II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Pengolahan teh hijau pada dasarnya dilakukan secara...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Pengolahan teh hijau pada dasarnya dilakukan secara...
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Botani Pegagan
Di Indonesia, penyebaran pegagan sangat luas, terbukti dari
banyaknya nama yang melekat pada tanaman ini. Penamaan tersebut tentu
sesuai dengan daerahnya. Namun, dalam kalangan ilmiah, pegagan
mempunyai nama Centella asiatica dengan susunan klasifikasi sebagai berikut
(Lasmadiwati et al., 2004)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledonae
Bangsa : Umbilales
Suku : Umbilliferaceae
Marga : Centella
Jenis : Centella asiatica L. Urban
Di Indonesia, tumbuhan ini mempunyai banyak nama lokal antara lain
daun kaki kuda, pegagan; gagan-gagan, ganggangan, kerok batok,
pantegowang, panigowang, rendeng (Jawa); antanan gede, calingan rambat
(Sunda); kostekosan (Madura); dau tungke-tungke (Bugis); kori-kori
(Halmehera). Di Inggris disebut pennywort (Heyne, 1987).
Winarto dan Surbakti (2003) menyatakan bahwa pegagan (Centella
asiatica L. Urban) tumbuh merayap menutupi tanah, tidak berbatang, tinggi
tanaman antara 10-50 cm. Daun pegagan berwarna hijau, tunggal berkeriput,
rapuh, memiliki daun satu helai tersusun dalam roset akar dan terdiri dari 2-10
helai daun, tangkai daunnya memiliki panjang 2-10 cm, dengan pangkal
tangkai melebar serupa seludang, helai daun berbentuk ginjal dengan diameter
1-7 cm, berwarna hijau kelabu, umumnya dengan tujuh tulang daun yang
menjari, pangkal helai daun berlekuk, ujung daun membundar, pinggir daun
bergerigi, pinggir pangkal daun bergigi, permukaan daun umumnya licin,
tulang daun pada permukaan bawah agak berambut, stolon dan tangkai daun
berwarna kelabu, berambut halus (Depkes RI, 1977).
Lasmadiwati et al. (2003) menyebutkan bahwa pegagan diperkirakan
ada beberapa jenis. Jenis pegagan yang telah dibudidayakan dan
diperdagangkan saat ini berdasarkan ukurannya adalah pegagan besar dan
pegagan kecil. Menurut (Januwati dan Muhammad, 1992) tanaman pegagan
yang telah berumur 3-4 bulan sudah dapat dipanen dengan cara memangkas
daun tanaman tersebut dengan selang sekitar dua bulan sekali. Pemanenan
dilakukan terhadap pegagan yang berdaun segar, berukuran cukup lebar dan
tidak terserang hama atau penyakit. Waktu pemanenan yang terlalu cepat
sebaiknya tidak dilakukan karena pembentukan zat-zat yang terkandung di
dalam pegagan belum sempurna (Winarto dan Surbakti, 2003)
Gambar 1. Tanaman pegagan
Sumber: tanamandanobat.blogspot.com/2009
B. Syarat Tumbuh
Menurut Santa dan Prajogo (1992), pegagan berasal dari Asia Tropik
dan kemudian tersebar di berbagai negara, misalnya Filipina, Madagaskar,
Srilanka, India dan Indonesia. Widowati et al. (1992) menambahkan bahwa
tumbuhan ini merupakan tumbuhan iklim tropik yang tumbuh di dataran
rendah sampai ketinggian 2500 m dari permukaan laut (dpl) di tempat-tempat
terbuka, pada tanah yang lembab dan subur, misalnya di padang rumput,
tegalan, tepi parit, di antara batu-batu, di tepi-tepi jalan, dan tembok. Winarto
dan Surbakti (2003) menyatakan bahwa kelembaban udara yang diinginkan
pegagan antara 70-90% dengan rata-rata temperatur udara antara 20-25oC dan
tingkat kemasaman tanah (pH) netral antara 6-7.
Tanaman pegagan tumbuh baik di tempat dengan naungan yang
cukup. Pada tempat seperti ini, tanaman akan tumbuh dengan helaian daun
lebih besar dan tebal di banding di tempat terbuka, sedang pada tempat yang
terlalu kurang cahaya, helaian daun akan menipis dan berwarna pucat. Selain
itu, untuk memperoleh daun yang lebar diperlukan kelembaban dan kesuburan
tanah yang cukup ( Januwati dan Muhammad, 1992).
C. Kandungan dan Manfaat Pegagan
Tanaman pegagan mengandung banyak zat kimia yang bermanfaat
bagi manusia. Menurut Barnes et al. (2002), kandungan kimia pegagan terbagi
menjadi beberapa golongan, yaitu asam amino, flavonoid, terpenoid, dan
minyak atsiri. Asam amino terdiri atas sejumlah besar alanin dan serine,
amino butirat, aspartat, glutamat, histidin, lisin, dan threonin, sedangkan
flavonoid terdiri atas quercetin, kaempfrenol dan bermacam-macam glikosida.
Terpenoid khususnya triterpenoid, yang ternyata merupakan kandungan utama
dalam pegagan, terdiri atas asiatikosida, sentelosida, madekasosida,
brahmosida dan brahminosida (glikosida saponin), asam asiaticentoic, asam
centellic, asam centoic dan asam madekasat.
Menurut Sjamsuhidajat dan Nurendah (1992), terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi kadar zat kandungan kimia dalam tanaman yang antara
lain adalah habitat, pemupukan, dan umur tanaman. Darusman et al. (2003)
menambahkan bahwa bahan aktif tanaman dikendalikan oleh kemampuan
metabolisme tanaman yang dipengaruhi oleh faktor dan lingkungan.
Triterpenoid adalah senyawa tumbuhan dengan kerangka karbon yang
berasal dari enam satuan isoprena, CH2 = C(CH3) – CH = CH2, dan secara
biosintetis diturunkan dari hidrokarbon C30, yaitu skualena. Triterpenoid
merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi, dan
aktif optik, yang umumnya sulit dicirikan karena tidak ada kereaktifan
kimianya. Triterpenoid sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi empat
golongan senyawa, yaitu terpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida
jantung (Harborne, 1987). Asiatikosida yang merupakan salah satu jenis
triterpenoid adalah turunan dari α-amyrin yang sangat efektif untuk
penyembuhan lepra (Vickery dan Vickery, 1981). Asiatikosida berfungsi
meningkatkan perbaikan dan penguatan sel-sel kulit, stimulasi pertumbuhan
kuku, rambut, dan jaringan ikat. Dosis tinggi dari glikosida saponin akan
menghasilkan efek pereda rasa nyeri, juga mempengaruhi collagen (tahap
pertama dalam perbaikan jaringan) misalnya dalam menghambat produksi
jaringan bekas luka yang berlebihan (www.indomedia.com, 2004).
Barnes et al. (2002) menyatakan bahwa minyak atsiri yang ditemukan
terdiri atas berbagai macam terpenoid, termasuk -caryophyllen, tran- -
farnesen, dan germacrena D (seskuiterpen) yang merupakan komponen utama,
α-pinene dan -pinene. Selain golongan-golongan tersebut, ada kandungan
lain dalam pegagan, yaitu alkaloida hidrokatilina, valerin, beberapa asam
lemak seperti asam linolenat, asam linoleat, lignosen, asam oleat, asam
palmitat dan asamstearat, fitosterol seperti kampesterol, sitosterol, dan
stigmasterol, resin, dan juga tanin.
Pegagan berasa manis, bersifat mendinginkan, berfungsi
membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing
(diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan
(haemostatika), meningkatkan syaraf memori, antibakteri, tonik, antiplasma,
antiinflamasi, hipotensif, insektisida, antialergi, dan stimulan. Selain itu juga,
pegagan berfungsi meningkatkan perbaikan dan penguatan sel-sel kulit,
stimulasi pertumbuhan kuku, rambut, dan jaringan ikat. Saponin yang ada
menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat
terjadinya keloid) (Lasmadiwati et al., 2004).
Salah satu zat kandungan herbal pegagan adalah vallerin, suatu zat
cair berwarna kuning yang berkhasiat sebagai anti lepra dan anti lues
(Heinerman, 1979). Menurut Tyler (1988), kandungan berkhasiat lainnya
adalah glikosida saponin brahmosida dan brahmosida yang menunjukkan
khasiat sedatif pada hewan percobaan, glikosida yang lain madekasosida
menunjukkan khasiat anti radang dan asiatiosida menstimulasi penyembuhan
luka.
Tanaman itu memang dikabarkan berkhasiat memulihkan sistem kerja
tubuh, menurunkan kolesterol dan gula darah, menstabilkan kerja hormon
tubuh, sehingga bisa membuat seseorang panjang umur, karena kesehatan dan
kebugarannya terjaga (Suriawiria, 2002). Menurut Alina (2004), pegagan
dapat membersihkan darah dari racun-racun tubuh, memperbaiki gangguan
cerna dan menunda keriput. Selain dapat membantu meningkatkan daya ingat,
mental, dan stamina tubuh, pegagan juga dapat membantu menyeimbangkan
energy level, serta menurunkan gejala stess dan depresi. Dari uji klinis di
India, tanaman ini dapat meningkatkan IQ, kemampuan mental, serta
menanggulangi lemah mental pada anak-anak. Penelitian lain membuktikan,
tanaman Centella dapat meningkatkan kemampuan belajar dan memori
seseorang (Intisari, Mei 2001).
D. Teh Hijau
Teh merupakan salah satu jenis bahan penyegar yang telah lama
dikenal di Indonesia. Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) berasal
dari Cina yang merupakan jenis tanaman sub tropis. Teh diperoleh dari hasil
pengolahan pucuk daun teh melalui proses pengolahan tertentu (Tobroni,
2002).
Gambar 2. Tanaman teh
Sumber: http://ichamor.blogspot.com/2009/08/manfaat-teh-hijau.html
Daun teh adalah bahan pembuat minuman teh yang populer di seluruh
penjuru dunia. Air teh yang kita minum mengandung kafein, teofilin, vitamin
A, B, C, zat yang tidak larut dalam air seperti serat, protein dan pati serta zat
yang larut di dalam air seperti gula, asam amino dan mineral. Jadi selain
sebagai minuman, teh juga mempunyai nilai gizi (Sardjono O. Santoso, 1997).
Teh mengandung berbagai jenis senyawa, terutama alkaloid, yang
apabila terdapat dalam jumlah banyak akan menimbulkan rasa yang
menyegarkan. Komposisi kimia dalam daun teh sangat mempengaruhi
terhadap mutu teh yang dihasilkan. Hal ini disebabkan pengaruh reaksi selama
proses pengolahan. Komponen-komponen ini akan berpengaruh langsung
terhadap inner quality (warna, kesegaran, dan flavour) seduhan teh tersebut.
Daun teh mengandung komponen karakteristik tertentu dan dalam jumlah
tertentu yang dapat membedakannya dengan jenis tanaman lainnya (Arifin,
1994).
Teh hijau merupakan hasil olahan pucuk dari pucuk teh yang tidak
mengharapkan terjadinya proses fermentasi pada pucuk. Proses fermentasi
dapat dihindarkan dengan menginaktifkan enzim yang berperan dalam proses
fermentasi, yaitu enzim polifenol oksidase, dengan cara memberikan suhu
tinggi pada proses awal, yaitu pada proses pelayuan (inaktivasi enzim).
Pengolahan teh hijau pada dasarnya dilakukan secara bertahap, yaitu proses
pelayuan (inaktivasi enzim), penggulungan, pengeringan pertama,
pengeringan kedua dan proses sortasi kering, yang kemudian dilanjutkan
dengan pengemasan dan penyimpanan produk. Tidak adanya proses
fermentasi pada pengolahan teh hijau memberikan nilai lebih pada teh hijau,
karena kandungan zat-zat yang bermanfaat pada daun teh tidak berubah
selama proses pengolahan teh hijau. Zat-zat tersebut memberikan khasiat yang
melimpah pada dunia kesehatan (Muhilai, 1997)
Untuk mendapatkan teh hijau yang berkualitas baik, diperlukan
pelaksanaan proses pengolahan yang benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip
pengolahan teh hijau (Arifin, 1994). Prinsip-prinsip pengolahan tersebut
adalah :
1. Pucuk harus segera diolah
Dalam pengolahan teh hijau, katekin tidak boleh mengalami
perubahan akibat terjadinya oksidasi sebelum dan selama proses
pengolahan. Proses oksidasi dapat mengakibatkan warna air seduhan
menjadi merah. Hal yang serupa akan terjadi pula pada pucuk yang
dimalamkan atau pucuk yang panas akibat terjadinya penghamparan pucuk
yang tidak merata atau terlalu tebal.
2. Inaktivasi enzim polifenol oksidase
Inaktivasi enzim polifenol oksidase dilakukan untuk mencegah
terjadinya proses fermentasi yang tidak diinginkan pada pengolahan teh
hijau. Inaktivasi enzim dilakukan dengan cara pemberian panas yang tinggi
pada proses pelayuan.
3. Pememaran daun dan pemerasan cairan sel
Pememaran daun dan pemerasan cairan sel yang terjadi selama
proses penggulungan harus berlangsung secara maksimal sehingga cairan
sel menempel pada permukaan daun. Cairan sel yang menempel pada
permukaan daun teh akan larut dalam air seduhan dan akan menentukan
tingkat kualitas teh hijau yang dihasilkan.
4. Pemekatan cairan sel dan penurunan kandungan air
Serat mampu menurunkan kadar kolesterol darah. Begitu juga
dengan polifenol pada teh, dipercaya dapat mencegah terjadinya kanker
karena berperan sebagai antioksidan. Jumlah serat atau teh yang mesti
dikonsumsi harus diketahui. Jika berlebihan, tentu akan mengganggu
penyerapan beberapa mineral. Serat misalnya, dapat mengikat Fe, Ca, dan
Zn. Sementara itu untuk teh tampaknya perlu diwaspadai. Untungnya, pada
teh hijau senyawa polifenolnya masih banyak, sehingga kita masih dapat
meningkatkan peranannya sebagai antioksidan. Teh mengandung tanin yang
dapat mengikat mineral. Untuk itu sebaiknya minum teh tidak dilakukan
bersamaan dengan makan, tetapi sekitar 2 - 3 jam sesudahnya.
Komposisi kimia daun teh sangat berpengaruh terhadap mutu teh
yang dihasilkan sebagai akibat pengaruh reaksi-reaksi kimia yang terjadi
selama proses pengolahan berlangsung. Adapun komposisi kimia daun teh
terdiri dari bahan-bahan anorganik, ikatan-ikatan nitrogen, karbohidrat dan
turunannya, polifenol, pigmen, enzim dan vitamin. Komponen-komponen
tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu teh yang dihasilkan terutama
pada warna, flavor, ’strength’ dan rangsangan seduhan teh (Eden, 1976).
Harler (1963) menambahkan bahwa katekin merupakan komponen
yang penting dari teh dan berperan terhadap warna, rasa getir dan
karakteristik rasa seduhan. Menurut Eden (1976), daun teh mengandung
komponen penting yaitu kafein, senyawa-senyawa fenolik dan aroma.
Senyawa aroma teh tersusun dari senyawa-senyawa minyak atsiri (essential
oil). Senyawa polifenol akan mengalami perubahan kimia menjadi beberapa
seri senyawa yaitu turunan asam-asam galat dan katekin. Turunan asam
galat yang paling terkenal yaitu senyawa tanin. Seyawa ini sangat
memegang peranan penting dalam penentuan mutu teh, karena hasil
kondensasi dari oksidasi tanin akan menentukan “briksness”, “strength” dan
warna air seduhan teh.
E. Jeruk Purut
Jeruk purut merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu
anggota suku jeruk-jerukan (Rutaceae), sub famili Aurantioidae, genus Citrus,
sub genus Papeda, dan spesies Citrus hystrix. Daun jeruk purut berbentuk
bulat telur, ujungnya tumpul dan bertangkai satu. Tangkai daun bersayap lebar
dan bentuknya hampir menyerupai daun. Warna daun hijau kuning, baunya
beraroma sedap (Sarwono, 1986).
Daun jeruk purut mengandung zat tanin (1,8%), steroid triterpenoid
dan minyak atsiri (1-1,5% v/b). Sementara kulit buahnya mengandung zat
saponin, tanin (1%), steroid triterpenoid dan minyak atsiri yang mengandung
sitrat (2-2,5% v/b). Khasiat daun jeruk purut yaitu sebagai stimulan dan
penyegar (http://www.republika.co.id/, 2005).
Gambar 3. Daun jeruk purut segar
Sumber: http://kamusdapurku.blogspot.com/2008_05_01_archive.html
F. Stevia
Stevia merupakan tanaman berbentuk perdu (semak), tingginya antara
60 – 90 cm dengan panjang daun 3 – 7 cm dan memiliki banyak cabang.
Batang stevia bentuknya lonjong, ditumbuhi oleh bulu-bulu yang halus.
Demikian pula tepi daunnya yang bergerigi tampak halus.bentuk daun stevia
lonjong, langsing dan duduk berhadapan. Tanaman stevia dapat tumbuh
dengan baik di tanah latosol yang berwarna merah pada ketinggian 500 – 1500
meter dari permukaan laut (Lutony,1993).
Stevia merupakan genus yang terdiri daripada 150 spesies herba dari
keluarga bunga matahari (Astereacea). Ditemukan secara resmi pada abad ke-
19 oleh Dr. Moises Santiago Bertoni. Stevia merupakan tanaman yang berasal
dari daerah tropika dan sub tropika di Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Stevia yang digunakan secara meluas sebagai pemanis ialah stevia dari spesies
Rebaudiana yang juga dikenal sebagai sweetleaf, sugarleaf ataupun sweet
herb. Bahan aktif yang terkandung didalamnya dikenal sebagai steviol
glykosides yang mengandung stevioside dan rebaudioside. Bahan aktif ini
stabil pada suhu tinggi, nilai pH yang stabil dan tidak merangsang tindak
balasglycemic. Ciri paling unik mengenai stevia yaitu merupakan pemanis
yang tidak mengandung kalori. (www.bio-asli.com/herb/stevia.asp)
Gambar 4. Tanaman Stevia
Sumber: http://blog.teachable.net
Tanaman stevia dikenal pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1977,
dan telah dicoba pembudidayaanya di beberapa daerah seperti Tawangmangu,
Sukabumi, Garut,dan Bengkulu dengan ketinggian sekitar 1000 meter di atas
permukaan laut. Berdasarkan penelitian Atmoko (2001) bahwa pemberian
gambut tanah latosol berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan
terhadap tinggi tanaman, bobot basah dan kering tajuk dan akar tidak
berpengaruh nyata. Media tanah gambut 100% dapat meningkatkan
kandungan gula (10.06%) pada daun stevia, dibandingkan dengan 0 % gambut
(7.91%).
Daun tanaman stevia rebaudiana mengandung campuran dari diterpen,
triterpen, tanin, stigmasterol, minyak yang mudah menguap dan delapan
senyawa manis diterpen glikosida (Crammer, 1980). Stevia rebaundiana
mengandung delapan glikosida diterpen yang menyebabkan daun tersebut
terasa manis, yaitu steviosida, steviol biosida, rebaudiosida A - E dan
dulkosida A.
Menurut Kinghorn (1985), stevioside memiliki kemanisan kira-kira
300 kali lebih manis dari sukrosa pada konsentrasi 0.4%, 150 kali lebih manis
dari sukrosa pada konsentrasi 4% dan 100 kali lebih manis dari sukrosa pada
konsentrasi 10%. Sementara itu siklamat, pemanis sintesis kontroversial yang
masih digunakan, ternyata hanya mempunyai tingkat kemanisan antara 30-80
kali dari tingkat kemanisan sukrosa. Aspartam juga termasuk pemanis sintesis
kontroversial dan sering digunakan, tingkat kemanisan antara 100-200 kali
kemanisan sukrosa. Dengan kata lain, tingkat kemanisan gula stevia lebih
unggul apabila dibandingkan dengan siklamat atau aspartam yang selama ini
banyak dipakai sebagai pemanis produk makanan dan minuman (Sudarmaji,
1982).
Hasil uji organoleptik yang dijelaskan oleh Lutony (1993) bahwa
setiap 0,1 gram pemanis stevia setara dengan 20 gram sukrosa (gula putih)
pada minuman teh manis tanpa mengurangi rasa kesukaan, sedangkan pada
minuman ringan yang mengandung essence jeruk dan juga frombosen untuk
penggunaan 2 gram pemanis stevia setara dengan 4 gram gula putih.
Stevia efektif meregulasi gula darah dan ke depannya membuat
normal. Stevia juga memberi efek berbeda pada orang bertekanan darah
rendah dan tekanan darah normal. Dia juga menghambat pertumbuhan bakteri
dan organisme yang menyebabkan infeksi, termasuk bakteri yang
menyebabkan gangguan gigi dan penyakit gusi. Stevia dapat menurunkan
berat badan dan mengatur berat badan karena dapat mereduksi makanan
bergula dna berlemak. Stevia dapat mengatur mekanisme rasa lapar seseorang
yang membuat kontraksi pada perut agar rasa lapar datang lebih lambat.
Keuntungan lain dari penggunaan stevia adalah dapat meningkatkan
kemampuan lambung dan daya cerna pencernaan untuk mengurangi resiko
pada perokok dan peminum.
Stevia merupakan sumber alternatif yang berpotensial untuk
menggantikan pemanis buatan seperti sakarin, aspartam. Stevioside tidak
seperti pemanis rendah kalori lainnya, karena bersifat stabil terhadap suhu dan
memiliki pH antara 3-9 (Anonim, 2004).
G. Gambaran Umum Produk Teh Celup
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh
Pusat Standardisasi Industri Deperindag, terdapat deskripsi mengenai teh
hitam dan teh hijau celup. Dalam SNI 01-3753-1995, deskripsi dari teh hitam
celup adalah teh kering hasil fermentasi pucuk dan daun muda termasuk
tangkainya dari tanaman teh, dan dikemas dalam kantong khusus untuk
dicelup. Dalam SNI 01-4324-1996, deskripsi dari teh hijau celup adalah teh
kering yang dihasilkan tanpa proses fermentasi dari pengolahan pucuk daun
muda tanpa penambahan bahan makanan lainnya dari tanaman teh (Camellia
sinensis), dan dikemas dalam kantong khusus untuk dicelup.
Secara prinsipnya proses produksi teh celup sama dengan proses
produksi teh lainnya, sesuai dengan jenis teh yang diperlukan. Perbedaan
hanya terletak pada bentuk atau ukuran teh yang digunakan, dimana
pembuatan teh celup sebenarnya dilakukan dengan menggunakan proses
pengepakan dari proses produksi teh dasar. Dalam proses produksi teh celup,
teh yang digunakan adalah teh yang telah dipotong-potong dengan ukuran
kecil dan halus. Perlu diketahui bahwa teh yang dipotong-potong menjadi
ukuran kecil dan halus berbeda dengan apa yang disebut dengan Tea Dust.
Tea Dust adalah teh yang berkualitas rendah karena merupakan sisa-sisa dari
teh remukan, sedangkan untuk teh celup adalah teh yang secara sengaja
dipotong-potong hingga ukurannya halus.
Teh celup merupakan produk olahan yang dikemas dalam kemasan
kantung (bag) yang terbuat dari filter paper dan dapat disajikan secara cepat
dan instan (Fauzi, 2001). Pada proses lini produksi teh celup dimulai dengan
pencampuran (blending) dua komponen, yaitu komponen utama dan pengisi.
Komponen utama adalah teh dengan mutu baik dan jumlah yang lebih banyak,
biasanya berasal dari tingkat mutu (grade) superior seperti pekeo fanning dan
orange pekeo.
Proses pembuatan teh celup dilakukan dengan melanjutkan proses
pengepakan dari produksi teh dasar. Hasil produksi teh dasar dihaluskan agar
memudahkan dalam pelarutan, baru kemudian dikemas dalam kantung kertas
kecil berpori sehingga mudah dilalui air. Pengemasan dibantu oleh mesin
otomatis dan kemudian secara otomatis pula mesin tersebut memasang benang
pada kantung.
H. Perkembangan Produksi Teh Celup Indonesia
Dalam perkembangannya, industri pengolahan teh ini nampaknya
memperlihatkan kemajuan yang sangat berarti. Selain mengolah daun teh
yang dipetik dari perkebunan menjadi teh kering, dewasa ini telah terdapat
beberapa industri pengolahan teh yang memerlukan diversifikasi produk
seperti teh celup (tea bag).
Indonesia merupakan salah satu produsen utama teh kering, namun
pada kenyataanya industri pengolahan teh belum mampu berkembang di pasar
ekspor. Masalah utama yang dihadapi oleh industri teh celup untuk dapat
menembus pasar ekspor yaitu standar kemasan yang cukup tinggi. Importir
umumnya mengharapkan kemasan yang sesuai dengan keinginan permintaan
pasar mereka. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh beberapa produsen
Indonesia karena mereka harus melakukan penambahan investasi.
Tabel 1. Produksi Teh dan Teh Celup Indonesia Tahun 1996-2000
Tahun Produksi Teh
(ton)
Produksi teh Celup
(ton)
Persentase Produksi Teh
Celup (%)
1996 132.000 11.610 8,79
1997 121.000 11.987 9,91
1998 132.700 13.497 10,17
1999 130.465 43.569 33,39
2000 127.902 44.583 24,86
Sumber: Asosiasi Teh Indonesia dan Departemen Perindustrian (2006), diolah.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui perkembangan produksi teh
dan produksi teh celup di Indonesia dari tahun 1996-2000. Produksi teh
terbesar diperoleh pada tahun 1998 yaitu sebesar 132.700 ton. Sedangkan
produksi teh celup terus mengalami peningkatan yang teratur dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2000 produksi teh celup mencapai sekitar 34% dari
produksi teh.