Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

73
Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace, Persoalan Pembangunan PLTU Cirebon Tak Kunjung Usai Rabu, 14 Juli 2010 10:46 Alimah Sepekan lalu, Cirebon diguncang dengan peristiwa penangkapan 14 aktifis Greenpeace Asia Tenggara oleh Kepolisian Resort (Polres) Cirebon. Niat mulia menyuarakan dampak penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU, malah berbuah penangkapan. Para aktivis lingkungan tersebut ditangkap ketika tengah mengikuti acara promosi energi terbarukan dalam pertemuan regional Greenpeace dari tanggal 3 – 5 Juli 2010. Acara tersebut diadakan sebagai wujud penolakan terhadap beroperasinya PLTU batubara Kanci di Desa Waruduwur. Tujuan dari acara itu adalah mendesak pemerintah untuk menghapuskan batubara dan mulai memfokuskan diri pada sumber energi bersih terbarukan. Acara ini dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Indonesia, Cina, India, Filipina, dan Thailand, yang diharapkan dapat berbagi pengalaman dan menemukan keterkaitan dalam isu batubara. Namun dengan dalih telah melanggar pasal 42 UU Keimigrasian RI, Polres Cirebon menangkap 12 aktivis asing yang dinilai mengganggu

Transcript of Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Page 1: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace, Persoalan Pembangunan PLTU Cirebon Tak Kunjung Usai

Rabu, 14 Juli 2010 10:46 Alimah

Sepekan lalu, Cirebon diguncang dengan peristiwa penangkapan 14 aktifis Greenpeace Asia Tenggara oleh Kepolisian Resort (Polres) Cirebon. Niat mulia menyuarakan dampak penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU, malah berbuah penangkapan. Para aktivis lingkungan tersebut ditangkap ketika tengah mengikuti acara promosi energi terbarukan dalam pertemuan regional Greenpeace dari tanggal 3 – 5 Juli 2010.

Acara tersebut diadakan sebagai wujud penolakan terhadap beroperasinya PLTU batubara Kanci di Desa Waruduwur. Tujuan dari acara itu adalah mendesak pemerintah untuk menghapuskan batubara dan mulai memfokuskan diri pada sumber energi bersih terbarukan. Acara ini dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Indonesia, Cina, India, Filipina, dan Thailand, yang diharapkan dapat berbagi pengalaman dan menemukan keterkaitan dalam isu batubara.

Namun dengan dalih telah melanggar pasal 42 UU Keimigrasian RI, Polres Cirebon menangkap 12 aktivis asing yang dinilai mengganggu keamanan dan ketertiban social. Dua belas aktivis asing diduga telah melakukan penyalahgunaan izin visa. Penangkapan itu sungguh sangat mengherankan, terutama dengan tuduhan yang dilayangkan oleh pihak kepolisian kepada para aktivis. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa polisi tidak melakukan aksi penangkapan sedari awal kegiatan ini digelar, yakni pada Sabtu (3/7).

Ironisnya, tidak ada pembelaan maupun dukungan dari pemerintah setempat. Dukungan atas penangkapan para aktivis tersebut, hanya datang dari masyarakat dan sejumlah aktivis LSM. Pada Senin (5/7) drama penangkapan mereka memang telah berakhir, dua belas aktivis asing telah dipulangkan ke negaranya masing-masing, sementara dua aktivis asal Indonesia dibebaskan.

Page 2: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Dampak Pendirian PLTU

Meskipun drama penangkapan 14 aktifis Greenpeace telah berahir, namun lokasi dimana mereka ditangkap tetap menyimpan persoalan yang cukup kompleks. Yaitu persoalan yang ditimbulkan akibat pendirian pembangkit listerik tenaga uap (PLTU). PLTU Cirebon yang sedang dalam proses pembangunan, ini terletak di Kecamatan Astanajapura, meliputi 4 desa, yaitu Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, Waruduwur, dan Desa Citemu. Lokasi pembangunan  PLTU sangat dekat dengan pemukiman warga. Pembangkit ini hanya berjarak sekitar 10 Meter dari Desa Kanci Kulon, 450 Meter dari Desa Kanci Wetan, 15 Meter dari Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu.

PLTU ini merupakan bagian dari proyek pemerintah pusat untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara sebesar 10.000 MW. Sebelum tahun 2010 di seluruh Indonesia, Pemerintah berencana akan membangun 10 pembangkit baru di Pulau Jawa, dan 25 lainnya di luar pulau Jawa. PLTU Cirebon sendiri dibangun oleh pihak swasta (Independent Power Producer), Pemerintah menunjuk PT Cirebon Electric Power (CEP) sebagai pengembangnya. Pihak pengembang membutuhkan lahan seluas 108 Hektare untuk membangun PLTU Cirebon, sampai saat ini baru sekitar 65% lahan yang proses pembebasan lahannya sudah selesai.

Penolakan terhadap penggunaan batubara sebagai bahan baku pembangkit listrik didasari oleh begitu banyaknya fakta, dimana menunjukkan sangat luar biasanya dampak buruk penggunaan batubara. Terutama kepada masyarakat, dampak buruknya mencakup berbagai aspek, antara lain sosial-ekonomi, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Dampak PLTU tidak hanya dirasakan di tingkat lokal, tapi juga akan berdampak buruk secara global. Yang pertama kali dan paling merasakan dampak buruk dari penggunaan batu bara pada PLTU,  tentunya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembangkit. PLTU sendiri biasanya dibangun di daerah pesisir pantai, sebagian besar di daerah pedalaman, dimana masyarakatnya mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan kecil dan petani garam.

Golongan masyarakat inilah yang pertama kali merasakan dampak buruk dari pembangunan PLTU di daerahnya, karena dalam masa pembangunannya, PLTU kerap melakukan penggusuran dan pembelian lahan secara paksa kepada petani yang di lahannya akan dibangun PLTU. Petani-petani ini pada akhirnya akan kehilangan matapencaharian mereka, dan pada akhirnya akan mengalami proses pemiskinan karena tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

Hal yang sama terjadi juga pada nelayan-nelayan kecil yang mencari ikan di pinggiran pantai, dengan keberadaan PLTU mereka tidak lagi bebas untuk mencari ikan di lokasi biasa mereka beraktifitas, pihak PLTU melarang nelayan tersebut beraktifitas di sekitar lokasi PLTU, akhirnya sama seperti petani, nelayan-nelayan kecil akan kehilangan matapencaharian mereka satu-satunya.

Berdasarkan pengamatan Fahmina-institutte Cirebon pada Selasa (13/7) di lokasi pembangunan PLTU di Cirebon, masyarakat setempat di sekitar lokasi pembangunan PLTU terpecah menjadi pihak yang mendukung dan menentang pendirian PLTU di desa mereka. Pada tahun pertama

Page 3: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

didirikannya PLTU, tahun 2008, sebenarnya warga sekitar telah melakukan penolakan. Bahkan pernah secara terus menerus melakukan aksi penolakan setiap seminggu sekali. Dengan didampingi sejumlah oraganisasi masyarakat (Ormas) seperti persatuan nelayan yang tergabung dalam Pandawa, serta rakyat penyelamat (Rapel).

Belum Adanya Sosialisasi Dampak PLTU

Pada saat akan dimulai pendirian pembangunan, memang tidak disertai oleh dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang jelas. Namun PT CEP sendiri sebagai pihak pengembang bersikukuh, bahwa Pembangunan PLTU yang mereka lakukan sudah disertai dengan Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang sah.

Mereka merasa sudah menghargai tanah masyarakat yang mereka bebaskan dengan harga diatas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), jadi menurut mereka tak ada alasan bagi masyarakat untuk menentang pendirian PLTU Cirebon di desa mereka. Apalagi menurut Manajer Administrasi dan SDM  PT CEP, Haryono Diro Waluyo, proyek berkapasitas 660 MW ini didukung penuh oleh pemerintah pusat, dan perjanjian kerjasamanya ditandatangai oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang.

Namun sampai sekarang, menurut sejumlah warga desa Waruduwur dan Citemu, belum ada sosialisasi tentang dampak didirikannya PLTU, baik dari pihak CEP maupun pemerintah setempat. Alhasil, sampai sekarang masyarakat tidak memahami tentang dampak didirikan PLTU di sekitar desanya. Karena tidak adanya sosialisasi, masyarakat pun tidak menyadari betapa pentingnya menjaga lingkungannya.

Seperti diungkapkan Wiwi (59), salah satu nelayan asal Desa Citemu, sampai saat ini dia masih bertanya-tanya tentang dampak didirikannya PLTU. “Saya khawatir jika suatu saat mengganggu pernapasan anak-anak saya, tapi saya juga masih tidak tahu dampaknya seperti apa. Karena sampai saat ini belum ada yang memberikan infornasi tentang dampak PLTU. Kalau dampaknya ke nelayan memang sudah lama muncul,” ujar Wiwi yang saat itu akan bergegas ke laut mendatangi perahunya.

Seperti yang terjadi di awal pembangunan PLTU di desanya, lanjut Wiwi, udang rebon seperti menghilang dari laut. Setelah mereka mencari tahu penyebabnya, ternyata proses pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapuralah yang menjadi biang keladi langkanya udang rebon di laut. Dalam proses pengurugan tanahnya, laut dangkal di sepanjang pesisir Astanajapura memang menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur dan limbah dari proses pembangunan PLTU. Laut yang keruh akibat limbah dan lumpur menyebabkan udang rebon tak bisa lagi hidup di lokasi biasa.

Sementara menurut NB(29), salah satu aktifis Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), sampai saat ini kasus kerang hijau dan pembebasan tanah sudah selesai sebagian besar saja, adapun sebagian kecil masih dalam proses penyelesaian. Namun, sejak proses pembangunan PLTU dimulai, tanah mereka tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk bertani garam. Meski demikian, warga tidak bisa menolak pihak pengembang PLTU. Bahkan sampai sekarang tarik ulur mengenai kenaikan harga tanah masih berlangsung antara warga dan pihak pengembang.

Page 4: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Aktifis GMBI lainnya, seperti TN(28) dan AN(27) yang telah melakukan investigasi mengungkapkan, pemahaman warga desa Waruduwur dan  Citemu sampai saat ini masih berfikir bagaimana mendapat keuntungan dari penjualan tanah dari pihak pengembang. “Bagaimana mereka sampai berfikir kepada dampak yang ditimbulkan PLTU, sedangkan dari pihak terkait dan pemerintah setempat tidak memberikan sosialisasi tentang dampak dari PLTU. Sehingga belum ada pemahaman dan kesadaran warga akan lingkungannya,” papar AN.

Hal ini, menurut TN, berbeda sekali dengan realitas yang terjadi di Cilacap. Masyarakat Cilacap telah memahami dan memiliki kesadaran secara mendasar tentang dampak pendirian PLTU. Karena di sana, masyarakat diberi pendidikan melalui penyuluhan maupun sosialisasi tentang dampak positif dan negatif didirikannya PLTU.

Terkait kedatangan 14 aktivis Greenpeace, aktifis GMBI mengaku perihatin dengan peristiwa tersebut. Apalagi AN salah satu aktifis GMBI yang diajak mengikuti aksi aksi tentang dampak negative digunakannnya batubara sebagai bahan dasar PLTU. Namun di sisi lain, AN mengaku menyayangkan sikap aktivis Greenpeace. Karena ketika para aktifis tersebut ingin melakukan aksi, mereka tidak memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada warga, atau setidaknya kulonuwun (ijin) dan memberikan informasi terlebih dahulu kepada warga maupun pemerintah setempat.

“Mereka datang begitu saja, mendadak, tidak ada informasi sebelumnya, bahkan ketika kami meminta data bahan kajiannya, pun mereka menolak memberikan. Mereka inginnnya cepat-cepat aksi, tanpa ada persiapan. Selama tujuh jam mereka melakukan pemantauan, tetapi gagal mengerahkan warga untuk diajak dalam aksi yang mereka rencanakan.” (a5)

Page 5: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Pembangunan PLTU Cirebon dan Proses Pemiskinan Masyarakat

      Rate This

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada Juli 25, 2008 Sejak enam bulan yang lalu,Kasneri, 46 Tahun ,tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap, kini hampir setiap hari, ia hanya menghabiskan waktu di rumahnya yang sempit dan reyot di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Hanya sesekali jika ada ajakan dari tetangganya sekampung untuk membantu mereka menggarap sawah, baru Ibu Kasneri mendapatkan penghasilan, itupun hanya sebesar 10.000 rupiah sebagai upah untuk 6 jam bersimbah peluh bekerja di ladang milik tetangganya dibawah sengatan sinar matahari Cirebon yang terkenal menusuk. Sebelumnya sebagai pengusaha kecil terasi tradisional, Kasneri mampu mendapatkan paling kurang 200.000-300.000 rupiah perhari dari hasil penjualan terasinya, terasi yang dibuat oleh pengusaha terasi tradisional di Desa Kanci Kulon tersohor kelezatan dan kekhasan rasanya, karena mereka membuat terasi hanya dengan menggunakan bahan baku dari udang rebon –penduduk setempat menyebutnya ebi— tanpa ada campuran lain, udang-udang kecil ini mereka dapatkan dari hasil melaut di sepanjang pesisir Kecamatan Astanajapura yang meliputi Desa Warumundu, Desa Temu, Desa Kanci Kulon, dan Desa Kanci Wetan. Kasneri sendiri bekerja bersama suaminya, Dalim, 52 tahun, Kasneri yang bertugas meracik terasi sementara Suaminya Dalim yang bertugas menangkap udang rebon di laut, sepanjang pesisir Astanajapura. Namun, sejak enam bulan terakhir, Kasneri dan Dalim beserta 26 keluarga pembuat terasi tradisional lainnya kehilangan matapencaharian mereka. Mereka tak bisa lagi mendapatkan udang rebon yang merupakan bahan baku pembuatan terasi, jika sebelumnya dalam sekali melaut Dalim bisa mendapatkan lebih dari 10 Kg udang rebon, sejak proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon (PLTU) dimulai di desa mereka, udang rebon seperti menghilang dari laut, setelah mereka mencari tahu penyebabnya, ternyata proses pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapuralah yang menjadi biang keladi langkanya udang rebon di laut, dalam proses pengurugan tanahnya, laut dangkal di sepanjang pesisir Astanajapura menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur dan limbah dari proses pembangunan PLTU. Laut yang keruh akibat limbah dan lupur menyebabkan udang rebon tak bisa lagi hidup di lokasi biasa tempat Dalim dan rekan-rekannya menangkap udang. Ketika saya mengunjungi rumahnya, pertengahan Juli lalu, Kasneri sedang termenung memikirkan nasibnya yang sudah dua hari tak mendapatkan bahan baku untuk pembuatan terasi, sementara Dalim, suaminya, sedang terbujur sakit tanpa mampu berobat ke Puskesmas karena tak mempunyai cukup uang untuk berobat. Ketika saya tanya kenapa tak membawa suaminya ke dokter, Kasneri berkata : “ Untuk makan saja kami tak punya uang pak, apalagi untuk berobat ke dokter”. Ketika saya tanyakan apakah pernah memprotes kepada pihak pengembang PLTU atau pemerintah setempat mengenai apa yang mereka alami, sambil memandang dengan tatapan kosong, Kasneri bergumam, “mana ngaruh

Page 6: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

pak, orang kecil seperti kami ngomong dan nuntut”, menurut Kasneri, pemerintah dan pengembang tak pernah memperdulikan jeritan mereka. Nasib buruk serupa dialami oleh Samsu, 50 tahun, seorang petani garam di Desa Kanci Kulon, Samsu dan keluarganya yang sudah turun-temurun selama puluhan tahun menjadi petani garam, mendadak kehilangan matapencahariannya sejak dibangunnya PLTU di desanya. Tanah milik Samsu seluas 4000 Meter, tiba-tiba tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani garam. Tanahnya kebetulan berada di lokasi tempat pembangunan PLTU Cirebon, Pihak Pengembang dibantu aparat permerintah setempat memaksa penduduk untuk melepas tanah mereka dengan harga yang rendah. Meskipun mayoritas warga pemilik tanah menolak untuk menjual tanahnya, Pihak Pengembang PLTU tetap memaksa mereka untuk melepas tanahnya. Samsu, adalah salah seorang warga yang sampai saat ini bertahan untuk tidak menjual tanahnya, menurutnya dia akan menolak menjual tanahnya meski ditawar dengan harga berapapun, karena menurutnya tanahnya yang ia gunakan untuk bertani garam adalah hartanya yang paling berharga, dulu dalam setiap musim panen, Samsu dapat menghasilkan paling kurang 20 Juta per 6 Bulan, dengan pendapatannya itu dia bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan hidup layak untuk ukuran desannya. Namun, sejak proses pembangunan PLTU dimulai, tanahnya itu tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk bertani garam, meskipun sampai saat ini tanahnya itu belum dijual, tapi karena lokasi tanahnya berada di tengah-tengah lokasi pembangunan PLTU, Samsu tak bisa lagi beraktivitas. Sumber masalahnya karena pihak pengembang PLTU menutup sumber aliran air laut ke tanahnya, sehingga air garam tak bisa lagi masuk ke ladangnya, dan saat ini tanahnya tak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani, tinggal sebagai tanah kering tak berguna. Meski begitu, Samsu tetap bertekad melawan kesewenang-wenangan pihak pengembang PLTU terhadap dirinya, Samsu tidak sendirian mengalami nasib buruk ini, ada puluhan keluarga petani garam lain yang mengalami nasib serupa dengannya. Dampak Sosial dan Ekonomi Pembangunan PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon yang sedang dalam proses pembangunannya ini, terletak di Kecamatan Astanajapura, meliputi 4 desa, yaitu Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, Warumundu, dan Desa Citemu. PLTU ini merupakan bagian dari proyek pemerintah pusat untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara sebesar 10.000 MW sebelum tahun 2010 di seluruh Indonesia, Pemerintah berencana akan membangun 10 pembangkit baru di Pulau Jawa, dan 25 lainnya di luar pulau Jawa. PLTU Cirebon sendiri dibangun oleh pihak swasta (Independent Power Producer), Pemerintah menunjuk PT. Cirebon Electric Power (CEP) sebagai pengembangnya. Pihak pengembang membutuhkan lahan seluas 108 Hektare untuk membangun PLTU Cirebon, sampai saat ini baru sekitar 65% lahan yang proses pembebasan lahannya sudah selesai. Masyarakat setempat di sekitar lokasi pembangunan PLTU sendiri, terpecah menjadi pihak yang mendukung dan menentang pendirian PLTU di desa mereka Aan Anwarudin, salah seorang aktivis mahasiwa yang menolak pembangunan PLTU di desanya menyatakan PLTU Cirebon dibangun tanpa disertai oleh dokumen Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang jelas, dan juga tanpa disertai sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pembangunan. Menurut Aan, lokasi pembangunan PLTU sangat dekat dengan pemukiman warga, Pembangkit ini hanya berjarak sekitar 10 Meter dari Desa Kanci Kulon, 450 Meter dari Desa Kanci Wetan, 15 Meter dari Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu. Aan bersama masyarakat sekitar lokasi yang menolak pendirian PLTU di desa mereka bergabung dalam Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), Rapel telah beberapa kali melakukan unjuk rasa dan protes baik kepada pihak pengembang maupun pemerintah Kabupaten Cirebon untuk menghentikan Proses Pembangunan PLTU di desa mereka. “PLTU tidak akan membawa dampak positip apa-apa terhadap penduduk Astanajapura, justeru dalam masa pembangunanya

Page 7: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

PLTU Cirebon sudah merampas tanah masyarakat, dan melakukan proses pemiskinan terhadap masyarakat setempat, seperti petani garam, pengusaha tradisional terasi, dan nelayan kerang hijau”, kata Aan dalam menjelaskan keprihatinanya. Masyarakat Kanci, menurut Aan,takut akan dampak buruk dari PLTU Batu Bara jika sudah beroperasi nanti, mereka dampak negatifPLTU Cilacap akan menimpa mereka juga, mereka mendengar masyarakat sekitar lokasi PLTU Cilacap menghadapi berbagai dampak negatif, mulai dari meningkatnya penyakit pernafasan di desa-desa sekitar PLTU, lahan pertanian yang mati akibat limbah batu bara, dan serbuan debu batu bara yang membuat udara di sekitar desa mereka tidak lagi layak untuk dihirup. Pada bulan Februari lalu Aan, beserta masyarakat yang tergabung dalam Rapel (Rakyat Penyelamat Lingkungan) Astanajapura melakukan aksi unjuk rasa di jalur Pantura, menuntut agar pemerintah segera menghentikan proses pembangunan PLTU di desa mereka. Namun, aksi mereka tidak sedikitpun mempengaruhi proses pembangunan PLTU Cirebon. PT. CEP sendiri sebagai pihak pengembang bersikukuh, bahwa PembangunanPLTU yang mereka lakukan sudah disertai dengan Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang sah, dan mereka merasa sudah menghargai tanah masyarakat yang mereka bebaskan dengan harga diatas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), jadi menurut mereka tak ada alasan bagi masyarakat untuk menentang pendirian PLTU Cirebon di desa mereka, apalagi menurut Manajer Administrasi dan SDM PT.Cirebon Electric Power, Haryono Diro Waluyo, proyek berkapasitas 660 MW ini didukung penuh oleh pemerintah pusat, dan perjanjian kerjasamanya ditandatangai oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. “Jadi tak ada alasan untuk membatalkan proyek ini” katanya. “Apalagi, sebagian masyarakat justeru mendukung pembangunan PLTU ini”, tambahnya. Ketika dikonfirmasi ke Aan Anwarudin, apakah benar ada masyarakat yang mendukung pembangunan PLTU di desanya? Aan menjelaskan bahwa mayoritas warga sesungguhnya menolak pembangunan PLTU di desa mereka, namun mereka tak punya keberanian untuk menyampaikannya secara langsung, karena takut diintimidasi oleh preman-preman bayaran PT. CEP yang menurut Aan, sebagian besar juga warga desa setempat. Menurut Aan,masyarakat kini terpecah menjadi pendukung dan penolak pembangunan PLTU, sebagian besar yang mendukung adalah aparat desa yang sudah disuap oleh PT. CEP, sisanya adalah preman-preman yang dibayar PT.CEP untuk mengintimidasi masyarakat. Sementara yang menolak PLTU, tergabung dalam rakyat penyelamat lingkungan (Rapel), sehingga menurut Aan lagi, kini terjadi ketegangan sosial antara masyarakat yang mendukung dan menolak. Untungnya sampai saat ini ketegangan ini belum menimbulkan bentrokkan. Namun, kata Aan, jika kondisi ini dibiarkan terus maka cepat atau lambat akan pecah bentrokan di desanya, “dan ini adalah contoh nyata dari dampak jahat pembangunan PLTU Cirebon di desanya’, tukas Aan. Sumber : http://mentarikalahari.wordpress.com/2008/07/25/pembangunan-pltu-cirebon-dan-pemiskinan-masyarakat/

Batu Bara Sumber Polusi Terburuk

      

Page 8: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Rate This

Batu bara atau batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen  dan oksigen.

Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.

Batubara disodorkan pemerintah sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak. Namun, di balik potensinya itu, batubara mengancam kehidupan manusia. Sebab, batubara merupakan sumber polutan penghasil karbon nomor wahid penyebab efek rumah kaca di Bumi.

“Batubara menghasilkan 29 persen lebih banyak karbon per unit energi daripada minyak dan 80 persen lebih banyak daripada bahan bakar gas,” ujar juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Internasional, Red Constantino, dalam jumpa pers di kantor Greenpeace, Jl Cimandiri, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (31/5/2007).

Menurut Constantino, negara kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global akibat efek rumah kaca.

Jika air laut naik, imbuh Constantino, sejumlah daerah di Indonesia bisa tenggelam. Diperkirakan 72 hektar wilayah Jakarta akan tenggelam pada 2030. Dan akan meningkat menjadi 160 hektar pada 2050.

Ada kendala yang sangat besar untuk memastikan bahwa bauran energi tidak akan menyumbang ke masalah pemanasan global yang semakin parah. Harga minyak dunia yang melambung mendekati USD 100—“The End of Cheap Oil”, meminjam judul National Geographic bulan Juni 2004—benar-benar membuat perusahaan minyak mendapatkan keuntungan besar bak durian runtuh, dan ini berarti insentif untuk terus melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Kalau kondisinya ini terus dimaknai demikian oleh perusahaan minyak, agak sulit bagi dunia untuk berharap bauran energi menjadi kurang bergantung pada bahan bakar fosil itu. Apalagi, banyak masyarakat di negaranegara maju, terutama Amerika Serikat, terus menerus menambah konsumsi minyak perkapita mereka. Dalam dua dekade belakangan, masyarakat AS telah menambah konsumsi mereka mendekati 50%. Padahal, penggunaan bahan bakar fosil itulah

Page 9: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

yang bertanggung jawab sangat besar terhadap naiknya proporsi karbon di atmosfer, dan pada gilirannya menjadikan Bumi semakin panas.

Hitung-hitungan ekonomi dari konversi energi ini sangat jelas. Batubara di minggu terakhir Oktober 2007 yang lalu dilaporkan dijual pada kisaran harga USD 75/ton, sementara minyak sempat nangkring di USD 96/barel—membuat rekor dunia baru. Padahal, energi yang dihasilkan oleh satu ton batubara kira-kira sama dengan 4,8 barel minyak. Artinya, kalau dihitung dari harga di atas, biaya energi dari minyak memang 6,14 kali lipat batubara. Hitung-hitungan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam laporan terbaru mereka ”The Future of Coal” juga menyatakan bahwa batubara akan berharga antara USD 1-2/MMBtu, sementara minyak dan gas berharga USD 6-12/MMBtu. Ini berarti rentang perbandingan harga energi migas dan batubara adalah antara 3-12 kali lipat. Kalau rentang tertinggi 12 kali lipat tercapai suatu saat nanti, maka pasar akan semakin memihak batubara yang murah ini.

Tapi apakah hanya hitungan ekonomi saja yang akan dipakai? Kebijakan Energi Nasional yang juga mendorong penggunaan batubara yang lebih besar hingga setidaknya tahun 2025, mungkin bersumber dari hitung-hitugan ekonomi ini. Atau juga bersumber dari data yang menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki cadangan batubara yang cukup hingga 150 tahun ke depan, dengan asumsi tingkat penggunaan yang tetap. Harga yang murah dan sumberdaya yang melimpah memang membuat baik pemerintah maupun perusahaan berpikir bahwa konversi ke batubara adalah ”masuk akal ?”.

Yang tampaknya kerap dilupakan dalam perhitungan adalah bahwa batubara punya dampak lingkungan yang jauh lebih besar dibandingkan minyak. Eksplorasi dan eksploitasi migas menggunakan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan batubara, yang selalu mengubah bentang alam dalam skala raksasa. Dari perubahan bentang alam ini kecuali kalau batubara diambil dengan teknik penambangan dalam—kita tahu persis bahwa berkurangnya keanekaragaman hayati, hilang atau turunnya fungsi hutan setidaknya untuk sementara waktu, kalau perusahaan penambang kemudian melakukan rehabilitasi lahan—serta beragam indikator degradasi kualitas ekosistem lain pasti akan terjadi. Yang terkait dengan atmosfer lain lagi. Selain emisi karbon, penambangan danpemanfaatan batubara juga membuang sulfur oksida, nitrogen oksida, dan partikulat ke atmosfer. Tak sedikit catatan kasus penurunan kesehatan yang disebabkan oleh konsumsi energi dari batubara ini. Kalau masih ada yang mengingat sejarah penelitian tentang pemanasan global, sesungguhnya Svante August Arrhenius berhipotesis dalam disertasinya di Universitas Uppsala bahwa pemanasan Bumi akan terjadi karena manusia terlalu banyak menambang batubara. Dampak lingkungan yang jauh lebih besar ini, sebetulnya tidak membuat batubara lebih murah dibandingkan migas, namun masih kerap dianggap sebagai eksternalitas belaka.

Bagaimanapun, batubara akan terus dipergunakan dalam beberapa dekade ke depan. Melambungnya harga minyak, dan belum tersedianya cukup banyak sumber energi terbarukan memang menyebabkan banyak perusahaan akan memilih batubara sebagai sumber energinya. Kecenderungannyapun sudah pasti: akan terus meningkat dengan kecepatan relatif tinggi. Masalahnya adalah, bagaimana meminimumkan berbagai dampak negatif itu?.

Page 10: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Tentang meminimumkan emisi karbon dari batubara, studi MIT yang dikutip di atas dengan tegas menyebutkan bahwa hanya dengan teknologi ”carbon capture and sequestration” (CCS) sajalah emisi itu bisa ditekan. Teknologi ini memungkinkan batubara tetap melayani kebutuhan masyarakat atas energi dengan dampak negatif yang minimum. Sayangnya, hingga sekarang

belum terdapat projek CCS yang paripurna. Tiga projek CCS yang dikutip oleh MIT—yaitu Sleipner di Norwegia; Weyburn di Kanada; dan In Salah di Algeria—belum juga mampu memberikan jawaban atas semua masalah teknis yang ada. Untuk itu, saran MIT, pemerintah harus mau berinvestasi dalam kebijakan dan sumberdaya finansial agar teknologi itu benar-benar bisa terwujud dalam skala yang memadai untuk menangani seluruh dampak negatif itu. Pun demikian dengan sektor swasta. Dari sudut pandang corporate social responsibility (CSR), pengakuan bahwa mereka beralih ke sumber energi yang lebih kotor harus secara jujur dikemukakan. Kemudian, penghematan yang bisa mereka lakukan karena konversi energi itu seharusnya membuat mereka mau berinvestasi dalam menekan dampak negatif penggunaan batubara terhadap lingkungan dan masyarakat. Membantu pemerintah dalam riset CCS dan atau membiayai riset teknologi yang lain termasuk yang paling penting adalah riset sumber energi ramah lingkungan dan melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan teknologi terbaik yang telah tersedia, serta membayar kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak melalui berbagai program lingkungan dan pengembangan masyarakat adalah langkah-langkah bijak yang perlu dilakukan.

Penggunaan batubara haruslah dipandang sebagai jalan keluar temporer dari krisis energi akibat meningkatnya harga minyak. Jalan keluar yang lebih berkelanjutan, yaitu energi yang terbarukan, harus disusun langkah-langkah pencapaiannya. Dengan ini bauran energi nasional dan dunia akan dapat lebih mendekati energi yang ramah lingkungan.

Sementara itu, kompensasi kepada masyarakat yang menderita harus terus dilaksanakan, agar perusahaan bisa dianggap telah menginternalisasi eksternalitas. Hanya dengan cara demikianlah perusahaan yang melakukan konversi ke batubara bisa dianggap melakukan CSR dengan benar.

Sumber : Lingkar Studi CSR

Cirebon dalam Bayangan Hitam Batubara

    

Page 11: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

  Rate This

Cirebon adalah sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa yang terkenal akan hasil udang dan produk olahannya berupa terasi. Karena itu lah Cirebon juga dijuluki Kota Udang. Awal minggu lalu Greenpeace kembali melakukan aktivitas bersama masyarakat nelayan disana.

Kenapa Greenpeace terus kembali ke Cirebon? Pertanyaan ini  mungkin muncul di benak banyak orang.

Pada Juli lalu, aktivis Greenpeace baik lokal maupun dari beberapa negara sempat ditahan kepolisian Cirebon. Saat itu kami hanya mengelar workshop bersama masyarakat se-Asia yang terkena dampak batubara dan tentunya masyarakat Cirebon ikut serta dalam seminar tersebut. Selain workshop kami juga memberikan pengenalan energi terbarukan dan nonton bareng World Cup 2010 di desa Waruduwur menggunakan listrik yang berasal dari tenaga matahari. Rangkaian kegiatan yang sangat menarik untuk masyarakat ini seharusnya bukanlah sesuatu yang membahayakan seperti yang ditudingkan polisi kepada kami.

Sebenarnya, ada apa dengan Cirebon? Sejak 2008, sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar Batubara, mulai dibangun di dekat permukiman warga oleh PT Cirebon Electric Power. Dalam kenyataannya lokasi PLTU tersebut sangat dekat dengan pemukiman penduduk, 10 Meter dari Desa Kanci Kulon, 450 Meter dari Desa Kanci Wetan, 15 Meter dari

Page 12: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu. Sejak itu pula, masyarakat  mulai merasakan perubahan yang kelam dalam hidup mereka.

Desa Kanci Kulon, yang dulu tersohor akan usaha terasi yang memiliki kelezatan dan rasanya yang khas, kini mulai memudar.  Para pengusaha kecil terasi tersebut gulung tikar karena berkurangnya pasokan udang rebon yang menjadi bahan baku terasi yang biasa mereka dapatkan di sepanjang pesisir pantai Astanajapura.  Tidak hanya udang, budidaya kerang hijau di sepanjang pantai yang juga menjadi andalan perekonomian warga turut musnah.

Semua ini terjadi disebabkan oleh proses pengurukan tanah untuk pembangunan PLTU, yang mengubah laut dangkal di sepanjang pesisir Astanajapura menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur dan limbah dari proses pembangunan PLTU.

Ratusan nelayan kini terpaksa harus berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan, biaya untuk bahan bakar pun meningkat, dan waktu yang mereka gunakan untuk berlayar lebih lama, sedangkan hasilnya  tidak menentu.  Penderitaan tidak berhenti hanya di laut, pengurukan tanah PLTU menutup sebagian besar aliran air sungai dari darat, sehingga bila hujan dan pasang laut, pemukiman warga menjadi banjir, sesuatu yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Dan tidak pernah dirasakan masyarakat kota yang hanya menikmati listrik dan lampu yang selalu terang benderang.

Melihat kenyataan ini, warga tak hanya diam, telah berulang kali mereka melakukan aksi, protes kepada pihak PLTU, dan bahkan mengajukan gugatan perdata di pengadilan, namun titik terang itu belum juga nampak. Pemerintah daerah tidak kunjung berpihak kepada masyarakat, dan pembangunan PLTU tetap dilanjutkan dan direncanakan akan beroperasi pada tahun depan.

Greenpeace memahami penderitaan tersebut, dan ada banyak kasus seperti ini dialami oleh masyarakat  yang tinggal di dekat PLTU di belahan dunia manapun.  Greenpeace mencoba menyuarakan lebih keras apa yang terjadi dengan melakukan aksi bersama 34 perahu nelayan di laut di depan PLTU Cirebon pada awal minggu yang lalu. Susilaningtyas, seorang pengacara yang biasa mengadvokasi masyarakat kecil  juga dihadirkan untuk memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat Waruduwur yang umumnya berpendidikan rendah tentang hak hak mereka untuk memperoleh lingkungan yang sehat dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam undang-undang negara Republik Indonesia.

Pada aksi kemarin, puluhan anak anak juga ikut secara sukarela, karena setelah orangtuanya kehilangan penghasilan, sekolah menjadi sesuatu beban yang mahal, dan tidak lagi menjadi prioritas, karena untuk kebutuhan makan sehari-hari pun kini belum tentu bisa mereka penuhi.

Page 13: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Kebijakan energi Indonesia yang sebagian besar masih mengandalkan pada batubara akan terus menambah penderitaan orang orang kecil seperti nelayan. Jika nanti PLTU Cirebon ini beroperasi, ancaman dari asap pembakaran dan debu batubara akan menambah panjang daftar penderitaan masyarakat, mengancam kesehatan anak anak, merusak ekosistem laut, merusak pertanian, dan keadaan ini akan membunuh para nelayan kecil dan keluarganya secara perlahan lahan.

Sudah saatnya, dan belum terlambat bagi pemerintah Indonesia untuk menghentikan ketergantungannya kepada batubara dan beralih kepada pengembangan energi terbarukan dari matahari, angin, air, dan geothermal yang faktanya sangat melimpah di negeri ini.

Walhi dan Greenpeace menyerukan Revolusi Energi di Indonesia

 

 

 

 

 

 

Rate This

Page 14: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Berita – 19 Oktober, 2010

Cirebon – Greenpeace, dan WALHI menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk meninggalkan rencana untuk membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batubara dan mulai membangun masa depan yang memiliki tenaga energi bersih dari sumber-sumber energi terbarukan, pada peluncuran laporan “Batubara mematikan: Biaya tinggi untuk batubara murah, bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia.”

Para nelayan dari desa Waruwudur bersama dengan para aktivis Greenpeace melumuri diri mereka dengan debu “batubara”, membentangkan spanduk bertuliskan “batubara mematikan” di atas perahu-perahu nelayan di depan PLTU bertenaga batubara di Cirebon.

Polusi udara akibat dari pembakaran batubara merusak mata pencaharian, menurunkan panen dan memberi dampak buruk pada tangkapan ikan dan secara perlahan membunuh masyarakat. Batubara adalah kutukan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar tambang batubara dan di bawah bayang-bayang PLTU bertenaga batubara. Membakar batubara juga mempercepat perubahan iklim yang akan berdampak pada masyarakat seluruh negri. Indonesia adalah termasuk negara yang paling rentan dan yang paling tidak siap dalam menghadapi perubahan iklim

Laporan “Batubara mematikan: Biaya tinggi batubara murah, bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia” berisi testimoni-testimoni bagaimana tambang batubara dan PLTU bertenaga batubara secara drastis mempengaruhi kesehatan dan sumber mata pencaharian masyarakat yang tinggal di dekatnya. Kisah-kisah ini memaparkan

Page 15: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

konsekuensi gelap dari ekspansi batubara – polusi beracun, hilangnya mata pencaharian, tergusurnya masyarakat, gangguan kesehatan pada sistem pernafasan dan sistem syaraf, hujan asam, polusi asap dan menurunnya panen pertanian – hal-hal yang diabaikan pemerintah dan industri untuk mendapatkan listrik “murah”.Laporan Batubara Mematikan

Batubara bisa saja tampak sebagai bahanbakar yang paling murah karena ketersediannya yang sangat besar. Namun, sejak dari penambangannya, pembakarannya sampai pembuangan limbahnya, dan di beberapa kasus, penggunaan kembalinya, batubara menyebabkan dampak yang sangat buruk pada lingkungan, kesehatan manusia dan kehidupan sosial dari masyarakat yang hidup dekat tambang, proyek pembangkit listrik dan situs pembuangan limbah. Selain emisi CO2-nya yang sangat besar ketika bahanbakar ini dibakar, batubara juga berdampak buruk pada ekosistem, dan mengkontaminasi persediaan air. Batubara mengemisi gas rumahkaca lain seperti metana, sulfur oksida dan nitrogen oksidan serta senyawa kimia beracun lainnya seperti arsenik dan merkuri yang dapat merusak kesehatan mental manusia dan perkembangan fisik.

Indonesia saat ini merupakan negara produsen batubara terbesar kelima di dunia dan merupakan eksportir batubara kedua terbesar didunia. Bukti-bukti kuat akibat serius dari penggunaan batubara jelas terlihat pada propinsi-propinsi batubara di negri ini.  Penambangan batubara menyebabkan kerusakan parah pada kehidupan masyarakat adat dan di ibukota Kalimantan Timur, Samarinda, dimana konsesi pertambangan batubara menguasai 70% wilayahnya. Tambang batubara dibuka persis di samping desa-desa dan limbah dari tambang yang terbengkalai tersebar di seluruh kota dengan danau-danau beracunnya. Di Cirebon dan Cilacap, PLTU bertenaga batubara mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencahariannya, dan operasi PLTU selanjutnya akan membahayakan kesehatan mereka.

Saat ini, Indonesia berencana untuk meningkatkan pembangkitan listrik dari batubara sebesar 34,4% pada tahun 2025. Rencana ini adalah bagian dari usaha mengurangi penggunaan minyak bumi dan bergeser ke batubara dan gas, dengan target 10.000 MW dari batubara. Tapi melalui program awal yang seharusnya dicapai pada tahun 2009 dengan rampungnya 35 PLTU bertenaga batubara — 10 diantaranya di Pulau Jawa, dan selebihnya di pulau-pulau lain – kurang dari 60% dari target ini telah tercapai.

Belum terlambat! Indonesia tidak membutuhkan batubara lagi, yang diperlukan adalah sebuah revolusi energiEnergi   terbarukan   dikombinasi   dengan   efisiensi   energi   dapat  memangkas   emisi   CO2   sebagaimana komitmen Presiden Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumahkaca. Indonesia memiliki sumberdaya surya,  angin dan geotermal  yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan energinya.   Jika pemerintah Indonesia meninggalkan rencana energi kotornya, maka lebih dari 40% kebutuhan energi utama akan dapat dipenuhi melalui sumber-sumber terbarukan. Hal ini tidak hanya akan menghentikan kerusakan pada kesehatan manusia dan kemasyarakatan, serta degradasi ekologi dan dampak buruk perubahan iklim, ini akan menjadi kontribusi penting bagi masa depan anak-anak dan cucu kita

Download : Batubara Mematikan

Sumber : www.greenpeace.org

Page 16: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Harga Ganti Rugi Tanah Dinilai Tidak Adil

Kanci Kulon.

Ratusan pemilik lahan kembali melakukan unjuk rasa di depan akses jalan masuklokasi pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kanci Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon Senin(27-29/9). mereka masih mempersoalkan harga ganti rugi tanah yang dinilai tidak adil.Dalam aksinya, mereka sengaja membuat tenda di depan jalan akses masuk proyek hingga menghalangi roda dua dan roda empat yang memasuki lokasi tersebut.Pada kesempatan itu pengunjuk rasa menuntut pembayaran tanah seluas 14 hektar yang menurut mereka belum dibayar oleh PT. Cirebon Electric Power (CEP) dan menginginkan adanya penyetaraan harga. selain itu, tanah saluran air seluas 6.300 meter sampai saat ini belum dibayar.Tanah Milik Mereka dijual seharga Rp. 14.000,- per meter persegi (m2) karena PT CEP berjanji tidak akan menaikan harga lagi. Akan tetapi kenyataannya setelah melepasnya, tanah yang lain dibayar PT. CEP dengan harga Rp.90.000,- hingga Rp.150.000,- per meter persegi (m2).Aksi warga untuk menuntut kesetaraan harga ganti rugi itu sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir ini. Bahkan warga dan sejumlah elemen masyarakat sempat memblokir akses jalan masuk ke lokasi proyek, sekitar Juni lalu. akibatnya aktivitas proyek terhambat.Pengunjuk rasa yang terdiri dari remaja, orang tua, ibu-ibu dan anak-anak sempat melakukan long march dari Desa Kanci Kulon menuju PLTU setelah sampai dilokasi kendaraan tersebut dimanfaatkan pula untuk memblokir jalan akses masuk proyek. dilokasi ini juga mereka mendrikan satu tenda untuk berteduh.

Page 17: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Ratusan Pekerja PLTU dibubarkan, setelah Warga memasuki Area Proyek

Sampai berita ini dimuat masih terjadi pemblokiran olah warga (29/9) sehingga aktifitas diproyek berhenti total.

Batubara bahanbakar kotor yang menghancurkan iklim kita

      Rate This

Page 18: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Pembakaran batubara menyumbang pada perubaha iklim lebih dari bahan bakar fosil lainnya. Pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara melepas CO2 yang sangat besar ke atmosfir tiap tahunnya, atau tepatnya 11 milyar ton. Jumlah setara dengan 72% emisi CO2 daru PLTU dan 41% dari total emisi CO2 global dari bahanbakar fosil.

Perubahan iklim adalam ancaman lingkungan terbesar dan tantangan ekonomi dari kemanusiaan terbesar yang pernah dihadapi oleh manusia. Jutaan orang di dunia telah merasakan dampak dari kenaikan permukaan laut dan erosi pantai serta badai besar dan kebakaran hutan. Dampak seperti ini akan memburuk dengan meningkatkan suhu. Lebih seringnya keadaan cuaca yang buruk akan berdampak pada pertahanan dan menggoyangkan keamananpangan. Pemanasan bumi akan juga mengakibatkan penyakit seperti demam berdarah dengue dan malaria semakin meluas. Jika tidak ada yang dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dioksida, gas rumahkaca yang utama, seperempat spesies tanaman dan hewan menghadapi resiko kepunahan.

Di Bangladesh dan India saja, dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan kekeringan dapat menggusur 125 juta orang dari rumahnya. Sampai dengan 1,2 milyar orang di Asia akan menderita semakin sedikit persediaan air pada tahun 2020, menurut panel iklim PBB. Produksi gandum dapat mengilang dari benua Afrika.

Tatanan masyarakat sebagaimana kita kenal akan mengganggu resiko bila emisi CO2 tidak dipangkas secepatnya. Pemakaian batubara merupakan akar permasalahan ini.

Sebagai sumber emisi CO2 terbesar, cara kita menangani batubara dalam beberapa tahun ke depan akan menemukan apakah kita cukup merespon krisis iklim. Mendesaknya masalah ini tidak bisa diremehkan. Sebagaimana mantan Wakil Presiden AS Al Gore baru-baru ini menyatakan “Kita telah tiba pada tahapan dimana ini saatnya untuk suatu pemberontakan sipil demi mencegah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap bertenaga batubara yang baru”. Sebuah PLTU yang dibangun hari ini akan mengisi polusi CO2 semala paling tidak 40 tahun ke

Page 19: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

depan.</p

Dalam sektor tenaga listrik dua dekade ke depan akan menjadi saksi perubahan teknologi pembangkit listrik terbesar yang pernah ada. Pembangkit listrik tenaga uap yang ada harus ditutup. Keputusan yang dibuat oleh negara dan penyedia listrik akan cara perubahan energi ini akan menentukan ketersediaan energi untuk gengerasi mendatang. Sebailiknya tidak adanya perubahan akan mengakibatkan peningkatan emisi CO2 meningkat 60% pada tahun 2030.

Page 20: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Pihak-pihak yang berjualan ‘obat’ teknologi seperti penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS) yang mengaku bahwa mereka membuat batubara bersih dan aman bagi iklim menciptakan pengalihan perhatian yang berbahaya disaat dunia harus mencari solusi berkelanjutan yang dapat mencegah bencana perubahan iklim dengan berhenti menggunakan batubara dan meningkatkan efisiensi energi dan produksi energi terbarukan.

Sumber : Greenpeace.org

Perhitungan Biaya Sesungguhnya dari Batubara

      Rate This

Page 21: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Biaya batubara sesungguhnya yang dipaparkan dalam laporan ini adalah perhitungan awal yang mengevaluasi beberapa biaya terselubung dari batubara, biaya yang termasuk dalam biaya per ton batubara atau listrik bertenaga batubara yang menerangi masyarakat kita.

Untuk mendekati nilai biaya batubara sesungguhnya, badan penelitian Belanda CE Delft secara konservatif mengevaluasi biaya eksternal pada tahun 2007 dari dampak kesehatan pada manusia akibat pencemaran udara, kerusakan yang juga disebabkan oleh perubahan iklim dan kematian akibat kecelakaan-kecelakaan besar dalam operasi tambang batubara. biaya-biaya ini secara terpisah dikumpulkan dan diganbungkan sehingga sampai pada angka yang merupakan perkiraan terendah biaya produksi batubara pada lingkungan dan manusia pada tahun 2007.

Analisis tersebut mengungkapkan bahwa :

Perkiraan Beban kerusakan akibat pembakaran batubara tahunan dalam pembangkit listrik tenaga uap, dari faktor-faktor yang diamati adalah €358 milyar;

Perkiraan Beban kerusakan global terkait dengan kecelakaan dalam rangkaian pembangkit tenaga batubara, dari faktor-faktor yang diamati adalah €161.28  juta; dan

Perkiraan Beban kerusakan akibat penambangan batubara tahunan, dari faktor-faktor yang diamati adalah €674 juta.

Biaya batubara yang dipaparkan dalam laporan ini tidak mencerminkan evaluasi yang komperhensif dari semua dampakternal akibat seluruh rangkaian produksi batubara. data yang akurat dan dapat dipercaya dalam banyak bagian dari rantai ini sama sekali tidak ada dalam skala global, misalnya dampak kerusakan ekonomi akibat drainase asam dalam tambang . Menghitung berbagai dampak sosial, seperti kehilangan warisan budaya dan pelanggaran hak azasi manusia, dengan cara yang dapt dipertanggungjawabkan hampir tidak mungkin dilakukan.

Dengan prasyarat berikut metodologi untuk analisis ini didaftarkan di bawah ini. Untuk mengakses laporan lengkapnya silakan buka (www.greenpeace.org)

Lingkup analisis

Perhitungan biaya batubara sebenarnya dikaji melalui faktor-faktor berikut ini :

Biaya yang membebani masyarakat yang disebabkan perubahan iklim Dampak kesehatan pada manusia akibat pencemaran udara Kematian akibat kecelakaan besar dalam operasi penambangan

Pengumpulan Data

Menentukan emisi global dari batubara

Untuk analisis ini angka emisi dari negara-negara penghasil tenaga batubara, sebagian besar diturunkan dari data yang ada pada tingkat nasional. Emisi dikaji terpisah untuk lingkup pembangit dan untuk lingkup penambangan. karena tujuan studi ini adalah membuat perkiraan

Page 22: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

kerusakan global tidak diperlukan kaitan langsung antara batubara dari tambang ke pembangkit listrik tenaga uap. jadi semua emisi yang terkait dengan penambangan dikaji dan kira-kira 91% emisi yang terkait dengan pembangkit tenaga secara global (berdasarkan data dari Badan Energi Internasional). Penting untuk dicatat disini bahwa penilaian langsung dari biaya kerusakan tidak tersedia pada banyak negara di dunia.

1. Emisi utama dari Pembakaran Batubara

Karbon dioksida (CO2)

Berdasarkan emisi CO2 global dri pembembangkit tenaga listrik dikumpulkan peringkat sepuluh negara penyumbang polusi terbesar (Amerika Serika, Cina, India, Jepang, Jerman, Afrika Selatan, Australia, Rusia dan Polandia) negara-negara ini menyumbang 85% emisi global dari pembakaran batubara. Bersama emisi negara-negara Uni Eropa lainnya maka bersama mereka menyumbangkan 91% emisi pembakaran batubara. negara-negara ini yang dikaji kemudian kemudian untuk emisi penemarannya  yang dinamakan “pencemaran klasik” dalam analisis ini.

Uni Eropa (889.531,23), Cina (2.341.616,45), Amerika Serikat (1.973.502,42), India (562.840,07), Rusia (215.089,87), Jepang (212.647,68), Afrika Selatan (199.634.09), Australia (204.131,85) Total (6.598.993,94) emisi pertahun (Dalam Kilo Ton)

Sulfur Dioksida (SO2)

Uni eropa dinilai secara bersama dan data per negara diturunkan untuk Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Afrika Selatan, Australia, Rusia.

Uni Eropa (1.470,00), Cina (20.567,00), Amerika Serikat (10.068,00), India (2.959,00), Rusia (1.056,00), Jepang (23,00), Afrika Selatan (1.177,00), Australia (605,00) Total (37.925,00) emisi pertahun (Dalam Kilo Ton)

Nitrogen Oksida  (NO2)

Uni eropa dinilai secara bersama dan data per negara diturunkan untuk Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Afrika Selatan, Australia, Rusia.

Uni Eropa (1.200,00), Cina (7.434,00), Amerika Serikat (3.595,00), India (511,00), Rusia (511,00), Jepang (21,00), Afrika Selatan (526,00), Australia (614,00) Total (15.481,00) emisi pertahun (Dalam Kilo Ton)

Materi Partikulat (PM) 2.5

Uni eropa dinilai secara bersama dan data per negara diturunkan untuk Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Afrika Selatan, Australia, Rusia.

Page 23: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Uni Eropa (43,46), Cina (2.537,00), Amerika Serikat (87,07), India (-), Rusia (1,00), Jepang (11,00), Afrika Selatan (51,00), Australia (20,50) Total (2.751,03) emisi pertahun (Dalam Kilo Ton)

Metana (CH4)

Nilai agregat global dibuat berdasarkan foktor emisi generik dari tiap kg CH4 yang dihasilakan dari per ton setara batubara untuk emisi metana dari simpanan batubara pada pembangkit listrik tenaga uap sebesar (725) emisi pertahun (Dalam Kilo Ton)

2. Emisi dari Penambangan Batubara

Emisi global dari penambangan disertakan dalan analisis ini berdasarkan data dari Ecolnvent 2007. untuk beberapa wilayah (Asia Timur, Eropa Timur, eropa Barat dan Amerika Utara) data emisi rata-rata digunakan Polutan yang dinilai untuk analisis ekonomi adalah SO2 (13555), NO2 (209), PM 2.5 (4), CO2 (11) CH4 (29) emisi per tahun (Dalam Kilo Ton)

Perhitungan

1. Kerusakan Akibat Perubahan Iklim

Untuk analisis ini diperkirakan biaya operasional kerusakan tahunan pada tahun 2007 untuk emisi CO2, dan CH4 yang berasal dari batubara. termasuk di dalamnya emisi dari pembakaran batubara dan operasi penambangan. penilaian biaya pencegahan dilakukan dengan menggunakan €20/ton. angka ini diambil dari perkiraan biaya rata-rata kredit karbon dalam skema perdagangan emisi Uni Eropa atau European Union Emission Trading Scheme (EUETS). Cara ini yang dipilih dibanding menggunakan angka biaya kerusakan sebenarnya yang diakibatkan oleh emisi CO2 dimana banyak ketidakpastian yang dikaitkan dengan informasi ini. penting untuk dicatat bahwa pencegahan CO2 akan meningkat tajam. beberapa studi menunjukan biaya akan berlipat dua pada dekade berikut dari sampai dengan sepuluh kali pada pertengahan abad ini. sementara biaya pencegahan CO2 dimasa depan tidak dihitung dalam konteks analisis ini.

Untuk CH4 faktor 23 digunakan untuk merefleksikan dampak metana pada pemanasan global sat dibandingkan dengan CO2, dan memperkirakan biaya kerusakan €460/ton. angka-angka ini

Page 24: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

dikaitkan dengan perkiraan emisi tahunan. untuk memperhitungkan biaya kerusakan yang terkait dengan perubahan iklim akibat polutan-polutan ini.

Nilai yang disarankan untuk Gas Rumah Kaca (Euro 2005 per Ton CO2)

MDC-NoEW (Analisis biaya manfaat murni tanpa nilai penimbang)

2005 (7), 2010 (9), 2015(11), 2025 (14), 2035(15), 2043(17), 2050 (22), 2055(27)

PP_MAC_2 (Tujuan ambisius untuk menurunkan 2 drajat celsius dibandingkan tingkat sebelum industri)

2005 (-), 2010 (23.5), 2015(27), 2025 (32), 2035(37), 2043(66), 2050 (77), 2055(-)

MDC-NoEW (Analisis biaya manfaat murni tanpa nilai penimbang)

2005 (-), 2010 (23.3), 2015(31), 2025 (51), 2035(87), 2043(146), 2050 (198), 2055(-)

2. Dampak kesehatan manusia akibat polusi udara

Untuk bahan pencemaran non CO2 atau “pencemaran klasik” dilakukan perhitungan biaya kerusakan per ton emisi. Dasar biaya kerusakan untuk perhitungan ini adalah dari proyek Uni eropa NEEDS (Network of Europeans for electoral and Democracy Support) atau jaringan eropa untuk dukungan demokrasi dan elektoral (tahapan terakhir dari seri ExternE), yang memberikan perkiraan keuangan pada dampak kesehatan dari emisi polutan udara tertentu. perkiraan-perkiraan ini tersedia untuk 39 negara eropa dan lima lautan. hasilnya juga memperkirakan biaya kerusakan rata-rata Uni Eropa per ton untuk polutan tertentu.

Page 25: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Angka yang digunakan pada proyek NEEDS yang didasari sebagian besar dengan nilai kesediaan membayar(willingness to pay) dari studi-studi empiris dari evaluasi efek mortalitas dan morbiditas.

Angka-angka ini diseusaikan dengan menggunakan faktor kesetaran daya beli (purchasing power parity) dan dengan demikian rata-rata nilai tertimbang terhadap populasi diperhitungkan untuk memberikan nilai yang lebih representatif untuk suatu perhitungan secara global.

Tanpa dapat menjalankan model penuh termasuk latarbelakang pencemaran, pola penyebaran, populasi terdampak, keadaan meteorologi, hanya dapat dibuat suatu perkiraan yang sangat besar.

Page 26: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

3. Kematian yang diakibatkan oleh Kecelakaan Serius dalam Operasi Tambang

Biaya kerugian dari kecelakaan tambang per unit listrik yang dihasilkan pernah dihitung oleh Hirschberg et al., 200. angka ini hanya menghitung kecelakaan dengan kematian lebih dari lima orang.

Kecelakaan eksternal: kecelakaan dalam rantai pembangkit listrik bertenaga batubara (Euro per MWh)

Cina : terkait pekerjaan (0.061) Publik (-), Total (0.061)

OECD : terkait pekerjaan (0.0036) Publik (0.000061), Total (0.003)

Non-OECD : terkait pekerjaan (0.032) Publik (0.00035), Total (0.032)

Hasil

Pembakaran

Analisis mengungkapkan bahwa pendekatan biaya ekternal tahunan dari pembakaran batubara, dari faktor-faktor yang dikaji adalah €355.75 milyar.

Penambangan

Analisis mengungkapkan bahwa pendekatan biaya eksternal tahunan dari pembakaran batubara, dari faktor-faktor yang dikaji. adalah €673.87 juta. total nilainya jauh di bawah nilai kerugian yang terkait dengan pembakaran batubara. walaupun demikian, patut dicatat bahwa analisis ini tidak lengkap. faktor-faktor seperti kerusakan ekosistem, air dan kontaminasi tanah dan sebagainya, tidak disertakan dalam analisis ini karena ketidaktersediaan data global untuk dampak seperti ini.

Page 27: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Kecelakaan

Analissi mengungkapkan bahwa pendekatan biaya ekstenal tahunan dari pembakaran batubara, dari faktor-faktor yang dikaji adalah €161.28 juta.

Kesimpulan

Dengan menggabungkan semua kerugian diatas, SE Delft memperoleh angka total kerugian sebesar €380 milyar. sebagaimana telah dibahas diatas, perkiraan ini tidak menyertakan semua kemungkinan emisi atau semua kemungkinan kerusakan dan dengan demikian harus dianggap sebagai perkiraan kasar. ini berlaku bagi faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam analisis ini dimana tidak semua data lengkap, tapi analisis ini tetap memperhitungkan 91% dari semua emisi. misalnya menyertakan emisi materi partikulat dari Rusia dan India mungkin akan meningkatkan angka perkiraan cukup tinggi. dalam konteks parameter yang dipertimbangkan. analisis ini menunjukan bahwa pembakaran batubara dalam pembangkit listrik tenaga uap menyumbang kerusakan terbesar atau lebih 99% dari total. beban kerusakan karena emisi operasi penambangan diperkirakan sampai €674 juta per tahunnya dan dari beban kerusakan karena kecelakaan sekitar €161 juta per tahunnya.

Biaya Batubara Sebenarnya

  

Page 28: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

    Rate This

Berapa banyak kita dan planet ini merugi akibat pemakaian bahan bakar terkotor di bumi

Pembakaran batubara telah dilakukan selama berabad-abad, dan penggunaannya sebagai bahan bakar telah tercatat sejak tahun 1100an. Batubara mendorong revolusi Industri, dalam prosesna pertama-tama mengubah sejarah Inggris, dan kemudian mengubah dunia. Di Amerika, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara pertama (Pearl Strees Station) dibangun di tepian Sungai Timur di Kota New York pada bulan September 19882. Tidak lama setelahitu, batubara menjadi bahan bakar utama pembangkit listrik tenaga uap di seantero dunia.

Biaya Batubara Sebenarnya

Harga pasaran batubara tidak turut memperhitungkan dampaknya yang paling nyata dan sejak dahulu dianggap sebagai bahanbakar termurah, “Biaya Eksternal” ini terjadi akibat dampak penyakit pernafasan, keselakaan dalam operasi tambang, hujan asam, polusi asap, menurutnya panen dan perubahan iklim.

Page 29: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Kerugian yang diakibatkan oleh penambangan dan pembakaran batubara tidak tercermin dalam harga per tonnya atau biaya per kilowatt-jam (KWh) listrik, tetapi bumi secara umum harus menanggungnya suka atau tidak suka. Laporan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan seberapa banyakah kerugian yang harus kita tanggung? Walaupun sementara ini tidak mungkin untuk menghitung semua kerusakan yang diakibatkan oleh batubara pada skala global, perkiraan biaya kerusakan tahunan dan dampaknya yang paling nyata bias dihitung.

At the request of Greenpeace, the Duton research atas permintaan Greenpeace, Institut Penelitian Belanda CE Delft melakukan analisis pendahuluan dari biaya eksternal dari dampak pada kesehatan manusia dan lingkungan akibat tambang dan pembakaran batubara. Evaluasi ini khusus menghitung biaya ekternal pada tahun 2007 dan kerusakan yang ditimbulkan oleh iklim, dampak kesehatan manusia akibat polusi udara dan korban meninggal dunia akibat kecelakaan tambang besar, factor-faktor dimana data global tersebut saat ini.Berdasarkan factor-faktor yang diuji, analisis ini mengungkapkan :

Page 30: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Pembangkit listrik tenaga uap bertenaga batubara diperikrakan menyebabkan kerugian €358 milyar pada tahun 2007;

Kecelakaan pada pemakaian produksi batubara menyebabkan kerugian sebesar €161 juta pada tahun 2007; dan

Tambang membaya biaya terselubung, yang diperkirakan mencapai paling tidak €674 juta pada tahun 2007.

Bila semua biaya di atas digabungkan, SE Delft menyimpulkan angka kerugian global sekitar €380 milyar. Dalam sepuluh tahun ke depan, ini berarti biaya kerugian ini akan melebihi €3,6 trilyun, jumlah uang yang setara dengan enam kali biaya bantuan likuidasi institusi financial bermasalah di Amerika Serikat pada tahun 2008 (AS$ 700 milyar, Oktober 2008)

Angka ini memperkirakan batasan terendah biaya batubara pertahun pada manusia dan lingkungan. Untuk melakukan  perhitungan ini, CE Delft menggunakan data Badan energy Internasional untuk mengumpulkan angka emisi akibat pembakaran batubara pada Negara-negara produsen listrik dari tenaga batubara (Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Jerman, Afrika Selatan, Australia, Rusia dan Polandia) yang bersama menyumbang 86% emisi dari pembakaran batubara. Bersama Negara-negara Uni Eropa lainnya proporsi ini meningkat menjadi 91% dari emisi pembakaran batubara yang akhirnya digunakan pada perhitungan akhir. Selanjutnya, emisi akibat operasi tambang batubara secara global dikumpulkan bersama dengan data kecelakaan besar pada rantai produksi pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara.

Angka yang sangat besar ini hamper dipasitikan diperkirakan terendah dari kerugian yang diakibatkan oleh batubara diseluruh dunia, karena tidak semua dampak dihitung, sementara biaya kerugian akibat perubahan iklim diperkirakan akan meningkat secara dramatis dimasa depan. Dengan berbagai cara, biaya batubara, sebagian besar akibat tidak tersedianya data yang dapat dipercaya yang merekam semua dampak buruk akibat batubara.

Selanjutnya menghitung dampak social, seperti tergusurnya masyarakat hilangnya warisan budaya dan pelanggaran hak azasi manusia, dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan hamper tidak mungkin. Walaupun angka di atas tidak memberikan biaya persis dari kerugian akibat batubara, angka tersebut memberikan gambaran skala bahaya yang dihadapi manusia dan lingkungan dengan terus menambang dari membakar batubara.

Dalam zaman dimana harga energy meroket dan permintaan engeri yang tak ada habis-habisnya, sumber-sumber energy dengan harga terendah akan lebih dipilih. Sementara batubara relative murah dipasaran, dalam kenyataannya biaya batubara terlalu tinggi dan dunia sebenarnya tidak mampu untuk terus menggunakannya. Mengingat ketersediaan alternative seperti energy terbarukan dan efisiensi energy, yang dapat memenuhi kebutuhan energy kita dengan cara yang aman dan ramah lingkungan, tidak ada kebutuhan untuk terus bergantung pada batubara. Kita harus mengurangi ketergantungan kita pada bahanbakar kotor ini dan meninggalkan rencana untuk membangun PLTU bertenaga batubara baru. Biaya sebenarnya bila gagal untuk meninggalkan batu bara dan tidak menggunakan potensi energy bersih dan berkelanjutan adalah yang tidak terbayangkan.

Sumber : Greenpeace

Page 31: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Asia Harus Menghentikan Penggunaan Batubara

      Rate This

Cirebon, Jawa Barat, Indonesia — Selama tiga hari di Cirebon Greenpeace bersama masyarakat Cirebon dan perwakilan dari 5 negara seperti Filipina, Thailand, India, China menggelar pertemuan untuk berbagi pengalaman dan ilmu tentang dampak-dampak masyarakat yang berkaitan dengan batubara.

Batubara adalah masalah umum di wilayah Asia dan dampak buruknya sama dimanapun pembangkit listrik dan pertambangan itu di lakukan. Dampak buruk mulai dari kerusakan lingkungan, masalah kesehatan, serta mempercepat perubahan iklim.

Generasi Masa Depan terancamSeorang ahli limbah lingkungan dari Filipina Dr. Wencesclao Kiat menjelaskan tentang dampak Penambangan dan pembakaran batubara adalah ancaman besar bagi masyarakat yang hidup di sekitar tambang batubara dan masyarakat sekitar PLTU. Masyarakat menderita banyak penyakit termasuk penyakit pernafasan, kanker, gagal ginjal, serta kelainan janin. Pihak yang paling menderita dari dampak itu adalah wanita dan anak-anak.

Alya, 4 thn,Penderita Mereka tinggal di Kuasen, sebuah desa kecil yang terletak hanya 50 meter dari pembangkit listrik tenaga batubara di Cilacap

Batubara murah?Pemerintah sampai saat ini mengatakan bahwa menggunakan batubara adalah energi yang “MURAH”. Tapi biaya sebenarnya dari batubara sangat mahal. Fakta-fakta yang di ungkapkan

Page 32: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

masyarakat dari Kalimantan timur dan Cirebon menjadi saksi bahwa pernyataan tersebut sangat salah.

Warga masyarakat sekitar tambang batubara di Kalimantan timur mengungkapkan fakta bahwa Sekarang konsesi pertambangan batubara telah mencapai 3,1 juta hektar, dengan 1.226 izin pertambangan. Ini setara dengan luas negara Swiss. Di Cirebon, pembangunan PLTU telah membawa kerugian ekonomi kepada masyarakat. Sebagai contoh, para nelayan biasanya bisa mendapatkan penghasilan harian sekitar Rp 100.000, tapi sekarang mereka hanya bisa mendapatkan sekitar Rp 25,000 karena konstruksi telah merusak lingkungan.

Bencana perubahan iklim bukan lagi cerita tetapi nyata dan kerusakan lingkungan serta masalah kesehatan yang akan bertambah parah jika pemerintah tidak menghentikan penggunaan batubara dan mulai beralih memfokuskan pada energi terbarukan

Bersama-sama, kami berharap dapat mengirim pesan yang kuat kepada pemerintah Indonesia dan para pemimpin negara Asia bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak akan mendorong kita ke arah bencana iklim.

Energi Terbarukan dan efisiensi energi adalah solusi. Pemerintah harus segera berinvestasi pada teknologi energi terbarukan. Pada saat yang sama, mereka harus menjamin penerapan kebijakan efisiensi energi besar-besaran di semua sektor (Energi [R] evolusi!). Sumber daya energi terbarukan sudah tersedia. Daripada berinvestasi kepada bahan bakar fosil, pemerintah harus mengalihkan dana pada investasi energi terbarukan yang lebih bersih dan amanSumber : Greenpeace.org

Pengolahan Abu Terbang PLTU Batubara

      Rate This

Penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU mempunyai konse-kuensi penanganan abu batubara dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai con-toh pada tahun 2000, PLTU Paiton Swas-ta I (kapasitas 2×620 MW) saja akan meng-hasilkan abu batubara sebanyak lebih dari 43.000 ton per tahun. Abu ini merupakan hasil pembakaran batubara Indonesia yang rata-rata memiliki kadar abu sebesar 1,1%.

Pembakaran batubara pada PLTU akan menghasilkan limbah abu padat. Abu batubara tersebut dapat diklasifi-kasikan menjadi dua jenis, yaitu abu dasar (bottom ash) 20% dan abu terbang (fly ash) 80%. Abu dasar merupakan fraksi yang lebih kasar dan memilikiwarna abu-abu gelap. Setelah melalui proses pembakaran abu dasar akan jatuh dan terkumpul di

Page 33: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

dasar tungku pem- bakaran (furnance). Berdasarkan sifatnya, abu dasar ini dapat digunakan sebagai campuran agregat kasar atau sebagai filler.

Abu terbang merupakan fraksi yang halus dan memiliki warna lebih terang serta memiliki butiran yang lebih bundar dibandingkan dengan abu dasar. Setelah proses pembakaran, abu terbang akan tu-rut terbawa oleh gas buang, selanjutnya abu terbang akan dipisahkan dari gas buang oleh presipator elektro-statik, sili-kon atau kantung-kantung filter. Secara mineralogi abu terbang tersusun oleh fase gelas amorof, fasa kristalin, komponen ekunder dan unsur-unsur jejak/trace elements. Sedangkan secara kimia abu ter-bang terdiri dari Calcium CaO (22.98%), Silicon SiO (21.92%), Iron Fe2O3 (16.47%), Aluminium Al2O3(16%), Sul-phur SO3 (11.85%), Magnesium MgO (7.9%), Sodium Na2O (1.37%), Titanium TiO2 (0.6%), Manganese Mn3O4 (0.18%), dan Phosphorus P2O5 (0.11%).Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka abu terbang memiliki potensi yang besar un-tuk digunakan dalam berbagai bentuk bahan konstruksi dan bahan bangunan.

Pangsa Pasar Abu Terbang di Indonesia Secara garis besar terdapat lima pasar besar abuterbang di Indonesia disamping beberapa kemungkinan pasar lainnya.

Semen Abu Terbang (55.000 ton per tahun)

Abu terbang dapat digunakan seba-gai bahan campuran dengan klinker dan gipsum. Pencampuran abu terbang di pabrik semen dapat mencapai 30% dari total semen yangdiproduksi. Pembutan semen abu terbang ini mempunyai beberapa keuntungan seperti: menghasilkan semen setara dengan kualitas semen portland bia-sa, dan biaya produksi yang lebih murah.

Pasar untuk penggunaan ini di daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat ada-lah pada pabrik semen Indocement dan semen Cibinong. Sedangkan untuk daerah Jawa Timur dansekitarnya adalah Pabrik semen Gresik dan semen Tuban. Berdasarkan kapasitas produksi dari pab-rik-pabrik semen tersebut, maka diper-kirakan konsumsi abu terbang untuk semen adalah sebesar 55.000 ton per tahun.

Beton Abu Terbang (140.000 ton per tahun)

Beton abu terbang dibuat dari campuran semen dan abu terbang secara ready-mix atau langsung di lokasi pemba-ngunan. Campuran abu terbang untuk penggunaan ini dapat mencapai 30%. Penggunaan abu terbang dalam cam-puran beton mempunyai beberapa keun-tungan: pengerjaan/workability yang lebih baik sehingga membutuhkan air yang makin sedikit, memberikan keku-atan akhir yang lebih tinggi, penghematan penggunaan semen, dan biaya produksi yang lebih murah.

Pasar yang potensial untuk peng-gunaan ini adalah perusahaan-perusahaan ready-mix concrete yang berada di Jakarta dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogja-karta, Jawa Timur dan Bali. Volume penggunaan beton di daerah ini sebesar 2 juta m3, maka diperkirakanterserap abu terbang sekitar 140.000 ton per tahun.

Page 34: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Blok atau Batako Abu Terbang (35.000 ton per tahun)

Penggunaan abu terbang yang cukup potensial lainnya adalah sebagai bahan campuran dalam pembuatan blok atau batako. Blok atau batako abu terbang sudah bias dikembangkan dengan meng-gunakan teknologi temperature rendah (dibawah 100 oC) untuk menghasilkan kualitas menurut Standar Nasional Indonesia. Kemampuan pasaruntuk menyerap abu terbang dalam penggunaan ini diper-kirakan sebesar 35.000 ton per tahun.

Beton Keramik (210.000 ton per tahun)

Pembuatan beton keramik, yang diperkirakan akan memberikan terobosan pasar baru yang cukup berarti, dengan penggunaan abu terbang yang tinggi (dapat mencapai 80%). Beberapa keung-gulan beton keramik jika dibandingkan dengan bahan bagunan biasa darisemen adalah: tidak menggunakan semen dan pasir, lebih kuat dan ringan, lebih tahan asam serta tahan air laut, dan biaya pem-buatan yang lebih rendah.

Salah satu pasar yang cukup poten-sial untuk beton keramik adalah dalam pembuatan rumah sederhana. Sebagai contoh untuk pembuatan 1 kopel rumah tipe 21 yang menggunakan beton keramik, diperlukan sekitar 14 ton abu terbang.

Dalam Repelita VI (1994/95-1998/99) pemerintah mentargetkan pemba-ngunan rumah sederhana 100.000 unit per tahun dan apabila penggunaan beton keramik dapat menyerap 30% dari target tersebut, maka setiap tahunnya akan ter-serap abu terbang sebanyak 10.000 ton.

Penggunaan Lainnya

Selain dari penggunaan abu ter-bang yang telah disebut di atas, terdapat beberapa penggunaan lain yang membe-rikan nilai tambah tinggi. Penggunaan tersebut antara lain adalah: bahan campu-ran pembutan keramik, dan bahan pem-buatan zeolit sintetis (bahanuntuk penjer-nih air, katalis, atua pupuk). Lihat Tabel Potensi Penggunaan Abu Terbang Batubara.

Tujuan Pengelolaan Abu Terbang Batubara

Tujuan pengelolaan abu terbang batubara antara lainadalah sebagai berikut:

* Mendayagunakan abu batubara secara komersial dengan penjualan sebagai bahan asalan dan atau bahan olahan (produk jadi)* Mengurangi kebutuhan lahan tanah untuk penyimpanan abu, yang akan semakin bertambah besar apabila tidak dilakukan pengolahan abu.* Mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat abu batubara yang dihasilkan PLTU.* Secara makro dapat mengurangi masalah kelangkaan semen PC.

Perkiraan Biaya Investasi Penge-lolaan Abu Terbang Batubara

Page 35: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Biaya investasi pengelolaan abu debu terbang ini diperkirakan sebesar Rp 5, 3 milyar, yang meliputi: biaya operasi-onal harian, biaya pengelolaan abu batu-bara (ash management) dan biaya pemba-ngunan dan infrastruktur untuk pelaksa-naan bisnis abu batubara, termasuk inves-tasi peralatan dan kendaraan end close truck, dengan perincian sebagai berikut:

Unit Pengolahan (Rp 2.100.000)

Classifier, Silo, Blower,Pipa-line, Bagging system, Bangunan produksi, Site development, Engineering.

Unit Transportasi (Rp 1.600.000)

End close-trucks, Garasi.

Unit Kendaraan Operasional (Rp 500.000)

Kantor pusat, pemasaran dan proyek

Unit Administrasi Perkantoran (Rp 60.000.000)

Telepon, facsimile, komputer, filing, furniture, dll

Working Capital (Rp 1.000.000.000)

Penutup

Pengelolaan abu terbang batubara pada PLTU mempunyai multi effect yang sangat besar, diantaranya:

* Memberikan keuntungan secara ko-mersial, * Mengatasi dampak limbah pencema-ran PLTU Batubara* Mengurangi biaya pengelolaan limbah abu batubara PLTU,* Mengurangi kendala perluasan kebu-tuhan lahan penampungan limbah batubara dalam jangka panjang* Mengoptimasikan proses daur ulang limbah abu menjadi bahan bangunan bernilai tambah tinggi.

Sumber : http://groups.yahoo.com/group/kimia-industri/message/7

Saluran Pipa Sisa Pembakaran Batubara PLTU Cilacap Bocor

   

Page 36: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

   Rate This

Sebaran polutan debu berwarna putih kecoklat-coklatan pekat bertebaran menyelimuti pemukiman penduduk di sekitar PLTU Cilacap. Sebaran debu tersebut diduga terjadi akibat adanya kebocoran saluran pipa sisa pembakaran batubara. Peristiwa tersebut terjadi hari ini, Kamis 20 November 2008 mulai pukul ± 16.00 sampai malam hari.

Warga masyarakat dusun Kewasen dan Perumahan Griya Kencana Permai desa Karangkandri, kecamatan Kesugihan, kabupaten Cilacap, yang letaknya hanya ± 50 meter dari gerbang PLTU Cilacap, berduyun – duyun keluar rumah menyaksikan peristiwa tersebut. Hal ini semakin menambah kekesalan warga yang sudah menderita menerima dampak  negatif PLTU Cilacap, terutama sebaran debu batubara yang menimbulkan pencemaran udara di pemukiman penduduksejak pertengahan tahun 2006 hingga saat ini.

PLTU Cilacap yang mempunyai dua ( 2 ) unit turbin pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 MW membutuhkan pasokan batubara sebanyak 6000 ton perhari. Selama ini sebaran debu batubara yang mencemari lingkungan pemukiman warga berasal dari tempat penimbunan batubara (stockpile) PLTU Cilacap. Pencemaran debu batubara tersebut terjadi akibat tiupan angin timur pesisir pantai selatan Cilacap yang berhembus kencang ke arah pemukiman warga. Hal ini biasanya terjadi saat musim kemarau.

Peristiwa sebaran debu mungkin merupakan hal yang biasa bagi pihak PLTU Cilacap tapi bagi warga masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Cilacap merupakan masalah yang luar biasa dan tak kunjung selesai. Setiap hari warga menjadi tidak nyaman dan hidup selalu dihantui rasa khawatir akan terjadinya gangguan kesehatan sistem pernafasan di masa mendatang.

Komite Aspirasi Masyarakat (KAM) yang selama ini aktif dan eksis dalam memperjuangkan tuntutan warga masyarakat yang terkena dampak PLTU Cilacap, akhirnya mengirimkan surat kepada Presiden SBY dengan perihal Permohonan Penyelesaian Dampak Pencemaran PLTU Cilacap pada tanggal 19 November 2008.[ ]

Sumber: http://www.jatam.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=590

DOSIS RADIASI YANG DITERIMA PENDUDUK DI SEKITAR PENGOPERASIAN PLTU BATUBARA

      

Page 37: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Rate This

Pertambahan penduduk yang semakin meningkat memerlukam kebutuhan energi yang meningkat pula seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Seperti halnya di Indonesia kebutuhan energi listrik semakin meningkat, khususnya untuk Jawa-Bali.

Indonesia banyak memiliki beraneka ragam sumber daya energi untuk pembangkit tenaga listrik yang dapat dipakai untuk memenuhi kebuhan masyarakat, seperti transportasi, pendidikan, dan industri-industri dalam berbagai bidang. Menurut Departemen Pertambangan dan Energi, pemakaian energi oleh sektor industri sama dengan pemakaian sektor transportasi masing-masing sekitar 40 %. Pada tahun 2010, sektor transportasi akan memerlukan energi sebesar 20 % lebih banyak dari pada kebutuhan energi oleh sektor industri dan angka ini akan menjadi 30 % pada tahun 2010.

Berbagai sumber daya sistem pembangkit listrik yang dapat dibangun di Indonesia, antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Pembangkit Listrik Tenaga Minyak, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar batubara. Pusat Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar batubara yang (PLTU batubara) kini merupakan sumber daya energi pembangkit listrik alternatif yang akan dikembangkan di Indonesia. Di Jawa sudah lama beroperasi PLTU batubara, yaitu Suryalaya (Banten), Tanjung Jati (Jawa Tengah), Paiton (Jawa Timur), dan pada waktu mendatang akan dibangun di beberapa daerah di luar Jawa.

PLTU batubara merupakan system pembangkit listrik yang relatif murah dengan biaya operasi sekitar 30 % lebih murah dibandingkan dengan sistem pembanglkit listrik dengan bahan bakar yang lain dan dapat memberikan energi listrik cukup besar, namun konsekuensinya dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan.

Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan berupa gas beracun (SOx, NOx, COx) yang dapat menyebabkan hujan asam, abu terbang (fly ash) yang mengandung logam-logam berat (Pb, Hg, Ag, dan Cd) dan radionuklida alam yang berasal dari kerak bumi, yaitu deret uranium (238U), thorium (232Th), dan potasium-40 (40K).

Makalah ini memberikan informasi sejumlah radionuklida alam dari kerak bumi yang sering disebut radionuklida primordial, terkandung di dalam batubara dalam jumlah cukup besar. Jika batubara tersebut dibakar pada suhu tinggi maka sejumlah abu terbang hasil pembakaran akan lepas ke lingkungan melalui cerobong PLTU bataubara. Abu terbang tersebut mengandung radioanuklida primordial.

Radionuklida primordial yang dominan biasanya adalah radionuklida 226Ra (anak luruh 238U),228Th (anak luruh 232Th), dan 40K. Lepasan radionuklida tersebut ke lingungan dapatmemberikan dampak radiologi kepada penduduk yang bertempat tinggal di sekitar PLTU batubara.

Page 38: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkunganlingkungan di sekitar PLTU batubara. Dalam makalah ini dilakukan perhitungan kadar radionuklida alam yang terkandung dalam abu terbang, dan selanjutnya data tersebut dipakai untuk penaksiran dosis radiasi tahunan yang diterima oleh penduduk yang bertempat tinggal di sekitar PLTU batubara.

Makalah selengkapnya dapat di Download disini

Sumber :SutarmanPusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN• Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta – 12440• PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070

PLTU Batubara 10 Ribu MW Timbulkan Masalah Lingkungan

      Rate This

Jakarta (ANTARA News) – Dari studi lingkungan, dampak emisi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara 10.000 MW masih di bawah baku mutu PP no 41 tahun 1999 tentang Kualitas Udara Ambien.

“Yang jadi masalah adalah kebutuhan listrik yang terus meningkat di Jawa sehingga pasti ada penambahan kapasitas lebih dari yang ditargetkan,” kata Deputi Kepala BPPT bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material Marzan Aziz Iskandar di Jakarta, Kamis.

Dari program percepatan 10 ribu MW pada sistem Jawa-Bali pada 2010 diperkirakan akan terpenuhi 5.007 MW, antara lain, PLTU Suralaya 625 MW, PLTU Labuan 2×316 MW, Teluk Naga 2×300 MW, Pelabuhan Ratu 3×300 MW,Indramayu 3×330, PLTU Paiton baru 660 MW, dan Pacitan 2×300 MW.

Sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa lebih dari 6.000 MW, lanjutnya, dibangun PLTU dekat mulut tambang batubara di Sumsel yakni empat unit PLTU berkapasitas 600 MW dan akan ditransmisikan melalui kabel laut ke Jawa.

Tercatat, PLTU batubara berkapasitas 1.000 MW saja menghasilkan CO2 6,5 juta ton, SO2 44 ribu ton, NOx 22 ribu ton dan abu 320 ribu ton.

Page 39: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Disebutkan pula, kondisi yang ideal beban PLTU di satu lokasi hanya 5 sampai 6 unit PLTU skala 600 MW, atau setidaknya 8 hingga 9 unit skala 600 MW, khususnya untuk menekan emisi SO2.

Sebelumnya, Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Bambang Hermawanto mengatakan program percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW sekarang sudah 20-30 persen.

Di Jawa, katanya, sudah dilaksanakan tahap konstruksi delapan proyek 6.072 MW, persiapan kontrak satu proyek 600 MW dan persiapan tender ulang satu proyek 600 MW.

Di luar Pulau Jawa dilaksanakan 30 proyek dari mulai persiapan tender, diskusi kontrak hingga penandatanganan kontrak sembilan proyek 918 MW.(*)

Sumber : http://www.antara.co.id/view/?i=1206017663&c=WBM&s=

Besarnya kerugian akibat batu bara di China: 250 miliar dolar AS atas polusi, kerusakan lingkungan, dan penyakit sosial

      Rate This

Sebuah laporan mengungkapkan kerugian tersembunyi dari pemakaian batu bara. Dalam “Kerugian Nyata akibat Pemakaian Batu Bara”, sebuah laporan yang dibuat oleh para ahli ekonomi dan kelompok-kelompok lingkungan termasuk Greenpeace, pemakaian batu bara saat ini di China terhitung merugikan negara tersebut sebesar 250 miliar dolar AS per tahun karena limbah dan kerusakan lingkungan.

Laporan itu juga mengungkapkan kerugian besar bagi manusia, dengan rata-rata 13 orang penambang yang meninggal di tambang batu bara setiap harinya. Laporan tersebut menganjurkan pemerintah untuk memikirkan kerugian ini mengenai nilai batu bara sebagai sumber energi. Terima kasih hijau para ahli ekonomi Cina, Greenpeace, dan kelompok-kelompok lingkungan lainnya, karena menyarankan untuk memikirkan kembali kerugian-kerugian ini. Semoga pemerintah-pemerintah di seluruh dunia mengembangkan sumber-sumber energi berkelanjutan dengan lebih cepat agar hidup menjadi lebih ringan di planet kita.

Sumber : http://suprememastertv.com/bbs/board.php?bo_table=sos_ina&wr_id=346

Angkut Batu Bara atau Alirkan Listrik?

Page 40: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

      Rate This

Kompas, Rabu, 27 Februari 2008

Pada awal tahun 2008, sistem kelistrikan Jawa-Bali terganggu. Dua pembangkit listrik tenaga uap hanya beroperasi 50 persen akibat terhambatnya pengangkutan batu bara melalui jalur laut (Kompas, 3/1/2008). Sebagai solusi manajerial, Dewan Komisaris PLN memberhentikan Direktur Pembangkitan dan Energi Primer yang dianggap bertanggung jawab atas kelalaian dalam manajemen suplai batu bara itu (Antara, 5/1/2008). Sayang, dalam kasus ini solusi manajerial saja sering tidak cukup karena sifatnya jangka pendek dan cenderung berulang tanpa menyelesaikan masalah utama.

Terbukti, ancaman pemadaman listrik secara bergilir di seluruh Jawa-Bali terjadi lagi pada bulan Februari ini saat pasokan batu bara lagi-lagi terhambat setelah kapal-kapal tongkang yang membawa batu bara tidak bisa merapat akibat cuaca buruk dan gelombang laut yang tinggi (Kompas, 20/2/2008). Penyelesaian yang komprehensif memerlukan solusi sistemik karena kebutuhan listrik terus meningkat, dan yang paling menjanjikan adalah dengan mengalirkan listrik, bukan mengangkut batu bara.

Dalam 10-20 tahun ke depan, permintaan listrik dunia diperkirakan berlipat ganda dengan batu bara menyuplai sekitar 40 persen dari keseluruhan pembangkitannya (Agensi Internasional untuk Energi, 2006).

Di Indonesia, permintaan listrik di Pulau Jawa dan Bali meningkat 6,2 persen per tahun sehingga kurang dari lima tahun lagi beban puncak listrik Jawa-Bali akan naik 7.000 megawatt (MW), dari 15.000 menjadi 22.000 MW. Untuk itu, harus dibangun pembangkit listrik baru—sebagian besar masih berbahan bakar batu bara—demi menghindari krisis energi listrik.

Masalahnya, cadangan batu bara umumnya terletak jauh dari pusat beban listrik (kota-kota besar) sehingga suplai energi skala besar jarak jauh tak terelakkan.

Suplai energi Sumatera-Jawa

Pulau Sumatera memiliki cadangan batu bara yang besar. Muara Enim, Sumatera Selatan, mengandung cadangan batu bara hingga 13,5 miliar ton. Adalah pilihan logis untuk mengeksploitasi batu bara di Sumatera sebagai solusi krisis energi Jawa-Bali.

Ada dua skenario dasar suplai energi batu bara Sumatera-Jawa.

Page 41: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Pertama, mengangkut batu bara atau turunannya (misalnya dalam bentuk gas sintetik) dari lokasi penambangan di Sumatera menggunakan transportasi kereta api, kapal laut, atau pipa (gas sintetik) untuk menyuplai pembangkit listrik di Jawa.

Kedua, membangun pembangkit listrik di lokasi penambangan batu bara di Sumatera, mengalirkan listrik ke Jawa dengan saluran transmisi tegangan tinggi.

Perhitungan penulis dengan kasus hipotetik menunjukkan, mengalirkan 1.000 MW listrik sejauh 1.000 kilometer menggunakan transmisi listrik arus searah (600 kilovolt) adalah pilihan paling ekonomis, dengan biaya pembangkitan listrik di titik beban jatuhnya sebesar 3,5 sen dollar AS. Sebagai pembanding, mengalirkan listrik dengan transmisi arus bolak-balik (750 kV), mengonversi batu bara menjadi gas sintetik, dan mengalirkannya lewat pipa atau mengangkut batu bara dengan kereta api menghasilkan biaya pembangkitan listrik masing-masing 4,5 sen, 4,7 sen, dan 5,2 sen dollar AS.

Keuntungan teknis membangun pembangkit listrik di dekat pusat beban adalah fleksibilitas suplai batu bara. Jika pembangkit listrik dibangun di Jawa, batu bara dapat disuplai tidak hanya dari Sumatera, tetapi juga dari tempat lain, seperti Kalimantan, bahkan dari luar negeri.

Yang perlu diperhitungkan kemudian adalah keandalan dan manajemen suplai saat, misalnya, pengangkutan batu bara melalui jalur laut terhambat cuaca buruk, gelombang laut tinggi, kurangnya kapal pengangkut, atau terbatasnya kapasitas pelabuhan.

Namun, dari sisi ekonomi, suplai energi dengan mengangkut batu bara menggunakan kereta api dan pipa (gas sintetik) masih terbentur biaya investasi yang amat tinggi, baik dalam pembangunan rel kereta api, pipa gas, maupun fasilitas pengonversian batu bara menjadi gas sintetik.

Akibatnya, kedua metode ini hanya ekonomis untuk transfer energi skala raksasa. Lester Lave dan timnya di Universitas Carnegie Mellon, AS, menghitung, membangun jaringan rel kereta api atau pipa gas sintetik baru ekonomis jika energi yang ditransfer di antara dua titik lebih dari 9.000 MW (Environmental Science & Technology, 2005).

Perlu dicatat, dalam perhitungan ini digunakan batu bara jenis sub-bituminous, sedangkan penambangan di Sumatera menghasilkan batu bara jenis lignit yang hanya mengandung kadar energi setengahnya sehingga semakin besar skala energi yang harus ditransfer di antara dua titik sebelum pilihan ”mengangkut batu bara” menjadi ekonomis. Dari aspek lingkungan pun jauh lebih sulit mengatasi polusi langsung, seperti polusi suara atau debu pada penduduk sekitar saat pembangkit listrik dibangun di daerah padat penduduk seperti Jawa.

Sebaliknya, pembangunan transmisi listrik jarak jauh akan menghubungkan dua jaringan listrik Jawa dan Sumatera (interkoneksi) yang meningkatkan keandalan teknis keduanya. Rugi-rugi listrik per kilometer pada transmisi listrik arus searah (2,5 persen per 1.000 km) yang jauh lebih rendah daripada arus bolak-balik (empat persen per 1.000 km) menjadikan transmisi arus searah jauh lebih ekonomis untuk jarak jauh. Dampak polusi langsung pun akan amat berkurang saat pembangkit listrik dibangun jauh dari daerah padat penduduk.

Page 42: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Kebutuhan listrik yang meningkat amat tinggi di Jawa-Bali mungkin menuntut kombinasi solusi dengan sebagian pembangkit listrik tetap dibangun di Jawa dan sebagian lagi di dekat lokasi penambangan batu bara di luar Jawa, dengan segala peluang maupun risikonya dari sisi ekonomi, teknis, lingkungan, bahkan sosial dan politik.

Maka, yang terpenting, solusi harus dipilih dengan menimbang semua aspek (sistemik). Bila perlu, dilakukan penelitian yang teliti dengan melibatkan pihak publik baik dari kalangan akademisi maupun industri hingga keputusan terbaik dapat diambil.

Muhamad Reza ABB Corporate Research, Power Technologies

Original link: http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.27.03275799&channel=2&mn=158&idx=158

Ketika Batubara Tak Hanya Hasilkan Uang

      Rate This

Hampir empat bulan belakangan ini Propinsi Bengkulu dipusingkan oleh rusaknya jalan umum, baik itu jalan negara, jalan propinsi, hingga jalan kabupaten/kota, oleh angkutan batubara yang beroperasi di negeri yang terkenal dengan bumi Rafflesia ini. Kondisi ini memicu konflik horizontal (antara masyarakat dengan masyarakat), maupun konflik vertikan (pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat).

Pada tahap awal, kerusakan jalan akibat angkutan tambang direspons dingin oleh masyarakat, namun seiring dengan semakin berdatangnya dampak ikutan dari kerusakan jalan, maka semakin resahlah masyarakat. Dampak awalnya, berupa semakin tingginya angka kecelakaan akibat menghindari jalan berlubang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu pun lembaga yang bisa menghitung berapa jumlah kecelakaan di jalan raya per harinya akibat rusaknya jalan.

Page 43: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Dampak ikutan berikutnya adalah tingginya korban penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).  Dari data yang dikumpulkan oleh harian lokal, Rakyat Bengkulu, Selama empat bulan terakhir saja, sudah 851 warga Bengkulu terserang penyakit ISPA. Rinciannya, bulan Maret 192 orang. Bulan April meningkat menjadi 200 orang. Bulan Mei bertambah sebanyak 232 orang.

Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Pulau Baai melalui tenaga observasi M. Nasir, S.Kom mengatakan, tingkat polusi semakin tinggi di daerah yang jalannya rusak. “Bisa jadi tingkat polusi udara di jalur Truk batubara tingkat polusi udaranya tinggi. Karena sekali lewat debu akan berterbangan kemana-mana. Kalau angin mengarah ke stasiun kita,” terang Nasir.

Pada bulan Juli rata-rata kadar polusi udara meningkat menjadi 67,92 mikrogram/M3/24 jam dari bulan Juni 60,10 Mikrogram/ M3/24 jam. Dari segi kesehatan ini tidak menggangu. “Secara global udara memang masih layak konsumsi, tetapi di suatu wilayah yang jalannya rusak dan berdebu tingkat polusi akan semakin tinggi,” terang Nasir (www:harianrakyatbengkulu.com).

Selanjutnya menyusul lagi jeritan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), ini perusahaan daerah yang paling menderita. Perusahaan ini mengklaim hasil penelitian yang mereka lakukan bersama Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) propinsi bahwa positif kadar besi dan mangan di intake melebihi ambang batas. Artinya air di intake PDAM tersebut positif tercemar logam berat. PDAM harus mengolah air melalui penyulingan, sebelum didistribusikan ke masyarakat. Dapat dipastikan ribuan warga kota Bengkulu sebagai konsumen PDAM teracuni oleh logam berat. Anehnya, Badan Lingkungan Hidup (BLH) propinsi mengatakan air PDAM masih diambang batas. (www:walhibengkulu.blogspot.com/www.harianrakyatbengkulu.com)

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, setelah jualannya dicemari, kembali pipa besar milik PDAM seharga Rp 39 juta hancur digilas truk-truk batubara yang diperkirakan melebihi batas tonase standar jalan di Propinsi Bengkulu.

Dari data Walhi Bengkulu, kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu penghasil batubara paling produktif di Propinsi Bengkulu, setidaknya ada 12 perusahaan besar pemegang Kuasa Pertambangan (KP) di kabupaten ini. Serta beberapa perusahaan di kabupaten Seluma. Dengan rata-rata masa berlaku di atas 25 tahun.

Berkisar dua bulan yang lalu mencuat kabar bahwa pajak dari Kuasa Pertambangan (KP) di Propinsi Bengkulu hanya menyumbang PAD sebesar Rp 500 juta per tahun, dengan pembagian royalti sebesar Rp 1.5 miliar per tahun.

Hasil beberapa wawancara informal kami dengan beberapa petinggi pertambangan di Bengkulu menyebutkan bahwa mereka justru tergencet oleh mekanisme yang diterapkan oleh pemerintah. Mereka membantah jika sumbangan mereka kepada PAD hanya Rp 500 juta.

‘’Kami banyak menyumbang untuk PAD lebih dari Rp 500 juta per tahun, kami merasa tergencet dengan pemerintah, bayangkan dalam satu bulan kami harus menyetorkan uang cuma-cuma (diluar pajak formal) sebesar Rp 100 juta kepada petinggi di propinsi ini, jadi mengenai jalan rusak, kami telah bayar pajak tinggi, Mas. Anda bisa lihat sekarang kondisi kami juga

Page 44: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

mengenaskan, kontrakan saja sudah pindah ke kontrakan tak layak huni,” terang salah seorang petinggi pemegang KP di Propinsi Bengkulu, yang sengaja inisialnya kami sembunyikan.

Selanjutnya, para pemegang KP juga mengancam akan hengkang dari Propinsi Bengkulu jika iklim investasi di propinsi ini tidak segera diperbaiki lebih jujur.  Dampak ikutan berikutnya datang dari keluhan nelayan di Pesisir Pantai Pasar Bengkulu, yang mengeluhkan banyaknya limbah batubara menutupi terumbu karang. Kondisi ini ditakutkan akan berkurangnya ikan di masa depan, karena terumbu karang merupakan tempat ikan-ikan bersarang dan bertelur. Sekedar info, air Sungai Bengkulu hulunya terletak di kecamatan Taba Penanjung, kabupaten Bengkulu Tengah, di hulu sungai ini terdapat satu pertambangan besar batubara. Di hulu sungai dilakukan pencucian batuara ke sugai, sehingga banyak sisa batubara yang mengalir ke laut.

Rakyat Mulai Beringas

Kondisi terkini, dengan semakin parahnya jalan di Propinsi Bengkulu, masyarakat mulai melakukan tindakan, mereka mulai memblokir jalan-jalan yang biasa dilalui truk-truk pengangkut batubara, dengan cara membakar ban-ban bekas. Parahnya lagi, kondisi ini diperkeruh dengan saling melempar tanggung jawab antara Walikota Bengkulu dan Gubernur Bengkulu terhadap perbaikan jalan. Dari beberapa pengamatan, jalan-jalan di propinsi Bengkulu memang telah lama tidak terawat, entah ke mana menguapnya uang-uang perawatan jalan tersebut. Jika tidak segera diantisipasi dengan baik, tidak menutup kemungkinan ‘chaos’ akan terjadi.

Indikasi ‘chaos’ ini dapat dilihat dengan maraknya pula aksi demonstrasi para buruh sopir truk angkutan batubara ke kantor Gubernur Bengkulu. Mereka beramai-ramai membawa truk-truk angkutan menemui Gubernur untuk meminta kejelasan rute angkut, sebab mereka dilarang masuk ke jalan kota Bengkulu menuju Pelabuhan Pulau Baai. Truk-truk tersebut dialihkan ke jalan lain, yakni ke desa Kembang Seri, kecamatan Talang Empat, kabupaten Bengkulu Tengah (pemekaran dari kabupaten Bengkulu Utara) menuju pelabuhan Pulau Baai. Sialnya, memasuki Desa Kembang Seri, mereka juga dilarang lewat oleh warga setempat dengan alasan jembatan di desa Kembang Seri tidak mampu menahan bobot truk lebih dari 20 ton.

Koreksi Amdal

Ini merupakan masalah serius sebagai alat koreksi dan evaluasi bagi para pemegang kebijakan, berkali-kali lembaga-lembaga independent dan NGO meneriakkan untuk meneliti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan cermat sebelum dikeluarkan. Jika tidak mau kondisi seperti ini terjadi. Bisa dipastikan ini merupakan hasil dari pembuatan Amdal yang ‘ngawur’.  Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) beberapa waktu lalu menemukan bahwa lebih dari 70 persen dokumen Amdal di negeri ini dibuat dengan cara asal-asalan tanpa melibatkan warga setempat.

Tidak saja masalah Amdal, tapi kearifan dan kejujuran pemimpin terhadap rakyat jugalah penting, bukan pemimpin yang sibuk dengan mencari rezeki untuk kantong pribadinya saja. Ingat, pemilik dan pemegang KP juga banyak dari pejabat tinggi dan mantan pejabat, baik nasional maupun lokal.(*)

Page 45: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Penulis: Kepala Departemen Kampanye Walhi Bengkulu

« Kearifan   Nelayan,   Selamatkan   Bumi   |   Screenshot   Captor »

Warga minta kompensasi polusi debu PLTU

      Rate This

REMBANG – Pertemuan antara warga Desa Leran, Kecamatan Sluke, Rembang, yang diwakili sejumlah tokoh masyarakat dengan PT PLN/PLTU di Pendapa Kecamatan Sluke, kemarin, belum ada titik temu. Warga ngotot minta ganti rugi berupa uang sebagai kompensasi akibat terkena polusi debu batu bara dari lokasi proyek PLTU.

Selain itu warga juga mengeluhkan suara bising uji coba mesin PLTU yang sering sampai larut malam. Namun PT PLN melalui Manajer Sektor PLTU Sluke, Ir Slamet Riyanto menolak permintaan warga. Lantaran tidak ada anggaran untuk itu.

Pertemuan kemarin difasilitasi Badan Lingkungan Hidup Jateng dan Muspika Sluke. Hadir antara lain Kepala Badan Lingkungan Hidup (LH) Jateng Ir Joko Sutrisno MSi, Camat Sluke Abdullah SSos dan Ir Endro Sumantri MEN dan beberapa rekannya dari Undip Semarang sebagai konsultan lingkungan PLTU Sluke.

”Kami mewakili aspirasi dan suara warga yang terkena polusi debu batu bara, menuntut dua hal. Yaitu, minta kompensasi berupa uang dari penderitaan warga akibat terkena debu batu bara. Selain itu, warga Leran minta diprioritaskan bekerja di PLTU sesuai kemampuannya,” ujar Mustahal yang dibenarkan oleh Kades Leran, Minawir.

Rohmat, salah seorang warga mengatakan, selain terkena polusi debu batu bara, warga juga merasa sangat terganggu dengan suara bising mesin PLTU. Bahkan bunyi mesin terdengar hingga larut malam. ”Jika mesin itu masih dalam tahap uji copba, lantas selesainya kapan,” tanya Rohmat agar Slamet Riyanto memberi jawaban yang pasti.

DisiramManajer Sektor PLTU Sluke Slamet Riyanto mengatakan, sangat mengerti keluhan warga. Oleh karena itu, pihaknya telah melakukan upaya-upaya normatif yang masiksimal untuk mengeliminir terjadinya polusi debu batu bara. Antara lain menyiram stok batu bara dengan air tawar yang dicampur degan kompon.

”Dalam hal ini kami terkendala dengan ketersediaan air tawar. Kami mengalami kesulitan mendapatkan air tawar untuk menyiram stok batu bara untuk mengurangi debu. Ini terjadi karemna saat ini sedang musim kemarau, sehingga banyak sumber air mati,” kata Slamet Riyanto.

Page 46: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Dia juga menyatakan, upaya lain adalah mengembangkan green belt (sabuk hijau) di lokasi proyek PLTU sebagai tembok hidup untuk mengurangi penyebaran debu ke perkampungan warga.

”Dalam melakukan penanaman penghijauan ini kami telah merangkul warga di Leran,” ujar Slamet seraya menambahkan, menyangkut kompensasi berbentuk uang, Slamet Riyanto menegaskan tidak bisa. Lantaran dari perusahaan memang tidak ada fasilitasi untuk itu

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=34314&Itemid=35

Kearifan Nelayan, Selamatkan Bumi

 

 

 

 

 

 

Rate This

Semarang, GreenPress-Melihat data-data proses pemanasan global dalam tiga abad terakhir, sejumlah bukti nyata ditemukan bahwa pemanasan global meningkat seiring perkembangan industri. Budaya industri membuka kran pemanasan global. Oleh karena itu kehadiran bakau, terumbu karang, hutan-hutan secara langsung menjaga kondisi bumi.

Hal tersebut disampaikan, R.Riza Damanik Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) , melalui siaranpersnya yang diterima Green Press. Diungkapkan,dalam perenungan makna Hari Bumi, KIARA Layar Nusantara, YLBHI-LBH Semarang, Komunitas Prenjak bersama sejumlah nelayan dan petambak tradisional berencana memperingati Hari Bumi dengan penanaman bakau di Pulau Tirang, Semarang serta menggelar aksi teatrikal bersama Komunitas Seniman Omah Piring. Kegiatan tersebut berlangsung pada 22 April 2010, sejak pukul 08.00 WIB sampai selesai.

M.Riza Damanik mengatakan,semangatnya adalah menjaga keharmonisan hidup antara alam dan manusia. Manusia harus menerima dan menghargai alam, tentu dengan tradisi dan adat masing-masing. Rezeki bersumber dari laut akan selau memberkahi hidup nelayan dan umat manusia. Dengan demikian, kegiatan memungut hasil laut sepatutnya tidak dilakukan secara berlebihan, apalagi berpola industri eksploitatif.”

Di Jawa Tengah, terhitung 41 titik bencana akibat reklamasi pantai, pembuangan limbah cair dan padat, pembabatan bakau penyedotan pasir hingga pembelokan sungai yang menghidupi rakyat

Page 47: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

banyak. Pulau Tirang terancam tenggelam akibat abrasi. Tambak rakyat di Mangunharjo dan Tugurejo amblas. Di Jepara, 25 jaring perahu tradisional tertabrak kapal pengakut batubara milik PLTU Jepara.

“Penyelenggara negara perlu sadar bahwa sumbangan segenap rakyat terhadap pemeliharaan dan penjagaan alam sekitar melalui budaya merupakan sikap positif yang sudah tentu menjadi begitu berkesan dan bermakna terutama di masa mendatang,“ papar Riza.

“Penting bagi penyelenggara negara untuk segera menyadari dan menghentikan kekeliruan model pembangunan eksploitatif yang menghancurkan bumi dan meminggirkan rakyat. Rakyat telah menjalankan perannya semaksimal mungkin untuk melakukan pemeliharaan dan penjagaan kelestarian alam sekitar melalui tradisi bahari yang dihayati di pelbagai penjuru Nusantara,”ujarnya.

Menurut KIARA, sudah saatnya upaya positif rakyat ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan, pertama, mengoreksi pelbagai kebijakan publik terkait pengelolaan sumber daya alam yang merusak bumi dan sarat pelanggaran HAM; kedua, mengadopsi model pengelolaan sumber daya alam lestari yang dijalankan masyarakat; dan ketiga, menindak tegas perusak lingkungan hidup dengan hukuman yang seberat-beratnya. (Marwan Azis).

Silahkan Share :

Facebook    Twitter    Email   

Dampak lingkungan ekspoitasi tambang batubara             Rate This

Page 48: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Dari hasil diskusi POKJA PWLH banjarmasin yang menghadirkan Walhi, Kompas Borneo, Lsm lainnya menyoroti mengenai pertambangan batubara khususnya di daerah Kalimantan Selatan. perubahan alam KalSel sudah tersasa akibat dampak tambang batu bara. kawasan daratan kalsel telah hancur, hutan gundul akibat penebangan secara membabibuta, ditambah dengan penambangan yang tak terkendali.

Di kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksaas atau kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga tak mungkin bisa direklamasi .

Kawasan Satui tempat operasi PT Arutmin menyebabkan alam berganit menjadi hutan buatan hasil reboisasi dan menghilangkan hutan alam penjaga lingkungan. yang paling parah, ratusan bahkan ribuan hektar lahan bekas tambang yang dikelola masyarakat baik perusahaan kecil atau individu, dimana mereka hanya mengambil batu bara dan dibiarkan tanpa reklamasi. sekarang ini sungai martapura yang berhulu di pegunungan Meratus telah berubah warna dan tingkat kekeruhannya akhibat partikel kaolin, lumpur dan material lainnya. tambang batubara juga telah mengubah tingkat plusi udara dan debu diberbagai wilayah kalsel. selain itu tambang telah melahirkan gas metana yang berakibat meningkatkan tingkat keasaman tahanh disekitar tambang sehingga kawasan tambang tidak subur dan cenderung gersang. keluhan lain yang merisaukan akibat kegiatan tambang yaiut terjadinya pendangkalan sungai, pencemaran air limbah dll, berikut beberapa dampak dari pertambangan batubara:1. lubang tambang.2. Air Asam tambang: mengandung loga berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.5. polusi udara: akibat dari flying ahses yang berbahaya bagi kesehatan penduduk dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan.

Reklamasi reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang

terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. agar menghasilkan lingkunga ekosistem yang baik.permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi:* pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan

Page 49: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

pengisian kembali* stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng, dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air.* Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi* Karakteristik kandungan bahan nutrien dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh pada kegiatan revegatasi* Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang* Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara.* Penanganan bahan galian yang masih potensial dan bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-sitiu, berupa tailing atau waste* Rekonstruksi tanah* Revegatasi* Penanganan air asam tambang* Pengaturan Drainase

maaf semua tulisan ini akan berlanjut pada edisi berikutnya, karena yang punya blog sudah ga kuat lagi mandangin monitor,next time kita bicara solusi, wassalam…

Sumber : http://haniyahsofyan.blogspot.com/2009/11/dampak-lingkungan-ekspoitasi-tambang.html

Pemerintah Dianggap Gagal Atasi Kerusakan Lingkungan

            Rate This

Page 50: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

JAKARTA - Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia (PERWAKU) menganggap pemerintah gagal mengatasi kerusakan lingkungan yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan.

Demikian diutarakan Sekretaris Jendral Perwaku, Herdianto WK pada acara perhelatan Perwaku di Kridangga Ballroom Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Jumat (30/04/2010). “Tiga dampak kerusakan lingkungan yang berpotensi memiskinkan rakyat yaitu banjir, kemacetan lalu lintas dan penyakit karena buruknya kesehatan lingkungan,” kata Herdianto

Herdianto merinci tiga dampak tersebut seperti banjir yang dapat merubah orang menjadi miskin karena kehilangan rumah dan harta benda, kemacetan membuat biaya transportasi sekitar 30 persen dari pendapatan setiap orang dan penyakit menyebabkan biaya rumah sakit yang dapat menghabiskan tabungan masyarakat.

Perwaku berpendapat saat ini dibutuhkan kepemimpinan dan keberanian untuk menyetop bencana lingkungan dan pemiskinan massal. Perwaku juga melihat pemerintah memiliki kemampuan finansial terbatas atasi kerusakan lingkungan dan menawarkan enam solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran.

Solusi tersebut yaitu merampingkan birokrasi, fokus pendanaan, perbesar inisiasi rakyat, adopsi jasa lingkungan, restorasi ruang dan perbesar alokasi pembangunan green infrastructure.

Sumber : http://www.sripoku.com/view/33831/pemerintah_dianggap_gagal_atasi_kerusakan_lingkungan

Pengusaha Mengaku Sudah Kantongi Izin

SUSUKANLEBAK – Sejumlah pengusaha pertambangan golongan C yang ada di Kecamatan Susukanlebak khususnya lokasi pertambangan yang berada di Desa Kaligawe Wetan dan Sampih membantah kalau usahanya tak berizin seperti yang diduga oleh LSM Geger sebelumnya.

Page 51: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Oskar, salah seorang pengusaha pertambangan yang mempunyai usaha di Desa Kaligawe Wetan mengatakan kepada Radar (21/3) kemarin, bahwa pihaknya sudah mengantongi segala bentuk perizinan pembukaan usaha pertambangan sejak tahun 2011 lalu. Izin tersebut terdiri dari Surat Pemberian Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi (SPFRPL) bernomor 503/138.01/BPPT yang dikeluarkan pada tanggal 14 April 2011, Surat Izin Lokasi (SIL) bernomor 503/200.02/BPPT yang dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2011 dan Surat Izin Pertambangan (SIUP) bernomor 503/04.05/BPPT dengan tanggal terbit 8 Juni 2011. “Ketiga surat itu ditandatangani langsung oleh Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Cirebon Drs H Abdul Mutholib MM,” katanya.

Dijelaskan, dalam izin tersebut, Oskar diberi izin untuk mengelola pertambangan golongan C (pasir) seluas 35.890 meter persegi dengan status tanah hak milik adat yang berlokasi di Blok Cikengkok, Desa Kaligawe Wetan, Kecamatan Susukanlebak dan Izin usaha ini berlaku hingga 8 Juni 2016 dan diwajibkan melakukan heregristasi setiap satu tahun sekali. “Ya nanti pada Bulan Juni mendatang kita akan melakukan heregristrasi,” jelasnya

Pihaknya menambahkan, dengan bukti-bukti tersebut, menunjukkan bahwa apa yang diduga oleh LSM Geger sebelumnya tidaklah benar, karena berbagai syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon berdasarkan Perda sudah ditempuh sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang ada. “Tidak benar itu, bukti izinnya bisa kami tunjukkan,” imbuhnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Dedi, pemilik izin usaha pertambangan golongan C di Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak, bahwa apa yang dituduhkan oleh LSM Geger ini tidaklah benar, sebab saat ini pihaknya sudah mengantongi izin usaha pertambangan golongan C. “Saya sudah punya izin usaha yang masih berlaku,” terangnya.

Ia juga membantah jika menjual dua bahan material lebih. “Saya hanya menjual pasir, tanah urug tidak, karena izinnya belum keluar, baru pada tahap proses pengurusan di birokrasi Kabupaten Cirebon,” bantahnya lagi.

Sementara ditempat terpisah, secara singkat Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama (Sekber) Perhimpunan Pecinta Alam Se-Ciayumajakuning, Dedi Wahyudi  mengungkapkan seharusnya sebelum izin pertambangan dikeluarkan dan aktivitas penambangan dilakukan, Pemerintah Kabupaten Cirebon melalui dinas atau badan terkait yang mengurusi segala aspek tentang ekplorasi sumber daya alam harus menghitung lebih cermat dan mengkalkulasi secara detail  tentang dampak ekonomi serta ekologinya. Jangan sampai setelah lingkungan rusak , semua pihak baru bersuarah lantang dan saling lempar tanggungjawab. “Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” pungkasnya. (jun)

`Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang, dan Walhi menyeru pemerintah Indonesia menghentikan ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Yaitu dengan cara menggagalkan rencana membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batubara.

Page 52: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Seruan tersebut dilontarkan pada peluncuran laporan berjudul “Batubara mematikan: Biaya tinggi untuk batubara murah, bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahan bakar terkotor di dunia.”

Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Asia Tenggara Hindun Mulaika menyatakan Indonesia sejatinya tidak membutuhkan batubara lagi. Yang diperlukan adalah sebuah revolusi energi. Energi terbarukan dikombinasi dengan efisiensi energi yang dapat memangkas emisi CO2

sebagaimana komitmen Presiden Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menurut dia, Indonesia memiliki sumberdaya surya, angin, dan geotermal yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan energinya. Jika pemerintah Indonesia meninggalkan rencana energi kotornya, maka lebih dari 40 persen kebutuhan energi utama akan dapat dipenuhi melalui sumber-sumber terbarukan.

Hal ini tidak hanya akan menghentikan kerusakan pada kesehatan manusia dan kemasyarakatan, serta degradasi ekologi, dan dampak buruk perubahan iklim. “Ini akan menjadi kontribusi penting bagi masa depan anak-anak dan cucu kita,” ujar Hindun dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (11/11/2010).

Greenpeace mengingatkan, batubara meninggalkan jejak-jejak kerusakan lingkungan yang sangat dasyat sepanjang proses pemanfaatannya. Mulai dari pertambangan sampai ke PLTU batubara.

Kerusakan yang ditimbulkan mulai dari kerusakan hutan ketika pembukaan pertambangan batubara, sampai kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian yang dialami masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan dan PLTU.

Laporan “Batubara mematikan: Biaya tinggi batubara murah, bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia” berisi testimoni bagaimana tambang batubara dan PLTU bertenaga batubara secara drastis mempengaruhi kesehatan dan sumber mata pencaharian masyarakat yang tinggal di dekatnya.

Kisah-kisah tersebut memaparkan konsekuensi gelap dari ekspansi batubara. Di antaranya polusi beracun, hilangnya mata pencaharian, tergusurnya masyarakat, gangguan kesehatan pada sistem pernafasan dan sistem syaraf, hujan asam, polusi asap dan menurunnya panen pertanian. “Hal-hal yang diabaikan pemerintah dan industri untuk mendapatkan listrik murah,” terangnya.

Indonesia saat ini merupakan negara produsen batu bara terbesar kelima di dunia dan merupakan eksportir batubara kedua terbesar didunia. Bukti-bukti kuat akibat serius dari penggunaan batubara jelas terlihat pada propinsi-propinsi penghasil batubara di Indonesia.

Saat ini, Indonesia berencana untuk meningkatkan pembangkitan listrik dari batubara sebesar 34,4 persen pada 2025. Rencana ini adalah bagian dari usaha mengurangi penggunaan minyak bumi dan bergeser ke batubara dan gas, dengan target 10.000 MW dari batubara.

Page 53: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

Tapi melalui program awal yang seharusnya dicapai pada tahun 2009 dengan rampungnya 35 PLTU bertenaga batubara, 10 di antaranya di Pulau Jawa, dan selebihnya di pulau-pulau lain, kurang dari 60 persen dari target ini telah tercapai.(ful)

Revolusi Energi berawal disini!

Pulau Mansinam, berada di propinsi Papua Barat, adalah sebuah pulau dengan nilai relijius dan sejarah yang sangat kental.

Pulau ini terletak di teluk Doreh, di bagian selatan ibukota propinsi Papua barat, Manokwari. Di pulau inilah, dua misionaris Kristen Eropa menginjakkan kaki pertama kalinya di Papua  pada tahun 1855 untuk menyebarkan agama Kristen.

Dan karena itu setiap tahun pada 5 Februari, umat Kristen Papua memperingati hari kedatangan injil di Papua dengan berduyun-duyun berziarah ke pulau Mansinam.

Tahun ini peringatan sedikit berbeda – Masyarakat Papua tiba di gereja dan melihat monumen salib mereka sekarang di terangi dengan listrik yang bersumber dari energi terbarukan, energi yang bersih. Untuk memperingati hari masuknya injil di Papua, Greenpeace mempromosikan energi terbarukan.

Pemasangan sumber listrik yang berasal dari tenaga angin dan surya -sistem energi hybrid – sebesar 1 kilowatt akan menyalakan pengeras suara, serta pencahayaan di gereja dan monumen salib yang menjadi ikon pulau ini. Dengan berbasis energi terbarukan gereja, sebagai pusat kehidupan masyarakat di Mansinam, tidak akan bergantung pada bahan bakar diesel atau fosil yang selama ini mereka gunakan, dan akan memanfaatkan sumber tenaga matahari dan angin di pulau mereka sendiri.

Proyek ini, harus dipahami sebagai sebuah inisiasi yang dimaksudkan untuk memicu proyek-proyek serupa dan merangsang dan memajukan pembangunan berkelanjutan di Papua. Proyek ini untuk menunjukkan bagaimana energi terbarukan dapat bekerja untuk kepentingan masyarakat.

Dengan pemasangan pembangkit listrik tenaga matahari dan angin di Papua ini, Greenpeace berinisiatif maju terlebih dahulu menuju visi pembangunan hijau dan bersih. Jika visi ini dilakukan dalam kerangka kerjasama lembaga swadaya masyarakat, pemerintah lokal dan nasional, serta masyarakat lokal, maka Papua bisa melakukan pembangunan tanpa harus bergantung pada energi kotor.

Meskipun pulau Papua dianugerahi kekayaan alam melimpah, wilayah ini  dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kesejahteraan yang  rendah di Indonesia. Saat ini hanya sekitar 30,65% desa di Papua sudah mendapat listrik, jauh di bawah target pemerintah dimana 2011 rasio elektrifikasi untuk seluruh wilayah Indonesia diharapkan mencapai 65%.

Papua saat ini menghadapi pilihan: memilih energi yang  berkelanjutan dan adil didukung oleh energi terbarukan yang bersih, atau akan selamanya terkurung dalam energi kotor berbahan

Page 54: Dibalik Penangkapan Aktivis Greenpeace

bakar fosil yang hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang tetapi menebar bahaya dan ancaman kesehatan kepada mayoritas masyarakat sekitar.

Greenpeace yakin dengan kebutuhan listrik, kondisi geografis dan penyebaran penduduk, Papua bisa menjadi contoh sempurna untuk sistem desentralisasi energi terbarukan yang siap dimanfaatkan hari ini dan masa depan.

Proyek ini merupakan bagian dari seruan Greenpeace untuk Revolusi Energi di Indonesia. Laporan Energy [R]evolution yang dipublikasikan oleh Greenpeace bekerja sama dengan Pusat Teknik Universitas Indonesia (UI) dan European Renewable Energy Council (EREC), adalah cetak biru praktis dan detail bagaimana memangkas emisi karbon sambil meraih pertumbuhan ekonomi dengan mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan, sistem desentralisasi dan teknologi energi efisiensi.

Sumber : Greenpeace

http://aliusmanhs.wordpress.com/category/lingkungan/

http://forumkota.blogspot.com/search/label/lingkungan

http://www.cirebonnews.com/Berita/Pemda-Beri-Bibit-Pohon-Untuk-Kader-Peduli-Lingkungan.html#itemCommentsAnchor