eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab...

43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki- laki dan perempuan pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan dan dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas secara mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait dengan pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum perkawinan, syarat- syarat sahnya perkawinan yang akan dibahas pada sub- sub bab secara singkat akan tetapi dapat dipahami oleh setiap pembaca. 1. Pengertian Perkawinan Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk membentuk keluarga 21

Transcript of eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab...

Page 1: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perkawinan

Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan

pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap

melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu

perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan

sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan dan

dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas secara

mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait dengan pengertian

perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum perkawinan, syarat-syarat

sahnya perkawinan yang akan dibahas pada sub-sub bab secara singkat akan

tetapi dapat dipahami oleh setiap pembaca.

1. Pengertian Perkawinan

Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk

membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.38 Sedangkan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari kata kawin yang

bermakna membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri;

menikah.39 Kata lain dari Perkawinan ialah Pernikahan dan mempunyai arti

yang sama.40

38 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Cetakan Ke-1), Kencana, Bogor, 2003, hal. 7.39 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

2001, hal. 518.40 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit.

21

Page 2: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Kemudian beberapa pengertian perkawinan yang diutarakan oleh

beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai

perkawinan.

1.1. Menurut Pendapat Ahli

Terdapat beberapa para ahli yang mengutarakan pendapatnya

mengenai pengertian dari Perkawinan itu sendiri, yakni :

a. Menurut Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu

yang lama.41

b. Menurut Tengku Erwinsyahbana mengutip dari pendapat Sayuti

Thalib, Perkawinan sebagai suatu perjanjian suci antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu

keluarga.42

1.2. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Secara yuridis pengertian perkawinan telah tercantum di dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, yang berbunyi

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.43

Dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui bahwa

terdapat lima unsur didalam pengertian perkawinan, yaitu :

41 Subekti dan Tjitrosudibio, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 23.42 Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan

Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No. 2, Februari 2012, hal. 16743 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.

22

Page 3: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

a. Adanya Ikatan Lahir Batin. Perkawinan dapat dikatakan sebagai

suatu perjanjian serta persetujuan yang menimbulkan suatu ikatan

secara lahiriyah maupun batiniah antara seorang pria dengan

seorang perempuan.

b. Antara Seorang Laki-Laki Dengan Seorang Perempuan.

Perkawinan yang dilaksanakan haruslah dilakukan oleh seseorang

yang berbeda jenis kelamin, karena salah satu tujuan dari

perkawinan itu sendiri adalah untuk menghasilkan suatu keturunan.

c. Sebagai Suami Isteri. Setelah dilaksanakannya perkawinan tentu

saja scara yuridis statusya juga berubah, yang dimana laki-laki

berubah statusnya sebagai suami dan perempuan berubah statusnya

berubah sebagai isteri

d. Adanya Tujuan. Pelaksanaan perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga pelaksanaan

perkawinan tidak boleh dalam jangka waktu tertentu saja ataupun

sebagai ajang coba-coba.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai

hubungan erat dengan agama dan kerohanian yang dimana terdapat

unsur keagamaan didalamnya bukan hanya keperdataan saja.

Karena pelaksanaan perkawinan merupakan untuk melaksanakan

anjuran Allah SWT yang merupakan termasuk dalam kategori

melakukam ibadah.

23

Page 4: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

1.3. Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan

tercantum pada Pasal 2 yakni “Perkawinan hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.44

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa

perkawinan atau yang lebih dikenal dengan istilah pernikahan dalam

hukum Islam adalah pernikahan yang dilaksanakan untuk mentaati

serta melaksanakan perintah Allah, yang dimana perbuatan tersebut

dikategorikan sebagai suatu ibadah.

Sehingga dari beberpa pengertian perkawinan yang telah

dikemukakan oleh para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur

mengenai perkawinan dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan

sebuah hubungan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang hidup bersama guna memenuhi kebutuhan

biologis dan menciptakan suatu hubungan timbal balik antara kedua belah

pihak yang diharapkan dapat menjadi suatu keluarga yang bahagia secara

lahir dan batin guna dapat mewujudkan sebuah keluarga yang kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45

2. Tujuan Perkawinan

44 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2.45 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal 22-23.

24

Page 5: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Tiap warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban pada masing-

masing individu. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah membentuk

keluarga dan melanjutkan keturuannya, hal tersebut tercantum pada

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)

yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah”.46

Kemudian beberapa tujuan perkawinan yang diutarakan oleh

beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai

perkawinan.

1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pengaturan perihal perkawinan itu sendiri telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai

berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 yang kemudian Undang-Undang

Perkawinan tersebut mengalami beberapa perubahan sehingga

diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, yang dimana undang-undang tersebut mulai berlaku pada

tanggal 15 Oktober 2019. Selain itu terdapat pula Peraturan

Pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

46 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)

25

Page 6: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur megenai

perkawinan secara nasional, yang secara otomatis berlaku bagi semua

masyarakat yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, tidak memandang

ras maupun golongan-golongan yang ada di Indonesia.47

Tujuan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur dalam pasal 1 yang dimana

tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.48 Kemudian selanjutnya dijelaskan pula

bahwa suami isteri perlu untuk saling membantu dan melengkapi agar

dapat membantu untuk mengembangkan dan mencapai kesejahteraan

spiritual dan material masing-masing pihak.49

Hal ini dikarenakan perkawinan mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan agama. Sehingga dalam hal ini perkawinan bukan

hanya mempunyai unsur lahir secara jasmani, akan tetapi terdapat

unsur batin yang sama-sama mempunyai peranan penting

didalamnya.50

1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

47 Fuad Buchari, Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume 1 No. 2, Oktober 2014, hal. 1.

48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.49 Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan

Hukum Adat, Jurnal Yudisia, Volume 7 No. 2, Desember 2016, hal. 419.50 Ibid.

26

Page 7: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Kompilasi Hukum Islam atau yang sering disingkat dengan

sebutan KHI merupakan pengaturan yang disusun dengan

memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat Islam yang ada di

Indonesia.51 Terwujudnya KHI didasarkan pada keinginan untuk

menyeragamkan hukum Islam yang ada di Indonesia, dikarenakan

pada saat sebelum KHI dikeluarkan, para hakim Pengadilan Agama

saat membuat putusan dalam suatu perkara hukum selalu berpedoman

pada kitab-kitab fiqih yang dimana terdapat beberapa pemahaman

yang berbeda di dalamnya.52

Sehingga tidak sedikit pula putusan yang telah dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama hasilnya berbeda-beda, padahal perkara hukum

yang dibahas sama. Dikarenakan hal tersebut, maka kemudian

diterbitkanlah KHI untuk mewujudan keseragaman pemahaman dan

kejelasan bagi kesatuan hukum Islam untuk dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan para hakim dalam memutuskan suatu perkara

yang berada di lingkungan Pengadilan Agama.53

Penyebarluasan KHI dilaksanakan melalui instruksi Presiden

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam KHI mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan,

dan hukum perwakafan.54

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat

pada Pasal 3 yang dimana menyatakan bahwa tujuan perkawinan yakni

51 Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal AJUDIKASI, Volume 1 No. 2, Desember 2017, hal. 50.

52 Ibid, hal. 42.53 Ibid.54 Kompilasai Hukum Islam.

27

Page 8: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah. Dikarenakan dengan adanya pelaksanaan perkawinan

dapat menambah kesejahteraan umat baik secara individu ataupun

bermasyarakat, yang dimana kesejahteraan kelurga merupakan suatu

pondasi agar terwujudnya kesejahteraan individu sekaligus

kesejahteraan masyarakat.55

3. Syarat Sahnya Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2

menyatakan bahwa :

1. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.56

Sehingga saat akan melaksanakan perkawinan terdapat persyaratan-

persyaratan yang diatur agar perkawinan yang dilaksanakan dapat

dikatakan sah dimata hukum.

Syarat Perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,

apabila terdapat salah satu dari persyaratan yang telah ditentukan tidak

dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah di mata hukum.57

Syarat sah perkawinan dibagi menjadi 2 macam, yakni

syarat sah formil, dan materil. Syarat perkawinan formil

lebih kepada tata cara ataupun prosedur pelaksanaan.

Kemudian syarat meteril yakni berupa syarat-syarat apa saja yang harus

55 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2019, hal. 9

56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2).57 Kang Yadi, Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

http://www.apik-web.blogspot.com, diakses pada 26 Februari 2019.

28

Page 9: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

dipenuhi sebelum dilaksanakannya suatu perkawinan oleh masing-masing

pihak calon mempelai.

Pada pembahasan kali ini akan lebih berfokus mengenai syarat

materiil perkawinan yang dimana telah diatur berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Namun sebelumnya perlu

diketahui bahwa syarat materiil itu sendiri dibagi menjadi 2 macam. Syarat

materiil yang pertama yakni syarat materiil absolut atau mutlak, yang

dimana syarat materiil ini mengatur mengenai syarat-syarat dasar yang

harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai perihal batasan umur,

persetujuan, dan ijin.58

Syarat materiil yang kedua adalah syarat materiil relatif yang

dimana syarat ini mengatur mengenai adanya larangan perkawinan antara

seorang dengan seseorang tertentu.59 Namun Pada pembahasan kali ini

hanya akan mengutarakan mengenai syarat materiil obsolut atau mutlak

yang dimana menjadi dasar sah tidaknya suatu perkawinan, sedangkan

untuk syarat materiil relatif akan diutarakan dalam pembahasan

selanjutnya.

Berikut beberapa ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat

sahnya Perkawinan.

58 Komariah, Op.cit, hal. 37-40.59 Ibid.

29

Page 10: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

3.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Bahwasannya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan,

syarat-syarat materiil absolut atau mutlak diatur dalam pasal 6

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6

terdiri dari 6 ayat dan Pasal 7 terdiri dari 4 ayat, yakni sebagai berikut :

a. Persetujuan

Menurut Pasal 6 ayat (1), perkawinan harus berdasarkan

persetujuan kedua calon mempelai. Sehingga perkawinan tersebut

tidak terdapat unsur paksaan di dalam pelaksanaannya. Dengan

kata lain murni atas dasar suka sama suka.60

b. Usia Mencukupi

Menurut Pasal 7 ayat (1), batas umur saat akan

melaksanakan perkawinan yakni 19 tahun untuk calon mempelai

pria dan calon mempelai wanita.61 Akan tetapi apabila kedua calon

belum memenuhi batasan usia atau terjadi penyimpangan usia

untuk melaksanakan perkawinan, maka orang tua calon mempelai

laki-laki ataupun perempuan harus meminta dispensasi kepada

pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak dan disertai

dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.62 Selain itu disaat

60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (1)61 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).62 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).

30

Page 11: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

pengadilan akan memberikan dispensani haruslah mendengarkan

terlebih dahulu pendapat dari kedua calon mempelai yang akan

melaksanakan perkawinan tersebut.63

Kemudian berdasarkan Pasal 6 ayat (2) menerangkan

bahwa, apabila kedua calon mempelai belum mencapai umur 21

tahun, maka untuk melangsungkan perkawinan tersebut haruslah

mendapat izin dari masing-masing kedua orang tua calon

mempelai.64 Hal ini dikarenakan dianggap belum cukup untuk

diakatakan dewasa secara hukum, yang dimana belum dianggap

cakap dalam melakukan tindakan hukum.65

c. Wali

Menurut Pasal 6 ayat (3), (4) dan 5, apabila salah seorang

dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal lain

tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan

perkawinan dapat dimintakan kepada orang tua yang masih hidup

ataupun orang tua yang mampu mengatakan kehendaknya.66

Akan tetapi jika kedua orang tuanya meninggal dunia

ataupun tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin

pelaksanaan perkawinan dapat diperoleh dari wali. Wali yang

dimaksud merupakan seseorang yang memelihara ataupun keluarga

yang mempunyai hubungan darah dalah garis keturunan lurus

63 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (3).

64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2)65 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 330.66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (3)

31

Page 12: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

keatas selama wali terasebut masih hidup dan dapat menyatakan

kehendaknya.67

Akan tetapi berbeda halnya apabila orang tua atau wali

tidak menyatakan pendapatnya, maka calon mempelai dapat

meminta izin pelaksanaan perkawinan ke Pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal. Dan dalam hal ini Pengadilan baru dapat

memberikan izin pelaksanaan perkawinan tersebut harus

mendengar pendapat orang tua ataupun walinya terlebih dahulu.68

3.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Berikut syarat sahnya perkawinan yang harus terpenuhi saat

ingin melaksanakan perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

yang tercantum pada Pasal 14. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum

Islam ini menyebutkan lima rukun perkawinan yang dijadikan sebagai

syarat sahnya perkawinan, yakni sebagai berikut :

a. Calon Mempelai

Calon mempelai terdiri dari seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai diatur

dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18.

Menurut pasal 15, kedua calon mempelai telah mencapai

umur yang di tetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, yakni calon suami minimal berusia 19

tahun dan calon isteri minimal berusia 16 tahun.69 Akan tetapi

67 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (4)68 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (5)69 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1)

32

Page 13: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

apabila calon mempelai yang berusia belim mencapai 21 tahun

harus mendapatkan izin pelaksanaan perkawinan dari orang tua,

wali ataupun pengadilan.70

Menurut Pasal 16 dan 17, pelaksanaan perkawinan harus

berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai.71 Persetujuan dari

calon mempelai wanita dapat berupa penyataan tegas disertai

dengan tulisan, lisan atau isyarat. Dan apabila calon mempelai

wanita hanya diam saja berarti calon mempelai wanita setuju

dengan pelaksanaan perkawinan tersebut. Dikarenakan dalam hal

ini sikap calon mempelai tersebut dianggap tidak ada penolakan.72

Selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan, para

pegawai pencatat nikah terlebih dahulu menanyakan persetujuan

dua calon mempelai dengan didampingi oleh 2 orang saksi nikah.73

Dan apabila salah satu calon mempelai tidak menyetujuinya, maka

pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan.74

Apabila dalam hal ini calon mempelai menderita tuna wicara atau

tuna rungu persetujuan dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat

yang dapat dimengerti.75

Dan ketentuan yang lebih penting bagi para calon mempelai

yakni tidak ada hubungan larangan perkawinan antara calon

mempelai suami dengan calon mempelai isteri.76

70 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (2)71 Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1)72 Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (2)73 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (1)74 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (2)75 Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (3)76 Kompilasi Hukum Islam Pasal 18

33

Page 14: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

b. Wali Nikah

Wali nikah adalah seseorang yang bertindak untuk

menikahkan calon mempelai wanita. Selain itu terdapat dua jenis

wali nikah, yakni wali nasab dan wali hakim. Berikut syarat serta

penjelasan mengenai wali nikah yeng telah diatur dalam Pasal 19

sampai dengan Pasal 23.

1) Wali Nasab

Wali nasab terdiri dari empat kelompok, pertama

kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek

dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat

saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan

keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,

yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan

keturunan laki-laki mereka. Dan keempat, kelompok saudara

laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan

laki-laki mereka. 77

Sehingga dalam hal ini yang diprioritaskan sebagai wali

nikah yakni :78

a) Ayah

b) Kakek Dari Ayah

c) Saudara Laki-Laki Kandung

d) Saudara Laki-Laki Sebapak

e) Keponakan Laki-Laki Dari Saudara Laki-Laki Kandung

77 Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (1)78 Anggi Rosalia, Urutan Wali Nikah Dalam Islam, https://dalamislam.com, diakses pada 19

Oktober 2019.

34

Page 15: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

f) Keponakan Laki-Laki Dari Saudara Laki-Laki Sebapak

g) Paman, Saudara Kandung Ayah

h) Paman, Saudara Ayah Yang Sebapak

i) Sepupu, Keponakan Saudara Kandung Ayah

j) Sepupu, Keponakan Saudara Ayah Yang Sebapak

Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya

sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan

kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,

dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-

syarat wali.79 Akan tetapi berbeda halnya apabila wali nikah

yang paling berhak tidak dapat memenuhi syarat sebagai wali

yang dimana wali nikah tersebut menderita tuna wicara, tuna

rungu atau sudah udzur, maka yang berhak menjadi wali nikah

bergeser menurut urutannya.80

2) Wali Hakim

Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk oleh

Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi

hak serta kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.81

Dalam hal ini wali hakim baru dapat bertindak apabila wali

nasab tidak ada ataupun tidak mungkin dapat dihadirkan karena

tidak mengetahui tempat tinggalnya.82 Akan tetapi apabila wali

79 Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (4).80 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2281 Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b.82 Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (1).

35

Page 16: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

adlal atau eenggan, maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah adanya putusan dari Pengadilan

Agama mengenai wali tersebut.83

c. Saksi Nikah

Saksi nikah merupakan seseorang yang ditunjuk oleh calon

ataupun keluarga yang akan melaksanakan perkawinan untuk turut

hadir dan menyaksikan saat terjadinya akad nikah dan

penandatanganan akta nikah. Berikut uraian pasal-pasal yang

menerangkan mengenai saksi nikah yang terdapat pada Pasal 24

sampai dengan Pasal 26.84

Saksi merupakan salah satu rukun dalam pelaksanaan akad

nikah, yang dimana dalam pelaksanaannya harus dihadiri dua orang

saksi.85 Seseorang yang dapat ditunjuk sebagai saksi yakni seserang

laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatannya serta

tidak menderita tuna rungu atau tuli.86 Kemudian selain itu saksi

tersebut juga harus hadir langsung dalam pelaksanaan akad nikah

untuk menyaksikan secara langsung pelaksanaan perkawinan serta

penandatanganan akta nikah saat dilangsungkannya akad nikah.87

d. Akad Nikah

Akad nikah merupakan kunci dari pelaksanaan perkawinan

itu sendiri.88 Dikarenakan akad nikah adalah upacara keagamaan

83 Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (2).84 Kompilasi Hukum Islam Pasal 24 sampai dengan Pasal 26.85 Kompilasi Hukum Islam Pasal 24.86 Kompilasi Hukum Islam Pasal 25.87 Kompilasi Hukum Islam Pasal 26.88 Mud A.W., Pengertian Dasar Acara Akad Nikah, www.fimela.com, diakses pada 2 Oktober

2019.

36

Page 17: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

untuk menyatakan kesepakatan antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan untuk mengikatkan dirinya dalam suatu ikatan

perkawinan,89 yang diresmikan dihadapan manusia dan Tuhan.90

Berikut pengaturan mengenai akad nikah yang diatur pada Pasal 27

sampai dengan Pasal 29.

Pada saat mengucapkan ijab dan qabul antara wali nikah

dengan mempelai pria harus secara jelas dan beruntun, yang

dimana tidak terdapat selang waktu.91 Seseorang yang berhak untuk

mengucapkan qabul adalah mempelai pria pribadi.92

Namun apabila mempelai pria terdapat dalam keadaan

tertentu, pengucapan qabul dapat diwakilkan dengan cara mempelai

pria memberikan kuasa kepada pria lain dalam bentuk tertulis yang

secara tegas menegaskan bahwa penerimaan wakil atas akad nikah

tersebut adalah untuk mempelai pria.93 Akan tetapi apabila

mempelai wanita serta wali nikahnya merasa keberatan, maka

pelaksanaan akad nikah tersebut tidak dapat dilangsungkan.94

B. Tinjauan Tentang Perkawinan Incest

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Incest merupakan

hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait

hubungan darah.95 Perbuatan Incest pada dasarnya merupakan suatu perbuatan 89 MT Hudha, Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad Nikah, www.eprints.walisongo.ac.id,

diakses pada 2 Oktober 2019, hal. 16.90 Wikipedia, Ijab Kabul, https://id.m.wikipedia.org, diakses pada 2 Oktober 2019.91 Kompilasi Hukum Islam Pasal 27.92 Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (1).93 Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (2).94 Kompilasi Hukum Islam Pasal 30.95 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1990, hal. 435.

37

Page 18: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

yang tidak dapat dibenarkan dan sangat-sangat ditentang, baik oleh agama

maupun hukum positif yang ada di Indonesia. Sehingga banyak sekali

peraturan-peraturan yang melarang terjadinya perkawinan Incest. Dan perlu

diketahui juga bahwa perkawinan Incest merupakan salah satu bentuk

pelanggaran atas syarat materiil relatif, yang dimana terdapat hubungan yang

dilarang kawin antar kedua calon mempelai.96

1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Nasional

Beberapa ketentuan hukum nasional yang menyinggung mengenai

Incest yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam.

1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara khusus

mengenai Hubungan Sedarah atau Incest. Undang-Undang Perkawinan

hanya mengatur mengenai Dasar Perkawinan, Pencegahan

Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan

Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya

Perkawinan Serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban

Antara Orang Tua Dan Anak, Perwakilan, dan Ketentuan-Ketentuan

Lain. Walaupun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur

mengenai Incest secara khusus. Akan tetapi Undang-Undang

Perkawinan mempertegas larangan hubungan Incest pada Pasal 8 yaitu

96 Komariah, Op.cit, hal. 39-40.

38

Page 19: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

menganai larangan perkawinan adanya hubungan darah.97 Hubungan

darah yang dimaksud adalah adanya hubungan sedarah antar calon

mempelai baik dalam garis lurus keatas, kebawah maupun kesamping,

yakni sebagai berikut :

a. Hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah yakni perkawinan

yang dilakukan antara :98

1) Seorang laki-laki dengan ibu kandung,

2) Seorang laki-laki dengan nenek yakni ibu dari ayah kandung

maupun ibu kandung, dan

3) Seorang laki-laki dengan anak kandung

b. Hubungan darah garis lurus menyamping yaitu perkawinan yang

dilakukan antara :99

1) Saudara, yakni dengan saudara seayah dan/atau seibu,

2) Seorang dengan saudara orang tua baik saudara kandung ayah

ataupun saudara kandung ibu, dan

3) seorang dengan saudara neneknya.

Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan tersebut

Incest masuk sebagai salah satu kategori hubungan yang dilarang

untuk melaksanakan suatu perkawinan, yakni antara mereka yang satu

sama lain bertalian keluarga baik dalam garis lurus keatas maupun

garis lurus kebawah baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah

97 Ritna Makdalena M. Arunde, Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Sedarah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Privatum, Volume 6 No. 2, April 2018, hal. 103.

98 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf a.99 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf b.

39

Page 20: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

dan garis lurus menyamping, yaitu hubungan seksual antara orang tua

dengan anak, dan hubungan seksual antara sesama saudara.100.

1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Sama halnya dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi

Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai hubungan

Incest. Akan tetapi hubungan Incest merupakan salah satu hubungan

yang dilarang dalam pelaksanaan perkawinan menurut Kompilasi

Hukum Islam.

Ketentuan mengenai larangan perkawinan Incest tercantum

dalam pasal 39 ayat (1) huruf a sampa dengan huruf c, yang dimana

terdapat 3 macam yang dikategorikan sebagai hubungan Incest, yakni :

a. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya,

yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan antara

seorang anak dengan orang tua kandungnya.101

b. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang merupakan keturunan dari ayah atau ibu, yang dimaksud

adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan seibu kandung ataupun seayah

kandung.102

c. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

saudara yang melahirkannya, yang dimaksud adalah hubungan

seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang

100 Ibid.101 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf a.102 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf b.

40

Page 21: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

perempuan yang merupakan saudara dari ibu kandung ataupun

ayah kandung.103

2. Perkawinan Incest Menurut Hukum Islam

Dalam perkawinan tentu saja terdapat beberapa hal-hal yang

diperbolehkan, dan terdapat pula hal-hal yang tidak diperbolehkan ataupun

yang dilarang. Salah satu hal yang tidak diperbolehkan dalam pelaksanaan

perkawinan adalah adanya hubungan sedarah atau Incest.

Incest Dalam bahasa Arab adalah ghîsyân al-mahârim, sifâh al-

qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang

diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah,104 dikarenakan dalam

hubungan tersebut terdapat kemahraman nasab antara kedua calon

mempelai dan haram hukumnya.

Sejak 14 abad yang lalu Al-Quran sudah mewanti-wanti dan

melarang keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang sedarah apalagi sampai dilaksanakannya perkawinan.

Dalam hal ini Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang

tidak boleh dan dilarang serta haram untuk dinikahi,105 yakni berdasarkan

firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 23 :

م� م� م� ه�� � � م� �� ت خ� م�� خ� ٱ م� ��ا �� �� ت� ��� خ� ٱ م� ��ا �� �� خ� م� م� ه�� ه�� �� خ� م� م� ه�� �� �� خ� م� �م �ه� �� �� �� خ� م� �م ��ا �� �� خ� م� م� ه�� � � م� خ� م� �خ �� �� خ �� ر� م! م� م� ت" اا $� ر% ر�ن م'� ت) �م( م! ت+ى ت�ى , ه� ٱ م� م� م- ت. ه�� ا (� �� خ� م� ت" اا $� ت% م ه�� � � م� �� ت/ 0� ه1� � � ٱ, �ن ر� م�� �م �ه� �� �� �� خ� م� �� خ0 1� خ) �� اى ت� , �

ه ٱخ� م� ت- ه�� خ2 �� خن ت� �ن ت4ي , � ٱ م� م� ت" اا �� خ� �� م5 ت. ه�� ا !� �� خ� م� �خ �� �� 6� ��ا م7 �9ا +� �ن ت� ت� م�� خ� �� :� م%�ا �م� �� خ� , � ت=ان +� �ن ت� ت� م�� خ� �� :� ت�ى , ه� ٱ

م� �ت! (� م) �م? @� �ن �'ا A� � � ٱ, �ن ت= B D� �� E� Fخ G� ��ا ��� ت= تن �خ �� خ� م�� خ� ٱ �ن �خ �� م0�ا �� خ( �� ن�� ��

103 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf c.104 M. Zia Fikri N. B., Studi Analisis Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

(Jinayah) Dan Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012, hal. 1.

105 Rusdaya Basri, Pernikahan Sedarah Dalam Perspektif Hukum Islam, http://www.iainpare.ac.id, diakses pada 8 Oktober 2019.

41

Page 22: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)106

Surat An-Nisa ayat 23 dan terjemahannya tersebut, menjelaskan

siapa saja perempuan yang haram dinikahi. Perempuan itu adalah : (1) Ibu,

(2) Ibu tiri, (3) Anak kandung, (4) Saudara kandung seayah dan/atau seibu,

(5) Bibi dari ayah atau ibu, (6) Keponakan dari saudara laki-laki atau

saudara perempuan, (7) Ibu yang menyusui, (8) Saudara sesusuan, (9)

Mertua (10) Anak tiri dari istri yang sudah diajak berhubungan suami isteri,

(11) Menantu, dan (12) Saudara isteri untuk dimadu.

Berdasarkan terjemahan ayat Surat An-Nisa tersebut dapat diambil

kesimpulan bahwa terdapat tiga kategori perempuan yang haram untuk

dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah, baik hubungan nasab

(keturunan) maupun karena hubungan persusuan. Kedua, karena ada

hubungan pernikahan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri, maupun

anak. Dan ketiga karena status perempuan yang sudah menikah. Sehingga

dari beragam kategori tersebut, subject Incest masuk dalam kategori yang

pertama.

106 TafsirQ, Surat An-Nisa’ Ayat 23, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober 2019.

42

Page 23: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Sehingga dalam hal ini Incest merupakan salah satu hubungan yang

dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan, dan keharaman

hubungan mahram ini bersifat abadi atau selamanya. Hal ini dikarenakan

hubungan Incest tersebut merupakan hubungan yang dilakukan antara ayah

dengan anak, ibu dengan anak, sesama saudara seayah dan/atau seibu yang

dimana masih terdapat berhubungan darah ataupun nasab dan secara

terang-terangan jelas terdapat kemahraman diantaranya. Sehingga

hubungan Incest ini dianggap dapat merusak makna sebenarnya mengenai

ayah, anak, ibu, kakak, adik, paman, bibi dan seterusnya.

Keharaman Incest baik sedarah maupun sepersusuan tampaknya

dipandang sebagai hal yang mudah diterima akal sehat, hal ini berdasarkan

Hadist Riwayat Bukhori :

م خ0 1� خ) �� Fخ G� ر%ي ت= خ ,� �Iا +� Jة �� �� خ� Aم خ� �� ��ا +� Lز تLي �� تن خ� Nت �Oا ت=ه ت�ي ��� ت� م/ �� خ� Q� �� L� �� Aم % � �� Rت ت) �Sا خ, تن خ� /� -� Iخ م� خن �� Aم � � , ��ى 2� Aت � � , Tت �Eم (� �,ى ت= U� ت' �� +� ت�ي �ت خ� -� خ! �� ��� �� ت�ي ت� خ0 1� خ) �� Vت % � �� م� �� خ� �� ��ا م/ -� Iخ م� �Oا �,� T� �Iا +� Q� �� L� �� ت�ي , � �� /� -� Iخ م� �� � � E� �� Aت �خ �� �� Aم � � , ��ى 2� Aت � � م��, �Eم (� T� �Iا +� Aم ,� ��ا $� +� ت/ �� تFي �� خ, ت�ا �� � � E� �� Aت �خ �� ��

) ( . ,-خا)ي Yم �� �خ @� م7ا خ� Z� خ S� �� %� �� م/ -� Iخ م� �Oا �G� (� �?ا +� 5�Gت Fخ G� �� D� �خ '�

“dari Uqbah bin Harits bahwa dia menikahi anak perempuan Ihab bin Azis. Kenudian datang kepadanya seorang perempuan dan berkata, “Sesungguhnya ia telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dia nikahi.” Kemudian Uqbah menjawab, “Aku tidak tahu kalau engkau telah menyusuiku dan engkau tidak pula memberitahuku.” Lalu Uqbah berkendara ke Madinah menemui Rasulullah SAW, dia bertanya kepada beliau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana (lagi) padahal sudah dikatakan (bahwa kalian adalah bersaudara susuan)?” Setelah mendengan ucapan Rosululloh, Uqbah menceraikannya isterinya dan menikahi perempuan”.(HR Bukhari)

Selepas dari keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu susuannya

tadi, maka pernikahan yang telah terjadi itu pun dibatalkan, sehingga

Uqbah menceraikan isterinya karena terdapat kemahraman pada keduanya.

43

Page 24: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

Dari kisah tersebut, kita bisa tahu bahwa pada jaman Rosulullah

mereka sangat amat menjaga pengetahuan mengenai siapa saja yang

bersaudara susuan. Walaupun perbuatan menyusukan anak kepada orang

lain merupakan suatu kebiasaan di Arab pada jaman dahulu, namun

pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga. Sehingga ketika

didapati seseorang melanggar batasan ini, terdapat orang yang segera

memberitahukannya. Sehingga dengan cara beginilah Allah hendak

memberitahukan kepada kita semua betapa pentingnya untuk mengetahui

hubungan kemahraman.

Berdasarkan Hadist Sunan An-Nasa’i No. 3251-Kitab Pernikahan,

Rosululloh juga pernah bersabda :107

� أنس، أ عن ثابت، عن المغيرة، بن سليمان حدثنا قال الله، عبد أنبأنا قال نصر، بن سويد خبرنا A��� A�, �2ى Aت � � , Tم �Eم (� T� �Gا U� �� خي Z� Jم F� ت� خ [� I� خ% ��ا ,� T� �Gا

لزيد " وسلم �ى" �� �� �ها خ� م' خ\ . Vت �خ ,� ت= ت�ي �� E� خ) �� ت�ي ت[ خ� �� Uم �� خي Z� �يا م خ� Iم +� م Iخ �� � خ% �+ا Fة خي Z� T� �Gا بصانعةشيئ3احتىأستأمرربيفقامتإلى . فقالتماأنا رسولاللهصلىاللهعليهوسلميذكرك

A��� A�, �2ى Aت � � , Tم �Eم (� _� �7ا �� من ا خ� Iم خ, T� L� %� �� �ها Fت ت( خ$ �� أمر . بغير فدخل وسلم“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim dari Abdullah bin Abi Bakr dari ayahnya dari’Amrah, ia berkata; saya mendenganr Aisyah berkata; Rosulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda;” apa yang haram karena nasab adalah haram karena persusuan”.

Berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa telah

diharamkan kepada kita untuk menikahi saudara dari satu persusuan yang

sama. Hal ini diperkuat dengan berdasarkan terjemahan Surat An-Nisa’

ayat 23 yang telah disinggung sebelumnuya terkait apa saja yang tidak

boleh sekaligus haram untuk dinikahi.

107 Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal. 77.

44

Page 25: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

C. Tinjauan Tentang Status Anak

Secara etimologis anak diartikan dengan manusia yang masih kecil

ataupun manusia yang belum dewasa. Pengertian anak juga tertulis dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat disimpulkan ialah

keturunan dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan

keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel

telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa

suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti

melahirkan keturunannya.108

1. Status Anak Menurut Hukum Nasional

Didalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

hanya mnyantumkan 2 status anak, yakni anak sah dan anak luar kawin.

1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan hanya menerangkan 2 status anak,

yang dimana terdiri dari anak sah dan anak luar kawin. Pengertian

anak sah menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam 42, yakni

anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah.109 Sedangkan anak luar kawin diatur dalam pasal

43, yang dimana anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar

perkawinan.110

108 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2016, hal. 219.

109 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42.110 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43.

45

Page 26: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

1.2. Kompilasi Hukum Islam

Didalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan

menjadi 2 macam, yakni anak sah dan anak luar kawin yang diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dan 100.

Anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat 2 kategori,

yang pertama yakni anak yang dilahirkan didalam atau akibat dari

adanya perkawinan yang sah.111 Kemudian anak sah menurut

Kompilasi Hukum Islam yang kedua yakni, anak sah merupakan anak

yang lahir dari perbuatan suami dan isteri yang telah melakukan

perkawinan yang sah akan tetapi dibuahi diluar rahim dan setelah itu

dilahirkan oleh isteri tersebut,112 contohnya seperti bayi tabung.

Sedangkan yang dimaksud anak luar kawin menurut Kompilasi

Hukum Islam adalah anak yang lahir diluar perkawinan.113

2. Status Anak Menurut Hukum Islam

Mengenai status anak berdasarkan Hukum Islam hanya menjelaskan

beberapa status anak, yakni anak sah dan anak zina. Anak sah menurut

hukum Islam yakni anak yang lahir didalam perkawinan yang sah dan

fasid. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan yang sah

adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan

berdasarkan hukum Islam tanpa harus mendaftarkan perkawinan tersebut

secara resmi di instasi terkait.114 Sedangkan perkawinan fasid adalah

111 Kompilasi Hukum Islam Pasal 99a.112 Kompilasi Hukum Islam Pasal 99b.113 Kompilasi Hukum Islam Pasal 100.114 Fitiria Nurmalisa, Tugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak), Universitas Islam Negeri Ar-Raniry,Banda Aceh, hal. 52.

46

Page 27: eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/66577/8/BAB II.docx · Web viewTugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang

perkawinan yang dilangsungkan tidak terdapat wali dan saksi, ataupun

saksi yang didatangkan adalah palsu.115

Kemudian anak zina, anak zina sebenarnya hampir sama dengan

pengertian anak luar kawin. Akan tetapi dalam hukum Islam sendiri tidak

mngenal istilah anak luar kawin seperti peraturan perundang-undangan

yang ada di Indonesia saat ini. Menurut Hukum Islam anak zina merupakan

anak hasil pembuahan yang dilakukan diluar perkawinan.

Anak zina dalam hukum islam diklasifikasikan menjadi 2 macam.

Pertama anak zina hasil dari hubungan diluar perkawinan atas dasar suka

sama suka, yang dimana salah satunya atau keduanya sedang terikat

perkawinan, dengan kata lain anak hasil perselingkuhan dengan laki-laki

lain yang bukan suaminya. Kemudian yang kedua adalah anak zina hasil

dari hubungan antara seorang perempuan dan laki-laki diluar perkawinan

yang dilakukan atas dasar suka sama suka.

115 Ibid, hal. 53.

47