II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa...
Embed Size (px)
Transcript of II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa...

5
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang
2.1.1 Biologi karang
Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari
kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan
dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium
karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang
adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan
maupun tumbuhan yang secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat
dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung
membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur.
Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang
ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik
dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan
cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal
sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat
membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals,
yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari.
Karang batu atau karang keras merupakan anggota Filum Cnidaria, Kelas
Anthozoa dengan ciri utama adalah siklus hidupnya hanya mempunyai stadium
polip berbentuk seperti bunga. Kelas Anthozoa terdiri dari dua Subkelas yaitu
Hexacorallia dan Octocorallia, keduanya dibedakan oleh sistem morfologi dan
fisiologi. Konstruksi terumbu karang pada umumnya dibentuk oleh hewan karang
pembangun terumbu atau disebut juga dengan karang hermatipik yang mampu
membentuk membentuk kerangka kapur (aragonite) yang masif. Kelompok
karang hermatipik pada umumnya adalah anggota Ordo Skleraktinia dari Subkelas
Hexacorallia yang merupakan karang batu yang sebenarnya. Dua spesies dari
karang hermatipik adalah anggota Ordo Octocorallia (Tubipora musica dan
Heliopora coerulea) serta beberapa spesies dari kelas Hydrozoa. Kelompok

6
karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa zooxanthellae yang berperan
mempercepat proses terjadinya kalsifikasi yang kemudian memungkinkan bagi
karang untuk membentuk koloni-koloni karang yang masif (Sorokin, 1993).
Sorikin (1993) membagi terumbu karang ke dalam empat kelompok,
pengelompokan dilakukan berdasarkan fungsinya dalam membangun terumbu
atau tidak (hermatype-ahermatype) serta ada atau tidaknya alga simbion di dalam
jaringannya (symbiotic-asymbiotic). Keempat kelompok karang tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Hermatypes-symbionts. Kelompok ini merupakan hewan karang
pembangun terumbu karang dan mempunyai alga simbion, terdiri dari
karang-karang yang sebagian besar anggota Skleraktinia, Octocorallia
dan Hydrocorallia.
2) Hermatypes-asymbionts. Kelompok ini merupakan karang dengan
pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif
tanpa bantuan zooxanthella, mampu bertahan hidup di perairan yang
tidak ada cahaya. Kelompok ini terdiri dari Tubastrea dan
Dendrophyllia serta Hydrocorallia spesies Stylaster rosacea.
3) Ahermatypes-symbionts. Kelompok ini terdiri dari genus
Heteropsammia dan Diaseris (Skleraktinia: Fungidae) dan Leptoseries
(Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni
kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok
ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea (soft coral) dan Gorgonacea
yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun koloni
kerangka kapur masif.
4) Ahermatypes-asymbionts. Salah satu anggota kelompok ini adalah
anggota Ordo Anthipatharia dan Corallimorpha (Subkelas
Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.
Polip karang memiliki tiga lapisan tubuh yaitu ektodermis, mesoglea dan
endodermis. Ektodermis merupakan bagian terluar dari polip karang, dibagian ini
terdapat mulut yang sama peranannya sebagai anus. Tentakel yang berada
disekitar mulut memiliki sel mukus dan nematokis yang berperan dalam

7
menangkap mangsa. Makanan yang masuk akan dicerna dengan menggunakan
filament mesentery, kemudian sisa metabolisme akan dikeluarkan melalui mulut
yang juga berfungsi sebagai anus. Mesoglea merupakan jaringan penghubung
antara bagian luar (ektodermis) dan dalam (endodermis/gastrodermis) pada polip
karang. Jaringan ini terdiri atas sel-sel, serta kolagen dan mukopolisakarida. Pada
sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk
rangka luar karang (kalsium karbonat). Pada bagian dalam polip karang,
endodermis atau yang lebih dikenal dengan gastrodermis merupakan tempat
tinggalnya alga zooxanthellae.
Polip karang disokong oleh kerangka kapur yang berperan sebagai
pendukung tegaknya seluruh jaringan. Kerangka kapur ini berupa lempengan-
lempengan yang tersusun radial dan berdiri tegak pada lempengan dasar,
lempengan yang berdiri disebut septa yang tersusun dari bahan organik dan kapur
hasil sekresi polip karang. Struktur polip karang disajikan pada Gambar 1. Pada
umumnya hewan karang hidup menetap, kecuali pada masa larva merupakan
plankton.
Gambar 1. Struktur polip dan kerangka karang (Veron, 1986)

8
2.1.2 Reproduksi karang
Suharsono (1994) menyatakan bahwa karang merupakan kelompok
organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi
sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ
reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen dan pada saat-saat
tertentu organ tersebut terlihat nyata, terutama untuk jenis-jenis karang di wilayah
tropis. Hewan karang dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual, siklus
reproduksi karang disajikan pada Gambar 2.
Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi,
pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi
aseksual, larva produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan secara
geografis terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan
pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual (Rudi, 2006). Pada
reproduksi secara seksual, gemetogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang
tertanam dalam mesenterium. Peristiwa tersebut dapat berlangsung secara tahunan,
namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Reproduksi seksual pada
karang meliputi proses gametogenesis yang membutuhkan waktu beberapa
minggu untuk pembentukan sperma dan beberapa bulan untuk membentuk sel
telur (Rudi, 2006).
Gambar 2. Siklus reproduksi karang (http://www.marineodyssey.co.uk)

9
Cara dan pola reproduksi, perkembangan gonad (gametogenesis), serta
waktu dan puncak reproduksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan
(Rani, 2002). Faktor lingkungan yang mengendalikan reproduksi karang adalah
suhu perairan, pencahayaan, fase bulan dan pasang surut (Harrison dan Wallace,
1990). Menurut Bachtiar (2001) dua jenis karang Acropora melakukan pemijahan
pada Bulan Februari setelah bulan purnama.
Fertilisasi secara genetik sangat unik, menghasilkan larva planula sebagai
plankton dan kemudian akan melekat pada substrat dan memulai kehidupan
sebagai organisme bentik dengan bermetamorfosis dan berkembang menjadi
polip-polip utama. Sementara itu, reproduksi aseksual juga umum ditemukan pada
karang Skleraktinia yang dapat terjadi melalui fragmentasi, pembelahan polip atau
menghasilkan planula secara aseksual (Rudi, 2006). Menurut Richmond dan
Hunter (1990) proses reproduksi aseksual melalui fragmentasi memiliki beberapa
keuntungan, yaitu memiliki larva dengan ukuran besar dan memiliki genotipe
yang telah teradaptasi dengan baik.
Tipe seksualitas karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
gonokhorik (hanya memproduksi satu jenis gamet, jantan atau betina) dan
hermaprodit (mampu menghasilkan gamet jantan dan gamet betina). Menurut
Harrison dan Wallace (1990); Richmond (1997) tipe hermaprodit dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu (1) hermaprodit simultan, satu individu
menghasilkan sel telur dan sel sperma dalam waktu yang bersmaan; (2)
hermaprodit sekuensial. Dibedakan menjadi dua jenis, yaitu protandri (pada
awalnya berperan sebagai jantan, kemudian berubah menjadi betina) dan protogini
(pada awalnya berperan sebagai betina, kemudian berubah menjadi jantan).
Cara reproduksi karang menurut Veron (1986), Harrison & Wallace (1990),
Richmond & Hunter (1990), Richmond (1997), dan McGuine (1998) in Rani
(2002), dapat dibedakan menjadi:
1. Broadcast spawning (memijah): spesies yang melepaskan gametnya
(telur dan sperma) ke dalam kolom air, dan selanjutnya terjadi
fertilisasi eksternal dan kemudian terjadi perkembangan embrio.

10
2. Brooding (mengerami): spesies dengan telur yang dibuahi secara
internal, dengan perkembangan embrio sampai fase planula
berlangsung dalam polip karang. Proses pelepasan planula yang telah
berkembang secara penuh dari polip dikenal dengan istilah planulasi.
Planula yang dilepaskan dari karang brooding langsung memiliki
kemampuan untuk dapat melekat dan bermetamorfosis. Larva hasil pengeraman
secara umum berukuran lebih besar daripada larva yang dihasilkan melalui
spawning, dan pada karang hermatipik larva dilengkapi dengan zooxanthellae
yang berasal dari koloni induk. Hal ini menjelaskan bahwa zooxanthellae
memberi kontribusi metabolisme terhadap larva, yaitu sebagai sumber energi
tambahan untuk penyebaran jarak jauh (Richmond, 1987 in Rani, 2002).
2.1.3 Faktor-faktor pembatas terumbu karang
Pertumbuhan karang pembentuk terumbu sangat tergantung pada kondisi
lingkungan yang ada disekitarnya. Cahaya matahari, suhu, salinitas, sirkulasi
massa air dan arus serta sedimentasi merupakan faktor fisika-kimia perairan yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan karang.
Nybakken (1988) menyatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor
pembatas yang penting dalam penyebaran terumbu karang. Cahaya yang cukup
harus tersedia agar fotosintesis zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang
dapat terlaksana. Proses fotosintesis tersebut menyebabkan bertambahnya
produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida. Kondisi ini
menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif
sinar yang masuk.
Menurut Nybakken (1988), perkembangan terumbu karang yang paling
optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25oC. Terumbu
karang memiliki kisaran toleransi terhadap suhu antara 36-40oC. Suhu paling baik
bagi pertumbuhan karang berkisar antara 25-30oC (Sukarno et al, 1983).
Perubahan suhu yang drastis dapat mengakibatkan bleaching karena kehilangan
zooxanthellae dari jaringan karang yang dapat mematikan hewan karang tersebut.

11
Terumbu karang dapat bertahan sampai suhu minimum 15oC dan maksimum 36
oC. Suhu juga dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada karang.
Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan
pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut, yaitu 32-35‰ (Nybakken,
1988). Menurut Birkeland (1997) terumbu karang berkembang dengan baik pada
salinitas air laut mendekati 35‰, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Nybakken (1988) mengutarakan
perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka
daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. Hal yang sama juga
diutarakan oleh McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran air dari
darat dapat membunuh terumbu karang melalui sedimentasi dan penurunan
salinitas air laut.
Arus berperan penting dalam transportasi makanan, larva dan dapat
membersihkan karang dari endapan sedimen. Arus memiliki pengaruh yang besar
terhadap taksonomi dan morfologi dari ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu,
pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibanding perairan yang
tenang. Arus diperlukan untuk ketersediaan aliran makanan dan oksigen serta
membersihkan polip karang dari partikel-partikel yang menempel (Sukarno et al.
1983).
2.2 Kalsifikasi Karang
Kalsifikasi adalah proses yang menghasilkan kapur dan pembentukan
rangka kapur. Syarat terjadinya reaksi pembentukan kapur adalah tersedianya ion
kalsium dan ion karbonat. Ion kalsium yang tersedia di perairan berasal dari
daratan melalui proses pengikisan batuan, sedangkan ion karbonat berasal dari
pemecahan asam karbonat (Timotius, 2003 in Zamani, 2007).
Menurut Suharsono (1984), bahan utama yang digunakan untuk kalsifikasi
adalah hasil metabolisme yang disekresikan oleh zooxanthellae, yang
memungkinkan karang untuk mengikat kalsium (Ca2+
) dari air laut. Pembentukan
kalsium karbonat tergantung kepada kecepatan pemindahan asam karbonat pada
proses kalsifikasi. Pemindahan asam karbonat dilakukan melalui proses fiksasi

12
karbon dioksida oleh zooxanthellae pada saat proses fotosintesis. Asam karbonat
(H2CO3) berubah menjadi ion hidrogen (H+) dan karbonat (HCO3
-) yang dapat
berubah menjadi H2O dan CO2. Molekul 2HCO3-
dalam kolom perairan tidak
stabil, sehingga akan melakukan reaksi dengan mengikat kalsium dan membentuk
Ca(HCO3)2 yang berada dalam keadaan stabil. Apabila reaksi ini berlangsung
cepat, maka keseimbangan reaksi akan bergeser ke kanan dan menghasilkan
CaCO3 + H2CO3. Berikut ini adalah reaksi kimia proses kalsifikasi atau
pembentukan kalsium karbonat.
Kalsium karbonat atau CaCO3 yang terbentuk akan membentuk endapan
menjadi rangka bagi hewan karang, CO2 akan digunakan zooxanthellae untuk
proses fotosintesis. Peranan zooxanthellae sangat besar dalam proses kalsifikasi,
sehingga kecepatan kalsifikasi bervariasi berdasarkan tingkat kedalaman.
2.3 Artificial Reef
Artificial reef atau terumbu buatan merupakan suatu kerangka atau
bangunan fisik yang sengaja ditenggelamkan ke dalam perairan dan diharapkan
dapat berfungsi layaknya ekosistem terumbu karang. Artificial reef berperan untuk
meningkatkan kelimpahan sumberdaya perikanan seperti ikan karang dan biota-
biota ekonomis lainnya. Secara fisik, terumbu buatan dapat berperan sebagai
pelindung pantai, media penempelan karang, tempat berlindung bagi ikan dan
biota-biota laut. D’Itri (1985) mendefenisikan bahwa artificial reef merupakan
suatu ekosistem yang tersusun dari struktur benda-benda keras yang
ditenggelamkan pada dasar perairan yang kurang produktif. Mineral accretion
dapat dikategorikan sebagai artificial reef.
Salah satu jenis terumbu buatan yang paling banyak ditenggelamkan di
Kepulauan Seribu adalah fish shelter yang terbuat dari campuran semen, pasir dan

13
batu. Bentuk fish shelter tersebut bermacam-macam seperti bentuk piramida,
kubus dan parabola. Fish shelter menyediakan lorong-lorong berupa ruang
sebagai tempat ikan untuk berlindung.
Cornelia et al. (2005) menyatakan terumbu buatan memiliki berbagai
macam manfaat dan fungsi, antara lain:
1) Gudang keanekaragaman hayati biota laut.
2) Tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan (feeding
ground), berpijah (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground)
dan tempat berlindung bagi hewan laut.
3) Tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik dan
mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi.
4) Tempat sumber bahan makanan dan obat-obatan.
5) Pelindung pantai dari hempasan ombak.
6) Sumber bangunan dan bahan-bahan konstruksi.
7) Sebagai tempat kegiatan budidaya perikanan.
8) Daerah rekreasi terutama rekreasi bawah laut.
9) Sarana penelitian dan pendidikan.
Lokasi penempatan terumbu buatan sangat berpengaruh terhadap tingkat
keberhasilan. Apabila lokasi penempatan terumbu buatan tidak cocok, maka
hasilnya akan kurang maksimal. Kajian studi kelayakan wilayah perlu dilakukan
sebelum menenggelamkan terumbu buatan.
Lokasi penenggelaman terumbu buatan harus sesuai dengan parameter
fisika-kimia perairan yang mencakup faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang
dan biota lainnya. Nybakken (1988) menjelaskan ada tujuh faktor pembatas bagi
pertumbuhan terumbu karang, antara lain: suhu, kedalaman, cahaya, salinitas,
sedimentasi, substart dan gelombang.
Kriteria kesesuaian lokasi penempatan terumbu buatan disajikan pada
Tabel 1. Bahan terumbu buatan harus memiliki kriteria tahan lama, aman atau
tidak beracun, efektif, fungsional dan ekonomis. Sebaiknya terumbu buatan

14
ditenggelamkan pada area yang telah mengalami degradasi habitat, sehingga
secara perlahan-lahan habitat tersebut mengalami perbaikan.
Tabel 1. Kriteria kesesuaian lokasi terumbu buatan (Wiradisastra et al. 2004
in Corenelia et al. 2005)
No. ParameterSangat Sesuai
[80]
Cukup Sesuai
[60]
Sesuai Bersyarat
[40]
Tidak Sesuai
[1]
1.Kedalaman perairan (m)
[30]7-10
5 - < 7
> 10-15
1 - < 5
> 15-25
< 1
> 25
2.Kemiringan dasar (0)
[10]< 25 25-30 - > 30
3.Oksigen terlarut (mg/l)
[5]> 6 5-6 4 - < 5 < 4
4.Salinitas (ppt)
[5]34-36
30 - < 34
> 36 - 38
26 - < 30
> 38 - 40
< 26
> 40
5.Suhu (0C)
[5]25 – 29
23 - < 25
> 29 – 32
20 - < 23
> 32 – 34
< 20
> 34
6.Kecerahan (%)
[40]> 85 65 – 85 45 – 65 < 45
7.pH
[5]7.5 – 8
6 - < 7.5
> 8 – 95 - < 6
< 5
> 9
Penerapan atau pengaplikasian terumbu buatan dengan menggunakan
teknik mineral accretion harus disesuaikan dengan peruntukannya. Jika teknik
mineral accretion digunakan sebagai media transplatasi karang, maka laju
mineralisasi pada katoda dapat dipercepat.
Berbeda dengan penerapan teknik mineral accretion untuk keperluan
recruitment karang secara alami, proses mineralisasi pada katoda hendaknya
diperlambat. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi proses mineralisasi lebih
cepat daripada pertumbuhan larva karang, sehingga larva karang tidak tertutupi
oleh padatan yang dihasilkan teknik mineral accretion. Arus yang dialirkan pada
katoda harus lebih rendah atau dapat pula dilakukan pemutusan aliran listrik
sementara, guna memberikan kesempatan pada larva karang untuk
menempel/tumbuh.

15
2.4 Mineral Accretion
2.4.1 Definisi mineral accretion
Mineral accretion dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan
padatan mineral dan merupakan salah satu metode untuk pembentukan terumbu
buatan dengan memakai prinsip kalsifikasi. Metode mineral accretion adalah
suatu teknik untuk menghasilkan terumbu buatan dengan cara mengalirkan arus
listrik kepada kerangka besi, sehingga terjadi proses elektrolisis. Proses
elektrolisis ini akan menyebabkan mineral-mineral yang terlarut dalam air laut
dapat didepositkan dalam bentuk padatan pada kerangka besi (Gambar 3). Arus
listrik yang dialirkan melalui katoda dan anoda adalah arus lemah dan cukup
untuk memicu terjadinya proses elektrolisis, sehingga proses reduksi dan oksidasi
terjadi secara berulang-ulang disekitar katoda (Sabater dan Yap, 2004). Terumbu
buatan yang dihasilkan melalui teknik mineral accretion memiliki komposisi yang
sangat mirip dengan terumbu alami yang dihasilkan terumbu karang.
Gambar 3. Padatan mineral yang menempel pada kerangka besi
Foto: Hydrobiology-IPB
Foto: Hydrobiology-IPB

16
Metode mineral accretion menghasilkan bahan penyusun padatan mineral
seperti CaCO3 dan Mg(OH)2 dengan cara menarik keluar mineral yang terlarut
dalam air laut menjadi bentuk padatan. Proses ini dilakukan dengan cara meng-
elektrolisis air laut. Padatan mineral ini bukanlah hasil langsung dari proses
elektrolisis, melainkan hasil sampingan dari dampak perubahan pH di daerah
katoda selama proses elektrolisis air laut berlangsung (Lee, 2002).
2.4.2 Komponen-komponen biorock
Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk teknik mineral accretion
adalah katoda, anoda dan catu daya (Gambar 4). Kerangka modul artificial
mineral accretion memiliki konduktivitas yang tinggi, yang biasa digunakan
adalah terbuat dari logam. Kerangka modul berfungsi sebagai katoda, yang
selanjutnya dihubungkan ke terminal negatif dari catu daya. Terminal negatif
tersebut berperan untuk mensuplai elektron kepada ion-ion yang berada dalam
larutan untuk mendorong terjadinya reaksi kimia. Padatan mineral terbentuk dan
menempel pada kerangka atau elektroda.
Gambar 4. Ilustrasi sistem kerja biorock dan beberapa komponen utama
(Design gambar: Rizaldi)

17
Anoda merupakan elektroda yang dihubungkan dengan terminal pasitif
pada catu daya dan merupakan terminal dimana elektron diambil dari ion-ion di
dalam larutan untuk memfasilitasi reaksi kimia. Material anoda memiliki
ketahanan yang kuat dari proses karatan atau korosi.
Catu daya merupakan komponen yang berperan dalam penyediaan aliran
listrik. Pengaturan terhadap besar kecilnya voltase dan arus yang akan dialirkan
diatur oleh catu daya.
2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mineral accretion
Menurut Lee (2002), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses
mineral accretion, antara lain: (1) pH. Proses elektrolisis akan menyebabkan
terjadinya perubahan nilai derajat keasaman laut, dan besarnya akan ditentukan
oleh densitas arus yang dialirkan terhadap kedua elektroda; (2) kelarutan produk.
Berhubungan dengan konsentrasi maksimal suatu larutan dalam perairan, dikenal
dengan istilah tingkat kejenuhan. Apabila tingkat kejenuhan ion terlalu tinggi,
maka akan terjadi reaksi dari fase cair menjadi padatan. Hal ini terjadi karena air
laut tidak mampu untuk mempertahankannya tetap dalam bentuk terlarut; (3)
elektrolisis. Proses ini berhubungan dengan pengembangan gas hidrogen dari
katoda; (4) voltase. Semakin besar beda voltase antara kedua elektroda maka
semakin besar kemungkinan terjadinya reaksi. Perbedaan voltase dan material
elektroda berperan dalam penentuan reaksi kimia yang terjadi. Sebaiknya voltase
yang digunakan adalah sekecil mungkin dan cukup untuk mendorong terjadinya
proses mineral accretion. Besaran voltase yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 12 volt; (5) arus listrik. Bila ada voltase yang menyebabkan terjadinya
reaksi elektrokimia, maka besaran arus yang melewati sirkuit akan menentukan
bayaknya produksi reaksi akhir di dalam sel elektrolisis, seperti gas hidrogen.
Besaran arus yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ampere.
2.5 Recruitment Karang dan Kelulusan Hidup
Coral resistance adalah daya tahan karang dalam beradaptasi atau
mempertahankan hidup terhadap gangguan atau tekanan lingkungan, baik secara

18
alami maupun akibat aktifitas manusia. Recruitment karang merupakan proses dan
peristiwa kemunculan individu-inidividu karang muda yang dihasilkan melalui
reproduksi, kemudian menempel pada substrat dan menjadi bagian dari populasi.
Larva karang membutuhkan substrat yang keras dan kokoh sebagai tempat untuk
menempel, kemudian bermetamorfosis, tumbuh dan berkembang. Sukarno et al.
(1983) menyatakan bahwa substrat yang keras diperlukan karang untuk tempat
melekatnya larva, sehingga memungkinkan untuk pembentukan koloni baru.
Kerangka biorock dapat digunakan larva karang sebagai tempat penempelan.
Kelimpahan recruitment karang keras merupakan salah satu variabel
pengukuran tingkat pemulihan suatu wilayah ekosistem terumbu karang.
Richmond and Hunter (1990), proses recruitment karang merupakan indikator
yang penting untuk regenerasi terumbu karang dan potensi pertumbuhannya.
Proses recruitment itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
kelimpahan individu karang dewasa baik dari komunitas yang sudah stabil
maupun dari komunitas yang jauh, sirkulasi air laut, tipe substrat, intensitas
pemangsaan, kompetisi dengan makroalga dan sedimentasi.
Pola sirkulasi laut yang kompleks, baik dulu maupun sekarang membentuk
batas-batas biogeografik yang menentukan batas wilayah biogeografik (Veron,
1995). Kualitas lingkungan (kondisi perairan) berperan besar dalam proses
reproduksi karang, recruitment dan juga keberhasilan hidup recruitment. Larva
karang yang telah menempel pada substrat tidak semuanya dapat bertahan hidup
atau berhasil menjadi karang dewasa.
Mekanisme penempelan larva karang diawali dengan melakukan kontak
terhadap substrat. Harrison dan Wallace (1990) melaporkan bahwa proses
pencarian substrat dengan melakukan kontak langsung dapat dilakukan larva
karang secara berulang-ulang sampai menemukan substrat yang benar-benar
cocok. Ketika melakukan kontak dengan substrat, larva karang juga akan
melakukan reaksi dengan biological films (lapisan organisme yang melapisi
permukaan substrat). Samidjan (2005) in Rudi (2006) menyatakan bahwa spesies
bakteri tertentu mampu untuk memicu penempelan larva karang. Hasil
pengamatan suksesi komunitas bentik pada terumbu buatan disimpulkan bahwa

19
bakteri Micrococcus luteus memicu terjadinya penempelan karang jenis
Pocillopora damicornis dan bakteri Marinomonas communis adalah pionir untuk
mendorong terjadinya penempelan karang Acropora tenuis. Richmond (1997)
menjelaskan adanya sinyal kimia antara kelompok crustose coralline algae
tertentu dengan jenis karang tertentu dalam proses kolonisasi tersebut. Apabila
substrat telah cocok dan memiliki biological films, maka planula karang akan
melakukan pelekatan dengan menggunakan permukaan aboral, melepaskan
lapisan matriks organik, kemudian melakukan deposisi rangka karbonat (Rudi,
2006).
2.6 Pola Suksesi pada Biorock
Modul biorock yang ditenggelamkan di dasar perairan akan membentuk
suatu ekosistem tertentu pada waktu tertentu. Proses pembentukan dan
perkembangan ekosistem ekosistem tersebut dikenal dengan suksesi ekologi.
Menurut Irwan (1992) suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pionir oleh jenis-
jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya. Suksesi terjadi
sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan
membutuhkan waktu, proses tersebut berakhir pada sebuah komunitas atau
ekosistem yang klimaks, dimana komunitasnya sudah mengalami homeostasis.