II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Apeleprints.umm.ac.id/57079/3/BAB 2.pdf · 2019. 11. 26. ·...

23
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Apel Tanaman apel yang buahnya saat ini dikonsumsi secara luas oleh masyarakat dunia diduga merupakan hasil dari hibrid interspesies dengan nama ilmiahnya adalah Malus domestica Borkh. Apel adalah buah-buahan hasil dari domestikasi moyangnya yang berasal dari Asia Tengah, yaitu Malus sieversii. Spesies ini. adalah tumbuhan asli Asia Tengah, meliputi Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan (Luby.2003). Malus sieversii juga didapatkan di Cina dimana populasi alamiahnya terdapat di lembah sungai Ili yang terletak pada bagian barat pegunungan Tianshan dan perbukitan sisi barat Junggar. Secara alamiah, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 1.100 sampai 1600 m dpl (Gaibel et al.2000). Linnaeus pertama kali memasukkan apel dalam genus Pyrus, namun Philip Miller memperbaiki sistem klasifikasinya dan meletakkan apel dalam genus Malus. Tanaman apel bisa jadi adalah tanaman buah yang pertama kali secara intensif dibudidayakan. Tanaman apel tersebar ke Benua Eropa karena peran dari Alexander Agung, sementara di wilayah Amerika Utara introduksi apel dimulai tahun 1600 (IUCN.2009). Adapun taksonomi dari buah apel adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatopyta Sub Divisio : Angiosperma Klass : Dicotyledone Ordo : Rosales Famili : Mallus Speesies : Malus domestica ( Untung,1996 ) 4

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Apeleprints.umm.ac.id/57079/3/BAB 2.pdf · 2019. 11. 26. ·...

  • 4

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Apel

    Tanaman apel yang buahnya saat ini dikonsumsi secara luas oleh

    masyarakat dunia diduga merupakan hasil dari hibrid interspesies dengan nama

    ilmiahnya adalah Malus domestica Borkh. Apel adalah buah-buahan hasil dari

    domestikasi moyangnya yang berasal dari Asia Tengah, yaitu Malus sieversii.

    Spesies ini. adalah tumbuhan asli Asia Tengah, meliputi Kazakhstan, Kyrgyzstan,

    Tajikistan, dan Uzbekistan (Luby.2003). Malus sieversii juga didapatkan di Cina

    dimana populasi alamiahnya terdapat di lembah sungai Ili yang terletak pada bagian

    barat pegunungan Tianshan dan perbukitan sisi barat Junggar. Secara alamiah,

    tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 1.100 sampai 1600 m dpl (Gaibel et al.2000).

    Linnaeus pertama kali memasukkan apel dalam genus Pyrus, namun Philip Miller

    memperbaiki sistem klasifikasinya dan meletakkan apel dalam genus Malus.

    Tanaman apel bisa jadi adalah tanaman buah yang pertama kali secara intensif

    dibudidayakan. Tanaman apel tersebar ke Benua Eropa karena peran dari Alexander

    Agung, sementara di wilayah Amerika Utara introduksi apel dimulai tahun 1600

    (IUCN.2009). Adapun taksonomi dari buah apel adalah sebagai berikut :

    Divisio : Spermatopyta

    Sub Divisio : Angiosperma

    Klass : Dicotyledone

    Ordo : Rosales

    Famili : Mallus

    Speesies : Malus domestica ( Untung,1996 )

    4

  • 5

    Apel pada dasarnya dapat beradaptasi pada bermacam-macam iklim, tetapi

    pertumbuhan yang baik adalah pada daerah temperate yang dingin pada latitude 35-

    50°. Pada kawasan dengan empat musim, pembungaan serentak (blossom) secara

    simultan terjadi pada terjadi pada musim semi. Pertumbuhan apel diketahui sangat

    dipengaruhi musim. Saat musim dingin, apel akan dorman dan baru melakukan

    pembungaan besar-besaran (blossom) pada musim semi. Apel mencapai

    kematangan buah sekitar 120-150 hari setelah pembungaan, dan beberapa jenis apel

    baru mencapai kematangan pada umur 180 hari (Luby.2003). Temperatur diketahui

    sangat berperan dalam produksi apel. Menurut Warrick et al.(2001), temperatur

    mempengaruhi penampakan buah (ukuran, warna), tekstur, dan ketahanan

    penyimpanan pasca panen. Kondisi iklim, meliputi panjang hari dan temperatur,

    serta kesediaan air adalah signal penting dalam siklus hidup apel. Dengan demikian,

    budidaya apel sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat budidaya.

    Luby (2003) telah memberikan bahasan menyeluruh tentang sejarah apel

    dan distribusinya saat ini, namun keberadaan apel di Indonesia tidak disinggung di

    dalamnya. Penelusuran literatur tentang apel di Indonesia menunjukkan bahwa apel

    dapat tumbuh di Jawa Timur, tepatnya di kawasan Malang dan sekitarnya. Menurut

    Notodimedjo (1996), apel dapat tumbuh di Malang karena wilayah ini mempunyai

    kemiripan dengan kawasan temperate. Kawasan Batu pertama kali dipilih sebagai

    uji coba penanaman apel karena wilayah ini mempunyai karakter yang hampir mirip

    dengan habitat asli tumbuhan apel. Batu memiliki suhu udara tahunan berkisar

    antara 18-30˚ C, curah hujan rata-rata 875 - 3000 mm per tahun dan kelembaban

    udara berkisar antara 75 - 98% (Kominfo Batu.2009).

  • 6

    Apel selanjutnya menyebar ke daerah Malang timur dan sekitarnya,

    meliputi Nongkojajar dan Poncokusumo. Apel cepat tersebar di kawasan Malang

    karena selain iklim yang sesuai, perbanyakannya dapat dilakukan dengan mudah

    dan cepat. Selain dibudidayakan di kebun-kebun secara intensif, tumbuhan apel

    juga dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental. Sebagai tanaman ornamental, apel

    ditanaman di pekarangan rumah di Gubukklakah, Poncokusumo dan di desa-desa

    lereng pegunungan Tengger barat (Hakim dan Nakagoshi.2007). Pemukiman di

    desa-desa Tenger banyak terletak pada lahan dengan kemiringan curam (Whitten et

    al.1996 dalam Hakim et al. 2007), dan dengan demikian pemanfaatan apel dalam

    konservasi lahan miring dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan. Di Eropa,

    pemakaian tanaman apel bagi reklamasi lahan bekas kerusakan pertambangan telah

    dilaporkan oleh Brown et al.(1983).

    2.2 Mikoriza Vesicular Arbuskular

    2.2.1 Definisi Mikoriza

    Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza

    (akar) (Sieverding, 1991 dalam Husna dkk, 2007). Mikoriza adalah suatu bentuk

    hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat

    tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh

    karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan

    memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman

    dalam menyerap unsur hara terutama unsur P (Husna dkk, 2007). Fungi mikoriza

    arbuskular banyak ditemukan pada jenis tanah Ultisols karena mikoriza memiliki

    daya adaptasi pada lahan tersebut. Potensi mikoriza pada lahan Ultisols yaitu dapat

  • 7

    memperbaiki ketersediaan hara bagi tanaman (Prihastuti,2007). Jamur mikoriza

    menginfeksi dan mengkoloni perkaran tanaman khususnya jaringan korteks akar

    tanpa menimbulkan kerusakan atau kematian jaringan akar sebagaimana jamur

    patogenik. Jamur mikoriza membantu penyerapan unsur-unsur hara yang

    diperlukan tanaman, khususnya unsur P dan N, sedangkan tanaman menyediakan

    unsur karbon yang dibutuhkan jamur mikoriza untuk kelangsungan hidupnya

    (Moses, 2000).

    2.2.2 Jenis Jenis Mikoriza

    Menurut Prabaningrum (2017), mikoriza secara umum dapat dibagi menjadi

    tiga kelompok, yaitu :

    1. Ektomikoriza

    Ektomikoriza adalah asosiasi simbiosa antara jamur dan akar tumbuhan,

    dimana jamur membentuk suatu sarung yang menyelubungi semua atau beberapa

    cabang-cabang akar dan adakalanya masuk ke dalam sel tetapi tidak pernah

    menembus melewati korteks dan hifa intraseluler tidak menyebabkan kerusakan sel

    inang. Contoh ektomikoriza disajikan pada Gambar 1.

  • 8

    Gambar 1. Ektomikoriza (Russulales, 2010)

    Keterangan : a. ektendomikoriza menyelimuti cabang – cabang akar

    2. Endomikoriza

    Endomikoriza adalah asosiasi simbiosis mutualisme antara jamur tertentu

    dengan akar tanaman, dimana jamur tumbuh sebagian besar di dalam korteks akar

    dan menembus akar tanaman inang. Endomikoriza dibedakan atas tiga grup yaitu

    erikoid mikoriza, orchidaceous mikoriza dan mikoriza vesikular arbuskular. Contoh

    endomikoriza disajikan pada Gambar 2.

    Gambar 2. Endomikoriza (INVAM, 2019)

    Keterangan :

    a. hifa menembus korteks akar. b. terbentuknya vesikel di dalam korteks akar

    a

    b

    a

  • 9

    3. Ektendomikoriza

    Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza

    yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan

    hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya.

    Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang

    mikoriza tipe ini sangat terbatas. Contoh Ektendomikoriza disajikan pada Gambar

    3.

    Gambar 3. Ektendomikoriza (Simanungkalit, 2004)

    Keterangan :

    a. hifa menginfeksi dinding sel korteks akar, b. jaringan hartiq menyelubungi akar

    2.2.3 Struktur Mikoriza Vesikular Arbuskular

    Struktur mikoriza arbuskular, yaitu :

    1. Arbuskular

    Arbuskular merupakan struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di

    dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai pohon kecil

    yang berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer antara fungi dan

    akar tanaman (Brundrett, 2008). Semakin bertambahnya umur, arbuskular berubah

    b

    a

  • 10

    menjadi suatu struktur yang menggumpal dan tidak dapat dibedakan lagi

    (Pattimahu, 2004).

    2. Vesikel

    Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami

    penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara internal di

    dalam sel atau di luar sel akar tanaman inang yang terbentuk pada hifa terminus dan

    interkalar. Vesikel berbentuk bulat atau oval/lonjong yang berisi senyawa lemak.

    Vesikel merupakan organ penyimpanan cadangan makanan bagi fungi

    endomikoriza (Brundrett, 2008).

    3. Hifa Eksternal

    Hifa eksternal merupakan struktur lain dari cendawan mikoriza yang

    berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah.

    Terbentuknya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman berperan penting

    dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar menyerap hara

    dan air dalam jangkauan yang lebih luas (Mosse, 1981 dalam (Widiarti, 2007)

    4. Hifa Internal

    Hifa internal adalah hifa yang menembus ke dalam sel korteks dari satu sel

    ke sel yang lain. Hifa internal sangat penting untuk mengetahui adanya kolonisasi

    mikoriza dalam akar tanaman (Pujianto, 2001)

    5. Spora

    Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara

    tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.

    Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam

  • 11

    tanah dan begitu juga dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi

    pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai

    beberapa tahun. Namun, untuk berkembang mikoriza memerlukan tanaman inang.

    Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse,

    1981 dalam (Widiarti, 2007).

    2.2.4 Klasifikasi dan Genus Mikoriza

    Fungi mikoriza vesicular arbuskular termasuk dalam golongan

    endomikoriza dengan klasifikasi termasuk ke dalam filum Glomeromycota.

    mikoriza mempunyai 4 ordo, secara singkat terpapar dalam table berikut : yaitu

    ordo Archaeosporales, Glomerales, Paraglomerales dan Diversisporales. . Ordo

    Archaeosporales mempunyai 2 famili yaitu famili Archaeosporaceae dengan genus

    Archaeospora dan famili Geosiphonaceae dengan genus Geosiphon. Ordo

    Glomales mempunyai satu famili yaitu Glomaceae dengan genus Glomus. Ordo

    Paraglomerales mempunyai satu famili yaitu Paraglomaceae dengan genus

    Paraglomus. Ordo Diversisporales mempunyai 4 famili yaitu famili

    Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, famili

    Gigasporacea dengan genus Gigaspora dan Scutellospora, famili Diversisporaceae

    dengan genus Diversispora (Glomus), dan famili Pacisporaceae dengan genus

    Pacispora. (Rini dan Rosalinda 2010).

    Fungi mikoriza dikelompokkan berdasarkan cara terbentuknya spora pada

    setiap genus. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai

    berikut:

    1. Glomus sp.

  • 12

    Pada genus Glomus, proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa

    yang membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Spora

    Glomus sp. berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Warna spora genus Glomus sp.

    bervariasi mulai dari, kuning, kuning kemerahan, kuning kecoklatan, coklat

    kekuningan, coklat muda, coklat tua kehitaman, ungu hingga hitam. Dinding spora

    berjumlah satu, seluruh lapisan yang ada pada dinding spora berasal dari dinding

    hifa pembawa. Permukaan dinding spora halus tidak memiliki ornamen dan ada

    dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder.

    Gambar 4. Spora Glomus sp. (INVAM, 2019)

    Menurut Desi, dkk (2012) Glomus sp. merupakan hasil dari perkembangan

    hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuklah

    spora. Ciri Glomus sp. yaitu pora bulat, berwarna kuning hingga jingga, permukaan

    agak kasar, dan mempunyai hifa (Desi dkk., 2012). Genus Glomus mencakup

    spesies sporokarp dan non-sporokarp. Perkembangan sporanya disebut

    Chlamydospora, karena sporanya berasal dari perkembangan hifa, yaitu dari ujung

    hifa yang membesar sampai ukuran maksimal. Dinding sporanya memiliki satu atau

    lebih lapisan tanpa ornamentasi. Vesikel dan arbuskular ditemukan pada Glomus

    (Parkash, 2008: 14). Banyak spesies Glomus membentuk spora dalam akar dan juga

    dalam tanah. Spora Glomus yang belum dewasa memiliki reaksi warna Melzer yang

  • 13

    lemah, dan tidak terjadi pada spora yang lebih tua. Spora Glomus yang muda

    mempunyai lapisan dinding luar yang rapuh, dan hilang ketika spora menjadi tua

    (Brundett, et al, 1996: 146-147).

    2. Acaulospora sp.

    Genus Acaulospora memiliki bentuk bulat, iregular dan elips dengan dua

    lapis dinding spora. Warna spora bervariasi mulai kuning, oranye kecoklatan,

    merah tua, hingga merah kecoklatan. Proses perkembangan spora Acaulospora sp.

    seolah-olah dari ujung hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang

    ujungnya membesar yang strukturnya seperti spora disebut saccule. Kemudian

    saccule berkembang disertai muncul bulatan kecil diantara hifa terminus dan

    subtending hifa. Bulatan kecil tersebut akan berkembang dari sisi subtending hifa

    menjadi spora. Saccule yang berbentuk bulat hingga iregular dengan warna

    bervariasi dari transparan, kuning, merah muda transparan, hingga putih. Menurut

    pendapat Desi, dkk. (2012) Acaulospora. sp memiliki Ukuran spora 100–200 μm.

    Spora berbentuk bulat, warna dominan merah, permukaan halus, menyerap larutan

    dan ada perbedaan lapisan. Memiliki beraneka ornamen bergantung kepada

    spesiesnya, misalnya berbentuk duri pada Acaulospora spinosa dan berbentuk

    tabung pada A. tuberculata Memiliki satu cycatrix sebagai tanda.

    Gambar 5. Spora Acaulospora sp. (INVAM, 2019)

  • 14

    3.Entrophospora sp.

    Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses

    perkembangan spora Acaulospora sp, yaitu di antara hifa terminus dengan

    subtending hifa. Perbedaan keduanya adalah pada proses perkembangan

    azygospora berada di dalam blastik atau ditengah hifa terminus, sehingga akan

    terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang. Warna sporanya

    kuning coklat, tetapi jika spora belum matang warnanya tampak jauh lebih buram.

    Gambar 6. Spora Entrophospora sp. (INVAM, 2019)

    4. Archaespora sp.

    Perkembangan spora pada genus Archaespora merupakan perpaduan antara

    perkembangan spora genus Glomus dan Entrophospora atau Acaulospora. Pada

    awalnya, di ujung hifa akan terbentuk Sporiferous saccule. Selanjutnya pada leher

    saccule atau subtending hifa akan berkembang pedicel atau percabangan hifa dari

    leher saccule.

    Gambar 7. Spora Archaespora sp. (INVAM, 2019)

  • 15

    5. Paraglomus sp.

    Proses pembentukan spora paraglomus hampir sama dengan proses

    pembentukan spora Glomus. Spora tersebut berasal dari ekspansi blastic dari ujung

    hifa. Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan dan bening.

    Jumlah dinding spora terdiri atas lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk

    silinder. Ukuran spora rata-rata 85 𝜇m.

    Gambar 8. Spora Paraglomus sp. (INVAM, 2019)

    6. Gigaspora sp.

    Spora berkembang secara blastik dari ujung hifa yang membengkak dan

    menjadi "sel sporogenous". Setelah sel sporogenous mencapai ukuran penuh

    (biasanya sekitar 25─50 μm di sebagian besar spesies), spora mulai berkembang di

    ujung sel sporogenous. Lapisan luar dan lapisan laminasi berkembang secara

    bersamaan, dan sering tidak dapat dibedakan dalam spora muda tanpa bantuan

    pewarnaan Melzer.

    Gambar 9. Spora Gigaspora sp. (INVAM, 2019)

  • 16

    Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada mulanya berasal dari ujung

    hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut suspensor, kemudian di atas

    bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar

    dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora. Memiliki bentuk bulat

    dan permukaan dinding spora relatif kasar. Spora yang ditemukan memiliki dinding

    spora berwarna hitam, namun tidak terdapat hifa yang menempel pada dinding

    spora sehingga bulbous suspensor tidak terlihat (Desi dkk., 2012). Spora dari

    spesies Gigaspora berkembang dari hifa subtending bulbous. Gigaspora tidak

    memiliki dinding perkecembahan fleksibel yang dibentuk (inner wall) dan

    suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora. Karakteristik khas

    Gigaspora adalah adanya bulbous suspensor. Spora Gigaspora dihasilkan secara

    tunggal di dalam tanah, ukurannya besar dan berbentuk globos atau subglobos

    (Nurhalimah, dkk, 2014: 33).

    7. Scutellospora sp.

    Proses perkembangan spora Scutellospora sp. sama dengan Gigaspora sp. ,

    untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan

    kecambah. Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah (germination

    shield) tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna

    sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer (INVAM, 2008).

  • 17

    Gambar 10. Spora Scutellospora sp. (INVAM, 2019)

    Scutellospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam family

    Gigasporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas antara lain yaitu spora

    dengan atau tanpa hiasan, spora terdiri dari dinding spora yang fleksibel, struktur

    spora berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis, atau irregular. Proses terbentuknya

    spora pada Scutellospora sp. sama dengan pembentukan spora pada genus

    Gigaspora sp.. Pembeda genus Gigaspora sp. dengan Scutellospora sp. adalah pada

    Scutellospora sp. terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan

    keluar dari germination shield tersebut (Walker & Sanders 1986; INVAM 2013).

    2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikoriza

    Pertumbuhan mikoriza sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu :

    1. Suhu

    Schenk dan Schroder (1974) menyatakan suhu berpengaruh terhadap

    perkembangan spora, penetrasi hifa serta perkembanganya pada bagian korteks

    akar. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan ketahanan enzim masing-

    masing spesies mikoriza terhadap suhu tertentu. Menurut Mosse (1981) Suhu yang

    relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas fungi. Suhu yang tinggi pada siang hari

    (35°C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi mikoriza.

  • 18

    Akan tetapi peran mikoriza akan menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan

    faktor pembatas utama bagi aktivitas mikoriza. Suhu yang sangat tinggi justru

    dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang.

    2. Intensitas Cahaya

    Intensitas cahaya memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan mikoriza.

    Intensitas cahaya berpengaruh terhadap suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh

    fungi mikoriza. Tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi juga cenderung

    memperbaiki suplai fotosintat bagi mikoriza, sehingga berakhibat pada

    meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam akar (Daniel and Trappe, 1980).

    3. pH Tanah

    Powell dan Bagyaraj (1984) menyatakan terdapat hubungan antara pH

    dengan perkecambahan spora fungi mikoriza yaitu pH berpengaruh pada aktivitas

    enzim, aktivitas enzim berpengaruh pada perkecambahan. Selain itu pH rendah atau

    asam juga berpengaruh menjadi tidak tersedianya unsur fosfat sebagai unsur

    penting dalam pembelahan sel pada proses perkecambahan spora mikoriza. Fungi

    pada umumnya lebih dapat tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun

    demikian, daya adaptasi masing-masing genus Mikoriza terhadap pH tanah

    berbeda-beda. Hal ini karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan,

    perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. pH optimum

    untuk perkecambahan tergantung kepada adaptasi dari mikoriza terhadap

    lingkungan (Suhardi, 1989).

    4. Kadar Air Tanah

  • 19

    Mikoriza dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan

    bertahan pada kondisi kering hal ini karena mikoriza dapat memperbaiki dan

    meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang (Pujianto, 2001).

    5. Bahan Organik

    Tanah yang mengandung bahan organic lebih banyak (1-2 %) cenderung

    mengandung jumlah spora mikoriza yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah

    yang mengandung sedikit bahan organic (kurang dari 0,5 %) jumlah spora yang ada

    sangat sedikit (Pujianto, 2001).

    6. Tanaman Inang

    Kondisi fisik tanaman inang akan mempengaruhi perkembangan cendawan

    mikoriza, sehingga apabila kondisi tanaman terganggu akibat kekeringan maupun

    serangan penyakit maka kondisi cendawan mikoriza pun akan terganggu (Shi dkk,

    2007)

    7. Mikroorganisme Lain

    Mikroorganisme di dalam tanah ada yang bersifat antagonis terhadap

    tanaman dan ada juga yang bersifat non antagonis terhadap tanaman.

    Mikroorganisme yang bersifat antagonis jika menyerang tanaman inang dan

    menimbulkan gangguan fisik, dapat menghambat pertumbuhan tanaman inang serta

    memicu proses sporulasi cendawan mikoriza (Paulitz dan Linderman, 1991).

    8. Logam Berat dan Unsur Lain

    Logam berat dalam larutan tanah dengan jumlah yang berlebih dapat

    mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular

  • 20

    diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn) (Janouskova

    dkk, 2006).

    9. Fungisida

    Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh fungi

    penyebab penyakit pada tanaman. Di samping mampu memberantas fungi

    penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax meskipun dalam

    konsentrasi yang sangat rendah (2.5 𝜇g per gram tanah) juga dapat membunuh

    kolonisasi mikoriza yang apabila terjadi akan mengakibatkan menurunnya jumlah

    koloni mikoriza didalam tanah (Manjunath dan Bagyaraj, 1984).

    10. Ketersediaan Hara

    Tanaman yang tumbuh subur karena kebutuhan unsur haranya tercukupi

    cenderung mengandung sedikit kolonisasi mikoriza dikarenakan perakarannya

    tumbuh secara intensif. Berbeda dengan tanaman yang kurang subur atau keadaan

    lahan miskin hara mineral ditanah dengan intensitas pertumbuhan cabang akar yang

    rendah menunjukkan peningkatan kolonisasi endomikoriza pada akar – akar

    serabutnya. Hal ini membuktikan bahwa endomikoriza sangat bermanfaat pada

    tanaman yang tumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara (Oehl dkk, 2004).

    11. Pengolahan Tanah

    Tanah yang mengalami pengolahan berupa penggemburan atau pembalikan

    akan menghasilkan jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah

    yang tidak pernah dilakukan pengolahan. Hal ini disebabkan karena tanah yang

    mengalami pengolahan terjadi pergantian tanaman,keadaan kekeringan, perubahan

    air tanah dan suhu, sedangan tanah yang tidak diolah cenderung tidak mengalami

  • 21

    hal tersebut, sehingga tanah yang diolah cenderung mengandung lebih banyak spora

    mikoriza daripada yang tidak diolah. (Suhardi, 1989).

    12. Residu akar

    Residu akar mempengaruhi ekologi fungi mikroza, karena serasah akar

    yang terinfeksi oleh mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan

    generasi mikoriza dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut

    mengandung hifa, vesikular dan spora yang dapat menginfeksi akar. Disamping itu

    juga berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997).

    13. Kolonisasi akar

    Kolonisasi akar oleh mikoriza akan dicapai maksimal pada tanah yang

    kurang subur kondisinya. Hal ini dikarenakan nitrogen dan fosfor dalam tingkat

    ketersediaan yang tinggi mampu mengurangi kolonisasi mikoriza terhadap akar.

    Kolonisasi akar akan meningkat bila nitrogen meningkat pada kondisi fosfor yang

    sedang, akan tetapi apabila kondisi fosfor tinggi dan ada penambahan nitrogen

    justru hal tersebut menyebabkan penghambatan kolonisasi dari akar dan

    penghambatan produksi spora mikoriza (Suhardi, 1989).

    2.2.6 Manfaat Mikoriza

    Menurut (Iskandar, 2002) prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi

    sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga

    tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas

    dalam penyerapan unsur hara. Secara umum manfaat yang diberikan dengan

    penggunaan pupuk hayati mikoriza adalah :

    1. Meningkatkan Penyerapan Unsur Hara. (Unsur P)

  • 22

    Tanaman yang bermikoriza (endo-mikoriza) dapat menyerap pupuk P lebih

    tinggi (10-27%) dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (0.4-13 %).

    Penelitian terakhir pada beberapa tanaman pertanian dapat menghemat penggunaan

    pupuk Nitrogen 50 %, pupuk phosfat 27 % dan pupuk Kalium 20%. Pengaruh

    penggunaan mikoriza pada pertumbuhan tanaman adanya perbedaan pertambahan

    tinggi tanaman dibanding kontrol.

    2. Menahan Serangan Patogen Akar

    Akar yang bermikoriza lebih tahan terhadap patogen akar karena lapisan

    mantel (jaringan hifa) menyelimuti akar dapat melindungi akar. Di samping itu

    beberapa mikoriza menghasilkan antibiotik yang dapat menyerang bakteri, virus,

    jamur yang bersifat patogen.

    3. Memperbaiki Struktur Tanah

    Mikoriza dapat meningkatkan struktur tanah dengan menyelimuti butir-

    butir tanah. Stabilitas agregat meningkat dengan adanya gel polysakarida yang

    dihasilkan cendawan pembentuk mikoriza.

    4. Pemupukan Sekali Seumur Tanaman

    Karena mikoriza merupakan mahluk hidup maka sejak berasosiasi dengan

    akar tanaman akan terus berkembang dan selama itu pula berfungsi membantu

    tanaman dalam peningkatan penyerapan unsur hara yang diperlukan untuk

    pertumbuhan tanaman. Menurut Sutarman (2016) Mikoriza memiliki peranan bagi

    pertumbuhan dan produksi tanaman, peranan Mikoriza bagi tanaman sebagai

    berikut :

    a) Mikoriza meningkatkan penyerapan unsur hara.

  • 23

    b) Mikoriza melindungi tanaman inang dari pengaruh yang merusak yang

    disebabkan oleh stres kekeringan.

    c) Mikoriza dapat beradaptasi dengan cepat pada tanah yang terkontaminasi.

    d) Mikoriza dapat melindungi tanaman dari patogen akar.

    e) Mikoriza dapat memperbaiki produktivitas tanah dan memantapkan struktur

    tanah. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan cendawan Mikoriza mampu

    meningkatkan serapan hara, baik hara makro maupun hara mikro, sehingga

    penggunaan Mikoriza dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk mengurangi dan

    mengefisienkan penggunaan pupuk buatan.

    f) Mikoriza berpotensi besar sebagai pupuk hayati karena salah satu

    mikroorganisme yang memiliki peranan yang sangat penting bagi tanaman seperti

    dapat memfasilitasi penyerapan hara dalam tanah sehingga dapat meningkatkan

    pertumbuhan tanaman, sebagai penghalang biologis terhadap infeksi patogen akar,

    meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman dan meningkatkan hormon pemacu

    tumbuh (Prihastuti, 2007).

    g) Mikoriza juga berperan dalam menjaga kelestarian tanah baik secara fisik, kimia

    maupun biologi sehingga keseimbangan biologis selalu terjaga (Hartoyo dkk.,

    2011)

    2.3 Identifikasi, Karakterisasi dan Perbanyakan Spora Mikoriza

    2.3.1 Identifikasi dan Karakterisasi

    Teknik identifikasi dan karakterisasi mikoriza secara umum ada dua , yaitu :

    1. Teknik Pendekatan Morfologi

  • 24

    Teknik Identifikasi menggunakan pendekatan morfologi merupakan cara

    identifikasi yang umum digunakan. Identifikasi jenis ini merupakan dasar

    identifikasi mikoriza dikarenakan hifa dan organ-organ lainnya seperti arbuskular

    dan vesikular tidak spesifik untuk setiap spesies. Beberapa genus seperti

    Archaeospora tidak hanya membutuhkan karakteristik morfologi tapi juga

    membutuhkan data sekuens. Karakteristik dengan pendekatan morfologi yang

    diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan deskripsi spesies yang ada dalam dalam

    rujukan asli yang terpercaya. Rujukan yang umum digunakan yaitu INVAM dan

    Morton (FNCA, 2012). Kelemahan identifikasi berdasarkan morfologi adalah

    identifikasi tanpa keahlian yang cukup dapat menyebabkan kesalahan pendugaan

    spesies. Oleh karena itu, identifikasi spesies sebaiknya di bawah bimbingan ahli

    fungi mikoriza (Hidayat, 2002).

    2. Teknik Pendekatan Molekuler

    Teknik pendekatan menggunakan Penanda molekuler telah dikembangkan

    untuk keperluan deteksi dan identifikasi mikoriza. Teknik pendekatan molekular

    dilakukan menggunakan prinsip mengeksploitasi variasi genetik. Studi tentang

    genus mikoriza telah menjadi tren, karena disadari bahwa fungi ini memiliki banyak

    genom dibandingkan dengan zygomycetes lain, yaitu berkisar 0.13 sampai 1.0 pg

    DNA per nukleus. Analisis terhadap komposisi basa DNA Sembilan spesies

    glomelian memperlihatkan kandungan GC rendah dengan level tinggi

    methylcytisine. dan genom memiliki sekuens DNA ulangan yang banyak. Metode

    molekular telah berhasil dilakukan untuk mempelajari sekuens rDNA dari mikoriza

    (Hidayat, 2015).

  • 25

    Kurangnya konsep spesies yang jelas dan polimorfisme gen penanda yang

    digunakan membuat kesulitan dalam identifikasi mikoriza secara molekuler. Satu

    lokus genetik tunggal (misalnya rDNA) juga tidak bisa memberikan perbedaan

    yang jelas antara variasi genetik intra-spesies dan antar spesies. Masalah yang

    ditemui dalam identifikasi ini adalah kesulitan dalam ekstraksi DNA. Dalam

    identifikasi secara molekuler, primer spesifik sangat dibutuhkan. Merancang satu

    primer pada semua jamur glomalean dan lainnya terbukti sangat sulit. Masalah

    tersebut bisa dipecahkan dengan menggunakan primer kelompok tertentu. Namun,

    penggunaan primer ini membutuhkan perencanaan yang sangat teliti (Reddy dkk,

    2005)

    2.3.2 Perbanyakan Spora Mikoriza

    Cendawan Mikoriza tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan karena

    cendawan ini merupakan simbion obligat, sehingga untuk perkembangannya

    cendawan ini harus bersimbiosis dengan suatu tanaman. Spora-spora yang

    dikumpulkan dari lapang dapat terdiri atas berbagai spesies. Upaya pemurnian

    harus dilakukan dengan menginokulasikan satu spora dengan tanaman inang

    tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan satu isolat yang kemungkinan

    merupakan satu spesies tertentu (Simanungkalit, 2004). Bahan yang biasa

    digunakan dalam upaya perbanyakan spora mikoriza adalah media zeolite,arang

    sekam dan tanah yang terlebih dahulu sudah di sterilisasi. Selain itu karena sifat

    simbion obligat tersebut mikoriza hanya akan berkembang biak jika menemukan

    tanaman inang, untuk proses perbanyakan biasanya menggunakan bibit jagung

    yang sudah mulai muncul 2-3 helai daun. Spora dapat hidup di dalam tanah

  • 26

    beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk berkembang mikoriza

    memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum

    digunakan lagi (Mosse, 1981 dalam (Widiarti, 2007).