Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya

sebagai berikut:

1.      Pengertian Ijtihad

2.      Dasar-dasar Ijtihad

3.      Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad

4.      Macam-macam Ijtihad

5.      Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

6.      Urgensi Ijtihad

Page 2: IJTIHAD

7.      Syarat-syarat Mujtahid

8.      Tingkatan Mujtahid

9.      Wilayah Ijtihad

1.3    Tujuan Penulisan

1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah

2.    Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad

1.4    Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut :

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.      LatarBelakang

2.      RumusanMasalah

3.      Tujuan Penulisan

4.      SistematikaPenulisan

BAB II PEMBAHASAN

1.      Pengertian Ijtihad

2.      Dasar-dasar Ijtihad

3.      Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad

4.      Macam-macam Ijtihad

5.      Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

6.      Urgensi Ijtihad

7.      Syarat-syarat Mujtahid

8.      Tingkatan Mujtahid

9.      Wilayah Ijtihad

BAB III PENUTUP

1.    Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: IJTIHAD

BAB II

IJTIHAD

2.1    Pengertian Ijtihad

Ijtihad berakar dari kata “jahda” secara etimologi berarti : mencurahkan segala

kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya

digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.

Namun dalam al-Qur’an kata “Jahda” sebagaimana dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42,

semuanya mengandung arti “Badzu al-Wus’i wa al-Thoqoti” (pengerahan segala

kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “al-Mubalaghah fi al-yamin” (berlebih lebihan

dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan

kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal

dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu

Page 4: IJTIHAD

menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari

persembunyian”.1[1]

Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan

(secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap

hukum syari’at.2[2]

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian

ijtihad adalah :

1.    Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.

2.    Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum

yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.

3.    Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia

benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan

porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan

benar.

Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah,

seperti pada :

a.    Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum

lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar

hukum.

b.    Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian

mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain

(ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.

Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap

kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-

ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang

meliputi pengertian :

1.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya.

Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan

Hadits.

1[1] Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25

2[2] Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, Jeddah:Al-Haramain, tt, hal. 10

Page 5: IJTIHAD

2.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah

syar iyah kulliyah.

3.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki

hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.3[3]

2.2    Dasar-dasar Ijtihad

Sebagai landasan ijtihad adalah :

1.      Al-Qur’an

2.      As-Sunnah

3.      Dalil Aqli (Rasio)

2.3    Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad

1.    Benar atau salah dalam berijtihad

2.    Mengikat atau tidak pendapat hasil Ijtihad

3.    Pembatalan Ijtihad

2.4 Macam-macam Ijtihad

1. Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual

2. Ijtihad Jama’i atau ijtihad secara kolektif4[4]

2.5    Ijtihad dalam tinjauan sejarah

Ditinjaudari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi

muhammad SAW, kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi

berikutnya hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing. Dalam

sebuah hadis yang diriwayatkan dari ‘amr ibn al-‘ash ra. Ia mendengar rosulullah bersabda:”

apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, kemudian dia berijtihad dan

ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah baginya satu

ganjaran.”

Demikian juga sebuah hadis yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW,

hendak mengutus muadz sebagai hadis qodli’ (hukum) di Yaman, nabi bertanya

kepadanya:dengan apa kamu memutuskan perkara muadz? lalu muadz menjawab: dengan

sesuatu yang terdapat dalam kitabullah. Kalau kamu tidak menemukannya dalam

3[3] Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004

4[4] M.Ali Hasan, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Page 6: IJTIHAD

kitabullah?”pert`nyaan nabi selanjutnya.” Aku akan memutuskan menurut hukum yang ada

dalam sunnah rosulullah,” jawab muadz lagi” kalau tidak kamu jumpai dalam kitabullah

maupun dalam sunnah rosulullah?” Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz

menjawab:”aku akan berijtihad dengan fikiranku sendiri”. Mendengar jawaban itu rosulullah

mengakhiri dialognya sambil menepuk dada muadz seraya beliau bersabda: “segala puji bagi

allah yang telah memberikan petunjuk pada utusan rosulya ke jalan yang di ridhoi oleh

rosulullah”

Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinnya ijtihad pada

masa nabi muhammad SAW bukan semata-mat disebabkan atas dorongan nabi sendiri,

namun juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaiman tergambar dari hadis muadz

di atas, baru pada masa sahabat, ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat penggali

hukum guna menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi umat islam yang hukumnya tidak

secara tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah, maka muncullah para sahabat terkemuka,

seperti abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor melakukuan ijtihad. Oleh karena itu

mereka selalu bersikap:

a.    Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.

b.    Suka tukar menukar informasi

c.    Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma’).

d.   Tidak menganggap pendapatnya paling benarsendiri, tetapi menghargai pendapat orang lain.

e.    Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang bertentangan dengan

fatwanya.

Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad sama

dengan priode-priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan politik, banyak

pemalsuan hadis dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai puncaknya, muncullah

beberapa mujtahid pada periode IV (bani Abbasiyah), dimana pada fase ini fiqih islam

mencapai puncak kejayaan bersam dengan kemajuan islam di berbagai bidang. Sehingga

periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid seperti:

a.     Imam abu hanifah(150 H) di kuffah

b.    Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.

c. &nbrp;   Imam Syafi’i (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir

d.    Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di baghdad

Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid terkenal

lainnya seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam ja’far al shoddiq(80-148

H), dan masih banyak lainnya.

Page 7: IJTIHAD

Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak negatif

pada umat islam karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis dan kaku,

sehingga islam tertinggal zaman, bahkan masih b`nyak kasus baru yang hukumnya belim di

jelaskan oleh al-quran dan sunnah, serta belum di bahas oleh ulama’-ulama’ terdahulu.

Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para ulama’ untuk menciptakan pemikiran-

pemikiran baik dalma memanfaatkan dan menggali sumber hukum islam sebagaimana di

ungkapkan oleh ibn taimiyah bahwaseorang tidak berhak untuk memaksaorang lain dan

mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di wajibkan allah dan rasulullah, dan

tidak boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah dilarang oleh allah dan rasulnya,

termasuk berijtihad.

2.6 Urgensi ijtihad

Para ulama membagi hukum melakukam ijtihad menjadi 3 bagian,yaitu:

a. Fardhu ‘ain ,bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi,

dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.Atau ia sendiri

mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.

b. Fardhu kifayah , bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang yang

tidak di khawatirkan lenyap peristiwa itu,sedangkan selain dia ada mujtahid –mujtahid yang

lainnya.Maka apabila kesemua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad maka mereka

berdosa semua.Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan fatwa hukum maka

gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.

c. Sunnat ,apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad , karena

dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan dan mengkoreksi kekeliruan serta

kekhilafan dari ijtihad yang laluijtihad merupakan upaya pembaruan hukum

islam.Sebagaimana di ungkapkan oleh Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap ijtihad harus di

orientasikan pada pembaruan, karena setiap periode memiliki ciri tersendirisehingga

menentukan perubahan hukum.Sedangkan Ibnu Hajid mengatakan bahwa ijtihad harus

merujuk pada aspek-aspek pembaruan terhadap masalah yang belum pernah di singgung oleh

ulama terdahulu,sedangkan masalah yang sudah di ijtihadkan pada masa lalu tidak perlu di

perbaharui.

Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama,sebab ada

kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama.Bahkan sekalipun

berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama ,hal itu seiring kaidah

Page 8: IJTIHAD

fiqhiyah “al-ijtihadu la yaudlu bi al-ijtihadi”(ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad

pula).

Adapun fungsi ijtihad ,diantaranya:

Fungsi Al-Ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan Sunnah

dari segala interpretasi yang kurang relevan.

Fungsi Al-ihya(kehidupan) : menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam

semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.

Fungsi al-Inabah(pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh

ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi

yang di hadapi.

Begitu pentingnya melakukan ijtihad ,sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi

hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah SWT surat an-Nisa’59: “Jika

kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan

Rasul-Nya”.

Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika terjadi

perselisihan hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah terhadap masalah yang

nashnya tidak tegas .

Demikian juga sabda Nabi SAW: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara

tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua

pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya

salah , maka ia mendapat satu pahala”.(HR.Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash) .Hadits ini bukan

hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan

perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa di lakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil

rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.

2.7 . Syarat-syarat Mujtahid

Syarat-syarat yang diperlukan oleh seorang mujtahid antara lain:

a. Menguasahi bahasa arab dari segala aspeknya,serta mengetahui maksud yang terkandung

didalamnya harus mengetahui bahasa arab.dalam hal ini al-Ghazali memberikan batasan

ltentang kadar penguasaan bahasa arab yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid

yaiti,mampu mengetahui khitab(pembicaraan).

b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan

masalah hukum,serta mampu membahas ayat tersebut untuk membahas hokum.

Page 9: IJTIHAD

c. Mengenal dan mengerti hadist Nabi yang berhubungan dengan dengan hukum baik Qouliyah,

filiyah maupun taqririyah. ,penguasaan hadist minimal 2500 hdist menurut Ahmad bin

Hambal.

d. Mengerti tentang usul Fiqih sebagai sarana lahiain itu untuk istinbat hokum. Menurut

fakhruddin Al Razi dalam kitabnya al- Mahsul mengatakn bahwa ilmu lyang sangat penting

bagi seorang mujtahid.

e. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’sehingga tidak

memberikan fatwa yang bertentangndaengan ijma’ itu.

Selain itu seorang mujthid harus berkepribadian baik,bertaqwa dan adil.Zuhali

mengatakan kepribadian ini diperlukan untuk memantapkan kepercayaan orang lain terhadap

fatwa”nya

2.8 Tingkatan Mujtahid

Tingkatan menurut ulama’ usul fiqih :

a. Mujtahid mutlak yaitu:mujtahid yang mempunyai kemampuan untukmenggali hokum syara’

langsung dari sumbernya yang pokok yakni(Al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan

metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktifitas ijtihadnya.

b. Mujtahid muntasib yaitu:mujtahid menggabungkan dirinya dan ijtihadnya dengan suatu

madhab.

c. Mujtahid muqoyyad yaitu:mujtahid yang terikat kepada imam madzhab dan tidak mau keluar

dari madzhab dalam masalah ushul maupun furu’.

d. Mujtahid murajih yaitu: mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan dipilih

yang lebih unggul.

2.9    Wilayah IjtihadDalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah,

akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek keislaman yang

meliputi: Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa haram

hukumnya memberikan fatwa hasil ijtihad yang menyalahi nas, bahkan ijtihad menjadi gugur

jika ditemukan nashnya. Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila ada hadis

shahih maka buanglah pendapatmu yang mengaikat dan benarkan hadis itu”.

Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah

jika mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan

pendapatnya”.

Page 10: IJTIHAD

Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek

ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad antara lain;

a.       Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang

pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya

sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada

peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa,

zakat, dan haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang

shorih(tegas). Contoh lain: Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang

telah di tunjuk oleh hadist mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk

diijtihadkan, kewajiban kita hanya melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah

ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy

(dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil

ijtihadnya berlawanan dengan nash.

b.      Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian pula

lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat

hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian

1/6(seperenam) pusaka untuk nenek erempuannya.

Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah,

yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan

adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.

Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:

1.    Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang. Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian ahli kalam(teolog) mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.

2.    Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kreterianya dalam nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahrom, sebagaian berpendapat sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.

3.    Sebagai kaidah-kaidah dzanni yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”

Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada

masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah

masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah

maupun ijtima’. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.

Page 11: IJTIHAD

Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada

ijtihad terhadap nash.

Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal

mungkin menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad

terbagi menjadi dua yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi

dengan seperangkat kaidah dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada

penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu kasus. Dengan kegiatan semacam itu di

samping harus mengetahui hukum material dan metode pengembangannya yang menjadi

objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai elaku dengan sengaja

kondisi dan perubahannya.

Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang

pantas dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu

mengadakan studi komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih

pendapat yang dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur

yang digunakan dalam mentarjih. Metode ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi

jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid yang mengatakan:”pendapatku adalah

benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah, tetapi

mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak selamanya benar,

tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya melalui

pendapat mujtahid lain.”

Sedangkan ijtihad inshai(ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam

suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid

sebelumnya baik masalahitu baru atau lama.

Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi

pendapat yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh

dilakukan begitu saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad

tersebut dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan

kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi

mengatakan bahwa ijtihad kontemporer semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk

perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk penelitian.5[5]

5[5] Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004

Page 12: IJTIHAD

BAB III

PENUTUP3.1    Kesimpulan

Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit)

dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai

metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan

mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan

hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan

hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.

Page 13: IJTIHAD

DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN

Ampel Press, 2004

Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995