II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa...

15
5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi karang Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan yang secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur. Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals, yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari. Karang batu atau karang keras merupakan anggota Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa dengan ciri utama adalah siklus hidupnya hanya mempunyai stadium polip berbentuk seperti bunga. Kelas Anthozoa terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia dan Octocorallia, keduanya dibedakan oleh sistem morfologi dan fisiologi. Konstruksi terumbu karang pada umumnya dibentuk oleh hewan karang pembangun terumbu atau disebut juga dengan karang hermatipik yang mampu membentuk membentuk kerangka kapur (aragonite) yang masif. Kelompok karang hermatipik pada umumnya adalah anggota Ordo Skleraktinia dari Subkelas Hexacorallia yang merupakan karang batu yang sebenarnya. Dua spesies dari karang hermatipik adalah anggota Ordo Octocorallia (Tubipora musica dan Heliopora coerulea) serta beberapa spesies dari kelas Hydrozoa. Kelompok

Transcript of II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa...

5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2.1.1 Biologi karang

Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari

kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan

dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium

karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang

adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan

maupun tumbuhan yang secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat

dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung

membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur.

Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu

karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang

ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik

dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan

cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal

sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat

membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals,

yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari.

Karang batu atau karang keras merupakan anggota Filum Cnidaria, Kelas

Anthozoa dengan ciri utama adalah siklus hidupnya hanya mempunyai stadium

polip berbentuk seperti bunga. Kelas Anthozoa terdiri dari dua Subkelas yaitu

Hexacorallia dan Octocorallia, keduanya dibedakan oleh sistem morfologi dan

fisiologi. Konstruksi terumbu karang pada umumnya dibentuk oleh hewan karang

pembangun terumbu atau disebut juga dengan karang hermatipik yang mampu

membentuk membentuk kerangka kapur (aragonite) yang masif. Kelompok

karang hermatipik pada umumnya adalah anggota Ordo Skleraktinia dari Subkelas

Hexacorallia yang merupakan karang batu yang sebenarnya. Dua spesies dari

karang hermatipik adalah anggota Ordo Octocorallia (Tubipora musica dan

Heliopora coerulea) serta beberapa spesies dari kelas Hydrozoa. Kelompok

6

karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa zooxanthellae yang berperan

mempercepat proses terjadinya kalsifikasi yang kemudian memungkinkan bagi

karang untuk membentuk koloni-koloni karang yang masif (Sorokin, 1993).

Sorikin (1993) membagi terumbu karang ke dalam empat kelompok,

pengelompokan dilakukan berdasarkan fungsinya dalam membangun terumbu

atau tidak (hermatype-ahermatype) serta ada atau tidaknya alga simbion di dalam

jaringannya (symbiotic-asymbiotic). Keempat kelompok karang tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Hermatypes-symbionts. Kelompok ini merupakan hewan karang

pembangun terumbu karang dan mempunyai alga simbion, terdiri dari

karang-karang yang sebagian besar anggota Skleraktinia, Octocorallia

dan Hydrocorallia.

2) Hermatypes-asymbionts. Kelompok ini merupakan karang dengan

pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif

tanpa bantuan zooxanthella, mampu bertahan hidup di perairan yang

tidak ada cahaya. Kelompok ini terdiri dari Tubastrea dan

Dendrophyllia serta Hydrocorallia spesies Stylaster rosacea.

3) Ahermatypes-symbionts. Kelompok ini terdiri dari genus

Heteropsammia dan Diaseris (Skleraktinia: Fungidae) dan Leptoseries

(Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni

kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok

ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea (soft coral) dan Gorgonacea

yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun koloni

kerangka kapur masif.

4) Ahermatypes-asymbionts. Salah satu anggota kelompok ini adalah

anggota Ordo Anthipatharia dan Corallimorpha (Subkelas

Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.

Polip karang memiliki tiga lapisan tubuh yaitu ektodermis, mesoglea dan

endodermis. Ektodermis merupakan bagian terluar dari polip karang, dibagian ini

terdapat mulut yang sama peranannya sebagai anus. Tentakel yang berada

disekitar mulut memiliki sel mukus dan nematokis yang berperan dalam

7

menangkap mangsa. Makanan yang masuk akan dicerna dengan menggunakan

filament mesentery, kemudian sisa metabolisme akan dikeluarkan melalui mulut

yang juga berfungsi sebagai anus. Mesoglea merupakan jaringan penghubung

antara bagian luar (ektodermis) dan dalam (endodermis/gastrodermis) pada polip

karang. Jaringan ini terdiri atas sel-sel, serta kolagen dan mukopolisakarida. Pada

sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk

rangka luar karang (kalsium karbonat). Pada bagian dalam polip karang,

endodermis atau yang lebih dikenal dengan gastrodermis merupakan tempat

tinggalnya alga zooxanthellae.

Polip karang disokong oleh kerangka kapur yang berperan sebagai

pendukung tegaknya seluruh jaringan. Kerangka kapur ini berupa lempengan-

lempengan yang tersusun radial dan berdiri tegak pada lempengan dasar,

lempengan yang berdiri disebut septa yang tersusun dari bahan organik dan kapur

hasil sekresi polip karang. Struktur polip karang disajikan pada Gambar 1. Pada

umumnya hewan karang hidup menetap, kecuali pada masa larva merupakan

plankton.

Gambar 1. Struktur polip dan kerangka karang (Veron, 1986)

8

2.1.2 Reproduksi karang

Suharsono (1994) menyatakan bahwa karang merupakan kelompok

organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi

sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ

reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen dan pada saat-saat

tertentu organ tersebut terlihat nyata, terutama untuk jenis-jenis karang di wilayah

tropis. Hewan karang dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual, siklus

reproduksi karang disajikan pada Gambar 2.

Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi,

pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi

aseksual, larva produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan secara

geografis terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan

pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual (Rudi, 2006). Pada

reproduksi secara seksual, gemetogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang

tertanam dalam mesenterium. Peristiwa tersebut dapat berlangsung secara tahunan,

namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Reproduksi seksual pada

karang meliputi proses gametogenesis yang membutuhkan waktu beberapa

minggu untuk pembentukan sperma dan beberapa bulan untuk membentuk sel

telur (Rudi, 2006).

Gambar 2. Siklus reproduksi karang (http://www.marineodyssey.co.uk)

9

Cara dan pola reproduksi, perkembangan gonad (gametogenesis), serta

waktu dan puncak reproduksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan

(Rani, 2002). Faktor lingkungan yang mengendalikan reproduksi karang adalah

suhu perairan, pencahayaan, fase bulan dan pasang surut (Harrison dan Wallace,

1990). Menurut Bachtiar (2001) dua jenis karang Acropora melakukan pemijahan

pada Bulan Februari setelah bulan purnama.

Fertilisasi secara genetik sangat unik, menghasilkan larva planula sebagai

plankton dan kemudian akan melekat pada substrat dan memulai kehidupan

sebagai organisme bentik dengan bermetamorfosis dan berkembang menjadi

polip-polip utama. Sementara itu, reproduksi aseksual juga umum ditemukan pada

karang Skleraktinia yang dapat terjadi melalui fragmentasi, pembelahan polip atau

menghasilkan planula secara aseksual (Rudi, 2006). Menurut Richmond dan

Hunter (1990) proses reproduksi aseksual melalui fragmentasi memiliki beberapa

keuntungan, yaitu memiliki larva dengan ukuran besar dan memiliki genotipe

yang telah teradaptasi dengan baik.

Tipe seksualitas karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

gonokhorik (hanya memproduksi satu jenis gamet, jantan atau betina) dan

hermaprodit (mampu menghasilkan gamet jantan dan gamet betina). Menurut

Harrison dan Wallace (1990); Richmond (1997) tipe hermaprodit dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu (1) hermaprodit simultan, satu individu

menghasilkan sel telur dan sel sperma dalam waktu yang bersmaan; (2)

hermaprodit sekuensial. Dibedakan menjadi dua jenis, yaitu protandri (pada

awalnya berperan sebagai jantan, kemudian berubah menjadi betina) dan protogini

(pada awalnya berperan sebagai betina, kemudian berubah menjadi jantan).

Cara reproduksi karang menurut Veron (1986), Harrison & Wallace (1990),

Richmond & Hunter (1990), Richmond (1997), dan McGuine (1998) in Rani

(2002), dapat dibedakan menjadi:

1. Broadcast spawning (memijah): spesies yang melepaskan gametnya

(telur dan sperma) ke dalam kolom air, dan selanjutnya terjadi

fertilisasi eksternal dan kemudian terjadi perkembangan embrio.

10

2. Brooding (mengerami): spesies dengan telur yang dibuahi secara

internal, dengan perkembangan embrio sampai fase planula

berlangsung dalam polip karang. Proses pelepasan planula yang telah

berkembang secara penuh dari polip dikenal dengan istilah planulasi.

Planula yang dilepaskan dari karang brooding langsung memiliki

kemampuan untuk dapat melekat dan bermetamorfosis. Larva hasil pengeraman

secara umum berukuran lebih besar daripada larva yang dihasilkan melalui

spawning, dan pada karang hermatipik larva dilengkapi dengan zooxanthellae

yang berasal dari koloni induk. Hal ini menjelaskan bahwa zooxanthellae

memberi kontribusi metabolisme terhadap larva, yaitu sebagai sumber energi

tambahan untuk penyebaran jarak jauh (Richmond, 1987 in Rani, 2002).

2.1.3 Faktor-faktor pembatas terumbu karang

Pertumbuhan karang pembentuk terumbu sangat tergantung pada kondisi

lingkungan yang ada disekitarnya. Cahaya matahari, suhu, salinitas, sirkulasi

massa air dan arus serta sedimentasi merupakan faktor fisika-kimia perairan yang

dapat mempengaruhi pertumbuhan karang.

Nybakken (1988) menyatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor

pembatas yang penting dalam penyebaran terumbu karang. Cahaya yang cukup

harus tersedia agar fotosintesis zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang

dapat terlaksana. Proses fotosintesis tersebut menyebabkan bertambahnya

produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida. Kondisi ini

menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif

sinar yang masuk.

Menurut Nybakken (1988), perkembangan terumbu karang yang paling

optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25oC. Terumbu

karang memiliki kisaran toleransi terhadap suhu antara 36-40oC. Suhu paling baik

bagi pertumbuhan karang berkisar antara 25-30oC (Sukarno et al, 1983).

Perubahan suhu yang drastis dapat mengakibatkan bleaching karena kehilangan

zooxanthellae dari jaringan karang yang dapat mematikan hewan karang tersebut.

11

Terumbu karang dapat bertahan sampai suhu minimum 15oC dan maksimum 36

oC. Suhu juga dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada karang.

Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan

pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut, yaitu 32-35‰ (Nybakken,

1988). Menurut Birkeland (1997) terumbu karang berkembang dengan baik pada

salinitas air laut mendekati 35‰, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Nybakken (1988) mengutarakan

perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka

daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. Hal yang sama juga

diutarakan oleh McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran air dari

darat dapat membunuh terumbu karang melalui sedimentasi dan penurunan

salinitas air laut.

Arus berperan penting dalam transportasi makanan, larva dan dapat

membersihkan karang dari endapan sedimen. Arus memiliki pengaruh yang besar

terhadap taksonomi dan morfologi dari ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu,

pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibanding perairan yang

tenang. Arus diperlukan untuk ketersediaan aliran makanan dan oksigen serta

membersihkan polip karang dari partikel-partikel yang menempel (Sukarno et al.

1983).

2.2 Kalsifikasi Karang

Kalsifikasi adalah proses yang menghasilkan kapur dan pembentukan

rangka kapur. Syarat terjadinya reaksi pembentukan kapur adalah tersedianya ion

kalsium dan ion karbonat. Ion kalsium yang tersedia di perairan berasal dari

daratan melalui proses pengikisan batuan, sedangkan ion karbonat berasal dari

pemecahan asam karbonat (Timotius, 2003 in Zamani, 2007).

Menurut Suharsono (1984), bahan utama yang digunakan untuk kalsifikasi

adalah hasil metabolisme yang disekresikan oleh zooxanthellae, yang

memungkinkan karang untuk mengikat kalsium (Ca2+

) dari air laut. Pembentukan

kalsium karbonat tergantung kepada kecepatan pemindahan asam karbonat pada

proses kalsifikasi. Pemindahan asam karbonat dilakukan melalui proses fiksasi

12

karbon dioksida oleh zooxanthellae pada saat proses fotosintesis. Asam karbonat

(H2CO3) berubah menjadi ion hidrogen (H+) dan karbonat (HCO3

-) yang dapat

berubah menjadi H2O dan CO2. Molekul 2HCO3-

dalam kolom perairan tidak

stabil, sehingga akan melakukan reaksi dengan mengikat kalsium dan membentuk

Ca(HCO3)2 yang berada dalam keadaan stabil. Apabila reaksi ini berlangsung

cepat, maka keseimbangan reaksi akan bergeser ke kanan dan menghasilkan

CaCO3 + H2CO3. Berikut ini adalah reaksi kimia proses kalsifikasi atau

pembentukan kalsium karbonat.

Kalsium karbonat atau CaCO3 yang terbentuk akan membentuk endapan

menjadi rangka bagi hewan karang, CO2 akan digunakan zooxanthellae untuk

proses fotosintesis. Peranan zooxanthellae sangat besar dalam proses kalsifikasi,

sehingga kecepatan kalsifikasi bervariasi berdasarkan tingkat kedalaman.

2.3 Artificial Reef

Artificial reef atau terumbu buatan merupakan suatu kerangka atau

bangunan fisik yang sengaja ditenggelamkan ke dalam perairan dan diharapkan

dapat berfungsi layaknya ekosistem terumbu karang. Artificial reef berperan untuk

meningkatkan kelimpahan sumberdaya perikanan seperti ikan karang dan biota-

biota ekonomis lainnya. Secara fisik, terumbu buatan dapat berperan sebagai

pelindung pantai, media penempelan karang, tempat berlindung bagi ikan dan

biota-biota laut. D’Itri (1985) mendefenisikan bahwa artificial reef merupakan

suatu ekosistem yang tersusun dari struktur benda-benda keras yang

ditenggelamkan pada dasar perairan yang kurang produktif. Mineral accretion

dapat dikategorikan sebagai artificial reef.

Salah satu jenis terumbu buatan yang paling banyak ditenggelamkan di

Kepulauan Seribu adalah fish shelter yang terbuat dari campuran semen, pasir dan

13

batu. Bentuk fish shelter tersebut bermacam-macam seperti bentuk piramida,

kubus dan parabola. Fish shelter menyediakan lorong-lorong berupa ruang

sebagai tempat ikan untuk berlindung.

Cornelia et al. (2005) menyatakan terumbu buatan memiliki berbagai

macam manfaat dan fungsi, antara lain:

1) Gudang keanekaragaman hayati biota laut.

2) Tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan (feeding

ground), berpijah (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground)

dan tempat berlindung bagi hewan laut.

3) Tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik dan

mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi.

4) Tempat sumber bahan makanan dan obat-obatan.

5) Pelindung pantai dari hempasan ombak.

6) Sumber bangunan dan bahan-bahan konstruksi.

7) Sebagai tempat kegiatan budidaya perikanan.

8) Daerah rekreasi terutama rekreasi bawah laut.

9) Sarana penelitian dan pendidikan.

Lokasi penempatan terumbu buatan sangat berpengaruh terhadap tingkat

keberhasilan. Apabila lokasi penempatan terumbu buatan tidak cocok, maka

hasilnya akan kurang maksimal. Kajian studi kelayakan wilayah perlu dilakukan

sebelum menenggelamkan terumbu buatan.

Lokasi penenggelaman terumbu buatan harus sesuai dengan parameter

fisika-kimia perairan yang mencakup faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang

dan biota lainnya. Nybakken (1988) menjelaskan ada tujuh faktor pembatas bagi

pertumbuhan terumbu karang, antara lain: suhu, kedalaman, cahaya, salinitas,

sedimentasi, substart dan gelombang.

Kriteria kesesuaian lokasi penempatan terumbu buatan disajikan pada

Tabel 1. Bahan terumbu buatan harus memiliki kriteria tahan lama, aman atau

tidak beracun, efektif, fungsional dan ekonomis. Sebaiknya terumbu buatan

14

ditenggelamkan pada area yang telah mengalami degradasi habitat, sehingga

secara perlahan-lahan habitat tersebut mengalami perbaikan.

Tabel 1. Kriteria kesesuaian lokasi terumbu buatan (Wiradisastra et al. 2004

in Corenelia et al. 2005)

No. ParameterSangat Sesuai

[80]

Cukup Sesuai

[60]

Sesuai Bersyarat

[40]

Tidak Sesuai

[1]

1.Kedalaman perairan (m)

[30]7-10

5 - < 7

> 10-15

1 - < 5

> 15-25

< 1

> 25

2.Kemiringan dasar (0)

[10]< 25 25-30 - > 30

3.Oksigen terlarut (mg/l)

[5]> 6 5-6 4 - < 5 < 4

4.Salinitas (ppt)

[5]34-36

30 - < 34

> 36 - 38

26 - < 30

> 38 - 40

< 26

> 40

5.Suhu (0C)

[5]25 – 29

23 - < 25

> 29 – 32

20 - < 23

> 32 – 34

< 20

> 34

6.Kecerahan (%)

[40]> 85 65 – 85 45 – 65 < 45

7.pH

[5]7.5 – 8

6 - < 7.5

> 8 – 95 - < 6

< 5

> 9

Penerapan atau pengaplikasian terumbu buatan dengan menggunakan

teknik mineral accretion harus disesuaikan dengan peruntukannya. Jika teknik

mineral accretion digunakan sebagai media transplatasi karang, maka laju

mineralisasi pada katoda dapat dipercepat.

Berbeda dengan penerapan teknik mineral accretion untuk keperluan

recruitment karang secara alami, proses mineralisasi pada katoda hendaknya

diperlambat. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi proses mineralisasi lebih

cepat daripada pertumbuhan larva karang, sehingga larva karang tidak tertutupi

oleh padatan yang dihasilkan teknik mineral accretion. Arus yang dialirkan pada

katoda harus lebih rendah atau dapat pula dilakukan pemutusan aliran listrik

sementara, guna memberikan kesempatan pada larva karang untuk

menempel/tumbuh.

15

2.4 Mineral Accretion

2.4.1 Definisi mineral accretion

Mineral accretion dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan

padatan mineral dan merupakan salah satu metode untuk pembentukan terumbu

buatan dengan memakai prinsip kalsifikasi. Metode mineral accretion adalah

suatu teknik untuk menghasilkan terumbu buatan dengan cara mengalirkan arus

listrik kepada kerangka besi, sehingga terjadi proses elektrolisis. Proses

elektrolisis ini akan menyebabkan mineral-mineral yang terlarut dalam air laut

dapat didepositkan dalam bentuk padatan pada kerangka besi (Gambar 3). Arus

listrik yang dialirkan melalui katoda dan anoda adalah arus lemah dan cukup

untuk memicu terjadinya proses elektrolisis, sehingga proses reduksi dan oksidasi

terjadi secara berulang-ulang disekitar katoda (Sabater dan Yap, 2004). Terumbu

buatan yang dihasilkan melalui teknik mineral accretion memiliki komposisi yang

sangat mirip dengan terumbu alami yang dihasilkan terumbu karang.

Gambar 3. Padatan mineral yang menempel pada kerangka besi

Foto: Hydrobiology-IPB

Foto: Hydrobiology-IPB

16

Metode mineral accretion menghasilkan bahan penyusun padatan mineral

seperti CaCO3 dan Mg(OH)2 dengan cara menarik keluar mineral yang terlarut

dalam air laut menjadi bentuk padatan. Proses ini dilakukan dengan cara meng-

elektrolisis air laut. Padatan mineral ini bukanlah hasil langsung dari proses

elektrolisis, melainkan hasil sampingan dari dampak perubahan pH di daerah

katoda selama proses elektrolisis air laut berlangsung (Lee, 2002).

2.4.2 Komponen-komponen biorock

Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk teknik mineral accretion

adalah katoda, anoda dan catu daya (Gambar 4). Kerangka modul artificial

mineral accretion memiliki konduktivitas yang tinggi, yang biasa digunakan

adalah terbuat dari logam. Kerangka modul berfungsi sebagai katoda, yang

selanjutnya dihubungkan ke terminal negatif dari catu daya. Terminal negatif

tersebut berperan untuk mensuplai elektron kepada ion-ion yang berada dalam

larutan untuk mendorong terjadinya reaksi kimia. Padatan mineral terbentuk dan

menempel pada kerangka atau elektroda.

Gambar 4. Ilustrasi sistem kerja biorock dan beberapa komponen utama

(Design gambar: Rizaldi)

17

Anoda merupakan elektroda yang dihubungkan dengan terminal pasitif

pada catu daya dan merupakan terminal dimana elektron diambil dari ion-ion di

dalam larutan untuk memfasilitasi reaksi kimia. Material anoda memiliki

ketahanan yang kuat dari proses karatan atau korosi.

Catu daya merupakan komponen yang berperan dalam penyediaan aliran

listrik. Pengaturan terhadap besar kecilnya voltase dan arus yang akan dialirkan

diatur oleh catu daya.

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mineral accretion

Menurut Lee (2002), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses

mineral accretion, antara lain: (1) pH. Proses elektrolisis akan menyebabkan

terjadinya perubahan nilai derajat keasaman laut, dan besarnya akan ditentukan

oleh densitas arus yang dialirkan terhadap kedua elektroda; (2) kelarutan produk.

Berhubungan dengan konsentrasi maksimal suatu larutan dalam perairan, dikenal

dengan istilah tingkat kejenuhan. Apabila tingkat kejenuhan ion terlalu tinggi,

maka akan terjadi reaksi dari fase cair menjadi padatan. Hal ini terjadi karena air

laut tidak mampu untuk mempertahankannya tetap dalam bentuk terlarut; (3)

elektrolisis. Proses ini berhubungan dengan pengembangan gas hidrogen dari

katoda; (4) voltase. Semakin besar beda voltase antara kedua elektroda maka

semakin besar kemungkinan terjadinya reaksi. Perbedaan voltase dan material

elektroda berperan dalam penentuan reaksi kimia yang terjadi. Sebaiknya voltase

yang digunakan adalah sekecil mungkin dan cukup untuk mendorong terjadinya

proses mineral accretion. Besaran voltase yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 12 volt; (5) arus listrik. Bila ada voltase yang menyebabkan terjadinya

reaksi elektrokimia, maka besaran arus yang melewati sirkuit akan menentukan

bayaknya produksi reaksi akhir di dalam sel elektrolisis, seperti gas hidrogen.

Besaran arus yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ampere.

2.5 Recruitment Karang dan Kelulusan Hidup

Coral resistance adalah daya tahan karang dalam beradaptasi atau

mempertahankan hidup terhadap gangguan atau tekanan lingkungan, baik secara

18

alami maupun akibat aktifitas manusia. Recruitment karang merupakan proses dan

peristiwa kemunculan individu-inidividu karang muda yang dihasilkan melalui

reproduksi, kemudian menempel pada substrat dan menjadi bagian dari populasi.

Larva karang membutuhkan substrat yang keras dan kokoh sebagai tempat untuk

menempel, kemudian bermetamorfosis, tumbuh dan berkembang. Sukarno et al.

(1983) menyatakan bahwa substrat yang keras diperlukan karang untuk tempat

melekatnya larva, sehingga memungkinkan untuk pembentukan koloni baru.

Kerangka biorock dapat digunakan larva karang sebagai tempat penempelan.

Kelimpahan recruitment karang keras merupakan salah satu variabel

pengukuran tingkat pemulihan suatu wilayah ekosistem terumbu karang.

Richmond and Hunter (1990), proses recruitment karang merupakan indikator

yang penting untuk regenerasi terumbu karang dan potensi pertumbuhannya.

Proses recruitment itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain

kelimpahan individu karang dewasa baik dari komunitas yang sudah stabil

maupun dari komunitas yang jauh, sirkulasi air laut, tipe substrat, intensitas

pemangsaan, kompetisi dengan makroalga dan sedimentasi.

Pola sirkulasi laut yang kompleks, baik dulu maupun sekarang membentuk

batas-batas biogeografik yang menentukan batas wilayah biogeografik (Veron,

1995). Kualitas lingkungan (kondisi perairan) berperan besar dalam proses

reproduksi karang, recruitment dan juga keberhasilan hidup recruitment. Larva

karang yang telah menempel pada substrat tidak semuanya dapat bertahan hidup

atau berhasil menjadi karang dewasa.

Mekanisme penempelan larva karang diawali dengan melakukan kontak

terhadap substrat. Harrison dan Wallace (1990) melaporkan bahwa proses

pencarian substrat dengan melakukan kontak langsung dapat dilakukan larva

karang secara berulang-ulang sampai menemukan substrat yang benar-benar

cocok. Ketika melakukan kontak dengan substrat, larva karang juga akan

melakukan reaksi dengan biological films (lapisan organisme yang melapisi

permukaan substrat). Samidjan (2005) in Rudi (2006) menyatakan bahwa spesies

bakteri tertentu mampu untuk memicu penempelan larva karang. Hasil

pengamatan suksesi komunitas bentik pada terumbu buatan disimpulkan bahwa

19

bakteri Micrococcus luteus memicu terjadinya penempelan karang jenis

Pocillopora damicornis dan bakteri Marinomonas communis adalah pionir untuk

mendorong terjadinya penempelan karang Acropora tenuis. Richmond (1997)

menjelaskan adanya sinyal kimia antara kelompok crustose coralline algae

tertentu dengan jenis karang tertentu dalam proses kolonisasi tersebut. Apabila

substrat telah cocok dan memiliki biological films, maka planula karang akan

melakukan pelekatan dengan menggunakan permukaan aboral, melepaskan

lapisan matriks organik, kemudian melakukan deposisi rangka karbonat (Rudi,

2006).

2.6 Pola Suksesi pada Biorock

Modul biorock yang ditenggelamkan di dasar perairan akan membentuk

suatu ekosistem tertentu pada waktu tertentu. Proses pembentukan dan

perkembangan ekosistem ekosistem tersebut dikenal dengan suksesi ekologi.

Menurut Irwan (1992) suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pionir oleh jenis-

jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya. Suksesi terjadi

sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan

membutuhkan waktu, proses tersebut berakhir pada sebuah komunitas atau

ekosistem yang klimaks, dimana komunitasnya sudah mengalami homeostasis.