II Tinjauan Pustaka Teh
-
Upload
novita-wardani -
Category
Documents
-
view
101 -
download
0
description
Transcript of II Tinjauan Pustaka Teh
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teh (Camellia sinensis)
II.1.1 Definisi Teh
Tanaman teh (Camellia sinensis) berasal dari negeri Cina. Tanaman ini
ditemukan secara tidak sengaja oleh Kaisar Shen Nung (2737 SM). Tahun 780 M,
seorang cendikiawan bernama Lu Yu membukukan temuan-temuannya tentang
manfaat dan kegunaan teh ke dalam sebuah literatur berjudul Cha Cing (Teh
Classic of Tea). Teh umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan
ketinggian antara 200-2000 mdpl, dengan suhu cuaca antara 14-25 0C. Tinggi
tanaman dapat mencapai 9 meter untuk teh Cina dan teh Jawa, sedangkan untuk
teh jenis Assamica dapat mencapai 12-20 meter. Namun untuk mempermudah
pemetikan daun-daun teh sehingga mendapatkan pucuk daun muda yang baik,
maka pohon teh selalu dijaga pertumbuhannya (dipangkas) sampai 1 meter8.
Tanaman teh (Camellia sinensis L. var. assamica) diklasifikasikan sebagai
berikut (Tuminah, 2004):
Devisi : Spermatophyte (tumbuhan biji)
Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas : Dicotylydoneae (tumbuhan biji belah)
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales)
Famili (suku) : Camelliaceae (Tehaceae)
Genus (marga) : Camellia
Spesies (jenis) : Camellia sinensis
Varietas : Assamica
Gambar 2.1 Tanaman Teh (Anonymous, 2008)
Secara umum, teh dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan cara
pengolahannya, yaitu :
a. Black Tea ( Teh Hitam )
Adalah jenis Teh yang dalam pengolahannya, melalui proses fermentasi
secara penuh.
b. Oolong Tea ( Teh Oolong )
Adalah jenis Teh yang dalam pengolahannya hanya melalui setengah
proses fermentasi.
c. Green Tea ( Teh Hijau )
Adalah Jenis Teh yang dalam pengolahannya tidak melalui proses
fermentasi.
II.1.2 Komposisi Kimia Daun Teh Hijau
Secara umum teh hijau, teh hitam dan teh oolong berasal dari jenis
tanaman teh yang sama yakni Camelia sinensis, namun ada perbedaan yang cukup
berarti dalam kandungan polifenolnya karena perbedaan cara pengolahan.
Kandungan polifenol, senyawa antioksidan yang kemudian diyakini berkhasiat
bagi kesehatan, tertinggi diperoleh pada teh hijau, kemudian oolong, lalu disusul
teh hitam.
Daun teh hijau memiliki kandungan 15-30% senyawa polifenol. Teh hijau
diolah melalui inaktivasi enzim polifenol oksidase yang terdapat di dalam daun
teh tanpa mengalami proses fermentasi. Perbedaan dari proses pengolahan teh
tersebut berpengaruh pada kandungan polifenolnya.
Vakuola dalam sel daun teh mengandung zat-zat yang larut dalam air,
seperti katekin, kafein, aneka asam amino, dan berbagai gula. Enzim pengoksida
terdapat dalam sitoplasma yaitu polifenol oksidasi, klorofil, dan karoten
(Alamsyah, 2006). Daun teh mengandung 30-40 % polifenol yang sebagian besar
dikenal sebagai katekin. Komposisi daun teh terkenal sangat kompleks. Lebih dari
400 komponen kimiawi telah diidentifikasi terkandung dalam daun teh. Jumlah
komponen kimiawi ini berbeda-beda tergantung pada tanah, iklim, dan usia daun
teh ketika dipetik (Alamsyah, 2006). Komposisi aktif utama yang terkandung
dalam daun teh adalah kafein, tanin, tehophylline, tehobromine, lemak, saponin,
minyak esensial, katekin, karotin, vitamin C, A, B1, B2, B12 dan P, fluorite, zat
besi, magnesium, kalsium, strontium, tembaga, nikel, seng, dan fosfor. Semakin
tua daun teh semakin banyak mengandung tanin (Fulder, 2004).
Tabel 1. Komposisi Kimia Daun The Hijau
No
.
Komponen Kimia % (b/b) Berat Kering
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kafein
(-) Epikatekin
(-) Epikatekin galat
(-) Epigalokatekin
(-) Epigalokatekingalat
Flavonol
Teanin
Asam glutamate
Asam Aspartate
Arginin
Asam amino lain
Gula
Bahan yang dapat mengendapkan alcohol
Kalium
7.43
1,98
5,20
8,42
20,29
2,32
4,70
0,50
0,50
0,74
0,74
6,68
12,13
3,96
Sumber: Tuminah 2004
II.1.3 Senyawa Aktif dalam Daun Teh Hijau
Teh hijau adalah jenis teh yang dibuat dengan cara menginaktivasi enzim
oksidase dan fenolase yang ada dalam pucuk daun teh segar (Hartoyo, 2003).
Proses pengolahan teh hijau melalui beberapa tahapan yaitu pemanasan,
penggulungan, pengeringan. Menurut Hartoyo (2003) proses pemanasan ini
bertujuan untuk menginaktifkan enzim katekol oksidase. Dengan inaktifnya
enzim tersebut maka tanin yang terdapat dalam daun teh akan tetap utuh dan
tersimpan dalam jaringan tanaman sehingga dengan demikian kadar tanin dalam
teh hijau akan tetap tinggi. Pemanasan diartikan sebagai pelayuan daun dengan
cara penguapan maupun penyangraian.
Jenis polifenol dalam tanaman pada umumnya adalah asam fenolat,
flavonoid, dan tannin (Astawan, 2008). Ada sekitar 4000 jenis polifenol yang
masuk ke dalam grup flavonoid (Seeram dan Nair, 2002).
Flavonoid merupakan hasil metabolit sekunder tanaman yang secara luas
terdistribusikan dalam tanaman. Pengelompokan flavonoid dibedakan berdasarkan
cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut
pola yang berlainan pada rantai C3 (Robinson, 1995). Flavonoid dapat
digolongkan menjadi enam kelas, yaitu flavon, flavanon, isoflavon, flavonol,
flavanol, dan antosianin. Kelas utama flavonoid yang ditemukan di dalam teh
adalah flavanol dan flavonol.
Katekin merupakan kelompok terbesar dari komponen daun teh, terutama
kelompok katekin flavanol. Katekin teh masuk ke dalam kelas flavanol (Hartoyo,
2003). Katekin yang utama dalam teh adalah epicatechin (EC), epicatechin gallate
(ECG), epigallocatechin (EGC), dan epigallocatechin gallate (EGCG). Perubahan
aktivitas katekin selalu dihubungkan dengan sifat seduhan teh, yaitu rasa, warna
dan aroma (Hartoyo, 2003). Katekin teh bersifat antimikroba (bakteri dan virus),
antioksidan, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air
seni, dan menghambat pertumbuhan sel kanker. Katekin merupakan senyawa
tidak berwarna, larut dalam air, serta menyebabkan rasa pahit dan rasa yang tajam
pada seduhan teh (Alamsyah, 2006).
Katekin mudah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh pemaparan
oksigen, panas, dan cahaya. Jika katekin teroksidasi, maka EGCG, ECG, EGC,
dan GC akan mengalami epimerisasi menjadi gallocatechin gallate (GCG),
catechin gallate (CG), gallocatechin (GC), dan catechin (C) (Chen et al., 2001).
Jenis flavonoid yang lain adalah flavonol, tetapi jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan flavanol. Flavonol yang terdapat di dalam teh adalah quercetin,
myricetin, dan kaempferol. Berbeda dengan katekin, flavonol tidak dipengaruhi
oleh enzim polifenol oksidase (Miean dan Mohamed, 2001).
Kadar total empat katekin dalam teh hijau adalah sekitar 25% atas dasar
berat kering. EGCG adalah katekin teh paling berlimpah yakni menyumbang 65%
dari kandungan katekin total dalam teh hijau (Shahidi et al., 2009). EGCG
diketahui juga memiliki aktivitas antioksidatif sangat kuat. Stabilitas katekin
sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu. Menurut penelitian Julian tahun 2011,
semakin tinggi pH dan suhu, maka jumlah katekin pun akan semakin menurun.
Kandungan katekin pada daun teh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Katekin dalam 100 g daun teh
Katekin g/100 g daun
Epigalokatekin
Galoketakin
Epikatekin
Katekin
Epigalokatekin galat (EGCG)
Epikatekin galat
2.35
0.37
0.63
0.35
10.55
2.75
Sumber: Suryatno (2003).
Tanin merupakan fenol yang larut dalam air yang merupakan bagian dari
reaksi fenol dan mempunyai kemampuan untuk mengikat alkaloid, gelatin, dan
protein (Bhatia, 1957 diacu dalam Adisewodjo, 1964). Tanin memiliki sifat fisik
yaitu berbentuk serbuk warna putih, kuning sampai kecoklatan dan berubah
menjadi coklat tua bila kena sinar matahari, mempunyai rasa spesifik (sepat).
Tanin adalah suatu senyawa fenol aktif pada penyamakan kulit dan penyebab rasa
sepet, sebagai senyawa fenol maka tanin memiliki sifat-sifat menyerupai alkohol
yang salah satunya adalah bersifat antiseptik.
Secara kimia, tanin dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terhidrolisis
dan tanin terkondensasi (Hagerman, 2002). Tanin yang dapat dihidrolisis akan
menghasilkan senyawa seperti asam galat, asam elegat, atau asam-asam lainnya.
Sedangkan tanin terkondensasi merupakan tanin yang terjadi karena proses
kondensasi flavonol (Hagerman, 2002). Tanin pada teh merupakan tanin yang
tidak dapat dihidrolisa atau tanin terkondensasi. Tanin tersebut mempunyai sifat
larut dalam air, alkohol, gliserin, aseton, tidak larut dalam eter, benzen, berasa
sepat, berwarna kuning, amorf, ringan dan tidak berbau (Rangari, 2007). Di dalam
air, tanin tersebut akan berbentuk koloid. Apabila airnya diuapkan maka akan
tinggal bubuk yang berwarna merah kecoklatan. Tanin terkondensasi sering
disebut proantosianidin yang merupakan polimer katekin dan epikatekin
(Hedqvist, 2004).
Efek antimikroba didapatkan karena tannin dapat menyebabkan
terbentuknya lapisan pelindung dari koagulasi protein pada mukosa intestinal,
sehingga melindungi vili dari kolonisasi mikroba (Lestari 2009).
Saponin adalah glikosida trirepenoid dan sterol. Saponin merupakan
senyawa yang berasa pahit, berbusa dalam air dan larut dalam air dan alcohol dan
tidak larut dalam eter. saponin dapat menghambat pertumbuhan kanker kolon dan
membantu menjaga kadar kolesterol tetap normal. Saponin tidak bersifat toksik
karena tidak dapat diserap oleh usus.
II.2 UJI ANTIBAKTERI
II.2.1 Antibakteri
Mikroorganisme dapat dihambat atau dibunuh dengan proses fisik atau
bahan kimia. Bahan antimikroba diartikan sebagai bahan yang mengganggu
pertumbuhan dan metabolisme mikroba, sehingga bahan tersebut dapat
menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh mikroba, apabila
mikroorganisme yang dimaksud adalah bakteri, maka antimikroba lebih sering
disebut dengan bahan antibakteri (Pelczar dan Chan, 1986).
Cara kerja bahan antibakteri antara lain dengan merusak dinding sel,
merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam nukleat,
menghambat kerja enzim, serta menghambat sintesis asam nukleat dan protein
(Pelczar dan Chan, 1986).
Kepekaan bakteri terhadap senyawa yang berfungsi sebagai antibiotic
bervariasi. Bakteri gram positif biasanya lebih peka dibandingkan bakteri gram
negatif, meskipun beberapa antibiotik dapat bereaksi atau mempengaruhi hanya
pada bakteri gram negatif, tetapi tidak menutup kemungkinan bakteri gram negatif
Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur berapa besar
potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi
mikrooganisme (Dart, 1996 dalam Ayu, 2004). Berdasarkan sifat toksisitas
selektifnya, ada antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri,
dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh bakteri,
dikenal sebagai aktivitas bakterisidal (Ganiswarna, 1995 dalam Ayu, 2004).
Kepekaan bakteri terhadap senyawa yang berfungsi sebagai antibiotic bervariasi.
Bakteri gram positif biasanya lebih peka dibandingkan bakteri gram negatif,
meskipun beberapa antibiotik dapat bereaksi atau mempengaruhi hanya pada
bakteri gram negatif, tetapi tidak menutup kemungkinan bakteri gram negative.
Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan
kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan
komponen aktibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau
mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatau komponen akan bersifat
mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur
yang digunakan (Bloomfield 1991).
Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat
disebabkan beebrapa factor, antara lain (1) gangguan pada senyawa penyusun
dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membrane sel yang menyebabkan
kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim metabolic pada
permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel.
Kerusakan bakteri merupakan hasil interaksi senyawa antibakteri dengan
bagian tertentu pada sel bakteri (Gilbert 1984). Interaksi senyawa antibakteri
tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri
yang berpengaruh pada pola inaktivasi bakteri. Pada dosis yang tidak mematikan
bakteri akan mengalami luka, terjadi sejumlah perubahan dan kerusakan struktur
sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi fungsi metabolism sel, pada
kerusakan yang parah akan menyebabkan kematian. Bentuk dan besarnya
perubahan atau kerusakan yang parah akan menyebabkan kematian. Bentuk dan
besarnya perubahan atau kerusakan struktur sel dipengaruhi oleh jenis senyawa
antibakteri, jenis bakteri, dan konsentrasi yang digunakan.
II.2.2 Eschericia coli
Eschericia coli atau biasa disingkat E. coli, adalah salah satu jenis spesies
utama bakteri gram negative. Bakteri gram negative adalah bakteri yang tidak
mempertahankan zat warna Kristal violet sewaktu proses pewarnaan gram
sehingga akan berwarna merah bila diamati dengan mikroskop.
Pada umumnya, bakteri yang ditemukan oleh Tehodore Esherich pada
tahun 1885 ini dapat ditemukan dalam usus manusia. Kebanyakan Ecoli tidak
berbahaya, tetapi beberapa dapat mengakibatkan keracunan makanan yang serius
pada manusia yaitu diare berdarah.
E. coli merupakan bakteri fakultatif anaerob, kemoorganotropik,
mempunyai tipe metabolism fermentasi dan respirasi. Pertumbuhan baik pada
suhu optimal 37o C. secara garis besar klasifikasi bakteri E. coli berasal dari Filum
Proteobacteria Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia
Enterobacteriaceae, Genus Eschericia, Spesies Eschericia coli. Secara morfologi
E. coli berbentuk batang pendek, gemuk, gram negative.
Bakteri E. coli sebenernya sangat mudah dijumpai pada tempat kotor dan
biasanya bakteri ini terdapat pula pada kotoran makhluk hidup tak terkecuali
kotoran manusia. Untuk air kotor yang telah terkontaminasi dan tidak bersih
seperti air kotor akibat pencemaran air limbah domestic dan industry, biasanya
juga memiliki kandungan bakteri E. coli.
Penyakit yang mungkin akan muncul akibat dari adanya bakteri ini adalah
jenis-jenis penyakit yang dapar menular dengan mudah dari satu orang ke orang
lain seperti muntaber, dan mual-mual.
2.2.3 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang
menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora
dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan
diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC
dengan waktu pembelahan 0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal
manusia. Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit.
Keberadaan S. aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang
menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier.
Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena adanya
perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan menggunakan steroid
atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi pelemahan inang.
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi,
diantaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits[1]. Sebagian
besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena
itu bakteri ini disebut piogenik[1]. S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu
enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim
yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal[1]. Koagulase
diasosiasikan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin yang disebabkan
oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang
kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat