Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern
-
Upload
nasrul-fuad-erfansyah -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern
IDEOLOGI KEAGAMAAN
LEMBAGA PENDIDIKAN MODERN
Oleh:
DR. Hammis Syafaq, Lc., M.Fil.I
0
BAB I
Pendahuluan
A. Pendahuluan
Berdasarkan kerangka ideologis, di Indonesia dapat dideteksi adanya
empat orientasi besar di kalangan kelompok-kelompok muslim:
tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan
nasionalis-sekuler.
Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang
kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad
yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan di
kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan
beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para
pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di
kalangan penduduk desa dan kelas bawah.1
Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam
berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi
modernis untuk membaratkan Islam.2 Kelompok ini melakukan pendekatan
konsevatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan
menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).3
1 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.2 Mengenai perbedaan dan persamaan antara kelompok modernis, fundamentalis, dan tradisionalis, baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London & New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompok modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.3 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156.
1
Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,4
meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa
kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih
bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih
kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai
doktrin politik dalam kehidupan bermasyarakat.5
Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan
bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi
penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang
murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktek-praktek
kaum tradisional,6 dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn
Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh
intelektual pemikiran fundamentalis.7
Sebuah gerakan pemikiran bercorak radikal-puritan ini pernah
muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama
Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-
1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn
Taymiyyah,8 dalam memahami al Qur’an secara literal.9
Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan yang muncul pada saat
terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali
kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek yang
dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,10 mengajak untuk
4 Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 18-20.5 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.6Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49. 7 Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktek ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktek yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim, 30.8Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim, 272.9 Ibid., 271. 10 Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Ibid., 30.
2
mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang
menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-
intelektualisme, teturama filsafat.11
Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah Jama’at Islam di
Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maudûdî (1903-1979), Ikhwanul
Muslimin di Mesir, dengan tokonya Hassan al-Banna dan Seyyed Qutb
(1906-1966).12 dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya K.H.
Ahmad Dahlan (1868-1923),13 meskipun pada akhirnya, kelompok yang
disebut terakhir ini cenderung menjadi kelompok yang reformis-modernis.
Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah
karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh,
penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.14
Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia
Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah
yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.15 Muhammad bin ‘Abd
al-Wahhab, tokohnya, muncul pada abad sebelum modern (pre-modern),
sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural
Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk
primitif.
Dalam penelitian yang diadakan di Mesir menyebutkan bahwa kaum
militan fundamentalis adalah para penduduk asli dan tinggal di wilayah
urban hanya dalam beberapa waktu.16
11 Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318.12 Ibid.13 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 13-18.14 Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5.15 Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.16 Bassam Tibi, Islam, 13.
3
Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum
rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak
mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.17 Muhammadiyyah,
didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan
Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang
sebenarnya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.18
Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang
Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi.
Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek
tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang
otoritatif, yakni al Qur’an dan al Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks
situasi dan kebutuhan kontemporer. 19
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki
kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern,
rasional bahkan liberal,20 atau menafsirkan Islam melalui pendekatan
rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.21
Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan
dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan
dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin
menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan
modern.22
17 Ibid. 18 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18.19 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378., A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988), 20 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.21 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227.22 Andrew Rippin, Muslim, 31.
4
Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan
modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah
sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.23
Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara
fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan
pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.24 Kelompok ini
ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah,25 karena pemikiran
Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola
berpikirnya kelompok ini.
Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade
akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan
pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok
yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis
mencoba untuk mempersatukannya.26
Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa
tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M. Abduh (1849-
1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-
1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.27
Yang membedakan kelompok ini dengan gerakan revivalisme adalah
bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual, sementara
yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin.28
Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa
jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau
membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan
23 Ibid., 32.24 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.25 Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2.26 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. 4, 75.27 Andrew Rippin, Muslim, 32.28 Bassam Tibi, Islam, 21.
5
menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini
dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.29
Antara penganut dari kelompok-kelompok di atas, di Indonesia
terjadi perdebatan yang sengit dalam beberapa hal, terutama antara kaum
tradisionalis dan modernis. Hal tersebut telah berlangsung lama dan hingga
kini masih belum berakhir, bahkan kondisi itu semakin mencuram pada era
reformasi yang ditandai oleh munculnya berbagai macam partai politik
sebagai representasi dari pemahaman ideologis masing-masing kelompok di
atas.
Dengan semakin meruncingnya perbedaan tersebut, umat Islam di
Indonesia seakan-akan sulit untuk disatukan, sehingga jumlah umat Islam
yang mayoritas, hanya menunjukkan kelemahannya dan menjadi tontonan
yang “memilukan” bagi umat beragama lain yang minoritas. Hal ini bisa
dilihat dari kekalahan beberapa partai politik berbasis Islam di pentas
PEMILU yang lalu.
Padahal dalam sejarahnya, seperti yang dicatat oleh pengkaji
nasionalisme Indonesia, George Mc Turnan Kahin dalam karyanya yang
klasik Nationalism and Revolution in Indonesia,30 atau sebagaimana
dikemukakan Fred R. Von der Mehden dalam tulisannya Islam and the Rise
of Nationalism in Indonesia,31 Islam di Indonesia tercatat sebagai pemersatu
bangsa, sebagai penopang kemerdekaan di saat melawan penjajah, sebagai
faktor yang dominan dalam revolusi nasional.32 Akan tetapi, karena
perbedaan pendapat dalam beberapa masalah, apa yang terjadi di Indonesia
29 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.30 George Mc. T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Itacha: Cornell University Press, 1952), 38.31 Fred R. Von der Mehden, Islam and the Rise of Nationalism in Indonesia, (California: University of California, 1957), 34. Sebagaimana dikutip Bahtiar Efendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Jakarta: Paramadina, 1998.32 Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia (New Haven: Yale University Southeast Asean Studies, 1972), sebagaimana dikutip M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 3.
6
kini adalah konflik antar sesama umat Islam. Umat Islam di Indonesia kini
terpecah belah menjadi beberapa kelompok.
Yang menjadi perdebatan di antara beberapa kelompok di atas
bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri (great tradition),
akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial (little tradition).33
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran
teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,34 bahwa kemunculan
gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi
sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di masa berikutnya,
tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya
bangsa yang sedang berkembang.
Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di
antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman
yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai
model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah
realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi
dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama
merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam
pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau
doktrin bagi sebuah realitas.35
Perdebatan antara beberapa kelompok di atas menjadi sangat tajam
ketika perdebatan itu terjadi antara kelompok modernis dan tradisionalis
yang telah berlangsung semenjak abad ke-19, yaitu ketika muncul gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia, di mana kemunculan gerakan
pembaharuan di masa itu mendapatkan reaksi yang sangat keras dari
33 Andrew Rippin, Muslim, 35.34 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.35 Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.
7
kalangan muslim tradisionalis. Reaksi itu pun akhirnya menimbulkan
perdebatan yang panjang di antara mereka di beberapa bidang yang
terkadang sampai pada batas saling mengkafirkan dan sempat mencuat
kembali di era reformasi.
Perdebatan itu terjadi terutama di Jawa, sebagai basis penganut
paham Islam tradisional, yaitu suatu paham yang secara terminologis
mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara
masa lalu dengan masa kini.
B. Latar Belakang Masalah
Di tengah-tengah perdebatan antara kaum tradisionalis dan modernis
di Indonesia yang tiada berakhir, Gontor, sebuah pesantren dengan
menggunakan sistem pendidikan modern yang berada di tengah-tengah
setting sosial masyarakat Jawa yang sangat kental dengan
tradisionalismenya, mencoba tampil sebagai penengah di antara dua kubu
yang saling bertikai dengan menawarkan sebuah ideologi perekat umat (al
Idiûlûjiyyah al Wasatiyyah),36 sehingga di Gontor ditemukan adanya tulisan
yang menyatakan bahwa Gontor bukan NU dan Gontor bukan
Muhammadiyah, Gontor di atas dan untuk semua golongan.
Hasilnya pun terbukti, dengan kiprah alumninya di berbagai macam
kegiatan pemikiran dan ORMAS, seperti K.H. Hasyim Muzadi (Ketua
Umum PBNU), Prof. DR. Din Syamsuddin (Ketua Umum
Muhammadiyah), Prof. DR. Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI), DR.
Maftuh Basuni, MA (Menteri Agama RI), Prof. DR. Nurcholish Madjid,
serta sederetan tokoh lainnya. Bahkan akhir-akhir ini, munculnya aksi teror
36 Secara terminologis, kata perekat umat dapat dikonotasikan dengan kegiatan ke arah menghubungkan, menghimpun, menyatukan dan mendamaikan; antar umat, atau antar unsur-unsur dalam umat, bahkan bisa pula antar sekelompok kecil dalam umat atau antar unsur-unsur dalam kelompok kecil dari itu, sesuai dengan kondisi di mana seseorang itu berada. Ideologi semacam ini pernah dikumandangkan oleh al-Imam al-Shafi’i dalam bidang fiqh, oleh al-Imam al-Ghazali dalam bidang pemikiran filsafat, dan oleh al-Imam al-Ash’ari dalam bidang akidah.
8
dan pengeboman di beberapa tempat di Indonesia banyak diduga dilakukan
oleh beberapa alumni Gontor.
Akan tetapi pendapat di atas belum ditunjang oleh suatu penelitian
khusus yang membentangkan kenetralan Gontor dengan ideologi perekat
umatnya, apalagi dengan beberapa pola pikir modern yang diterapkan di
Gontor, banyak orang meyakini, terutama masyarakat Jawa yang
tradisional, bahwa Gontor adalah Muhammadiyah, sehingga alumni Gontor
sangat sulit untuk diterima oleh beberapa komunitas yang secara kultural
masih bersifat tradisional.
Penulis sendiri, sebagai alumni pesantren modern tersebut, masih
merasa ragu dengan kenetralan Gontor, karena dalam beberapa hal Gontor
sangat mencolok dengan kemodernannya, apalagi K. H. Imam Zarkasyi,
salah satu founding fathers dari pesantren itu adalah alumni Padang
Panjang, Sumatra Barat, pusat gerakan pembaharuan Islam di Indonesia,
sehingga penulis menduga bahwa beberapa materi kaum tradisional yang
diajarkan di Gontor adalah karena adanya tekanan dari setting sosial
masyarakat Jawa yang tradisional, agar Gontor bisa diterima di tengah
masyarakat Jawa yang tradisional tersebut.
Dari dugaan itulah peneliti merasa tertarik untuk mengkaji tentang
Pesantren Gontor, yang berada di tengah-tengah setting sosial masyarakat
Jawa yang tradisional.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, ditarik beberapa permasalahan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa maksud dari ideologi perekat umat yang dikumandangkan oleh
Pondok Modern Gontor?
2. Apa sesungguhnya ideologi Pesantren Modern Gontor?
3. Bagaimana setting sosial masyarakat Jawa mempengaruhi ideologi
pesantren Gontor?
9
D. Tujuan Penelitian
1. Memahami konsep ideologi perekat umat Pesantren Gontor.
2. Memahami ideologi Pesantren Gontor.
3. Memahami peran setting sosial masyarakat Jawa dalam membentuk
ideologi pesantren Gontor.
E. Kegunaan Penelitian
Mendapatkan pemahaman yang obyektif tentang ideologi Pesantren
Modern Gontor di tengah setting-sosial masyarakat muslim Jawa yang
tradisional.
F. Kajian Pustaka
Banyak sudah kajian tentang Pesantren Gontor, baik secara institusi
maupun ketokohan kyainya. Akan tetapi penelitian yang ada selama ini
masih berfokus pada modernisasi pendidikannya tanpa pernah menyentuh
pada wilayah ideologisnya, padahal modernisasi pendidikan seringkali
identik dengan modernisasi pemikiran, bahkan keduanya sangat terkait erat.
Hal inilah yang sering dilupakan oleh para peneliti yang mengkaji tentang
modernisasi pendidikan di Pesantren Gontor. Kenyataan ini mungkin
dikarenakan peneliti tentang Gontor kebanyakan adalah para alumninya
sendiri, sehingga mereka takut menyentuh wilayah ideologis sebagai bagian
dari sikap ta’assub kepada almamaternya, atau bisa juga karena takut
tikecam oleh beberapa keluarga Gontor dan simpatisannya. Maka penelitian
ini merupakan penelitian awal yang sangat berani, karena menggunakan
metode analisisi dan kritik, apalagi peneliti adalah alumni dari pesantren
tersebut (insider).
10
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kajian pustaka
(library research), yaitu menjadikan sumber-sumber tertulis sebagai
sumber data penelitian. Hal ini peneliti gunakan untuk mengkaji biografi
kyai Gontor serta di dalam mengkaji materi-materi tauhid dan fiqh yang
diajarkan di Gontor.
Di samping itu, peneliti juga menggunakan metode survey di
lapangan (field research) untuk mengetahui kiprah para alumni Gontor di
masyarakat, serta setting sosial masyarakat Jawa yang ikut mempengaruhi
sikap Gontor.
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kualitatif
yang ditunjang dengan metode analisis dan kritik. Dalam melakukan
analisis wacana dan kritik, penulis menggunakan pendekatan ideologis.
Untuk mempertajam pendekatan ideologis, penulis menggunakan
pendekatan politis, karena kemunculan ideologi tidak lepas dari pergolakan
politik yang mempengaruhinya.
Selain itu, karena penelitian ini adalah penelitian tentang komunitas,
maka tidak lepas dari faktor psikologis. Untuk itu sebagai sarana untuk
memperkaya analisis, peneliti juga menggunakan pendekatan psikologis
tentang dampak sosial terhadap psikologi seseorang.
Bab II
Corak Keagamaan Masyarakat Muslim Jawa
Dijelaskan di atas bahwa berdasarkan kerangka ideologis, di
Indonesia kita dapat mendeteksi empat orientasi besar di kalangan
11
kelompok-kelompok muslim yang menarik perhatian kita: tradisionalis-
konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.
Akan tetapi dari kelompok-kelompok di atas, di Indonesia hanya
sering dikenal adanya kelompok tradisionalis dan modernis. Untuk itu, guna
mengetahui corak keagamaan masyarakat muslim Jawa perlu kiranya kita
memahami konsep Islam tradisional dan modern di Indonesia untuk
dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami ideologi pesantren
Gontor.
A. Kajian Teoritik tentang Tradisionalisme dan Modernisme Islam di
Jawa
1. Tradisionalisme Islam
Sesungguhnya terma tradisional di Indonesia merupakan terma yang
bersifat problematis. Disebut problematis karena menunjukkan anti
progresivitas, staid approach.
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang
terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang,
masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak
perubahan, konservatif, dan diliputi oleh sikap taqlid. Mungkin lebih tepat
jika kita menggunakan istilah kaum klasik. Mereka adalah kelompok yang
membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’
lainnya, tokoh fiqh, dan sufi pada zaman keemasan Islam.37
Istilah tradisional biasanya dikontraskan dengan terma modern.
Secara terminologis, istilah tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini.
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada
37 Ibid., 2.
12
fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama itu secara
rigid dan literalis.38
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk
melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang
masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.39
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang
mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus
dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa
lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.40
Terma tradisional dan modernis adalah merujuk kepada
permasalahan ijtihad. Ijtihad biasanya diterjemahkan dengan interpretasi.
Akan tetapi lebih rinci lagi didefinisikan sebagai upaya melakukan
interpretasi terhadap sumber-sumber dogma. Kelompok tradisionalis
mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum
reformis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi
masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh
ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi
sepanjang masa.41
Edward Shils memberikan sumbangan yang sangat penting untuk
memahami kerangka epistemologis tentang tradisionalisme Islam. Ia
mengatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang ditransmisikan dari masa
lampau ke masa sekarang. Tradisi merupakan sesuatu yang telah diciptakan,
dipraktikkan atau diyakini pada masa lampau. Secara substansial, tradisi
berkaitan dengan hampir semua nilai yang substantif. Semua karya akal
pikiran manusia, keyakinan atau cara berpikir, bentuk penemuan hubungan
38 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.39 Andrew Rippin, Muslim, 6.40 Ibid., 12.41 Ibid., 127.
13
social, praktik teknologi, peralatan buatan manusia atau obyek alam yang
bisa menjadi obyek dalam sebuah proses transmisi; masing-masing bisa
menjadi tradisi.42
Jadi tradisi adalah sesuatu yang terus berlangsung melalui transmisi,
tanpa melihat substansi serta keadaan institusionalnya. Tradisi mencakup
keyakinan yang ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan;
meliputi keyakinan secular maupun agama; mencakup keyakinan yang
dihasilkan dari logika, secara teori mengontrol prosedur intelektual maupun
keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi mencakup
pemikiran keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun interpretasi
terhadap keyakinan tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang dibentuk
melalui pengalaman dan keyakinan yang dibentuk oleh kesimpulan logika.43
Dalam banyak ungkapan, istilah tradisi terdapat pembatasan tersamar
tentang makna substantive tradisi. Ungkapan-ungkapan ini menyatakan
bahwa tradisi itu sebagai tradisi yang asli hanya jika isi substansinya
menghargai tradisionalitas, jika mereka itu ditransmisikan secara lisan dan
bukan secara tertulis, jika didengar dari cerita orang lain bukan dari fakta
yang ada, jika mereka itu tidak bisa dibuktikan secara meyaknkan dan tidak
ada pembuktian berkaitan dengan dsar normatifnya, dan jika penulis atau
sumbernya itu tidak diketahui namanya dan bukan individu yang secara
jelas dikenal namanya.
Dunia tradisi yang asli muncul dari pandangan modern yang
meletakkan tatanan pada warisan para kepala suku, orang-orang tua, dan
monarki atau oligarki dan bukan pada republic atau demokrasi liberal, pada
paganisme dan politeisme dan bukan monoteisme, pada hukum adat dan
bukan pada perundang-undangan dan aturan hokum yang sistematis, pada
interpretasi keagamaan dan bukan interpretasi secular, pada keluarga,
42 Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), 12.43 Ibid., 16.
14
terutama dari jalur keluarga laki, dan bukan perkumpulan sukarela, dan
lebih umum lagi pada kekuasaan yang terstruktur secara hirarkis dan bukan
kekuasaan yang ada pada masyarakat luas, pada tatakrama baku yang
berbeda dan buka pada perlakuan yang bebas dan mudah pada seseorang,
pada sikap yang membedakan antara anggota masyarakat dan bukan
persamaan, pada pertanian dan perikanan dan bukan pada perdagangan dan
industri, pada perkakas dan bukan pada teknologi mekanik, pada kekuatan
fisik manusia, binatang, angin dan air dan bukan pada kekuatan yang
dihasilkan oleh alat-alat bikinan manusia. Keyakinan yang diterima melalui
tradisi nampaknya secara alami menumbuhkan hirarki, ketaatan keagamaan,
dan buta huruf. Hampir semua tradisi keyakinan memiliki makna normatif,
yakni bahwa mereka ini cenderung mempengaruhi perilaku orang yang
menerima tradisi itu, lepas dari pengakuan akan kebenarannya.44
Ketika ide tentang tradisi muncul pada abad ke-18 dan 19 di dunia
Barat, pengertiannya cenderung dibatasi oleh mereka yang mengkajinya
pada bentuk tradisi tertentu, cerita rakyat, mitos, legenda, sastra lisan,
hokum adapt, upacara dan ritual keagamaan serta secular. Ide ini dikaitkan
dengan transmisi karya-karya ekspresif yang tidak bisa dirubah ke dalam
bentuk tulis. Tradisi biasanya ditemukan dalam budaya yang dimiliki oleh
strata yang memiliki pendidikan formal rendah dan yang dipandang sebagai
kurang bisa mengartikulasikan pikiran, kurang mengerti baca tulis, dan
kurang rasional. Pada pendiri disiplin ilmu kesenian rakyat modern yakin
bahwa dalam strata ini terjadi proses mental yang lebih dalam yang hilang
bersamaan dengan datangnya peradaban rasional dan akibat dari
berlangsungnya proses ini tidak menimbulkan efek terhadap tradisi, yakni
lisan, anonim, dan contoh dari generasi ke generasi, mengalami sedikit
44 Ibid., 24.
15
perubahan tetapi secara substantive masih tetap dan secara kasat mata
masih sama, tidak berubah dalam waktu yang lama.45
Jadi tradisi itu bsia didefinisikan dan dikenal melalui para
pengikutnya dan juga melalui isi substantifnya. Tradisi didefinisikan
sebagai perangkat keyakinan yang dianut selama beberapa generasi yang
memiliki tema yang sangat umum tentang interpretasi, konsep, serta
pendapat tertentu. Sebuah tradisi bisa mengalami perubahan dalam hal
pengikut, ukuran, keanggotaan, dan keyakinan. Batasan tradisi dalam satu
sisi terletak pada batasan pengikut koletif berdasarkan komunitas yang
memiliki keyakinan tentang tradisi yang bersangkutan; di sisi lain, batasan
ini bisa ditentukan oleh konstruksi simbolik.
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada
tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan
fundamentalisme.46 Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas,
maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang
berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh
komunitas Agama.47
Kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak
tertarik dengan prubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang
berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara
keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa
al Jamâ’ah).48
45 Peter Burke, Popular Culture in Early Modern Europe (London: Maurice Temple Smith, 1978), 113-148.46 Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.47 Ibid.48 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
16
Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah bertalian sangat erat dengan ciri-ciri
tradisional, sekaligus sebagai paham beragama kaum tradisionalis di
Indonesia, karena konsistensi ajarannya yang mewajibkan para pengikutnya
untuk berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-
ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang
dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.49
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang
dipahami dan diperaktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah
terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman,
mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah
diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.50 Mereka menerima prinsip ijtihad,
akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti
qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.51
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi
terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk
kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang
muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-
Ghazali.52
Zamakhsyari Dhofier mengartikan Islam tradisional sebagai Islam
yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama’ ahli fiqh,
hadith, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 hingga abad
ke-13. Unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi
adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat
49 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.50 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.51 Ibid.52 Ibid.
17
menentukan dan kharismatik. Kandungan intelektual Islam tradisional
berkesan pada paham akidah Ash’ari, Shafi’i, dan al-Ghazali.
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia
sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di
kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia,
muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-
pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis menunjukkan pada
kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama,
pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang
menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata
dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.53
Terma Tradisional di Indonesia merupakan terma yang bersifat
problematis. Disebut problematis karena menunjukkan anti progresivitas,
staid approach. Mungkin lebih tepat jika kita menggunakan istilah kaum
klasik, untuk menunjuk kepada mereka yang membaca dan belajar kitab
kuning, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ lainnya, tokoh fiqh, dan sufi
pada zaman keemasan Islam.54
Basis masa kaum tradisionalis berada di pedesaan. Begitu lekatnya
Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai
dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.55
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis.56 Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang
kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna
konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.57
53 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad 125-126.54 Ibid. 2.55 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.56 Ibid.57 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.
18
Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial
keagamaan terbesar58 bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang
didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh
pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asyari (Tebu Ireng) dan K. Wahab
Hasbullah (Tambak Beras).59 yang mempunyai kesamaan wawasan,
pandangan, sikap dan tatacara pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran Islam Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah.60
NU menetapkan ahlu al sunnah wa al jamâ’ah sebagai landasan dan
dasar pergerakannya.61 Pemahaman keagamaan kaum tradisionalis (NU)
terhadap ahlu al sunnah wa al jamâ’ah di Indonesia berbeda dengan
pemahaman organisasi-organisasi lain, seperti Muhammadiyyah, yang juga
mengklaim sebagai penganut ahlu al sunnah wa al jamâ’ah.
Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah versi NU bersumber pada al Qur’an,
As Sunnah, al Ijmâ’ dan al Qiyâs, dan mengikuti salah satu dari empat
imam mazhab fiqh, Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali. Meskipun
mengakui keberadaan empat imam mazhab fiqh, NU berpegang pada salah
satu imam, yaitu Shafi’i.62 Di bidang ilmu kalam (teologi) NU juga
bercorak Ash’arian-Maturidian, dan secara tegas menolak pola teologi
mu’tazilah yang dianggap liberal dan keluar dari semangat keagamaan.63
58 Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.59 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124.60 K.H. M.A. Sahal Mahfudh, “Kata Pengantar,” dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU, viii.61 Said Agil Siraj, Ahlussunnah wa al-Jamaah Dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta;LKPSM, 1997), 8.62 Lihat statemen perkumpulan Nahdatul Ulama’ sebagai suplemen Javasche Dourant 25 Pebruari 1930. Martin Van Bruinessen (Yogyakarta;LkiS, 1994), 42.63 Siraj, Ahlussunnah, 85.
19
Di bidang tasawwuf,64 NU berpijak pada tasawwuf al-Ghazali dan al-
Junaid.65 Pola ini sekaligus sebagai kritik dan gugatan terhadap radikalisme
tasawwuf yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Bistami dan Abu
Mansyur al-Hallaj. Radikalisme al-Hallaj dan al-Bistami sampai menafikan
realitas kongkrit manusia sendiri yang serba terbatas sebagai makhluk
lemah, bukan sebaliknya. Dari sinilah kemudian al-Ghazali menetapkan,
bahwa hubungan tertinggi manusia hanya pada level ma’rifah, hubungan
Allah dan manusia tetap ada hijab (gap) yang tidak mungkin ditembus oleh
sifat keterbatasan manusia.
Sebagai penjaga gawang Islam Kultural,66 NU menempatkan diri
sebagai sosok Ormas pinggiran—yang kadang keputusan-keputusannya
membuat banyak pihak (khususnya pemerintah) merasa dirugikan. Corak
seperti ini tidak lepas dari paham Ahlu al sunnah wa al jamâ’ah yang
bercorak fiqhiyyah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Islam tradisional sering
digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar bernama NU,
salah satu organisasi keagamaan kaum tradisionalis di Indonesia.
Tradisionalisme berarti pula bentuk pemikiran atau keyakinan yang
berpegang pada ikatan masa lampau atau yang sudah diperaktekkan oleh
komunitas Agama.67
Basis masa kaum tradisionalis berada terutama di pedesaan. Begitu
lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan,
64 Tasawuf adalah suatu ajaran atau ekspresi keagamaan yang dilakukan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Ajran ini memiliki anggapan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa dihadapanNya. Ajaran ini cenderung menyerahkan segala urusan manusia kepada Allah. Majid Fakhry menyebut ajaran ini sebagai ajaran yang anti rasionalitas. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, xx.65 Ali Haidar, NU dan Islam Di Indonesia ( Jakarta;Gramedia Pustaka Utama, 1994), 77.66 Sebuah anggapan kalangan tertentu (intelektual-pemerhati) yang menempatkan NU sebagai pejuang Islam yang berbasis pada nilai-nilai budaya.67 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.
20
sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradional adalah Islam pedesaan.68
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.69
Kaum tradisionalis di Indonesia sering digolongkan ke dalam organisasi
sosial keagamaan terbesar70 bernama NU, meskipun untuk saat ini banyak
kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi
peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.71
2. Modernisme Islam
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa
istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-
hari. Karena perubahan makna yang teradapt di dalamnya, istilah-istilah ini
seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah
korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai
lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu
waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki
arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang
lain. Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh
budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa
meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru
dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah
persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya
sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh
68 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.69 Ibid., 223.70 Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.71 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.
21
karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20
sekarang sudah terlihat kuno.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena
tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan
awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam
bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan cultural
adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan
modern Barat, tantangan sosil-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan
kebodohan dan kemiskinan uat, dan tantangan keagamaan adalah
bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong
umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.72
Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek
kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang
dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu,
bagi kaum modernis muslim tugas setiap muslim adalah
mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata.
Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki
watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari
sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik
yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun social, dari aspek waktu,
Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku
untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun
geografis.
Di Indonesia, gerakan ini diwaikili, salah satunya, oleh
Muhammadiyah. Gerakan ini menghargai rasionalitas dan nilai demokratis.
Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan
dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama
menyangkut hak dan kewajiban organisasi. Menurut Nakamura
72 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.
22
Muhammadiyah disebut sebagai organisasi sukarela berdasarkan demokrasi
internal.73
Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas
menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para
professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan
ini adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya
pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam
semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung
menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola
pikir rasional,74 memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang
pendidikan, teknologi, dan industri atau telah telah terbawa oleh arus
modernisasi.75 Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang
teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang
pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama
dengan pemikiran modern.
Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh
Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan
mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh.
Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam
yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan
kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS,
al-Irsyad dan sejenisnya.76
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam
ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam
73 Ibid., 97.74 Kacung Marijan, Quo Vadis NU.75 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.76 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.
23
merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek
kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-
ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social
kemasyarakatan.
3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam
di Indonesia
Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional
dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan
beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda
satu sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah,
tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca
pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk
masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang
menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja.
Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti dengan tahlilan,
menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah
adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta
mimbar khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi
besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat
sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah
sebagai representasi kelompok modernis.77 Namun dikotomi ini kemudian
dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU
bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.78 Bahkan dalam sebuah
77 Ibid., 125.78 Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
24
penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa
Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis.
Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia
pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai
sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.79
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi
Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang
dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan,
ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan
daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.80
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga
mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional,
ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses
penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan
mendahului Muhammadiyah.81 Nurcholish Madjid, tokoh intelektual
Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-
modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah
klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan
munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi
oleh kalangan pemuda NU.
Terlepas dari perdebatan pendapat dalam masalah itu, di Indonesia,
terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan
Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis,
sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis,82 reformis,
radikalis, puritan, dan fundamentalis.83 Dari itu, untuk lebih memudahkan
79 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.80 Ibid., 183.81 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.82 Ibid., 125.83 Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 88.
25
pembagian kelompok umat Islam di Indonesia, seringkali hanya digunakan
dua organisasi ternama di atas.
Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan
Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan),
syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung
dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata
ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-
struktural dalam hal status sosial,84 tidak menolak beberapa praktek ritual
yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan
pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang
tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam
selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum
tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.85
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan)
yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan
memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus
perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di
dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran
Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi
buruk terhadap akidah.86
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU
menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu
adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan
mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk
mimbar modern.
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal
puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok
84 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.85 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.86 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.
26
NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada
konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam
pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20
raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at.
Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid,
sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.
Muhammadiyyah tidak ada istilah slametan, tahlilan, ziarah kubur
untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat,
membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras.
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan,
menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-
Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam
klasik.87 Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah,
menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari
kitab kuning.88 Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu
interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa
kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.89
Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-
kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang
manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan
selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa
seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas
yang sama. Jika sesame warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan
interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi
antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-
persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam
segmen lain akan membatasi diri.
87 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 126.88 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.89 Andrew Rippin, Muslim, 127.
27
Itulah sebabnya terdapat penggolongan social, misalnya orang NU dan
orang Muhammadiyah. Penggolongan social itu tentunya memiliki basis nilai dan
histories yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi social keagamaan
ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi local yang tidak genuine,
sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-
tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi local termasuk dalam
kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi
local adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau
Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi local adalah
persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai
penyimpangan dari genuinitas Islam.
B. Corak Keagamaan Masyarakat Muslim Jawa
Studi tentang corak keagamaan masyarakat muslim di Jawa telah
banyak dilakukan oleh para antropolog, di antaranya oleh Clifford Geertz
dalam The Religion of Java, Woordward dalam Islam in Java serta Andrew
Beatty dalam karyanya yang berjudul Varieties of Javanese Religion.
Kajian Geertz tentang The Religion of Java memberikan gambaran
bahwa terdapat trikotomi mengenai varian agama Jawa, yaitu Abangan
yang berpusat di pedesaan, Santri yang berpusat di pasar, dan Priyayi yang
berpusat di Kota. Dalam kajiannya Geertz menyatakan bahwa Islam di Jawa
bercorak sinkretik, artinya terdapat perpaduan antara dua atau lebih budaya
(Islam, Hindu, Budha, Animisme). Di mana agama Jawa itu jika dilihat dari
luar akan kelihatan Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, maka
sebenarnya adalah agama sinkretik.90 Kajian Geertz itu telah menjadi
jendela bagi berbagai kajian tentang Islam di Indonesia, baik mereka yang
mendukung maupun yang menolak.
90 Baca Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).
28
Di antara yang menolak teori Geertz adalah Woordward yang
menyimpulkan bahwa Islam dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang
akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing, sehingga antara Islam
dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang antonim tetapi kompatibel. Ada
proses mengambil dan menerima sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai
agama yang bercorak khas Islam Jawa (adaptasi Sufisme Ibn al-Arabi).91
Tokoh lain yang juga menolak pendapat Geertz adalah Muhaimin,
yang berasumsi bahwa Islam di Jawa adalah Islam lokal, yaitu Islam yang
di dalam praktiknya bersifat akulturatif dengan budaya lokal. Justru
Islamlah intinya ketika berada di tengah budaya lokal yang bersentuhan
dengannya. Kajiannya pun sampai pada asumsi bahwa Islam di Jawa
hakikatnya adalah Islam sebagaimana di tempat lain, yaitu Islam dalam
bingkai budaya lokal.92
Mulder, meskipun termasuk yang menolak konsepsi Geertz dengan
menganggap bahwa konsepsi tentang sinkretisme dianggap kurang relevan
untuk melihat Islam di Jawa, Mulder justru menggunakan konsepsi baru
yaitu lokalitas. Menurutnya, sinkretisme adalah pemaduan tanpa diketahui
mana yang dominan, sementara lokalitas justru diketahui mana yang
sesungguhnya dominan dalam percaturan agama Jawa. Dalam lokalitas, ada
unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakanngan akan
menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya
adalah unsur lokalnya dan bukan Islam. jadi meskipun dari luar tampak
Islam, tetapi pada hakikatnya adalah agama lokal Jawa. Mulder juga
menegaskan bahwa kejawen atau Jawanisme sesungguhnya merupakan
kesadaran kultural orang Jawa untuk melestarikan warisan budaya Jawa
secara sungguh-sungguh. Kejawen adalah produk pertemuan antara Islam
91 Baca Mark R. Woordward, Islam in Java; Normative Piety and Mysticisme in The Sultanete of Jogyakarta (An Arbor: UMI, 1985).92 Baca Muhaimi, Islam dalam bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logor, 2001).
29
dan kebudayaan Jawa kuno, produk dari penjinakan kerajaan-kerajaan Jawa
oleh VOC.93
Sementara tulisan Andrew Beatty dalam karyanya Varieties of
Javanese Religion, sebuah penelitian antropologis yang dilakukan selama
dua periode, dari Desember 1991 hingga Juni 1993, dengan tambahan
setahun lagi, dari April 1996 hingga April 1997, di sebuah desa dengan
1,430 jiwa (di kala itu), di lembah Gunung Ijeng, kira-kira enam mil dari
kota, tepatnya di Banyuwangi, adalah salah satu penelitian yang
mendukung karya Geertz tentang sinkretisme.94
Dalam pendahuluannya Beatty mengatakan bahwa bukunya yang
berjudul Variasi Agama di Jawa adalah mengenai aneka ragam bentuk,
kontroversi, dan rekonsiliasinya; lebih abstrak lagi tentang perbedaan dan
sinkretisme kebudayaan. Di mana di Banyuwangi ia menemukan bukti-
bukti variasi kebudayaan yang jelas (diversitas), di mana perbedaan itu
dibangun dalam ruang yang sama. Akan tetapi di tengah-tengah diversitas
itu terdapat pertemuan yang selaras antara mistisisme, Panteisme, pemujaan
roh halus, dan ketaatan agama normatif dalam sebuah kerangka sosial.95
Dari berbagai kajian tentang Agama Jawa di atas, menghasilkan
konsep yang bervariasi. Geertz menghasilkan konsep Islam Sinkretik.
Mulder dengan pendekatan lokal menyebut sebagai Lokalisasi Islam.
Woodward dan Muhamimin melalui pendekatan aksiomatika struktural
merumuskan sebagai Islam Akulturatif. dan Beatty melalui pendekatan
polisemi dan multivokalitas, menyebutnya sebagai Islam praktis.
Kosepsi-konsepsi di atas didasarkan pada penggunaan teori yang
berbeda dalam memahami Islam. Geertz dengan konsep sinkretismenya
93 Baca Niels Murder, Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), 1-20.94 Untuk melindungi desa dari publisitas yang kurang baik maka Beatty menggunakan nama samaran untuk lokasi penelitiannya dengan menggunakan nama Bayu. Bayu adalah salah satu dari beberapa desa yang hampir seluruhnya Osing; desa itu aktif secara kebudayaan, dan secara kebetulan daerah itu menjadi pusat kegiatan mistik. Ibid., 29. 95 baca Pendahuluan dari karya Beatty (Variasi Agama di Jawa).
30
didasarkan pada pemahamannya terhadap Islam yang bercorak puritan,
karena ia terpengaruh oleh Islam yang beraliran syari’ah modern. Geertz
hanya mengidentifikasi Islam dengan madzhab modernis dan juga
menganggap segala sesuatu dari tradisi Jawa seperti slametan sebagai asli
atau berlatar belakang Hindu-Budha, sehingga ia menyimpulkan bahwa
banyak kehidupan keagamaan umat Islam di Jawa sebagai Hindu.
Sementara Woodward dengan konsep akulturasinya karena
didasarkan pada pemahamannya terhadap Islam yang bercorak sufistik.
Woodward melihat bahwa Islam di Jawa adalah hasil perjalanan panjang
dari persentuhan antara budaya lokal dengan ajaran sufi. Ia mengatakan
bahwa beberapa praktek ritual yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa
banyak didasarkan pada sumber-sumber teks kaum sufi, terutama konsep
Ibn ‘Arabi.
Beatty dalam kajiannya tentang slametan di Banyuwangi yang
berusaha untuk memahami Islam sebagaimana dikonsepsikan dan
dipraktekkan menemukan bahwa muslim yang taat di Banyuwangi
bukanlah kaum puritan dogmatik yang dikenal dalam etnografi orang Jawa
melalui tulisan Geertz; Tuhan dengan sosok yang menakutkan, tidak
terpisahkan dari masjid-masjid dan menghindari kontak dengan orang lain
yang tidak beragama. Di Banyuwangi, orang-orang yang taat tetap
meyakini tradisi mereka, hidup berdampingan dengan orang-orang yang
tidak taat. Orang-orang di desa Banyuwangi memiliki keyakinan yang
ritualistik, berorientasi praktis, dan tidak dogmatis. Maka dari penelitiannya
itu, Beatty menemukan bahwa Islam di Jawa (Banyuwangi) adalah Islam
praktis.
Sesungguhnya beberapa konsep di atas masih meninggalkan
permasalahan. Konsep sinkretisme jelas mengandung kelemahan, sebab
mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal.
Baik yang dilakukan oleh Geertz, Beatty, dan Mulder memberikan
31
legitimasi bahwa Islam hanyalah nominal saja, aspek luar, sebab inti dari
semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak mampu menyentuh kedalaman
budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika harus
berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada di luar.
Kajian tentang Islam dengan konsep akulturasi yang compatible juga
menyisahkan persoalan pada aras macam apa dan bagaimana Islam
dipahami dan sekaligus dikonstruksi menjadi seperti itu. Jika Islam
mengalami proses saling menerima dan memberi dalam konteks ajaran dan
praktek ritual, maka semestinya terdapat gambaran bagaimana proses
konstruksi Islam sebagaimana keadaannya sekarang. Dialektika itu yang
tidak diperoleh dalam berbagai kajian tentang Islam akulturatif. Maka ada
teori baru yang mungkin juga bisa digunakan dalam mengkaji beberapa
tradisi keagamaan di Jawa guna menghasilkan pemahaman mengenai
agama Jawa, yaitu Islam kolaboratif. Meskipun demikian, yang perlu
diingat adalah bahwa bentuk dari corak keagamaan di atas, baik
tradisionalis maupun modernis atau apapun namanya, adalah gejala sosial,
sehingga di Jawa ditemukan adanya masyarakat MUNU (Muhammadiyyah-
NU) dan lain sebagainya.96
Dari beberapa penelitian yang ada, Islam di Jawa sangat unik, karena
memiliki corak tersendiri sehingga memunculkan beragam teori tentang
Islam Jawa tergantung siapa yang menelitinya. Persoalan Islam di Jawa
sinkretik ataukah akulturatif bukan menjadi bagian pokok penting dalam
penelitian ini. Yang jelas dari beberapa penelitian tentang Islam di Jawa
menggambarkan betapa kentalnya Islam di Jawa dengan praktek-praktek
ritual keagamaan yang terkesan sangat tradisional, sehingga basis Islam
tradisional sangat kuat sekali di wilayah Jawa.
96 Baca Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).
32
Bab III
Pondok Modern Gontor dan
Ideologi Perekat Umat
A. Perekat Umat (Tinjauan Islam)
33
Secara terminologis, kata perekat umat dapat dikonotasikan dengan
kegiatan ke arah menghubungkan, menghimpun, menyatukan dan
mendamaikan; antar umat, atau antar unsur-unsur dalam umat, bahkan bisa
pula antar sekelompok kecil dalam umat atau antar unsur-unsur dalam
kelompok kecil dari itu, sesuai dengan kondisi di mana seseorang itu
berada.
Landasan normatif daripada ideologi perekat umat adalah ayat al
Qur’an yang membicarakan peran dan posisi umat Islam yang diidealkan
dengan beberapa kategori: khaira ummah97 (masayarakat terbaik), ummatan
wasatan98 (masyarakat seimbang), dan ummah muqtasidah99 (masyarakat
modern). Umat ideal itu ditugasi untuk mengemban beberapa fungsi
profetik; senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran,100
serta tidak bercerai-berai dan berselisih, setelah memperoleh keterangan
yang jelas.101 Konsep kemasyarakatan yang ditekankan al Qur’an adalah
model masyarakat mandiri yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan
menimalisir intervensi eksternal. Al Qur’an, karena itu, memberi petunjuk
beberapa mekanisme damai untuk memecahkan problem internal, yaitu,
metode syûrâ102 (musyawarah), islâh103 (rekonsiliasi), dan al da’wah bi al
hikmah wa al mujâdalah bi allatî hiya ahsan104 (seruan dengan
kebijakasanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik, tidak
radikal).
Dalam ayatnya al Qur’an menjelaskan bahwa umat Islam
memperoleh predikat sebagai masyarakat pertengahan/berimbang
(ummatan wasatan).105 Wasat di situ berarti moderat, dan berada di tengah-97 Q. S. Ali Imran/ 3: 110.98 Q. S. al Baqarah/ 2: 142.99 Q. S. al Maidah/ 5: 66.100 Q. S. Ali Imran/ 3: 110.101 Q. S. Ali Imran/ 3: 105.102 Q. S. Ali Imran/ 3: 159. Al Shura/ 26: 58.103 Q. S. al Hujurât/ 49: 9.104 Q. S. al Nahl/ 16: 125.105 Q. S. al Baqarah/ 2: 143.
34
tengah. Posisi tengah bisa ditempuh dengan berdiri persis di tengah atau
dengan menggabungkan yang terbaik dari dua gejala yang bertentangan.
Penempatan posisi tengah itu tidak sekedar pada tingkat konsep, tetapi juga
pada tingkat geografis dan sejarah. Secara geografis, Islam lahir di Timur
Tengah, yang terletak di tengah-tengah antara peradaban Barat (Romawi)
dan Timur (Persia). Dalam sejarah klasik, Islam berhasil menaklukkan
bekas jajahan Romawi dan Persia, sehingga Islam bisa membentang dari
Spanyol hingga India.106 Posisi tengah juga bisa dilihat pada tingkat budaya,
dimana Islam mengambil yang terbaik dari unsur duniawi dan ukhrawi.107
Dalam ayat yang lain, al Qur’an juga menyebutkan ummah
muqtasid108 (golongan pertengahan). Kata muqtasid berasal dari kata
iqtasada-yaqtasidu-iqtisâd, berarti hemat. Ia juga berarti I’tidâl, lurus,
sedang, pertengahan, atau sederhana. Berarti ummah muqtasid,
sebagaimana bunyi ayatnya, adalah sekelompok kecil dalam masyarakat
yang tetap setia menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir
kerusakan. Berarti dalam sikapnya, mereka sangat moderat dan tidak
terjebak pada sisi ekstrim. Jadi, dari situ jelas bahwa di dalam al Qur’an kita
bisa mendapatkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ide perekat umat, di
mana di dalam al Qur’an terdapat penuturan, bahwa semua orang yang
beriman adalah bersaudara, dan apabila antara sesama orang beriman
berselisih, Kitab Suci itu menganjurkan agar selalu diusahakan upaya islâh
(rekonsiliasi) dalam rangka taqwa kepada Allah dan usaha mendapatkan
rahmatNya.109
Pengajaran tentang persaudaraan itu kemudian dipertegas dengan
petunjuk tentang prinsip bagaimana memelihara ukhuwwah islâmiyyah,
106 W. Montgomery Watt & R. Bell, Introduction to al Qur’an (Edinbrugh: Edinbrugh University Press, 1990), 1-2.107 Ini tercermin dari anjuran do’a yang berbunyi “Rabbanâ âtinâ fi al dunyâ hasanah, wa fi al âkhirati hasanah, waqinâ adhâba al nâr.108 Q. S. al Mâ’idah/ 5: 66.109 Q. s. al Hujurat/49: 9-10.
35
yaitu hendaknya tidak ada suatu kelompok di antara kaum beriman, pria
maupun wanita, yang merendahkan kelompok yang lain, kalau-kalau
mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang
merendahkan. Dan prinsip itu kemudian diteruskan dengan beberapa
petunjuk yang lain untuk memperkuat dan mempertegas maknanya, dengan
menjelaskan secara konkret hal-hal yang akan merusak persaudaraan,
seperti saling meremehkan, memanggil sesama orang beriman dengan
panggilan yang tidak simpatik, banyak berprasangka, suka mencari
kesalahan orang lain, dan mengumpat.110
Deretan firman Allah tentang persaudaraan berdasarkan iman itu
diperkuat lagi dengan penegasan yang menjelaskan bahwa terbaginya umat
manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dimaksudkan
sebagai tanda pengenalan diri (identitas), yang semuanya itu harus
dibawakan dalam lingkungan kemanusiaan yang lebih luas dengan sikap
penuh saling menghargai. Juga, ditegaskan bahwa harkat dan martabat itu
ada dalam sikap hidup yang lebih sejati, dalam bentuk taqwa, dan bahwa
hanya Allah yang mengetahui dan dapat mengukur taqwa itu.111
Itu artinya, sebagai makhluk yang ditunjuk untuk menjadi khalifah
oleh Allah di atas bumi, manusia diperintahkan untuk senantiasa saling
menghormati, menghargai, menolong, menyayangi, mencintai, demi
terciptanya suatu tatanan kehidupan (di dunia) yang tentram, damai,
sentosa. Sebab, hakikat daripada penciptaan manusia adalah untuk
memakmurkan semesta, membangun sistem tatanan kehidupan yang adil,
yang semua itu tidak bisa diwujudkan dengan cara bertikai, untuk
membunuh yang lain.112 Dari itu, satu segi yang harus lebih diperhatikan
dalam memahami kembali Islam ialah semangat kemanusiaan (habl min al
110 Q. s. al Hujurat/49: 11-12.111 Q. s. al Hujurat/49: 13.112 Q. s. al Baqarah. 2: 30.
36
nâs), yang merupakan sisi kedua ajaran Islam setelah semangat Ketuhanan
(habl min Allâh).
Dari itu, dalam praktik kehidupan bermasyarakat umat Islam di
Madinah, ummah merupakan salah satu prinsip kunci yang menjadi pijakan
dalam bekerja sama, antar berbagai kelompok sosial dalam konfigurasi
pluralistik.113 Thomas W. Arnold menyatakan bahwa organisasi ummah
yang dibentuk Nabi merupakan kehidupan kebangsaan dalam Islam, bahkan
pertama dalam sejarah kemanusiaan.114
Memang, sebagaimana dalam istilah-istilah kalam, fiqh, atau
tasawuf, istilah pluralisme dalam al Quran tidak ditemukan, begitu juga
dalam hadith. Ajaran-ajaran kemajemukan itu tersirat dalam al Quran
seperti firman Allah: “Kalau Allah menghendaki, maka semua orang
dimuka bumi ini akan beriman.” Allah pernah menegur Nabi Muhammad:
”Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi beriman?” Ayat ini
sering kita dengar. Maksudnya jelas, dalam agama Islam tidak boleh ada
paksaan (lâ ikrâha fi al dîn) dan menghormati perbedaan.
Maka profil perekat umat sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an di atas
adalah berjiwa terbuka, dalam arti berpenampilan ramah, mampu
mengenalkan diri dan mengenali masyarakatnya, dengan tidak larut atau
lebur tanpa kepribadian. Luwes dalam pergaulan, dalam arti pandai
menjalin silaturrahmi dengan semua unsure masyarakat tanpa pilih-pilih
dan tidak memberikan kesan mengeblok ke salah satu pihak, dengan tetap
mengacu pada ketakwaan. Memiliki daya pengaruh, dalam arti mampu
membawa lingkungannya untuk melangkah maju kea rah yang lebih
inovatif dan konstruktif, dalam bentuk keterpaduan umat dan kerjasama
positif. Mempunyai bekal cukup untuk memimpin lingkungannya, dalam
pengertian memiliki kemampuan untuk membaca kondisi obyektif
113 Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah pasal 1, 37, dan 44.114 Thomasn W. Arnold, The Preaching of Islam (New Delhi: Low Price Publications, 1995), 33.
37
lingkungan dan bisa mengerti aksi apa yang harus dilakukan, apabila situasi
menuntutnya untuk berbuat, atas panggilan imannya. Lebih-lebih jika
situasi telah memanas dan mencerminkan saling perselisihan antar unsur
masyarakat. Memiliki kadar kebijaksanaa, dalam batas sejauh yang bisa
diresapinya melalui pesa-pesan kajian ilmiah, di antaranya melalui materi
fiqh dengan pandangan setiap madzhab, ditambah dengan pengalaman
dalam kehidupan keseharian, yang selalu mengacu pada kebersamaan dan
kenasionalan.
Sedangkan landasan teologis dan sosiologis daripada ideologi
perekat umat adalah keyakinan terhadap kodrat manusia sebagai makhluk
sosial. Artinya, manusia itu – agar dapat bertahan hidup dan melestarikan
kehidupannya – tidaklah dapat mengelakkan diri dari impoertaiva kodrati
untuk hidup secara berkelompok dalam satuan-satuan agregatif yang
disebut masyarakat. Dalam kelompok agregatif seperti itu, manusia
berhimpun untuk tidak sekedar berhimpun melainkan lebih jauh dari itu,
ialah mengembangkan kehidupan yang teratur dan/atau terorganisasi . Di
dalam kehidupan berkelompok seperti itu individu-individu manusia
membagi kerja atas dasar kekhususan masing-masing, dan kemudian
daripada itu juga saling berkomunikasi guna mengefektifkan kerjasamanya
dan/atau guna menyelesaikan silang selisih yang mengganggu
kerjasamanya.115
Apabila dicermati, di tengah kehidupan semesta yang kodrati ini,
ternyata hidup secara terorganisasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti
itu bukanlah satu-satunya modus atau model kehidupan yang dialami
spesies makhluk yang disebut manusia (Homo sapiens) itu saja. Semut dan
lebah madu adalah serangga-serangga yang terbilang makhluk sosial juga.
Demikian juga halnya dengan gajah atau singa atau pula kijang-kijang liar
115 Soetandyo Wignjosoebroto, “Dua Paradigma Klasik untuk Memahami dan/atau Menjelaskan Hakikat Ketertiban dalam Kehidupan Bermasyarakat Manusia,” Materi Filsafat Ilmu Sosial Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Semester I, 2003.
38
dan kera-kera yang hidup dalam belantara. Mereka ini adalah pula spesies-
spesies yang menurut kodratnya mesti hidup sebagai makhluk social.
Mereka juga hidup dalam suatu organisasi dengan pembagian peran dan
kerja serta berkomunikasi satu sama lain demi diperolehnya pangan, papan
perlindungan dan upaya melanjutkan keturunan yang semuanya itu akan
menjamin kelestarian spesies di tengah alam semesta ini.116
Menurut paradigma Aristotelian, yang bertolak dari anggapan
aksiomatik, seluruh kenyataan alam semesta ini pada hakikatnya adalah
suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang
sempurna sejak awal mulanya. Menurut Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-
1716), sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian ini, meyakini
bahwa kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu
imperativa keselarasan. Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada
hakikatnya adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah terwujud secara
pasti sejak awal mulanya. Inilah yang disebut a pre-established harmonius
order. Leibniz bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan Mahakuasa dan
Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta semesta ini. Penciptaan
tentulah didasari oleh suatu intensi, maksud atau alasan yang
mengisyaratkan adanya tujuan yang final (causa finalis).117
Scott Gordon (1991:214-215) mencontohkan keselarasan suatu
orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan
oleh Leibniz. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh
Leibniz disebut monad yang independen) telah “memainkan” bagian
masing-masing yang sekalipun secara mandiri namun secara total lalu
menjadi berkeselarasan. Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak
lain karena adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak
awal mulanya. Partitur itu telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam
116 Ibid.117 Ibid.
39
setiap satuan (pemain) yang ada di dalam totalitas sistem (orkestra). Teori
di atas sejalan dengan sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa
kemajemukan atau pluralisme adalah sunnatullâh.
Sementara itu manusia yang hidup akan terus berkembang, sehingga
dari perkembangan itu di dalam masyarakat terjadi perbedaan. Hal ini
menurut Brian Fay, dalam Contemporary Philosophy of Social Science, hal
semacam ini wajar terjadi di dalam kebhinekaan sosial dan kultural dunia.
Tentunya jika terdapat banyak perbedaan sosial, maka orang-orang itu
secara radikal berbeda antara satu dengan yang lain.118
Dalam teori Atomisme, Brian Fay kemudian menyebutkan bahwa
setiap dari kita pada dasarnya berbeda dan terpisah dari yang lain. Setiap
kita adalah satu bagian yang berdiri sendiri, yang memiliki identitas dan
integritas sendiri. Dengan demikian, maka setiap makhluk yang bernama
manusia merupakan suatu personalitas sendiri yang berbeda dengan
lainnya.119
Kemajemukan atau pluralisme adalah sunnatullâh. Dalam banyak
ayat, al Qur’an menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang
memang dikehendaki Allah.120 Karena itu, siapa saja yang berusaha
menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Karena
kehidupan bermasyarakat bersifat plural, tidak boleh ada pemaksaan
kehendak, termasuk memaksa seseorang untuk beriman. Indonesia adalah
negara plural. Ketika kita melihat pluralitas itu sebagai sesuatu yang positif,
bukan negatif, maka kita memasuki pluralisme sebagai suatu konsep yang
didukung al Qur’an.
Kalau kita perhatikan, alam ciptaan Allah ini memang beragam
keberadaannya, penuh dengan perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu adalah
118 Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science, (terj.) M. Muhith (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 7.119 Ibid., 37.120 Q. S. 49: 13.
40
kodrat, dan manusia tidak bisa melawan kodrat itu, justru harus
menghormatinya. Karena memang hidup manusia itu adalah keberadaan
bersama, ko-eksistensi. Untuk ko-eksistensi, seseorang tidak dapat
memaksakan kepentingan dirinya sendiri pada orang lain, sebab orang lain
juga mempunyai kepentingan lain seperti dirinya. Masing-masing manusia
memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, akan tetapi mereka harus bisa hidup
bersama dalam bermacam-macam perspektif kebenaran itu, dengan saling
menghargai kebenaran masing-masing. Sebab manusia itu terbatas, maka
kebenaran yang satu dapat melengkapi kebenaran yang ain, karena
kebenaran itu tidak terbatas, seperti halnya Allah juga tidak terbatas.
B. Pondok Modern Gontor
Untuk mengetahui ideologi Pesantren Gontor, maka banyak sekali
data yang bisa kita gunakan sebagai pisau analisis. Pertama, adalah figur
kepemimpinan Pondok Modern Gontor. Sebab di dalam pesantren sosok
kyai sangat memegang peran yang paling utama. Hal ini bisa dilihat dari
penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya, yang menyebut
kyai sebagai penghubung budaya antara pesantren dan dunia luar. Kyai
menyaring mana unsur budaya yang boleh masuk dan mana yang tidak.
Demikian halnya dengan Hiroko Horikoshi, ia menyebutkan bahwa kyai
bisa berperan kreatif dalam perubahan sosial.121
Uraian di atas menjelaskan bahwa kehidupan pesantren berpusat
pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor
kehilangan santri ataupun mati sama sekali berhubung dengan
meninggalnya kyai bersangkutan. Hal itu terutama terjadi bila pengganti
kyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang ia
gantikan.122
121 Lihat Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat (Yogyakarta: LkiS, 1999), vi.122 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 18.
41
Kyai adalah seseorang yang dipandang sebagai guru dan ahli agama
Islam, yang menguasai beberapa kitab Islam klasik. Panggilan ini umum
dipakai di lingkungan masyarakat Islam tradisional di pedesaan Jawa. Bagi
mereka, kyai seringkali tidak hanya menjadi guru agama, tetapi juga
merupakan tokoh atau pemimpin masyarakat, tempat meminta nasehat
dalam berbagai persoalan, mengharap berkah, do’a-do’a dan pengobatan,
bahkan seringkali juga sebagai tempat perlindungan. Benda mencatat
bahwa penderitaan yang berkepanjangan sebagai akibat dari politik tanam
paksa, alienasi politik dari kaum priyayi telah menempatkan para kyai
sebagai surga di mana para petani desa mencari perlindungan.123
Kepercayaan masyarakat desa akan kekuatan-kekuatan supranatural
dan magis juga sering membuat kekuasaan kharismatik kepada kyai. Untuk
itu, di bawah ini akan diulas tentang biografi kyai Gontor, Motto dan Panca
Jiwa Pesantren Gontor, Kegitan rutinitas atau aktivitas yang dilakukan oleh
santri Gontor, serta materi-materi tauhid dan fiqh yang diajarkan di Gontor.
1. Biografi Singkat Kyai Pondok Modern Gontor
Pondok Modern Gontor adalah sebuah pesantren yang terletak di
Desa Gontor, sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur
Tegalsari dan 11 KM kea rah tenggara dari kota Ponorogo. Nama pesantren
di Gontor itu adalah Darussalam (kampung damai). Akan tetapi karena
adanya beberapa system modern dalam pendidikan yang diterapkan di
pesantren itu, pesantren Gontor kemudian lebih dikenal dengan pesantren
modern. Pesantren Gontor didirikan oleh tiga kyai; Ahmad Sahal (1901-
1977), Zainuddin Fanani (1908-1967), Imam Zarkasyi (1910-1985) dengan
nama Darussalam dan Founding fathers pesantren modern yang terdiri dari
tiga bersaudara itu dijuluki dengan istilah trimurti.124
123 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, 21.124 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Percetakan Darussalam, 2004), 1-5.
42
Ahmad Sahal adalah alumni pesantren salaf murni, yaitu Siwalan
Panji Sidoarjo, dan Tremas Pacitan. Sementara Imam Zarkasyi adalah
alumni pesantren Padang Panjang, Sumatra Barat, yang pada waktu itu
merupakan pintu masuknya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.
Sebelum ke Padang Panjang, Imam Zarkasyi pernah mondok di beberapa
pesantren salaf.125
Pada tahun 1967 Zainuddin Fanani wafat, disusul oleh Ahmad Sahal
pada tahun 1977, sehingga kendali pesantren hanya dipegang oleh Imam
Zarkasyi. Sejak itulah Gontor identik dengan Imam Zarkasyi, sebab Imam
Zarkasyi sebagai nahkoda tunggal dari perjalanan pesantren Gontor.
Imam Zarkasyi yang dilahirkan di Desa Gontor pada tanggal 21
Maret, memulai pendidikan Dasarnya di Sekolah Desa Nglumpang, pada
usia belum genap sepuluh tahun. Di samping sekolah, waktu-waktu
luangnya ia gunakan untuk mengaji kitab-kitab kuning seperti Ta’lim al
Muta’allim, al Sulam, Safinah al Najât, Taqrib.126
Setelah menyelesaikan sekolah Desa dalam waktu lima tahun ia
melanjutkan ke Sekolah Ongko Loro127 di Jetis. Seperti sebelumnya, Imam
Zarkasyi yang di pagi hari sekolah, di sore hari ia gunakan untuk mondok di
Pesantren Josari, di bawah bimbingan Kyai Mansyur. Pelajaran utama di
pondok ini adalah tauhid, khatmi al-Qur’ân, Barzanji, dan khitâbah. 128
Kemudian Imam Zarkasyi melanjutkan ke Solo, yaitu di pesantren
Jamsaren, sebuah pesantren yang terkenal di masa itu karena alumninya
hafal Alfiyah dan Imriti. Akan tetapi, K. H. Abu Amar, pemimpin pesantren
125 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 4. 126Ibid,,19.127 Sekolah Ongko Loro (Vervolkschool, 2 tahun) adalah lanjutan dari Sekolah Desa (Volkschool) yang berlangsung tiga tahun. Sekkolah Ongko Loro biasanya terletak di distrik atau kabupaten. Kentjaraningrat, “Ikhtisar Sejarah Pendidikan di Indonesia” dalam Koentjaraningrat (ed.) Masalah-masalah Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1982), 409. 128 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,19.
43
ini juga dikenal sebagai anti taqlid, sehingga memberanikan diri untuk
mengajar al Qur’an dan Hadits meskipun dengan resiko mendapatkan
cemoohan dari pesantren-pesantren lain. Di sini, Imam Zarkasyi belajar
pada malam hari, sedangkan pada pagi hari, ia belajar di Madrasah
Arabiyah Islamiyah, yang dikenal dengan Arabische School, sebuah
pendidikan menengah dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar. Untuk sore hari, Imam Zarkasyi belajar di Madrasah Manbaul
Ulum, sebuah madrasah yang didirikan oleh Keraton Surakarta yang
dipersiapkan untuk mendidik anak-anak keraton. Karena itulah seragam
sekolah pun khas keraton. Madrasah ini paling modern di Jawa pada saat
itu.129
Semasa di Solo ini, Imam Zarkasyi bertemu dengan Oemar al-
Hasyimi, seorang guru di Madrasah Arabiyah Islamiyah yang berasal dari
Tunisia dan mendorong Imam Zarkasyi untuk melanjutkan studinya ke
Padang Panjang, Sumatera Barat, karena di daerah ini telah banyak ulama’
lulusan Mesir.130 Pada saat itu, wilayah ini sangat subur dengan lembaga
pendidikan Islam modern. Maka keberangkatan Imam Zarkasyi ke Padang
Panjang menjadi sangat kontroversial bagi santri Jawa, karena masyarakat
santri di Jawa pada saat itu memiliki kecenderungan untuk mondok di
Tebuireng Jombang atau Tremas Pacitan. Di Padang Panjang, sekolah yang
pertama-tama dimasuki oleh Imam Zarkasyi adalah Sumatera Tawalib
School. Kemudian melanjutkan ke Normal Islam School, sebuah lembaga
pendidikan yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam di
Padang pada tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus.
Dalam perjalanan karirnya sebagai pembina pesantren, Imam
Zarkasyi juga pernah duduk di pemerintahan, yaitu sebagai Kepala Bagian
Pendidikan dan Pengajaran di Kantor Urusan Agama di Jakarta, yang pada
129 Ibid., 21-23.130 Ibid., 29.
44
tahun 1946 berubah menjadi Departemen Agama. Selain itu, Imam
Zarkasyi juga pernah menjadi pengurus pusat Hizbullah, sebagai
penanggung jawab bagian pendidikan dan pengajaran kader Hizbullah, dan
aktif di Partai Masyumi ketika partai ini meupakan gabungan dari partai-
partai Islam. Akan tetapi kemudian ia keluar ketika terjadi perpecahan di
dalam tubuh Masyumi, dan semenjak itu pula, Imam Zarkasyi tidak
berkecimpung di dalam dunia politik lagi.131
Maka dari penjelasan sekilas tentang perjalanan pendidikan kyai
pesantren Gontor yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda,
antara pendidikan tradisional, dan modern, penulis yakin bahwa latar
belakang pendidikan sangat mempengaruhi pembentukan ideologi
seseorang, sehingga penulis menyatakan bahwa perpaduan materi kaum
tradisionalis dan modernis mewarnai jiwa santrinya di masa kepemimpinan
Pondok Modern Gontor masih dikendalikan oleh tiga tokoh secara utuh.
Akan tetapi, setelah K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Ahmad Sahal
wafat dan Gontor hanya dipimpin oleh satu figur, yaitu K.H. Imam
Zarkasyi, penulis yakin bahwa kemodernan Gontor dalam bidang ideologi
lebih menonjol. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perjalanan pendidikan
Imam Zarkasyi yang diakhiri di Padang Panjang, pusat gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-19.132 sebagai tempat akhir
melanjutkan studinya, banyak diwarnai oleh pendidikan dan pemikiran
modern di sana. Dan hal inilah yang kemudian menjadikan Imam Zarkasyi
sangat berperan dalam memodernisasi salah satu pesantren di Jawa yaitu
Gontor.131 Ibid., 175-177.132 Di penghujung abad ke-19, Sumatra Barat merupakan pintu gerbang masuknya erakan salaf dan pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia. Banyak sekolah didirikan untuk mendukung pembaharuan tersebut. Di Padang Panjang Dr. Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah (1909). Dua bersaudara Zaenuddin Labay el Yunusi dan Rahmah Labay el Yunusi, mendirikan Madrasah Diniyah Putra (1915) dan Diniyah Putri (1923). Sementara itu, Sumatra Thalawalib didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (1921). Kemudian pada tahun 1931, sekolah Normal Islam (Islamic Training College). Ibid., 29.
45
2. Sintesa Pondok Modern Gontor
Pondok Modern didirikan dan dikembangkan dari hasil sintesa
antara Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir), Pondok Syanggit di Afrika
Utara, Universitas Aligarh di India dan Taman Pendidikan Shantiniketan di
India. Dari Al-Azhar dan Syanggit diambil sistem pengelolaan wakaf yang
luas sehingga mampu memberikan bea belajar para mahasiswanya dari
berbagai penjuru dunia, di samping keduanya merupakan benteng
pertahanan kebudayaan dan pendidikan Islam yang kokoh. Aligarh terkenal
handal dalam usaha modernisasi pendidikan dan aktualisasi ajaran Islam
yang sesuai dengan tuntutan zaman, di mana mahasiswanya dibekali
dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta menjadi pelopor revival
of Islam.. Shantiniketan mampu mengembangkan sistem kebudayaan,
kesederhanaan, kekeluargaan dan kedamaian. Sintesa terakhir ini,
shantiniketan, mengilhami penamaan pesantren di Desa Gontor itu dengan
nama Dârussalâm, yang berarti rumah kedamaian dan keselamatan. Secara
implisit, kata itu mengandung makna filosofis yang ideal, yaitu menjadikan
Desa Gontor yang konon singkatan dari panggon sing kotor (tempat yang
kotor dipenuhi kemaksiatan molimo; 5M) berubah menjadi Dârussalâm,
kampung damai dan selamat dari kemaksiatan. 133
Spirit dari keempat sintesa itu senantiasa hidup pada generasi setelah
“Trimurti”, maka diabadikan dalam penamaan gedung-gedung di asrama
PM. Ada gedung Al-Azhar, gedung Syanggit dan seterusnya. Back-ground
pendirian pesantren secara historis, sosiologis, filosofis maupun idealis dari
arah dan tujuan pendidikan, yang diselenggarakan di PM Gontor, antara
lain sebagai berikut: yaitu pengabdian keilmuan dan gerakan dakwah
Islamiyah, amar ma'ruf nahi munkar di kalangan masyarakat dimana saja
santri berada.
133 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,598.
46
Maka dari sintesa Pondok Modern Gontor kita bisa menduga
kemodernan Gontor tidak hanya di bidang pendidikan, akan tetapi juga
pada bidang ideologi. Sebab dalam sintesa itu ditemukan adalah Aligarh
sebagai salah satu sintesanya. Aligarh adalah sebuah lembaga pendidikan
modern yang terkenal handal dalam usaha modernisasi pendidikan dan
aktualisasi ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, membekali
mahasiswanya dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta menjadi
pelopor revival of Islam pada masa itu. Dipelopori oleh Ahmad Sayyid
Khan, tokoh gerakan modernisme Islam di India. Aligarh juga mengajarkan
beberapa materi keislaman dengan menggunakan Bahasa Inggris (bahasa
penjajah di India pada saat itu),134 dan itulah yang dilakukan oleh Gontor.
3. Master Plan dan Manajemen Pendidikan Pondok Modern Gontor
Pondok Modern juga memiliki jangka panjang yang didasarkan pada
rencana induk (master plan) yang ditenarkan oleh Pondok Gontor dengan
istilah "Panca Jangka" (five-terms). Terdiri atas pendidikan dan pengajaran,
sarana dan prasarana, sumber pembiayaan, kaderisasi dan kesejahteraan
keluarga. Masing-masing mempunyai institusi tersendiri dengan
serangkaian program yang direncanakan (planing; takhtît) sesuai dengan
periodisasi waktu tertentu yaitu jangka pendek, menengah, panjang, dan
panjang sekali; diorganisasi (organizing; tandîm) dengan rapi; dikordinasi
(coordination; tansîq) dengan baik; dilaksanakan (implementazion; tanfîdh)
dan dikontrol (controlling; murâqobah) secara intensif agar hasilnya ideal.
Metode pengelolaan (management; idârah) secara modern dibarengi
dengan semangat futuristik yang sangat dominan dalam seluruh elemen
yang terkait. Tentunya semua bentuk manajemen seperti belum didapatkan
dalam pesantren-pesantren tradisional di Jawa pada masa itu.135
134 Ibid.135 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Percetakan Darussalam, 2004), 17-18.
47
Manajemen dalam bidang pendidikan dan pengajaran Pondok
Gontor sangat modern, seperti: penggunaan sistem pengajaran melalui
kurikulum yang sudah ditetapkan; metode pengajaran dengan cara klasikal
(secara bersama-sama di dalam kelas) dengan jenjang studi yang harus
dilalui melalui test hasil belajar berupa ujian lisan (oral examination;
imtihân shafawî) maupun tulisan (written; tahrîrî); diadakannya evaluasi
pengajaran atas guru-guru dengan rutin yang diistilahkan dengan "kamisan"
yang diadakan rutin setiap hari Kamis sekaligus menjadi wahana check and
balance dalam seluruh aktivitas pendidikan dan pengajaran serta
kebijaksanaan-kebijaksanaan pondok secara umum baik internal maupun
eksternal; dan yang lebih unik adalah pemakaian bahasa Arab dan Inggris
sebagai alat komunikasi belajar dan berinteraksi di dalam pesantren serta
pemakaian dasi, sebuah pakaian yang identik dengan kemodernan. Dan
semua itu di bawah pimpinan seorang direktur sekolah (KMI) yang
dibawahi lagi oleh para pimimpin (tiga orang kyai) pondok yang menjadi
"mandataris" Badan Wakaf.136
Dalam bidang sarana dan prasarana adalah menejemen santri dalam
sistem asrama dengan fasilitas pergedungan yang kondusif bagi
terlaksananya proses belajar dan mengajar. Disediakannya perpustakaan,
lapangan olah raga, tempat belajar, ruang tidur, kamar mandi, penghijauan
tanaman, masjid, kantin, balai kesehatan, dan lain-lain yang menjadi
kebutuhan primer, sekunder maupun tertier untuk kestabilan dan
kenyamanan proses pendidikan
Tanggungjawab manajerial yang ditangani langsung oleh badan
khusus yang bernama Badan Pembangunan dan Pemeliharaan Pergedungan
Pondok Modern secara strukutural di bawah ketua Yayasan Pemeliharaan
136 sebagai badan tertinggi yang beranggotakan 15 orang. Sebagai catatan tambahan bahwa pimpinan pondok dipilih oleh Badan Wakaf untuk jangka waktu lima tahun dan kemudian bisa dipilih kembali.
48
dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) di bawah koordinasi
Pimpinan Pondok Modern dan Badan Wakaf. Manajemen modern dalam
pembiayaan seperti: penggalian dana dari dalam pesantren sendiri melalui
koperasi pelajar, koperasi mahasiswa, toko buku, apotik, penggilingan padi,
dan sektor-sektor usaha lain yang dikelola oleh Organisasi Pelajar,
Organisasi Mahasiswa, dan Yayasan secara lebih luas dan umum.
Semboyan yang dikenal dalam pendanaan ini ialah self berduiping system
yang dapat menumbuhkan self of belonging dan self of responsibility
terhadap pondok pesantren.137
Semua Master Plan dan manajemen pendidikan di atas adalah ciri
khas dari orang modern. Dari sini terlihat sekali bahwa pemikiran Gontor
sangat modern yang tentunya sangat dipengaruhi oleh ideologi
kemodernannya.
4. Motto dan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor
Moto Pondok Modern Gontor meliputi; Berbudi tinggi (noble
character; akhlaq karimah), yang menjadi prioritas utama dan dasar dari
semboyan dan gerak hidup komunitas santri. Pendidikan akhlak
diaktualisasikan melalui keteladanan berperilaku baik. Dan pada diri
Rasulullah SAW terdapat keteladanan yang terbaik.138 Yang kedua adalah
berbadan sehat, yang diilhami dari makna sebuah Hadits Rasulullah SAW.
"al-mu'minu al qawiyyu khairun wa-ahabbu ilallâhi min al mu'min al dh'îf"
Tindakan penjagaan dan peningkatan kesehatan lebih diutamakan dari pada
pengobatan.139
Oleh sebab itu Pondok memperhatikan masalah K5 yang
mengaktifkan santri berpartisipasi langsung dengan penuh kesadaran.
137 Ibid.138 Q. s. al Ahzâb, 33: 21.
139 Ibid., 19.
49
Secara teratur diadakan olah raga wajib berupa lari pagi dan SKJ,
pembersihan lingkungan, makanan bergizi, pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan jadwal waktu dan disiplin yang tinggi. Untuk melatih kekuatan fisik
dan mental pesantren juga menyediakan fasilitas olah raga dan bela diri
fisik. Yang ketiga adalah berpengetahuan luas, dengan mengembangkan
etos ilmiah yang tinggi dan diciptakannya reading habit yang tidak terbatas
pada lingkungan kelas dan perpustakaan, akan tetapi dalam banyak tempat
dan momen. Maka didapatkan bacaan berupa koran maupun karya tulis
santri berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris yang tertempel pada etalase
hampir di semua sudut asrama. Yang ke empat adalah berpikiran bebas,
tidak terpola secara jumûd dan lamban.
Hal ini merupakan modal besar untuk melakukan ijtihad dan tajdîd
(pembaruan) sehingga terwujud prestasi-prestasi baru, inovasi, kreasi dan
kreatifitas berpikir dan terhindar dari taklid, pengikutan tanpa penggunaan
daya nalar yang tinggi. Pengembangan sistem budaya dan intelektualitas di
kalangan santri merupakan kontribusi besar yang dilahirkan dari kebebasan
berpikir. Saham lain yang diberikan oleh moto ini adalah pembebasan diri
dari belenggu pengkultusan individu. Sudah tentu semua itu didasari oleh
moto-moto sebelumnya yaitu berbudi tinggi, berbadan sehat dan
berpengetahuan luas. Oleh karenanya kebebasan berpikir tidak dipahami
dengan kebebasan tanpa batas norma-norma dan kaidah umum agama
Islam.
Moto di atas masih banyak prinsip-prinsip dan falsafah hidup yang
dibingkai di dalam mutiara hikmah dan di internalisasikan melalui
pendidikan santri. Misalnya : berjasalah dan jangan meminta jasa; i'malû
fawqa mâ 'amilû; i'malû fa-sayarallâhu 'amalakum wa rasûluhû wa al-
mu'minûn, dan lain-lain yang menunjukkan etos bergerak, berkreasi dan
berprestasi tanpa pamrih hanya karena Allah semata. Etos bergerak ini tentu
50
dilandasi atas fiqh al awlawiyât dan fiqh harakî dalam mengemban amanat
dan misi khilâfatullâh fi al-ardi.
Slogan fî ayyi ardin tata’- fa-anta mas-ûlun 'an Islâmihâ, selalu
menjadi inspirasi dan motivasi santri untuk beriman-islam-ihsan dalam
makna yang universal dan komprehensif. Pengejawantahan orentasi ini
dituangkan dalam penyusunan kurikulum pengajaran di tingkat KMI
(Kulliyyatul Mu’allimîn al Islâmiyyah, setingkat tsanawiyah dan aliyah
Indonesia) maupun di tingkat perguruan tinggi (dulu: Institut Pendidikan
Darussalam, IPD; sekarang : Institut Studi Islam Darussalam, ISID). Dan
disosialisasikan melalui pendidikan 24 jam sehari penuh dengan semboyan,
apa yang kamu lihat, kamu dengar, kamu rasakan di pondok ini adalah
pendidikan (pengajaran dalam arti yang lebih luas). , ini mempunyai makna
keseimbangan (tawâzun; balance) dalam sikap dan gaya hidup; tidak kikir
dan tidak boros (al-bastu kulla al-basti; waste of money, time, luxury,
etc.)140, tidak menggantungkan hidup pada orang lain dan seterusnya.
Dalam hal materi ini berarti dengan baik telah mampu mencukupi
kebutuhan primer (dhorûriyyât; necessities) sebagai prioritas utama
kemudian sekunder (thanawiyyât; secondaries) dan pelengkap (kamaliyyât;
luxuries) urutan berikutnya. Dari segi kwantitas cukup relatif sehingga KH.
Ahmad Sahal (rahimahullâh) mengucapkan, “aku tidak mendoakan anak-
anakku untuk menjadi orang kaya tetapi mendoakan untuk menjadi orang-
orang yang paling banyak mengeluarkan zakatnya.” Di antara cara yang
ditempuh oleh PM adalah membekali para santri dengan ketrampilan,
keahlian dan kewiraswastaan. Jika kesederhanaan lebih ditekankan dalam
urusan material maka kemodernan berkaitan erat dengan hal-hal immaterial.
Seperti dalam pemikiran dan pergerakan serta pembaruan. Karenanya
pesantren tidak pernah berhenti berijtihad. Modernitas dipelihara dan di
140 lihat QS. Al-Isra : 29.
51
aktualkan secara kontinu sehingga tidak sampai menjadi kerak dan fosil
sejarah.
Dari salah satu motto yang dimiliki yaitu berpikiran bebas, Gontor
telah memberikan saham pembebasan diri dari belenggu pengkultusan
individu. Maka di dalam pondok ini tidak ada pengkultusan anak seorang
kyai, seperti panggilan Gus yang terjadi di beberapa pesantren di Jawa.
Sudah tentu semua itu didasari oleh moto-moto sebelumnya yaitu berbudi
tinggi, dan berpengetahuan luas. Oleh karenanya kebebasan berpikir tidak
dipahami dengan kebebasan tanpa batas norma-norma dan kaidah umum
agama Islam. Di sini kelihatan lagi bagaimana kemodernan pemikiran
ideologi pesantren Gontor dengan kebebasan berpikir yang ditetapkan oleh
Gontor dalam salah satu mottonya, yang tentunya tidak ditemukan di
beberapa Pesantren tradisional, karena seorang santri tidak boleh membanta
apa yang disampaikan sang kyai.
Pijakan modernisasi adalah kaidah : al-muhâfadah 'ala al qadîmi al-
sâlih wa al-akhdhu bi al-jadîdi al-aslah, menjaga hal-hal lama yang baik
dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Berarti mempunyai akar yang
kuat ke dalam bumi dan tetap orisinal disamping menjulang ke langit dan
terus aktual. Diibaratkan kalimat tayyibah yang tersitir dalam ayat 24 surat
Ibrahim. Barangkali karena orentasi kemodernan inilah PM memberikan
piranti pembaharuan berupa ilmu bahasa Arab dan Inggris (kunci sebagai
telah disebut sebelumnya), usûl fiqh, mustalah al hadîth, hadîth, tafsîr, ‘ilm
al mantiq, dan ilmu-ilmu alat. Disamping telah mengenalkan buku bidâyah
al mujtahid wa nihayah al muqtasid karya Ibnu Rusyd yang mempelajari
fiqih Islam dengan menggunakan metode komparasi. Hal ini baru diajarkan
pada kelas lima KMI.
Pendidikan Pondok Modern Gontor juga memiliki lima jiwa
pesantren yang diistilahkan dengan Panca Jiwa Pondok Pesantren, yaitu;
52
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islâmiyyah, dan
kebebasan.141
Jiwa keikhlasan berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan
karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Segala perbuatan dilakukan dengan niat semat-mata untuk ibadah, lillah.
Kyai ikhlas mendidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu
menjalankan proses pendidikan serta para santri ikhlas untuk dididik.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis
antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa
ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun
dan kapanpun.
Dalam jiwa kesederhanaan, Gontor tidak berarti pasif atau nerimo,
tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu
terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri
dalam menghadapai perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan terpancar jiwa besar, berani maju dan
pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan
tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi
perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Dalam jiwa berdikari, di pondok Gontor segala sesuatunya
dikerjakan oleh kyai dan santri, tidak ada pembantu, pegawai dalam
pondok.
Dalam jiwa ukhuwah, kehidupan pesantren diliputi suasana
persaudaraan yang karab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama
dalam jalinan ukhuwah islamiyah. Tidak ada dinding yang dapat
memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di
pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam
masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.
141 Ibid., 15-16.
53
Jiwa bebas, berarti bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam
menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan
bebas dari berbagai pengaruh negative dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini
akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala
kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-
unsur negative, yaitu apabila kebebasan itu disalah gunakan, sehingga
terlalu bebas dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Panca Jiwa itulah yang mengawali dan menggerakkan seluruh
aktivitas dan dinamika pesantren, yang bisa ber-“ekses” negatif dalam
jatidiri atau eksistensi pesantren. Sebagai contoh, gangguan pada; unsur
keikhlasan berupa riyâ', takabbur, motivasi-motivasi material an-sich dan
lain-lain.
Pada unsur kesederhanaan (At-tawassut), seperti al-ifrât dan at-tafrît
dalam bersikap, bertindak dan berperilaku, pada unsur kemandirian (self-
help, independence; al-i'timâd 'ala al nafsi), seperti ketergantungan pada
pihak lain, rasa tak percaya diri, rendah diri (inferior), dan lainnya, pada
unsur ukhuwwah Islâmiyyah (Islamic brotherhood), seperti ta'assub
(fanatik) golongan, keturunan atau suku dan lainnya. Sedangkan pada unsur
kebebasan (al-hurriyyah; freedom), seperti keterikatan dan kesempitan
berpikir, berekspresi atau bergerak, feodalisme dan lain-lain.
Gangguan seperti tersebut diatas harus dihindari, jika telah hinggap
wajib segera ditanggulangi atau diobati. Jika tidak, niscaya akan
mengantarkan pesantren ke pintu kemusnahan. Orang-orangnya bisa
diibaratkan robot tak bernyawa yang disetir kearah tak menentu, dan
pergedungan yang ada bisa dianggap kuburan-kuburan yang mungkin
diziarahi - jika tidak mengerikan.itu karena eksistensi Panca Jiwa
merupakan.jaminan (guarantee) bagi pesantren untuk menggapai tujuan
dan arah yang pasti, menjaga keutuhan sistem, serta menjadi pemandu
langkah gerakan dan etos kedirian pondok pesantren.
54
5. Kepemimpinan di Pondok Modern Gontor
Kepemimpinan di Pondok Modern Gontor tidak berdasar pada garis
keturunan, akan tetapi dalam bentuk modern, karena siapa saja boleh
menjadi kyai asal memenuhi beberapa persyaratan, sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Badan Wakaf, organisasi tertinggi dalam kepemimpinan
Pondok Modern Gontor.142
Di Gontor tidak ditemukan adanya pengkultusan kyai dan
keturunannya. Tidak ada panggilan Gus di dalam lingkungan pesantren
Gontor. Di sini terlihat kemodernan ideology Gontor. Karena sikap
semacam ini hanya dimiliki oleh kaum modernis, seperti yang disebutkan di
dalam bab dua di atas.
Lembaga tertinggi dalam organisasi pesantren Gontor adalah Badan
Wakaf. Badan Wakaf ini semacam badan legislative yang beranggotakan 15
orang, bertanggung jawab atas segala pelaksanaan dan perkembangan
pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern. Untuk tugas dan kewajiban
keseharian amanat ini dijalankan oleh Pimpinan Pondok.143
Pimpinan pondok Gontor semacam badan eksekutif yang dipilih oleh
Badan Wakaf setiap 5 tahun sekali. Menurut Weber, bentuk kepemimpinan
seperti ini adalah bentuk dari sebuah kepemimpinan modern.
6. Materi yang Diajarkan di Pondok Modern Gontor
Untuk mengetahui orientasi ideologi pendidikan di pesantren
Gontor, maka di antara materi ajar yang perlu dikaji adalah materi tauhid,
fiqh dan kegiatan ekstra. Alasan pemilihan pada tiga materi tersebut karena
ketiganya sangat berpengaruh dalam membentuk karakter santri sebuah
Pondok Pesantren, dan sekaligus menjadi ciri khas dari masing-masing
142 Ibid., 122-123. Untuk mengetahui macam-macam bentuk kepemimpinan baca teori Weber.143 Ibid., 20-24.
55
kelompok keagamaan yang ada di Indonesia. Jadi, materi tauhid, fiqh dan
kegiatan keseharian adalah landasan dasar untuk menilai orientasi ideologi
keberagamaan seseorang.
Di Gontor, materi tauhid yang diajarkan untuk kelas I adalah materi
yang dikemas oleh Imam Zarkasyi dalam bukunya Ushuluddin. Dalam
kitab ini Imam Zarkasyi menyebutkan bahwa ia memilih aliran Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama'ah, madzhab mayoritas umat Islam di dunia dan di
Indonesia.144 Materi ini diajarakan selama satu tahun. Untuk materi tauhid
pada tingkat selanjutnya yaitu II, III, IV, V dan VI (kelas akhir di Pondok
Modern Gontor), merujuk kepada dua tokoh gerakan pembaharuan dalam
Islam, yaitu Ibn Taymiyyah dan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, serta
pemikiran-pemikiran Muhammad ‘Abduh. Memang ada alas an yang
mengatakan bahwa pemilihan materi tauhid pada madzhab Ibn Taymiyyah
didasarkan pada kontrak ideologi antara Gontor dengan Arab Saudi, yang
dalam hal ini sebagai donator dalam pembangunan salah satu gedung yang
ada di pesantren tersebut. Di mana, ketika Arab Saudi menyumbangkan
beberapa dana untuk pembangunan gedung di pesantren Gontor, mereka
menginginkan agar materi tauhid yang dijadikan bahan ajar di pesantren
Gontor adalah pemikiran Ibn Taymiyyah.145 Akan tetapi, meskipun
demikiran, penerimaan kyai Gontor terhadap tawaran ini merupakan
cerminan daripada orientasi ideologi kyai Gontor, yang menggambarkan
bahwa ia adalah seorang reformis, modernis, bahkan mungkin puritanis
meskipun lebih toleran atau lunak dan kelompok puritanis yang sebenarnya.
Untuk materi fiqh, di kelas I materi yang digunakan sebagai bahan
ajar di bidang fiqh adalah materi yang dikemas langsung oleh Imam
Zarkasyi. Dalam kitabnya itu, Imam Zarkasyi memilih madzhab Imam
Syafi'I dengan alasan bahwa madzhab itu adalah madzhab mayoritas umat
144 Imam Zarkasyi, Ushuluddin (Ponorogo: Trimurti Press, t.t.), 3 (bab penduhuluan).145 Hasil wawancara dengan Drs. Makasi, M.Ag. ketua Ikatan alumni Pesantren Gontor cabang Surabaya, pada tanggal 1 Juni 2005.
56
Islam di Indonesia. Untuk kelas II menggunakan kitab al-Fiqh al-Wadhih,
sementara untuk kelas III dan IV menggunakan kitab bulughul maram,
sebuah kitab yang digunakan di pesantren modern dan tradisional. Untuk
kelas V dan VI menggunakan kitab Bidayat al-Mujtahid, sebuah kitab yang
menguraikan pendapat dari berbagai madzhab fiqh yang ada dalam Islam
dengan menggunakan metode komparasi.
Pemilihan mdzhab fiqh dengan alas an sebagai madzhab mayoritas
umat Islam menggambarkan betapa pentingnya persatuan umat Islam dalam
pemikiran kyai Gontor, sehingga santri Gontor benar-benar terbantu oleh
materi fiqh madzhab fiqh tersebut untuk menjadi perekat umat di
masyarakatnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana seorang santri Gontor
akan menjadi perekat umat jika tidak paham dengan madzhab mayoritas
umat Islam di tempat tinggalnya. Untuk itu, pemilihan materi fiqh dengan
madzhab syafi'i bisa dimungkinkan didasarkan pada alas an slogan perekat
umat yang didengungkan oleh Gontor, bukan karena cerminan daripada
pemikiran fiqh murni Imam Zarkasyi.
Sekilas memang dari materi tauhid dan fiqh terlihat adanya
perpaduan antara tradisionalisme dan modernisme Islam dalam ideologi
pesantren modern itu. Akan tetapi, jika ditimbang secara proporsional,
materi yang mengarah kepada modernisme Islam lebih mengakar dalam
orientasi keagamaan santrinya, karena materi-materi yang mengarah kepada
paham modernisme Islam di samping pada materi tauhid, juga pada
kegiatan ekstra para santrinya, apalagi materi-materi itu diajarkan di akhir
tingkatan dari perjalanan santri Gontor, pijakan yang sering disampaikan
oleh kyainya kepada para santri adalah kaidah: al-muhâfadah 'ala al qadîmi
al-sâlih wa al-akhdhu bi al-jadîdi al-aslah, menjaga hal-hal lama yang baik
dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Berarti mempunyai akar yang
kuat ke dalam bumi dan tetap orisinal di samping menjulang ke langit dan
terus aktual.
57
Sementara materi yang mengarah pada paham tradisionalisme Islam
hanya ditemukan pada materi fiqh kelas I & II, sementara untuk kelas III,
IV, V & VI sudah pada fiqh komparatif. Paham tradisionalisme Islam juga
hanya terlihat dalam symbol masjid pesantren yang berupa bedug dan
kentongan. Hal itupun didasarkan pada pengalaman kyai Gontor, Imam
Zarkasyi. Di mana ketika beliau sedang dalam pengungsian dari kejaran
penjajah, beliau tersesat di suatu tempat, sehingga mendengan suara bedug,
yang bertanda telah dating waktunya sholat sekaligus tanda bahwa jarak ke
perkampungan sudah dekat. Dari pengalaman itu, Imam Zarkasyi memiliki
pendapat bahwa bedug memiliki manfa'at sehingga ia membolehkan
penggunaanya di masjid Gontor.
Dari sini memang bisa di ambil kesimpulan bahwa Imam Zarkasyi
tidak terlalu radikal dalam mensikapi beberapa tradisi masyarakat Jawa
yang tradisional. Akan tetapi ia adalah seorang modernis, karena bisa
dilihat dari beberapa symbol kemodernan Gontor seperti bentuk mimbar
masjid yang tidak menggunakan tongkat, sholat tarawih yang hanya
delapan raka’at, tidak adanya kegiatan ritual keagamaan yang bercorak
tradisional, seperti tahlilan, diba'an, yasinan, dan lain sebagainya. Para
santri Gontor juga tidak dianjurkan untuk mengunjungi makam kyai pendiri
pesantren modern itu, bahkan tidak pernah terlihat keluarga kyai yang
mengunjungi makam kyai Gontor, padahal letaknya sangat dekat dengan
asrama santri. Sementara kegiatan ini adalah salah satu kegiatan yang
dianjurkan oleh pesantren yang berbasis kaum tradisional. Memang bisa
saja alas an dari sikap di atas adalah untuk menghindari adanya
pengkultusan individu terhadap sang kyai yang sudah meninggal, akan
tetapi bisa juga dinilai sebagai salah satu bukti bahwa orientasi ideology
keluarga kyai Gontor yang reformis-modernis bahkan puritanis, karena anti
ziarah kubur.
58
Modernisme Gontor juga terlihat dalam beberapa kegiatan ekstra
para santri dan dalam penggunaan pakaian para santrinya. Dalam kegiatan
ekstra ditemukan kegiatan bela diri yaitu pencak silat, yang dalam hal ini
Gontor berkiblat kepada Tapak Suci, sebuah perguruan silat yang berada di
bawah nauangan kelompok modernis. Dalam melaksanakan kegiatannya,
santri Gontor dituntut untuk selalu tepat waktu, sehingga sudah menjadi
pemandangan yang biasa di Pondok Gontor beberapa santri yang harus lari
terburu-buru guna mengejar waktu. Hal ini diharapkan santri Gontor benar-
benar menghormati waktu. Efek daripada disiplin ini adalah santri Gontor
menjadi militant, sehingga wajar jika ditemukan beberapa santri Gontor
yang menjadi militant secara ideology. Dalam berpakaian para santri
diwajibkan untuk berdasi dalam beberapa kegiatan tertentu, seperti
muhadarah (latihan berpidato), dan tidak selalu memakai sarung. Sarung
hanya digunakan ketika sholat berjama'ah.
Di lingkungan Pondok sering ditemukan rekaman-rekaman atau
tulisan-tulisan yang mengarah pada ajakan jihad, melawan penjajah dan
orang non-muslim, sehingga dalam beberapa kali kegiatan latihan berpidato
didengar teriakan, bunuh Soeharto, hancurkan kaum Yahudi, lawan orang
Kristen dan lain sebagainya. Teriakan-teriakan itu juga direalisasikan
melalui kegiatan perkemahan Kamis-Jum'at (PERKAJUM) di beberapa
tempat yang meruapakan basis kristenisasi.
Dari beberapa kegaitan ekstra tersebut, tidak jarang santri Gontor
yang termotivasi untuk bersikap radikal dalam orientasi keberagamaannya,
terutama terhadap non-muslim. Dan hal itu terbukti dari beberapa
alumninya yang masuk dalam keanggotaan kelompok militant Islam seperti
FPI, dan lain sebagainya.
Ada cerita lucu, bahwa pada saat terjadinya konflik di Ambon, ada
seorang alumni yang telah menjadi anggota FPI ikut berangkat ke Ambon
untuk membantu umat Islam yang sedang berperang melawan orang Kristen
59
di sana. Setelah ia menembaki beberapa orang Kristen, tiba-tiba ada
sweeping dari pihak militer Indonesia, dan menangkap alumni Gontor yang
disebutkan tadi. Ternyata ketika ia ditangkap oleh salah seorang anggota
militer, ia terkejut karena yang menangkapnya adalah kawan sekelas
semasa di Gontor, yang kini telah menjadi anggota ABRI.
C. Ideologi Perekat Umat Pondok Modern Gontor
Salah satu faktor kemunculan ide perekat umat di Gontor adalah
situasi politik di Indonesia yang sangat berpengaruh pada bidang
pendidikan, di mana masing-masing partai politik membangung lembaga
pendidikan untuk dijadikan sebagai media dakwah kepentingan politiknya,
sehingga di dalam salah satu materi yang diajarkan di lembaga pendidikan
itu adalah materi-materi politik yang cenderung menekankan pada sikap
fanatic terhadap salah satu golongan tertentu. Dari situlah Gontor
terinspirasi untuk menjadi lembaga pendidikan yang netral, terbebas dari
kepentingan golongan atau partai politik tertentu dengan semboyan berdiri
di atas dan untuk semua golongan.146Semboyan inilah pijakan utama dari
ideologi perekat umat yang dikomandangkan oleh Gontor.
Ada lima kata kunci untuk membentuk ideologi perekat umat di
Pondok Modern Gontor, sebagaimana yang diajarkan kepada para
santrinya; kesederhanaan dalam berpikir, ukhuwwah Islâmiyyah,
kebebasan, akhlak mulia (noble character; akhlaq karimah), pengetahuan
yang luas, tidak terpola secara jumûd.
Dalam kesederhanaan (At-tawassut), terkandung arti anti radikalisme
dan liberalisme (al-ifrât dan at-tafrît) dalam bersikap, dalam ukhuwwah
Islâmiyyah (Islamic brotherhood), berarti anti ta'assub (fanatik) golongan,
keturunan atau suku dan lainnya, sedangkan pada unsur kebebasan (al-
146 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Ponorogo: Darussalam Press, 2004), 14.
60
hurriyyah; freedom), berarti anti keterikatan dan kesempitan berpikir,
berekspresi atau bergerak, feodalisme dan lain-lain. Dalam akhlak mulia
(noble character; akhlaq karimah) dan pengetahuan yang luas, ada modal
besar untuk melakukan ijtihad dan tajdîd (pembaruan) sehingga terwujud
prestasi-prestasi baru, inovasi, kreasi dan kreatifitas berpikir dan terhindar
dari taklid, pengikutan tanpa penggunaan daya nalar yang tinggi.
Kebebasan berpikir tidak dipahami dengan kebebasan tanpa batas norma-
norma dan kaidah umum agama Islam.
Makna perekat umat yang dimaksudkan oleh Pesantren Gontor di
tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia yang plural bisa kita baca dari
wasiat terakhir yang diberikan kepada para santri yang telah tamat sebelum
mereka meninggalkan Pesantren Gontor, yaitu yang berbunyi:
"Jadilah anak-anakku perekat umat. Ketika sedang berada di tengah-
tengah masyarakat, hendaknya anak-anakku pandai meletakkan,
menyelaraskan, menyesuaikan serta membawa diri. Anak-anakku
kalau menghendaki, masuklah partai yang kamu senangi, tetapi
hendaklah selalu hati-hati dalam makmum atau kalau menjadi imam
partai, baca tokoh-tokoh partai Islam. Jangan sampai keblinger,
jangan buta, jangan meninggalkan prinsip dan jangan kehilangan
prinsip ridallah lii'lai kalimatillah. Maka jadilah anak-anakku orang
yang berprinsip. Bahayanya masuk partai, kalau imamnya larut,
makmumnya tetap nurut, imamnya batal, makmumnya tidak mau
kenal. Apa yang tinggal? Maka kenalilah benar-benar siapa kawan,
siapa lawan, dan ke mana arah tujuan, mana prinsip yang dijadikan
pedoman. Dunia tahu, masyarakat pun melihat segala tingkah laku,
budi pekerti dan mentalitas imam-imam partai, yang seringkali
memalukan ulama umum di muka lain agama dan atheis. Mereka
tertawa menghina, sedang yang ditertawakan tidak merasa. Maka
jangan sekali-kali khianat karena partai. Hati-hati, jangan sampai
61
menjadi orang yang khatamallahu 'ala qulubihim, berani kafir,
ngumbar nafsu angkara murka. Tidak kenal batas, tidak tahu arah,
lupa tujuan, hilang prinsip. Masalah khilafiah, furu'iyah sudah
dibahas sejak 500 sampai 1000 tahun yang lalu dan tidak akan ada
habisnya. Kalau anak-anakku masih juga membesar-besarkan,
menghebohkan masalah tersebut, berarti ketinggalan zaman 10
abad.147"
Dari pesan itu bisa kita pahami, bahwa makna perekat umat yang
diinginkan Gontor adalah masuk ke golongan mana saja, sehingga alumni
Gontor bisa ada di mana-mana, meskipun Gontor tidak ke mana-mana,
dengan tetap bersikap tasamuh. Tidak terlalu fanatic terhadap kelompok
tertentu yang bisa menimbulkan perpecahan umat Islam.
Untuk menjadi perekat umat, pendidikan di Pondok Modern Gontor
tidak berorientasi dan berafiliasi kepada parta-partai politik, termasuk tidak
memihak pada salah satu organisasi masa dan golongan. Berarti
mempunyai visi kenetralan dan berusaha menjadi perekat umat. Oleh sebab
itu daya dan sikap tenggang rasa (tasâmuh; tolerance) selalu ditanamkan
pada anak didik, demikian juga daya dan sikap kerjasama (ta_âwun;
cooperative). Kedua hal itu adalah modal besar untuk membangun
persatuan dan kesatuan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka untuk mendukung terealisasikannya cita-cita Gontor menjadi
perekat umat, sejak dini Pondok Modern Gontor membekali anak didiknya
dengan berbagai materi pelajaran, yang telah disusun sedemikian rupa, guna
membekali santrinya agar bisa berkiprah sebagai perekat umat di tengah
masyarakat dengan baik. Di antaranya adalah dengan membekali pelajaran
fiqh dari kelas satu sampai kelas empat yang mengacu pada madzhab yang
dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu madzhab syafi'i.
147 Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Darussalam Press, t.t.), 21-22.
62
Pengajaran fiqh madzhab syafi'I itu dimaksudkan agar jika sewaktu-waktu
santri kembali ke masyarakatnya mereka telah memiliki dasar ilmu yang
lazim bagi seorang muslim Indonesia, sekaligus merupakan bahan untuk
memasuki jenjang berikutnya. Selain itu, di Gontor juga digunakan Kitab
Bulugh al Marom, sebuah kitab fiqh yang dipakai sebagai bahan ajar di
pesantren modern dan tradisional, sehingga santri Gontor tidak asing
dengan kitab yang mampu berada di dua lingkungan tersebut.
Selanjutnya, di kelas lima dan enam, santri dibekali materi fiqh
dengan cara pendekatan kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid,
di mana kitab ini mengetengahkan hukum fiqh dari berbagai pendapat
madzhab, dengan harapan santri Gontor dapat menyikapi berbagai pesoalan
di masyarakat dengan penuh kebijaksanaan, bahwa satu permasalahan akan
selalu memiliki berbagai dimensi pengertian, belum lagi jika dikaitkan
dengan berbagai latar belakang pihak-pihak yang terkait di dalam
permasalahan itu.
Slogan yang diangkat oleh PM dalam hal ini antara lain : Jadilah
perekat ummat, Gontor diatas dan untuk semua golongan, Gontor bukan
NU dan bukan Muhammadiyah; dua sisi corak yang seolah paradoksal itu
menjadi ciri khas PM. Maka prinsip yang dipegang adalah nata_âwan fî-mâ
nattafiq natasâmah fî-mâ nakhtalif. Ibâdah talabu al ‘ilmi lillâh, tujuan
inilah yang perlu diutamakan dalam pendidikan di pesantren. Layaknya
sebuah lembaga pendidikan maka misi dan visi pesantren adalah keilmuan
dan pengembangan intelektualitas yang dikemas dalam nilai-nilai keislaman
yang utama. Pesantren harus berusaha merekayasa diri menjadi pusat
keilmuan dan pengembangan intelektualitas. Etos ilmiah selalu mewarnai
dinamika pesantren. Dalam bahasa Al-Quran disebut dengan tafaqquh fî al-
dîn.148
148 lihat QS. At-Taubah : 122.
63
Bekal lain yang diberikan Gontor kepada santrinya adalah tercermin
dalam jenis kegiatan dan aktivitas santri di dalam asrama. Di antaranya
santri Gontor dilarang berkumpul dengan teman satu daerah lebih dari tiga
orang. Sejak dini ditanamkan kepada santri untuk tidak fanatic
kedaerahan/kesukuan dan lebih ditekankan pada wawasan ukhuwah
islamiyah dan wawasan nasional secara khusus.
Dalam satu kamar tempat tinggal santri, tidak diperbolehkan hanya
terdiri dari satu suku saja. Orang Jawa harus mengenal dan berteman
denagn baik dengan suku Banjar, Betawi, Bugis, Sunda, dan lain
sebagainya.
Maka dengan prediket sebagai perekat umat, santri Gontor
diharapkan mampu memberika warna kepada masyarakat, memiliki sikap
menyatukan, menciptakan keharmonisan serta kebersamaan di kalangan
umat Islam.
Akan tetapi, untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai
centelan organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati” oleh sebagian
masyarakat muslim Indonesia. Dalam kesadaran intern umat Islam, label
Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum memberi makna
sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas, dan kenyataan
sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga wajar sekali, jika
pengelompokan itu terus berkembang, dan semakin bertambah jumlahnya
hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.
Maka, untuk mewujudkan impiannya sebagai perekat umat, alumni
Gontor akan dihadapkan pada kekuatan masyarakat itu, yang secara
psikologis akan mempengaruhi kepribadiannya, sehingga bisa terjadi
beberapa kemungkinan: Pertama, bersikap statis dan kaku (fundamentalis).
Hasilnya, kehadiran alumni Gontor tadi tidak memberikan warna positif,
64
bahkan hanya menambah jumlah bilangan kelompok di dalam masyarakat.
Kedua, bersikap aktif, akan tetapi terkesan advanturer (radikal).
Kemungkinan ini bisa terjadi apabila seorang alumni tadi terlalu
merasa yakin dengan dirinya dan segala apa yang dimilikinya. Dimana ia
menganggap bahwa semua masyarakat adalah mundur dan harus digarap
dengan cara apapun. Apalagi jiwa kepemudaan seorang alumni Gontor
yang masih berusia belasan tahun (setingkat tamatan SMU), apalagi materi
tauhid yang diajarkan di Gontor, adalah versi Ibn Taymiyyah, figur dari
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokoh gerakan Ortodoksi Islam di Najd
(Wahhabiyyah), belum lagi pengaruh disiplin yang diterapkan di Gontor
sangat tinggi.
Ketiga, bersikap aktif dan tidak berkepribadian (plin-plan).
Artinya ia sangat tendensius untuk masuk ke dalam organisasi
tersebut, sehingga tenggelam kedalam sikap fanatik yang berlebihan, dan
bisa juga tidak berpindah-pindah dari satu golongan ke golongan lain,
sesuai dengan jumlah materi yang didapatkan, sehingga ia terkesn sebagai
orang liberalis, dan materialistis. Dengan demikian, prediket perekat umat
akan tertanggalkan, baik secara drastis, ataupun evolusif. Sikap seperti ini
sangat besar kemungkinannya untuk terjadi, sebab kondisi sosiologis
masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi psikologi alumni Gontor.
Latane (1981) dalam teori dampak sosial terhadap psikologi
sesorang menyebutkan, bahwa seseorang yang sedang hidup bermasyarakat,
akan ditekan oleh masyarakatnya untuk menentukan diantara dua pilihan;
tetap bergabung dengan kelompok itu dengan mengikuti arus, atau keluar
dengan melawan arus. Maka menurut Festinger (1950) dan Dicner (1980),
jika sesorang memiliki tujuan dan kebutuhan yang bisa diperoleh dari
masyarakatnya tadi, ia akan memilih untuk menetap dengan mengikuti arus.
Dengan demikian, orang tadi akan mengalami de-individu, di mana
65
identitas pribadi digantikan oleh suatu identitas dengan tujuan dan tindakan
kelompok.
Dengan demikian, jika yang diinginkan oleh Gontor dari ide tentang
perekat umat adalah memberikan warna kepada masyarakat, tantangan
terbesar yang dihadapi seorang alumni Gontor dalam memposisikan dirinya
sebagai perekat umat adalah usia yang relatif muda alumni Gontor untuk
dihadapkan dengan besarnya amanat, dan kuatnya daya pengaruh
masyarakat itu sendiri. Apalagi ditengah-tengah masyarakat yang, secara
sosiologis, telah terjadi pengelompokan sesuai dengan bidang profesi, yang
tentunya akan sangat berpengaruh dalam sikap keberagamaan seseorang;
antara tradisionalis dan modernis, antara fundamentalis dan liberalis. Maka
resikonya adalah, seorang alumni tadi seringkali akan larut, bisa ke dalam
kelompok Muslim fundamentalis atau liberalis, tradisionalis atau modernis,
dan, kalau sudah begitu, ia akan menjadi manusia pasif, statis, dan nerimo,
dan faktor inilah yang menjadikan banyak alumni Gontor “ada dimana-
mana, dan mungkin juga akan kemana-mana”.
Maka perekat umat yang dikumandangkan oleh Gontor bisa efektif
jika para santrinya jika telah tamat, diharapkan untuk kembali kepada
lingkungannya semula. Yang tadinya berasal dari Muhammadiyah,
dipersilahkan kembali untuk menjadi Muhammadiyah. Yang tadinya
berasal dari NU dipersilahkan untuk kembali menjadi NU. Hanya saja tidak
boleh menjadi orang yang buta dalam masalah khilafiyah.
D. Ideologi Pondok Modern Gontor
Jika telah diuraikan di atas, beberapa hal yang berkaitan dengan
Gontor termasuk ideology perekat umatnya, lalu di mana Gontor secara
ideologis?
66
Imam Zarkasyi, salah satu pimpinan Pondok Modern Gontor
mengatakan bahwa kata modern yang digunakan oleh Gontor hanyalah
merujuk pada metode-metode pengajarannya saja, bukan pada apa yang
diajarkan, yakni Islam murni seperti dahulu kala.
Memang di Gontor terdapat banyak orang NU seperti Idham Chalid,
sekarang Hasyim Muzdi, tapi di Gontor juga banyak orang
Muhammadiyah, sekarang ada Din Syamsuddin.
Sebagian orang mengatakan bahwa Imam Zarkasyi secara pribadi
adalah Muhammadiyah. Pemikiran semacam ini muncul karena tidak
pernah terlihat Imam Zarkasyi melakukan amalan yang dilakukan oleh
orang NU. Ketika Ahmad Sahal, salah satu pendiri Pondok Gontor,
meninggal, Imam Zarkasyi tidak mengadakan tahlilan, baik ketiak hari
pertama, ketiga, ketujuh ataupun kesekian hari dari wafatnya. Sholat
tarawih juga ala orang-orang Muhammadiyah, yaitu delapan raka'at. Akan
tetapi ia juga tidak anti dengan do'a qunut, yang menurut sebagian orang
adalah sebagai ciri orang NU, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya
Pelajaran Fiqh Jilid I.149
Tapi, jika dilihat dari beberapa pola pikir dalam bidang pendidikan,
teologi, dan praktek ibadah yang diajarkan di Gontor, tidak salah jika para
alumninya ketika terjun di masyarakat, untuk berafiliasi dengan kelompok-
kelompok yang berbasis kaum modernis sangat besar. Maka sangat
berasalan jika banyak orang menduga bahwa Gontor lebih dekat kepada
kelompok modernis seperti Muhammadiyah, apalagi putra-putri Imam
Zarkasyi banyak disekolahkan ke lembaga pendidikan yang dibina oleh
Muhammadiyah. Meskipun pemilihan ini lebih didasarkan pada kemajuan
sistem pendidikan Muhammadiyah daripada sistem pendidikan yang ada
dalam organisasi kaum tradisional, yaitu NU. Tapi paling tidak pendidikan
149 Muslich, "K.H. Imam Zarkasyi yang saya kenal, saya kagumi, dan saya jadikan guru" dalam K.H. Imam Zakasyi di Mata Umat (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 666-671.
67
sangat mempengaruhi hasil pemikiran seseorang, sehingga penulis tetap
menilai bahwa pemilihan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai
tempat studi bagi putra-putrinya adalah simbol daripada kemodernan
pemikiran Imam Zarkasyi dalam bidang keagamaan.
Modernisme Gontor yang muncul dari pemikiran dan gagasan Imam
Zarkasyi itu tidak lepas dari kritikan masyarakat sekitar, karena pesantren
ini terletak di tengah-tengah setting sosial masyarakat Islam Jawa yang
terkenal sebagai basis kaum tradisionalis di Indonesia. Maka agar Gontor
dan alumninya bisa diterima di tengah-tengah masyarakat Islam di Jawa,
Imam Zarkasyi tetap mempertahankan ide-ide pemikiran kaum
tradisionalis. Artinya, sebagai ulama modern yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Islam Jawa ia berusaha untuk tetap mempertahankan pemikiran
kaum tradisionalis, karena modernisme di Jawa masih sulit untuk diterima
oleh masyarakatnya pada abad ke-20 an itu, mungkin juga sampai sekarang.
Maka materi fiqh yang digunakan di pesantren ini tidak merujuk
pada salah satu tokoh pembaharu seperti Ahmad bin Hanbal seperti yang
terjadi di beberapa pusat pembaharuan Islam lainnya, akan tetapi dengan
menggunakan fiqh Imam Syafi’i, karena mayoritas masyarakat Indonesia
adalah penganut madzhab Syafi’i. Imam Sayafi’i adalah tokoh yang
menghormati rasionalitas dalam penetapan hukum Islam dengan ushul
fiqhnya, sehingga tidak bertentangan dengan modernisasi yang akan
dilakukan oleh Gontor dalam bidang pemikiran, termasuk fiqh.
Pada tingkat berikutnya, materi fiqh merujuk kepada Kitab Bulughu
al Marâm, sebuah kitab yang disukai oleh kalangan tradisionalis karena
tokoh pengarangnya, dan disukai oleh kalangan modernis karena
sistematikannya, sehingga buku ini diajarkan di pesantren modern dan salaf
(tradisional). Setelah itu para santrinya diajarkan Kitab Bidâyah al Mujtahid
wa Nihâyah al Muqtasid karya Ibnu Rushd, sebuah kitab fiqh yang
menggunakan metode komparasi. Tentunya dengan penggunaan kitab ini,
68
para santri dilatih untuk menentukan pilihannya di tengah-tengah
banyaknya pilihan. Dan hal ini sebagai modal dasar dalam melatih kejelihan
seseorang melalui kekuatan rasionalitasnya. Maka slogan yang diangkat
oleh PM dalam hal ini antara lain: Jadilah perekat umat, Gontor di atas dan
untuk semua golongan, Gontor bukan NU dan bukan Muhammadiyah; dua
sisi corak yang seolah paradoksal itu menjadi ciri khas PM. Prinsip yang
dipegang adalah nata’âwan fî mâ nattafiq natasâmah fî mâ nakhtalif.150
Selain itu, sikap Imam Zarkasyi untuk tetap mempertahankan tradisi
ajaran kaum tradisionalis adalah penggunaan qunut dalam sholat subuh, jika
tidak dilakukan harus diganti dengan sujud sahwi, meskipun Imam Zarkasyi
juga tetap membolehkan santrinya untuk tidak menggunakan qunut dalam
sholat subuhnya. Selain dari materi fiqh, Imam Zarkasyi juga
mempertahanakn penggunaan simbol-simbol kaum tradisional, seperti
bedug dan kentongan di dalam masjid, kemudian pembacaan pujian di
antara adzan dan iqamah, serta pembacaan wirid setelah sholat dengan cara
jahr.151
Hal ini ia lakukan karena hidupnya yang berada di tengah-tengah
masyarakat Jawa yang tradisional, sehingga ia harus melunak, tidak terlalu
ekstrim dalam menolak paham kaum tradisional. Di samping itu ia juga
memiliki keinginan untuk mencetak ulama yang perekat umat, sehingga
pemikiran fiqhnya itu hanya karena niat untuk pendidikan, sehingga dengan
begitu Gontor tetap dinilai oleh orang luar sebagai pesantren yang tidak NU
dan tidak Muhammadiyah, dan pada akhirnya para santrinya bisa diterima
oleh semua pihak.152
Dugaan penulis akan hal di atas karena Imam Zarkasyi tidak pernah
memperlihatkan beberapa amalan kaum tradisionalis di depan santrinya,
150 lihat QS. At-Taubah : 122.151 Baca Imam Zarkasyi, Pelajaran Fiqh (Gontor: Percetakan Trimurti) jilid I dan II.152 Dari tinjauan politik dagang -bukan maksud penulis untuk melecehkan Gontor-, sikap ini bisa membantu Gontor untuk menjadi best seller di dalam bersaing dengan pesantren lain.
69
sehingga kuat dugaan jika memang sikapnya untuk mempertahankan
beberapa ide kaum tradisionalis di pesantren yang ia rintis hanya berkisar
pada wacana atau pemikiran yang mungkin ia sendiri tidak
mengamalkannya.
Maka materi-materi tradisionalis yang masih tetap dipertahankan dan
melekat pada jiwa Gontor, “mungkin” dilakukan karena melihat kondisi
sosiologis umat Islam Indonesia yang mayoritas adalah kaum tradisionalis,
apalagi Gontor adalah Pesantren yang letaknya di Jawa, sehingga, dengan
begitu, ide perekat umat bisa dengan mudah direalisasikan oleh Gontor.153
Tentunya, pilihan ini juga akan memudahkan alumni Gontor di
dalam merealisasikan idenya sebagai perekat umat, agar bisa kemana-mana,
dan ada di mana-mana. Jika hal ini benar, maka arti dari perekat umat yang
diinginkan oleh Gontor adalah masuk ke dalam kelompok-kelompok Islam
yang ada di Indonesia, dengan harapan mampu memberikan warna atau
pengaruhnya agar tidak terjadi pertikaian antara satu dengan yang lainnya.
Mungkin sangat jeli jika Nurcholish Madjid menilai bahwa ideologi
Gontor adalah Islam Padang-Jawa, yaitu perpaduan antara Islam modernis
dan tradisionalis. Hal ini dikaitkan dengan tokoh atau figur sentral dari
Pesantren Gontor, K.H. Imam Zarkasyi. Sehingga nampak sekali Islam di
Gontor tampil sebagai sesuatu yang dinamis dan dipahami secara
konotatif.154 Atau juga bisa dikatakan bahwa Imam Zarkasyi, yang secara
ideologis sangat mewarnai Gontor adalah Islam MUNU (Muhammadiyah-
NU), jika kita menggunakan kategorisasi Munir Mulkhan dalam bukunya
Islam Murni dalam Masyarakat Petani atau bisa jadi Gontor memiliki
ideology tersendiri yang sangat unik, tidak tradisional tidak juga modernis,
yang bisa disebut dengan istilah Islam Gontory. Tapi pemetaan dengan
153 Dari tinjauan politik dagang -bukan maksud penulis untuk melecehkan Gontor-, sikap ini bisa membantu Gontor untuk menjadi best seller di dalam bersaing dengan pesantren lain. (ini sekedar lelucon)154 Nurcholish Madjid, "K.H. Imam Zarkasyi; Peran dan Ketokohannya" dalam K. H. Imam Zarkasyi, 970.
70
menggunakan model tradisional dan modernis di atas dimaksudkan agar
mudah dalam mengkategorikan corak keagamaan santri Gontor. Sebab
dengan menggunakan pembagian di atas merupakan ideal type (tipe ideal)
dalam mengklasifikasikan sebuah masyarakat tertentu dari sisi ideologis,
karena tanpa menggunakan istilah-istilah di atas akan terasa sulit
memasukkan Gontor ke dalam kategori yang mana, sehingga akan terjebak
ke dalam kesimpulan adanya ideology Gontory, atau Islam Gontory.
Bab IV
Kesimpulan
1. Dalam memerankan posisinya sebagai ulama, kyai memiliki
karakteristik yang beragam, yang sangat dipengaruhi oleh latar
belakang dan taraf pendidikan yang dilalui oleh kyai yang
bersangkutan.
2. Imam Zarkasyi adalah salah satu ulama modernis yang hidup di
tengah-tengah setting sosial masyarakat Jawa yang secara
keagamaan bersifat kultural. Kemodernan Imam Zarkasyi adalah
dalam bidang pendidikan, teologi dan fiqh. Hanya saja Imam
Zarkasyi memiliki toleransi yang sangat tinggi dalam bidang fiqh.
3. Dalam melakukan dakwahnya sebagai seorang ulama, kyai yang
hidup di tengah-tengah setting sosial masyarakat Islam di Jawa pada
71
abad ke-20 harus mau menerima beberapa pemikiran kaum
tradisionalis jika ingin tetap eksis dan diterima oleh masyarakat di
sekitarnya, dan hal ini harus dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi
dalam pesantren modernnya di Gontor. Artinya, sikap Imam
Zarkasyi untuk mendirikan pesantren yang tidak beraviliasi ke salah
satu organisasi tertentu adalah modal penting bagi pesantren yang
modern ini untuk tetap eksis di tengah-tengah komunitas Islam
tradisional.
4. Ulama pesantren memiliki peran lebih efektif di dalam menyebarkan
idenya kepada masyarakat muslim di Indonesia. Dengan
kemandirian ulama di dalam mengambangkan pesantrennya, di
bidang ekonomi, sistem pendidikan dan yang lainnya, sebagaimana
yang dilakukan Imam Zarkasyi, membuat ulama bisa berperan lebih
maksimal, karena tidak bergantung kepada pemerintah atau
kelompok tertentu. Tentunya hal ini bisa menjadi modal dasar bagi
tetap tegaknya seorang ulama yang disebut oleh al-Ghazali sebagai
ulama akhirat, atau ulama saleh dalam bahasa al-Muhasibi. Hal ini
pula yang merupakan akar kekuatan Imam Zarkasyi sebagai ulama
yang berpengaruh di zamannya.
5. Untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai centelan
organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati” oleh sebagian
masyarakat muslim Indonesia. Dalam kesadaran intern umat Islam,
label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum
memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara
luas, dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga wajar sekali, jika pengelompokan itu terus berkembang,
dan semakin bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan
mungkin ratusan.
72
6. Untuk mewujudkan impiannya sebagai perekat umat, alumni Gontor
akan dihadapkan pada kekuatan masyarakat itu, yang secara
psikologis akan mempengaruhi kepribadiannya, sehingga bisa
terjadi beberapa kemungkinan: Pertama, bersikap statis dan kaku
(fundamentalis). Hasilnya, kehadiran alumni Gontor tadi tidak
memberikan warna positif, bahkan hanya menambah jumlah
bilangan kelompok di dalam masyarakat. Kedua, bersikap aktif,
akan tetapi terkesan advanturer (radikal). Kemungkinan ini bisa
terjadi apabila seorang alumni tadi terlalu merasa yakin dengan
dirinya dan segala apa yang dimilikinya. Dimana ia menganggap
bahwa semua masyarakat adalah mundur dan harus digarap dengan
cara apapun. Apalagi jiwa kepemudaan seorang alumni Gontor yang
masih berusia belasan tahun (setingkat tamatan SMU), apalagi
materi tauhid yang diajarkan di Gontor, adalah versi Ibn Taymiyyah,
figur dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokoh gerakan
Ortodoksi Islam di Najd (Wahhabiyyah), belum lagi pengaruh
disiplin yang diterapkan di Gontor sangat tinggi. Ketiga, bersikap
aktif dan tidak berkepribadian (plin-plan). Artinya ia sangat
tendensius untuk masuk ke dalam organisasi tersebut, sehingga
tenggelam kedalam sikap fanatik yang berlebihan, dan bisa juga
tidak berpindah-pindah dari satu golongan ke golongan lain, sesuai
dengan jumlah materi yang didapatkan, sehingga ia terkesn sebagai
orang liberalis, dan materialistis. Dengan demikian, prediket perekat
umat akan tertanggalkan, baik secara drastis, ataupun evolusif. Sikap
seperti ini sangat besar kemungkinannya untuk terjadi, sebab kondisi
sosiologis masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi psikologi
alumni Gontor.
73
7. Tantangan terbesar yang dihadapi seorang alumni Gontor dalam
memposisikan dirinya sebagai perekat umat adalah usia yang relatif
muda alumni Gontor untuk dihadapkan dengan besarnya amanat,
dan kuatnya daya pengaruh masyarakat itu sendiri. Apalagi
ditengah-tengah masyarakat yang, secara sosiologis, telah terjadi
pengelompokan sesuai dengan bidang profesi, yang tentunya akan
sangat berpengaruh dalam sikap keberagamaan seseorang; antara
tradisionalis dan modernis, antara fundamentalis dan liberalis. Maka
resikonya adalah, seorang alumni tadi seringkali akan larut, bisa ke
dalam kelompok Muslim fundamentalis atau liberalis, tradisionalis
atau modernis, dan, kalau sudah begitu, ia akan menjadi manusia
pasif, statis, dan nerimo, dan faktor inilah yang menjadikan banyak
alumni Gontor “ada dimana-mana, dan mungkin juga akan kemana-
mana”.
8. Penulis berpendapat bahwa Ideologi Pesantren Gontor adalah Islam
Padang-Jawa atau mungkin Islam MUNU (menurut istilah Munir
Mulkhan), atau memiliki ideology tersendiri yang sulit dimasukkan
ke dalam kategorisasi, hanya bisa disebut dengan Islam Gontor yang
tidak berideologi.
74
Daftar Pustaka
Ahmed, Akbar S. Post Modernism and Islam. London: Routledge, 1992.
Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali,
1988. Brown, Daniel. Rethinking Tradition in Modern Islamic
Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta:
Paramadina, 1995.
Arnold, Thomasn W. The Preaching of Islam. New Delhi: Low Price
Publications, 1995.
Azhar, Muhammad. Fiqh Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan.
Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Bannerman, Patrick. Islam and Perspective: A Guide to islamic Society,
Politics and Law. London: Routledge, 1988.
75
Benda, Harry J. Continuity and Change in Southeast Asia. New Haven:
Yale University Southeast Asean Studies, 1972.
Brown, Daniel. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Burke, Peter. Popular Culture in Early Modern Europe. London: Maurice
Temple Smith, 1978.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat. Yogyakarta: LkiS, 1999.
Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Esposito, John L. ”Modernisme”, dalam Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam
Modern terj. Eva YN dkk. Bandung: Mizan, 2002.
Fay, Brian. Contemporary Philosophy of Social Science, (terj.) M. Muhith.
Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002.
Fealy, Greg. Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan
Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy. Yogyakarta;LKiS,
1997.
Geertz, Clifford. Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.
Haidar, Ali. NU dan Islam di Indonesia. Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,
1994.
Hasan, Ahmad. The Doctrine of Ijma’ in Islam. Islamabad: Islamic
Research Institute, 1976.
Ihsan, Nurhadi. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Ponorogo:
Darussalam Press, 2004.
Jaenuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern. Surabaya:
LPAM, 2004.
_______. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002.
Kahin, George Mc. T. Nationalism and Revolution in Indonesia. Itacha:
Cornell University Press, 1952.
76
Koentjaraningrat (ed.) Masalah-masalah Pembangunan. Jakarta: LP3ES,
1982.
Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam
Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992.
Mehden, Fred R. Von der. Islam and the Rise of Nationalism in Indonesia.
California: University of California, 1957.
Muhaimi. Islam dalam bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta:
Logor, 2001.
Murder, Niels. Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia. Yogyakarta: LKIS,
2001.
Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern World. London &
New York: Kegan Paul International, 1987.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES, 1980.
Rahman, Fazlur. “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,
dalam International Journal of Middle East Studies (1970), 317-
332.
Rahman, Fazlur. Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and
present Challenge. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979.
Sahal, Ahmad. Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok
Modern Gontor. Ponorogo: Darussalam Press, t.t.
Shepard, William. “Fundamentalism; Christian and Islamic, dalam
Religion, XVII (1987), 355-378.
Shils, Edward. Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1983.
77
Siraj, Said Agil. Ahlussunnah wa al-Jamaah Dalam Lintas Sejarah.
Yogyakarta;LKPSM, 1997.
Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,dari Gontor Merintis Pesantren
Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.
Watt W. Montgomery & R. Bell. Introduction to al Qur’an. Edinbrugh:
Edinbrugh University Press, 1990.
Watt, Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: Edinburg
University Press, 1985.
Webstar, Noah. Webstar new International Dictionary of the English
Language Unabridged. Massachusetts, USA: G&C, 1966.
Woordward, Mark R. Islam in Java; Normative Piety and Mysticisme in
The Sultanete of Jogyakarta. An Arbor: UMI, 1985.
Zarkasyi, Imam. Pelajaran Fiqh. Gontor: Percetakan Trimurti.
78