II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia...

17
FTIP001657/001 [2] [3] [1] HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericea) Kawao (Milletia sericea) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, tinggi batang dapat mencapai 10-30 m, banyak ditemukan di hutan dan tepi sungai mulai dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut. Tanaman kawao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao mengakibatkan lambatnya evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung fiksasi nitrogen, yang membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil Plantations, 2011). Akarnya berwarna kuning kecoklatan, bagian dalam berair, sebagian dari akar keluar di atas lumpur. Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983). Tanaman kawao di Indonesia dikenal dengan nama akar tuba, bori akar, tungkul bayon, areuy kawao atau tuwa laleur. Tanaman ini berasal dari kingdom Plantae, sub-kingdom Tracheobionta, super-divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Rosidae, ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea (Irvine, 1961). Tanaman kawao dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi (Gamgsa, Fansofree dan Fom, 1993). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970). Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai obat tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan asma, infertilitas dan masalah menopause. Gambar akar kawao disajikan pada Gambar 1.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/001

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericea)

Kawao (Milletia sericea) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak,

tinggi batang dapat mencapai 10-30 m, banyak ditemukan di hutan dan tepi sungai

mulai dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut. Tanaman kawao

dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Permukaan kulit yang padat pada tanaman

kawao mengakibatkan lambatnya evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur

akarnya mendukung fiksasi nitrogen, yang membawa nutrient dari udara ke tanah

(Green Oil Plantations, 2011). Akarnya berwarna kuning kecoklatan, bagian dalam

berair, sebagian dari akar keluar di atas lumpur. Tanaman ini memiliki 200 spesies

yang tersebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983).

Tanaman kawao di Indonesia dikenal dengan nama akar tuba, bori akar,

tungkul bayon, areuy kawao atau tuwa laleur. Tanaman ini berasal dari kingdom

Plantae, sub-kingdom Tracheobionta, super-divisi Spermatophyta, divisi

Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Rosidae, ordo Fabales, famili

Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea (Irvine, 1961).

Tanaman kawao dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi (Gamgsa,

Fansofree dan Fom, 1993). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh

sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger,

1970). Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai obat

tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan

asma, infertilitas dan masalah menopause. Gambar akar kawao disajikan pada

Gambar 1.

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/002

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

8

Gambar 1. Akar Kawao (Milletia sericea)(Dokumentasi Pribadi, 2011)

2.2. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu pemisahan satu atau lebih komponen dari

suatu bahan. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan dari

suatu sistem campuran padatan-cairan, berupa cairan dari suatu sistem campuran

cairan-cairan atau berupa padatan dari suatu sistem padatan-padatan (Gamse, 2002).

Produk utama dari ekstraksi umumnya adalah komponen yang terlarut di dalam

pelarut, tetapi pada kondisi ampas atau residu merupakan produk utama atau produk

yang diinginkan maka proses tersebut disebut leaching walaupun mekanisme

kerjanya menggunakan metode maserasi (Suyitno et. al, 1989).

Proses ekstraksi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ekstraksi mekanis dan ekstraksi

pelarut. Ekstraksi mekanis menggunakan penekanan atau pengempaan sedangkan

ekstraksi pelarut menggunakan pelarut yang didasarkan pada sifat kelarutan. Menurut

Suyitno et. al (1989), prinsip ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada perbedaan

konsentrasi komponen dalam bahan dengan konsentrasi komponen dalam larutan.

Akar kawao

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/003

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

9

Pelarut adalah bahan yang ditambahkan untuk membentuk suatu fase yang

berbeda dari bahan yang dipisahkan. Pelarut menyebabkan pori-pori bahan

mengembang sehingga zat yang berada di dalam bahan berdifusi keluar permukaan

partikel bahan. Pemisahan tercapai jika komponen yang dipisahkan larut dalam

pelarut sedangkan komponen yang lainnya masih tetap berada dalam bahan asalnya.

Kelarutan zat dalam pelarut dipengaruhi oleh tingkat kepolaran pelarutnya. Zat yang

polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat nonpolar hanya larut dalam

pelarut nonpolar (Dwiari et. al., 2008).

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti sifat dari bahan

mentah tanaman dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta

kepentingan dalam memperoleh ekstrak dari tanaman. Sifat dari bahan tanaman

merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memperoleh metode

ekstraksi (Harborne, 1999). Usaha untuk mempermudah proses ekstraksi dapat

dilakukan dengan cara pengeringan bahan dan penggilingan. Bahan harus

dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan pada

tempat yang kering agar terjaga kelembabannya. Pengecilan ukuran akan memperluas

kontak antara bahan dengan pelarut. Pada umumnya ekstraksi akan bertambah baik

bila permukaan serbuk bahan yang bersentuhan dengan pelarut semakin luas. Metode

dasar ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi. Pemilihan terhadap metode

tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang diinginkan.

Metode maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana karena cara dan

peralatan yang digunakan tidak serumit dengan metode lainnya. Kekurangan dari

metode maserasi antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/004

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

10

lama, pelarut yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan

yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Supriadi, 2002).

2.2.1. Maserasi

Maserasi merupakan metode perendaman sampel dengan pelarut. Umumnya

digunakan pelarut organik dengan molekul relatif kecil pada temperatur ruangan.

Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan

perendaman akan terjadi kontak antara bahan dan pelarut yang cukup lama. Waktu

yang lama tersebut memberikan waktu untuk distribusi pelarut yang terus menerus ke

dalam sel tumbuhan yang mengakibatkan perbedaan tekanan diantara bagian dalam

dan luar sel, kemudian terjadi pemecahan dinding dan membran sel sehingga

metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut

(Suyitno et. al., 1989).

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam bahan dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel

yang mengandung zat aktif. Pada saat pelarut dan komponen dalam bahan kontak

langsung maka terjadilah pelarutan komponen bahan tersebut. Isi sel akan larut

karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel,

maka larutan paling pekat akan didesak keluar. Larutan yang konsentrasinya tinggi

akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses

difusi). Larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar untuk mencapai

kesetimbangan konsentrasi komponen di dalam dan di luar bahan. Proses

kesetimbangan akan berhenti ketika konsentrasi komponen dalam dan di luar bahan

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/005

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

11

sama. Pada kondisi tersebut menunjukkan bahwa ekstraksi dinyatakan selesai

(Digunawan, 2010). Mekanisme ekstraksi maserasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan :1. Pelarut 4. Pelarut2. Bahan 5. Komponen terlarut dalam pelarut3. Komponen terlarut

Gambar 2. Mekanisme Ekstraksi Maserasi(Gamse, 2002)

Lama maserasi menentukan jumlah komponen yang dapat diekstraksi dari

bahan. Lama maserasi berhubungan dengan banyaknya kontak antara bahan dengan

pelarut (Supriadi, 2002). Lama maserasi pada umumnya selama beberapa hari, setelah

waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel

dengan luar sel telah tercapai. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ekstraksi suatu

bahan berbeda-beda untuk mencapai kondisi equilibrium atau kondisi

kesetimbangannya, yaitu kondisi dimana konsentrasi komponen dalam bahan sama

dengan konsentrasi komponen dalam pelarut sehingga tidak terjadi perpindahan

komponen lagi. Menurut Heldman dan Singh (1981) lama ekstraksi yang tidak cukup

akan menyebabkan kondisi kesetimbangan tidak tercapai sehingga jumlah komponen

yang terekstrak belum maksimum. Hal tersebut terjadi karena semakin lama ekstraksi

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/006

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

12

maka waktu kontak antara pelarut dengan bahan akan semakin banyak (Buchori,

2007).

Suhu juga berperan penting dalam proses maserasi. Suhu ekstraksi

mempengaruhi kemampuan berdifusi ke dalam bahan semakin besar sehingga

komponen yang akan diekstrak akan semakin banyak terlarut dalam pelarutnya.

Semakin tinggi suhu ekstraksi maka difusivitas pelarut akan semakin besar dan

viskositas semakin kecil (Buchori, 2007).

Budiyanto dan Yulianingsih (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh

suhu dan lama ekstraksi terhadap karakteristik pektin dari ampas jeruk siam (Citrus

nobilis L). Suhu ekstraksi yang digunakan adalah 65oC, 80oC dan 95oC. lama

ekstraksi yang digunakan adalah 40 menit, 60 menit dan 80 menit. Hasil dari

penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi dan semakin

lama ekstraksi maka rendemen pektin dari ampas jeruk siam akan semakin

meningkat. Peningkatan suhu ekstraksi menyebabkan peningkatan energi kinetik

larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat pula. Lama

ekstraksi berpengaruh pada proses difusi larutan pengekstrak ke dalam jaringan yang

menyebabkan semakin banyak pektin yang terlarut atau lepas dari jaringan tanaman.

Ramadhan dan Phaza (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu

terhadap ekstraksi oleoresin jahe (Zingiber officinale Rosch) secara batch. Perlakuan

suhu yang digunakan adalah 30oC, 36oC, 40oC dan 45oC. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan akan meningkat apabila terjadi

peningkatan suhu ekstraksi. Namun, pada suhu 45oC oleoresin rendemen oleoresin

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/007

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

13

mengalami penurunan karena pada suhu tersebut sebagian gingerol sebagai senyawa

utama dalam oleoresin jahe mengalami dekomposisi menjadi shoagol.

Fatimah (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh lama ekstraksi

terhadap beberapa karakteristik pektin dari kulit pisang tanduk (Musa paradisiacal L)

kultivar Horn Plantain dengan perlakuan lama ekstraksi. Lama ekstraksi yang

digunakan adalah 70 menit, 80 menit, 90 menit, 100 menit dan 110 menit. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama ekstraksi maka rendemen pektin

yang diperoleh mengalami peningkatan.

2.2.2. Pelarut

Menurut Brady (1987), pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada

larutan dalam jumlah yang besar sedangkan zat lainnya dianggap sebagai zat terlarut.

Jenis bahan sumber dan komponen yang yang akan diekstrak mempengaruhi besar

kecilnya hambatan dalam ekstraksi. Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut

yang mempunyai daya melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya

melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran

senyawa yang diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut

dalam pelarut polar atau non-polar. Berdasarkan sifat kepolarannya, suatu bahan

digolongkan menjadi bahan polar dan non polar. Suatu bahan bersifat polar bercirikan

molekulnya mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom elektronegatif

sedangkan bahan non polar molekulnya biasanya mengandung cincin aromatik, gugus

lipofilik atau molekulnya tidak mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom

elektronegatif (Houghton dan Raman, 1989). Tingkat polaritas pelarut disajikan pada

Tabel 1.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/008

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

14

Tabel 1. Tingkat Polaritas Pelarut

Pelarut Indekskepolaran Titik didih (ºC) Viskositas

(cPoise)

Kelarutandalam air(%w/w)

n-heksan 0,0 69 0,33 0,001Diklorometana 3,1 41 0,44 1,6n-butanol 3,9 118 2,98 7,81Iso-propanol 3,9 82 2,30 100n-propanol 4,0 92 2,27 100Kloroform 4,1 61 0,57 0,815Etil asetat 4,4 77 0,45 8,7Aseton 5,1 56 0,32 100Metanol 5,1 65 0,60 100Etanol 5,2 78 1,20 100Air 9,0 100 1,00 100Sumber : Sarker, Latif dan Gray (2006)

Pemilihan pelarut yang tepat untuk proses maserasi akan memberikan

efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam

pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel (Djarwis,

2004). Pelarut yang dapat dipakai untuk ekstraksi bahan nabati antara lain akuades,

etanol, etil asetat, dan heksan. Keempat jenis pelarut ini merupakan pelarut yang

aman digunakan pada makanan.

Etanol adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-

hari karena sifatnya yang tidak beracun. Pelarut ini banyak dipakai dalam dunia

farmasi dan industri makanan dan minuman (Utami dan Dewi, 1997). Heksana dapat

digunakan untuk mengekstraksi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai minyak

atsiri. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang banyak digunakan karena

bersifat murah dan aman penggunaannya (Kresnawaty et. al., 2008). Akuades

merupakan pelarut yang paling sering digunakan karena sifatnya yang aman, mudah

didapat dan mempunyai kemampuan tinggi melarutkan zat (Azizah, 2011).

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/009

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

15

Berdasarkan penelitian Wulandari (2011) pelarut akuades dapat mengekstrak

sebagian besar senyawa alkaloid dalam akar kawao.

Menurut Perlman (2011), akuades dapat disebut sebagai pelarut universal

karena dapat melarutkan banyak komponen dibandingkan pelarut yang lainnya.

Menurut Irwanto (2010), akuades dapat digunakan sebagai pelarut karena murah,

mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar dan tidak

beracun. Kerugian penggunaan akuades sebagai pelarut adalah tidak selektif, ekstrak

dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga cepat rusak dan bila ingin dikeringkan

memerlukan waktu yang lama.

2.3. Antimikroba

Antimikroba adalah senyawa yang digunakan untuk membunuh

mikroorganisme, khususnya bakteri yang merugikan (Entjang, 2003). Definisi ini

berkembang bahwa antimikroba merupakan senyawa kimia yang dalam konsentrasi

kecil mampu menghambat bahkan membunuh suatu mikroorganisme. Komponen

yang membunuh bakteri, fungi dan spora masing-masing disebut bakterisidal,

fungisidal dan sporosidal, sedangkan komponen yang menghambat aktivitas atau

pertumbuhannya masing-masing disebut bakteristatik, fungistatik dan sporostatik atau

germisidal (Fardiaz, Suliantari dan Dewanti, 1987).

Mekanisme kerja antimikroba dibagi ke dalam lima kelompok menurut

Pelczar dan Chan (1986) dikutip Widarto (1990), yaitu :

1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba

Zat antimikroba dapat menghambat atau mengganggu metabolisme sel yang

merupakan reaksi biokimia sehingga dapat menyebabkan kematian sel.

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/010

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

16

Mikroba memerlukan asam folat hasil sintesis dari para amino benzoat untuk

kelangsungan hidupnya, maka akan terbentuk analog asam folat yang

nonfungsional, akibatnya pertumbuhan mikroba akan terganggu.

2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Dinding sel terdiri dari peptidoglikan, yaitu suatu kompleks polimer

mukopeptida (glikopeptida). Tekanan osmotik yang lebih tinggi di dalam sel

mikroba akan menyebabkan kerusakan dinding sel karena terjadi lisis sebagai

efek bakterisidal pada bakteri yang peka.

3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba

Antimikroba ini menyebabkan kerusakan membran sel mikroba dan

menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba

seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain. Kerusakan pada

membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau

kematian sel.

4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Sintesis

protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Ribosom

pada bakteri terdiri atas dua subunit sebagai ribosom 30S dan 50S. Komponen

ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA 70S agar dapat berfungsi pada

sintesis protein. Penghambatan sintesis protein dapat terjadi dengan cara zat

antimikroba berikatan dengan salah satu komponen subunit tersebut sehingga

menghambat sintesis protein.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/011

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

17

5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

DNA, RNA dan protein memegang peranan yang sangat penting di dalam

proses kehidupan normal sel. Oleh karena itu, gangguan apapun yang terjadi

pada pembentukan atau pada fungsi zat tersebut dapat mengakibatkan

kerusakan total sel.

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba adalah (1) jenis,

jumlah dan umur mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu

kontak, (4) sifat fisio kimia substrat seperti pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis

dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa lainnya (Frazier dan Westhoff,

1997).

2.4. Mikroorganisme Kontaminan

Kerusakan bahan pangan dapat terjadi akibat adanya mikroorganisme

kontaminan yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Kontaminasi dapat berasal

dari bahan baku, lingkungan atau juga dari pekerja. Kontaminasi silang dapat terjadi

bila produk pangan yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja

atau alat pengolah makanan selama proses persiapan bahan yang sebelumnya telah

terkontaminasi bakteri patogen. Kehadiran mikroorganisme kontaminan dalam bahan

pangan dapat mempengaruhi karakteristik bahan pangan tersebut serta dapat

menurunkan nilai gizi (nutrisi) dan dapat menghasilkan senyawa beracun yang dapat

membahayakan apabila masuk ke dalam tubuh (Supardi dan Sukamto, 1999).

Mikroorganisme yang mengkontaminasi makanan dapat meliputi bakteri,

kapang dan khamir. Mikroorganisme kontaminan dapat dikelompokkan berdasarkan

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/012

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

18

aktifitasnya (proteolitik, lipofilik, dsb) ataupun pertumbuhannya (psikrofilik,

mesofilik, halofilik, dsb) (BPOM RI, 2008).

2.4.1. Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae umumnya memiliki bentuk ellips dengan diameter yang besar

antara 5-10 mikrometer, dan diameter yang kecil antara 1-3 mikrometer, warnanya

putih kekuningan yang dapat dilihat diatas permukaan tumbuh koloni. Organisme ini

biasa tumbuh pada lingkungan hangat, lembab, mengandung gula dan aerobik. Suhu

optimum pertumbuhannya yaitu 30oC, suhu maksimumnya 35-37oC dan suhu

minimumnya 9-11oC (Walker, 1998). S.cerevisiae dapat berkembang biak dengan

membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel (Ahmad, 2005).

Khamir ini menghasilkan spora yang tumbuh didalam askus. Umumnya

khamir ini ditemukan pada gula, produk olahan gula, pembuatan bir dan roti.

S.cerevisiae dapat mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan

oksigen. S. cerevisiae dapat mengubah sistem metabolismenya dari jalur fermentatif

menjadi oksidatif (respirasi). Kedua sistem tersebut menghasilkan energi, meskipun

energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan

melalui fermentasi (Fardiaz, 1992).

Penggunaan S. cerevisiae sebagai khamir telah dimanfaatkan untuk keperluan

pembuatan roti, dan fermentasi tape singkong. Selain itu, juga digunakan untuk

keperluan berbagai industri dalam proses produksi minuman beralkohol, biomasa,

ekstrak untuk keperluan industri kimia, senyawa beraroma dan produksi protein

rekombinan untuk menunjang kegiatan bioteknologi khususnya bidang molekuler

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/013

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

19

biologi (Watson dan Tooze, 1988). Peranan khamir dalam bidang biologi molekuler

adalah sebagai mikroba eukariot uniseluler yang mempunyai kemampuan untuk

disisipkan dengan gen mikroba lain (Nikon, 2004).

Keberadaan S.cerevisiae pada nira terjadi secara alami selama proses

penyadapan. Keuntungan keberadaan khamir ini dapat membuat cita rasa yang khas

terhadap nira. Selain menguntungkan, khamir ini juga dapat merugikan dan

menyebabkan kerusakan pada produk nira. Proses kerusakan nira diawali dengan

proses invertasi sukrosa, kemudian proses fermentasi dan diakhiri dengan proses

oksidasi yang menghasilkan asam asetat. Reaksi yang terjadi yaitu (Dachlan, 1984)

seperti di bawah ini :

1. + O +

sukrosa glukosa fruktosa

2. 2 + 2

glukosa/fruktosa etanol

3. 2 C H OH + O COOH + O

etanol asam asetat

Peristiwa invertase seperti pada nomor 1 diatas terjadi karena sukrosa

terhidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa. Hal ini disebabkan oleh aktivitas

enzim β-fruktofuronosidase (β-h-fruktosidase, invertase) yang dihasilkan mikroba

(Goutara dan Wijandi, 1985). Jika terjadi fermentasi lebih lanjut maka kadar gula

akan menurun, kadar alkohol meningkat kemudian terjadi peningkatan kadar asam

sehingga pH cenderung menurun Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan

komposisi kimia nira terutama kandungan sukrosa menjadi gula reduksi

(fruktosa/glukosa). Gambar sel S. cerevisiae disajikan pada Gambar 3.

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/014

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

20

Gambar 3. Saccharomyces cerevisiae(Flegler, 2005)

2.4.2. Leuconostoc mesenteroides

L. mesenteroides berbentuk bulat, termasuk bakteri asam laktat, gram positif,

tak berspora, sel tidak motil, serta merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini

dikelompokan katalase negatif, tidak membentuk spora, kemoorganotrof dan suhu

optimum untuk pertumbuhannya pada 30oC (Kusmiati dan Malik, 2002). Sel bakteri

ini lebih tahan terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi dan bahan

kimiawi yang tidak cocok sehingga termasuk bakteri osmofilik yang toleran terhadap

konsentrasi gula tinggi (Frazier dan Westhoff, 1997).

Reproduksi sel L.mesenteroides dapat dilakukan melalui proses pembelahan

biner. Pada pembelahan biner, L. mesenteroides menduplikasi DNA dimana sekat

membelah dari dinding luar ke bagian dalam. Pada sekali pembelahan, terbentuk dua

sel identik. L.mesenteroides tidak bereproduksi secara aseksual dengan menghasilkan

spora. Spora adalah bentuk dari beberapa bakteri saat kondisi stres. Spora dapat

berkembang menjadi organisme baru tanpa bergabung dengan organisme lain

(Kusmiati dan Malik, 2002).

Sel S. cerevisiae

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/015

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

21

Pemanfaatan L. mesenteroides antara lain dalam pembuatan berbagai macam

produk olaham makanan seperti sauerkraut, gari (khas Afrika), keju, fermentasi susu,

fermentasi sayur dll. L. mesenteroides juga memiliki aktifitas bakteriosin. Bakteriosin

merupakan senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri yang bersifat

menghambat pertumbuhan bakteri lain. Bakteriosin yang dihasilkan oleh

L.mesenteroides mudah diterima sebagai bahan tambahan dalam makanan baik oleh

ahli kesehatan maupun oleh konsumen karena bakteri ini secara alami berperan dalam

proses fermentasi makanan (Kusmiati dan Malik, 2002).

L.mesenteroides dapat menyebabkan infeksi yang ditemukan terjadi pada

pasien di rumah sakit sebagai infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah Infeksi

yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit. Bagi pasien yang

dirawat di rumah sakit ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab

langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Infeksi ini bisa ditularkan

dari pasien ke petugas dan sebaliknya, pasien ke pengunjung dan sebaliknya, serta

antar orang yang berada di lingkungan rumah sakit (Bou, 2008).

L. mesenteroides memiliki peran negatif dalam beberapa produk pangan,

terutama pada produk nira. Keberadaan L. mesenteroides dalam produk nira dapat

menyebabkan penurunan rendemen gula yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi karena

L. mesenteroides mampu mengurai sukrosa pada nira dekstran. Dekstran adalah

polisakarida yang terbentuk dari molekul D-glukosa. Keberadaan dekstran

mengakibatkan kerugian besar karena menurunkan efisiensi produksi gula dan

kualitas akhir gula (Baktir, Koiriyah dan Rohman, 2005).

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/016

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

22

L. mesenteroides mempunyai kemampuan untuk menguraikan sukrosa

menjadi glukosa yang selanjutnya oleh enzim dekstran-sukrase glukosa tersebut

dirubah menjadi senyawa polimer glukosa yang disebut dekstran (Wahyuningtyas et.

al., 2008). Dekstran yang terbentuk dapat menyebabkan kesulitan dalam pengolahan

gula karena dapat menghambat proses pemurnian nira, meningkatkan viskositas nira

sehingga dapat menurunkan kemampuan pabrik memproses nira, dan menurunkan

laju kristalisasi sukrosa (Baktir et.al., 2005). Gambar sel L. mesenteroides disajikan

pada Gambar 4.

Gambar 4. Leuconostoc mesenteroides(Todar, 2008)

2.4.3. Eschericia coli

E.coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, mempunyai flagella

dan dibedakan atas sifat serologi antigen O (somatik), K (kapsul) dan H (flagella)

dengan ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm (Fardiaz, 1989). E.coli termasuk

ke dalam group koliform yang dapat memfermentasikan laktosa dengan

menghasilkan asam dan gas pada suhu 44oC, bersifat indol positif tidak dapat

menggunakan sitrat, menghasilkan asam dari manitol pada suhu 37oC. E. coli bersifat

Sel L. mesenteroides

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericeamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080110_2_1019.pdf · FTIP001657/001 [2] [3] [1] ANG idak diperkenankan mengumumkan,

FTIP001657/017

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

23

aerob atau anaerob fakultatif yang tumbuh dengan suhu pertumbuhan optimum pada

suhu 37oC (Juliantina et. al., 2009).

Bakteri E. coli disebut koliform fekal karena bakteri ini merupakan flora

normal yang terdapat di dalam saluran usus hewan dan manusia sehingga sering

terdapat dalam feses. Menurut Murtiningsih (1997), bakteri koliform terutama E. coli

sering digunakan sebagai indikator kebersihan karena habitatnya yang berada dalam

saluran pencernaan manusia atau hewan berdarah panas.

Bakteri ini cenderung berada pada tempat-tempat persiapan bahan makanan

melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke dalam bahan makanan yang telah

diolah melalui kontaminasi tangan yang tidak bersih seperti susu segar, makanan

olahan, sayuran segar, daging segar dan buah-buahan (Buckle et. al., 1987). Jika pada

suatu bahan pangan diketahui mengandung bakteri E.coli maka bahan pangan

tersebut tidak higienes dan berpotensi menimbulkan penyakit bagi yang memakannya

(Supardi dan Sukamto, 1999). E.coli dapat menyebabkan berbagai penyakit

tergantung dari tempat infeksinya, seperti infeksi saluran kemih dan diare (Juliantina

et. al., 2009). Sel E. coli disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Eschericia coli(Todar, 2008)

Sel E. coli