II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia...
FTIP001657/001
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericea)
Kawao (Milletia sericea) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak,
tinggi batang dapat mencapai 10-30 m, banyak ditemukan di hutan dan tepi sungai
mulai dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut. Tanaman kawao
dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Permukaan kulit yang padat pada tanaman
kawao mengakibatkan lambatnya evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur
akarnya mendukung fiksasi nitrogen, yang membawa nutrient dari udara ke tanah
(Green Oil Plantations, 2011). Akarnya berwarna kuning kecoklatan, bagian dalam
berair, sebagian dari akar keluar di atas lumpur. Tanaman ini memiliki 200 spesies
yang tersebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983).
Tanaman kawao di Indonesia dikenal dengan nama akar tuba, bori akar,
tungkul bayon, areuy kawao atau tuwa laleur. Tanaman ini berasal dari kingdom
Plantae, sub-kingdom Tracheobionta, super-divisi Spermatophyta, divisi
Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Rosidae, ordo Fabales, famili
Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea (Irvine, 1961).
Tanaman kawao dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi (Gamgsa,
Fansofree dan Fom, 1993). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh
sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger,
1970). Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai obat
tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan
asma, infertilitas dan masalah menopause. Gambar akar kawao disajikan pada
Gambar 1.
FTIP001657/002
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
8
Gambar 1. Akar Kawao (Milletia sericea)(Dokumentasi Pribadi, 2011)
2.2. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah satu pemisahan satu atau lebih komponen dari
suatu bahan. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan dari
suatu sistem campuran padatan-cairan, berupa cairan dari suatu sistem campuran
cairan-cairan atau berupa padatan dari suatu sistem padatan-padatan (Gamse, 2002).
Produk utama dari ekstraksi umumnya adalah komponen yang terlarut di dalam
pelarut, tetapi pada kondisi ampas atau residu merupakan produk utama atau produk
yang diinginkan maka proses tersebut disebut leaching walaupun mekanisme
kerjanya menggunakan metode maserasi (Suyitno et. al, 1989).
Proses ekstraksi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ekstraksi mekanis dan ekstraksi
pelarut. Ekstraksi mekanis menggunakan penekanan atau pengempaan sedangkan
ekstraksi pelarut menggunakan pelarut yang didasarkan pada sifat kelarutan. Menurut
Suyitno et. al (1989), prinsip ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada perbedaan
konsentrasi komponen dalam bahan dengan konsentrasi komponen dalam larutan.
Akar kawao
FTIP001657/003
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
9
Pelarut adalah bahan yang ditambahkan untuk membentuk suatu fase yang
berbeda dari bahan yang dipisahkan. Pelarut menyebabkan pori-pori bahan
mengembang sehingga zat yang berada di dalam bahan berdifusi keluar permukaan
partikel bahan. Pemisahan tercapai jika komponen yang dipisahkan larut dalam
pelarut sedangkan komponen yang lainnya masih tetap berada dalam bahan asalnya.
Kelarutan zat dalam pelarut dipengaruhi oleh tingkat kepolaran pelarutnya. Zat yang
polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat nonpolar hanya larut dalam
pelarut nonpolar (Dwiari et. al., 2008).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti sifat dari bahan
mentah tanaman dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta
kepentingan dalam memperoleh ekstrak dari tanaman. Sifat dari bahan tanaman
merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memperoleh metode
ekstraksi (Harborne, 1999). Usaha untuk mempermudah proses ekstraksi dapat
dilakukan dengan cara pengeringan bahan dan penggilingan. Bahan harus
dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan pada
tempat yang kering agar terjaga kelembabannya. Pengecilan ukuran akan memperluas
kontak antara bahan dengan pelarut. Pada umumnya ekstraksi akan bertambah baik
bila permukaan serbuk bahan yang bersentuhan dengan pelarut semakin luas. Metode
dasar ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi. Pemilihan terhadap metode
tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang diinginkan.
Metode maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana karena cara dan
peralatan yang digunakan tidak serumit dengan metode lainnya. Kekurangan dari
metode maserasi antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup
FTIP001657/004
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
10
lama, pelarut yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan
yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Supriadi, 2002).
2.2.1. Maserasi
Maserasi merupakan metode perendaman sampel dengan pelarut. Umumnya
digunakan pelarut organik dengan molekul relatif kecil pada temperatur ruangan.
Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan
perendaman akan terjadi kontak antara bahan dan pelarut yang cukup lama. Waktu
yang lama tersebut memberikan waktu untuk distribusi pelarut yang terus menerus ke
dalam sel tumbuhan yang mengakibatkan perbedaan tekanan diantara bagian dalam
dan luar sel, kemudian terjadi pemecahan dinding dan membran sel sehingga
metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut
(Suyitno et. al., 1989).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam bahan dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel
yang mengandung zat aktif. Pada saat pelarut dan komponen dalam bahan kontak
langsung maka terjadilah pelarutan komponen bahan tersebut. Isi sel akan larut
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel,
maka larutan paling pekat akan didesak keluar. Larutan yang konsentrasinya tinggi
akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses
difusi). Larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar untuk mencapai
kesetimbangan konsentrasi komponen di dalam dan di luar bahan. Proses
kesetimbangan akan berhenti ketika konsentrasi komponen dalam dan di luar bahan
FTIP001657/005
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
11
sama. Pada kondisi tersebut menunjukkan bahwa ekstraksi dinyatakan selesai
(Digunawan, 2010). Mekanisme ekstraksi maserasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan :1. Pelarut 4. Pelarut2. Bahan 5. Komponen terlarut dalam pelarut3. Komponen terlarut
Gambar 2. Mekanisme Ekstraksi Maserasi(Gamse, 2002)
Lama maserasi menentukan jumlah komponen yang dapat diekstraksi dari
bahan. Lama maserasi berhubungan dengan banyaknya kontak antara bahan dengan
pelarut (Supriadi, 2002). Lama maserasi pada umumnya selama beberapa hari, setelah
waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel
dengan luar sel telah tercapai. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ekstraksi suatu
bahan berbeda-beda untuk mencapai kondisi equilibrium atau kondisi
kesetimbangannya, yaitu kondisi dimana konsentrasi komponen dalam bahan sama
dengan konsentrasi komponen dalam pelarut sehingga tidak terjadi perpindahan
komponen lagi. Menurut Heldman dan Singh (1981) lama ekstraksi yang tidak cukup
akan menyebabkan kondisi kesetimbangan tidak tercapai sehingga jumlah komponen
yang terekstrak belum maksimum. Hal tersebut terjadi karena semakin lama ekstraksi
FTIP001657/006
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
12
maka waktu kontak antara pelarut dengan bahan akan semakin banyak (Buchori,
2007).
Suhu juga berperan penting dalam proses maserasi. Suhu ekstraksi
mempengaruhi kemampuan berdifusi ke dalam bahan semakin besar sehingga
komponen yang akan diekstrak akan semakin banyak terlarut dalam pelarutnya.
Semakin tinggi suhu ekstraksi maka difusivitas pelarut akan semakin besar dan
viskositas semakin kecil (Buchori, 2007).
Budiyanto dan Yulianingsih (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh
suhu dan lama ekstraksi terhadap karakteristik pektin dari ampas jeruk siam (Citrus
nobilis L). Suhu ekstraksi yang digunakan adalah 65oC, 80oC dan 95oC. lama
ekstraksi yang digunakan adalah 40 menit, 60 menit dan 80 menit. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi dan semakin
lama ekstraksi maka rendemen pektin dari ampas jeruk siam akan semakin
meningkat. Peningkatan suhu ekstraksi menyebabkan peningkatan energi kinetik
larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat pula. Lama
ekstraksi berpengaruh pada proses difusi larutan pengekstrak ke dalam jaringan yang
menyebabkan semakin banyak pektin yang terlarut atau lepas dari jaringan tanaman.
Ramadhan dan Phaza (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu
terhadap ekstraksi oleoresin jahe (Zingiber officinale Rosch) secara batch. Perlakuan
suhu yang digunakan adalah 30oC, 36oC, 40oC dan 45oC. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan akan meningkat apabila terjadi
peningkatan suhu ekstraksi. Namun, pada suhu 45oC oleoresin rendemen oleoresin
FTIP001657/007
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
13
mengalami penurunan karena pada suhu tersebut sebagian gingerol sebagai senyawa
utama dalam oleoresin jahe mengalami dekomposisi menjadi shoagol.
Fatimah (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh lama ekstraksi
terhadap beberapa karakteristik pektin dari kulit pisang tanduk (Musa paradisiacal L)
kultivar Horn Plantain dengan perlakuan lama ekstraksi. Lama ekstraksi yang
digunakan adalah 70 menit, 80 menit, 90 menit, 100 menit dan 110 menit. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama ekstraksi maka rendemen pektin
yang diperoleh mengalami peningkatan.
2.2.2. Pelarut
Menurut Brady (1987), pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada
larutan dalam jumlah yang besar sedangkan zat lainnya dianggap sebagai zat terlarut.
Jenis bahan sumber dan komponen yang yang akan diekstrak mempengaruhi besar
kecilnya hambatan dalam ekstraksi. Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut
yang mempunyai daya melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya
melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran
senyawa yang diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut
dalam pelarut polar atau non-polar. Berdasarkan sifat kepolarannya, suatu bahan
digolongkan menjadi bahan polar dan non polar. Suatu bahan bersifat polar bercirikan
molekulnya mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom elektronegatif
sedangkan bahan non polar molekulnya biasanya mengandung cincin aromatik, gugus
lipofilik atau molekulnya tidak mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom
elektronegatif (Houghton dan Raman, 1989). Tingkat polaritas pelarut disajikan pada
Tabel 1.
FTIP001657/008
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
14
Tabel 1. Tingkat Polaritas Pelarut
Pelarut Indekskepolaran Titik didih (ºC) Viskositas
(cPoise)
Kelarutandalam air(%w/w)
n-heksan 0,0 69 0,33 0,001Diklorometana 3,1 41 0,44 1,6n-butanol 3,9 118 2,98 7,81Iso-propanol 3,9 82 2,30 100n-propanol 4,0 92 2,27 100Kloroform 4,1 61 0,57 0,815Etil asetat 4,4 77 0,45 8,7Aseton 5,1 56 0,32 100Metanol 5,1 65 0,60 100Etanol 5,2 78 1,20 100Air 9,0 100 1,00 100Sumber : Sarker, Latif dan Gray (2006)
Pemilihan pelarut yang tepat untuk proses maserasi akan memberikan
efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam
pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel (Djarwis,
2004). Pelarut yang dapat dipakai untuk ekstraksi bahan nabati antara lain akuades,
etanol, etil asetat, dan heksan. Keempat jenis pelarut ini merupakan pelarut yang
aman digunakan pada makanan.
Etanol adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-
hari karena sifatnya yang tidak beracun. Pelarut ini banyak dipakai dalam dunia
farmasi dan industri makanan dan minuman (Utami dan Dewi, 1997). Heksana dapat
digunakan untuk mengekstraksi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai minyak
atsiri. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang banyak digunakan karena
bersifat murah dan aman penggunaannya (Kresnawaty et. al., 2008). Akuades
merupakan pelarut yang paling sering digunakan karena sifatnya yang aman, mudah
didapat dan mempunyai kemampuan tinggi melarutkan zat (Azizah, 2011).
FTIP001657/009
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
15
Berdasarkan penelitian Wulandari (2011) pelarut akuades dapat mengekstrak
sebagian besar senyawa alkaloid dalam akar kawao.
Menurut Perlman (2011), akuades dapat disebut sebagai pelarut universal
karena dapat melarutkan banyak komponen dibandingkan pelarut yang lainnya.
Menurut Irwanto (2010), akuades dapat digunakan sebagai pelarut karena murah,
mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar dan tidak
beracun. Kerugian penggunaan akuades sebagai pelarut adalah tidak selektif, ekstrak
dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga cepat rusak dan bila ingin dikeringkan
memerlukan waktu yang lama.
2.3. Antimikroba
Antimikroba adalah senyawa yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme, khususnya bakteri yang merugikan (Entjang, 2003). Definisi ini
berkembang bahwa antimikroba merupakan senyawa kimia yang dalam konsentrasi
kecil mampu menghambat bahkan membunuh suatu mikroorganisme. Komponen
yang membunuh bakteri, fungi dan spora masing-masing disebut bakterisidal,
fungisidal dan sporosidal, sedangkan komponen yang menghambat aktivitas atau
pertumbuhannya masing-masing disebut bakteristatik, fungistatik dan sporostatik atau
germisidal (Fardiaz, Suliantari dan Dewanti, 1987).
Mekanisme kerja antimikroba dibagi ke dalam lima kelompok menurut
Pelczar dan Chan (1986) dikutip Widarto (1990), yaitu :
1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba
Zat antimikroba dapat menghambat atau mengganggu metabolisme sel yang
merupakan reaksi biokimia sehingga dapat menyebabkan kematian sel.
FTIP001657/010
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
16
Mikroba memerlukan asam folat hasil sintesis dari para amino benzoat untuk
kelangsungan hidupnya, maka akan terbentuk analog asam folat yang
nonfungsional, akibatnya pertumbuhan mikroba akan terganggu.
2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Dinding sel terdiri dari peptidoglikan, yaitu suatu kompleks polimer
mukopeptida (glikopeptida). Tekanan osmotik yang lebih tinggi di dalam sel
mikroba akan menyebabkan kerusakan dinding sel karena terjadi lisis sebagai
efek bakterisidal pada bakteri yang peka.
3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba
Antimikroba ini menyebabkan kerusakan membran sel mikroba dan
menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba
seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain. Kerusakan pada
membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau
kematian sel.
4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Sintesis
protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Ribosom
pada bakteri terdiri atas dua subunit sebagai ribosom 30S dan 50S. Komponen
ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA 70S agar dapat berfungsi pada
sintesis protein. Penghambatan sintesis protein dapat terjadi dengan cara zat
antimikroba berikatan dengan salah satu komponen subunit tersebut sehingga
menghambat sintesis protein.
FTIP001657/011
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
17
5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
DNA, RNA dan protein memegang peranan yang sangat penting di dalam
proses kehidupan normal sel. Oleh karena itu, gangguan apapun yang terjadi
pada pembentukan atau pada fungsi zat tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan total sel.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba adalah (1) jenis,
jumlah dan umur mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu
kontak, (4) sifat fisio kimia substrat seperti pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis
dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa lainnya (Frazier dan Westhoff,
1997).
2.4. Mikroorganisme Kontaminan
Kerusakan bahan pangan dapat terjadi akibat adanya mikroorganisme
kontaminan yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Kontaminasi dapat berasal
dari bahan baku, lingkungan atau juga dari pekerja. Kontaminasi silang dapat terjadi
bila produk pangan yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja
atau alat pengolah makanan selama proses persiapan bahan yang sebelumnya telah
terkontaminasi bakteri patogen. Kehadiran mikroorganisme kontaminan dalam bahan
pangan dapat mempengaruhi karakteristik bahan pangan tersebut serta dapat
menurunkan nilai gizi (nutrisi) dan dapat menghasilkan senyawa beracun yang dapat
membahayakan apabila masuk ke dalam tubuh (Supardi dan Sukamto, 1999).
Mikroorganisme yang mengkontaminasi makanan dapat meliputi bakteri,
kapang dan khamir. Mikroorganisme kontaminan dapat dikelompokkan berdasarkan
FTIP001657/012
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
18
aktifitasnya (proteolitik, lipofilik, dsb) ataupun pertumbuhannya (psikrofilik,
mesofilik, halofilik, dsb) (BPOM RI, 2008).
2.4.1. Saccharomyces cerevisiae
S. cerevisiae umumnya memiliki bentuk ellips dengan diameter yang besar
antara 5-10 mikrometer, dan diameter yang kecil antara 1-3 mikrometer, warnanya
putih kekuningan yang dapat dilihat diatas permukaan tumbuh koloni. Organisme ini
biasa tumbuh pada lingkungan hangat, lembab, mengandung gula dan aerobik. Suhu
optimum pertumbuhannya yaitu 30oC, suhu maksimumnya 35-37oC dan suhu
minimumnya 9-11oC (Walker, 1998). S.cerevisiae dapat berkembang biak dengan
membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel (Ahmad, 2005).
Khamir ini menghasilkan spora yang tumbuh didalam askus. Umumnya
khamir ini ditemukan pada gula, produk olahan gula, pembuatan bir dan roti.
S.cerevisiae dapat mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan
oksigen. S. cerevisiae dapat mengubah sistem metabolismenya dari jalur fermentatif
menjadi oksidatif (respirasi). Kedua sistem tersebut menghasilkan energi, meskipun
energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan
melalui fermentasi (Fardiaz, 1992).
Penggunaan S. cerevisiae sebagai khamir telah dimanfaatkan untuk keperluan
pembuatan roti, dan fermentasi tape singkong. Selain itu, juga digunakan untuk
keperluan berbagai industri dalam proses produksi minuman beralkohol, biomasa,
ekstrak untuk keperluan industri kimia, senyawa beraroma dan produksi protein
rekombinan untuk menunjang kegiatan bioteknologi khususnya bidang molekuler
FTIP001657/013
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
19
biologi (Watson dan Tooze, 1988). Peranan khamir dalam bidang biologi molekuler
adalah sebagai mikroba eukariot uniseluler yang mempunyai kemampuan untuk
disisipkan dengan gen mikroba lain (Nikon, 2004).
Keberadaan S.cerevisiae pada nira terjadi secara alami selama proses
penyadapan. Keuntungan keberadaan khamir ini dapat membuat cita rasa yang khas
terhadap nira. Selain menguntungkan, khamir ini juga dapat merugikan dan
menyebabkan kerusakan pada produk nira. Proses kerusakan nira diawali dengan
proses invertasi sukrosa, kemudian proses fermentasi dan diakhiri dengan proses
oksidasi yang menghasilkan asam asetat. Reaksi yang terjadi yaitu (Dachlan, 1984)
seperti di bawah ini :
1. + O +
sukrosa glukosa fruktosa
2. 2 + 2
glukosa/fruktosa etanol
3. 2 C H OH + O COOH + O
etanol asam asetat
Peristiwa invertase seperti pada nomor 1 diatas terjadi karena sukrosa
terhidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa. Hal ini disebabkan oleh aktivitas
enzim β-fruktofuronosidase (β-h-fruktosidase, invertase) yang dihasilkan mikroba
(Goutara dan Wijandi, 1985). Jika terjadi fermentasi lebih lanjut maka kadar gula
akan menurun, kadar alkohol meningkat kemudian terjadi peningkatan kadar asam
sehingga pH cenderung menurun Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan
komposisi kimia nira terutama kandungan sukrosa menjadi gula reduksi
(fruktosa/glukosa). Gambar sel S. cerevisiae disajikan pada Gambar 3.
FTIP001657/014
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
20
Gambar 3. Saccharomyces cerevisiae(Flegler, 2005)
2.4.2. Leuconostoc mesenteroides
L. mesenteroides berbentuk bulat, termasuk bakteri asam laktat, gram positif,
tak berspora, sel tidak motil, serta merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini
dikelompokan katalase negatif, tidak membentuk spora, kemoorganotrof dan suhu
optimum untuk pertumbuhannya pada 30oC (Kusmiati dan Malik, 2002). Sel bakteri
ini lebih tahan terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi dan bahan
kimiawi yang tidak cocok sehingga termasuk bakteri osmofilik yang toleran terhadap
konsentrasi gula tinggi (Frazier dan Westhoff, 1997).
Reproduksi sel L.mesenteroides dapat dilakukan melalui proses pembelahan
biner. Pada pembelahan biner, L. mesenteroides menduplikasi DNA dimana sekat
membelah dari dinding luar ke bagian dalam. Pada sekali pembelahan, terbentuk dua
sel identik. L.mesenteroides tidak bereproduksi secara aseksual dengan menghasilkan
spora. Spora adalah bentuk dari beberapa bakteri saat kondisi stres. Spora dapat
berkembang menjadi organisme baru tanpa bergabung dengan organisme lain
(Kusmiati dan Malik, 2002).
Sel S. cerevisiae
FTIP001657/015
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
21
Pemanfaatan L. mesenteroides antara lain dalam pembuatan berbagai macam
produk olaham makanan seperti sauerkraut, gari (khas Afrika), keju, fermentasi susu,
fermentasi sayur dll. L. mesenteroides juga memiliki aktifitas bakteriosin. Bakteriosin
merupakan senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri yang bersifat
menghambat pertumbuhan bakteri lain. Bakteriosin yang dihasilkan oleh
L.mesenteroides mudah diterima sebagai bahan tambahan dalam makanan baik oleh
ahli kesehatan maupun oleh konsumen karena bakteri ini secara alami berperan dalam
proses fermentasi makanan (Kusmiati dan Malik, 2002).
L.mesenteroides dapat menyebabkan infeksi yang ditemukan terjadi pada
pasien di rumah sakit sebagai infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah Infeksi
yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit. Bagi pasien yang
dirawat di rumah sakit ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab
langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Infeksi ini bisa ditularkan
dari pasien ke petugas dan sebaliknya, pasien ke pengunjung dan sebaliknya, serta
antar orang yang berada di lingkungan rumah sakit (Bou, 2008).
L. mesenteroides memiliki peran negatif dalam beberapa produk pangan,
terutama pada produk nira. Keberadaan L. mesenteroides dalam produk nira dapat
menyebabkan penurunan rendemen gula yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi karena
L. mesenteroides mampu mengurai sukrosa pada nira dekstran. Dekstran adalah
polisakarida yang terbentuk dari molekul D-glukosa. Keberadaan dekstran
mengakibatkan kerugian besar karena menurunkan efisiensi produksi gula dan
kualitas akhir gula (Baktir, Koiriyah dan Rohman, 2005).
FTIP001657/016
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
22
L. mesenteroides mempunyai kemampuan untuk menguraikan sukrosa
menjadi glukosa yang selanjutnya oleh enzim dekstran-sukrase glukosa tersebut
dirubah menjadi senyawa polimer glukosa yang disebut dekstran (Wahyuningtyas et.
al., 2008). Dekstran yang terbentuk dapat menyebabkan kesulitan dalam pengolahan
gula karena dapat menghambat proses pemurnian nira, meningkatkan viskositas nira
sehingga dapat menurunkan kemampuan pabrik memproses nira, dan menurunkan
laju kristalisasi sukrosa (Baktir et.al., 2005). Gambar sel L. mesenteroides disajikan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Leuconostoc mesenteroides(Todar, 2008)
2.4.3. Eschericia coli
E.coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, mempunyai flagella
dan dibedakan atas sifat serologi antigen O (somatik), K (kapsul) dan H (flagella)
dengan ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm (Fardiaz, 1989). E.coli termasuk
ke dalam group koliform yang dapat memfermentasikan laktosa dengan
menghasilkan asam dan gas pada suhu 44oC, bersifat indol positif tidak dapat
menggunakan sitrat, menghasilkan asam dari manitol pada suhu 37oC. E. coli bersifat
Sel L. mesenteroides
FTIP001657/017
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
23
aerob atau anaerob fakultatif yang tumbuh dengan suhu pertumbuhan optimum pada
suhu 37oC (Juliantina et. al., 2009).
Bakteri E. coli disebut koliform fekal karena bakteri ini merupakan flora
normal yang terdapat di dalam saluran usus hewan dan manusia sehingga sering
terdapat dalam feses. Menurut Murtiningsih (1997), bakteri koliform terutama E. coli
sering digunakan sebagai indikator kebersihan karena habitatnya yang berada dalam
saluran pencernaan manusia atau hewan berdarah panas.
Bakteri ini cenderung berada pada tempat-tempat persiapan bahan makanan
melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke dalam bahan makanan yang telah
diolah melalui kontaminasi tangan yang tidak bersih seperti susu segar, makanan
olahan, sayuran segar, daging segar dan buah-buahan (Buckle et. al., 1987). Jika pada
suatu bahan pangan diketahui mengandung bakteri E.coli maka bahan pangan
tersebut tidak higienes dan berpotensi menimbulkan penyakit bagi yang memakannya
(Supardi dan Sukamto, 1999). E.coli dapat menyebabkan berbagai penyakit
tergantung dari tempat infeksinya, seperti infeksi saluran kemih dan diare (Juliantina
et. al., 2009). Sel E. coli disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Eschericia coli(Todar, 2008)
Sel E. coli