Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

download Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

of 10

Transcript of Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    1/25

    KISAH

    DI BALIK PEMBUATAN FILM

    'AYAT-AYAT CINTA'

    Oleh : Hanung B

    Editor: akhdian

    http://akhdian.wordpress.com

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    2/25

    KATA PENGATAR

    Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT . Shalawat dan salam semoga tercurah kepadauswah kita Nabi Muhammad SAW.

    Jujur saya adalah penggemar Novel-nover karangan kang Abik, panggilan untuk

    Habiburahman El Shirazy. Salah satunya adalah Ayat-Ayat Cinta (AAC). Meski buku itu

    saya baca jauh dari awal peluncuran, tapi saya merasa tidak ketinggalan dalam

    menemukan sari-sari keindahan dari Novel Ayat-ayat cinta tersebut.

    Saya sampai meneteskan air mata ketika membaca Novel AAC. Sesuatu yang

    jarang saya lakukan dan jarang saya rasakan ketika membaca sebuah buku. Saya

    menemukan nilai lebih yang bisa saya ambil. Suatu suasana yang 'mungkin' pernah saya

    rasakan ketika menjadi aktivis Kerohanian FT UNY dan juga takmir M-Al-Ikhlash/Al-

    Jihad Yogyakarta beberapa tahun lalu. Ada kerinduan yang mengharu biru dalam dada

    saya . Kangen.

    Setelah membaca AAC saya juga hunting novel karangan kang Abik yang lain.

    Meski hanya pinjam saat ini saya sudah membaca Novel Pudarnya Pesona Cleopatra,

    Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 dan Dalam Mihrab Cinta.

    Setelah saya searching di Internet saya menemukan kalau AAC akan dibuat film

    layar lebarnya. Subhanallah . Saya merasa bersyukur karena seolah ada setetes embun

    sejuk ditengah perfilman Nasional yang hanya sering membuat Film bertema horor dan

    percintaan remaja.

    Berita tentang Film ini sudah tersebar di internet. Banyak blog yang memuat

    tentang akan tayangnya Film ini. Bahkan Trailer Film ini juga sudah beredar di situs

    Youtube.

    Saya pun sudah menanti. Dan berniat menonton film ini sekeluarga. Namunternyata Film AAC yang rencananya tayang akhir Desember mundur jadi Januari.

    Kenapa? Itu yang saya tanyakan dan mungkin jutaan pecinta AAC yang lain. Saya cari

    tahu. Saya search di Internet dan akhirnya menemukan blog Mas Hanung Bramantyo,

    sang sutradara AAC. Di blog mas Hanung

    1

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    3/25

    http://dearestmask.blogs.friendster.com/my_blog saya menemukan jawabannya. bahkan

    lebih dari yang saya butuhkan.

    Blog Mas Hanung mengupas kisah-kisah pembuatan Film AAC secara detail. Jujur

    ketika saya membaca baris demi baris tulisan Mas Hanung saya merasa seperti membaca

    Novel bukan hanya membaca sebuah diary. Indah menyentuh. Perjuangan yang ckup

    melelahkan tapi penuh optimisme untuk mewujudkan idealisme..

    Maka setelah membaca seluruh Kisah Di Balik Produksi AAC saya mendapat ide

    mengapa kisah tersebut tidak dibuat e-book. Akhirnya saya berusaha membuat e-book

    berdasarkan tulisan dari Mas Hanung yang ditulis di blognya. Saya mengedit apa adanya

    tulisan Mas Hanung. Saya belum sempat minta izin ke Mas Hanung dan semoga Mas

    Hanung tidak keberatan tulisannya saya buat E-book.

    Kepada Mas Hanung dan seluruh crew Film AAC semoga film AAC yang dibuatakan Booming Di Indonesia. Amin . Dan yang terpenting lagi bagi yang membuat dan

    menonton film juga bisa mengambil hikmah dari FILM AAC tersebut.

    Kita tunggu penayangannya ☺

    Bogor, 20 Desember 2007

    Akhdianhttp://akhdian.wordpress.com

    2

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    4/25

    KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.1)

    Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa ibuku

    dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu:

    Islam . Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang

    menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar petuah-

    petuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih, kadang

    berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera. Membuat

    dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku

    sebuah film agama. Tapi aku tidak begitu saja lantas menyerah. Aku coba berangkat dari

    apa yang aku kenal: Muhammadiyah. Lalu merentet ke sebuah nama: Ahmad Dahlan.

    Hmm, aku memang menyukai film yang mengangkat satu tokoh: Gandhi, Erin

    Brokovich, Henry V, Shakespeare, Baghad Sigh, Malcom X, dan mungkin juga nanti

    Sukarno (kalau memang jadi difilmkan oleh Hollywood). Film yang mengangkat tokoh

    bisa membuat penonton bercermin. Dan Agama adalah cermin bagi manusia untuk

    senantiasa melihat kembali dirinya: Kotor atau bersih?

    Lalu aku membuat proposal Ahmad Dahlan untuk aku tawarkan ke PPMuhammadiyah. Ditolak! Muhammadiyah tidak ada uang, katanya . Aku cuma bengong

    saja. Tidak ada uang? Kataku dalam hati. Ah, sudahlah. Mungkin waktu itu aku belom

    dipercaya. maklum masih kuliah di IKJ semester Akhir.

    3

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    5/25

    Lalu kutinggalkan itikadku membuat film Agama. Aku terjun membuat film Cinta:

    Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa

    suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang agama.

    Alhamdulillah , benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat

    Cinta (AAC).

    'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku

    'Sederhana. Pertama , Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia 80

    persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1

    persen dari 80 persen masak tidak bisa.'

    1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton.

    dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya

    10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.Aku jadi berfikir, kenapa Muhammadiyah tidak berfikiran begitu ya? Kalau cuma

    mengumpulkan 2 juta penonton, masa Muhammadiyah tidak sanggup? Bukankah dari

    80% tersebut 40% adalah warga Muhammadiyah? Ah, dasar stupid pikirku. Banyak

    orang Islam tidfak berfikir luas seperti orang-orang Yahudi. Oleh sebab itu Islam selalu

    dimarjinalkan, mudah diadu domba, dibohongi ... diakali.

    Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.

    Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo, aku

    menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku

    mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka

    bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk.

    Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi dibalik bibir

    pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...

    Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya.

    'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran

    di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu

    Akbar ... Allohu Akbar . Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?

    Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam

    sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang

    Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.

    4

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    6/25

    'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.

    Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku

    tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku

    sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah

    pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci

    tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.

    Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan.

    Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan pertama

    datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan,

    sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini

    akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel

    yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'Pada suatu hari ada sekelompok orang datang ke kantor MD, mereka bilang dari

    organisasi Islam. Mereka datang dengan membawa seorang lelaki berwajah putih dan

    seorang gadis berjilbab. Mereka bilang ...

    'Ini calon pemain Fahri dan ini calon pemain Aisha' sambil menunjuk ke lelaki

    berwajah putih dan gadis berjilbab itu.

    'Kami dari organisasi Islam' lanjutnya 'Kami sangat concern terhadap dakwah

    islamiah. Kami tidak ingin film Ayat-Ayat Cinta melenceng dari novel dan ajaran Islam.

    Kang Abik (Nama panggilan Habiburrahman El Shirasy) sudah tahu tentang ini.'

    Kami hanya saling pandang dan tersenyum. Aku ... malu sekali.

    Tentu saja kami menolaknya. Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-

    hati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan

    'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin

    sebagai penasehat kami.

    Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang

    abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri.

    Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren. Tetapi hasilnya Nol. Bukan

    berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara

    mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara

    mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat

    5

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    7/25

    film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang

    kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita

    dengan cambuk api.

    Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah

    pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas

    'Kesucian Fahri'. Banyak diantara mereka beracting 'sok suci' dengan melantunkan ayat-

    ayat dan menyebut asma Alloh dengan berlebihan, mirip seperti ustadz-ustadz di TV-TV.

    Pernah aku menemukan seorang yang menurutku pas bermain sebagai Fahri. Tetapi lelaki

    itu tidak beragama Islam. Kang Abik tidak setuju. Lalu ditengah keputusasaan kami

    datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng).

    Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng.

    Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh,dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku

    melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya

    mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik.

    Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang

    main sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat

    Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi

    Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca fanatik

    AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan Fedi

    ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku

    terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat dengan Islam. Belajar

    kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang

    Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini

    setelah memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu

    besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.

    Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk

    mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan.

    Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku mengcasting seorang

    perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik,

    tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda

    6

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    8/25

    lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun

    dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi.

    Pada saat kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan,

    tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami bingung

    dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.

    Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din

    Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab. Lihatlah siapa

    artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab

    dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat

    sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain

    bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim.

    Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...

    'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang

    muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan

    memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam seperti di India.'

    Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh

    terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India,

    masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam

    toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan

    Carrisa Putri sebagai Maria.

    Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami

    kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus

    berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya. Ryanti

    sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter

    ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara

    Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu

    membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku

    ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan

    keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang,

    Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan

    7

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    9/25

    penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak

    menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC

    menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film

    ini ...

    Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan

    Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan

    yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat

    kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel

    digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya

    adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih

    dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk

    dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupunKuch Kuch Hotahai ...

    Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!! begitulah yang aku dapatkan di film ini.

    Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan

    sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan

    ... cinta. Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah

    memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada

    Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai film ini,

    dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan

    penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang

    telah berpesan untuk membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau

    berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam ...

    La haula wa kuwwata illa billahi ...

    KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.2)

    8

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    10/25

    Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul,

    dan segudang manusia-manusia ciptaan Kang Abik bertebaran, hidup, saling bicara dan

    saling mencinta. Kairo sangat indah kata kang Abik. Sudut-sudut pasar El Khalili, jalanan

    di Down Town, Menara-menara masjid termasuk didalamnya Masjid Al Azhar dan

    University of Azhar Cairo. Sangat detil kang Abik menggambarkan itu dalam novelnya,

    yang membuat aku tertantang untuk mewujudkan dalam gambar: Bangunan-bangunan

    tua peninggalan 3 Dinasti (Firaun, kesultanan dan Penjajah Perancis), Kios-kios

    berdempetan berhadapan dengan trotoar-trotoar sempit yang penuh dengan pejalan kaki,

    terkadang diisi kursi-kursi rotan café pinggir jalan yang meletakkan seorang tua sedang

    menyedot shisa. Lalu 5 jam dari tempat itu, menuju matahari terbit, kita melihat kampung

    tua El Giza dengan aroma kotoran unta yang … hmmm, sekilas menjijikkan, tetapi …

    tertutup oleh eksotisnya lingkungan khas kairo. Bangunan itu berdiri dari tumpukan bata-bata merah yang dipoles campuran semen dan pasir. Menjadikan warna coklat muda

    dominan, berpadu selaras dengan warna tanah, warna kain-kain yang dipakai membalut

    tubuh gadis-gadis kairo, dan warna kulit unta. Bangunan itu ada banyak. Bertebaran.

    Saling berdiri begitu saja. Tidak begitu rapi seperti bangunan-bangunan kuno di Itali atau

    paris, tapi sangat menarik bagiku. Apalagi dengan latar belakang sepasang pyramid yang

    gagah menjulang menyentuh langit.

    Kairo … ah, Kairo. Di kota ini aku akan meletakkan kamera, melukis dengan cahaya,

    membangun set dan meletakkan pemain-pemain didalamnya. Pemain Indonesia yang

    bergaya selayaknya orang kairo asli.

    Aku datang bersama tim kecil, menjalin kerjasama dengan local production

    house, Egypt Production. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami. Kata

    mereka, tidak mudah membuat film di kairo. Skenario film harus dapat ijin dari sensor

    film. Tidak seperti di Indonesia. Bisa dengan gampang membuat film apa aja. Karena

    waktu yang kita punya sangat sempit, ijin yang seharusnya 3 bulan, bisa diurus dalam 2

    minggu oleh seorang local producer bernama Tammer Abbas; seorang muslim kairo,

    cerdas, berpengalaman di bidang film dan kharismatis. Tammer mem-provide apa yang

    kita butuhkan: Hunting Lokasi, akomodasi dan transportasi hingga penyewaan alat. Di

    benankku, sedemikian jelas tergambar film ini akan sedetil seperti yang kang abik

    tuliskan di novel.

    9

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    11/25

    Setelah riset selesai dan scenario jadi, 20 tim dari Jakarta datang untuk melakukan

    hunting lokasi sekaligus test kamera. Kami melakukan shooting di sebuah tempat di El

    Giza. Alat-alat yang di sediakan buat kami jauh lebih bagus dari yang sering kita pakai di

    Indonesia. Kami sangat di support disana. Kami melakukan persiapan di kairo selama 2

    minggu. Tammer akan mensupport semua shooting di Kairo berikut kostum, lokasi, crew

    dan pemain pendukung. Film ini benar-benar akan menjadi film Indonesia yang shooting

    total di Luar Negeri. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah perkembangan film

    nasional. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku waktu itu. Ibu, aku akan

    persembahkan yang terbaik buatmu … sebuah film agama yang indah dan bersahaja.

    Yang akan kau kenang … dan semua umat muslim Indonesia dan dunia tentunya …

    `Mendadak semua berhenti begitu saja. Impian itu kandas. Producer

    membatalkan shooting di Kairo dengan alasan bujet produksi yang ditawarkan EgyptProduction tidak masuk akal. Tammer Abbas menawarkan angka 3 kali lipat produksi

    standart Film Indonesia. 1 Film AAC di produksi sama saja memproduksi 3 film layar

    lebar di Jakarta. Siapapun producer di negeri ini akan berfikiran sama: Membatalkan

    produksi Film.

    Seakan runtuh bangunan mimpi yang sudah aku bangun. Satu persatu

    menimpaku.

    Tapi producerku tidak begitu saja berniat membatalkan produksi film ini.

    ‘Kita sudah terlanjur berjanji dengan banyak orang.’ Katanya …

    Bersama-sama kita mulai memikirkan bagaimana AAC bisa diproduksi sesuai

    dengan apa yang kita inginkan. Kemudian kita mencari sponsor untuk bisa tetap shooting

    di Kairo. Kita menjalin kerjasama dengan The Embassy of Egypt di Jakarta. Lewat

    hubungan baik dengan ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mereka setuju dengan

    tawaran ini. Kata Dubesnya, Film ini akan dikelola oleh dua Negara: Indonesia dan

    mesir. Sebelum di putar di bioskop, film ini harus diputar dihadapan presiden Negara-

    Negara Islam di Asia dan Timur Tengah, begitu kata Dubes. Betapa senangnya aku

    mendengar kabar ini. Impianku bangkit. Ku kabarkan berita ini ke teman-teman crew dan

    pemain. Mereka kembali semangat. Akhirnya dibuatkan kesepakatan antara dua Negara

    melalui Dubes Mesir-DepBudPar-PP Muhammadiyah. Bersama-sama kita melakukan

    pers conference, mengabarkan berita gembira ini ke masyarakat.

    10

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    12/25

    Namun lagi-lagi semua itu tidak ada artinya. Pemerintah mesir, sekalipun

    memberikan dukungan buat kerjasama ini, tidak bisa melakukan intervensi terhadap

    harga-harga termasuk di dalamnya Equiptment, lokasi, property. Itu adalah hak

    perusahaan swasta. Artinya, sekalipun di dukung pemerintah, tetap tidak bisa

    mempengaruhi harga. Harapan shooting di Kairo akhirnya kandas. Terlebih lagi pihak

    Egypt Production tiba-tiba mengirimkan tagihan atas hunting, pelayanan persiapan dan

    test kamera selama di kairo sebesar 500 juta rupiah. Angka yang tidak masuk akal buat

    producer untuk harga test kamera dan hunting. Biasanya di Jakarta kami melakukan

    hunting sekitar 5 juta sampai 10 juta. Test kamera gratis kita lakukan karena itu salah satu

    fasilitas perusahaan penyewaan alat.

    Akhirnya producer tidak mau membayarnya. Terjadilah perselisihan antara

    keduanya. Pihak Egypt Production melayangkan surat gugatan ke pihak KBRI di Kairo.Pihak KBRI kairo mengirimkan surat ke Departemen Luar Negeri Indonesia dan

    Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang isinya terjadi penipuan pihak MD kepada

    perusahaan Kairo. Berita ini membuat Deplu dan Depbudpar menarik kembali

    dukungannya. Begitu juga dengan pihak Dubes Mesir. Seperti sebuah drama tragedy saja,

    nasib produksi Ayat-Ayat cinta tidak terselamatkan.

    Terbayang olehku bangunan-bangunan bersejarah, menara-menara masjid Azhar

    yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional, pyramid, guran sahara,

    pantai Alexandria yang indah … hilang … hilang ditelan angin begitu saja. Lalu pesan

    ibu terngiang : … Kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film agama … Ana

    aasif … ya ummi …

    11

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    13/25

    KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.3)

    Bukan sekali ini aku mendapatkan persoalan pada saat membuat film. Persoalan

    buatku adalah sahabat karib. Di Dapur Film aku menekankan ke teman-teman, jika mau

    terjun ke dunia film, persoalan adalah bagian hidup kita. Bukan berarti kita mencari

    persoalan, tapi persoalan harus kita sikapi sebagai tantangan. Akan tetapi persoalan yang

    menimpaku sekarang ini seolah tak berujung. Menangis sudah bukan suatu yang luar

    biasa lagi.

    Sejak kabar kita bakal sulit shooting di kairo aku jadi tidak bergairah. Tapi kabar

    film AAC bakal diproduksi sudah beredar. Posisiku sulit. Bersamaan dengan itu film

    produksi pertama MD yang berbujet besar drop di pasaran. Sebuah film yang dianggapidealis, bahkan tidak mampu menembus angka 100 ribu penonton. Keyakinan producer

    mulai goyah.

    ‘Apakah kamu masih yakin AAC akan diproduksi?’ Kata producer padaku,

    ‘Iya’ jawabku yakin. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apakah keyakinan itu sekuat

    dulu.

    ‘Apakah AAC adalah film yang bakal di tonton?’ tanyanya kemudian.

    Aku lalu ingat pernyataannya tentang 80% penduduk Indonesia adalah muslim.

    Kemudian aku membalikkan pernyataan itu kepadanya. Jawabnya …

    ‘Ya, tetapi setelah melihat realitas, penonton kita masih belum bisa menerima

    film-film berat.’

    Beberapa detik aku sempet bingung dengan istilah film berat. Aku tahu pada

    waktu itu kondisi psikologis producerku sedang drop. Tidak hanya satu-dua juta kerugian

    yang dia tanggung di film pertama. Wajar jika sudah menggoyahkan keyakinannya. Aku

    berusaha meyakinkan dia lagi kalau AAC adalah film yang ditunggu penonton. Aku juga

    meyakinkan kalau kita di dukung oleh Muhammadiyah. Tapi alasan itu tidak cukup buat

    dia. Sebuah dukungan bisa dengan gampang dicabut. Tetapi sebuah produk yang sudah

    diproduksi tidak bisa diuangkan. Investor tetap menanggung beban besar. Intinya, dia

    butuh keyakinan kalau AAC adalah film yang bakal ditonton lebih dari 1 juta penonton.

    Jumlah tersebut diperhitungkan secara bisnis untuk balik modal, mengingat bujet yang

    12

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    14/25

    dipersiapkan untuk memproduksi AAC duakali lipat bujet standart Film Indonesia. Yah,

    sekitar 7 Milyar.

    Lalu produk seperti apa yang ditonton oleh satu juta penonton?

    Pertanyaan itu yang akan merobah karakter Film Ayat-Ayat Cinta yang selanjutkan

    menjadi persoalanku kemudian.

    Pertama yang dilakukan untuk menset-up produk agar ditonton oleh satu juta

    penonton adalah mengubah scenario menjadi light. Scenariopun dirombak total. Producer

    sempat menghubungi Musfar Yasin untuk menggantikan Salman Aristo, karena pada saat

    itu Nagabonar jadi 2 meraih 1,3 juta penonton. Musfar menolak dengan alasan tidak etis.

    Salman Aristo kemudian bersedia merubah scenario dengan catatan sedikit keluar dari

    novel. Kita sepakat. Dalam hal ini Kang Abik sedikit kita abaikan dengan maksud

    segalanya berjalan lancar. Mengingat kang Abik kondisinya waktu itu tidak di Jakarta,sehingga untuk melakukan diskusi scenario harus menghadirkannya dari semarang.

    Skenario dibuat dalam 2 minggu. Selama 2 minggu itu kegiatan persiapan

    menjelang shooting dihentikan. Di minggu ketiga seharusnya kita sudah melakukan

    shooting, terpaksa dilakukan persiapan lagi. Jadwal akhirnya mundur satu bulan.

    Keberatan muncul dari para pemain. Sebagian pemain Ayat-Ayat Cinta adalah pemain

    dengan jadwal ketat. Fedi Nuril sibuk dengan album dan tour Garasi. Ryanti sibuk

    dengan jadwal MTV, Carissa dan tante Marini sibuk dengan sinteron striping, Melanie

    putria dan Surya Saputra sibuk dengan presenter. Kalau produksi ini mundur schedule

    pemain yang akan sulit. Di bulan kedepan para pemain tersebut sudah masuk schedule

    lain diluar Ayat-Ayat Cinta. Hal itu membuat Iqbal Rais, asistenku kelabakan mengatur

    schedule. Dalam 2 minggu itu pekerjaan Iqbal berkali-kali melakukan revisi schedule dan

    breakdown shooting. Sedangkan Amelia Oktavia (amek) dan Ruth Damai Pakpahan

    (Iyuth) yang bertugas sebagai casting director me-loby pemain kembali. Itu tidak mudah

    tentunya. Schedule di luar AAC sudah terlanjur di booking oleh para manajer. Malah

    beberapa ada yang sudah kontrak.

    Seperti yang disepakati bersama, scenario rampung dalam 2 minggu. Tapi bukan

    berarti persoalan selesai disitu. Tahap berikutnya adalah menentukan dimana shooting

    dilakukan, mengingat kairo sudah tertutup buat MD. Oh,ya … Hal mendasar yang

    membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah producer mulai menekan bujet

    13

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    15/25

    produksi akibat kerugian di film pertama. Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan

    dengan asumsi bujet produksi tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan

    tidak semudah asumsi itu. Sesuatu yang diciptakan dengan set akan lebih mahal

    dibanding kita menggunakan set yang sudah jadi. Kalau toh ditemukan rumah yang mirip

    dengan yang ada di Kairo, perabot didalam rumah itu tidak bisa dipakai.

    Menjelang shooting aku dan producer banyak bertengkar soal itu. Pengajuan bujet

    untuk tata artistic di potong. Begitupun dengan pengajuan lampu. Aku seperti berada

    dalam ruang isolasi yang semakin lama dinding itu bergerak menghimpit. Pada awal

    persiapan, konsep film AAC adalah menghadirkan keindahan kota kairo dengan

    memotret lansekap sebagaimana tertulis di novelnya kang Abik. Kini, terpaksa harus aku

    persempit mengingat lokasi shooting tidak memadai dan peralatan pendukung dikurangi.

    Aku dan Salman Aristo memutuskan memperkuat dramatik cerita daripada keindahangambar. Oleh sebab itu beban jatuh pada para pemain. Pemain harus mampu secara

    meyakinkan membawakan karakter yang diperankan. Disini muncul persoalan baru.

    Sekalipun Amek dan Iyuth berhasil me-loby pemain untuk mundur shooting, tapi tidak

    bisa dapat waktu untuk latihan. Jangankan untuk melakukan riset dan observasi peran,

    untuk melakukan reading scenario saja waktunya terbatas. Kepalaku mendadak berat

    sekali. Hari-hari shooting tinggal beberapa hari, tapi permainan mereka masih jauh dari

    harapanku. Ya Alloh, selamatkan aku. Selamatkan film ini …

    Pernah suatu kali aku minta mundur lagi karena pemain belum siap, terutama

    Rianti dan Carrisa. Producer tidak memberikan ijin. Aku bingung. Aku melihat Rianti

    dan Cariisa masih jauh dari harapanku. Pada awalnya tokoh Aisha diperankan Carrisa

    dan Rianti sebagai Maria. Saat latihan berlangsung, aku merasa keduanya tidak pernah

    mencapai klimaks. Selalu saja ada yang salah. Kemudian mas Whani Darmawan selaku

    acting coach (Penata laku) mencoba merobah posisi. Rianti sebagai Aisha dan Carrisa

    sebagai Maria. Aku melihat ada perubahan ke lebih baik. Mungkin tepatnya: Lebih pas

    … Tapi aku masih belum yakin dengan itu, dikarenakan banyak persoalan kreatif lain

    yang menghimpitku. Aku tidak bisa dengan jernih memutuskan. Lalu Aku minta bantuan

    Salman Aristo untuk ikut memutuskan. Setelah melewati test kamera, aku, Salman Aristo

    dan Producer bersama-sama melihat dan memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha.

    Aku ingat waktu itu rapat untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha dilakukan

    14

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    16/25

    10 menit sebelum acara pers conference yang menghadirkan PP Muhammdiyah Din

    Sayamsudin dan wartawan dari media cetak dan TV. Di ruang lain, Rianti dan Carisa

    menunggu keputusan itu, karena berhubungan dengan siapa yang akan memakai cadar

    dan jilbab pada saat acara pers conference. Akhirnya, kami memutuskan Rianti yang

    menjadi Aisha. Cadarpun terpasang menutup sebagian wajah cantik Rianti

    Ketika hari Shooting ditentukan, pemain sudah disiapkan secara schedule, Set

    sudah dibangun, mendadak ada kabar Ryanti akan di deportasi karena masa tinggalnya

    sudah habis (Rianti masih menjadi warag Negara Inggris saat ini), sehingga dia harus

    kabur ke Singapura beberapa hari sambil mengurus perpanjangan masa tinggalnya di

    Indonesia. Shooting yang sudah kita tentukan harus mundur lagi. Set yang sudah

    dibangun harus dibongkar. Kepalaku mulai berat. Mataku mulai kabur. Allohu akbar!

    Apa lagi yang harus aku hadapi? Berapa tetes lagi air mataku kutumpahkan dan berapalapang lagi dadaku aku rentangkan? Ingin rasanya aku lari dari semua ini. Tapi aku selalu

    ingat pesan ayahku, wong lanang kui kudu mrantasi … (Lelaki itu harus menyelesaikan

    segala persoalan). Aku melihat sisi positif dari kemunduran ini. Aku bisa focus latihan

    buat pemain. Akhirnya kamipun mundur. Karena set yang sudah dibuat tidak bisa

    dibongkar, kita terpaksa shooting satu hari tapi setelah itu break seminggu.

    Pada saat shooting, aku melihat kairo berdiri di Jakarta dan semarang. Aku melihat metro

    yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai. Aku melihat perpustakaan Al Azhar

    dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota. Flat Fahri, Flat

    Maria dan Pasar El Khalili di kota lama dan Gedung Lawang Sewu Semarang. Ruang

    sidang pengadilan Fahri di Gereja Imanuel Jakarta. Apa yang dibangun Allan, art

    directorku, berhasil meski dengan berbagai kendala keuangan yang tidak lancar. Untuk

    membangun set dan menyediakan property, Allan sering mengeluarkan uang pribadinya

    untuk menutup aliran uang yang tidak lancar. Gajinya yang seharusnya di bagi-bagikan

    kepada krunya, habis buat belanja property dan membangun set. Karenanya banyak

    krunya pada marah-marah dan kabur.

    Pada saat shooting berlangsung, tidak begitu saja mulus dan on schedule. Hari-

    hari pertama kami berhasil menghadirkan suasana kairo dengan menyewa orang-orang

    arab sebagai extras. Karena shooting selalu selesai tengah malam, orang-orang arab lama-

    lama tidak mau diajak shooting lagi. Maklumlah, mereka bukan berprofesi sebagai

    15

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    17/25

    pemain. Kebanyakan dari mereka pedagang, mahasiswa, karyawan bahkan ada yang

    dokter. Suatu kali pernah si dokter marah-marah karena shooting sampai malam, padahal

    sebagai dokter dia tidak pernah berpraktek sampai malam. Di hari-hari menjelang akhir

    shooting AAC, bahkan untuk mengajak gembel Arab pasar Tanah Abang pun tidak bisa.

    Masya Alloh!!

    Di Kota lama dan Lawang sewu Semarang, kami menghadapi persoalan kamera

    terbakar, hujan, berhadapan dengan preman Kota Lama, ruang sempit dan lapuk karena

    tua yang membuat set lampu lama. Dengan begitu scene yang seharusnya diambil jadi

    banyak terhutang. Untuk membayarnya, kita menunggu jadwal pemain kosong, Amek

    dan Iyuth kembali me-loby, iqbal rais kembali membongkar break down. Hal itu terus

    menerus mereka lakukan sampai-sampai Amek dan Iyuth kehilangan muka di hadapan

    manajer dan pemain. Tidak jarang aku melakukan improvisasi demi efisiensi. Banyakadegan aku sederhanakan. bahkan dibuang. Tapi aku cukup senang karena aku bisa

    merobah salah satu sudut kota lama semarang menjadi pasar di El-Giza. Aku

    menghadirkan unta dari Kebun Binatang Gembiraloka Jogjakarta. Penduduk kota lama

    Semarang dibikin heboh dengan munculnya unta secara tiba-tiba di sana.

    Shooting paling berat yang aku rasakan pada saat adegan sidang Fahri. Aku

    memilih gereja Imanuel Jakarta untuk di set sebagai ruang pengadilan. Aku

    menghadirkan lebih dari 300 ekstrass. Semua pemain utama kumpul jadi satu. Penata

    kostum, penata make up kewalahan menghadapi banyaknya pemain. Ini salah satu scene

    dengan jumlah pemain paling banyak. Aku melihat hal yang unik di sana. Banyak pemain

    memakai Jilbab bahkan bercadar, tapi mereka berada di dalam gereja. Tanda salib

    bertebaran di atas kepala mereka. Suatu yang lucu dan menarik aku lihat. Lalu aku ingat,

    pada saat aku masuk masjid Al Azhar, bahkan untuk ijin memotret saja tidak mudah.

    Apalagi shooting. Tapi di gereja Imanuel ini, aku tidak hanya membawa kamera dan

    lighting. Aku bahkan memasukkan teralis penjara sebesar 3 meter persegi didalamnya.

    Aku tertawa kalau memikirkan itu …

    Tidak terasa, persoalan sudah menjadi bagian dari produksi ini. Malah, ketika

    persoalan tidak muncul aku merasa ada yang aneh. Terlepas dari semua itu, aku senang

    bisa terlibat dalam persoalan. Terlebih lagi, persoalan itu bisa terpecahkan sekalipun

    dengan air mata. Semoga kedepan, aku bisa lebih dewasa.

    16

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    18/25

    Robbana afrigh alaina shabran wa tsabit aghda mana fanshurnaa ala qaumil kafiriin ...

    ( ...Ya Alloh, limpahkan kami kesabaran. tegakkanlah kaki kami kembali. Lindungilah

    kami atas orang-orang yang membenci kami ...)

    Hingga shooting ini selesai, kami masih berhadapan dengan puluhan persoalan

    lagi. Nantikan di bagian IV (AAC hijrah ke India untuk menghadirkan Sungai Nil,

    Padang Pasir dan kota) ...

    17

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    19/25

    KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.Akhir)

    Shooting di Jakarta sudah selesai. Aku puas dengan kerja tim AAC yang solid.

    Sekalipun berat, tetap commit untuk menyelesaikan film ini apapun hambatannya.

    Padahal secara legal, kontrak crew sudah habis 1 bulan sebelumnya. Artinya, mereka

    bekerja tanpa ikatan kontrak lagi. Ini yang membuat aku terharu atas commitment

    mereka. Terlebih lagi, banyak diantara mereka non-muslim. Tapi tidak satupun dari

    mereka yang mengkaitkan keyakinan itu dengan kualitas kerja mereka.

    Sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya, meski Allan bisa menyulap

    Semarang dan Jakarta jadi kairo. Secara geografis, tidak akan tergambar jika tidak ada

    shooting di Kairo. Awalnya producer sudah puas dengan hasil shooting di Indonesiatanpa perlu shooting di Kairo. Saya sangat keberatan.

    Sebenarnya, dari hasil sisa adegan yang belum diambil, hanya membutuhkan

    waktu 5 hari saja shooting di kairo. Akhirnya producer mengerti dan menjalin hubungan

    dengan local production lain di kairo. Local producer itu sering menangani film-film

    asing yang shooting di Cairo. Sebuah perusahaan yang juga berpengalaman d bidang

    produksi film. Setelah melihat konsep film AAC, dia menawarkan harga untuk shooting

    disana selama 5 hari. Jumlah yang diajukan sebesar 3 Milyar untuk shooting 5 hari. Nilai

    yang bahkan di Indonesia bisa membuat satu film.

    ‘Angka yang tidak masuk akal’ kata producerku.

    Aku sepakat dengan producerku, meski aku tahu konsekwensi membuat film

    sesuai dengan novel Kang Abik memang berbujet besar. Tapi aku tetap tidak percaya

    degan penawaran itu. Setelah kita cek quote yang diajukan, aku melihat item-item yang

    tidak rasional. Misalnya, makan per orang dia budjet kan 100 US$ sehari. Padahal pada

    saat riset di sana, aku bisa makan dengan 25 ribu sehari. Bujet penawaran itu tidak bisa

    ditawar kecuali kita mengurangi jumlah hari dan kru. Negosiasi tertutup.

    Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf perusahaan

    MD yang orang India. Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang kita butuhkan mirip

    Cairo. Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan foto-foto lokasi di India, saya jadi

    yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University,

    18

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    20/25

    Padang Pasir lengkap dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada.

    Tapi itu bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang

    lebih dikenal dengan special effect.

    Disaat persiapan menuju India, tercetus ide untuk tetap bisa shooting di Kairo

    dengan dibarengi workshop film buat mahasiswa Indonesia-Al Azhar. Lalu aku

    menghubungi PCIM (Pimpinan Cabang Islam Muhammadiyah). Mereka setuju dengan

    ideku. Kita bahkan dibantu KBRI. Di Kairo, aku dan PCIM berencana menggelar

    workshop dengan peserta anggota PCIM (mereka adalah mahasiswa Indonesia yang

    sekolah di Azhar Univ yang menjadi anggota Muhammadiyah) dan akan Shooting

    mengambil suasana kota dengan kamera kecil bersama dengan mahasiswa peserta

    workshop tersebut. Biasanya, kegiatan yang mengatasnamakan mahasiswa tidak perlu

    ijin berbelit-belit. Maka segala sesuatu dipersiapkan. Dari Jakarta, tim yang berangkat keIndia 20 orang termasuk pemain, tetapi 6 diantaranya berangkat duluan ke Kairo selama 4

    hari. 6 orang tersebut adalah, Fedi Nuril, Faozan Rizal (Kamera), Kasnan (Asisten

    Kamera), seorang pengawal alat, Adi molana (tata suara) dan aku.

    Producer setuju dengan rencana tersebut. Tapi ditengah persiapan itu, muncul

    kendala di pengurusan Visa. Karena hari shooting di India dan Kairo berurutan, membuat

    pengurusan visa tarik-tarikan antara keduanya. Waktu kita hanya 1 minggu sebelum

    keberangkatan shooting, sementara mengurus Visa di India membutuhkan waktu 4

    sampai 5 hari karena jumlah orang yang akan berangkat banyak. Begitupun mengurus

    Visa Kairo. Akhirnya aku minta tolong pihak PCIM dengan bantuan KBRI menguruskan

    visa on arrival. KBRI setuju dan sudah menghubungi pihak emigrasi cairo bahwa akan

    datang tim dari Indonesia berjumlah 6 orang untuk workshop. Kamipun senang dengan

    kabar tersebut. Terbayang eksotisnya kota kairo, kios-kiosnya, menara-menara masjid

    yang menjulang, jalan raya yang macet, kampung- el giza. Bahkan pihak KBRI bisa

    menyediakan fasilitas khusus masuk kawasan pyramid dengan bebas. Rasa optimisku

    bangkit lagi. Akhirnya … aku bisa shooting di Kairo …

    Tapi, lagi-lagi semua itu cuma mimpi. Sesampainya di bagian Check In Bandara

    Sukarno-Hatta, aku dan 5 kru lainnya tidak boleh berangkat. Waktu itu kami berencana

    terbang ke Kairo dengan Sinagpore Airlines (SQ). Pihak SQ tidak bisa memberangkatkan

    kami dengan alasan tidak ada visa. Aku menjelaskan, bahwa kita dapat fasilitas Visa on

    19

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    21/25

    Arrival dari KBRI Cairo. Mereka minta bukti tertulis dari pihak KBRI sebagai pegangan.

    Aku tunjukkan undangan dari PCIM untuk workshop atas nama Muhammadiyah ke

    pihak SQ. Mereka tidak mau terima. Yang mereka minta adalah surat tertulis yang

    menjamin 6 orang yang diterbangkan SQ bisa diterima di Kairo. Itu tanggungjawab

    Airlines atas keselamatan penumpang. Aku segera telpon pihak PCIM untuk

    menghubungi KBRI. Ternyata hari itu kantor KBRI libur. Sekalipun bisa terhubung

    secara pribadi dengan bagian konsulat KBRI, tapi untuk urusan administrasi harus

    melalui kantor. Akhirnya, kami tidak jadi berangkat. Kamera yang sudah kita sewa, tiket

    yang sudah kita beli dan segala harapan untuk bisa shooting di Kairo buyar … Dada ini

    terasa sakit sekali. Dalam perjalanan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, tanpa sadar,

    air mataku meleleh lagi. Ya Alloh, Apakah aku terlalu kotor memproduksi film ini, maka

    kau berikan hambatan buatku untuk yang terbaik?Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini, sebuah

    kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik dan pembaca

    fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film ini semaksimal yang

    aku bisa.

    Pesawat Malaysia Airlines take off dari Jakarta membawa 20 Kru dan pemain

    AAC beserta dua kopor berisi Kostum pemain, 3 kopor berisi property keperluan Artistik

    dan dua kopor lain berisi bahan baku film 35mm serta kabel-kabel. Kira-kira 8 jam

    perjalanan, kami mendarat di Banglore untuk transit. Saat itu malam hari. Udara agak

    dingin. Pesawat yang membawa kita ke Bombay baru besok pagi sekitar jam 10 take off

    dari bandara. Menurut travel agent di Jakarta, di Banglore kita disediakan penginapan.

    Tetapi kenyataannya bukan penginapan sebagaimana layaknya sebuah hotel transit di

    bandara international. Kita disediakan satu apartement dengan 6 kamar. Padahal kami

    berjumlah 20 orang dimana tidak semuanya laki-laki. Kopor kami juga banyak. Tidak

    layak buat kami untuk menempati satu apartement. Malam itu sudah jam 12 malam.

    Pihak administrasi apartement sudah tutup untuk meminta tambahan satu apartement lagi.

    Kami kebingungan sendiri. Setelah beberapa lama terkatung-katung, salah seorang

    pembantu apartement lain menawari bisa memakai apartementnya kalau cuma buat

    semalam, karena pemiliknya sedang keluar kota. Akhirnya kami patungan menyewanya.

    Apartement itu untuk crew dan pemain perempuan. Aku bersama crew laki-laki lainnya

    20

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    22/25

    saling tumpang tindih di apartement satunya. Aku dan Rajish (Make up artist) tidur di

    sofa depan. Faozan Rizal dan tim kamera tumpuk-tumpukan satu kamar. Fedi, Oka dan

    Iqbal tidur satu ranjang bertiga. Lainnya tidur sekenanya.

    Tepat jam 11 siang kami meninggalkan Banglore menuju Bombay. Kami sudah

    dijemput sebuah bis yang akan membawa kami 15 jam menuju Jodhpur. Bayangan kami,

    Jodhpur adalah kota kecil yang tidak ada bandaranya disana. Tapi ternyata Jodhpur

    adalah kota wisata. Banyak turis eropa-Amerika datang kesana menggunakan pesawat,

    apalagi di bulan-bulan November. Bandaranya-pun lebih bagus dari Halim

    Perdanakusuma. Jadi penggunaan bis semata-mata buat ngirit bujet produksi, mengingat

    harga tiket Bombay-Jodhpur di bulan-bulan libur naik. Kami cuma menghela nafas. 15

    jam perjalanan, bayangan kami, seperti perjalanan Jakarta Surabaya. Tidak apalah, aku

    bisa istirahat di bis, pikirku.Setelah keluar dari bandara Bombay dengan tumpukan kopor-kopor, kami melihat

    bis yang disediakan kami kecil. Warnanya kuning. Bis tersebut bukan selayaknya

    kendaraan tempuh Jakarta-Surabaya. Bis itu seperti bis Jakarta-Sukabumi yang diberi

    AC. Tempat duduknya sempit hanya memuat 20 orang saja. Sedangkan kopor-kopor

    kami banyak. Aku komplain dengan orang india (staff MD) yang mengurusi kami disana.

    Dia bilang, bis ini disediakan berdasarkan bujet dari producer. Kami tetap tidak mau naik.

    Aku melihat wajah teman-teman kusut. Tika (line producer AAC) marah dan meminta

    local unit menyediakan tiket pesawat. Sayangnya, tiket pesawat ke jodhpur habis sampai

    3 hari kedepan. Setelah berdebat lama, akhirnya kami disediakan satu mobil kijang

    khusus untuk kopor-kopor. Allan menyertai kopor-kopor itu di mobil Kijang. Yang

    lainnya naik bis. Fedi yang berkaki panjang menduduki bagian belakang tepat di selasar

    tengah bis diapit Rianti, Prita (Pencatat Script), dan Clarissa. Ditengah diisi Oka, Pao,

    Tarmiji, Kasnan (tim kamera), Adi molana dan pak Rajish. Di depan ada Aku, Retno

    Damayanti (kostum), mbak Tia (asisten Retno) dan Tika. Seorang supir bernama Ganesh

    membawa kami membelah negeri India melintasi Gujarat. Sebuah perjalanan panjang dan

    melelahkan terbayang …

    Perjalanan Bombay-Jodhpur mirip seperti perjalanan Jakarta-Surabaya. Padang

    Ilalang terbentang di kiri kanan. Rumah-rumah gubuk, warung-warung tempat mangkal

    bis dan Container berderetan sepanjang jalan seperti di film Iran Café Transit, jajaran

    21

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    23/25

    rumah-rumah pedesaan diselingi pohon-pohon besar dan sawah-sawah tandus

    berseliweran. Pemandangan luar biasa buatku. Eksotis. Bis kami melaju bersama dengan

    puluhan bahkan ratusan truk-truk. Kadang bis kami berhenti sekedar minum teh hangat

    India yang dicampur susu bersama sopir-sopir berkulit hitam. Di perbatasan Gujarat.

    Kami mendapat persoalan. Bis kami dilarang melintasi perbatasan karena dokumen tidak

    lengkap. Selama 2 jam kami dicuekin, sementara Ganesh mondar-mandir dari post satu

    ke post lainnya yang jaraknya 1 km untuk menyelesaikan administrasi. Terlihat dia begitu

    stress, dia meminjam Hp Tika untuk menghubungi seseorang. Terlihat dari cara

    bicaranya, Ganesh sedang bertengkar. Mungkin orang itu yang menyebabkan Ganesh

    mendapat persoalan. Kami nyaris balik ke Bombay karena tidak ada ijin melintas.

    Ditengah situasi panik itu Rianti, Clarrisa, Oka dan Fedi didatangi militer bersenapan

    karena mereka foto-foto.‘Ini bukan tempat wisata!’ kata Militer itu.

    Terlihat wajah Rianti pucat karena takut. Akhirnya Ganesh menjelaskan

    ketidaktahuan kami. Merekapun mengerti. Setelah 2 jam lewat dengan perasaan tidak

    menentu, kami bisa melintasi perbatasan, melanjutkan perjalanan atas perjuangan

    Ganesh. Malam yang panjang terasa. Sekalipun sulit buat kami tidur di tempat sempit

    seperti itu, kami tidak bisa melewatkan rasa ngantuk. Pagi berikutnya kami berhenti di

    sebuah kota kecil. Kami menyewa losmen kecil buat mandi dan sarapan. Kami istirahat

    selama 4 jam memberikan kesempatan Ganesh tidur. Di tempat itu kami diliatin

    penduduk sekitar. Apalagi Rianti dan Clarissa. Orang-orang India memiliki keramahan

    berbeda dengan Indonesia. Apalagi bukan di kota besar seperti Bombay, Delhi atau

    Madrass. Suara mereka yang keras membuat kami mengira mereka marah. Tetapi

    sebenarnya tidak. Di tempat itu kami baru sadar bahwa kami sudah menempuh 15 jam

    perjalanan. Tetapi kami masih berada setengah perjalanan menuju Jodhpur. Setelah

    membuka peta baru kami sadar berapa jarak sebenarnya dan berapa waktu tempuh

    sebenarnya antara Bombay-Jodhpur. Bombay-Jodhpur berjarak 850km, Kira-kira 24 jam

    waktu perjalanan darat jika ditempuh secara non-stop. Kami merasa ditipu. Fedi yang

    biasanya diam, kini marah-marah, dia protes ke producer atas perlakuan ini. Jawab

    producerku, pihak MD tidak tahu menau soal ini. Mereka juga minta maaf. Pak Rajish,

    salah satu karyawan MD dari India bagian make up artis banyak membantu kami.

    22

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    24/25

    Setidaknya membantu kami berkomunikasi. Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak

    jujur, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku tahu

    itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan waktu dan tenaga

    yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma bisa pasrah …

    Jam 8 malam, tepat 30 jam perjalanan dari Bombay, kami masuk Hotel.

    Alhamdulillah, akhirnya kami bisa merebahkan diri di tempat yang layak. Diatas tempat

    tidur aku melepaskan pikiran. Sepanjang hidupku, tidak pernah aku membayangkan

    melintasi negeri Gujarat naik bis. Tanpa asuransi, tanpa perlindungan apapun. Untung

    tidak ada teroris menghadang kami. Sungguh, aku sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja

    dari produksi. Toh, tidak ada jaminan apapun buatku untuk menyelesaikan film ini?

    Uang? Demi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau

    orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan?Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di

    film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya

    diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik

    dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan

    buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar

    penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan Film dengan Novelnya.

    Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan

    kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak

    terasa.

    Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji kepada

    diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik.

    'Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.' Kata

    ibuku yang terus menerus terngiang.

    Pagi harinya aku mulai shooting. Dan persoalan seperti tidak selesai. Dari mulai

    peralatan yang kami pakai sudah ditinggalkan industri India 5 tahun yang lalu alias butut:

    Lampu-lampu yang fliker (menghasilkan cahaya kelap-kelip seperti neon yang habis watt

    nya), Kamera tua yang ketika dipakai mengeluarkan bunyi berisik, generator kami yang

    lebih layak dipakai buat menyalakan mesin pemarut kelapa dibanding buat shooting. Lalu

    kru-kru India yang disediakan untuk membantu kami bukan kru profesional. Di bagian

    23

  • 8/19/2019 Kisah Dibalik Pembuatan Ayat-Ayat Cinta

    25/25