II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI AA. Pendahuluan · Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir...
Transcript of II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI AA. Pendahuluan · Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir...
II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI
A. Pendahuluan
Diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengonstruksi realitas
sosial dalam sebuah konteks tertentu – dalam hal ini kebijakan usaha kehutanan
lestari. Pada saat situasi hutan dipandang tidak lestari – yang indikasinya begitu
kuat muncul dalam diskursus seputar deforestasi dan degradasi hutan, maka
pertaruhan mengarah pada substansi dan proses konstruksi kebijakan serta
interaksi sosial yang telah terjadi, sekaligus aliran pemikiran yang dominan
disebaliknya. Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir dibalik kebijakan
usaha kehutanan serta tali temalinya dengan ”kualitas” kebijakan dan kinerja
usaha kehutanan itu sendiri coba dipahami dan dianalisis dalam penelitian ini
dengan berpegang pada konsep dan teori sebagaimana dijabarkan dalam beberapa
sub-bab berikut ini. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
mengeksplorasi diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi
kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi di Luar Jawa. Esensi penelitian
ini, antara lain menggali dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan usaha kehutanan yang telah ada (ex-post). Kecenderungan
diskursus para pemangku kepentingan usaha kehutanan dieksplorasi melalui
pendekatan analisis kebijakan, khususnya pendekatan antropologi yang fokus
pada narasi kebijakan dan diskursus. Dari serangkaian kecenderungan narasi
kebijakan dan diskursus dapat sekaligus diamati kecenderungan aliran pemikiran
para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses konstruksi
kebijakan.
B. Kebijakan dan Analisis Diskursus
1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian
Dalam IDS (2002) digambarkan betapa kata ”kebijakan” yang dikenal begitu
saja secara luas ternyata tidak mudah untuk dikenali. Layaknya atas
keberadaan seekor gajah, kita tahu saat melihatnya dan tidaklah mudah
bagaimana kemudian mendefinisikannya. Digambarkan pula, dengan sederet
testimoni, bahwa seorang pembuat kebijakan sekalipun tidak serta merta
A
D
so
lelelelelelelelelelelelelelellelellelelelelllelelelellelelelelelllllllllelelleleelllelell
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
pppppppppppppppppppppppppp
iniiii
ddddddddddddddddddddddddddddddd
uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
dddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
sussss
mmmmm
kkkkkk
iiiiiiniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
d
d
p
p
k
ppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB
14
menjadi kemudian mudah untuk memahami dan mendefinisikan kata
”kebijakan”. Observasi IDS (2002) ini berkaitan secara kuat dan lekat dengan
sebuah perkembangan kerangka kerja terkait proses kebijakan. Kerja
observasi ini antara lain menemukan adanya hubungan teori antara ilmu
pengetahuan (science), keahlian (expertise) dan kebijakan, kepentingan
politik, partisipasi publik dan jaringan aktor. Hal disebut terakhir ini
memberikan pemahaman bahwa ”kebijakan” adalah proses jalin-menjalinnya
dan interkoneksi berbagai hal tadi. Ini setara dengan landasan Sfeir-Younis
(1991) saat menawarkan kerangka pemikiran keduanya ”the forest second”.
Dalam pemahaman Dunn (2000) analisis kebijakan dipandang sebagai
aktivitas intelektual menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses
pembuatan kebijakan. Hal ini dicapai melalui analisis sebab, akibat, dan
kinerja kebijakan dan program. Penekanan pada unsur ”tentang” dan ”dalam”
mengandung pengertian terkait penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan
dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan sendiri dipahami Dunn
(2000) sebagai kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel)
ketimbang kepastian. Dalam pemahaman demikian probabilitas statistik,
misalnya, diposisikan Dunn sebagai pendukung dalam menegakan klaim
pengetahuan yang plausibel.
Masih menurut Dunn (2000), analisis kebijakan mengombinasikan dan
meneransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin (sosial, politik,
dll), dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan
kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu.
Tujuan analisis kebijakan melebar melampaui produksi ”fakta”, yakni
memproduksi juga informasi mengenai nilai dan serangkaian tindakan yang
dipilih. Dengan begitu, analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan
rekomendasi kebijakan. Sebagai ilmu terapan, analisis kebijakan diposisikan
untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal
mengenai tiga macam pertanyaan terkait nilai, fakta dan tindakan tadi. Nilai,
berkaitan dengan pertanyaan apakah pencapaiannya merupakan tolok ukur
utama dalam melihat apakah masalah telah teratasi. Fakta, apakah
keberadaannya dapat mengatasi dan meningkatkan pencapaian nilai-nilai.
141414144144144144441441444444414414444444144444144144444141441444144141444444444144144144444444414444444441444444444444114144144114414411444444444444414441411441444444144444144444
men
”ke
seb
obs
pen
popopopopoppopopopopopopopopopopopopopopopopopopoopopoppooopoopoppopopopopoppopopopoppopoppoppooopppopooppopppopopppp lilililillllllllllllllllllllllllllllllllllllllllillll
mememememmemmeeeemememememememememeeemmememememeeemememmmememmeemememeememmmeememmmeeemmemmeemmmeem
dadadadaadadadadaaadadaaaaadaadaaaadadadaaaaaaaaadaadadaadadaaaaaadaaaaaadadaaaadadaaaaddaaaadaaaaaaaadaaaaaaannnnn
(1(1(111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111119999999999999999
akakakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkakkkkkkkkkkkkkkkkkkakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkttttttittttttttttttttttttttttttttttttttttttt
pepepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeepepeeepeeeeeeepepepeeeeeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmm
kikikkikikiikikikikkikikikikiikiikkiiikikikiikikkikikikkikikkikikikkiikikkikiiiikkkkiiikiiiiiikikiiiikiiik nennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
memememememememememmmememeeemmmememememememememememememmemememmmmemmmemeemmmmeememmeeeeememeeeeememmmememmmmemmemmmeen
dadadaddadadaaaadaadadadadaaadadaddadadadadaaaadadaadaadadadaaaadaaddadadadaadaaaadaaadaadaaaadaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaadadaaadaaaaaaaallalllllllllllllllll
(2(2222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222220000000000000000000000000000000000000000000000000
kekekekekekekekekkekeekekkekekekekekekekekekeekekeekekekeeekeekekeeeekekeekekekekeekkeeekekeekkkkeeekeekeeeeeeeeeekekekkkekeeetittttttttttttttttttttttttttt
mis
pen
men
dll)
kekekkkekekkkekekkkekkekekeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
TuTuTuTuTuTuTuTuTuTTuTuTuTuTuTuTuTuTTuTuTuTuTuTuTuTuTuTuTuTuTuTuTTuTTTuTuTuTuTuTTuTTuTuTTTuuuTuTuuuTTTTuTuTTTTuTTuuTuTTuuTT jjj
mememmememememememememememememeememeemememememmmeememmemememmeemmememmememmmmememmmmmmemmmmmmmmeemmmmmmmm m
dididididididididididddidididididididididididididididiidididdiiiidddidddiiiididdidiididididididiiddiiiiiiid pippippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
rererererrerererererererereeeerereeererereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkkkkkkokkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
unununuuununununununuuununnuuununuuunuuuuuununnuuuuuunuuuunuunuuuuuuuuuuuuuuuunu tutt
mememmmmmemmmemeememmmemmmmmemeemememmmememmmmemmmmmmmmemmmemmmmmmmmmmmmmmmmmmeeemmen
bebebebebebebebebebebebebebebebebebebebbebebebebebebebebebebebebbebeebbebebbbebbeebebbeebbbeebebbeeebbbbberkrrrkrrrrrrrr
ututuututututuutututuutuututuuututuutuutuuuutuuuuuuutuuuuuttutuuuuuuuuutttamamamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam
kekekekekkekekekekeekekekekekekekekekekekeekeekkekkekeekekeekekeekeekekekeekeekekkekeekekkkeekekeekekekkkekk bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
15
Sementara tindakan, apakah penerapannya menghasilkan pencapaian nilai-
nilai.
Untuk menghasilkan itu semua, Dunn (2000) mengenalkan tiga
pendekatan, yakni: empiris, valuatif dan normatif yang dapat digunakan salah
satu, dua atau seluruhnya. Pendekatan empiris, fokus pada penjelasan sebab-
akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pertanyaannya bersifat faktual (=
apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskripsi.
Pendekatan valuatif menekankan pada penentuan bobot kebijakan.
Pertanyaannya berkaitan dengan nilai (= Berapa?) dan tipe informasi yang
diperoleh bersifat valuasi. Pendekatan normatif fokus pada rekomendasi
serangkaian tindakan di masa depan yang dapat menyelesasikan masalah
publik. Pertanyaanya, tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi
yang dihasilkan bersifat preskripsi (resep pengobatan). [see THH 671-
PSL*.*]
2. Bentuk Analisis Kebijakan
Bentuk-bentuk analisis kebijakan dikelompokkan Dunn (2000) kedalam tiga
kelompok besar: retrospektif (Ex-post), prospektif (Ex-ante) dan integratif.
Restropektif fokus pada ”apa yang terjadi” dan ”perbedaan” (gap) apa yang
dibuat. Prospektif lebih kepada ”apa yang akan terjadi” dan ”apa yang harus
dilakukan”. Integratif merupakan kombinasi keduanya yang fokus pada
penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan
kebijakan dieksekusi. Selain itu, Dunn (2000) meyakini analisis retrospektif
mengutamakan hasil-hasil aksi, yang dapat menawarkan kerangka baru dalam
memahami proses pembuatan kebijakan, memberi tantangan perumusan
masalah, membalik berbagai mitos sosial dan bahkan membentuk opini
publik.
Sementara itu, Sutton (1999) mengenalkan analisis proses kebijakan
dengan sebuah argumen kunci. Dikatakan, bahwa pembuatan kebijakan
”model linier” sekalipun banyak digunakan, tidaklah cukup. Model linear
diakui berciri analisis pilihan yang objektif dan adanya pemisahan antara
kebijakan dengan implementasi. Sebaliknya, kebijakan dan implementasinya
16
merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu,
masih menurut Sutton (1999) merupakan hal terbaik atas pemahaman
kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan
bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat
digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan
kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan,
analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan (management of
change) dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan.
”Model linear” disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream,
common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara
pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai
proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan
analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap
yang berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan
sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu
(Gambar 1).
Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear (Sutton, 1999)
Dibalik model linier ini Sutton (1999) beranggapan bahwa para pembuat
kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses,
dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan
lainnya, bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali
tidak dialamatkan kepada (kualitas) kebijakan itu sendiri, melainkan kepada
kegagalan dalam pelaksanaannya (Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999).
1616161661661661666616616666616616616666666166666166166661616616661661616666666661661661666666666166666666616666666666661161661661166166111666666666666166616116166666616666661666666
mer
mas
keb
bah
digu
kekekekekekekekekekekekekekekekekekekkekekekekekekkekekekekkekekekekekkeeeekeekekkeekekkekkkkekkeeekkekkkkeekkekk jajajajajjjjajjajajajjajajjjjjajajjjajjajjjjjajjajjjjjjjajjjjajjjjjjajajjjjjjj
anananananannnnnnannnnnaannnnnaannnnnannnannnnnannnnnaanaannnannnaaaaaaaaaaaaaa
chchhhhchhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhaaaaa
cocococoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooommmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
pepepeeepepeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeepeeeeepeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeepepemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
prprprprrrrrrrrprprrrrrprprrrrrrrrprprrrrrprprrrrrrrrrrrrrrrrrrrprprrrrprrrrrrrprprprrrrrrrrrrprrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrroooooooooooooooo
anannnnnananannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnaaaaaaaaaaaa
yayayayayayayayayaayayaaaaaaayyayaaaayaaaayayayaayyaaayyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayaaaayaaayaaaaayyaayayaayay nnnnnnnnnnnnnnnnn
seseeeeeeeeeeeeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkukkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
(G(GGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGa
kekkekkkkekekekekekekekeekekekeekekekekekekkkekeekkkkekeekkkkkkkkekeekkkkekekekkekkkkekkkkekebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
dadadadadadadadadadadadaadadadadaadadadadadaadadadadadadadaadadadadadadadadaaadadddadaddaddadadadaaaaadaddddddaaddaaddddadadaaadaadannnn
lalalaalaaaaaaalaalalalalalalalalalaalalaaaaaalallaaaaalalalaaaalaaaaaaalllal innininnnnnininininnnnninnnnnnninnnninn
titititittttitittititttitttititttittttitt dadaddaddadaddadadaddddadadaddddaddaddddddaddddddddadadaddddddddaddddadaadddadadada
kekekekekekkekekekekekekekekekekekekekekekekekekekekekeekekekkekeekkekkekkekekkkekekekkekekkekekekkekekkekekkekkeeekekeekeekkeeggg
17
Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan
politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam
pengamatan Sutton (1999) ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model
linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya,
bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan
pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun
sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini
Sutton (1999), bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan
sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan.
Selanjutnya, Sutton (1999) merinci bahwa dengan pendekatan
antropologi, diskursus pembangunan menjadi tema penting. Disitu
”diskursus” diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep
dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena
dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah,
membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain.
Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan
orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang
bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi
juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusi-
diskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe (1986 –
dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997) melepas cara-cara
dimana kebijakan (mengalami) depolitisasi dan derasionalisasi, serta
menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai
keputusan yang dibuatnya.
3. Diskursus dan Narasi Kebijakan
Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton (1999)
menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-
masalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan
kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang
dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi
kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana
18
berbagai alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan
dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian
utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright (1997), yakni siapa yang
memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan
melalui penyusunan kerangka acuan (TOR) dengan tidak membolehkan atau
mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu
melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo (1997 – dalam Sutton,
1999), yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan
cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”.
Sutton (1999) juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi
pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi
pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah
dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulian/interest tertentu untuk
mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada
narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai
pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu
masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik.
Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan.
Ini terkait kerja Arts dan Buizer (2009) yang berangkat dari pendekatan
kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan
kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini
dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara
pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka
telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk
turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di
Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi
mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaim-
klaim paham diskursif-kelembagaan.
Menurut Arts dan Buizer (2009) berbagai diskursus baru - termasuk
pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah
benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni
keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta.
18181818818818818888188188888188188188888881888818818818188188818181888888888188188188888888881888888888188888888888811818818118188811188888888888188818118188888188888188888888
berb
dam
utam
mem
mel
mememememememememememememememememememememememememememememememememememmmememmmememememeemmemeemmememmememememmmememeeemmemmeemem nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
mememememmemmeeeemememememememememeeemmememememeeemememmmememmeemememeememmmeememmmeeemmemmeemmmeel
191919999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999
cacacaaaaaaaaaaaaaacaaaaaacaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrarrr
pepepeeepepepeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeeeeepeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeepepemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
pepepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeepepeeepeeeeeeepepepeeeeeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmm
doddododooodododdoodododododoododododododoododododododdododooddoooodooooddooooodododododoooooooooooodoooodooooommmmm
memememememememememmmememeeemmmememememememememememememmemememmmmemmmemeemmmmeememmeeeeememeeeeememmmememmmmemmemmmeen
nananannaananaananaaaaaananaaaaanananaaananaaaaananaaaananaaanaannaaaanaaaaaaaaanaaaaaanaaaaanaaaanaanaaaaanaanaaaaaaarrrrrrrarrrr
pepepeeeepeeeepeepeepeeeeeeeeeeepeepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeepeeepepeeeeeepeeeeeeeepeeeeeepeeepeeeeepeeeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnnnn
mamamamamamamamamamaammammamamammamammamammamamamamamammaamammaaammammammaaamammamamaamaaaaaammaamammamaaammmammaaammmaas
Ini
kele
keb
dibu
prprprpprppprprpprprpprprprprprprppppppppp agaagaaaaaaaaaaaaaaaaaa
tetetetteteteteteteteteteteteteteteteteteteteteteetetetttettetteeteteteeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeelllllalallllllllllllllllllllllllllllllllallllllllllllllll
tutututututututuuutututuuututututuutututututututuutututututuutututuutuutututututututtutuutuuttuuuutuuuuuuuuuurrurrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
PaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaPaaPaPaPaPaPaaaPaPaPaaPPaPaPPaPPaPPaaPaaPaPaaaaaaaaaaaaaaPaaPaPaaaaaaaaaaP rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
mememememeemmemememeeememememeemememememememememeemmmmeemeeemememmememememmemeeeeeeeeeeer
klklklklklkklkklklklklkkklkklklkllklkklkklkkklkkklklklklklkklkkkkkkkklkkkkkkkkkkkkkkkkkkkklk aaiaaaaaaaaaaaaaaaa
pepepepepeppeppepeepepeppepepepepepepepepepeppepepepepppeepeeeepepppepeeepepepeepppeeeepppepepeeeeeppppppppppppp mmmmmmmmmmmmmmmmmm
bebebbbebebebebbebbbebbebbbbbbebbbbbbbbbbebbebbbbbbbbbebbbebebbbbbbeeeeebbbbbbbbbbennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
kekekekekkekekekekeekekekekekekekekekekekeekeekkekkekeekekeekekeekeekekekeekeekekkekeekekkkeekekeekekekkkekk aaa
19
Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus
dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer (2009), yakni (1)
diskursus sebagai komunikasi, (2) diskursus sebagai teks, (3) diskursus
sebagai kerangka atau ”frame” dan (4) diskursus sebagai praktek-praktek
sosial. Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan
Arts dan Buizer (2009) dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek
sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi.
Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan
ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian
terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial.
Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara
kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami
bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi.
4. Diskursus dan Bahasa
Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses
kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton (1999). Hal ini disebut
“analisis diskursus” tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda,
yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato
sebagaimana juga disebutkan Hawitt (2009). Dari sini berkembang
pemahaman Sutton (1999) terkait pemberian label atas kelompok-kelompok
(the labelling of groups), pengerangkaan isu yang akan diatasi (the framing
issue to be tackled), pembuatan solusi-solusi kebijakan (agar) tampak jelas
dan tak perlu dipertanyakan (making policy solutions seem obvious and
unquestionable), dan mende-politisasi berbagai keputusan kebijakan
(depoliticising policy decisions).
Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan
yang membuat secara berulang label-label ”kelompok sasaran”, seperti
”miskin pedesaan”, ”petani” atau ”miskin lahan” yang disebut secara
berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan (Wood 1985
dalam Anthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1995). Pelabelan semacam
itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan
20
mereka, rentang kepedulian yang mereka wakili dan keragaman pengalaman
mereka.
Terkait pengkerangkaan, Gasper (1996 – dalam Sutton, 1999)
menyarankan bahwa ”bingkai” digunakan untuk mengaitkan cara
pendefinisian masalah-masalah kebijakan, yang menganalisis secara khusus
pertimbangan apa yang dicakup dan tidak dicakup. Hajer (1993 - dalam
Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999) menyarankan bahwa
pengkerangkaan bekerja untuk membedakan beberapa aspek dari sebuah
situasi daripada yang lainnya. Dalam hal ini Apthrope dan Gasper (1996 –
dalam Sutton, 1999) menegaskan, bahwa analisis diskursus kebijakan harus
menguji pengkerangkaan masalah yang akan ditangani dan hubungannya
dengan penyiapan jawaban-jawaban yang ditawarkan.
Dalam hal pembuatan solusi kebijakan, Apthrope (1996 – dalam Sutton,
1999) menarik aspek penting lain dari penggunaan bahasa dalam pembuatan
kebijakan. Ia menganalisis berbagai dokumen kebijakan tertulis dan
menekankan cara kebijakan di tuliskan terkait kegiatan pemecahan masalah
agar diperoleh sejumlah langkah pemecahan yang jelas. Digambarkan dimana
dokumen menata secara jelas apa-apa yang “yang tak terelakan harus
dilakukan”, apa-apa “sebagai alasan” dan tidak dapat dinegosiasikan atau
untuk ditawar-tawar. Kebijakan yang mengklaim untuk dicontoh dalam
beberapa cara ”terwakili dalam bahasa yang dipilih terutama untuk menarik
dan membujuk salah satunya. Hal ini biasanya tidak mengundang atau
menerima bantahan, terutama ketika sikap moral tertinggi yang diambil,
melainkan oleh setiap trik dan kiasan, yang cirinya bersifat tidak dapat
dibantah” (Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999)
5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir
Dalam pengamatan Hawitt (2009) policy-discourse-ina-plus ak.doc, sebagaimana
juga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) ada banyak aliran dari analisis
diskursus yang mencakup beragam pendekatan metodologis. Menurutnya,
beberapa analis yang meneliti bidang-bidang kebijakan publik telah
mengembangkan mode-mode pelaksanaan analisis diskursus yang diinspirasi
202020202020202002000020020000202002002000200002000002002002002020020200200202000000000200200200000000020000000002000000000020022020220200222200220022202000200000000200020220200000020000002000202200
mer
mer
men
pen
pepepeppeppepepepepepepepeppepepepepepepepepeppeeeepeepeppepepepepepepeppepeppepppeppepeeepppepeppppeepppeppppp rtrtrrtrrrrrrrrtrrrrrrrrrrtrrrtrrrrrrrrrrtrrtrrrrrrtrrrtrrrrrrtr
ApApApApAApAAppppApApApApApApApApApAppAApApApAppAppApApApApAApApAAppApApAppApApAAppAppAApApppAAppApAppAAAAppppppppppppt
pepepepepeeepepeepeepepeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeepeeepeeepeeeeeeeeeeeeeeep nnnnn
sisisiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittututttttuttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt
dadadadadadaaaadadadaaaadadadadaaadaddadaaaaaaaaaaaadaaaddaaaaaadaaddaaaaaaaaaaaaaaaaaaallllallllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
mememememmemememeememmmememememeememememememeeemememeeememmemememememememememmememememmeeememmeemeememeemememmmmememmeemmeemeeeemmmmemmmmemmmemeen
dededeeeeedededeededededededeededededeededdeeeedeeeedeeeeeddedeededeededeeddedeeedeeeeeeeeeedeeedeeeededeeeedeeeeeeeeeeeeeeeeeeedeeeennnn
199999199999999991999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999
kekekkekekekeekeeekekkeekekeekekekekeekekkekeekeekeekekkekekekkekeeeeeeekeeeekekeekekekeeeeekeeeekeeeeeeeeekeekkeeeekeeeeeeekeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
mememememememememeemememememmmemmemememmemememmeememememememmmmmememmemmmememmemmmemememmemememmmemememmmmmmmmmmmememmmememmeen
agagggaggagaggagagggggggagagaggagggagaggagaggggggggggggggggggggagagagggaggggaggggggggaggaaggaagagagggagagaggggagagggaggggggggggggggggaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
dok
dila
untu
beb
dan
memememmemeemmemmemememmeememmememeeennnn
memememememememememmemememeemmmeememememeeemmemmeememememeememememmmeeemmmmememeemmmemmmmmmmmmmmememmmmmmmm l
didididiidididididdididdiddididididididididiididididididddidiiiidididdidiidididididididdiddididdiddddiddididdidididdidibbbbbbbbabbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
5.555.5.5.55.555555555555555.555.55.5555.555555555555555555.555555555.555555555.
DaDaDaDaDaDDaDaDaDaDDDaDDaDDaDDDaDDDDaDaDaDDaDDaDaDaDDaDDDaDDaDDDDDDDaDDDDDDDDDDDDDDDDDaD l
jujujujujujujujuuuujuujujuuuujujujuujujuujujujuuuuuuuujuujujjujujjuujuuuuuuuuuuuuuuuggggagggggggggggggggggggggggg
dididididididididididdididiidididididididididididdididididididididiiddddidididiididiiddididiiididdididdiddiiiididddddddddiddddisksssssssksssssskssssskssssssssksssssksskk
bebebbbebebebebbebbbebbebbbbbbebbbbbbbbbbebbebbbbbbbbbebbbebebbbbbbeeeeebbbbbbbbbbebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
mememememememememeeememememememememememememememmmememememememmmmmemmemmeemmemmmemmmmmmmmmmmmmmm n
21
oleh ide-ide Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, sebagai sebuah jalan
untuk memahami berbagai dinamika proses-proses politik. Ia lalu secara
ringkas melacak berbagai pendekatan yang berbeda yang telah dilakukan para
analisis kebijakan publik yang terinspirasi Foucault, menata sifat-sifat bahwa
berbagai pendekatan itu memiliki poin-point penting dan perbedaan secara
umum. Selain itu ia juga mengeksplor atau menggali berbagai implikasi dari
penerapan analisis diskursus atas proyek-proyek penelitian dalam bidang studi
kebijakan pedesaan, untuk menggambarkan bagaimana berbagai pandangan
baru dapat diperoleh melalui sebuah pendekatan analisis diskursus.
Sutton (1999) memastikan bahwa analisis diskursus diposisikan penting
dalam pendekatan antropologi, sosiologi dan politik. Disebutkan, analisis
diskursus merupakan upaya untuk memahami, memecah dan mendekonstruksi
diskursus sehingga perspektif yang diangkat kedalam proses pembangunan
dapat dipahami. Analisis diskursus bantu mencari pendekatan alternatif dalam
penyelesaian masalah kebijakan. Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999)
misalnya, menyebutkan ’selalu saja ada alternatif pilihan lain, dimana
beberapa diantaranya mungkin tetap dipertimbangkan lagi, bahkan dari
beberapa hal lain yang telah ditolak sebelumnya karena alasan tertentu. Jadi
mendekonstruksi diskursus untuk tujuan yang konstruktif. Ada juga upaya
ambisius untuk menganalisis evolusi historis diskursus, sebagaimana
dikatakan Escobar (1995 – dalam Sutton, 1999) antara lain dengan
menguraikan struktur sosial mereka, dan mencurahkan berbagai ide yang
mereka wakili.
Lebih lanjut Sutton (1999) mengerangka pengertian analisis diskursus
kedalam dua keadaan. Pertama, saat yang dimaksudkan adalah cara berpikir
dan cara berargumentasi yang melibatkan aktivitas politik penamaan dan
pengkelasan, maka analisis diskursus coba mengeksplisitkan nilai-nilai dan
idelologi-ideologi yang muncul secara implisit dalam diskursus. Kedua, bila
yang dirujuk adalah dialog, bahasa, dan percakapan, maka analisis diskursus
berhubungan dengan analisis bahasa yang digunakan dalam pembuatan
kebijakan; misalnya penggunaan pelabelan dalam berbagai diskusi kebijakan,
22
seperti telah disebutkan di atas, yakni ”petani”, ”miskin desa”, atau ”miskin
tanah”.
Sementara Hawitt (2009) menjelaskan secara historis, bahwa tradisi
analisis diskursus telah ber-evolusi yang bersandar pada berbagai teori sosial,
seperti Laclau, Mouffe, Bourdieu dan Foucault. Menurutnya, dan juga
dijelaskan Arts dan Buizer (2009) gagasan Foucault tentang diskursus telah
digunakan oleh para analis dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya ia
menjelaskan, bawa Analisis Diskursus Kritis (CDA) yang dikembangkan oleh
Fairclough (1995) dan lainnya (misalnya van Dijk, 1997) dalam tradisi
analisis diskursus linguistik, diskursus dipahami dari teks dan
komunikasi/berbicara, dengan pemahaman bahwa diskursus dibentuk oleh
praktek-praktek dan interaksi sosial.
C. Diskursus Kelestarian
1. Akar Diskursus
Konsep dan istilah kelestarian berangkat dari berkembangnya diskursus
”pembangunan berkelanjutan” (PB) sebagaimana dicatat oleh Kaivo-oja et al
(Tanpa Tahun – sustainability-advanced-analyisis.pdf). Akar dari diskursus
PB sebagai isu yang dikenali secara mendunia adalah pengembangan hasil
dari konferensi pertama PBB tentang ”Manusia dan Lingkungan” di
Stockholm pada 1972 dan dari beberapa studi-studi awal yang begitu
berpengaruh (lihat misalnya Carlson 1962, SCEP 1970, Meadows et al 1972).
Konsep PB itu sendiri pertama kali menjadi terkenal dalam dokumen World
Conservation Strategy yang diterbitkan the World Conservation Union pada
1980 (IUCN 1980). PB dibahas dan dielaborasi secara menyeluruh oleh
Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB pada 1987 dalam sebuah laporan
yang disebut ”Our Common Future” (WCED, 1987).
Tisdel dan Roy (1996PR-GOVERNANCE-SFM.PDF) dalam menjelaskan
hubungan tata-kelola dan property rights (PR) menegaskan bahwa kedua hal
yang dijelaskan itu saling terkait erat (closely intertwined) dan memengaruhi
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam pemahaman
mereka, para ekonom telah cukup lama menyadari pentingnya kedua hal itu
2222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222
sep
tana
ana
sep
dididididididididididiiididididididididididididididididddididdiddiddididdididididdididddddiddiiidididdddiddd jejejejejejejjjejjejejejejejejejjejejejejejejejejejejejjjeejejejejejeejeejeejejejjjejejeejejjej
didididdiiddiiddiiiiiididididdiiddiiiiiiiiiididiiididiiiddiiiiiidddiiiguggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
mememememememmmemmmmemememememememememmememmemmemeemememememmmmmememmemmmemememememmmeemmemeemmmmmmmemmemeeememmmmmm n
FaFaFaFaFaaaaFaFaFaFaaFaFFFaaaFaFaFaFaFFFaFaFaFaFFFaaaaFaaFaaFaaaFFaFaaaaaaaFaaFaFaFaaaaaFFFFaaaairii
ananannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
kokookoooookokoooookookoookookookokokoooookookookokooooookooooooookoookoooookokoooookookookoookoooookoookooookokommmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
prprprprrrrrrprprrprprprrrprprrrrprrrrrrrrprrprrrrprrrrprrrrrrprprrprrrrrrrrprprrrrrrrrrrrprprrrrrrrrrrrrrrprrprrrrrraaaaa
C. DiDiDDiDiiDiDiiDiiDiDiDiDiDiiiDiDiDiDiDiDiDiDiDiiDiDiDiDiiDiDiDiiDiDiiiDiDiiDDiiiiiDiDiiDiiiiiDDiDiDDiDDDiDiDiDiDiiDDiiiDiDiiiiDDiiiiDiDDDiDDDDiD ssss
1.1...1............1.............................
KoKoKoKKoKoKoKoKoKoKoKoKoKoKoKKoKoKoKoKoKKoKoKoKoKoKoKoKoKoKoKoKooKKoKoKoKoKKKKoKoKKKKKoKoKKKoKKKoKKoKKoKoKoKoKoKoKKoKKKKKKoKKKoKKoooKoKoKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKoKKKoK n
”p”p”p”p”””””””””””””””””””””””” eee
(Ta
PB
dari
Sto
berp
KoKoKoKKoKoKoKKoKoKKoKoKoKooKoKoKoKoKoKoKoKoKoKoKKoKoKKKoKoKoKoKoKoKoKoKoKKoKoKKooooKKoKoKooKoKooKooKKoKoooKooKoKoKKonnn
CoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCCoCoCoCoCoCoCoCoCoCCCCoCoCoCoCCoCoCoCCCoCoCoCoCCCCCCCCCoCCCCCCoCoCoCoCCoCCoCoCoCCCCooCCCoCoooCCoCon
1919199191919191919919191919191199191919199191919919199999199991991191999199919191999919999999999999999888
KoKoKKoKoKoKKoKoKKoKoKoKoKoKoKKoKoKoKoKoKKoKoKKoKoKKoKKoKoKoKoKKKoKoKKoKoKKoKKKKoKoKoKKoKKKKKKoKoKKKKKoKKKKKKoKKoom
yayayayayayayayayayayayaayayayayayayayayyayaayayayyayyayaaaayayayayayayyayayyayayaaayayayayaaaayaaayaayyaayyyyyyy nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
huhuhuhuhuhuhuhhuhhhuhuhuhuhuhuhhuhuhuhuhuhuhuhhhhhuhhhhuhuhuuhhhhuhuuhuuuuhuuuuuuuuuuuuuuuuuubbb
yayayyyayyyyayyyy nnnnnnnnnn
pepepeppepeeeeppepepepepepeeepepepeepepeepepepepepeeepeepepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeepp mmm
mememememmmememememememememememememmmmmmmmememememememmmmemmmmemmeemeemmemmmmeemeeeeeememmmmmemmmmemmmmer
23
untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan
kesejahteraan ekonomi.
Dalam ilustrasinya Tisdel et al (1996) menekankan bahwa Adam Smith
jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud (PR dan tata-kelola)
merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara.
Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam
Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama
dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan
dari capaian pembangunan itu.
Tisdel et al (1996) mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David
Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan
sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara
mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan
yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill
bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut
sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana
mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel,
kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property
rights (pada gilirannya) akan berlaku; tanpa (perlu) secara khusus menelaah
pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi.
Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al (tt), telah disepakati dan
mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan PBB (UN, 1993) di Rio de Janeiro pada 1992.
PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan
yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa ”manusia memiliki kemampuan
untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri”
(WCED, 1987). Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam
tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi
lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas
kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada
perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan
24
sosial dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham.
Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas
bagi mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik
dalam generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi (inter-
generational equity).
Kaivo-oja et al (tt) lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama,
yakni (1) Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi
yang tidak seimbang, terutama di negara berkembang; (2) Menghentikan
pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam
urusan manusia dan kemanusiaan, (3) Mengamankan bagi generasi mendatang
kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih
sebagaimana kita nikmati, (4) PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga
dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara
secara sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik
dan cultural bebas dan inovatif.
Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana
populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan
modal alam dalam kondisi (terus) meningkat, menurut Kaivo-oja et al (tt)
tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada
dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya,
sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan
dasar bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya,
berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, (kehidupan) manusia
merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global
yang berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan
pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan
meruntuhkan sistem pendukung kehidupan – bahkan dalam kasus terburuknya
– menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan
24242424242424244244442442444424442442444244442444442442442444242442424424424244444444424424424444444442444444444244444444442442242422424422224422442242444424444444424442422442444444244444244424224
sosi
Ber
bag
dala
gen
yayayayayayaayayaayaayayaayayayaaaayaayaayaayaaaayaaayaaaaaayaaaaaaaaaaaaaaaaaayaaayyaaayaaaayaaaaayaaaaaaay kkkkk
yayayayayayaaaaayayaaaaaayayyaaaaaaaaaaaaaaaayaayaaaaayyayaaaaayaaaaayyayaaayaaayyy nn
pepepepeepeeeeepeeeeepepeeeeeeepeepeeeeppeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeepppp nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
sususuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuummmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
urururuurrrrrurrurrururrrurururrrrrrrrurrrrrurururrrrrururrrrrrrrrrrrurururrrurrrurrrruururrrrrrrrrrurrrurrrrrurrrrrrrrrurrrrrrrrruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
kekekkekekekekekekekkekekekekekeekekkeeekekekekkekekekkekekkekekekkekekekekeeeeeeekkeekkkeeekeeeeeeeeeekekeeeeeeeessssssss
seseeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
didididdididiiiiidiididiididididdididididiiidididiidiididdidididdididiiiiidiidiidiidiiiiiiiiiiiiiiiidiiididiiid mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
seseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeecccccccacccccccccccccccccccccccccc
dadadadadadaadaadadaadadadaadaaadaadadaddadadadadadadaadaadadaaadadaadaadaaaaadadadadadaaaadadaaddaaaadaaadaaaadaaaaaaadadadadaaaaadad nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
pop
mod
tant
dadaddddadddddadadddadaddadalalalalllllllllllllllll
sususususususususususussususususuussususususssusuusususuususususuussuususuuusuusuuuuuuuuususussuuuuuuuuuuuuuunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
dadadadadadadadaddadaddadaddadadadadadadadadadadaddadadaadaddadadadaddadadadadadaddaddadadaadaadadddaddaadaaddadaaadaaddadass
bebebebebebebebebbbbebebebebeebebebebebebeebebebbebeebebeeebbebbebbebbeeeeebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebeeeebeb rararrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
memememememeemmemememeeememememeemememememememememeemmmmeememeemememmememmememmemeeeeemeeeeeer
yayayayyayayayayayayayyayayaayayyayayyyayyyyyyayayayyyyyayayyayyyyayyyayyyayyyyayyyyyyayyannn
pepepppeppepppeepepeppeppepppeepppepepepppeppppppeppppepppppppppepppeppepppppeeeppepp nnnn
memememememmmememememememememememmememmememeememmememememememememmemememmmemmemmmeemmmmemmmmmememeeemmmmmmmmmmmemem rr
– –––––––––––––––––––––– mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
25
sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan
ekonomis (Malaska, 1971, 1972).
2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB)
Kaivo-oja et al (tt) menganggap pengembangan PB sebagai sebuah arah
perubahan dan ini penting untuk dapat memonitor bila sebuah arah
pembangunan yang tepat telah ditemukan dan dipelihara. Dari banyak pustaka
ia menghimpun sejumlah pendekatan PB, seperti – beberapa yang paling
penting – dikemukakan berikut ini.
Pendekatan Hick. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa teori
pertumbuhan neoklasik telah menyatu dalam kendala-kendala sumberdaya
alam dalam doktrin ekonomi (Hicks 1946, Page 1977, Solow 1974 dan
Hartwick 1977). Menurut pendekatan ini ide tentang kemajuan atau
keberhasilan dinyatakan sebagai konsumsi barang (dan sumberdaya alam)
yang tidak menurun dari waktu ke waktu (non-declining consumption).
Pendekatan ini dapat dianggap sebagai sebuah penajaman metafor dari PB,
menggantikan konsep PB yang dikendala oleh pertumbuhan (Cassier 1946,
1985). Akibatnya dari kepedulian pokoknya ini PB dinyatakan lebih sebagai
efisiensi antar-generasi daripada kesempatan yang setara (equal opportunity).
Menurut pendekatan ini, konsumsi yang tidak-menurun menurut waktu
mungkin saja terjadi, bahkan untuk sebuah kasus perekonomian yang hanya
memanfaatkan sumberdaya tak dapat pulih (misal minyak) dalam proses-
proses ekonominya. Hartwick (1977) memperlihatkan bahwa sejauh sediaan
modal (stock of capital) tidak menurun menurut waktu, konsumsi yang tidak-
menurun adalah mungkin. Dalam term teori, sediaan modal dapat dibuat
konstan dengan menginvestasikan ulang semua hasil dari ekstraksi
sumberdaya alam yang tidak dapat pulih kedalam modal buatan manusia
(Hotelling 1931, Kasanen 1982). Mengikuti aturan ini, karena sediaan minyak
(salah satu modal alam) berkurang, maka sediaan modal-manusia dibangun
untuk menggantikannya. Hasil ini sangat penting untuk membangun ide baru
dari ekonomi PB. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yang kuat tentang
dimungkinkannya substitusi antara modal alam dan modal manusia.
26
Pendekatan London. Ini pendekatan berbeda yang menurut Kaivo-oja et
al (tt) dikerangka untuk memecahkan masalah keterbatasan manfaat dari
substitusi ke kelestarian antara modal alam (Kn) dan modal buatan manusia
(Km) (Pearce et al 1990, Klaases and Opschor 1991, Pearce and Turner 1990).
Menurut aliran ini beberapa substitusi adalah mungkin antara beberapa elemen
dari Kn dan Km, sementara berbagai elemen lainnya dari Kn memberikan
hanya jasa-jasa yang tidak dapat disubstitusi bagi perekonomian. Sebagai
contoh, ada beberapa spesies tertentu yang harus dilindungi (Turner 1993).
Pertanyaan strategis yang penting disini adalah: berapa banyak Kn harus
dilindungi? Tiga kemungkinannya: (1) keseluruhannya pada level yang ada,
(2) level itu konsisten dengan memelihara elemen-elemen kritis dari Kn, atau
(3) jumlah tertentu di antaranya. Problem penting dari pendekatan ini adalah
keharusan berasumsi bahwa kita dapat mengukur nilai dari Kn kapan saja.
Dalam prakteknya, sulit juga untuk mengukur elemen-elemen berbeda dari Kn
dalam satuan fisik dan moneter. Dengan bantuan analisis aliran materi,
beberapa aspek dari Kn telah dianalisis. Van Pelt (1993) telah
mengidentifikasi masalah lain terkait konsep sediaan modal alam yang tetap.
Ada beberapa pertanyaan terkait agregasi spasial: diantara area geografis
mana kita harus pertahankan sediaan konstan? Satu solusinya adalah bekerja
dengan data agregasi yang tidak begitu banyak dan lakukan analisis beragam
elemen Kn secara terpisah. Namun masalah lain muncul saat tingkat
perubahan intrinsik alam diperhitungkan. Pengaruh manusia harus diukur atas
tingkat alami perubahan. Alam berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya
dalam beberapa kasus berbagai laju perubahan ini penting bagi kehidupan
yang terus menerus, karena hidup beradaptasi dan bergantung pada alam.
Dengan menganggap bahwa persoalan agregasi dari modal alam dapat
dipecahkan sedemikian rupa, pendekatan ini mengusulkan aturan bagaimana
mencegah deplesi modal alam dibawah beberapa poin dari tingkat tetap yang
disyaratkan. Aturan ini berdasarkan pada diskonto nilai moneter dari dampak
atau dukungan lingkungan, apakah bersifat biaya, atau manfaat. Dengan
begitu, keseluruhan PB direduksi menjadi sekedar ekonomi dan
perekonomian; kelestariannya sendiri tetap tak terpecahkan.
262626262626262662666626626666262662662666266662666662662662662626626266266262666666666266266266666666626666666662666666666626622626226266222266226622262666266666666266626226266666626666662666262266
al (
sub
(Km
Me
dadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadaadaddadadaddadadadadadadadaddadadadadaaddaddaddaadadadddadaaadd ririrrirrrrrrrrirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrirrrrrrrrrrrrrrrr
hahahahahaahhaaaahhaaaaaahaaaaahahaaaaaaaaahaaahahahaahhaaaaaaaahaahhhaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
cococoooooooooooooooooooocooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooonnnnn
PePePePePeeeePePePePeePePPPeeePePePePePPPePePePePPPeeeePeePeePeeePPePeeeeeeePeePePePeeeeePPPPeeeerr
didididididiiiddididididiidiiidddiiiidiiiiddiiiididddiiiiiiiiiiiiiiiiiillillillllllllllllllillllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
(22(22222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222)))))))))) ))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))
(33(3333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333))) ))))))))))))))))))))))))))))))))))))))
kekekkekekekekekekekkekekekekekeekekkeeekekekekkekekekkekekkekekekkekekekekeeeeeeekkeekkkeeekeeeeeeeeeekekeeeeeeeehhhhhhhhhhhhhhhh
DaDaDaDaDaDaDaDaDDaDaDaDaaDaaDaDDaDaDaDaDaaDaDDDaDDDaDaDDDaDDaDaDaDaDDDaDaDaDDaDaDaDaDaDDaaaaDDaDDaDDDDaDaaDaaDaaaaaaaaDaaaDaDaaDDDaDDaDDDal
dadadaddadadaaaadaadadadadaaadadaddadadadadaaaadadaadaadadadaaaadaaddadadadaadaaaadaaadaadaaaadaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaadadaaadaaaaaaaallalllllllllllllllll
bebeeebebeeeebebeeeeeeeebebebeeebeeebeebebeeeeeebeebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebebeeeeeeeeebeeeeebeeeeeeebeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
memememememememememeemmemmemememmememmememmememememememmeememmeeemmemmemmeeememmememeemeeeeeemmeememmemeeemmmemmeeemmmeen
Ada
man
den
elem
peru
tittttitttitttitittittitittingngngngggngnggnggngnggngngngnggnggggg
dadadadadadadadadadadadadadaddadadaddadadadadadadaddddaadaadadadadadadadaddadadadadadadadaddaadaddadadadadaadaaadaadaadddddadaadaalall
yayayayayayayayayayayayayayayayaayayaayayayayayyyaayayyayayayyaayayayayyayayayayyayayyaaayayayayyaayayaayayayayyyayaay nnnnn
didididididiidididddidididdididdidididididiididdddidiiiiiidiididipppepppeppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
memememmmmemmemememmmemeemmmememmmemmmmmmmememmmmmmemmmmmmemmmmmmmmmmmmmmmmem n
diddddididdidddddiiddddiddididididididddddddddddddddddiddddddddddddddddddddddddddiid ssssysssssssssssssssss
atatatatatatataatatatatatatatatatatatatatataatattatatatatattatatattataatataatattataatttattataattttaaataaaaaaaaaaaa auaaaaaauauauauaaaauaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaauuuauuauuu
bebebbbebebebebbebbbebbebbbbbbebbbbbbbbbbebbebbbbbbbbbebbbebebbbbbbeeeeebbbbbbbbbbeggggggggggggggggggggggggggggggg
pepepepepepepepeepepeepepepeeepepepepeeeepepepepepepepeepepepepepepeepeeeepeppepeppeeepppeepeppeppepppppppppppp rerrr
27
Pearce dan Aktinson (1995) terus mencoba mengembangkan berbagai
indikator dan ukuran PB. Definisi yang diterima begitu luas, dalam pengakuan
Pearce dan Atkinson (Kaivo-oja et al, tt) adalah pembangunan ekonomi dan
sosial per kapita dari waktu ke waktu. Masalahnya, apakah hal itu diukur
secara sempit (misal PDB per kapita) atau secara luas (dalam bentuk
kesejahteraan ekonomi seperti IPM, kesehatan dan pendidikan dsb). Saat ini
kebanyakan peneliti akan lebih suka memilih kriteria yang lebih luas sebagai
ukuran yang dianggap relevan. Dalam hal ini Pearce dan Atkinson
menambahkan hal penting lain untuk kelestarian, yakni bahwa modal suatu
negara seharusnya tidak menurun/berkurang dari waktu ke waktu. Konsep
modal yang digunakan mereka sangat luas, termasuk modal fisik, modal
manusia dan modal alam. Keluasan konsep modal ini, menurut Pearce dan
Atkinson (1995) pernah dikenalkan Orio Giarini, yang disebutnya sebagai
”warisan”, dalam sebuah laporan kepada Club of Rome pada 1978. Aturan
terkait apa yang disebut Pearce dan Atkinson sebagai sediaan modal alam
yang tetap, memiliki dua varian: aturan terkait kuat dan lemahnya kelestarian.
Lemahnya kelestarian terjadi saat sediaan modal total – fisik, manusia,
dan alam – tidak berkurang dari waktu ke waktu. Sebuah perekonomian
adalah lestari saat tabungannya melebihi depresiasi dari modal alam dan
modal manusianya. Dalam varian ini, pembangunan lestari bahkan bila satu
komponen (misal modal alam) menurun, yang membuat sediaan modal total
tidak berkurang. Agar ini menjadi kriteria yang berguna, maka penting bahwa
elemen yang berbeda dari sediaan modal dapat saling menggantikan.
Misalnya, bila sebuah kehilangan satu ekosistem tertentu mampu
dikompensasi oleh sebuah peningkatan dalam pengetahuan manusia.
Artinya, berbagai kehilangan ekonomi dan lingkungan terkait ekosistem tadi
lebih dari sekedar setimpal oleh manfaat dalam (peningkatan) modal manusia,
sejauh stabilitas dan kelenturan sistem secara keseluruhan tidak tertekan
dalam proses substitusi.
Varian kedua, kelestarian yang kuat, mengupayakan modal lingkungan
(atau modal alam) sebagai tempat khusus. PB dicapai, dalam pengertian yang
kuat, bila secara khusus sediaan modal lingkungan negara tidak menurun.
28
Pearce dan Atkinson (1995) mengemukakan bahwa seseorang mungkin saja
memodifikasi ketentuan ini. Beberapa bagian dari sediaan modal agaknya
menjadi begitu penting, yakni menyediakan jasa-jasa lingkungan yang tak
ternilai dan tidak tergantikan bagi kegiatan ekonomi. Bila diistilahkan sebagai
modal alam yang kritis, lalu versi modifikasi dari versi PB yang kuat
mengharuskan bahwa pembangunan tidak mengakibatkan sediaan modal alam
yang kritis menurun menurut waktu. Pearce dan Atkinson menilai
pandangannya atas kelestarian dengan data beberapa negara, dan memaparkan
bahwa Finlandia adalah sebuah perekonomian yang lestari dalam pemahaman
yang lemah, tidak kuat (Pearce dan Atkinson 1995)
3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari
MacCleery1 [sustainability-forest-definition.doc] menegaskan bahwa banyak usaha
yang telah dan sedang ditempuh untuk mendefinisikan kelestarian hutan atau
pengelolaan hutan lestari. Ia yakin, bahwa pengelolaan hutan lestari
merupakan sub-set dari PB. Menurutnya, ada setidaknya lima hal penting
dalam upaya pendefinisian – baik kelestarian (ekosistem) hutan, maupun
pengelolaan hutan lestari: (1) perlu contoh nyata penerapannya, (2) perlu
memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan, (3) perlu pendekatan-
pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, (4) perlu pertimbangan skala
ekonomi dan sosial, dan (5) paham akan ”self sustaining”. Dalam refleksinya
MacCleery merinci posisi pentingnya kelima poin dimaksud sebagaimana
disarikan berikut ini.
Definisi ”kelestarian” dan aksioma ekosistem itu dibincangkan lebih di
tataran akademis, daripada aplikasinya di dunia nyata. Sebaliknya, definisi
perlu disertai dengan teladan-teladan yang nyata sehingga dapat dirasakan
bahwa sebuah ekosistem (hutan) memenuhi atau menyimpang dari ide
kelestarian. Sebagai misal, akankah sebuah ekosistem hutan di suatu tempat
yang ditebang secara berlebih dan dibakar pada akhir abad 19, tetapi
kemudian pulih, disebut lestari berdasar sebuah definisi tertentu? Apakah
1 Doug MacCleery saat melakukan refleksi atas artikel Dave Iverson dan Zane Cornett “A Definition of Sustainability for Ecosystem Management”. (http://forestry.about.com/gi/o.htm?zi=1/ - tulisan lepas, diakses 8 November 2010)
2828282828282828828888288288882828828828882888828888288288282882828828282888888888288288288888888882888888888288888888882882282822828222282288822282828882888888288828228288888288888288882822888
Pea
mem
men
tern
mod
mememememememememememememememememememememememememememememememememememmmememmmememememeemmemeemmememmememememmmememeeemmemmeemem nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
yayayayaaaayayaaaayaayayaaaaaayayaaaaayayaaaaayayaayaaaaayaaaayayaayyaaayaaaayyyy nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
papapapapaaapapaapaapapaaaaaaaapaaaaaaaaaaaaapaaaaaapaaaaaaaaaaaaaaaaaapaaapaaapaaaaaaaaaaaaaaaap nnnnn
bababababaaaababaaaababaaaaababababaabaaaaaaaabaabaaaaaaaaaaaaaaabaabaaaaabaaaaaahhh
yayayayaaayayayaaaayayaaaayaaaayayaaaayaayyayayaayayaaaaayyayaaaaaayaaaaaaaaaaaaaaaaaaayyyyyyyy nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
3.3.333333333.33333.33333.33333333.333.3.....
MaMaMaMMaMaMMaMaMaMaMMMMMaMMMMMMMMMMMaMMMaMMaMMMMaMaMMMMMMMaMMMMMMMMMMMMMMaMMMMMMMMMMaMMMMMaMMMMMMaMMMMMMMM
yayayayayayayayayaayayaaaaaaayyayaaaayaaaayayayaayyaaayyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayaaaayaaayaaaaayyaayayaayay nnnnnnnnnnnnnnnnn
pepepeeeeeeeeepepepeeeepepepeeepepeeeeeepeeeeepeeeepeepeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeepeeeeeeennnnnnnnnnn
mememememememememeemememememmmemmemememmemememmeememememememmmmmememmemmmememmemmmemememmemememmmemememmmmmmmmmmmememmmememmeer
dadadadadadaadaadadaadadadaadaaadaadadaddadadadadadadaadaaadadaaadadaadadadaaaaadadadadadaaaadaddaaddaaaadaaadaaaadaaaaaaadadadadaaaaadad lallllllllllllllllllllll
pen
mem
pen
eko
Ma
dididdddidddddiddddididdd sasasasasaasssssaasssasss
tatatatatatatataaatatataaatataatattatatatatattattatatatataataattattatatttttataatttaaataaaaaaaaatttttttatatttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt
pepepepeepepepepepepeepepeepepepepepepepepeeeepepepeeepepepeepeeeepepeeeeeepeeeepepepeeepeppeeeepepeeppp rlrrlrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
bababaaaaabababaaababbbbababababababbabaaabaababaaaaaabbaaababaababaaaaaaaaaaabaaaaaaahhhhhh
kekekekekekkekekekekekekkkekkkekekekkkkekekekekkekkekekekekekkekekkekkkkkkekkkkkkkkkkkkkkkkkkeek lell
yayayyyayyayyyaaayayayyayyayyyaaayayayyayayayyayyayyyyayayyyayyyayyyyyyayyyayyayyyyyyaaayyayy nnnn
kekekekekekekekekekkekekekekekekekekekekkekekekekekekkekekekekkekekkkekeekkekekkkekkeekekkeekkkeekekkeeekkkkkemmmmmmmmmmmmmmmmmm
1 Dooouuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuug ggg g g g ggg ggggggggggggggggggggggg MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMSustaaaiaiaiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinananannnnananananananaanananananannananaannnanaanaanannananaaaaaanaaaaaaaanannnnnannnaanabbb8 Nooovevevevvvveveveveveveveeveveeveevevevveveeveeeevvevevevvvvevveveeeeeeeevvvvvevevembmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
29
ekosistem (hutan), karenanya, memiliki integritas? Lalu, bagaimana dengan
hutan-hutan di Skandinavia yang telah dikelola manusia setidaknya selama
enam ratus tahun yang lalu? Tentu saja, kegiatan manusia telah menghabiskan
keseluruhan atau kebanyakan suksesi hutan dan telah membuang berbagai
sifat spesies dari hutan alam – sebuah kehilangan komponen kekompleksan
ekosistem hutan. Namun, dari pandangan lain, berbagai hutan itu telah
memperoleh kembali aspek-aspek kompleksitas ekosistemnya yang
sebelumnya hilang tadi, sebagaimana dibuktikan oleh pulihnya populasi
banyak spesies hidupan liar dan berkembangnya komponen-komponen hutan
yang matang. Dalam banyak pandangan, hutan-hutan semacam itu tampak
lestari bagi tujuan pengelolaan yang mereka lakukan saat ini, dan juga
memiliki kapasitas untuk dikelola untuk tujuan-tujuan lainnya di masa depan,
bila memang diperlukan. Pertanyaan MacCleery kemudian, bagaimana ini
semua dipertimbangkan dalam sebuah definisi ”kelestarian hutan”?
Banyak upaya pendefinisian kelestarian berfokus sebagian besar pada
konsep-konsep dan kriteria biologis. Diskursus kesehatan ekosistem dan
keanekaan hayati biasanya dituangkan dalam jargon para ahli biologi, ahli
lingkungan dan para profesional sumberdaya alam. Yang biasanya tidak
terekspresikan adalah sekumpulan nilai sosial dan budaya penting yang justru
mereka jadikan dasar. Manusia kadang lupa bahwa ekosistem (hutan) itu
bebas nilai – mereka ada apa adanya. Kelestarian hutan dan kesehatan
ekosistem keseluruhannya merupakan konstruksi manusia. Adalah manusia
yang mendefinisikannya dan menganggapnya bernilai itu. Sementara alam
menyediakan konteks biologi dan fisik, adalah manusia yang kemudian
memutuskan apa yang harus dicari agar lestari dan dengan biaya berapa.
Namun, tidak semua manusia memberikan nilai yang sama baik kepada hutan
maupun keanekaan hayati. Lihat saja posisi Amerika dan negara maju lainnya
yang hari ini mempertanyakan kondisi hutan hujan tropis di negara
berkembang seperti Brazil dimana hutan-hutan itu berada. Saat ini muncul
sebuah diskursus intelektual yang menghebat yang sedang berlangsung antara
mereka yang mengadvokasi apa yang disebutnya pendekatan-pendekatan
”biocentric” kepada para pengambil keputusan, sebagai lawan atas
30
pendekatan-pendekatan ”anthropogenic”. Sebagai sebuah polemik ini
menarik, karena menurut MacCleery dalam banyak hal ini serupa dengan
diskursus pilosofis yang terjadi pada abad pertengahan, tentang berapa
malaikat dapat menari di atas sebuah peniti atau lencana. Artinya, harus ada
kekuatan untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian atau terpisah dari
dunia nyata. Sebuah pendefinisian kelestarian hutan perlu menimbang ini
semua.
Terkait pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, ada satu pendapat
Renh sebagai alternatif. Melalui bukunya, ia sebetulnya menjawab ”Our
Common Future” yang disiapkan World Commission on Environment dan
Development pada 1987 (biasanya disebut ”Brundtland Report”) yang
mendefinisikan PB sebagai ”memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya”. Dalam pencermatan MacCleery, Renh setidaknya mendaftar
tiga definisi ”kelestarian”, yakni (1) ”pembangunan dengan pertumbuhan yang
tidak melewati jauh kapasitas daya dukung lingkungan”, (2) sebuah kondisi
kesejahteraan per kapita lintas generasi yang tidak menurun, (3) jumlah
konsumsi yang dapat berlanjut tanpa batas, tanpa merusak sediaan alam –
termasuk sediaan modal alam. Dalam pandangan MacCleery ketiga usulan
Renh ini, mencerminkan keterkaitan dengan kemanusiaan yang lebih kuat,
daripada definisi yang ditawarkan ”Brundtland Report”. Bagi MacCleery yang
penting dalam upaya pendefinisian kelestarian adalah bagaimana
mempertemukan sisi alam dan sisi kemanusiaan dalam sebuah rumusan
persamaan.
Hari-hari ini sering ditunjukkan bahwa ekosistem (hutan) harus dipelajari
pada skala atau tingkatan yang berbeda – dari tingkat situs, ke bentang darat,
ke tingkat regional, nasional dan global. Namun, bagi MacCleery yang perlu
juga menjadi diskursus adalah fakta bahwa saat ini berbagai perekonomian
dan masyarakat manusia berkait juga dengan berbagai skala. Berbagai
keterkaitan itu memiliki beragam konsekwensi lingkungan yang juga harus
dipertimbangkan dalam menilai kelestarian hutan. MacCleery lalu
mencontohkan kebijakan pengurangan pemanenan kayu di Pacific Barat Laut
3030303030303030030000300300000300300300000003000003003003003030030003003030000000003003003000000000300000000030000000000003303033030033003003330000000000003000303303000000300000030003033030
pen
men
disk
mal
kek
dududududududududududududududududududududududududududuududdudududdududududududududdududududuudduddudduudududdduduuudd nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
seseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
ReReReReReReReReReReReRReRRRReRRRRReRReReRRReReReRRReRReRRReReRRReReRReReReReReReRRRReReRReReRReReRReeRRRReReRReeeeRRRRRReeeen
CoCoCoCCoCooCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCoCooooCooooCoCoCoCoCooooCCoCCoCoCoCoCCoCoCCoooooooCCoCoooCCCoom
DeDeeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeDeeDeDeDDeDeeDeDDDeeeDeeeDeeDeDeDeDeeDDeeDeDeDeeeeDDeeDeeDeDeeDeeDDDeDeDDeDeeeeeDDeDeDDeDeev
memememmmemememememememememmeemememmmemmmmmmememmmemememememmmemmmmmmemmmmmeemememmmmmemmemmemmmemmmmeemmeememmmemmmmemmmmmmmmmmmmmmeem n
mememmememememememememeememmememmmemememememeeeeememmmmeemeememmmmmememeemmmemeememmmememen
kekekekekekeeeekekekkekekeekeekeeekeeekekeeekeeeekkeekekeeeeeekeekekeeeeeekeekekekeeekeeeeeeeekeeeeekekekekeebbbbbbbbbbbbbbbbbbb
tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiggggggggggggagggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiidaddddddadddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
kekekekekekekekekkekeekekkekekekekekekekekekeekekeekekekeeekeekekeeeekekeekekekekeekkeeekekeekkkkeeekeekeeeeeeeeeekekekkkekeeesssssssssssssssss
kon
term
Ren
dari
pen
memememmemeemmemmmememmeememmememeememmmmmmmmmmmmm
pepepepepepepepepeepepepepeppeppepeppepepepepepepepepepepepepepeepepepepepeeepppepeeepeppepepepeeppepepeppepeppeepeeppppppppppp rrsr
papapapaapapapapapapaapapaapapapapapapapapapaapaaapapapapaaapapapaaaaapaaaaaaapaapapaapaaapaaaaapaaapaapappp ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
kekekeeeeekekekeeekekkkkekekekekekekkekeekeekekeeeeeekkeeekekeekekeeeeeeeeeekeeeeeeee t
jujujujuuuujujuujujujujujujuuuuujujujujujuuujujjujuujujuuuuujuuuujuuuuujuujuuujuuuggggggaggggggggggggggggggggggggg
daddddadadadadaddddadddadaddadadadadadadadddadadddddddadaddddddadadddddddddddddddddddddddaaaad nnn
kekekekekekekekekekkekekekekekekekekekekkekekekekekekkekekekekkekekkkekeekkekekkkekkeekekkeekkkeekekkeeekkkkkettetettttttttttttttt
didddidididddididdiddddiddidddiddidddidddddiddiddddddddiddddddddddiiiiidddddddipepepppppppppppppppppppppppppppppppppp
mememememememememeeememememememememememememememmmememememememmmmmemmemmeemmemmmemmmmmmmmmmmmmmm n
31
untuk melindungi populasi burung hantu (spotted owl) yang pada akhirnya
tidak menghilangkan dampak dari pemanenan kayu. Kebijakan ini hanyalah
memindahkan burung itu ke ekosistem lain. Sementara, kebijakan ini juga
menyebabkan meningkatnya harga konsumer untuk produk-produk kayu dan
meningkatnya konsumsi barang pengganti kayu, seperti rangka baja, yang
membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksinya daripada kayu,
sehingga mengeluarkan lebih banyak CO2 ke atmosfir. Kita dengar banyak
retorika akhir-akhir ini tentang perlunya berpikir secara holistik – bahwa
segala sesuatu itu terkoneksi. Dengungnya adalah ”think globally act locally”.
Dalam pemahaman MacCleery dengungan ini menerap secara bersamaan baik
kepada aliran dagang dan ekonomi maupun kepada ekosistem alam. Namun
yang kita lihat adalah banyak orang bertindak secara lokal dan mengabaikan
hal-hal yang sifatnya global. Banyak dari retorika saat ini terkait pengelolaan
ekosistem pada hutan alam tertelan akibat ide ini. Kita sebenarnya
mengabaikan implikasi-implikasi atas lingkungan yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan alam. Itu tentu bukanlah pengelolaan ekosistem (hutan)
yang seharusnya. Kecuali dan sampai konsep tentang kelestarian benar-benar
meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan global dan nasional ini, maka apapun
definisi kelestarian pastilah ”terbatas” dan ”sempit”.
Seringnya penggunaan kata ”self-organizing” dalam merujuk ke
ekosistem, disengaja ataupun tidak telah meningkatkan keseluruhan rentang
berbagai citra dan konsep kelestarian. Misalnya pandangan Clemential atas
alam sebagai ”superorganism”, yakni ide tentang bagaimana alam mencapai
satu keseimbangan bentuk tetapnya, yang imbang dengan ”klimaks”
kelompok tanaman (self-sustaining dan self-replicating), menjadi ”tujuan”
akhir dan norma dari ”nature’s grand design”. Dalam dosis tertentu, bahkan
ekosistem yang begitu rusak sekalipun akan memiliki beberapa dimensi yang
dapat disebut sebagai self-organization. Pertanyaan MacCreely lalu,
bagaimana seseorang menentukan kapan sesuatu telah menjadi tidak lestari?
Lagi, ini kembali ke berbagai tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan terkait
tentang apa yang ingin dilestarikan dari waktu ke waktu. Apakah motivasi kita
mencerahkan kepedulian sendiri (self-interest), atau satu perasaan bahwa
32
semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hadir, kita lah yang menentukan
apa yang akan kita cari agar lestari (self sustaining).
Untuk mendefinisikan ”kelestarian” secara abstrak agaknya hampir
mustahil. Satu dekade lebih lalu Marion Clawson bertanya, ”Hutan untuk
siapa dan untuk apa?”. Berbagai pertanyaan yang sama seperti itu juga penting
dalam mendefinisikan kelestarian. Sebelum seseorang dapat mendefinisikan,
maka ia haruslah bertanya, ”Kelestarian, untuk siapa dan untuk apa?” Begitu
pertanyaan itu diangkat, maka tugas menjadi lebih bisa dikelola (manageable),
meskipun masih tetap rumit. McCleery curiga bahwa sementara berbagai
pertanyaan itu masih relevan hari ini, jawaban kita sekarang mungkin berbeda
dengan jawaban saat Clawson pertama kali bertanya. Dan memang belum atau
tidak ada konsensus pula untuk itu.
Apa mungkin untuk mengembangkan berbagai strategi rasional untuk
kelestarian hutan yang melampaui banyak dekade, atau bahkan abad, ketika
konsep-konsep kemanusiaan tentang apa yang ingin dilestarikan begitu
bersifat ilusi? Kapan pertumbuhan populasi perkotaan begitu terpisah dari
pengetahuan tentang apa yang melestarikan mereka secara ekonomi, dan
akibat-akibat lingkungan dari pilihan konsumsi mereka? Dan kapan pula dunia
ini begitu rumit? Terkait berbagai pertanyaan ini, MacCleery sampai pada tiga
poin kesimpulan:
Pertama, memahami masa lalu dan memahami bagaimana sampai pada
hari ini. Kini begitu banyak pikiran kolektif yang tidak beres pada saat
memahami sejarah manusia dan alam dari ekosistem dan peran dalam
melestarikan komunitas manusia.
Kedua, kuasai data dan informasi yang lebih baik, melalui riset dan
inventarisasi hutan, untuk menilai dimana kita hari ini dan untuk membantu
kita mengerti akan implikasi-implikasi biologi dan sosial dari berbagai
pendekatan alternatif kepada kelestarian hutan pada beragam tingkatan.
Ketiga, fleksibel tentang masa depan dengan tetap merespon informasi
baru – sering disebut sebagai ”adaptive management” dengan paradigma
pengelolaan ekosistem. Namun, harus diwaspadi, yang paling rawan disini
adalah merubah ide manusia tentang nilai dan tujuan kelestarian – apa yang
32323232323232322322223223222223223223222222232222232232223232232223232322222222232232232222222222322222222232222222222223323233232332322233323222222222223222323322322222232222232222323323
sem
apa
mus
siap
dadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadadaadaddadadaddadadadadadadadaddadadadadaaddaddaddaadadadddadaaadd lalallalallllllllallllallalalllalllallllllllllallllllllalllallla
mamamamammammaaaamamamamamamamamamaaammamamamamaaamamammmamammaamamamaamammmaamammmaaammammaammmaak
pepepepepeeepepeepeepepeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeepeeepeeepeeeeeeeeeeeeeeep rtrrrr
memememmmemmmmmemeemememeememmmmmemmemeemmmmmmmmemmemmmemmmemmmemmeememmemmmmmmmmeees
pepepepeepeeeeepeeeeepepeeeeeeepeepeeeeppeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeepppp rrrrrtrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
dededeededeedeeeeedeeeeeeeedeedeedededeededeeeededdedeedededeeeeeeeeeeeeeedeeeddeeeeeededeeeedeeedeeeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiddddddddddaddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
kekekekekeekeekeekekekkekekeekeekeeekeekekekeeekeeeekkekekekekeeekekekeekekeeekeekekkekkkeeekekeeeeeeekeeeeeekkkelelllllllll
kokokkokokokookoookokkookokookokokokookokkokooookookokookookkokokookkokoooookooookokookokoooookoookoooooooookookkooookoooooookoooooonnnnn
bebeeebebeeeebebeeeeeeeebebebeeebeeebeebebeeeeeebeebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebebeeeeeeeeebeeeeebeeeeeeebeeeeeeeeerrrrsrrrrrrrrrrrrr
pepepeeepepeepepeepeeepepeeppepepepepepepeepepepepeepeepeeeeeppepepeeepeepeepeeeeeeeeeeeepepeppeepppepeepeeppeeppp nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
akib
ini b
poin
hari
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmemememeeeeeeeeeeeeeee
memememememememememmemememeemmmeememememeeemmemmeememememeememememmmeeemmmmememeemmmemmmmmmmmmmmememmmmmmm l
ininininininnninnnnininininnnniinininnnnnininnninnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnvvvvvevevvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
kikikiiiiikikikikikkkikikikikkikkkikikkikiiikikiikikiikiiiiiiikikitatattattttttttttttatttttatttttttatattattttttttttttattttttttt
pepepeppepepepepepepeppepepepeppepepppeppppppepepppppepeppeppppepppepppeppppepppppppeeppennn
babababababababababababababababababababbabababababababababababababbaabbababbbabbaabababaabbbaababbaaabbbbbarrururrrrrrrrrrrrrrr
pepepppepeppepppepepepepeppppepepppepeppepepppepppppepeepepeppppppppeeeepp nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
adadadadadadadadadadadaddadadadadadadadadadadadddddadaddaddadddadddadadaddddadddadaadadaadddaaaddaaaaa aaaaaa
33
dilestarikan. Mengkonstruksi konsensus sosial global tentang nilai/tujuan ini
merupakan satu tantangan besar tersendiri.
Sementara itu Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menggiring kelestarian
hutan pada pemahaman beberapa poin penting, yakni (a) rasional bukan
sekedar efisiensi ekonomi, menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap
menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan
– pada saat fokus pada tegakan dan pohon; (c) memerhatikan betul sediaan
dan aset sumberdaya hutan (d) siap atas hal-hal tak terduga dan
mengupayakan pencegahan dalam pengelolaan hutan; dan (e) rancangan
kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian.
Secara ringkas poin-poin ini menegaskan bahwa kelestarian harus diletakkan
dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal
diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan
kelembagaan.
Dalam pandangan Coase (1960) efisiensi ekonomi adalah efisiensi dari
sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas, dimana eksternalitas
dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost).
Maka menurutnya, proses tawar menawar yang berlangsung dalam kondisi
demikian akan menuju pada hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan
awal dari property rights. Artinya, proses internalisasi eksternalitas perlu
aturan langsung, misal berupa pajak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa
sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan
optimal, belum mencakup sifat intrinsik atau karakterik inherent SDH dan
kesempurnaan property rights.
Karakteristik inherent dalam pandangan Schmid (1987) mencakup:
penggunaan yang tidak kompatibel (incompatible use), skala ekonomi
(economies of scale), dampak bersama (joint-impacts), biaya transaksi
(transaction costs), kelebihan (surpluses), dan fluktuasi pasokan-permintaan
(fluctuating supply and demand) - sifat situasional, persoalan fisik dan biologi
yang melekat pada barang, bervariasi akibat perubahan teknologi. Dengan
kata lain ia menekankan perlunya menimbang ”situasi” dari sisi atribut barang
yang berpengaruh signifikan – ia menyebutnya sebagai ”sumber
34
interdependensi”. Dalam kalkulasinya, biaya transaksi tinggi, cenderung tidak
lestari. Dengan begitu, pengendalian sumber interdependensi penting untuk
menekan biaya transaksi, sekaligus mencapai kelestarian.
Sejalan dengan Coase (1960), Libecap (1999) menguatkan bahwa
masyarakat dan tatanannya perlu property rights untuk mengontrol akses dan
aliran manfaat sumberdaya, terutama untuk menghindari hilangnya
sumberdaya tersebut. Menurutnya, tanpa property rights sumberdaya akan
terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat
pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek. Dengan
begitu, property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, karena di
dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen
ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya.
4. Kondisi Pemungkin bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik
Dari mulai uraian akar diskursus kelestarian sampai konsep kelestarian
sebagaimana diuraikan di atas secara teoretik dapat dikerangka sebuah kondisi
pemungkin bagi kelestarian sumberdaya hutan. Kondisi ini dapat dikerangka
kedalam (1) penetapan tujuan, (2) pemosisian para pihak, termasuk (3)
kejelasan siapa berbuat apa, (4) apa yang diatur, bagaimana hal tersebut
masing-masing diatur, (5) bagaimana kinerja ditetapkan, serta (6) bagaimana
kinerja dicapai.
Sebagai sub-set dari PB, menurut MacCleery (tt), kelestarian sumberdaya
hutan memikul tujuan ganda: (1) ekonomi pembangunan, khususnya
memerangi kemiskinan, (2) lingkungan, terutama menghentikan pengurasan
sumberdaya alam dan lingkungan, (3) keadilan-kesejahteraan lintas generasi,
dengan memastikan berlangsungnya (4) proses-proses interaksi tiga dimensi:
sosial-ekonomi-lingkungan.
Tujuan ganda di atas menegaskan pengutamaan orientasi kepentingan
publik atas nama pembangunan hutan dan kehutanan yang sekaligus menuntut
pembagian peran, fungsi dan tugas – bahkan posisi – para pihak pemangku
kepentingan. Hal ini menjadi titik berangkat bagaimana bangunan hubungan
para pihak dikonstruksi. Orientasi kepentingan publik yang begitu dominan,
343434343434343443444434434444434434434444444344444344344344434344344434434344444444434434434444444443444444444344444444444433434334344334434433344444444444443444343344344444434444443444343343
inte
lest
men
mas
alalalalalalalalalalalllalalalalllalalalalalalaaalalalalaalalaalalalalalalalalalaaaaalaaalllalalaaaalaliriririririririiriiriririririririririririririririririririiriririrrririrrrrrrirririririririrririr
susuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuusuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuummmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeerhrrrrhrhrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
pepepepeeeeeeeeeeeeeepeppeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeeepepeeeeepeeeeepeeeepeeep mm
bebeebebeeeeeebeeeeeebebeeebbeeebebeeeeeebeeeebeeeebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
dadadaadadaadaaaaaaadaaaaaaaadaadadadaadadadadaaaadaaadaddaadaaadadaaaaaaadaaaaadaaadadaaaaaaaaadaaadaaaaaallllllalllllllllllllllllllllllllllllllllllll
ekekekkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkooo
4.4.....4......4...4...4.....................
DaDaDDDaDaDaaDaDaDaDaDaDaaDaDaDaDaDaDaDaDaDDaDDaDaDaDaaDDaDaDaDaDaDDaDDDaDDaDaDDaaDaDaaaDaDDDDaDaDaDaaDaDaDDaDaaDaaDDDaDDDaaDDDaaDDDaDaaaar
seseseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
pepepeeepepeepepeepeeepepeeppepepepepepepeepepepepeepeepeeeeeppepepeeepeepeepeeeeeeeeeeeepepeppeepppepeepeeppeeppp mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
ked
keje
mas
kine
huhuhhhuhhhhhhhhuhhhuhutattattttttttttttttttttt
memememememememememmemememeemmmeememememeeemmemmeememememeememememmmeeemmmmememeemmmemmmmmmmmmmmememmmmmmmm m
susususususususuususususususususususussususususuusussuuussuususussuuussususususuussusuussuuuuuuususuuuuuuuuummmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
dededededededededededddededededededededededdededededeedededdeeedddedddeedddeddededededededdeeeeeeeeeeeeeeeeeeed nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
sososososoosososososososososoososooosooosssoosososososoooooooosooooooosooooosssissssssssss
pupupppuppupppuuupupuppuppupppuuupupuppupupuppuppuppppupupppupppuppppuppupppuppupppppuuuuppupp bbb
pepepepepeppeppepeepepeppepepepepepepepepepeppepepepepppeepeeeepepppepeeepepepeepppeeeepppepepeeeeeppppppppppppp mmmmmmmmmmmm
kekekkkekekekekkekkkekkekkkkkkekkkkkkkkkkekkekkkkkkkkkekkkekekkkkkkeeeeekkkkkkkkkkepppppppppppppppppppppppppppppp
papapapapapapapapaapapapaapapapapaaapapapapaaaapapapapapapapaapapapapapaapaaaappapappaaapppaapappappappppppppppp rarrr
35
menuntut peran pemerintah untuk lebih konsentrasi sebagai regulator bagi
komponen pemangku kepentingan hutan lainnya, memastikan hubungan antar
komponen pemangku kepentingan dan hubungan mereka dengan sumber daya
hutan itu sendiri dengan melibatkan keseluruhan para pihak pemangku
kepentingan potential (potential benefeciaries). Lalu, bagaimana wujud
agenda yang berkaitan dengan penghentian kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungan serta keadilan-kesejahteraan lintas generasi ditetapkan, menjadi
kondisi pemungkin yang juga penting bagi pencapaian kelestarian.
Tuntutan pembagian peran, fungsi dan bahkan posisi para pemangku
kepentingan pada hakekatnya adalah gambaran pentingnya upaya pemenuhan
dua hal sekaligus, yakni (1) kejelasan dan ketegasan property rights, dan (2)
dipertimbangkannya karakteristik inherent SDH dalam menata orientasi
kepentingan publik dan menekan biaya transaksi. Bila dicermati, kedua hal ini
pun merupakan upaya untuk mencapai efisiensi dan sekaligus keadilan antar
generasi, dua dimensi kemana sejatinya kelestarian harus diletakkan.
Uraian bagaimana kelestarian dan pencapaiannya harus dimaknai baik
secara filosofis maupun operasional, sebagaimana dijabarkan di atas, pada
dasarnya mengerucut pada perlunya para pihak pemangku kepentingan
memastikan kerangka pemikiran sebagaimana telah ditawarkan Sfeir-Younis
(1991) antara ”the forest first” atau ”the forest second”.
Rincian sintesis teoretik ini selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
D. Metodologi
1. Kerangka Pendekatan
Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini
mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) Dunn (2000) yang
fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan
(gap) yang ada – yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah
kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif). Dengan adopsi ini, hasil analisis
juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran
kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan
perumusan masalah (normatif).
D
36
Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton (1999), bahwa
pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan
sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan
dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun
kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini,
penelitian ini menganggap bahwa (1) para pembuat kebijakan mendekati isu
tidak selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, (2)
tidak selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga
(3) bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan
kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam
pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke (1995, dalam Sutton,
1999).
Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba
menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-
konsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai ”kekacau-balauan” atau
”ketidak-linieran” sebagaimana telah disarankan Sutton (1999). Keyakinan
Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi,
antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi
proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang
lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton (1999) yakin, bahwa
antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada
diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi
menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai
konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan
dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang
berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan
tertentu yang lebih spesifik. Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999), sampai pada
posisi bahwa ”diskursus (itu) mengidentifikasi, membicarakan dan
memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan
pembangunan”.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis
diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan
3636363636363636636666366366666366366366666663666663663663663636636663663636666666663663663666666666366666666636666666666663363633636633663663336666666666663666363363666666366666636663633636
pem
seb
dan
keb
pepepeppeppepepepepepepepeppepepepepepepepepeppeeeepeepeppepepepepepepeppepeppepppeppepeeepppepeppppeepppeppppp nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiidadadaddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiidadddddaddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
(3(3(3333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333)) ))))))))))))))))))))))))))))))))))
kekekekekekekeekeekekekkeeeekekekekekkkkekeekekekeeekeekkekekeekeekeekekeeeeeeeekeeeeeeeeeeeeppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
pepepeeepepeeepeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeepeeeeepeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeepepellllllalllllllllllllllllllllllllllllllllllll
191919999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999
memememememememememmmememeeemmmememememememememememememmemememmmmemmmemeemmmmeememmeeeeememeeeeememmmememmmmemmemmmeen
kokokkokokokookoookokkookokookokokokookokkokooookookokookookkokokookkokoooookooookokookokoooookoookoooooooookookkooookoooooookoooooonnnnn
”k”kkkk”kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkeeeeeeeeeeeeeee
SuSuSuSuSuSuuSuSuuSuSuSSuSuSuSuSuSuuSuSuSuSuuuSuuuSuSuSuuuSuSuuSuSuSuSuuuuuuSuSuSuSuSuuuuSuSSuuSSuuuuuSuuuSuuuuSuuuuuuuuSuuuuSuSuSuSuuuSuS tttt
antr
pro
lebi
antr
disk
memememmemeemmemmemememmeememmememeeennnn
kokokokokokokokokokokokkokokokokokkokokokokokkkokokokokokokokokokokokoookokokkokokkokokokokokooookokokokkoookkokookkookkkokookok nnn
dededededededededdededdeddedededededededededededdededeededdededededdedededededededdeddededeedeededddeddeedeeddedeeedeeddedennnnn
bebebebebebebebebbbbebebebebeebebebebebebeebebebbebeebebeeebbebbebbebbeeeeebeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebeeeebeb rbrrbrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
tetetettetttttetetetetettteeeetettteeeteeeeeertrtrrtrrrrrrrrrrrtrrrrrtrrrrrrrrtrtrrtrtrrrrrrrrrrrrrrtrrrrrrrr
popopoppopopopopopopoppopopoopoppopopppoppppppopopopppppopoppoppppopppopppoppppoppppppopposss
mememmmmmemmmemeememmmmmmmmemeemememmmememmmmemmmmmmmmemmmemmmmmmmmmmmmmmmmmmeeemmem
pepepepepeppeppepeepepeppepepepepepepepepepeppepepepepppeepeeeepepppepeeepepepeepppeeeepppepepeeeeeppppppppppppp mmmmmmmmmmmm
didididdididdididdididididididididididididdiddidididididiidiiidididiiidididddididdiiidddiidddddd skskskskskkskkksskskskssskkssksssksksssskksssssssssss
37
Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pilihan ini lebih
berlatar pertimbangan pragmatis dan substantif. Pragmatis, karena peneliti
merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan, termasuk
berpartisipasi secara intens dan praktis dalam beberapa proses konstruksi
kebijakan kehutanan2. Pertimbangan substantif lebih karena peneliti
menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris
penting dalam mempelajari kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha
kehutanan dibalik diskursus yang berkembang. Fokus pada kerangka pikir
lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan)
berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri.
Penelitian ini sejalan dengan kerja Arts and Buizer (2009) yang
menganalisis kebijakan kehutanan global sejak 1980an. Menurutnya,
pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu diskursus baru yang muncul di
tataran global dalam tiga dekade terakhir, selain diskursus keanekaragaman
hayati dan tata-kelola swasta. Namun, tidak seperti mereka, penelitian ini
lebih banyak pada pilihan diskursus sebagai teks (texts). Disebut ”lebih
banyak”, karena dalam beberapa hal analisis diskursus juga berlaku pula pada
komunikasi empiris, kerangka (frame) dan praktek sosial, mengingat teks itu
sendiri pada hakekatnya – ditarik dari penjelasan Arts and Buizer (2009) –
tidak kepas dari sebuah konteks tertentu, yang dapat saja bersumber dari
proses komunikasi empiris yang terjadi (communications), kerangka
keyakinan (frame) maupun praktek-praktek sosial yang berkembang (social
practices). Dengan komunikasi empiris demikian, analisis diskursus dalam
penelitian ini pada dasarnya merujuk pula pendekatan analisis diskursus kritis
yang diusung Fairclough dan juga van Dijk sebagaimana disebut Hawitt
(2009) dan Arts and Buizer (2009). Dalam praktek sosial yang sama, selain
kerangka pikir, coba dipahami pula relasi kekuasaan dibalik diskursus, yang
tidak lain, merupakan ide-ide Foucault tentang diskursus dengan kekuasaan
sebagaimana dimaksud Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009) dan juga
2 Antara lain berkontribusi – melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) – dalam penyiapan naskah akademik dalam rangka pembuatan draft naskah “tandingan” bagi draft UU Kehutanan, yang kini menjadi UU 41/1999 tentang Kehutanan; berkontribusi aktif dalam pembahasan terkait kebijakan levy and grant dan land grant college dengan para Staf Ahli Menteri Kehutanan; dan juga dalam pembahasan LOI bidang kehutanan, terkait lelang HPH, provisi sumberdaya hutan, dan dana jaminan kinerja (performance bonds).
222 AAakaaaaattetetetttttttttttttttttppapppppppppppppppppppppsussssss
38
Mills (1997). Selain relasi kekuasaan Foucault, dari diskursus yang sama coba
dipelajari pula sejauh mana hadirnya dominasi atau bahkan hegemoni dalam
pemikiran Gramsci sebagaimana dimaksud Rosengarten (www.
Marxist.com)3
Dalam penelitian ini kerangka teoretik kelestarian sebagaimana telah
diuraikan di atas – dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1 – digunakan
sebagai alat bantu dalam menakar dan memahami diskursus yang telah terjadi
terkait arah, tujuan dan orientasi kelestarian hutan dan kebijakan usaha
kehutanan. Gambar 2 menujukkan kerangka pendekatan ini secara skematis.
Gambar 2 Kerangka Pendekatan
2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara, dan On-Line Pooling
Bahan empiris untuk penelitian ini terdiri dari dokumen tertulis, dokumen
hasil wawancara mendalam dan hasil on-line polling sebagai pengayaan dan
sekaligus verifikasi. Dokumen tertulis, terdiri dari peraturan perundangan,
peraturan turunannya dan beberapa dokumen terkait lainnya yang
keseluruhannya mengatur dan atau memiliki keterkaitan substantive dan
3 Disebutkan Rosengerten, bahwa beragam tafsir atas teori hegemoni Gramsci. Namun, teori itu merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX yang diangkat Gramsci (1891-1937). Gramsci dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori ini dibangun atas anggapan pentingnya pikiran atau ide, karena kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik tidaklah cukup. Gramsci memosisikan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas kelompok lainnya. Agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni”. Dengan begitu, hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekomomi dengan kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976 dalam www.Marxist.com). (lihat juga www.averroespress.net ).
38383838383838388388883883888883883883888888838888388388383883888383838888888883883883888888888838888888883888888888888338383383833838883338388888888883888383383888883888883888838338388
Mil
dipe
pem
Ma
dididididididididididiiididididididididididididididididddididdiddiddididdididididdididddddiddiiidididdddiddd uuuuuruuurururuuuuuuuuuuruuurururuuuuuuruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuruuuu
seseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeerkrrrrkrkrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
kekekekekeeeekekekekeekekkekeeekekekekekkkekekekekkkeeeekeekeekeeekkekeeeeeeeeekeekekekeeeeekkkekeeeeehhh
2.
BaBaBaBaBBBaBBaBaBBaBaBaBaBaBaBaBaBaBaBaBBaBaBaBaBaBBaBaBaBaBBaaBBaaaaBBaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
hahahahahhahahahahahhahahahahahahahahahhahahahahahahahahahahhhahahaahahahahahahahahhahahaahahhhahahaahahahhahaahhhhaahhhhhahhhaahaahahhhaah sss
seseseseseseseseeseseseseeseeseseessesesssesesesesseeseeeeeeeeeekkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
pepepepepepepeepepepepepepepepepepepeppeepepepepeppepepepeppepepepepppeppppepepeppepeppepppeeepepepepepeppppepppepeppppp rarr
kekekekekekeekekeekekekekekekekekekekekekekekekekeeekekeekekkekeekeekekkekeekekekkeekkeeeek ssssssssssssssssssssssssssssssssss
3 Dissebbbbbbbbbbbebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbebbbbbbbbbbbbbutkutkututkkkkutkutkutkututkkktkkktktktkkktkutkutttttkutttuttututuutttpolitiiik pk pk pk pk pk pk pkk pk pk kkk pkkkk kkkkk pkk pkk pk pk ppppppaliaalaaaaaaaaaaaaaaaasetelaaah Mh MMh Mh Mh Mh Mh Mh Mh Mh Mh Mh Mh Mh MMh MMh Mh MMMMMh Mh MMMMh Mh Mh MMhh Mh MMh Mh Mh MMh Mh Mh MMMMh Mh MMh Mh Mh MMh Mh Mh MMh Mh Masosiall popopopopopopopopopoppopopppppppopppppppoppopppppp lililililitlillilillitlillillililiiiliiiiiliiiiikelommmpmpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppokokkoooookkkokok okokok okokk mempppunuunununununpunuunuuuununuupunuuununuuuunuuunuuunuunnnnunuuunuunu yayayayayayyyaayyyaayyyaaayyyyyyperseeetttujuujuuujuuujujuuujuujuujuujuujuujuujuuuuujuujuuujuujuujuujuujujujuuujuuujuujuujuuujuuuuuuuuuuuuuujj anaahakekkkakakaaaaaaaaaaaaaaaatnytnytnyttnytnytnynyytnynynynyytnytnynytnynnytnytnyytnytnyytnynytnynynyyytnyynytnytnyytnyynynynnnntnnnnyyaadengaaanannnnnnnnnnnnnnnnnnnnn ke ke kkkk kkk kke kkkkkkkkeke kkkkk k kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk r
39
historis dengan kebijakan usaha kehutanan, termasuk di dalamnya sejumlah
dokumen surat perjanjian kehutanan (forestry agreement) dan dokumen surat
keputusan pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan IUPHHK-HA.
Dokumen tertulis lainnya mencakup dokumen yang bukan merupakan
peraturan perundangan, namun mengandung diskursus penting dan unsur
historis yang relevan dengan dan memengaruhi isu kebijakan usaha
kehutanan. Bahan empiris ini diperoleh dari berbagai sumber, terutama dari
jajaran Kementerian Kehutanan, dan dipilah dalam kurun sebelum dan
sesudah 1998 sebagaimana tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan Empiris yang digunakan dalam analisis
Bahan Empiris Sebelum 1998 Sesudah 1998 Dokumen Peraturan Perundangan
UU No. 5/67; PP 22/67; PP 21/70 (jo PP 18/75) Forestry Agreement (FA); SK HPH
UU 41/99 PP 6/99; PP 34/2002 jo PP 6/2007 jo PP 3/2008, SK IUPHHK
Hasil wawancara berupa pandangan langsung para informan atau narasumber
kunci yang mewakili kelompok-kelompok utama para pemangku kepentingan
dengan usaha kehutanan, yakni kelompok birokrat, akademisi, praktisi usaha
kehutanan, dan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam
wawancara diangkat sejumlah pertanyaan kritis yang disintesa dari hasil
telaah dokumentasi tertulis yang dituangkan dalam beberapa pointer
pertanyaan terbuka4 untuk menggali pandangan umum terkait relasi atas hutan
alam, usaha kehutanan, kelestarian dan kebijakan usaha kehutanan.
Wawancara pendahuluan dilaksanakan dalam Agustus-September 2010 di
Jakarta, Sarolangun (Jambi), Pontianak, Sintang dan Putussibau (Kalimantan
Barat). Wawancara pendahuluan fokus pada menghimpun masukan awal yang
menguatkan penentuan kunci kebijakan (key policy milestone) terutama dari
birokrat, praktisi usaha kehutanan dan beberapa konfirmasi dari masyarakat
sipil yang ditemui. Wawancara lanjutan/mendalam dilaksanakan dalam kurun
Februari-Mei 2011 di Jakarta, Bogor, Sarolangun (Jambi), dan Samarinda
4 Untuk beberapa kasus, pertanyaan diselipkan dalam perbincangan lain yang topiknya memiliki keterkaitan dan relevansi yang erat, misal pada saat dilakukan FLEGT-SP assessment sewaktu peneliti bekerja sebagai konsultan paruh waktu pada AGRECO G.E.I.E, Brussel; atau saat melakukan beberapa diskusi terfokus sewaktu peneliti menjadi research coordinator pada APSI Project, yang merupakan riset kolaborasi antara CSIRO-AUSAID-WB-Bappenas.
44444444444444444444444 UyyayyyyyyyyyyyyAAAAAAAAAAAAApppapppppppppppppppppppppp
40
(Kalimantan Timur) dengan menghimpun pandangan langsung dari para
pemangku kepentingan5 dengan dipandu pertanyaan sesuai kelompok isu:
Hutan Alam Produksi Luar Jawa, Usaha Kehutanan, Kelestarian dan
Pengelolaan Hutan Alam produksi, dan Kebijakan Usaha Kehutanan
(Lampiran 2).
Hasil on-line polling6 yang dilaksanakan via jaringan internet
diperlakukan sebagai upaya menguatkan dan memperkaya argumen empiris
sekaligus verifikasi untuk mengonfirmasi kebenaran, koherensi dan
konsistensi terkait upaya implementasi kebijakan usaha kehutanan. On-line
polling dilaksanakan dengan memanfaatkan Google-Form7 yang
dilangsungkan dan ditebar di empat mailing-list sekaligus8 selama sebulan
penuh, dimulai 1 April 2011 dan ditutup 30 April 2011 jam 00.00. Daftar
pertanyaan on-line polling merupakan versi singkat dari daftar pertanyaan
yang digunakan dalam wawancara mendalam dengan kelompok isu yang
sama. Screen shot dari format on-line polling dapat dilihat pada Lampiran 3.
Berikut adalah tipologi para peserta on-line polling (Tabel 2) dan narasumber
wawancara mendalam (Tabel 3)
Tabel 2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling
Kelompok Stakeholders % Pengalaman (Th) % Domisili (2) %Masyarakat Sipil/NGO 38,10 1-5 4,76 Medan 9,52 Birokrat 19,05 6-10 14,29 Bandarlampung 4,76 Akademisi 9,52 11-20 33,33 Jakarta 9,52 Praktisi Usaha Kehutanan 9,42 21-30 38,10 Bogor 33,33 Campuran(1) 14,28 31 dan lebih 9,52 Yogyakarta 4,76
Samarinda 4,76 Pangkalan Bun 9,52 Seattle, WA 4,76 Hongkong 4,76 Landskrona,Swedia 4,76 Baton Rouge, LA 4,76
Catatan: (1) mengindikasikan diri lebih dari satu komponen stakeholders (2) saat pengisian polling Kyoto, JP 4,76
5 Karena alasan ketidak sesuaian waktu untuk temua muka, beberapa wawancara dilakukan via skype, yahoo-messenger, dan adapula via email. Daftar narasumber disajikan pada bagian lain.6 Berupa informasi dan bukti fisik yang digali secara provokatif pro-active dari responden lain, termasuk yang di daerah/lapangan 7 Thanks to Google: https://spreadsheets.google.com/viewform?formkey=dGlqT2hSSXc2cGhkSTVoWVVxd0RDanc6MQ8 Komunitas rimbawan ([email protected] ), komunitas tenurial hutan ([email protected]) , kelompok kerja keuangan kehutanan dan pencucian uang ([email protected]), serta komunitas alumni kehutanan IPB ([email protected]). Pemilihan keempat mailing list ini lebih didasarkan pada pengamatan dan keyakinan peneliti, bahwa keempatnya merupakan “kolam pengetahuan dan pengalaman” baik dari sisi empiris, praktis, historis, maupun akademis terkait isu kehutanan umumnya, dan usaha kehutanan khususnya.
44040404040404040040000400440000404004004004000004040000400400404040404004000400404040000004000400400400000000040000000040000000000004404044040044440044004444040040000000044000404404000000400000040400404400
(Ka
pem
Hut
Pen
(La
didididdiiddiiddiiiiiididididdiiddiiiiiiiiiididiiididiiiddiiiiiidddiiipepppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
seseseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kokokokokooookokokokookokkokoookokokokokkkokokokokkkooookookookoookkokoooooooookookokokoooookkkokooooonn
popopooopopopoooooopooooooopooooopopoooppoooooopopopooopooooooooooooooooooooooooopppp lllllllllllll
dididiiidididiidiiiiiiiiidiidiididiidididdiidiididididiiiiiiiiiiiidiididdiiiiiddiiidiiiidiiiilllllallllllllalllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
pepepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeepepeeepeeeeeeepepepeeeeeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnn
pepepeeepeepepepeeepepepeeeeeeeeeepeeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeepepepeeeeeepeeeeerrtrrrrrrrrrrrrrr
yayayayayayayayayaayayaaaaaaayyayaaaayaaaayayayaayyaaayyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayaaaayaaayaaaaayyaayayaayay nnnnnnnnnnnnnnnnn
sasaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaammmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
BeBeBeBeBBeBeBeeeBeBeBeBeBBBeBeBeBeeBeBeBeBeBBBeBeBeBeBeBeBBeBeBeBeeBeBeBBBBeBBeBeeeBeBBBeBeBeeeeeeeBeBBeBeBeBeBeBeeBeeBBBeBeBeBeBeBeeeer
wawawawawawawawawawaawawawawawawawwawawwawawwawawawawawawaawawwaaawwawwawwaaawawaawawaaaawaaaaaaawawaawawwawaaawwwawwaaawwawawaw
Tab
KelooompMasssyaraBiroookrat AkaaademPrakkktisi UCammmpppppura
Cataaaaatatatatttatatatattatatatatatatatatatatatatatataaaaaaaataaaaattaaatttaaataaaaaaaaan:nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn(1) mmmemeemememememememeeememememeemememeeemeeememeemeeeemeemeeeeememeeeeeeengngngngngngngngngngngngnngngnngngngngnngngnnnnngngngnngnnnnngngngnngngnggggi(2) ssaaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaaaatatttatatatattaattattattttattttttatataatataa p p pp pp p pppp pppppppp
5 Karrenaeenaeenaeenaeeeennaeeenaennaenaenaeeenaenae aaaaa a aaaaaaaaaaaaa aa aaaaaaaaa dan aaadddddddddddddddddddddddddddddddddddddapuapuuapuapuaapuaaaaapuappapuaaaaapuapuapapuapapuuapuaaaaapua uaaapuuuaaaapuuaaaaaa lll6 Berruupupuppupppppppupppuppuppa aaaa a ia a ia a a a aa a a a aa a aaaaaaaa aa ndaeraaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh/la/la/la/la/l/la/la/la//la/la/l/la/la/la/la/la/l/la/la/la/ll/la/la/la/la/la/lala/la/l/l/la//lal/la/l//la////lal/lala/lala/la//llaa/laa/llala/lal/ a/lalala/l papppppppppppp7 Thaaanknknkkkknknknnkknknkknnknknknknkknknnnknkknks ttts tttts ttttts ttttts ttts ts ttts tttts tttooooooooo8 Komumumumuumuuuuumuuumumuumumumumuumummumumumumummmummumumuuuumumumuuuummmumummm nititittniiiiiniiiinininiiiininiitiiiiniiiniiiilandttenenennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnureureureureureuuureuuureureeureureuureureuuureeeureureureureeuu eeuuureemembberberberererereererrreereerereereeeeee s@ssssssss@ssssss@sssssssssssssssssssssssssskeemmmpapapapapaaaapapaaaapaaaaaaaapaaaaaaapaapaaappaaaapppp tt tt mt mt mt mt mt mt mtt mt mt mtt mmt mt mt mt mtt tt ttttttttttt ttttpengeeetettttttttttttttttttttahuahuahuahuaaahahahahahahahhhahahuahuahahahahhahhahahhhhhahuahahahuhahhhhuhahhhhhhuhhuahahahaahhahahhaahhaaahaahhaahhuadan uuussssssssssahahaahahaahaahaahaahaahaahahahaahhhaahaaahahaahahahhhahaahahahaahahaahahahaahaaaahaahaahhahahhhaaahahahhahaahaahhhahaa k
41
Tabel 3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai
Komponen Stakeholders Posisi saat diwawancarai Catatan Birokrat Mantan Menteri Kehutanan Era sebelum dan setelah
1998, masing-masing satu orang
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional
Mantan Ditjen BPK, Dephut
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan antar Lembaga
Mantan Staf Ahli Menteri Bidang lain
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan
Mantan Ditjen Planologi, Dephut
Staf Khusus Menteri Kehutanan Mantan Sekjen Dephut Peneliti Senior Bidang Kebijakan Kehutanan, Litbang Dephut
Mantan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi
Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi, Dephut Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Hutan Wil II, Ditjen Planologi, Dephut Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan; Ditjen BUK Kasi Sarpras KHM pada Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, Jambi
Masyarakat Sipil/NGO Direktur Eksekutif (Executive Director)
NGO nasional (2) dan NGO Internasional Indonesia Program (1)
Specialist Pada Donor International Project
Akademisi Dosen Fakultas Kehutanan (Jawa dan Luar Jawa)
Dua orang Profesor, satu orang mantan dosen bergelar Master
Praktisi Usaha Kehutanan Manager Camp di Unit Management
UM di Kalimantan Timur - anggota APHI
Manager Perencanaan di Unit Management
UM di Kalimantan Timur (1) dan Kalimantan Barat (1) - keduanya anggota APHI
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI)
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI)
Catatan: Contoh Transkrip Wawancara dapat dilihat pada Lampiran 15.
3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus
Dari bahan empiris yang telah terhimpun (Tabel 1) ditetapkan sejumlah bahan
tertulis, terutama produk peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum
usaha kehutanan, sebagai kunci kebijakan (key policy milestone) atau sebagai
representasi output dari proses kebijakan usaha kehutanan saat itu (ex-post)
KB
MMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM
A
P
42
masing-masing untuk sebelum dan setelah 1998. Sedangkan data dan
informasi terkait dengan kondisi, situasi dan kinerja usaha kehutanan
dirangkum, disintesa dan diposisikan sebagai representasi output dari
implementasi kunci kebijakan itu dan kebijakan turunannya dan atau
penopangnya.
Terhadap keseluruhan dokumen kunci kebijakan dilakukan telaah
dokumen. Sebagai upaya klarifikasi atas hasil dan proses telaah dokumen ini
dilakukan pula wawancara mendalam dengan para pihak pemangku
kepentingan. Selain wawancara mendalam, untuk penguatan dan pengayaan
argumen empiris, dilakukan pula online polling melalui internet. Sementara
itu terhadap data dan informasi usaha kehutanan dilakukan pula sintesis untuk
memotret (snapshot) sejauh mana kinerja usaha kehutanan selama kedua
periode. Potret atau snapshot ini digunakan antara lain dalam menakar
seberapa senjang (gap) antara realitas yang terpotret dengan tatanan kebijakan
usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen kunci kebijakan.
Aspek kelestarian, termasuk di dalamnya pemosisian hutan alam produksi
digunakan sebagai penapis dalam menakar kesenjangan dimaksud. Secara
skematik tahapan ini sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Prosedur Analisis Diskursus
442424242424242422422224224422224222422422422222424222242242242424242242224242424222222422242242242222222222422222222422222222222244242442424444244222444242422242222224422242442242222224222242422242442
mas
info
dira
imp
pen
dodododdoooddoooododooooooododdoddooddoooooooodooooodoooodoooododooooddoooooooododdoooookkkkkkkkkkkkkkk
didididiididididiididiiiiididiiiidididiiiiiiiidiididiididiiiiiidiiiiiidiididiidddiiidiiiiiiidiiiiiiilallalllllllllllllllllllllllllllllllllll
kekekekekeeeekekekekeekekkekeeekekekekekkkekekekekkkeeeekeekeekeeekkekeeeeeeeeekeekekekeeeeekkkekeeeeeppp
arararrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgugggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
itttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttu u u uuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
memememmmemememememememememmeemememmmemmmmmmememmmemememememmmemmmmmmemmmmmeemememmmmmemmemmemmmemmmmeemmeememmmemmmmemmmmmmmmmmmmmmeem m
pepepeeepeepepepeeepepepeeeeeeeeeepeeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeepepepeeeeeepeeeeerirrrrrrrrrrrrrrr
seseeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
usususussusussususssususssusususssususssssususssssususssussuusssssussssssssssussssssusssssussssussusssssussusssssssaaaaaaaaa
AsAsAsAsAAsAsAsAssAsAsAsAsAAAsAsAsAsAsAsAsAsAAAAsAsAsAsAAsAsAAsAsAAsAssAsAsAAAAsAAsAssAsAsAAAAAsAsAsssssAsAAAsAsAAsAsAAsAAAAAAAAAsAsAsAsAsAssssp
dididididdiidiidididididiidiiiidiidididididididiidiiiiididiididiiidiididiiiiidididiididdiddididiiidididdddidddidiiidd gugggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
ske
43
Analisis diskursus berupa analisis isi dan narasi dilakukan saat melakukan
telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil
polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar9 disusul dengan
analisis isi dan narasi. Analisis isi merujuk pada Holsti (1969) berupa
penarikan inferensia atau simpul atau pokok-pokok pikiran. Dalam analisis isi
ini, dilakukan pengkodean (coding) dan kategorisasi untuk masing-masing
setiap paragraph dari bahan hasil ihtisar, khususnya untuk teks dokumen
kebijakan, kedalam empat dimensi Bolman and Deal (1991)10. Hasil akhir
pengkodean dapat memberikan gambaran, bahwa dari sisi dimensi
keorganisasian, kebijakan usaha kehutanan ada di dimensi mana: rational,
human, politics, atau symbolic. Dalam pengkodean digunakan kata kunci yang
diadopsi dari Bolman and Deal (1991) sebagaimana tercantum pada Lampiran
4. Hasil pengkodean sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Contoh
hasil analisis isi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Analisis narasi merujuk Bernard (2000) dan Denzin (1989), yakni mencari
dan menetapkan pola-pola pokok dalam narasi. Menurut Graffin (1993 dalam
Liang dan Lin, 2008) narasi adalah sebuah bangunan analisis yang
menghimpun berbagai kejadian atau fenomena yang dirangkum kedalam
deskripsi singkat. Kerangka teoretik kelestarian digunakan sebagai takaran
utama dalam melakukan berbagai analisis ini. Contoh hasil analisis narasi
dapat dilihat pada Lampiran 7.
Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para
pihak, dari hasil analisis isi dan narasi di atas dilakukan pula transformasi dan
pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-kuantitatif, termasuk dalam
9 Dalam membaca, menyarikan dan mensintesa bahan-bahan empiris, peneliti juga menggunakan antara lain Sistim Ikhtisar Dokumen Bahasa Indonesia (SIDoBI) ver 2009 yang merupakan on-line static sofware yang telah dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Indonesia. Untuk pengkodean dan pengkategorian bahan-bahan empiris, terutama hanya beberapa yang berbahasa inggris, digunakan software N-Vivo Ver 2002 buatan QSR International Pty Ltd, Melbourne, Australia. 10 Keempat dimensi itu adalah rasional (rational), kemanusiaan (human), politik (political), dan simbolik (symbolic).Dijelaskan, bahwa dalam dimensi rasional, organisasi digerakan oleh berbagai strategi, dan peran manajemen adalah mensejajarkan berbagai strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Dalam dimensi manusia, isu sentralnya bagaimana menggabungkan berbagai kebutuhan manusia dengan rasionalitas keorganisasian. Dari dimensi politik,kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya terpaksa membalikkan politik organisasi. Simbol memainkan peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam domain rasional, poin kehidupan itu adalah pilihan. Namun, hidup dalam berbagai organisasi antara lain hanyalah terkait pengambilan keputusan (March/Olsen 1976 dalam Bolman and Deal, 1984). Pembuatan keputusan sering sebagai arena untuk berbagai aksi simbolik. Dengan keempat dimensi ini Bolman and Deal (1984) memastikan ciri sebuah organisasi dalam menjalankan dan menegakan aturan main: seperti apa keseimbangannya dan kira-kira lebih cenderung ke dimensi yang mana.
9999999999999999999999999999999999999999999999999 D DDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDPePPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPemeemeeeePtPPPPPPPPPPPPP101 DDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDmmmmmmmmmmbbbbbabbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbkkekekkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkpepepeppppppppppppppppppppppppppbebebbbbbbbbbbbbbbbbbb1911DDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDkekkkkkkkkkkk
44
bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik fenomena atau pokok-
pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Diadopsi pula kuadran
Alvesson and Karreman (2000) yang dalam penelitian ini dinamai frame B.
Alvesson and Karreman (2000) menggunakan dua dimensi (absis dan ordinat)
dengan empat kuadran11.
Untuk melihat kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas
pelaksanaannya, khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009 melalui
pendekatan Birkland (2001) yang menekankan aspek proses perancangan
kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan
kebijakan itu sendiri (Gambar 4). Dengan ketiga arus ini Birkland (2001)
mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan
implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan (Tabel
4). Dengan berbagai pertanyaan ini hasil analisis diskursus yang sama –
selain dipetakan kerangka pikirnya – ditelaah lebih lanjut untuk mendapatkan
gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya.
Dari hasil telaah ini ditarik sejumlah rekomendasi terkait langkah dan agenda
pembaruan kebijakan usaha kehutanan.
Gambar 4 Proses konstruksi kebijakan (Birkland, 2001)
11 Dimensi pertama (absis) menggambarkan hubungan antara diskursus dengan makna yang merentang dari kondisi rontok (collapsed) di ekstrim kiri – dinamai pula sebagai titik discourse determination, sampai tak ada hubungan sama sekali (unrelated) di ekstreem kanan, titik ini dinamai discourse autonomy. Diantara dua ekstrim ini terdapat dua titik lain segaris yang posisinya proporsional, yakni terkait erat (tightly coupled) di bagian kiri dan terkait longgar (loosely coupled)dikanannya. Dimensi kedua (ordinat) menggambarkan lawas diskursus yang merentang dari diskursus mikro (micro discourse) di ekstrim atas dikenal dengan sebutan kepedulian-jangka pendek (close-range interest) dengan konteks situasional dan lokal (local situational contexts) sampai diskursus mega (mega discourse) di ekstrim bawah disebut sebagai kepedulian jangka-panjang (long-run interest) dengan konteks sistem-makro (macro-system contexts). Diantara kedua ekstrim ini ada dua titik segaris lain yang letaknya proporsional, yakni grand dan meso discourse.
4444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444
ben
pok
Alv
Alv
den
pepepepeeepeeeeeeepeeeeepeeeeeepeeeeepeeeeeeeepeeeepeepeeepeeeppp lalllllllllllllllllllllllllllllll
PrPrPrPrPrPrPrPrrrrrrPrrrrrPrrPrPrrrPrrrrPrPrrPPrrrrrPrPrrrrrrrrrrrPrrPrrPrrrrrrrrPrrrrrPrrPrrrrrrrrrrrooooo
pepepepeeeeeeeeeeeeeepeppeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeeepepeeeeepeeeeepeeeepeeep nn
kekekekekekekeekeekekekkeeeekekekekekkkkekeekekekeeekeekkekekeekeekeekekeeeeeeeekeeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
kekeekekeeeekekekeekeekeekeekekeekeekekekeeeekekeekekekkeekeeeekeeeeeeeekeekeeeekekeeeeekekeekeekeeeeekeeekekeekekebbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
memememmmemememememememememmeemememmmemmmmmmememmmemememememmmemmmmmmemmmmmeemememmmmmemmemmemmmemmmmeemmeememmmemmmmemmmmmmmmmmmmmmeem n
immmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmpppp
4)4))))4))))4)4)4)4)))4)))))))))))4)))))))))))4)))))44)))))))))4)))))))))))))))4444))4))))4))))44))))))). . . ....................
seseeeeeeeeeeeeseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeellallllllllllllllllllllllllllllllllllll
gagagagagaagagaaaaaagaaaagagagaaaagagaaaaaaaaaaaagaaaaaaaaaaagaaaaaaaagaaagaagaaaaaaaaaaaaagaaagaaaaaaagag mmmmmmmmmmmmmmmmmm
DaDaDDaDaDaDaDDaDaDaDaDaDaDaDDDaDaDaDaDaDaDDaDaDaDaDDaDaDaDaDaDaDaDaaDDaDaDaDaDDaDaDaDaDaDaDaDDaaDaDaDDaDDaaDaaDaaaaaaaaaaDaDaDaaaDDDaaDDaaar
pem
11 Dimmmenmenmenmennmenmenmennnmenmenmenmennnmennnmenennmm nnnnnnnnnmennnnnnnnnnssissss(collaaapapppppappppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppsedsesedsedssedsesessesesesesesesesessedsesesesesesesesesesesesssseseseseseseesseeseesseseseseseseseses )dd(unreeelalalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaateddtedt ddddtedddddtedtedddddtedddteddteddteddddteddd)))ddddyang ppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppposiosiosiosioosiosiosiosiosiiiosioooosiiiiosiosiosiosiosiosiosiiiio iiosiiiiooooooosiosio sssdikannnaaaaaaaaaaaaaaaaannynnynnynnnynnynnynnynnynnnnnnnnnnynnynnynnnnynnnnnynnynnynnnyyyynnynnyn yyynnynnnnnnn ynnynnnnyyaadiscooouuuuuuuuuuuuuuuurseseerseerserserserseeeerseeseeeeeserseseeseeeersrssssssserseeeeeesee) )situasssionionionionononiononnniononononioionnnionioniononononnononnnonnonnnonnonononnoononnnoonnonoonoo aaaalalalalaalaaaallallllaaaaaaakepeddduduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuulialialllilialialialialialiaiialialialialialillilililiailialiaaiialialiialiaiaiaiiiialiaaaiaaaaliallilliailiiil alliaai nekstriiim im im im im im im imm im im iim im im im im im im im im im iiim im im im iim iiimmm immm imm imm immmm iim nnninnnnnnnnnnnnnnnnnnn
45
Tabel 4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001)
Komponen Penjelasan (Pertanyaan yang perlu diangkat) Tujuankebijakan
Apa tujuan kebijakan: menghilangkan masalah? Sekedar mengurangi, tidak menghilangkan? Atau mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih buruk?
Modelsebab-akibat
Seperti apa model ini? Apakah kita tahu bila yang dilakukan X, akan dihasilkan Y? Bagaimana kita tahu ini, bagaimana bisa tahu?
Instrumen kebijakan
Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa dijalankan? Apakah instumen itu cukup mendorong? Apakah instrumen berupa insentif, persuasif atau sekedar informasi? Perlu upaya peningkatan kapasitas?
Sasarankebijakan
Perilaku siapa yang diharapkan berubah? Adakah sasaran langsung dan tak langsung? Apakah pilihan rancangan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi sasaran?
Implementasi kebijakan
Bagaimana kebijakan dilaksanakan? Siapa yang akan menata sistem implementasinya? Apakah akan top-down atau bottom up? Mengapa?
E. Limitasi dan Validasi
Harus diakui secara jujur, bahwa riset kualitatif sekaligus dengan pendekatan
diskursus ini adalah baru bagi peneliti yang sejauh ini lebih banyak bergerak
dan bekerja dengan pendekatan yang lebih banyak positivistik-normatif.
Lompatan perubahan dalam aliran berpikir ini dan sekaligus dalam cara
mendefinisikan dan mendekati persoalan memang menjadi sangat berat.
Dengan kondisi demikian, peneliti menyadari penuh bahwa riset ini tidak
steril dari berbagai keterbatasan (limitation). Beberapa keterbatasan ini
mencakup antara lain tapi mungkin tidak terbatas pada hal-hal (a) cakupan isu
yang menjadi entry riset ini, yang begitu luas, sehingga sekalipun
metodologinya dapat dibangun memadai, namun saat (b) penentuan metoda
analisisnya mendapat kesulitan yang tidak ringan; sehingga sebagai jalan
keluar, (c) beberapa metoda yang dirujuk tidak sepenuhnya diikuti secara
kaku, mengingat pelaksanaannya pun akhirnya harus kompromi dengan
ketersediaan, reliabilitas dan kelengkapan, validitas bahan-bahan empiris
resmi yang ontentik dan – tentu saja – waktu yang tersedia.
Namun, dengan berbagai keterbatasan di atas penulis telah berupaya untuk
tidak tidak mengorbankan validitas hasil riset kualitatif ini. Bahwa tingkat
EEEE
46
validitas masih belum optimal, dapat diterima, karena proses validasi memang
belum dilakukan optimal. Misalnya, beberapa temuan awal tidak semua
dikonfirmasi langsung dan konfirmasi ulang yang dilakukan beberapa tidak
kembali kepada informan yang sama, tetapi kepada informan dari kelompok
dan kualifikasi yang sama. Secara keseluruhan, validasi juga dilakukan
terhadap hasil polling dengan pemetaan satu-satu sesuai kelompok para
pemangku kepentingan yang teridentifikasi. Proses validasi ini tentu tidak
sekuat bila metodanya diikuti secara kaku, misal dengan menggunakan
koefisien Cohen’s Kaffa, yakni satu atribut statistik untuk ukuran kualitatif12.
Dengan keterbatasan itu pula, peneliti memosisikan hasil riset kualitatif ini
bukan hal final, tetapi analog dengan sebuah sketsa lukisan di sebuah kanvas
yang cukup besar yang sudah mulai tampak gambar besarnya, namun perlu
penyempurnaan di tingkat mikro. Harapannya, tentu para peneliti berikutnya
di masa datang dapat masuk dengan topik di tingkat mikro untuk
menggenapkan sketsa dimaksud. Sebagai gambaran, berikut peta jalan (road
map) awal yang mungkin dapat ditempuh dengan beberapa topik penelitian
lanjutan untuk menggenapi sketsa makro di atas. (Tabel 5).
Tabel 5. Peta Jalan (Road-map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Topik Riset Opsi Metoda Harapan atas hasil riset ini
Kelestarian Posisi Hutan Alam
Kebijakan Usaha Kehutanan
Diskursus dan atau Diskursus analisi kritis dan atau teori hegemoni
Konfirmasi sekaligus penguatan secara detail kehadiran dominasi dan hegemoni kekuasaan
Sebagai gambaran, dalam Tabel 6 dapat dilihat beberapa riset kualitatif
dengan pendekatan antara lain dengan berbagai analisis diskursus seputar
kehutanan dan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah dilaksanakan di
manca-negara yang beberapa diantaranya diacu dalam riset ini.
12 Smeeton (1985) dalam www.wikipedia.com diunduh 6 Maret 2010.
44646464646464646646666466446666464664664664666664646666466466464646464664666466464646666664666466466466666666646666666646666666666664464644646644446644664444646646666666644666464464666666466666646466464466
vali
belu
diko
kem
dan
teteeteteteteteteteeteeeteteteteteteteteteteteteteteteteteteteeeeteteeeteetetteteeteteteeeetettteeetetett rhrhrhrhrhrhrhrhrrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrrrrhrhrhrhrhrhrhrhrhhrrhrrhhrhrhrrhrhrhrhhrhrh
pepepepeeepeeeeeeepeeeeepeeeeeepeeeeepeeeeeeeepeeeepeepeeepeeeppp mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
seseseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekukkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kokokokokooookokokokookokkokoookokokokokkkokokokokkkooookookookoookkokoooooooookookokokoooookkkokoooooee
bubuuuuuuububuuuuuuuuuuuuuububuuububuuuuuubuuuuububuuuuuuuuuuuuuuuuuubuubuuubuuuuuuuuuuuuuuuuuuubuuuuuuubuubuukkkkkkkkkkkkkkkkk
yayayayayaaaaayaayayayayaaayayayayaaaaaaayaaaaayayayaaaaayayaaaaaaaaaaaayayayayayaaayaaaayayayaaaaaaaaaaaayaaayaaaaayaaaaayaaaayaaaaaaaaannnn
pepepeeepeepepepeeepepepeeeeeeeeeepeeepeeeepepeeeepeeeeeeeeeeeeeeepepepeeeeeepeeeeennnnnnnnnnnnnnnn
dididididididididiididididididiiiididiiidiidididididiiiiiiiiddidiiidiidiidiiiiiidiididiiididiiiiiiidiidi
mememmmmemememememeememememememememeeeememememmmmmmmmemmmemmmememmememememmmemmmmmemmmmmmmeemmmmememmemememmmmmmmmeememmmmmm n
mamammamamamamamamaaamaamamamamamamamaaaamammamamamamamammmamamamamamamamamaaamammammmmmmmmmaamammammamamaamamamamaaammmap
laaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanjnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
KePo
Ke
dedededededededdeddedededededededededededededddeddddedddededededededededeededdeeedddeeddedeeeededeededeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
kekekekekkekekekekekeekekeekekekekkkekekekekkkekekeekekkekekekekkekkekekkekekkekekekkkekeekkkkkkkekeekekkeekkekkeeeehhhhh
mamammmamamammmammmmamamamammmmmammmmamammmmmmmmamammamaammamaammammamammmmmammmmmmm n
12 Smmmeeteeteeteeteeteeteteeteteteeteeteteeteeteteteteeteeteeettetetetetttttttteeteeettttettttete onoooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
47
Tabel 6. Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara
Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Reda (2004) Discourse Analysis on the Ethiopian Government’s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet, Sweden
Analisis Diskursus dengan berbagai rujukan, termasuk MichelFoucault
Dianalisis diskursus dibalik kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi pemerintah Etiopia dalam memerangi proses penggurunan.
White (2002) A Discourse Analysis of Stakeholders’s understanding of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University.
Analisis diskursus konstruktivitist
Dianalisis pemahaman akan pengetahuan ilmiah yang diekspresikan dalam diskursus formal kebijakan pemulihan ikan salmon di Pasific Barat Laut
Rova (2001) When Regulation Fails: Vendace Fishery in the Gulf of Bothnia. Marine Policy Vol. 25: 323-333
Analisis Diskursus
Dianalisis hubungan tiga hal sekaligus: karakteristik sumberdaya, kondisi sosial para pihak pemangku kepentingan dengan ikan vendace (Coregonus albula L) di Teluk Bothnia untuk memperoleh gambaran penataan kelembagaan yang diperlukan.13
Arts and Buizer (2009) Forests, discourse, institutions: A discursive-institutional analysis of global forest governance. Forest Policy and Economics. Vol. 11 (2009): 340-347
Analisis Diskursif-Kelembagaan
Dianalisis bagaimana dan seberapa jauh proses-proses tatakelola dapat dipahami lebih baik melalui analisis diskursus dan antar-muka dari ilmu pengetahuan-kebijakan. Berfokus hanya pada diskursus, tapi dilakukan dari perspektif kelembagaan.
Blaikie dan Sussan (2001) Understanding Policy Processes: Livelihood-Policy Relationships in South Asia. Working Paper 2. Departemen for International Development, UK.
Analisis kebijakan dan analisis proses kebijakan
Memahami proses kebijakan, analisis proses kebijakan dan memahami cara-cara dimana pengaruh berbagai kebijakan pembangunan di Asia Selatan atas mata pencaharian si miskin. Lebih merupakan tinjauan atas pendekatan-pendekatan analisis kebijakan.
Hewitt (2009) Discourse Analysis and Public Policy Research. Paper Series No. 24. Center for Rural Economy Discussion. Newcastle University,
Analisis Diskursus sebagai instrumen dari analisis kebijakan
Riset ini coba melacak berbagai perbedaan pendekatan dalam analisis diskursus yang telah dilakukan para analis kebijakan yang terinspirasi Foucault, seting dari sifat pendekatan pendekatan serta hal terpenting dari perbedaan itu dan menarik implikasi dari penerapan analisis diskursus pada proyek-proyek riset kebijakan pedesaan.
13 Telaah konseptual penulis atas makalah ini dapat di lihat pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Volume XIV No. 1 April 2008 113111 AAAAAAAAAAAAAAAAA
48
Tabel 6. (Lanjutan) Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Guzman (tanpa tahun) Focusing on Forest Not the Trees: A Critical Review of Knowledge and Learning Concepts. Griffit Business School, Griffith University. Australia.
Analisis diskursus kritis
Telaah kritis atas pengetahuan dan konsep pembelajaran. Yang ditelaah adalah aspek penting dari asumsi pilosofis yang menonjol seputar isu kekuasaan dan sifat ilmu pengetahuan. Hutan dan kayu, digunakan sekedar analogi dalam telaah.
Wittmer and Birner (2005) Between Conservation, Eco-populism, and Developmentalism: Discourse in Biodiversity in Thailand and Indonesia. CGIAR Systemwide Program on Collective Action and Property Rights, IFRI, Washington DC, USA
Diskursus analisis terkait konsep sistem nilai, story line dan koalisi
Riset ini mengkaji peran diskursus dalam kaitan konflik seputar kegiatan konservasi di negara-negara tropis. Riset fokus pada pertanyaan kunci apakah dan seberapa jauh komunitas lokal dibolehkan hidup dan memanfaatkan sumberdaya di dalam areal yang dilindungi. Kasus: Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi (Indonesia) dan Kehutanan Masyarakat di Areal dilindungi (Thailand)
Philips et al (2004) Discourse and Institution. Academy of Management Review 2004 Vol.29 No. 4: 635-652
Analisis Diskursus
Menelaah proses kelembagaan melalui diskursus dan kebahasaaan dengan pertimbangan bahwa bahasa penting bagi proses pelembagaan; pelembagaan terjadi karena aktor berinteraksi dan dapat menerima definisi bersama tentang realitas yang semuanya berlangsung melalui proses-proses berbahasa dalam mendefinisikan dan mengkonstruksi realitas.
F. Ringkasan
Merujuk pada sekumpulan konsep dan teori seputar kebijakan, analisis
kebijakan, diskursus dan diskursus kelestarian hutan lestari, kerangka
metodologi penelitian ini dirumuskan. Dari konsep dan diskursus kelestarian,
telah pula disintesis kerangka teoretik kelestarian, termasuk di dalamya
pemosisian hutan alam – sebagai instrumen penakar dalam keseluruhan
analisis diskursus yang dilakukan.
Peneliti mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) yang
fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan
(gap) yang ada untuk menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam
konteks tertentu (valuatif) dan sekaligus menawarkan kerangka pembaruan
termasuk aliran pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan.
Asumsinya, pembuatan kebijakan terutama implementasinya tidaklah linear,
448484848484848488488884884488884848848848848888848488848848848448488488848484848888884888488488488888888884888888884888888888888448484484844448448884444848488488888844888484484888884888884848884844888
SuGuFoTreKnCoSchAuAuAuAuAuAuAAuAuAuAAAAuAuAAAuAuAuAuAAuAuAuAAuAAuAAAuAAAAAAAAAAAAuuuAAuuAAuAAuuAAuWiWWiWWiWWWiWWiWiWiWiWWWiWiWWiWWWWiWWWWWiWiWiWWiWWWWWWWiWWWWWWWiWWWWiWiWWWWWWWWWWWWWWWWWBeBeBeBBBBBBBBBeBBBBBBBBBBBBeBeBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBpopopppppppopoppopoppppopoppopopopppopoppoooppoppppopopooppopopppopppppppoppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp pDeDeDDDDDDDDDDeDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDiDDDDDDDiDDiDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDD sThThTThTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTCGCGCGCGCGCGCCCCCCCCCCCCCGCCGCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCGGGCCCCCCCCCCCCCCCCCPrPrPrPPPrPPPrPPPPPPrPrPrPrPPPPPPrPrPrPrPrPPPPPPPPrPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPrrrPPrroAcAcAcAcAAAAcAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAIFIFIFIFFIFIFIFIFIFIIFIIFFFFIFIIFIIFIFIFIFIFFFIFIIFIFIFIFFIFIFFIFIFIFIIFIFIFIIFFFFFIIIIFFFFFFFIFFFFFFFFIFFFIIFRPhPhPhPhPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPDiDiDDiDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDDD sAcAcAAAAcAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAReReRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRReRRRReRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR6363636366666363663663663666666636366666366336663663636366636666663363366363666366666666666666666666666666666666666666666666666 5
F. Rin
Me
keb
met
teteteteteteteteteteteteteteeteeeeteteeteeeeeteteeeteteteeeteeteteeeteeeteeeelalalalalalalalalalaalalalaalalallalaalalalalaaalaalalaalaalalalaaaaallaalllaalaa
peppepepppepepepepepepepepepepepepepepeppepepepepeepepepepepepeppepepepeepepeppepepeppeepeepeppeppepepeeppeeppepepepepepeppepeepppppp mmm
ananananananaanananaannnananananananannnananannnannnnnnaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnaaa
fofofofofofofofofofofffofofffofofoffofofofofffoffofofoffofffofofoofofooooofofofofoooffofofofoooffooooofooofofookkkkukkkkkkkkkukkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
(((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((ggagagagagagaaagaaaagagagaagagaagaagggggggg ppppp(((((((((((
kokokkkokokokokkokokokokokkokkokkokkkokkkokokkokokokokokokookookkkkokokooookokookkoooooooooooooooonn
tetettttttttttttttttettttermmrmmmmmrmmm
AsAsAsAAsAssAsAsAsAsAsAsAsAsAsAsAAsAsAsAAsAAsAAsAsAsAAAAsssAAsAsssAsssAssssAssAAsAsAAAAAsAsAsAsAsAssssssssu
49
dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian
tujuan dan kejadian.
Dengan asumsi tersebut, penelitian ini coba menerapkan analisis
diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-konsep dan multi-
disiplin yang dianggap tepat untuk mengurai kondisi chaotic. Diskursus
berfungsi menyederhanakan masalah-masalah yang rumit; berhubungan
dengan cara berpikir, dengan nilai-nilai dan dengan berbagai pendekatan
fundamental tentang berbagai isu. Diskursus juga merupakan upaya
mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan
legitimate tentang melakukan pembangunan. Analisis diskursus dalam
penelitian ini berciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan
Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pertimbangannya
lebih ke pragmatisme dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah
cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan; substantif lebih karena
peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen
empiris penting terkait kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha
kehutanan dibalik diskursus yang berkembang, sekaligus untuk menjawab
pertanyaan penelitian sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I. Memilih
kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan
kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya
alam itu sendiri.
Analisis diskursus dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis
maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen
diawali melalui penyiapan ikhtisar disusul dengan analisis isi dan narasi.
Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak,
dilakukan transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-
kuantitatif, termasuk dalam bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang
ditarik dari fenomena atau pokok-pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan
narasi.
Kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya dilihat
melalui pendekatan proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga
arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri. Ketiga arus ini
50
mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan
implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan.
Hasilnya digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha
kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Untuk hal ini secara khusus
dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
(kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009.
Disadari sepenuhnya, bahwa riset ini merupakan hal baru bagi peneliti dan
karenanya tidak mungkin steril dari berbagai keterbatasan. Namun begitu,
peneliti telah berupaya untuk tetap menjaga validitas hasil riset dimaksud dan
memosisikan hasil riset ini sebagai temuan pendahuluan. Peneliti menawarkan
semacam road-map untuk kelanjutan riset ini disertai gambaran
perkembangan riset serupa di mancanegara.
505050500505050050000500500000500500500000005000005005005005050050005005050000000005005005000000000500000000050000000000005505055050055500500555050005000000005000505505000000500000050005055050
men
imp
Has
keh
dian
(k(k(k(k(kk(k(k(k(k(kkk(k(k(k(k(k(k(k(kkk(k(k(k(k(k(kk(k(k(k(kkk(k(k(k(k(kk(k(k(k(k(k(kk((k((k(k(k(kkkk((kkkkk(k(((( ininininininiinininininininininiiniinininiininininiiiininininniiniinnniiniinininininninnin
kakakakakakakakaaaaaakaaaaakaakakaaaakaaaakakaakkaaaakakakaaaaaaaakaaaakaakaakaaaaaaaakaaaaakaakaaaaaaaaaaarerrrr
pepepepeeeeeeeeeeeeeepeppeeeeeeeeeeeeeeeepeeeeeeepepeeeeepeeeeepeeeepeeep nn
memememememememememeeemmememmmememememmememememeemmemmeeemmmemeeeemmemeemememememeemememmememeemmeemmmmmemem m
seseseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
pepepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeepepeeeeepepeeeeeeeeeeeeeeeeeeepepeeepeeeeeeepepepeeeeeeeeeeeepeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeerkrrr