II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisme Penghasil Enzim...

23
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisme Penghasil Enzim Laccase Fungi yang menghasilkan enzim laccase yaitu fungi golongan basidiomycetes yang terbagi menjadi 3 kelompok diantaranya fungi pelapuk putih, fungi pelapuk coklat, dan fungi ascomycetes atau fungi pelapuk lunak (Blanchette 1995). Fungi jenis tersebut terlibat dalam proses biodegredasi biomassa lignoselulosa yang memiliki kemampuan untuk mendegredasi lignin dan menguraikannya secara sempurna menjadi H2O dan CO2. Fungi sering dipakai industri dikarenakan proses produksi dapat cepat dan ditingkatkan selain itu fungi tidak memerlukan proses penghancuran sel saat memanen enzim (proses penghancuran sel tidak selalu mudah dilakukan dalam skala besar ), enzim yang disekresikan keluar sel umumnya terbatas jenisnya ini berarti enzim ekstrim sel terhindar dari kontaminasi berbagai jenis protein, dan secara alami enzim disekresikan keluar sel lebih tahan terhadap proses denaturasi (Saragi, 2009). Fungi tersebut dapat menghasilkan enzim laccase dalam bentuk multicopper fenol oksidase yang mengoksidasi berbagai senyawa fenolik dan amina aromatik menggunakan molekul oksigen sebagai terminal akseptor elektron (Janusz et al., 2013). Contoh fungi dari kelompok basidiomycetes yang dapat menghasilkan enzim laccase adalah kelompok white-rot misalnya Trametes versicolor dan Phanerochaeta chrysosporium. White-rot fungi atau fungi pelapuk putih telah diketahui paling efisien menghasilkan laccase. Efisiensi degradasi yang lebih baik tersebut disebabkan oleh kumpulan hifa yang memberikan

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisme Penghasil Enzim...

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organisme Penghasil Enzim Laccase

Fungi yang menghasilkan enzim laccase yaitu fungi golongan

basidiomycetes yang terbagi menjadi 3 kelompok diantaranya fungi pelapuk

putih, fungi pelapuk coklat, dan fungi ascomycetes atau fungi pelapuk lunak

(Blanchette 1995). Fungi jenis tersebut terlibat dalam proses biodegredasi

biomassa lignoselulosa yang memiliki kemampuan untuk mendegredasi lignin dan

menguraikannya secara sempurna menjadi H2O dan CO2. Fungi sering dipakai

industri dikarenakan proses produksi dapat cepat dan ditingkatkan selain itu fungi

tidak memerlukan proses penghancuran sel saat memanen enzim (proses

penghancuran sel tidak selalu mudah dilakukan dalam skala besar ), enzim yang

disekresikan keluar sel umumnya terbatas jenisnya ini berarti enzim ekstrim sel

terhindar dari kontaminasi berbagai jenis protein, dan secara alami enzim

disekresikan keluar sel lebih tahan terhadap proses denaturasi (Saragi, 2009).

Fungi tersebut dapat menghasilkan enzim laccase dalam bentuk

multicopper fenol oksidase yang mengoksidasi berbagai senyawa fenolik dan

amina aromatik menggunakan molekul oksigen sebagai terminal akseptor elektron

(Janusz et al., 2013). Contoh fungi dari kelompok basidiomycetes yang dapat

menghasilkan enzim laccase adalah kelompok white-rot misalnya Trametes

versicolor dan Phanerochaeta chrysosporium. White-rot fungi atau fungi pelapuk

putih telah diketahui paling efisien menghasilkan laccase. Efisiensi degradasi

yang lebih baik tersebut disebabkan oleh kumpulan hifa yang memberikan

6

kapasitas penetrasi (Ghosh, Das, & Ghosh, 2018). Kelompok Brown-rot seperti

Fomitopsis palustris. sedangkan dari kelompok ascomycetes adalah Trichoderma

reesei dan Penicillium sp (Dashtban et al, 2010).

Enzim laccase juga ditemukan pada serangga, bakteri, dan fungi. Salah

satu fungi yang dapat menghasilkan enzim laccase adalah fungi Pleurotus sp.

yang merupakan agen pengendali hayati yang efektif dan dapat menghasilkan

enzim laccase dengan menggunakan residu tanaman sebagai substrat (Waluyo,

2004).

Enzim laccase juga dapat ditemukan pada serangga seperti calliphora,

diploptera, drosophila, lucilia, musca, manduca, orycetes, papilo, phormia,

rhodnius, schistocerca, dan tenebrio (Arora dan Sharma, 2010). Sedikit berbeda

dengan laccase pada fungi dan tanaman, laccase yang berhasil diisolasi dari

serangga berupa polifenol oksidase yang bertanggung jawab atas reaksi

pencokelatan pada tanaman akibat adanya kerusakan sel pada tanaman tersebut.

Beberapa literatur review juga mengemukakan enzim laccase tumbuh pada

mikroorganisme prokariotik seperti Azoprillum lipoferum (Diamantidis et al.,

2007), Marinomonas mediterranea (Solano et al., 1997), Streptopmyces griseus

(Endo et al., 2003), E.coli (Kim et al., 2001), Bacillus subtilis

(Muthukumarasamy et al., 2015), Bacillius halodurans, Pseudomonas fluorencens

GB-1, Pseudomonas maltophila, Pseudomonas putida GB1, Streptomyces

antibioticus, Streptomyces psammoticus MTCC 7334 dan Streptomyces griseus

(Sharma et al., 2007). Studi beberapa jenis fungi dan bakteri yang menghasilkan

laccase mempunyai kemampuan dalam penurunan warna pada mikropolutan

7

senyawa fenol yang telah dilakukan Margot (2013). Seperti contoh fungi pelapuk

putih Pleurotus sp. mempunyai kemampuan menurunkan warna limbah dengan

mendegredasi dan dekolorisasi pada limbah, fungi ini mempunyai tiga enzim

ligninolitik (LiP, MnP, Lac) sehingga dapat menguraikan lebih cepat (Subowo,

2015).

2.1.1 Fungi Pleurotus sp.

Fungi tiram atau Pleurotus sp. adalah salah satu jenis fungi kayu yang

banyak tumbuh pada media kayu, baik kayu gelondongan ataupun serbuk kayu.

Pada limbah hasil hutan dan hampir semua kayu keras, produk samping kayu,

tongkol jangung dan lainnya, fungi dapat tumbuh secara luas pada media tersebut.

Di Indonesia fungi tiram putih merupakan salah satu jenis fungi yang banyak

dibudidayakan. Karena bentuk yang membulat, lonjong, dan agak melengkung

serupa cakra tiram maka fungi kayu ini disebut fungi tiram. Menurut Cahyana et

al., (1997) klasifikasi lengkap tanaman fungi tiram adalah sebagai berikut :

Kingdom : Mycetea

Division : Amastigomycotae

Phylum : Basidiomycotae

Class : Hymenomycetes

Ordo : Agaricales

Family : Pleurotaceae

Genus : Pleurotus

Species : Pleurotus ostreatus

8

Fungi tiram memiliki ciri-ciri fisik seperti permukaannya yang licin dan

agak berminyak ketika lembab, bagian tepinya agak bergelombang, letak tangkai

lateral agak disamping tudung dan daging buah berwarna putih (Pleurotus sp.).

Fungi tiram memiliki diameter tudung yang menyerupai cangkang tiram berkisar

antara 5– 15 cm, fungi ini dapat tumbuh pada kayu-kayu lunak dan pada

ketinggian 600 meter dari permukaan laut, spesies ini tidak memerlukan intensitas

cahaya tinggi karena dapat merusak miselia fungi dan tumbuhnya buah fungi.

Fungi tiram dapat tumbuh dan berkembang dengan suhu 15 oC- 30 oC pada pH

5,5- 7 dan kelembaban 80%-90% (Achmad et al., 2011). Penampakan fungi tiram

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Fungi Pleurotus sp.

(Sumber : Yuwono, 2007)

Berdasarkan penelitian Sumarmi (2006), fungi tiram mengandung protein,

air, kalori, karbohidrat, dan sisanya berupa serat, zat besi, kalsium, vitamin B1,

vitamin B2 dan vitamin C. Fungi tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan bahan

makanan bernutrisi dengan kandungan protein tinggi, kaya vitamin dan mineral,

rendah karbohidrat, lemak dan kalori. Dilihat dari kandungan gizi yang terdapat

dalam fungi tiram maka bahan ini termasuk aman untuk dikonsumsi. Adanya serat

9

yaitu lignoselulosa baik untuk pencernaan. Komposisi dan kandungan nutrisi

fungi tiram per 100g dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrisi fungi tiram per 100 g (%bk)

Zat Gizi Jumlah

Kalori (kal) 265

Protein (%) 27

Karbohidrat (%) 58

Lemak (%) 1,6

Serat (%) 11,5

Abu (%) 9,3

Tiamin (mg) 4,8

Riboflavin (mg) 4,7

Niasin (mg) 108,7

Kalsium (mg) 33

Kalium (mg) 3,379

Fosfor (mg) 134,8

Natrium (mg) 83,7

Zat besi (mg) 15,2

Sumber: (Suriawiria, 2002)

Menurut Suriawiria (2000), fungi merupakan sumber mineral yang baik.

Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P),

natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Namun, fungi juga merupakan

sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan,

molibdenum, kadmium, dan tembaga. Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Mg mencapai

56-70% dari total abu, dengan kandungan kalium sangat tinggi mencapai 45%.

Menurut Chang dan Miles (2004) dalam Martawijaya dan Nurjayadi (2010),

kandungan logam berat itu masih jauh di bawah batas yang ditetapkan dalam

undang-undang Fruit Product Order and Prevention of Food Adulteration Act

tahun 1954. Oleh karena itu fungi tiram sebagai sayuran aman dikonsumsi setiap

hari, sebagai sumber asam-asam amino yang diperlukan tubuh, sumber vitamin

10

B1, B2 dan provitamin D2, dan sumber mineral terutama kalium dan fosfor. Fungi

tiram juga mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis

dalam tubuh yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin,

histidin dan fenilalanin.

Fungi tiram dapat tumbuh di sebagian besar wilayah Indonesia pada

ketinggian antara 550-800 meter di atas permukaan laut dengan kadar air sekitar

60% dan derajat keasaman pH 6 -7. Jika kadar air di lokasi terlalu tinggi, maka

fungi tiram akan terserang penyakit busuk akar. Namun, jika kadar air kurang

maka miselium fungi tidak bisa menyerap sari makanan dengan baik sehingga

pertumbuhan fungi tidak maksimal (Wiardani, 2010). Suriawiria (2004)

menyatakan bahwa pertumbuhan fungi tiram sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, seperti suhu, kelembaban, cahaya, sirkulasi udara dan air. Cahyana et

al (1999), menyatakan bahwa keadaan suhu dalam ruangan fungi perlu

diperhatikan, suhu yang terlalu tinggi dan kelembaban yang terlalu rendah akan

menyebabkan primordial (bakal fungi) menjadi kering dan mati.

Fungi tiram membutuhkan oksigen sebagai nyawa pertumbuhan.

Keterbatasan oksigen akan mengganggu pertumbuhan tubuh buah, sedangkan

kelebihan oksigen akan menyebabkan tubuh buah fungi cepat layu. Menurut

Cahyana et al.(1999) dan Achmad et al.(2011). suhu yang dibutuhkan fungi tiram

untuk pembentukan miselium adalah 22-28oC dengan kelembapan 60-80%. Fase

pembentukan tubuh buahnya memerlukan suhu 16-22oC dan kelembaban 80-90%

dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10%.

11

Pertumbuhan fungi pada prinsipnya tidak membutuhkan intensitas cahaya

yang tinggi karena cahaya bersifat sebagai pendorong pertumbuhan primordial

fungi dan perkembangan buahnya saja. Kadar air media diatur hingga 50-65%,

kadar air yang kurang menyebabkan penyerapan makanan oleh fungi menjadi

kurang optimal, sehingga fungi menjadi kurus bahkan mati (Cahyana et al.1999).

Menurut Suriawiria (2001), untuk kehidupan dan perkembangan fungi

memerlukan sumber nutrisi atau makanan dalam bentuk unsur-unsur seperti

nitrogen, fosfor, belerang, kalium, karbon, serta beberapa unsur lainya. Nutrisi

media sangat berperan dalam proses budidaya fungi tiram. bahan baku yang

digunakan sebagai media dapat berupa batang kayu, campuran serbuk kayu dan

jerami bahkan alang-alang.

Fungi Pleurotus sp. termasuk golongan fungi pelapuk putih yang memiliki

kemampuan untuk mendegredasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan

kehilangan selulosa dibandingkan dengan golongan pelapuk lainnya (Risdianto et

al., 2007). Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim lignolitik yang dihasilkan

oleh fungi pelapuk putih yaitu Lignin Peroksidase (LiP), Manganese Peroksidase

(MnP) dan Laccase. Proses degradasi lignin ini dimulai saat fungi pelapuk putih

menembus dan membentuk koloni dalam sel kayu, lalu mengeluarkan enzim yang

berdifusi melalui lumen dan dinding sel. Fungi pelapuk putih menyerang

komponen lignin dari kayu hingga menyisakan selulosa dan hemiselulosa yang

tidak terlalu berpengaruh. Akibatnya, terjadi penurunan kekuatan fisik kayu dan

pembengkakan jaringan kayu degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan

lignin pada kayu berkurang.

12

Kemampuan mendegradasi lignin fungi pelapuk putih dapat digunakan

dalam proses pemutihan pulp kimia. Degradasi lignin oleh fungi pelapuk putih

merupakan proses oksidatif. Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik dan

bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin

(Perez et al., 2002). Enzim pendegradasi lignin terdiri dari Lignin Peroksidase

(LiP), Manganase Peroksidase (MnP) dan Laccase. Adanya enzim ini akan

mendegradasi lignin menjadi senyawa yang lebih sederhana (Kerem dan Hadar,

1998).

2.2 Enzim Laccase

Laccase adalah enzim yang memiliki potensi besar di bidang bioteknologi

dan pasar internasional. Enzim ini diaplikasikan dalam beberapa bidang industri

seperti delignifikasi pulp, penyisihan warna limbah, detoksifikasi air limbah,

detoksifikasi senyawa xenobiotik dan transformasi antibiotik dan steroid (Octavio

et al., 2006). Potensi laccase yang begitu besar mengakibatkan laccase memiliki

nilai ekonomis yang tinggi. Laccase adalah enzim yang dapat mengoksidasi

senyawa aromatik dan non aromatik pada spectrum yang luas yang terbentuk oleh

aktivitas mikroba maupun tanaman. Laccase tumbuh secara luas dalam tanaman

tingkat tinggi, fungi Ascomycetes, Deuteromycetes, dan Basidio-mycetes, serta

bakteri. Studi beberapa jenis fungi dan bakteri yang menghasilkan laccase

mempunyai kemampuan dalam pengurangan warna pada mikropolutan senyawa

fenol.

13

Enzim laccase ditemukan pada serangga, bakteri dan fungi. Salah satu

fungi yang dapat menghasilkan enzim laccase adalah fungi Pleurotus sp.

Pleurotus sp. merupakan salah satu agen pengendali hayati yang efektif dan dapat

menghasilkan enzim laccase dengan menggunakan residu tanaman sebagai

substrat (Waluyo, 2004). Umumnya laccase dalam beberapa literatur diisolasi dari

fungi. Fungi Pleurotus sp. untuk menghasilkan enzim laccase memerlukan media

fermentasi yang mampu menyediakan sumber nutrisi yang cukup.

Lignin merupakan salah satu komponen penyusun utama biomassa yang

dapat berperan sebagai nutrisi untuk memproduksi laccase. Jerami padi sebagai

bahan lignoselulosa, mengandung lignin berkisar 10-25%, hemiselulosa 20-35%,

dan selulosa 35-50% (Saha, 2004). Indonesia sebagai negara agraris merupakan

penghasil jerami padi yang sangat besar sekitar 80 juta ton per tahun. Selama ini

pemanfaatan jerami padi hanya sebagai ternak, dan belum ada pemanfaatan yang

lebih ekonomis. Jerami padi telah dilaporkan sebagai media pertumbuhan fungi

yang baik (Sulardjo, 2013).

Enzim laccase merupakan enzim multicopper yang mengkatalisis proses

oksidasi dari berbagai jenis senyawa organik dan inorganik seperti senyawa

mono, di- dan polifenol, aminofenol, metoksifenol, fenol tersubstitusi, diamin,

amin aromatik dan asam askorbat (Mayer dan Staples, 2002). Enzim ini disebut

enzim multicopper karena mengandung 4 ion tembaga. Laccase berbentuk

holoenzim aktif. Fungsi laccase tergantung pada Cu yang terletak di tiga sisi

pengikat. Cu mempunyai peranan penting dalam mekanisme katalitik. Ada tiga

langkah utama dalam katalisis oleh laccase. Cu tipe 1 akan mereduksi substrat.

14

Elektron kemudian ditransfer secara internal dari Cu tipe 1 ke cluster trinuclear

(tipe 2 dan tipe 3). Molekul O2 direduksi menjadi air di cluster trinuclear

(Kunamneni et al, 2008 ; Enguita et al 2003).

Molekul O2 terikat pada cluster trinuclear untuk aktivasi sisi asimetris dan

akan muncul kantong pengikat O2 tujuannya untuk membatasi akses agen

pengoksidasi selain O2. Empat elektron hasil oksidasi substrat dipasangkan

dengan satu molekul oksigen melalui reaksi reduksi untuk menghasilkan molekul

air. Sehingga mekanisme reaksi tidak bisa terjadi langsung. Laccase harus

berfungsi sebagai penyimpan elektron dari reaksi oksidasi substrat untuk

mereduksi molekul oksigen. Rincian reduksi O2 belum sepenuhnya dijelaskan

karena masih terus dipelajari hingga saat ini (Kunamneni et al., 2008 ; Enguita et

al., 2003).

Gambar 2. Ilustrasi sisi aktif enzim laccase

(Astina et al., 2017)

15

Faktor-faktor yang memengaruhi tumbuhnya enzim laccase terdiri dari

nilai pH, suhu, ketersediaan karbon dan nitrogen. Nilai pH yang optimum untuk

laccase bergantung pada substratnya dimana substrat fenol, pH optimumnya

berkisar antara 3-7 untuk laccase yang dihasilkan oleh fungi (Heinzkill et al.,

1998). Selanjutnya, pH media kultur yang lebih tinggi akan berdampak negatif

untuk aktivasi enzim dan dapat menurunkan produksi laccase. Penemuan ini

dikaitkan dengan akumulasi mikroba produk metabolik dalam kultur yang

menginaktivasi laccase atau menghambat biosintesisnya atau karena aksi enzim

proteolitik.

Sebagian besar kultur fungi lebih menyukai pH sedikit asam berkisar 3-6

untuk tumbuh dan proses biosintetis enzim (Haltrich et al., 1996). Nilai pH

optimum laccase yang bervariasi disebabkan oleh perubahan reaksi yang

dihasilkan oleh substrat, oksigen, atau enzim itu sendiri (Xu, 1997). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Elshafei et al. (2012), pembentukan optimal enzim

laccase dari fungi Penicillium martensii adalah pada pH 5,5. Suhu optimum

laccase juga berbeda-beda bergantung pada sumber fungi yang menghasilkan

enzim tersebut. Suhu merupakan faktor penting dalam bioproses yang berefek

pada denaturasi protein, penghambatan enzimatik, memproduksi atau

menghambat produksi metabolit tertentu, dan kematian sel. Suhu optimal laccase

sangat berbeda dari satu strain dengan yang lain. Banyak peneliti telah

melaporkan suhu optimum untuk produksi laccase adalah antara 25-30°C

menggunakan berbagai fungi pelapuk putih. Berdasarkan beberapa penelitian

sebelumnya, suhu optimum laccase yang diperoleh dari Penicillium martensii.

16

adalah pada suhu 30 oC (7,21 U/mg protein) dan pada suhu 25 oC (5,10 U/mg

protein) (Elshafei et al., 2012). Laccase yang diperoleh dari Ganoderma lucidum

memiliki suhu optimum 25-30 oC (Pointing et al., 2000) dan stabil pada suhu 10-

50 oC dalam 4 jam (Ko et al., 2001). Laccase yang diperoleh dari Pleurotus sp.

optimum pada pH 4 dan suhu 35oC. Adapun laccase yang diperoleh dari

Marasmius quercophilus stabil dalam 1 jam pada suhu 60 oC (Farnet et al., 2000).

Menurut Zadrazil et al. (1999), suhu lebih tinggi dari 30 oC dapat menyebabkan

penurunan aktifitas enzim lignolitik.

Produksi laccase bergantung pada sumber karbon alami yang dalam

beberapa kasus mungkin berasal dari residu agro-industri lignoselulosa yang

berbeda. Sehingga pemilihan sumber karbon yang tepat merupakan hal yang

penting dalam pertumbuhan dan metabolisme fungi serta berperan penting dalam

menghasilkan (yield) enzim. Seperti Pleurotus sp. sumber karbonnya mannitol,

Ganoderma sp. sumber karbonnya starch. Produksi laccase juga dipengaruhi oleh

sumber nitrogen organik diantaranya yeast extract, pepton, tripton, dan anorganik

seperti urea, ammonium sulfat, ammonium klorida, ammonium nitrat, potassium

nitrat (Ghosh et al., 2018).

Laccase umumnya diproduksi dalam konsentrasi rendah oleh mikroba

penghasil laccase tetapi konsentrasi dapat ditingkatkan dengan penambahan

suplemen inducer pada media. Suplementasi inducer yang sesuai dapat

meningkatkan produksi laccase. Senyawa yang berbeda seperti substrat fenolik

dan non-fenolik dapat bertindak sebagai inducer. Beberapa contoh inducer untuk

produksi laccase dapat dilihat pada Tabel 2.

17

Tabel 2. Contoh Inducer yang Berbeda Saat Memproduksi Laccase

Mikroorganisme Inducer used

Pleurotus sp. CuSO4

Streptomyces psammoticus Pyrogallol

Trametes pubescens MB89 2, 5-xylidine

Trametes versicolor ATCC

200801 ABTS

Agaricus blazei Etanol and guaiakol,

Sumber : (Ghosh et al., 2018) dan (Subowo, 2015)

2.2.1 Teknik Produksi Enzim Laccase

Laccase dapat dihasilkan dalam fermentasi kultur rendam (submerged

fermentation) maupun dalam Fermentasi kultur padat (Solid State Fermentation,

SSF) (Risdianto, 2016). Fermentasi kultur rendam (Submerged Fermentation,

SmF) melibatkan mikroorganisme dalam medium cair kaya nutrisi dan

konsentrasi oksigen tinggi (kondisi aerobik). Produksi enzim skala industri

biasanya menggunakan metode ini. Produksi laccase dengan fermentasi kultur

rendam dengan pertumbuhan bebas miselia telah dilakukan oleh banyak peneliti.

Pertumbuhan fungi dalam kultur rendam biasanya menghasilkan pola

pertumbuhan miselium yang tidak terkendali. Pertumbuhan biomassa berpengaruh

pada perpindahan massa, laju metabolik, dan sekresi produk. Miselium fungi

dapat membungkus impeler dan tersebar dalam jalur pengambilan contoh dan

pengumpan nutrisi sehingga perpindahan oksigen terbatas. Kelemahan tersebut

membatasi waktu operasi bioreaktor.

Fermentasi kultur padat didefinisikan sebagai proses fermentasi dengan

tidak atau hampir tidak ada cairan bebas, menggunakan substrat inert (bahan

18

sintetis) atau substrat alami (bahan organik) sebagai media pertumbuhan (support

media). Fermentasi padat cocok digunakan untuk teknik fermentasi yang

menggunakan fungi dan mikroorganisme yang membutuhkan sedikit kelembapan.

Teknik ini tidak dapat digunakan untuk proses fermentasi yang melibatkan

organisme yang membutuhkan aw (activity water) tinggi, seperti bakteri

(Subramaniyam & Vimala 2012). Fermentasi padat digunakan untuk produksi

enzim menggunakan fungi berfilamen untuk menyesuaikan dengan kondisi fungi

di alam (Couto & Sanroman 2005). Rolle (1998) menyatakan bahwa fermentasi

substrat padat untuk produksi enzim memiliki beberapa keuntungan dibandingkan

dengan fermentasi terbenam (submerged fermentation). Keuntungan tersebut

antara lain tidak memerlukan energi untuk aerasi, penyiapan medium dan

pengendalian proses lebih sederhana, peralatan produksi lebih sederhana sehingga

sesuai untuk industri skala kecil- menengah dan pemisahan enzim dari subtrat

relatif lebih mudah.

Fermentasi kultur padat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi pemilihan

mikroorganisme, substrat, medium, parameter proses (kimia dan biologi).

Identifikasi fisiologi mikroorganisme dan faktor fisika-kimia yang mendukung

pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim yang dihasilkan menuntun

untuk pengembangan parameter proses seperti pH, suhu, aerasi, water activity,

kelembapan, jenis substrat dan ukuran yang digunakan. Risdianto et al. (2012)

menyatakan bahwa suhu, pH dan konsentrasi ekstrak ragi berpengaruh pada

produksi laccase dari fungi Marasmius sp. dalam fermentasi kultur padat

menggunakan media pertumbuhan jerami.

19

2.3 Aplikasi Enzim Laccase

Lingkup substrat enzim laccase secara spesifik sangat luas sehingga enzim

ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang industri seperti delignifikasi pulp,

penyisihan warna limbah, detoksifikasi air limbah, dan detoksifikasi senyawa

xenobiotik (Octavio et al, 2006). Dengan potensi penggunaan yang begitu besar

sehingga enzim laccase memiliki nilai ekonomis tinggi. Kesuksesan aplikasi

enzim laccase pada berbagai bidang industri memerlukan produksi yang besar

dengan biaya yang rendah. Pengurangan biaya produksi enzim laccase dapat

dilakukan dengan pemilihan mikroorganisme yang tepat, optimisasi medium

fermentasi, penambahan inducer, optimisasi kondisi proses seperti pH dan suhu.

Inducer yang dapat digunakan terutama senyawa-senyawa turunan lignin.

Fungi pelapuk putih yang mampu menghasilkan enzim laccase, lignin

peroksidase (Li-P) serta Mn-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi

diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses

degredasi lignin. Bioremedasi dan biodegredasi polutan organik (klorofenol dan

polisiklik aromatik hidrokarbon) dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil serta

biobleaching, dan biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan laccase memiliki

aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Laccase berperan dalam

pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi dan patogenisitas (Thurston,

1994). Laccase yang dihasilkan oleh masing-masing fungi pelapuk putih memiliki

perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul pH

optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa fungi yakni Panaeolus

sphinetrinus, Panaeolus papilionaceus, Coprinus firiesii (Heinzkill et al. 1998),

20

Trametes versicolor (Han et al. 2004) Pycroporus cinnabarinus (Eggert et al,

1996).

Laccase juga digunakan dalam diagnose medis, biolinker, biofuel, diterjen

sintetis, bahan antimikroba dan untuk membersihkan herbisida, peptisida dan

beberapa bahan peledak di tanah. Saat ini, para peneliti fokus pada sintesis

enzimatik dari senyawa organik, biooksidasi berbasis laccase, biotransformasi dan

pengembangan biosensor (Ghosh et al., 2018).

Laccase berperan dalam perubahan warna, stabilisasi wine, baking, dan

penyedap (flavoring) dalam food processing. Laccase dapat meningkatkan proses

baking melalui efek pengoksidasi dan pengembangan tambahan pada kekuatan

adonan dan produk yang dipanggang termasuk meningkatkan struktur remah dan

meningkatkan kelembutan dan volume. Aplikasi lain dari laccase adalah pada

sektor lingkungan yang dapat menurunkan berbagai rentang senyawa xenobiotik

(Singh & Kumar, 2019).

Laccase juga berpotensi untuk diaplikasikan pada produksi wine, seperti:

1. Treatment untuk menghilangkan fenol oksidatif sehingga dapat

menghindari rasa tetra-chloroanisol yang berevolusi dalam botol wine

2. Biosensor untuk memperkirakan kandungan polifenol dalam wine

3. Menghilangkan amina aromatik oksidatif yang tidak menyehatkan seperti

tyramine

4. Treatment distilasi air limbah dari nilai pH asam, BOD (Biochemical

Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) tinggi serta

21

warna yang gelap karena adanya senyawa fenolik atau polimer nitrogen

(melanoidins) (Sahay, 2019).

Laccase dapat digunakan dalam bioremediasi (penggunaan

mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan), pengolahan minuman

(anggur atau wine, jus buah dan bir), penentuan asam askorbat, gula bit gelasi

pektin, pemanggangan (baking), dan sebagai biosensor serta meningkatkan

parameter sensoris makanan. Laccase dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi

dan kualitas produk makanan tanpa investasi atau biaya yang mahal dan memiliki

keuntungan sebagai teknologi ringan (Minussi, Pastore, & Durán, 2002).

Industri roti menggunakan berbagai enzim untuk meningkatkan tekstur,

volume, rasa, dan kesegaran roti. Dengan penambahan laccase ke dalam adonan

yang digunakan dalam produksi roti menunjukan efek oksidasi yang

menghasilkan peningkatan kekuatan struktur gluten dalam adonan dan produk

roti. Penambahan laccase juga menghasilkan peningkatan volume, memperbaiki

struktur renyah, dan kelembutan produk roti. Peningkatan kualitas roti dengan

penambahan enzim laccase terlihat jelas ketika produksi roti menggunakan tepung

dengan kualitas rendah. Pembuatan roti pada tepung gandum dengan penambahan

enzim laccase dan enzim proteolitik menyebabkan depolimerisasi β-glukan dan

polimerisasi protein sehingga menghasilkan sifat reologi yang lebih baik dan

berkontribusi positif untuk meningkatkan produksi pembuatan roti oleh tepung

gandum. (Brijwani, Rigdon, & Vadlani, 2010). Selain enzim laccase terdapat

beberapa enzim lain yang berkontribusi dalam pembuatan roti seperti enzim

amilase yang berperan untuk merusak granula pati menghasilkan amilosa yang

22

terlarut sebagai subsrat enzim pada degredasi amilosa selanjutnya. Selama proses

hidrolisis molekul pati, juga dihasilkan dextrin. Amilolisis atau hidrolisis amilosa

dalam molekul pati yang terbatas dapat memberikan efek yang positif terhadap

tekstur adonan roti, sehingga teksturnya menjadi menjadi lebih lembut. Proses

amilolisis yang terlalu intensif dapat menyebabkan adonan roti kehilangan air

(dehidrasi) dan dextrin yang terbentuk jumlahnya banyak, hal ini dapat

menyebabkan adonan roti menjadi lengket, terdapat pula enzim yang dapat

memecah pati yang digunakan dalam proses pengolahan roti seperti diastase,

glukoamilase (Hamer, 1995).

Produksi jerami yang cukup tinggi di Indonesia berpotensi menjadi salah

satu bahan baku bioetanol generasi kedua. Jerami sebagai bahan lignoselulosa,

memiliki kandungan lignin 18%, hemiselulosa 24%, dan selulosa 32,1%

(Sanchez,2009). Proses konversi jerami menjadi bioetanol memiliki kendala

karena keberadaan senyawa lignin. Senyawa lignin merupakan komponen dengan

struktur kuat yang meyelubungi selulosa dan hemi selulosa (Sanchez,2009).

Senyawa lignin ini perlu dihilangkan terlebih dahulu dengan pengolahan awal

yang dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologis. Salah satu

pengolahan awal biologis adalah penggunaan enzim laccase. Enzi laccase

diproduksi oleh berbagai jenis fungi dan tumbuhan tingkat tinggi (Mayer dan

Staples, 2002). Fungi pelapuk putih sudah diketahui sebagai kelompok fungi yang

mampu mendegradasi lignin dengan menghasilkan enzim laccase (Sanchez,

2009). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Marasmius sp.

23

merupakan fungi pelapuk putih yang berpotensi dalam menghasilkan enzim

laccase (Risdianto et al., 2012).

2.3.1 Substrat dan Mekanisme Reaksi

Cross-linking Monomer

Oksidasi enzimatis dari komponen fenol dan anilin oleh laccase

menghasilkan radiasi yang akan bereaksi satu sama lain dan akan membentuk

dimer, oligomer, maupun polimer yang berikatan kovalen dengan ikatan C-C, C-

O, dan C-N. Pada tingkatan tanaman yang lebih tinggi, cross-linking dari

prekursor fenolik oleh laccase merupakan salah satu bagian dari proses lignifikasi.

Pada mikroorganisme, cross-linking residu protein (misalnya tyrosine menjadi

dityrosine), merupakan fungsi laccase dalam pembentukan panas dan spora

Bacillus yang menjadi tahan sinar UV (Hullo et al., 2001).

Degradasi Polimer

Laccase berperan dalam degradasi senyawa polimer natural yang

kompleks, seperti lignin atau asam humat (Claus dan Fillip, 1998). Radikal yang

reaktif akan terbentuk, yang akan menyebabkan terpecahnya ikatan kovalen dan

menghasilkan monomer. Akibat halangan sterik, enzim laccase tidak dapat

bersentuhan secara langsung dengan polimer. Sebagai gantinya, senyawa organik

yang lebih kecil atau logam yang dapat teroksidasi dan diaktivasi oleh laccase

(contohnya Mg) akan menengahi reaksi depolimerisasi.

24

2.4 Tongkol Jagung

Tongkol jagung adalah bagian dalam organ betina tempat bulir duduk

menempel. Istilah ini juga dipakai untuk menyebut seluruh bagian jagung betina

(buah jagung). Tongkol terbungkus oleh kelobot (kulit buah jagung). Secara

morfologi, tongkol jagung adalah tangkai utama malai yang termodifikasi, Malai

organ jantan pada jagung dapat memunculkan bulir pada kondisi tertentu.

Tongkol jagung muda, disebut juga babycorn, dapat dimakan dan dijadikan

sayuran. Tongkol yang tua ringan namun kuat, dan menjadi sumber furfural,

sejenis monosakarida dengan lima atom karbon. Tongkol jagung tersusun atas

senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose. Masing-masing merupakan

senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara

biologi (Suprapto dan Rasyid, 2002). . Menurut Iswanto (2009), serat kasar

tongkol jagung mempunyai kandungan lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45%

dan kadar hemiselulosa 35%. Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung

dapat digunakan sebagai sumber energi dan sebagai sumber karbon bagi

pertumbuhan mikroba. Tongkol jagung merupakan limbah lignoselulosa dari

limbah pertanian dengan jumlah limbah yang sangat berlimpah. Menurut Koswara

(1992), tongkol jagung merupakan tempat pembentukan lembaga dan gudang

penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta modifikasi dari cabang yang

mulai berkembang pada ruas-ruas batang.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jagung dari tahun

1993 sampai 2017 meningkat sangan pesat terutama selama 10 tahun terakhir.

Pada tahun 2008 produksi jagung meningkat sangat pesat dari 13 juta ton menjadi

25

16 juta ton sampai data akhir dari BPS di tahun 2017 menyatakan jumlah produksi

jagung menjadi 27,9 juta ton. Melihat tingginya limbah tongkol jagung ini perlu

adanya tindakan yang dapat mendukung pengurangan limbahnya, mengingat

penanganan dan pemanfaatan limbah di Indonesia belum maksimal jika dibiarkan

begitu saja tentu saja dapat menjadi permasalahan di lingkungan apabila tidak

ditangani dengan tepat. Limbah tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Limbah tongkol jagung

(Sumber : Farming.id, 2018)

2.5 Jerami Padi

Jerami adalah hasil samping usaha pertanian berupa tangkai dan batang

tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijiannya dipisahkan. Massa

jerami kurang lebih setara dengan massa biji-bijian yang dipanen. Jerami

memiliki banyak fungsi, di antaranya sebagai bahan bakar, pakan ternak, alas atau

lantai kandang, pengemas bahan pertanian (misal telur), bahan bangunan (atap,

dinding, lantai), mulsa, dan kerajinan tangan.

Biomassa berselulosa terbentuk dari tiga komponen utama yakni selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama yang terkandung

dalam dinding sel tumbuhan dan mendominasi hingga 50% berat kering

tumbuhan. Jerami padi diketahui memiliki kandungan selulosa yang tinggi,

26

mencapai 39.1% berat kering, 27.5% hemiselulosa dan kandungan lignin 12,5%.

Komposisi kimia limbah pertanian maupun limbah kayu tergantung pada spesies

tanaman, umur tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan langkah

pemprosesan. Jerami padi merupakan biomassa yang secara kimia merupakan

senyawa berlignoselulosa. Menurut Saha (2004) komponen terbesar penyusun

jerami padi adalah selulosa (35-50 %), hemiselulosa (20-35 %) dan lignin (10-25

%) dan zat lain penyusun jerami padi.Selulosa dan hemiselulosa merupakan

senyawa yang bernilai ekonomis jika dikonversi menjadi gula-gula sederhana.

Gula-gula hasil konversi tersebut selanjutnya dapat difermentasi untuk

menghasilkan produk-produk bioteknologi seperti bioetanol, asam glutamat, asam

sitrat dan lainnya. Salah satu bentuk pemanfaatan yang sedang gencar dilakukan

dunia adalah menjadikan limbah agroindustri seperti jerami padi menjadi bahan

baku pembuatan bioetanol. Berdasarkan potensinya sebagai bahan baku bioetanol,

Kim dan Dale (2004) telah membuat prediksi bahwa sebanyak 0,28 l/Kg jerami

padi dapat dijadikan etanol. Limbah jerami padi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Limbah jerami padi

(Sumber: sulbar.litbang.pertanian.go.id, 2016)

27

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 10 tahun terakhir

produksi berat di Indonesia terus meningkat. Produksi padi pada tahun 2017

mencapai 57,15 juta ton kemudian terus mengalami peningkatan yang pesat 79

juta ton. Tingkat produksi beras juga akan terus meningkat mengingat

peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di Indonesia. Melihat tingginya limbah

jerami padi ini perlu adanya tindakan yang dapat mendukung pengurangan

limbahnya, mengingat penanganan dan pemanfaatan limbah di Indonesia belum

maksimal jika dibiarkan begitu saja tentu saja dapat menjadi permasalahan di

lingkungan apabila tidak ditangani dengan tepat seperti limbah dari jerami padi

yang dibakar oleh petani yang berimpas pada lingkungan atau memberikan efek

global warming.