IJTIHAD
description
Transcript of IJTIHAD
BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat,
tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa
yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode
tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak
bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang
semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil
ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu”
dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-
dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah
ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih
kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali
hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi
di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya
sebagai berikut:
1. Pengertian Ijtihad
2. Dasar-dasar Ijtihad
3. Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
4. Macam-macam Ijtihad
5. Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah
6. Urgensi Ijtihad
7. Syarat-syarat Mujtahid
8. Tingkatan Mujtahid
9. Wilayah Ijtihad
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah
2. Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LatarBelakang
2. RumusanMasalah
3. Tujuan Penulisan
4. SistematikaPenulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
2. Dasar-dasar Ijtihad
3. Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
4. Macam-macam Ijtihad
5. Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah
6. Urgensi Ijtihad
7. Syarat-syarat Mujtahid
8. Tingkatan Mujtahid
9. Wilayah Ijtihad
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
IJTIHAD
2.1 Pengertian Ijtihad
Ijtihad berakar dari kata “jahda” secara etimologi berarti : mencurahkan segala
kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya
digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Namun dalam al-Qur’an kata “Jahda” sebagaimana dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42,
semuanya mengandung arti “Badzu al-Wus’i wa al-Thoqoti” (pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “al-Mubalaghah fi al-yamin” (berlebih lebihan
dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal
dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu
menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”.1[1]
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan
(secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap
hukum syari’at.2[2]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian
ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum
yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia
benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan
porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan
benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah,
seperti pada :
a. Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum
lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar
hukum.
b. Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian
mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain
(ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap
kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-
ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang
meliputi pengertian :
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya.
Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan
Hadits.
1[1] Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25
2[2] Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, Jeddah:Al-Haramain, tt, hal. 10
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah
syar iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.3[3]
2.2 Dasar-dasar Ijtihad
Sebagai landasan ijtihad adalah :
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Dalil Aqli (Rasio)
2.3 Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
1. Benar atau salah dalam berijtihad
2. Mengikat atau tidak pendapat hasil Ijtihad
3. Pembatalan Ijtihad
2.4 Macam-macam Ijtihad
1. Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual
2. Ijtihad Jama’i atau ijtihad secara kolektif4[4]
2.5 Ijtihad dalam tinjauan sejarah
Ditinjaudari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi
muhammad SAW, kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi
berikutnya hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan dari ‘amr ibn al-‘ash ra. Ia mendengar rosulullah bersabda:”
apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, kemudian dia berijtihad dan
ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah baginya satu
ganjaran.”
Demikian juga sebuah hadis yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW,
hendak mengutus muadz sebagai hadis qodli’ (hukum) di Yaman, nabi bertanya
kepadanya:dengan apa kamu memutuskan perkara muadz? lalu muadz menjawab: dengan
sesuatu yang terdapat dalam kitabullah. Kalau kamu tidak menemukannya dalam
3[3] Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004
4[4] M.Ali Hasan, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
kitabullah?”pert`nyaan nabi selanjutnya.” Aku akan memutuskan menurut hukum yang ada
dalam sunnah rosulullah,” jawab muadz lagi” kalau tidak kamu jumpai dalam kitabullah
maupun dalam sunnah rosulullah?” Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz
menjawab:”aku akan berijtihad dengan fikiranku sendiri”. Mendengar jawaban itu rosulullah
mengakhiri dialognya sambil menepuk dada muadz seraya beliau bersabda: “segala puji bagi
allah yang telah memberikan petunjuk pada utusan rosulya ke jalan yang di ridhoi oleh
rosulullah”
Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinnya ijtihad pada
masa nabi muhammad SAW bukan semata-mat disebabkan atas dorongan nabi sendiri,
namun juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaiman tergambar dari hadis muadz
di atas, baru pada masa sahabat, ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat penggali
hukum guna menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi umat islam yang hukumnya tidak
secara tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah, maka muncullah para sahabat terkemuka,
seperti abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor melakukuan ijtihad. Oleh karena itu
mereka selalu bersikap:
a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.
b. Suka tukar menukar informasi
c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma’).
d. Tidak menganggap pendapatnya paling benarsendiri, tetapi menghargai pendapat orang lain.
e. Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang bertentangan dengan
fatwanya.
Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad sama
dengan priode-priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan politik, banyak
pemalsuan hadis dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai puncaknya, muncullah
beberapa mujtahid pada periode IV (bani Abbasiyah), dimana pada fase ini fiqih islam
mencapai puncak kejayaan bersam dengan kemajuan islam di berbagai bidang. Sehingga
periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid seperti:
a. Imam abu hanifah(150 H) di kuffah
b. Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.
c. &nbrp; Imam Syafi’i (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir
d. Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di baghdad
Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid terkenal
lainnya seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam ja’far al shoddiq(80-148
H), dan masih banyak lainnya.
Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak negatif
pada umat islam karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis dan kaku,
sehingga islam tertinggal zaman, bahkan masih b`nyak kasus baru yang hukumnya belim di
jelaskan oleh al-quran dan sunnah, serta belum di bahas oleh ulama’-ulama’ terdahulu.
Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para ulama’ untuk menciptakan pemikiran-
pemikiran baik dalma memanfaatkan dan menggali sumber hukum islam sebagaimana di
ungkapkan oleh ibn taimiyah bahwaseorang tidak berhak untuk memaksaorang lain dan
mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di wajibkan allah dan rasulullah, dan
tidak boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah dilarang oleh allah dan rasulnya,
termasuk berijtihad.
2.6 Urgensi ijtihad
Para ulama membagi hukum melakukam ijtihad menjadi 3 bagian,yaitu:
a. Fardhu ‘ain ,bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi,
dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.Atau ia sendiri
mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Fardhu kifayah , bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang yang
tidak di khawatirkan lenyap peristiwa itu,sedangkan selain dia ada mujtahid –mujtahid yang
lainnya.Maka apabila kesemua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad maka mereka
berdosa semua.Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan fatwa hukum maka
gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
c. Sunnat ,apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad , karena
dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan dan mengkoreksi kekeliruan serta
kekhilafan dari ijtihad yang laluijtihad merupakan upaya pembaruan hukum
islam.Sebagaimana di ungkapkan oleh Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap ijtihad harus di
orientasikan pada pembaruan, karena setiap periode memiliki ciri tersendirisehingga
menentukan perubahan hukum.Sedangkan Ibnu Hajid mengatakan bahwa ijtihad harus
merujuk pada aspek-aspek pembaruan terhadap masalah yang belum pernah di singgung oleh
ulama terdahulu,sedangkan masalah yang sudah di ijtihadkan pada masa lalu tidak perlu di
perbaharui.
Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama,sebab ada
kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama.Bahkan sekalipun
berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama ,hal itu seiring kaidah
fiqhiyah “al-ijtihadu la yaudlu bi al-ijtihadi”(ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad
pula).
Adapun fungsi ijtihad ,diantaranya:
Fungsi Al-Ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan Sunnah
dari segala interpretasi yang kurang relevan.
Fungsi Al-ihya(kehidupan) : menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam
semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
Fungsi al-Inabah(pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh
ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi
yang di hadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad ,sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah SWT surat an-Nisa’59: “Jika
kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya”.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika terjadi
perselisihan hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah terhadap masalah yang
nashnya tidak tegas .
Demikian juga sabda Nabi SAW: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara
tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya
salah , maka ia mendapat satu pahala”.(HR.Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash) .Hadits ini bukan
hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan
perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa di lakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil
rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
2.7 . Syarat-syarat Mujtahid
Syarat-syarat yang diperlukan oleh seorang mujtahid antara lain:
a. Menguasahi bahasa arab dari segala aspeknya,serta mengetahui maksud yang terkandung
didalamnya harus mengetahui bahasa arab.dalam hal ini al-Ghazali memberikan batasan
ltentang kadar penguasaan bahasa arab yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
yaiti,mampu mengetahui khitab(pembicaraan).
b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum,serta mampu membahas ayat tersebut untuk membahas hokum.
c. Mengenal dan mengerti hadist Nabi yang berhubungan dengan dengan hukum baik Qouliyah,
filiyah maupun taqririyah. ,penguasaan hadist minimal 2500 hdist menurut Ahmad bin
Hambal.
d. Mengerti tentang usul Fiqih sebagai sarana lahiain itu untuk istinbat hokum. Menurut
fakhruddin Al Razi dalam kitabnya al- Mahsul mengatakn bahwa ilmu lyang sangat penting
bagi seorang mujtahid.
e. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’sehingga tidak
memberikan fatwa yang bertentangndaengan ijma’ itu.
Selain itu seorang mujthid harus berkepribadian baik,bertaqwa dan adil.Zuhali
mengatakan kepribadian ini diperlukan untuk memantapkan kepercayaan orang lain terhadap
fatwa”nya
2.8 Tingkatan Mujtahid
Tingkatan menurut ulama’ usul fiqih :
a. Mujtahid mutlak yaitu:mujtahid yang mempunyai kemampuan untukmenggali hokum syara’
langsung dari sumbernya yang pokok yakni(Al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan
metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktifitas ijtihadnya.
b. Mujtahid muntasib yaitu:mujtahid menggabungkan dirinya dan ijtihadnya dengan suatu
madhab.
c. Mujtahid muqoyyad yaitu:mujtahid yang terikat kepada imam madzhab dan tidak mau keluar
dari madzhab dalam masalah ushul maupun furu’.
d. Mujtahid murajih yaitu: mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan dipilih
yang lebih unggul.
2.9 Wilayah IjtihadDalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah,
akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek keislaman yang
meliputi: Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa haram
hukumnya memberikan fatwa hasil ijtihad yang menyalahi nas, bahkan ijtihad menjadi gugur
jika ditemukan nashnya. Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila ada hadis
shahih maka buanglah pendapatmu yang mengaikat dan benarkan hadis itu”.
Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah
jika mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan
pendapatnya”.
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek
ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad antara lain;
a. Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang
pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya
sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada
peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa,
zakat, dan haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang
shorih(tegas). Contoh lain: Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang
telah di tunjuk oleh hadist mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk
diijtihadkan, kewajiban kita hanya melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah
ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy
(dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil
ijtihadnya berlawanan dengan nash.
b. Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian pula
lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat
hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian
1/6(seperenam) pusaka untuk nenek erempuannya.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah,
yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan
adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang. Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian ahli kalam(teolog) mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
2. Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kreterianya dalam nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahrom, sebagaian berpendapat sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.
3. Sebagai kaidah-kaidah dzanni yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”
Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada
masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah
masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah
maupun ijtima’. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.
Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada
ijtihad terhadap nash.
Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal
mungkin menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad
terbagi menjadi dua yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi
dengan seperangkat kaidah dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada
penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu kasus. Dengan kegiatan semacam itu di
samping harus mengetahui hukum material dan metode pengembangannya yang menjadi
objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai elaku dengan sengaja
kondisi dan perubahannya.
Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang
pantas dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu
mengadakan studi komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih
pendapat yang dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur
yang digunakan dalam mentarjih. Metode ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi
jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid yang mengatakan:”pendapatku adalah
benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah, tetapi
mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak selamanya benar,
tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya melalui
pendapat mujtahid lain.”
Sedangkan ijtihad inshai(ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam
suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid
sebelumnya baik masalahitu baru atau lama.
Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi
pendapat yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh
dilakukan begitu saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad
tersebut dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan
kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi
mengatakan bahwa ijtihad kontemporer semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk
perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk penelitian.5[5]
5[5] Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004
BAB III
PENUTUP3.1 Kesimpulan
Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit)
dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan
hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan
hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN
Ampel Press, 2004
Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995