II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bawang Merah -...

download II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bawang Merah - …media.unpad.ac.id/thesis/240210/2007/240210070043_2_4810.pdf · FTIP001630/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan,

If you can't read please download the document

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bawang Merah -...

  • FTIP001630/001

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Bawang Merah

    Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas yang sudah tidak asing

    lagi manfaatnya, yaitu sebagai bumbu dapur atau penyedap masakan sehari-hari. Bawang merah

    termasuk kedalam Divisio Spermatophyta, Subdivisio Angiospermae, Kelas Monocotyledonae,

    Ordo Asparagales (Liliiflorae), Famili Alliacea, Genus Allium, Spesies Allium ascalonicum L

    (Sumarni dan Sumiati, 1995 dikutip Djali, 2009). Bawang merah merupakan tanaman semusim

    sejenis rumput-rumputan, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-50 cm, membentuk rumpun

    dan berumbi lapis. Sistem perakaran bawang merah berbentuk akar serabut tidak panjang, bentuk

    daun bulat kecil dan memanjang seperti pipa. Bagian ujung daunnya meruncing, bagian

    bawahnya melebar dan membengkak serta daunnya berwarna hijau.

    Bagian pangkal umbi berbentuk cakram dan merupakan batang pokok tidak sempurna

    (rudimenter). Akar-akar serabut tumbuh dari bagian bawah cakram, sedangkan di bagian atas

    cakram diantara lapisan daun yang membengkak terdapat tunas yang akan tumbuh menjadi

    tanaman baru. Tunas ini dinamakan tunas lateral. Tunas apical terdapat di bagian tengah cakram

    dan kelak akan tumbuh menjadi bunga. Penampang melintang dan membujur umbi bawang

    merah serta bagian-bagiannya disajikan pada Gambar 1 dibawah ini.

  • FTIP001630/002

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Gambar 1. Penampang Melintang dan Membujur Umbi Bawang Merah

    (Wibowo, 1999)

    Bawang merah memiliki umbi yang berlapis-lapis dan dibungkus oleh lapisan

    pembungkus. Lapisan pembungkus siung umbi bawang merah biasanya 2-3 helai dan lapisan

    dari setiap siung berukuran relatif lebih tebal. Menurut Djali (2009), besar kecilnya siung

    bawang merah ditentukan oleh banyak dan tebal lapisan pembungkusnya.

    Kandungan zat gizi dalam umbi bawang merah dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan,

    waktu panen, penyimpanan, dan pengolahan. Air merupakan salah satu komponen yang cukup

    tinggi yaitu dapat mencapai 85% (Wibowo, 1999). Bawang merah juga mengandung senyawa

    kimia dan asam amino yang mudah larut dalam air. Ikatan asam amino ini dikenal sebagai aliin.

    Senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam minyak atsiri bawang merah diduga dapat bersifat

    antibakteri dan antijamur tertentu. Kandungan zat gizi umbi bawang merah per 100 gram dapat

    dilihat pada Tabel 1.

    Bawang-bawangan memiliki bau khas yang disebabkan oleh senyawa belerang yang

    timbul bila jaringan tanaman tersebut terluka. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dan letak

    prekursor flavor dan enzim. Prekursor flavor terletak pada bagian sitoplasma, sedangkan enzim

    pada bagian vakuola.

    Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Umbi Bawang Merah per 100 gram

    Keterangan :

    A. Sosok utuh tanaman bawang merah

    B. Potongan melintang umbi bawang merah

    1. Akar serabut

    2. Cakram (batang pokok rudimenter)

    3. Umbi lapis

    4. Tunas lateral (kuncup)

    5. Daun muda

    6. Calon tunas

  • FTIP001630/003

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Komponen Komposisi

    Air (%) 80-85

    Protein (%) 1,5

    Lemak (%) 0,3

    Karbohidrat (%) 9,2

    -karoten (IU) 50

    Thiamin (mg) 30

    Riboflavin (mg) 0,04

    Niasin (mg) 20

    Asam askorbat (mg) 9

    Kalium (mg) 30

    Zat besi (mg) 0,8

    Fosfor (mg) 40 Sumber : Wibowo, 1999

    Dikenal ada beberapa varietas bawang merah yang berasal dari daerah tertentu seperti

    varietas bawang merah Sumenep, Bima, Lampung, Maja, dan sebagainya, yang satu sama lain

    nampak perbedaannya yaitu dari bentuk dan warnanya. Varietas Bima misalnya dikenal tinggi

    hasilnya, bentuk umbinya lonjong, dan berwarna merah muda. Varietas Lampung bentuknya

    bulat, warnanya merah pucat dengan hasil sedang-sedang saja. Menurut Rismunandar (1986),

    varietas khusus daerah dapat saja terbentuk karena ulah manusia juga. Bawang merah yang

    ditanam melalui umbi atau dengan kata lain secara vegetatif, keturunannya tidak akan berubah

    secara drastis, seperti halnya dengan pengembangan melalui persilangan.

    Kebutuhan bawang merah di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya namun tidak

    diiringi oleh jumlah produksi yang terjadi penurunan. Data produksi dan luas panen bawang

    merah dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Produksi dan Luas Panen Bawang Merah

    Wilayah Produksi (ribu ton) Luas panen (ribu ha)

    2001 2002 2001 2002

    Jawa 665,0 596,3 62,5 67,2

    Bali & Nusa Tenggara 129,3 115,9 8,7 9,4

    Sumatera 43,3 38,8 5,4 5,8

    Kalimantan 0,1 0,1 0,0 0,0

    Sulawesi 18,7 16,8 5,2 5,6

    Maluku & Papua 4,8 4,3 0,4 0,4

  • FTIP001630/004

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Luar Jawa 196,2 175,9 19,7 21,2

    Indonesia 861,2 772,1 82,2 88,4 Sumber : Statistik Indonesia, 2002

    Berdasarkan Tabel 2 diatas, pulau Jawa memiliki tingkat produksi terbesar dibandingkan

    dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Tingkat produksi pada tahun 2001 sebesar 665,0 ribu ton,

    namun menurun pada tahun berikutnya menjadi sebesar 596,3 ribu ton. Hal tersebut tidak sejalan

    dengan peningkatan luas panen bawang merah di pulau Jawa dari 62,5 ribu ha meningkat

    menjadi 67,2 ribu ha. Perbedaan produktivitas dari setiap varietas bawang merah tidak hanya

    bergantung pada sifatnya, namun juga dipengaruhi oleh kondisi daerah. Iklim, pengairan, dan

    kondisi tanah merupakan faktor penentu dalam produktivitas maupun kualitas umbi bawang

    merah. Menurut SNI 01-3159-1992, umbi bawang merah memiliki syarat mutu seperti pada

    Tabel 3, sedangkan menurut Rismunandar (1986), kualitas umbi bawang merah ditentukan oleh

    beberapa faktor misalnya :

    warna yang merah cerah lebih menarik dan disukai

    ketatnya umbi alias kepadatannya

    rasanya pedas, lemah, sedang, atau keras

    baunya setelah digoreng sedap/wangi

    bentuknya, umbi yang bulat nampak lebih disukai daripada yang lonjong.

    Tabel 3. Syarat Mutu Bawang Merah (SNI 01-3159-1992)

    Karakteristik

    Syarat Cara

    pengujian Mutu

    I

    Mutu

    II

    Kesamaan sifat varietas Serag

    am

    Serag

    am Organoleptik

    Ketuaan Tua Cuku

    p tua Organoleptik

    Kekerasan Keras Cuku

    p keras Organoleptik

    Diameter (cm) min. 1,7 1,3 SP-SMP-309-

    1981

  • FTIP001630/005

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Kekeringan Kerin

    g simpan

    Kerin

    g simpan Organoleptik

    Kerusakan, % (bobot/bobot)

    maks. 5 8

    SP-SMP-310-

    1981

    Busuk, % (bobot/bobot) maks. 1 2 SP-SMP-311-

    1981

    Kotoran, % (bobot/bobot) maks. Tidak

    ada

    Tidak

    ada

    SP-SMP-313-

    1981

    Kadar Air (%) 80-85 75-80 SP-SMP-313-

    1981 Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1992

    Umur panen bawang merah sangat ditentukan oleh jenis varietas dan ketinggian tempat

    tumbuhnya. Bawang merah yang ditanam di dataran tinggi (suhu 15C-21C) umur panennya

    lebih panjang karena pembentukan umbi lambat sedangkan yang ditanam di dataran rendah

    (suhu 25C-30C) umumnya umur panen lebih pendek karena umbinya cepat terbentuk

    (Sunarjono dan Soedomo, 1989). Bawang merah pada umumnya sudah dapat dipanen pada umur

    60-70 hari setelah tanam di dataran rendah dan 80-90 hari di dataran tinggi. Jika penanaman

    bawang merah dimaksudkan untuk menghasilkan bibit, pemanenan harus dilakukan setelah

    bawang merah benar-benar telah cukup tua, sedangkan untuk konsumsi dapat dipanen sedikit

    lebih muda.

    Kriteria panen bawang merah dapat ditentukan secara visual yang ditandai dengan daun

    tanaman sudah berwarna kekuning-kuningan dan sudah rebah, bagian leher mulai menjadi lunak

    dan ujungnya terpisah serta warnanya berubah menjadi kuning. Pemanenan bawang merah

    varietas Bima di dataran rendah untuk konsumsi berbeda dengan bawang merah untuk bibit. Ciri

    tanaman bawang merah untuk konsumsi ditandai dengan perubahan warna daun menjadi

    kekuningan telah mencapai 60%-70% dengan umur 50-55 hari setelah tanam; sedangkan untuk

    bibit perubahan warna daun menjadi kekuningan telah mencapai 90% dengan umur 60-65 hari

    setelah tanam (Wills et al.,1981 dikutip Djali, 2009).

  • FTIP001630/006

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    2.1.1. Curing Bawang Merah

    Istilah curing umumnya hanya digunakan pada penanganan ubi-ubian. Curing adalah

    proses pengeringan kulit terluar batang semu dan bagian leher umbi bawang sehingga

    membentuk semacam sisik kering. Tujuannya adalah agar permukaan kulit yang terluka atau

    tergores dapat tertutup kembali (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini biasanya dilakukan

    dengan cara membiarkan umbi bawang untuk beberapa hari pada suhu ruang. Proses

    penyembuhan ini diperlukan agar luka atau goresan tersebut tidak menjadi lokasi masuknya

    patogen (Muchtadi, 1992). Curing umbi dilakukan segera setelah panen sebelum disimpan atau

    dipasarkan.

    Curing dapat dilakukan secara tradisional yaitu dengan mengandalkan sinar matahari

    sebagai sumber panas maupun secara artifisial yaitu dengan hembusan udara segar menggunakan

    alat pembangkit panas untuk memanaskan udara pengering atau dapat pula dengan asap panas

    pembakaran. Curing umbi bawang merah pada prinsipnya adalah proses pengeringan. Proses

    curing untuk mendapatkan umbi bawang merah kering lokal umumnya dilaksanakan dengan

    penjemuran selama 3-4 hari dibawah terik matahari langsung, sedangkan bila diinginkan umbi

    kering simpan diperlukan waktu sekitar 10-14 hari (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Apabila

    cuaca tidak memungkinkan, curing dilaksanakan secara mekanis. Aplikasi pengering mekanis

    pada proses curing bawang merah perlu mempertimbangkan faktor-faktor suhu, kelembaban

    udara, dan lama pengeringan.

    Proses curing secara konvensional berakhir apabila leher umbi tampak telah menyempit

    dan keras, kulit terluar umbi bawang menjadi kering dan mengeluarkan bunyi gemerisik bila

    digesek-gesekkan dan umbi menjadi lebih keras (Musaddad dan Sinaga (1995). Pada kondisi

    tersebut susut bobot dapat mencapai 5% (Sanguansari dkk, 1995 dikutip Djali, 2009).

  • FTIP001630/007

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    2.1.2. Penyimpanan Bawang Merah

    Kegiatan pascapanen yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kualitas

    umbi bawang merah adalah saat penyimpanan. Penyimpanan bawang merah dapat dilakukan

    dengan dua metode antara lain penyimpanan tradisional dan penyimpanan modern. Penyimpanan

    tradisional dilakukan dengan kondisi ruang penyimpanan pada suhu antara 25C-30C dengan

    kelembaban relatif (RH) 65%-70% dan sirkulasi udara yang cukup baik. Penyimpanan modern

    dilakukan dengan teknologi pendinginan. Kondisi yang ideal untuk cara ini adalah udara dengan

    suhu 0C (Hall, 1980).

    Petani bawang merah dengan jumlah produksi sedikit dapat menyimpannya di ruangan

    dapur, digantung pada tambang yang direntangkan dari bilik ke bilik. Cara penyimpanan umbi

    demikian dapat bertahan lama, karena setiap harinya mengalami pengasapan. Udara didalam

    ruangan dapat tetap relatif kering sehingga tetap terjamin tidak akan terjadi infeksi dari jamur

    maupun hama. Ikatan umbi bawang merah yang digantung pada tambang maupun pada belahan

    bambu dalam gudang dapat bertahan hingga 6 bulan dalam suhu udara 26C-29C. Udara yang

    terlalu lembab dapat mengundang infeksi penyakit cendawan tumbuh dalam gantungan

    (Rismunandar, 1986).

    2.2. Aktivitas Air

    Aktivitas air (aw) merupakan salah satu parameter hidratasi yang sering diartikan sebagai

    air dalam bahan yang digunakan untuk pertumbuhan jasad renik. Scott (1957) dalam Purnomo

    (1995) pertama kali menggunakan aw sebagai petunjuk adanya sejumlah air dalam bahan pangan

    yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan

    adanya air dalam bahan pangan.

  • FTIP001630/008

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Aktivitas air dinyatakan sebagai potensi kimia yang nilainya bervariasi dari 0 sampai 1.

    Pada nilai aw sama dengan 0 berarti molekul air yang bersangkutan sama sekali tidak dapat

    melakukan aktivitas dalam proses kimia, sedangkan nilai aw sama dengan 1 berarti potensi air

    dalam proses kimia dalam kondisi maksimal.

    Purnomo (1995) menyatakan bahwa masing-masing mikroorganisme membutuhkan

    jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw tinggi sekitar 0,91 bakteri

    umumnya tumbuh dan berkembang biak dan khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada

    nilai aw 0,87-0,91 sedangkan kapang lebih rendah yaitu pada nilai aw 0,80-0,87. Aktivitas air

    merupakan nilai desimal kelembaban relatif (RH) kesetimbangan udara yang berhubungan

    langsung dengan bahan pada kadar air setimbang (Toledo, 1980).

    Dalam fase gas, aktivitas dari salah satu jenis gas adalah sama dengan tekanan parsialnya

    dibagi dengan tekanan total dari sistem apabila ruangan itu dijenuhi oleh gas yang bersangkutan

    (Labuza, 1984); lebih lanjut aw dinyatakan dalam bentuk persamaan :

    aw =

    Dimana :

    aw = aktivitas air

    P = tekanan parsial uap air

    P0 = tekanan uap air murni

    Apabila nilai RH udara diketahui dan air dalam bahan telah mencapai kesetimbangan

    dengan lingkungannya, maka persamaan aw (Labuza, 1984) adalah :

    aw =

    dimana ERH = kelembaban relatif udara pada kadar air setimbang bahan

  • FTIP001630/009

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Sudarmadji dkk. (1996) dikutip Kusnandar (2003) menyatakan bahwa besarnya aw

    dipengaruhi oleh jenis bahannya. Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan aw yang

    tinggi bila bahannya berbeda. Jika suatu bahan pangan disusun oleh zat-zat yang mudah

    mengikat air maka air bebas pada bahan pangan tersebut relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya

    bahan pangan tersebut mempunyai aw yang rendah.

    2.3. Kadar Air

    Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukkan banyaknya air

    yang terkandung di dalam bahan yang mempengaruhi beberapa hal yaitu seberapa jauh

    penguapan dapat berlangsung, lamanya proses pengeringan dan jalannya proses pengeringan.

    Kadar air dapat dinyatakan dalam basis basah atau basis kering. Kadar air basis basah (wb)

    adalah perbandingan berat air didalam bahan tersebut dengan berat total bahan. Kadar air basis

    basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Henderson dan Perry, 1976) :

    M = x 100% = x 100%

    Keterangan :

    M = kadar air basis basah (%)

    Wm = berat air dalam bahan (g)

    Wd = berat bahan kering (g)

    Wt = berat total bahan (g)

    Cara lain untuk menyatakan kadar air yaitu dengan menggunakan basis kering (db), yaitu

    perbandingan berat air dalam bahan terhadap berat bahan keringnya. Kadar air basis kering dapat

    ditentukan oleh persamaan berikut (Henderson dan Perry, 1976) :

  • FTIP001630/010

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    M = x 100%

    Keterangan :

    M = kadar air basis kering (%)

    Wm = berat air dalam bahan (g)

    Wd = berat bahan kering (g)

    Berdasarkan perbandingan terhadap berat kering bahan, kadar air basis kering nilainya

    akan lebih besar dari kadar air basis basah. Hubungan antara kadar air basis basah dengan kadar

    air basis kering secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Nurhadi dan Nurhasanah, 2008) :

    Kadar air basis kering =

    2.4. Kadar Air Kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content)

    Menurut Purwadaria dkk. (1982) kadar air kesetimbangan atau equilibrium moisture

    content (EMC) suatu bahan pangan didefinisikan sebagai tingkat kadar air bahan tersebut setelah

    berada pada suatu keadaan lingkungan tertentu untuk jangka waktu tertentu. EMC dipengaruhi

    oleh kelembaban relatif (RH) dan suhu lingkungan serta jenis dan kematangan bahan pangan.

    Setiap jenis bahan pangan memiliki karakteristik tekanan parsial uap air pada suhu dan kadar air

    tertentu. Karakteristik tersebut menentukan apakah bahan tersebut akan melakukan proses

    penyerapan atau penguapan air, dengan demikian EMC adalah kadar air yang dicapai oleh bahan

    setelah tekanan uap airnya setimbang dengan tekanan uap air dari udara sekelilingnya.

    EMC dapat digunakan untuk mengetahui kadar air terendah yang dapat dicapai pada

    proses pengeringan dengan tingkat suhu dan RH tertentu. Menurut Heldman dan Singh (1981),

    kadar air kesetimbangan dari bahan pangan adalah kadar air bahan tersebut pada saat tekanan

  • FTIP001630/011

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    uap air dari bahan setimbang dengan lingkungannya; sedangkan RH pada saat terjadinya kadar

    air kesetimbangan disebut RH kesetimbangan.

    Penentuan EMC ada dua metode yaitu metode dinamis dan statis. Pada metode dinamis,

    EMC diperoleh pada keadaan udara yang bergerak. Metode dinamis biasanya digunakan untuk

    pengeringan, dimana pergerakan udara digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan

    menghindari penjenuhan uap air disekitar bahan. Pada metode statis, EMC diperoleh pada

    keadaan udara diam. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena

    umumnya udara disekitar bahan relatif tidak bergerak.

    2.5. Sorpsi Isotermis

    Sorpsi isotermis adalah hubungan antara kadar air dalam bahan dengan aw bahan atau

    kesetimbangan kelembaban relatif (RH) udara lingkungan (ERH) pada suhu tertentu (Henderson

    dan Perry, 1976). Labuza (1968) menyatakan bahwa sorpsi isotermis menunjukkan hubungan

    antara kadar air bahan dengan RH kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aw pada

    suhu tertentu.

    Secara umum kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid. Ada perbedaan

    yang nyata antara kadar air kesetimbangan yang dicapai secara desorpsi dan adsorpsi pada

    kondisi suhu dan RH yang sama yaitu bahwa kadar air desorpsi lebih tinggi dari kadar air

    adsorpsi. Fenomena ini disebut histeresis (dapat dilihat pada Gambar 2) (Chistensin, 1974 dalam

    Manalu, 2001).

  • FTIP001630/012

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Gambar 2. Bentuk Umum Sorpsi Isotermis Pada Bahan Pangan

    (Labuza, 1968)

    Menurut Labuza (1968), berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, sorpsi isotermis

    dapat dibagi menjadi tiga daerah berikut :

    Daerah pertama (I) terletak pada selang aw 0,00 sampai 0,20 yang disebut sebagai daerah

    adsorpsi monolayer, tetapi tidak diartikan sebagai hanya satu lapis molekul saja karena

    adanya penjenuhan gugus polar oleh molekul air pada perbandingan 1:1. Ikatan air pada

    gugus ini lebih bersifat ionik sehingga memiliki ikatan yang sangat erat terhadap air. Air

    pada daerah ini disebut sebagai air terikat (bound water) dan energi sorpsinya sangat

    tinggi

    Daerah kedua (II) terletak pada selang aw 0,20 sampai 0,60 adalah daerah adsorpsi lebih

    dari satu lapisan air dan merupakan lapisan air yang terletak di atas monolayer

    Daerah ketiga (III) adalah dimana kondensasi air terjadi dalam pori-pori bahan pangan.

    Pada daerah ini keadaan air telah menjadi air bebas dengan energi adsorpsi sama dengan

    energi penguapan.

    Keterangan :

    I. Daerah adsorpsi monolayer II. Daerah adsorpsi lebih dari satu

    lapisan air

    III. Daerah adsorpsi sama dengan

    penguapan

  • FTIP001630/013

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Batas-batas ketiga daerah sorpsi pada kenyataanya tidak dapat ditentukan oleh suatu nilai

    aw tertentu, dapat berbeda untuk setiap bahan pangan. Secara teoritis I dan II ditentukan oleh air

    terikat, sedangkan daerah II dan III dapat ditentukan berdasarkan energi adsorpsi sama dengan

    energi desorpsi (Ngoddy dan Bakker-Arkema, 1972 dalam Purwadaria dkk, 1982).

    Sorpsi isotermis dapat digunakan untuk perhitungan pendugaan umur simpan produk

    pangan dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) yaitu penyimpanan produk

    pangan dalam kondisi lingkungan yang lebih tinggi dari kondisi penyimpanan normal. Sorpsi

    isotermis dapat digunakan untuk memprediksi waktu proses pengeringan dan menduga energi

    dari dehidrasi serta dapat memprediksi transfer kadar air pada sistem pangan yang multi

    komponen termasuk pengemasan kedap udara.

    Syarief dan Halid (1991) dikutip Supriadi (2004) melaporkan bahwa sorpsi isotermis

    dapat menunjukkan pada titik kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan atau

    yang tidak diinginkan, namun juga menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan penting

    kandungan air yang dinyatakan dalam aw. Model sorpsi isotermis Brunauer-Emmett-Teller

    (BET) sangat bermanfaat bagi penentuan kadar air dimana adsorpsi bersifat satu lapis molekul

    air.

    Persamaan model BET merupakan model yang paling luas digunakan dan paling tepat

    untuk diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw tertentu yaitu 0,05 sampai 0,45

    (Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004). Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air

    monolayer yang diadsorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat

    penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan. Secara umum

    model persamaan BET adalah :

    =

  • FTIP001630/014

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    Dimana :

    = kadar air kesetimbangan (EMC)

    = kadar air lapis tunggal

    C = konstanta yang dipengaruhi oleh energi adsorpsi lapisan pertama

    = aktivitas air

    Beberapa hal yang mendasari teori persamaan BET (Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004)

    yaitu kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua;

    energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorben) pada lapisan pertama sama, energi ikatan

    pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan adsorben murni. Asumsi lebih jauh tentang

    permukaan adsorben yang seragam dan tidak adanya interaksi lateral antara molekul adsorben

    adalah tidak benar, karena interaksi pada permukaan bahan pangan sangat beragam.

    Persamaan BET sangat cocok digunakan untuk bahan pangan kering dengan kadar air

    dibawah 20% basis basah (Brooker et al, 1992). Persamaan tersebut dapat digunakan pada

    berbagai bahan pangan, tetapi hanya dapat memprediksi nilai kadar air kesetimbangan bahan

    lebih tepat pada RH dibawah 50%.

    Persamaan lain yang dapat digunakan adalah model persamaan Guggenheim- Anderson-

    deBoer (GAB). Model persamaan GAB sebenarnya merupakan modifikasi dari model persamaan

    BET dengan asumsi bahwa adsorpsi gas dapat terjadi lebih dari satu lapisan molekul. Persamaan

    ini dianggap masih memiliki kelemahan karena hanya dapat menggambarkan sorpsi isotermis

    pada selang aw di bawah 0,05.

    Van der Berg memperbaiki model persamaan BET dengan memperkenalkan model

    persamaan GAB yang dapat memprediksi nilai kadar air kesetimbangan bahan pangan pada

    rentang RH 10%-90% atau aw 0,10-0,90. Model persamaan ini merupakan bentuk model sorpsi

  • FTIP001630/015

    [2]

    [3]

    [1]

    HA

    K C

    IPTA

    DIL

    IND

    UN

    GI U

    ND

    AN

    G-U

    ND

    AN

    G

    Tidak diperkenankan m

    engumum

    kan, mem

    ublikasikan, mem

    perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

    bentuk apapun tanpa izin tertulis

    Tidak diperkenankan m

    engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

    encantumkan sum

    ber tulisan

    Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

    ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

    molekul banyak (multi molekul) semi teoritis yang homogen (Van der Berg, 1981 dalam

    Kumendong, 1986). Bentuk persamaan GAB secara umum adalah sebagai berikut :

    =

    Dimana :

    = kadar air kesetimbangan (EMC)

    = kadar air lapis tunggal

    = konstanta yang dipengaruhi energi adsorpsi lapisan pertama

    k = konstanta yang dipengaruhi energi adsorpsi lapisan banyak

    = aktivitas air

    Model persamaan GAB mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan model

    persamaan BET yaitu memiliki latar belakang yang bersifat teoritis, dapat digunakan pada

    hampir semua bahan pangan dengan kisaran aw 0,1 < aw < 0,9 dan mempunyai bentuk persamaan

    matematika yang sederhana dengan tiga parameter, yaitu nilai konstanta C dan k yang

    berhubungan dengan energi interaksi antara air dan bahan, serta nilai yang menunjukkan

    kadar air saat terjadi satu lapis molekul air (Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004).