II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan...

18
[2] [3] [1] HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan FTIP001640/020 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tebu Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan dari family Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah asalnya yaitu, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk fisik dengan tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber ekonomi utama dari gula bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam divisi Maqnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Cyperales, family Poaceae (Gramineae) (Barnes 1973). Tanaman ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropik dan subtropik dengan kelembaban tahunan minimum 600 nm. Tanaman tebu termasuk tanaman yang paling efisien dalam berfotosintesis dimana hanya membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk dikonversi menjadi biomassa (Sharpe 1998). Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 produksi tebu (setara gula) mencapai 2,55 juta ton dan turun 8,53% pada tahun 2009 menjadi sebesar 2,33 juta ton. Pada tahun 2010 produksi tebu kembali mengalami penurunan sekitar 2,39% atau menjadi 2,28 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2010). Perkembangan produksi tebu Indonesia tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/020

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Tebu

Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan dari

family Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah

asalnya yaitu, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk fisik dengan

tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber

gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber ekonomi utama dari gula

bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam divisi Maqnoliophyta, kelas

Liliopsida, ordo Cyperales, family Poaceae (Gramineae) (Barnes 1973). Tanaman ini

dapat tumbuh di daerah beriklim tropik dan subtropik dengan kelembaban tahunan

minimum 600 nm. Tanaman tebu termasuk tanaman yang paling efisien dalam

berfotosintesis dimana hanya membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk

dikonversi menjadi biomassa (Sharpe 1998).

Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama tiga tahun terakhir terus

mengalami penurunan. Pada tahun 2008 produksi tebu (setara gula) mencapai 2,55

juta ton dan turun 8,53% pada tahun 2009 menjadi sebesar 2,33 juta ton. Pada tahun

2010 produksi tebu kembali mengalami penurunan sekitar 2,39% atau menjadi 2,28

juta ton (Badan Pusat Statistik, 2010). Perkembangan produksi tebu Indonesia tahun

2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/021

7

Tabel 1. Perkembangan Produksi Gula Tebu di IndonesiaTahun Jumlah (ton) Pertumbuhan200820092010

2.551.5132.333.8852.278.127

-2,75-8,53-2,39

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah

batangnya. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Batang tebu berdiri

tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-5 meter serta tidak bercabang (Soebroto

1983). Batang terdiri dari ruas-ruas dan dibatasi dengan buku-buku, dimana setiap

buku terdapat mata ruas. Gambar tanaman dan batang tebu disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman dan Batang Tebu(Dokumentasi Pribadi, 2011)

Tanaman tebu dipanen pada usia 8-12 bulan. Pemanenan merupakan tahapan

penting dalam penanganan tebu. Makin mendekati umur panen, kadar sukrosa dalam

batang tebu semakin meningkat dan setelah melampaui umur panen terjadi penurunan

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/022

8

kadar sukrosa yang diikuti peningkatan kadar glukosa dan fruktosa. Penurunan kadar

sukrosa tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim invertase dalam batang tebu yang

meningkat aktivitasnya. Peningkatan aktivitas invertase dalam jaringan tanaman

disebabkan karena adanya signal kebutuhan energi bagi tanaman untuk metabolisme

selanjutnya (Foyer et al. 1997). Energi tersebut dapat diserap tanaman dalam bentuk

gula sederhana (glukosa dan fruktosa) sehingga aktivitas invertase pada sukrosa

terpacu untuk bekerja.

2.2. Nira Tebu

Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu,

mengandung kadar gula relatif tinggi dan dijadikan bahan baku pembuatan gula

kristal. Dalam pabrik gula, proses ekstraksi nira tebu dari batangnya dilakukan

dengan cara pemecahan dan penggilingan.

Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu,

kondisi geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan

pengangkutan (Reece, 2003). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat,

dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen 1985).

Nira tebu segar berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,0-6,0 (Goutara

dan Wijandi 1975). Menurut Gillet (1965) zat warna yang terdapat dalam nira tebu

adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil, karoten, antosianin, tannin dan

sakretin, sedangkan warna coklat timbul akibat reaksi pencoklatan enzimatis dan

polifenol. Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebagai hasil

metabolisme tanaman seperti dextran, levan, pektin, selulosa, hemiselulosa, pati dan

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/023

9

gum (Cuddihy et al. 2000). Semua bahan selain sukrosa dapat memberikan efek

negatif terhadap proses pertumbuhan gula kristal, seperti memberi kesempatan

mikroorganisme untuk tumbuh, mempersulit proses pemurnian dan menghambat

proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relatif tinggi pada nira akan menyebabkan

filtrasi berjalan lambat dan larutan tampak lebih keruh. Komponen kimia pada nira

tebu disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komponen Kimia Nira TebuKomponen Jumlah

Gula sukrosa 10,29 %Glukosa 2,43 %Fruktosa 0,94 %Dekstran 1,41 %Total asam 62,5 mleqpH 5,1Sumber : Filianty (2007)

Menurut Paine (1953) dikutip Filianty (2007), nira tebu mengandung

komponen senyawa nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein

sederhana (albuminosa dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat) dan asam

amida (asparagin, glutamin). Selain itu nira tebu juga mengandung komponen asam

organik lain seperti okonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat. Kandungan garam

organik yang teridentifikasi dalam nira tebu diantaranya adalah fosfat, klorida, sulfat,

silikat dan nitrat dari Na, K, Ca, Al, dan Fe. Menurut legaz et al. (2000), nira tebu

dapat mengandung glikoprotein bila nira tersebut dihasilkan dari batang yang

mengalami kerusakan atau terserang mikroorganisme patogen.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/024

10

2.3. Kerusakan Nira

Kualitas nira hasil sadapan sangat menentukan mutu gula yang dihasilkan.

Ciri-ciri nira yang berkualitas baik antara lain berwarna bening (tidak keruh), rasanya

manis, berbau harum, derajat keasaman (pH) 6-7 dan kadar sukrosa lebih dari 12%.

Tebu yang disimpan dalam ruangan dan ditumpuk akan menyebabkan suhu dalam

tumpukan naik sehingga mengakibatkan invertasi sukrosa dan merangsang

pertumbuhan mikroba. Pengangkatan yang jaraknya terlalu jauh dari pabrik dan sinar

matahari juga menyebabkan turunnya kadar sukrosa (Azmi, 2008).

Sukrosa (C12H22O11) atau biasa dikenal sebagai gula meja merupakan jenis

disakarida yang berwarna putih, berbentuk kristal padat dengan rasa manis dan dapat

membentuk karamel serta terdekomposisi pada suhu 186ºC (Winarno, 1992). Sukrosa

yang mengalami degradasi akan menghasilkan karbondioksida dan air serta

menghasilkan warna coklat pada produknya. Terbentuknya asam pada saat degradasi

sukrosa menyebabkan pH larutan menurun. Menurut Rahman et al (2004), penurunan

nilai pH karena pembentukan asam menyebabkan warna berkurang, tetapi sekitar pH

netral akan mulai terjadi kehilangan sukrosa akibat invertasi. Menurut Lingle (2004),

degradasi sukrosa yang paling rendah terjadi pada pH 9, karena konsentrasi H+

(penyebab invertasi) dan konsentrasi OH- (penyebab terbentuknya asam dan warna)

sangat rendah sekali. Kehilangan sukrosa pada pH 9 dan tekanan normal kurang lebih

sebanyak 0,05 %. Sukrosa yang dipanaskan dibawah titik cair akan mengalami

degradasi yang lambat, tetapi bila panasnya lebih tinggi lagi degradasi akan semakin

cepat.

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/025

11

Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)

Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam

sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,

CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).

Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-

sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,

dikutip Rachma, 2006).

Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas

mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti

Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan

enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa

dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase

asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam

apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi

oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim

11

Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)

Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam

sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,

CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).

Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-

sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,

dikutip Rachma, 2006).

Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas

mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti

Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan

enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa

dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase

asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam

apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi

oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim

11

Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)

Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam

sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,

CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).

Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-

sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,

dikutip Rachma, 2006).

Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas

mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti

Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan

enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa

dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase

asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam

apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi

oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/026

12

dekstransukrase yang mampu menghidrolisis sukrosa menjadi fruktosa dan dekstran.

Keberadaan dekstran dalam nira akan menghambat kristalisasi sukrosa (Legaz et al,

2000). Jenis mikroba lain dalam nira tebu adalah Brevibacterium sulferes, Candida

pulchemma, Saccharomyces lactis dan Saccharomyces sacchari yang dapat

membentuk glikoprotein dalam batang tebu (Legaz et al, 2000). Degradasi sukrosa

dalam nira tebu ditandai dengan rasa asam, berbuih dan berlendir.

Reaksi invertasi sukrosa maksimal terjadi pada pH 7,2 dan suhu 60ºC

(Rahman et al, 2004). Tahap awal reaksi invertasi sukrosa menjadi glukosa dan

fruktosa dengan katalis invertase adalah sebagai berikut :

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6

Sukrosa Glukosa Fruktosa

Selanjutnya glukosa dan fruktosa hasil invertasi akan terfermentasi oleh

khamir Saccharomyces ellipsoids menghasilkan alkohol (Muchtadi, 1992, dikutip

Azmi, 2008) dengan reaksi sebagai berikut :

C6H12O6 + Saccharomyces ellipsoids 2C2H5OH + CO2

Glukosa/Fruktosa Etanol

Fermentasi terutama terjadi karena adanya enzim zimase yang dikeluarkan oleh

khamir. Fermentasi berjalan baik pada suhu 30ºC sampai 35ºC dengan konsentrasi

gula pereduksi antara 5 % sampai 20 % (Wijandi, 1985).

Reaksi selanjutnya adalah reaksi oksidasi etanol oleh bakteri Acetobacter

aceti menjadi asam asetat, yaitu :

C2H5OH + O2 + Acetobacter aceti CH3COOH + H2OEtanol asam asetat

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/027

13

Gula invert juga dapat terfermentasi menjadi asam laktat oleh bakteri Bacillus lactis

acidi pada suhu 45ºC sampai 55ºC selama 3 sampai 6 hari. Reaksi-reaksi diatas dapat

menyebabkan kadar sukrosa menurun dan kadar asam meningkat sehingga pH

cenderung menurun (Rahman et al, 2004).

2.4. Penghambatan Kerusakan Nira Tebu

Bahan pangan semenjak dipanen, diolah, dikemas, sampai dengan tiba di

tangan konsumen selalu mengalami penurunan kualitas sampai pada suatu titik bahan

pangan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Penurunan kualitas ini

kemudian diidentikkan dengan kerusakan pangan yang dapat terjadi karena dua hal

utama yaitu kerusakan alami akibat aktivitas dalam bahan itu sendiri (moisture loss

dan aktivitas enzim) dan kontaminasi dari luar oleh mikroorganisme (Tull, 1987).

Upaya pencegahan kerusakan dalam nira tebu akibat reaksi enzimatis dan

mikrobiologis dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet, baik yang

bersifat inhibitor enzim ataupun antimikrobial. Inhibisi enzim atau penghambatan

aktivitas enzim merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian yang

menyangkut kesehatan. Misalnya Pb, Hg, dan logam berat lainnya bersifat sebagai

penghambat kerja enzim, namun sangat beracun pada manusia. Meskipun mekanisme

penghambatan kerja invertasi oleh logam-logam berat berbeda dengan mekanismenya

pada enzim lain, namun dapat dipastikan bahwa logam-logam berat tersebut sangat

menghambat kerja invertasi.

Sebagai contoh, ion Ag++ menyerang rantai sisi histidin pada molekul

invertasi dan menyebabkan invertasi tidak aktif. Beberapa jenis logam sangat efektif

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/028

14

menghambat aktivitas enzim invertase seperti HgCl2, ZnCl2, AgNO3 dan CuSO4

(Vorster dan Frederik, 1998). Natrium benzoat dan larutan amoniak dalam jumlah

0,05% dan 0,32% dapat menghentikan fermentasi pada nira selama 2 - 3 hari, pada

konsentrasi 0,10% dan 1,28% dapat menghentikan fermentasi hingga 6 hari

(Bobadilla dan Preston, 1981).

Menurut Mealor dan Townshend (1968) dalam Trojanowiez et al (2004)

menyatakan bahwa kation logam seperti Cu(II), Zn(II), Cd(II) dan Pb(II) dapat

menghambat aktivitas invertase. Penghambatan aktivitas enzim juga dapat dilakukan

dengan memberikan kondisi ekstrim bagi reaksi inversi oleh invertase seperti suhu,

pH maupun tekanan. Seperti penghambatan aktivitas invertase yang dilakukan oleh

Cavaille dan Didier (1996) dengan mengkombinasikan perlakuan tekanan tinggi dan

suhu, sedangkan menurut Causette et al (1998), perlakuan suhu dan tekanan yang

tinggi akan mempengaruhi kualitas produk (sukrosa) akibat terjadi reaksi lain yang

tidak diinginkan (lateral reaction).

Suatu sel hidup dari mikroorganisme memiliki sejumlah besar enzim, protein,

asam nukleat dan sistem jaringan sel untuk kepentingan proses metaboliknya.

Kerusakan pada salah satu komponen sel dapat mengawali terjadinya perubahan-

perubahan yang menuju pada kematian sel mikroorganisme. Berdasarkan hal tersebut

beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba, yaitu merusak dinding sel

mikroorganisme, merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam

nukleat, menghambat kerja enzim dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein

(Pelzcar dan Chan, 1988). Antimikroba yang ideal menunjukkan sifat toksisitas

selektif yaitu fungsi reseptor yang spesifik yang hanya dibutuhkan untuk melekatnya

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/029

15

obat atau karena hambatan biokimia yang terjadi bagi organisme namun tidak bagi

inang (Ganiswarna, 1995, dikutip Dirga, 2011). Antimikroba ideal mempunyai

spektrum penghambatan yang luas, tidak menimbulkan resistensi mikroorganisme

patogen, tidak menimbulkan efek samping dan tidak mengganggu keseimbangan

flora normal tubuh manusia (Dimas, 2009, dikutip Dirga, 2011).

Aplikasi penambahan pengawet pada nira harus mengikuti aturan pemerintah

dan mengikuti standar food grade. Penggunaan beberapa jenis bahan kimia dalam

bahan pangan seperti formalin dan borax kini sangat dilarang karena membahayakan

kesehatan. Berbagai bahan alami kini dikembangkan sebagai pengawet seperti yang

dilakukan oleh petani-petani nira sejak lama, yaitu memanfaatkan akar kawao, kulit

dan buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu metem

tangkal dan kulit batang nangka (Sedernawati et al, 1999). Pemanfaatan komponen

kimia dari ekstrak tanaman atau komponen fitokimia telah diaplikasikan sejak lama,

yang diketahui melalui pengalaman empiris. Pada masa kini komponen-komponen

fitokimia tersebut banyak diteliti untuk diidentifikasikan.

2.5. Akar Kawao

Kawao (Millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak, dengan

panjang 10 - 30 m. Kawao (Milletia) tumbuh di hutan hutan dan di tepi-tepi sungai

mulai dari dataran rendah sampai ± 1000 m di atas permukaan laut (Menninger,

1970). Tanaman ini berasal dari kingdom Plantae, sub kingdom Tracheobionta, super

divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae,

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/030

16

ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea

(Vent.) (Anonim, 2009).

Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.

Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan

lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung

fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil

Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada

Gambar 4.

Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)

Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika

(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap

spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia

kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)

dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini

digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat

cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).

Akar

Daun

16

ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea

(Vent.) (Anonim, 2009).

Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.

Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan

lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung

fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil

Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada

Gambar 4.

Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)

Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika

(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap

spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia

kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)

dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini

digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat

cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).

Akar

Daun

16

ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea

(Vent.) (Anonim, 2009).

Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.

Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan

lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung

fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil

Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada

Gambar 4.

Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)

Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika

(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap

spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia

kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)

dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini

digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat

cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).

Akar

Daun

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/031

17

Akar tanaman kawao teridentifikasi mengandung beberapa kandungan

fitokimia yang penting seperti yang disajikan pada Tabel 3. Dalam penelitian lain,

akar kawao atau dikenal sebagai Millettia diidentifikasikan mengandung komponen

fitokimia berupa : alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid

(Wanda, 2006). Menurut Yankep et al. (2003), identifikasi lanjut pada isoflavon

dalam millettia dikarakterisasi sebagai kalkone, rotenoid, fenylcoumarine dan

beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen tersebut diekstraksi dari bagian

akar dengan menggunakan heksan.

Tabel 3. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sp.)Komponen AktivitasAlkaloidSaponinTaninFenolikFlavonoidTriterpenoidSteroidGlikosida

+ + + ++-+

+ + + ++ ++

+ + + +Sumber : Filianty (2007)Keterangan :- : Negatif + + + : Positif kuat+ : Positif lemah + + + + : Positif kuat sekali+ + : Positif

Menurut Galeffi et al (1997), jenis M. pervilleana mengandung 2 jenis

isoflavonoid terprenilasi atau tergeranilasi yang menunjukkan aktivitas toksisitas

yang tinggi pada bagian akar tanaman tersebut. Penelitian yang juga dilakukan oleh

Dagne et al (1989), menunjukkan adanya kandungan chalcone dan tujuh jenis

isoflavonoid pada akar dan biji tanaman M. ferruginea subsp. Darassana. M. conraui,

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/032

18

M. laurantii dan M. sanagana digunakan sebagai obat sakit perut yang disebabkan

parasit pada anak (Singhal, 1982). M. zechiana digunakan sebagai obat bronchial

rhinopharyngial. Ekstrak akar dan batang M. griffoniana digunakan sebagai obat

tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan

asma, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause (Sandberg and Cronlund,

1977). Ekstrak akar M. griffoniana mengandung isoflavon Griffonianone D yang

bersifat mengurangi peradangan (antiimflamantory) (Yankep et. al., 2003).

Petani nira di daerah Jawa Barat khususnya nira aren dan kelapa, masih

banyak yang memanfaatkan akar tanaman kawao untuk mengawetkan nira agar tidak

cepat berubah menjadi asam dan memiliki bau yang khas setelah diolah menjadi gula.

Penggunaan akar tanaman kawao oleh para petani biasanya dengan cara

mememarkan akar tanaman kawao sebesar ibu jari dan memasukkannya ke dalam

lodong atau wadah yang digunakan untuk menampung nira. Sebelumnya wadah yang

digunakan dicuci dengan air panas dan untuk lodong bambu dilanjutkan dengan

diasapi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk membunuh mikroorganisme

kontaminan.

Akar kawao dalam bentuk segar tidak tahan lama dalam penyimpanannya

karena masih mengandung komponen air yang tinggi yaitu 66,34% (Dirga, 2011).

Umur simpan akar kawao dapat diperpanjang melalui proses pengeringan.

Pengeringan bertujuan untuk mencegah fermentasi mikrobial dan degradasi senyawa

metabolit berkelanjutan. Pengeringan akar kawao akan menghasilkan chip atau

gaplek seperti yang disajikan pada Gambar 5. Gaplek atau chip akar kawao dapat

diekstrak lebih lanjut sehingga fitokimia yang terkandung di dalamnya dapat diisolasi

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/033

19

dan pada akhirnya dapat dijadikan sediaan bahan pengawet nira. Penelitian yang

dilakukan Fillianty (2007), Kusumah (1992) dan Widipratomo (2006) menunjukkan

bahwa akar kawao dapat menghambat kerusakan pada nira segar.

Gambar 4. Gaplek Akar Kawao (Millettia sericea)(Dokumentasi Pribadi, 2011)

2.6. Ekstrak Bahan Alam

Ekstraksi adalah cara untuk mengisolasi metabolit atau isolat dari bahan alam

yang dapat teridentifikasi sebagai komponen dengan berbagai jenis ikatan atau dapat

juga senyawa fitokimia (Seidel dalam Sarker, 2006). Ekstraksi adalah pemisahan

bagian yang aktif jaringan tanaman atau hewan dari komponen inaktif atau inert

menggunakan pelarut tertentu sesuai standar prosedur ekstraksi. Prinsip dari ekstraksi

adalah ketika komponen padatan bersentuhan dengan pelarut, komponen terlarut di

dalam padatan akan berpindah ke dalam pelarut. Hasil dari ekstraksi adalah

perpindahan massa komponen terlarut ke dalam pelarut sehingga akan menimbulkan

peningkatan konsentrasi. Laju perpindahan masa akan berkurang seiring dengan

meningkatnya konsentrasi komponen terlarut di dalam pelarut hingga mencapai titik

kesetimbangan (Handa, 2008).

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/034

20

Menurut Seidel dalam Sarker (2006), terdapat berbagai metode ekstraksi

bahan alam dengan menggunakan ekstraksi-solvent (ekstraksi menggunakan pelarut)

yaitu maserasi, perkolasi, ekstraksi soxhlet, refluks dan distilasi. Pada ektraksi

menggunakan pelarut, terdapat beberapa perlakuan pendahuluan yang harus

dilakukan yaitu pengeringan dan pengecilan ukuran. Pengeringan bertujuan untuk

mencegah tumbuhnya mikroorganisme kontaminan, mencegah terjadinya kerusakan

metabolit dan menghambat reaksi enzimatis. Sedangkan proses pengecilan unkuran

bertujuan untuk meningkatkan proses ekstraksi selanjutnya dengan sampel yang lebih

homogen, meningkatkan luas permukaan dan memfasilitasi penetrasi pelarut ke

dalam sel.

Metode ekstraksi yang sederhana dan banyak digunakan adalah metode

maserasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau

dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruang (Singh, 2008). Ekstraksi akhirnya

berhenti ketika keseimbangan terjadi antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan

bahan tanaman. Setelah ekstraksi, sisa bahan tanaman harus dipisahkan dari pelarut

dan senyawa yang diektrak dipisahkan lebih lanjut dari pelarutnya (Seidel, 2006,

dalam Sarker, 2006). Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

rotary evaporator pada suhu 30 - 40º C (Harborne, 1987).

Proses ekstraksi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis pelarut, suhu,

rasio pelarut dan bahan baku serta ukuran partikel. Jenis pelarut mempengaruhi

senyawa yang tersaring, jumlah solut yang terekstrak dan kecepatan ekstraksi. Secara

umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam pelarut.

Sedangkan rasio pelarut yang semakin besar akan memperbesar pula jumlah senyawa

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/035

21

yang terlarut. Faktor lain seperti ukuran partikel akan meningkatkan laju ekstraksi

apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil (Lansida, 2011, dikutip Wulandari,

2011).

Metode pemisahan secara ektraksi ini membutuhkan pelarut sebagai media

perpindahan komponen sehingga disebut solvent extraction. Jika produk yang

dihasilkan akan digunakan dalam produk pangan maka harus menggunakan pelarut

yang sesuai dengan aturan. Menurut European Union and Governmental regulations,

pelarut yang diperbolehkan adalah air dan pelarut lein seperti propane, butane, etil

asetat, etanol, CO2, N2O dan aseton (Bart, 2011). Pelarut yang dipilih harus

memenuhi syarat sebagai seperti tidak mudah bereaksi, tidak beracun, tidak mudah

terbakar, ekonomis dan mudah didaur ulang dengan metode evaporasi (Seidel, 2006,

dalam Sarker, 2006).

2.7. Pelarut Etanol

Etanol atau etil alkohol yang memiliki rumus kimia CH3CH2OH adalah salah

satu senyawa organik yang mengandung oksigen paling serba guna karena kombinasi

yang unik dari sifat-sifat etanol sebagai pelarut, obat penghilang kuman penyakit,

minuman, antibeku (antifreeze), bahan bakar, obat penenang dan terutama sebagai

bahan kimia lanjutan untuk pembuatan bahan kimia organik lainnya (Tau, Elango dan

Joseph, 1994 dikutip Wulandari, 2011).

Etanol merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, encer serta

tidak berwarna (Widyawati, 2005). Sifat kimia dan fisik etanol terutama bergantung

pada gugus hidroksilnya. Gugus hidroksil ini memberi polaritas terhadap molekul dan

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/036

22

meningkatkan ikatan hidrogen antar molekul (Tau, et al., dikutip Wulandari, 2011).

Kepolaran relatif dari etanol lebih kecil yaitu sebesar 0,654.

Menurut Tau, et al. (1994) dikutip Wulandari (2011), menyatakan bahwa

dalam lingkungan industri, etanol bukan merupakan bahan kimia yang

membahayakan bagi kesehatan. Jika dalam lingkungan industri terdapat ventilasi

yang sesuai, maka sedikit kemungkinan bahwa penghirupan uap dari etanol tidak

akan membahayakan. Nilai ambang batas dari uap etanol di udara adalah 1000 rpm

selama 8 jam, tetapi jika konsentrasinya mencapai 5000-10000 rpm akan

menyebabkan iritasi mata dan selaput lendir dari sistem pernafasan bagian atas. Sifat

fisik etanol ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat Fisik EtanolSifat Jumlah

Titik beku (°C)Titik didih (°C)Densitas (g/mL)Viskositas (mPa.s=scP) pada 20°CPanas spesifik pada 20°C (J/(g.°C))Konduktivitas thermal pada 20°C (W(m.K))Momen dipole cairan pada 25°C (C.m)Konstanta dielektrik pada 20°C

-114,178,32

0,78931,172,42

0,1705,64 x 10-30

25,7Sumber : Tau, et al. (1994) dikutip Wulandari (2011)

Menurut Morris, et al. (1993) dikutip Wulandari (2011), beberapa kegunaan

dari etanol yang tampak secara ekonomis adalah sebagai bahan kimia lanjutan dalam

industri untuk pembuatan bahan kimia lainnya seperti asetildehida, asam asetat, etil

asetat dan dietil eter. Etanol juga dapat dijadikan sebagai pelarut untuk berbagai

substansi kimia serta komponen bahan baku untuk farmasi, parfum, flavor dan lain

sebagainya.

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKAmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

FTIP001640/037

23

Menurut Lewis (1989) dikutip Wulandari (2011), penggunaan etanol dalam

makanan digunakan sebagai antimikrobial dan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi.

Etanol sebagai pelarut merupakan bahan pengawet kedua setelah air. Kebanyakan

etanol yang digunakan sebagai pelarut adalah 95% etanol dan 5% H2O. Sedangkan

etanol murni (100%) dapat diperoleh dari proses distilasi azeotropik dengan

menggunakan benzene atau diperoleh dari perlakuan menggunakan kalsium oksida.

Alkohol murni ini disebut sebagai etanol mutlak atau absolute etanol (Spangler, 1980

dikutip Wulandari, 2011).