Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

129
IDEOLOGI KEAGAMAAN LEMBAGA PENDIDIKAN MODERN Oleh: DR. Hammis Syafaq, Lc., M.Fil.I 0

Transcript of Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Page 1: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

IDEOLOGI KEAGAMAAN

LEMBAGA PENDIDIKAN MODERN

Oleh:

DR. Hammis Syafaq, Lc., M.Fil.I

0

Page 2: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

BAB I

Pendahuluan

A. Pendahuluan

Berdasarkan kerangka ideologis, di Indonesia dapat dideteksi adanya

empat orientasi besar di kalangan kelompok-kelompok muslim:

tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan

nasionalis-sekuler.

Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang

kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad

yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan di

kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan

beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para

pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di

kalangan penduduk desa dan kelas bawah.1

Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam

berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-

kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi

modernis untuk membaratkan Islam.2 Kelompok ini melakukan pendekatan

konsevatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan

menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).3

1 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.2 Mengenai perbedaan dan persamaan antara kelompok modernis, fundamentalis, dan tradisionalis, baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London & New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompok modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.3 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156.

1

Page 3: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,4

meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa

kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih

bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih

kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai

doktrin politik dalam kehidupan bermasyarakat.5

Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan

bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi

penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang

murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktek-praktek

kaum tradisional,6 dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn

Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh

intelektual pemikiran fundamentalis.7

Sebuah gerakan pemikiran bercorak radikal-puritan ini pernah

muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama

Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-

1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn

Taymiyyah,8 dalam memahami al Qur’an secara literal.9

Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan yang muncul pada saat

terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali

kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek yang

dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,10 mengajak untuk

4 Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 18-20.5 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.6Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49. 7 Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktek ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktek yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim, 30.8Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim, 272.9 Ibid., 271. 10 Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Ibid., 30.

2

Page 4: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang

menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-

intelektualisme, teturama filsafat.11

Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah Jama’at Islam di

Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maudûdî (1903-1979), Ikhwanul

Muslimin di Mesir, dengan tokonya Hassan al-Banna dan Seyyed Qutb

(1906-1966).12 dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya K.H.

Ahmad Dahlan (1868-1923),13 meskipun pada akhirnya, kelompok yang

disebut terakhir ini cenderung menjadi kelompok yang reformis-modernis.

Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah

karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh,

penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.14

Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia

Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah

yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.15 Muhammad bin ‘Abd

al-Wahhab, tokohnya, muncul pada abad sebelum modern (pre-modern),

sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural

Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk

primitif.

Dalam penelitian yang diadakan di Mesir menyebutkan bahwa kaum

militan fundamentalis adalah para penduduk asli dan tinggal di wilayah

urban hanya dalam beberapa waktu.16

11 Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318.12 Ibid.13 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 13-18.14 Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5.15 Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.16 Bassam Tibi, Islam, 13.

3

Page 5: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum

rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak

mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.17 Muhammadiyyah,

didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan

Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang

sebenarnya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.18

Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang

Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi.

Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek

tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang

otoritatif, yakni al Qur’an dan al Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks

situasi dan kebutuhan kontemporer. 19

Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki

kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern,

rasional bahkan liberal,20 atau menafsirkan Islam melalui pendekatan

rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.21

Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan

dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan

dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin

menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan

modern.22

17 Ibid. 18 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18.19 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378., A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988), 20 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.21 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227.22 Andrew Rippin, Muslim, 31.

4

Page 6: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan

modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah

sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.23

Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara

fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan

pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.24 Kelompok ini

ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah,25 karena pemikiran

Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola

berpikirnya kelompok ini.

Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade

akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan

pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok

yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis

mencoba untuk mempersatukannya.26

Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa

tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M. Abduh (1849-

1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-

1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.27

Yang membedakan kelompok ini dengan gerakan revivalisme adalah

bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual, sementara

yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin.28

Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa

jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau

membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan

23 Ibid., 32.24 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.25 Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2.26 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. 4, 75.27 Andrew Rippin, Muslim, 32.28 Bassam Tibi, Islam, 21.

5

Page 7: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini

dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.29

Antara penganut dari kelompok-kelompok di atas, di Indonesia

terjadi perdebatan yang sengit dalam beberapa hal, terutama antara kaum

tradisionalis dan modernis. Hal tersebut telah berlangsung lama dan hingga

kini masih belum berakhir, bahkan kondisi itu semakin mencuram pada era

reformasi yang ditandai oleh munculnya berbagai macam partai politik

sebagai representasi dari pemahaman ideologis masing-masing kelompok di

atas.

Dengan semakin meruncingnya perbedaan tersebut, umat Islam di

Indonesia seakan-akan sulit untuk disatukan, sehingga jumlah umat Islam

yang mayoritas, hanya menunjukkan kelemahannya dan menjadi tontonan

yang “memilukan” bagi umat beragama lain yang minoritas. Hal ini bisa

dilihat dari kekalahan beberapa partai politik berbasis Islam di pentas

PEMILU yang lalu.

Padahal dalam sejarahnya, seperti yang dicatat oleh pengkaji

nasionalisme Indonesia, George Mc Turnan Kahin dalam karyanya yang

klasik Nationalism and Revolution in Indonesia,30 atau sebagaimana

dikemukakan Fred R. Von der Mehden dalam tulisannya Islam and the Rise

of Nationalism in Indonesia,31 Islam di Indonesia tercatat sebagai pemersatu

bangsa, sebagai penopang kemerdekaan di saat melawan penjajah, sebagai

faktor yang dominan dalam revolusi nasional.32 Akan tetapi, karena

perbedaan pendapat dalam beberapa masalah, apa yang terjadi di Indonesia

29 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.30 George Mc. T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Itacha: Cornell University Press, 1952), 38.31 Fred R. Von der Mehden, Islam and the Rise of Nationalism in Indonesia, (California: University of California, 1957), 34. Sebagaimana dikutip Bahtiar Efendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Jakarta: Paramadina, 1998.32 Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia (New Haven: Yale University Southeast Asean Studies, 1972), sebagaimana dikutip M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 3.

6

Page 8: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

kini adalah konflik antar sesama umat Islam. Umat Islam di Indonesia kini

terpecah belah menjadi beberapa kelompok.

Yang menjadi perdebatan di antara beberapa kelompok di atas

bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri (great tradition),

akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem

kehidupan sosial (little tradition).33

Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran

teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,34 bahwa kemunculan

gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi

sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di masa berikutnya,

tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya

bangsa yang sedang berkembang.

Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di

antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman

yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai

model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah

realitas (models for reality).

Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi

dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama

merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam

pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau

doktrin bagi sebuah realitas.35

Perdebatan antara beberapa kelompok di atas menjadi sangat tajam

ketika perdebatan itu terjadi antara kelompok modernis dan tradisionalis

yang telah berlangsung semenjak abad ke-19, yaitu ketika muncul gerakan

pembaharuan Islam di Indonesia, di mana kemunculan gerakan

pembaharuan di masa itu mendapatkan reaksi yang sangat keras dari

33 Andrew Rippin, Muslim, 35.34 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.35 Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.

7

Page 9: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

kalangan muslim tradisionalis. Reaksi itu pun akhirnya menimbulkan

perdebatan yang panjang di antara mereka di beberapa bidang yang

terkadang sampai pada batas saling mengkafirkan dan sempat mencuat

kembali di era reformasi.

Perdebatan itu terjadi terutama di Jawa, sebagai basis penganut

paham Islam tradisional, yaitu suatu paham yang secara terminologis

mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara

masa lalu dengan masa kini.

B. Latar Belakang Masalah

Di tengah-tengah perdebatan antara kaum tradisionalis dan modernis

di Indonesia yang tiada berakhir, Gontor, sebuah pesantren dengan

menggunakan sistem pendidikan modern yang berada di tengah-tengah

setting sosial masyarakat Jawa yang sangat kental dengan

tradisionalismenya, mencoba tampil sebagai penengah di antara dua kubu

yang saling bertikai dengan menawarkan sebuah ideologi perekat umat (al

Idiûlûjiyyah al Wasatiyyah),36 sehingga di Gontor ditemukan adanya tulisan

yang menyatakan bahwa Gontor bukan NU dan Gontor bukan

Muhammadiyah, Gontor di atas dan untuk semua golongan.

Hasilnya pun terbukti, dengan kiprah alumninya di berbagai macam

kegiatan pemikiran dan ORMAS, seperti K.H. Hasyim Muzadi (Ketua

Umum PBNU), Prof. DR. Din Syamsuddin (Ketua Umum

Muhammadiyah), Prof. DR. Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI), DR.

Maftuh Basuni, MA (Menteri Agama RI), Prof. DR. Nurcholish Madjid,

serta sederetan tokoh lainnya. Bahkan akhir-akhir ini, munculnya aksi teror

36 Secara terminologis, kata perekat umat dapat dikonotasikan dengan kegiatan ke arah menghubungkan, menghimpun, menyatukan dan mendamaikan; antar umat, atau antar unsur-unsur dalam umat, bahkan bisa pula antar sekelompok kecil dalam umat atau antar unsur-unsur dalam kelompok kecil dari itu, sesuai dengan kondisi di mana seseorang itu berada. Ideologi semacam ini pernah dikumandangkan oleh al-Imam al-Shafi’i dalam bidang fiqh, oleh al-Imam al-Ghazali dalam bidang pemikiran filsafat, dan oleh al-Imam al-Ash’ari dalam bidang akidah.

8

Page 10: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

dan pengeboman di beberapa tempat di Indonesia banyak diduga dilakukan

oleh beberapa alumni Gontor.

Akan tetapi pendapat di atas belum ditunjang oleh suatu penelitian

khusus yang membentangkan kenetralan Gontor dengan ideologi perekat

umatnya, apalagi dengan beberapa pola pikir modern yang diterapkan di

Gontor, banyak orang meyakini, terutama masyarakat Jawa yang

tradisional, bahwa Gontor adalah Muhammadiyah, sehingga alumni Gontor

sangat sulit untuk diterima oleh beberapa komunitas yang secara kultural

masih bersifat tradisional.

Penulis sendiri, sebagai alumni pesantren modern tersebut, masih

merasa ragu dengan kenetralan Gontor, karena dalam beberapa hal Gontor

sangat mencolok dengan kemodernannya, apalagi K. H. Imam Zarkasyi,

salah satu founding fathers dari pesantren itu adalah alumni Padang

Panjang, Sumatra Barat, pusat gerakan pembaharuan Islam di Indonesia,

sehingga penulis menduga bahwa beberapa materi kaum tradisional yang

diajarkan di Gontor adalah karena adanya tekanan dari setting sosial

masyarakat Jawa yang tradisional, agar Gontor bisa diterima di tengah

masyarakat Jawa yang tradisional tersebut.

Dari dugaan itulah peneliti merasa tertarik untuk mengkaji tentang

Pesantren Gontor, yang berada di tengah-tengah setting sosial masyarakat

Jawa yang tradisional.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, ditarik beberapa permasalahan dalam bentuk

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa maksud dari ideologi perekat umat yang dikumandangkan oleh

Pondok Modern Gontor?

2. Apa sesungguhnya ideologi Pesantren Modern Gontor?

3. Bagaimana setting sosial masyarakat Jawa mempengaruhi ideologi

pesantren Gontor?

9

Page 11: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

D. Tujuan Penelitian

1. Memahami konsep ideologi perekat umat Pesantren Gontor.

2. Memahami ideologi Pesantren Gontor.

3. Memahami peran setting sosial masyarakat Jawa dalam membentuk

ideologi pesantren Gontor.

E. Kegunaan Penelitian

Mendapatkan pemahaman yang obyektif tentang ideologi Pesantren

Modern Gontor di tengah setting-sosial masyarakat muslim Jawa yang

tradisional.

F. Kajian Pustaka

Banyak sudah kajian tentang Pesantren Gontor, baik secara institusi

maupun ketokohan kyainya. Akan tetapi penelitian yang ada selama ini

masih berfokus pada modernisasi pendidikannya tanpa pernah menyentuh

pada wilayah ideologisnya, padahal modernisasi pendidikan seringkali

identik dengan modernisasi pemikiran, bahkan keduanya sangat terkait erat.

Hal inilah yang sering dilupakan oleh para peneliti yang mengkaji tentang

modernisasi pendidikan di Pesantren Gontor. Kenyataan ini mungkin

dikarenakan peneliti tentang Gontor kebanyakan adalah para alumninya

sendiri, sehingga mereka takut menyentuh wilayah ideologis sebagai bagian

dari sikap ta’assub kepada almamaternya, atau bisa juga karena takut

tikecam oleh beberapa keluarga Gontor dan simpatisannya. Maka penelitian

ini merupakan penelitian awal yang sangat berani, karena menggunakan

metode analisisi dan kritik, apalagi peneliti adalah alumni dari pesantren

tersebut (insider).

10

Page 12: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kajian pustaka

(library research), yaitu menjadikan sumber-sumber tertulis sebagai

sumber data penelitian. Hal ini peneliti gunakan untuk mengkaji biografi

kyai Gontor serta di dalam mengkaji materi-materi tauhid dan fiqh yang

diajarkan di Gontor.

Di samping itu, peneliti juga menggunakan metode survey di

lapangan (field research) untuk mengetahui kiprah para alumni Gontor di

masyarakat, serta setting sosial masyarakat Jawa yang ikut mempengaruhi

sikap Gontor.

Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah kualitatif

yang ditunjang dengan metode analisis dan kritik. Dalam melakukan

analisis wacana dan kritik, penulis menggunakan pendekatan ideologis.

Untuk mempertajam pendekatan ideologis, penulis menggunakan

pendekatan politis, karena kemunculan ideologi tidak lepas dari pergolakan

politik yang mempengaruhinya.

Selain itu, karena penelitian ini adalah penelitian tentang komunitas,

maka tidak lepas dari faktor psikologis. Untuk itu sebagai sarana untuk

memperkaya analisis, peneliti juga menggunakan pendekatan psikologis

tentang dampak sosial terhadap psikologi seseorang.

Bab II

Corak Keagamaan Masyarakat Muslim Jawa

Dijelaskan di atas bahwa berdasarkan kerangka ideologis, di

Indonesia kita dapat mendeteksi empat orientasi besar di kalangan

11

Page 13: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

kelompok-kelompok muslim yang menarik perhatian kita: tradisionalis-

konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.

Akan tetapi dari kelompok-kelompok di atas, di Indonesia hanya

sering dikenal adanya kelompok tradisionalis dan modernis. Untuk itu, guna

mengetahui corak keagamaan masyarakat muslim Jawa perlu kiranya kita

memahami konsep Islam tradisional dan modern di Indonesia untuk

dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami ideologi pesantren

Gontor.

A. Kajian Teoritik tentang Tradisionalisme dan Modernisme Islam di

Jawa

1. Tradisionalisme Islam

Sesungguhnya terma tradisional di Indonesia merupakan terma yang

bersifat problematis. Disebut problematis karena menunjukkan anti

progresivitas, staid approach.

Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang

terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang,

masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak

perubahan, konservatif, dan diliputi oleh sikap taqlid. Mungkin lebih tepat

jika kita menggunakan istilah kaum klasik. Mereka adalah kelompok yang

membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’

lainnya, tokoh fiqh, dan sufi pada zaman keemasan Islam.37

Istilah tradisional biasanya dikontraskan dengan terma modern.

Secara terminologis, istilah tradisi mengandung suatu pengertian

tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini.

Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,

pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.

Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada

37 Ibid., 2.

12

Page 14: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama itu secara

rigid dan literalis.38

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk

melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang

masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.39

Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang

diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang

mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus

dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa

lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.40

Terma tradisional dan modernis adalah merujuk kepada

permasalahan ijtihad. Ijtihad biasanya diterjemahkan dengan interpretasi.

Akan tetapi lebih rinci lagi didefinisikan sebagai upaya melakukan

interpretasi terhadap sumber-sumber dogma. Kelompok tradisionalis

mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum

reformis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi

masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh

ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi

sepanjang masa.41

Edward Shils memberikan sumbangan yang sangat penting untuk

memahami kerangka epistemologis tentang tradisionalisme Islam. Ia

mengatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang ditransmisikan dari masa

lampau ke masa sekarang. Tradisi merupakan sesuatu yang telah diciptakan,

dipraktikkan atau diyakini pada masa lampau. Secara substansial, tradisi

berkaitan dengan hampir semua nilai yang substantif. Semua karya akal

pikiran manusia, keyakinan atau cara berpikir, bentuk penemuan hubungan

38 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.39 Andrew Rippin, Muslim, 6.40 Ibid., 12.41 Ibid., 127.

13

Page 15: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

social, praktik teknologi, peralatan buatan manusia atau obyek alam yang

bisa menjadi obyek dalam sebuah proses transmisi; masing-masing bisa

menjadi tradisi.42

Jadi tradisi adalah sesuatu yang terus berlangsung melalui transmisi,

tanpa melihat substansi serta keadaan institusionalnya. Tradisi mencakup

keyakinan yang ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan;

meliputi keyakinan secular maupun agama; mencakup keyakinan yang

dihasilkan dari logika, secara teori mengontrol prosedur intelektual maupun

keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi mencakup

pemikiran keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun interpretasi

terhadap keyakinan tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang dibentuk

melalui pengalaman dan keyakinan yang dibentuk oleh kesimpulan logika.43

Dalam banyak ungkapan, istilah tradisi terdapat pembatasan tersamar

tentang makna substantive tradisi. Ungkapan-ungkapan ini menyatakan

bahwa tradisi itu sebagai tradisi yang asli hanya jika isi substansinya

menghargai tradisionalitas, jika mereka itu ditransmisikan secara lisan dan

bukan secara tertulis, jika didengar dari cerita orang lain bukan dari fakta

yang ada, jika mereka itu tidak bisa dibuktikan secara meyaknkan dan tidak

ada pembuktian berkaitan dengan dsar normatifnya, dan jika penulis atau

sumbernya itu tidak diketahui namanya dan bukan individu yang secara

jelas dikenal namanya.

Dunia tradisi yang asli muncul dari pandangan modern yang

meletakkan tatanan pada warisan para kepala suku, orang-orang tua, dan

monarki atau oligarki dan bukan pada republic atau demokrasi liberal, pada

paganisme dan politeisme dan bukan monoteisme, pada hukum adat dan

bukan pada perundang-undangan dan aturan hokum yang sistematis, pada

interpretasi keagamaan dan bukan interpretasi secular, pada keluarga,

42 Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), 12.43 Ibid., 16.

14

Page 16: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

terutama dari jalur keluarga laki, dan bukan perkumpulan sukarela, dan

lebih umum lagi pada kekuasaan yang terstruktur secara hirarkis dan bukan

kekuasaan yang ada pada masyarakat luas, pada tatakrama baku yang

berbeda dan buka pada perlakuan yang bebas dan mudah pada seseorang,

pada sikap yang membedakan antara anggota masyarakat dan bukan

persamaan, pada pertanian dan perikanan dan bukan pada perdagangan dan

industri, pada perkakas dan bukan pada teknologi mekanik, pada kekuatan

fisik manusia, binatang, angin dan air dan bukan pada kekuatan yang

dihasilkan oleh alat-alat bikinan manusia. Keyakinan yang diterima melalui

tradisi nampaknya secara alami menumbuhkan hirarki, ketaatan keagamaan,

dan buta huruf. Hampir semua tradisi keyakinan memiliki makna normatif,

yakni bahwa mereka ini cenderung mempengaruhi perilaku orang yang

menerima tradisi itu, lepas dari pengakuan akan kebenarannya.44

Ketika ide tentang tradisi muncul pada abad ke-18 dan 19 di dunia

Barat, pengertiannya cenderung dibatasi oleh mereka yang mengkajinya

pada bentuk tradisi tertentu, cerita rakyat, mitos, legenda, sastra lisan,

hokum adapt, upacara dan ritual keagamaan serta secular. Ide ini dikaitkan

dengan transmisi karya-karya ekspresif yang tidak bisa dirubah ke dalam

bentuk tulis. Tradisi biasanya ditemukan dalam budaya yang dimiliki oleh

strata yang memiliki pendidikan formal rendah dan yang dipandang sebagai

kurang bisa mengartikulasikan pikiran, kurang mengerti baca tulis, dan

kurang rasional. Pada pendiri disiplin ilmu kesenian rakyat modern yakin

bahwa dalam strata ini terjadi proses mental yang lebih dalam yang hilang

bersamaan dengan datangnya peradaban rasional dan akibat dari

berlangsungnya proses ini tidak menimbulkan efek terhadap tradisi, yakni

lisan, anonim, dan contoh dari generasi ke generasi, mengalami sedikit

44 Ibid., 24.

15

Page 17: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

perubahan tetapi secara substantive masih tetap dan secara kasat mata

masih sama, tidak berubah dalam waktu yang lama.45

Jadi tradisi itu bsia didefinisikan dan dikenal melalui para

pengikutnya dan juga melalui isi substantifnya. Tradisi didefinisikan

sebagai perangkat keyakinan yang dianut selama beberapa generasi yang

memiliki tema yang sangat umum tentang interpretasi, konsep, serta

pendapat tertentu. Sebuah tradisi bisa mengalami perubahan dalam hal

pengikut, ukuran, keanggotaan, dan keyakinan. Batasan tradisi dalam satu

sisi terletak pada batasan pengikut koletif berdasarkan komunitas yang

memiliki keyakinan tentang tradisi yang bersangkutan; di sisi lain, batasan

ini bisa ditentukan oleh konstruksi simbolik.

Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada

tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan

fundamentalisme.46 Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas,

maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang

berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh

komunitas Agama.47

Kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan

dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak

tertarik dengan prubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang

berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara

keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa

al Jamâ’ah).48

45 Peter Burke, Popular Culture in Early Modern Europe (London: Maurice Temple Smith, 1978), 113-148.46 Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.47 Ibid.48 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.

16

Page 18: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah bertalian sangat erat dengan ciri-ciri

tradisional, sekaligus sebagai paham beragama kaum tradisionalis di

Indonesia, karena konsistensi ajarannya yang mewajibkan para pengikutnya

untuk berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-

ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang

dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.49

Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang

dipahami dan diperaktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah

terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman,

mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah

diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.50 Mereka menerima prinsip ijtihad,

akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti

qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.51

Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi

terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk

kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang

muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-

Ghazali.52

Zamakhsyari Dhofier mengartikan Islam tradisional sebagai Islam

yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama’ ahli fiqh,

hadith, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup antara abad ke-7 hingga abad

ke-13. Unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi

adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat

49 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.50 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.51 Ibid.52 Ibid.

17

Page 19: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

menentukan dan kharismatik. Kandungan intelektual Islam tradisional

berkesan pada paham akidah Ash’ari, Shafi’i, dan al-Ghazali.

Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia

sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di

kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia,

muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-

pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis menunjukkan pada

kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama,

pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang

menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata

dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.53

Terma Tradisional di Indonesia merupakan terma yang bersifat

problematis. Disebut problematis karena menunjukkan anti progresivitas,

staid approach. Mungkin lebih tepat jika kita menggunakan istilah kaum

klasik, untuk menunjuk kepada mereka yang membaca dan belajar kitab

kuning, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ lainnya, tokoh fiqh, dan sufi

pada zaman keemasan Islam.54

Basis masa kaum tradisionalis berada di pedesaan. Begitu lekatnya

Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai

dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.55

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual

sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat

oportunis.56 Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang

kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna

konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.57

53 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad 125-126.54 Ibid. 2.55 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.56 Ibid.57 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.

18

Page 20: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial

keagamaan terbesar58 bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang

didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh

pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asyari (Tebu Ireng) dan K. Wahab

Hasbullah (Tambak Beras).59 yang mempunyai kesamaan wawasan,

pandangan, sikap dan tatacara pemahaman, penghayatan dan pengamalan

ajaran Islam Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah.60

NU menetapkan ahlu al sunnah wa al jamâ’ah sebagai landasan dan

dasar pergerakannya.61 Pemahaman keagamaan kaum tradisionalis (NU)

terhadap ahlu al sunnah wa al jamâ’ah di Indonesia berbeda dengan

pemahaman organisasi-organisasi lain, seperti Muhammadiyyah, yang juga

mengklaim sebagai penganut ahlu al sunnah wa al jamâ’ah.

Ahlu al Sunnah wa al Jamâ’ah versi NU bersumber pada al Qur’an,

As Sunnah, al Ijmâ’ dan al Qiyâs, dan mengikuti salah satu dari empat

imam mazhab fiqh, Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali. Meskipun

mengakui keberadaan empat imam mazhab fiqh, NU berpegang pada salah

satu imam, yaitu Shafi’i.62 Di bidang ilmu kalam (teologi) NU juga

bercorak Ash’arian-Maturidian, dan secara tegas menolak pola teologi

mu’tazilah yang dianggap liberal dan keluar dari semangat keagamaan.63

58 Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.59 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124.60 K.H. M.A. Sahal Mahfudh, “Kata Pengantar,” dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU, viii.61 Said Agil Siraj, Ahlussunnah wa al-Jamaah Dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta;LKPSM, 1997), 8.62 Lihat statemen perkumpulan Nahdatul Ulama’ sebagai suplemen Javasche Dourant 25 Pebruari 1930. Martin Van Bruinessen (Yogyakarta;LkiS, 1994), 42.63 Siraj, Ahlussunnah, 85.

19

Page 21: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Di bidang tasawwuf,64 NU berpijak pada tasawwuf al-Ghazali dan al-

Junaid.65 Pola ini sekaligus sebagai kritik dan gugatan terhadap radikalisme

tasawwuf yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Bistami dan Abu

Mansyur al-Hallaj. Radikalisme al-Hallaj dan al-Bistami sampai menafikan

realitas kongkrit manusia sendiri yang serba terbatas sebagai makhluk

lemah, bukan sebaliknya. Dari sinilah kemudian al-Ghazali menetapkan,

bahwa hubungan tertinggi manusia hanya pada level ma’rifah, hubungan

Allah dan manusia tetap ada hijab (gap) yang tidak mungkin ditembus oleh

sifat keterbatasan manusia.

Sebagai penjaga gawang Islam Kultural,66 NU menempatkan diri

sebagai sosok Ormas pinggiran—yang kadang keputusan-keputusannya

membuat banyak pihak (khususnya pemerintah) merasa dirugikan. Corak

seperti ini tidak lepas dari paham Ahlu al sunnah wa al jamâ’ah yang

bercorak fiqhiyyah.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Islam tradisional sering

digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar bernama NU,

salah satu organisasi keagamaan kaum tradisionalis di Indonesia.

Tradisionalisme berarti pula bentuk pemikiran atau keyakinan yang

berpegang pada ikatan masa lampau atau yang sudah diperaktekkan oleh

komunitas Agama.67

Basis masa kaum tradisionalis berada terutama di pedesaan. Begitu

lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan,

64 Tasawuf adalah suatu ajaran atau ekspresi keagamaan yang dilakukan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Ajran ini memiliki anggapan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa dihadapanNya. Ajaran ini cenderung menyerahkan segala urusan manusia kepada Allah. Majid Fakhry menyebut ajaran ini sebagai ajaran yang anti rasionalitas. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, xx.65 Ali Haidar, NU dan Islam Di Indonesia ( Jakarta;Gramedia Pustaka Utama, 1994), 77.66 Sebuah anggapan kalangan tertentu (intelektual-pemerhati) yang menempatkan NU sebagai pejuang Islam yang berbasis pada nilai-nilai budaya.67 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.

20

Page 22: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradional adalah Islam pedesaan.68

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,

secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.69

Kaum tradisionalis di Indonesia sering digolongkan ke dalam organisasi

sosial keagamaan terbesar70 bernama NU, meskipun untuk saat ini banyak

kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi

peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.71

2. Modernisme Islam

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa

istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-

hari. Karena perubahan makna yang teradapt di dalamnya, istilah-istilah ini

seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah

korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai

lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu

waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki

arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang

lain. Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh

budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa

meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru

dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah

persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya

sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh

68 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.69 Ibid., 223.70 Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.71 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.

21

Page 23: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20

sekarang sudah terlihat kuno.

Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena

tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan

awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam

bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan cultural

adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan

modern Barat, tantangan sosil-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan

kebodohan dan kemiskinan uat, dan tantangan keagamaan adalah

bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong

umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.72

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek

kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang

dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu,

bagi kaum modernis muslim tugas setiap muslim adalah

mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata.

Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki

watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari

sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik

yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun social, dari aspek waktu,

Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku

untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun

geografis.

Di Indonesia, gerakan ini diwaikili, salah satunya, oleh

Muhammadiyah. Gerakan ini menghargai rasionalitas dan nilai demokratis.

Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan

dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama

menyangkut hak dan kewajiban organisasi. Menurut Nakamura

72 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.

22

Page 24: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Muhammadiyah disebut sebagai organisasi sukarela berdasarkan demokrasi

internal.73

Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas

menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para

professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan

ini adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya

pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.

Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam

semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung

menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai

pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola

pikir rasional,74 memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang

pendidikan, teknologi, dan industri atau telah telah terbawa oleh arus

modernisasi.75 Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang

teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang

pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama

dengan pemikiran modern.

Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh

Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan

mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh.

Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam

yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan

kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS,

al-Irsyad dan sejenisnya.76

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam

ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam

73 Ibid., 97.74 Kacung Marijan, Quo Vadis NU.75 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.76 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.

23

Page 25: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek

kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-

ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social

kemasyarakatan.

3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam

di Indonesia

Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional

dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan

beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda

satu sama lainnya.

Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah,

tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca

pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk

masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang

menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja.

Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti dengan tahlilan,

menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah

adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta

mimbar khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.

Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi

besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat

sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah

sebagai representasi kelompok modernis.77 Namun dikotomi ini kemudian

dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU

bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.78 Bahkan dalam sebuah

77 Ibid., 125.78 Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.

24

Page 26: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa

Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis.

Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia

pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai

sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.79

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi

Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang

dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan,

ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan

daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.80

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga

mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional,

ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses

penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan

mendahului Muhammadiyah.81 Nurcholish Madjid, tokoh intelektual

Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-

modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah

klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan

munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi

oleh kalangan pemuda NU.

Terlepas dari perdebatan pendapat dalam masalah itu, di Indonesia,

terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan

Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis,

sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis,82 reformis,

radikalis, puritan, dan fundamentalis.83 Dari itu, untuk lebih memudahkan

79 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.80 Ibid., 183.81 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.82 Ibid., 125.83 Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 88.

25

Page 27: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

pembagian kelompok umat Islam di Indonesia, seringkali hanya digunakan

dua organisasi ternama di atas.

Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan

Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan),

syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung

dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata

ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-

struktural dalam hal status sosial,84 tidak menolak beberapa praktek ritual

yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan

pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang

tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam

selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum

tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.85

Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan)

yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan

memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus

perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di

dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran

Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi

buruk terhadap akidah.86

Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU

menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu

adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan

mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk

mimbar modern.

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal

puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok

84 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.85 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.86 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

26

Page 28: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada

konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam

pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20

raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at.

Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid,

sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.

Muhammadiyyah tidak ada istilah slametan, tahlilan, ziarah kubur

untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat,

membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras.

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan,

menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-

Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam

klasik.87 Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah,

menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari

kitab kuning.88 Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu

interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa

kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.89

Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-

kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang

manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan

selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa

seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas

yang sama. Jika sesame warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan

interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi

antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-

persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam

segmen lain akan membatasi diri.

87 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 126.88 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.89 Andrew Rippin, Muslim, 127.

27

Page 29: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Itulah sebabnya terdapat penggolongan social, misalnya orang NU dan

orang Muhammadiyah. Penggolongan social itu tentunya memiliki basis nilai dan

histories yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi social keagamaan

ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi local yang tidak genuine,

sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-

tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi local termasuk dalam

kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi

local adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau

Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi local adalah

persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai

penyimpangan dari genuinitas Islam.

B. Corak Keagamaan Masyarakat Muslim Jawa

Studi tentang corak keagamaan masyarakat muslim di Jawa telah

banyak dilakukan oleh para antropolog, di antaranya oleh Clifford Geertz

dalam The Religion of Java, Woordward dalam Islam in Java serta Andrew

Beatty dalam karyanya yang berjudul Varieties of Javanese Religion.

Kajian Geertz tentang The Religion of Java memberikan gambaran

bahwa terdapat trikotomi mengenai varian agama Jawa, yaitu Abangan

yang berpusat di pedesaan, Santri yang berpusat di pasar, dan Priyayi yang

berpusat di Kota. Dalam kajiannya Geertz menyatakan bahwa Islam di Jawa

bercorak sinkretik, artinya terdapat perpaduan antara dua atau lebih budaya

(Islam, Hindu, Budha, Animisme). Di mana agama Jawa itu jika dilihat dari

luar akan kelihatan Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, maka

sebenarnya adalah agama sinkretik.90 Kajian Geertz itu telah menjadi

jendela bagi berbagai kajian tentang Islam di Indonesia, baik mereka yang

mendukung maupun yang menolak.

90 Baca Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

28

Page 30: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Di antara yang menolak teori Geertz adalah Woordward yang

menyimpulkan bahwa Islam dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang

akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing, sehingga antara Islam

dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang antonim tetapi kompatibel. Ada

proses mengambil dan menerima sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai

agama yang bercorak khas Islam Jawa (adaptasi Sufisme Ibn al-Arabi).91

Tokoh lain yang juga menolak pendapat Geertz adalah Muhaimin,

yang berasumsi bahwa Islam di Jawa adalah Islam lokal, yaitu Islam yang

di dalam praktiknya bersifat akulturatif dengan budaya lokal. Justru

Islamlah intinya ketika berada di tengah budaya lokal yang bersentuhan

dengannya. Kajiannya pun sampai pada asumsi bahwa Islam di Jawa

hakikatnya adalah Islam sebagaimana di tempat lain, yaitu Islam dalam

bingkai budaya lokal.92

Mulder, meskipun termasuk yang menolak konsepsi Geertz dengan

menganggap bahwa konsepsi tentang sinkretisme dianggap kurang relevan

untuk melihat Islam di Jawa, Mulder justru menggunakan konsepsi baru

yaitu lokalitas. Menurutnya, sinkretisme adalah pemaduan tanpa diketahui

mana yang dominan, sementara lokalitas justru diketahui mana yang

sesungguhnya dominan dalam percaturan agama Jawa. Dalam lokalitas, ada

unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakanngan akan

menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya

adalah unsur lokalnya dan bukan Islam. jadi meskipun dari luar tampak

Islam, tetapi pada hakikatnya adalah agama lokal Jawa. Mulder juga

menegaskan bahwa kejawen atau Jawanisme sesungguhnya merupakan

kesadaran kultural orang Jawa untuk melestarikan warisan budaya Jawa

secara sungguh-sungguh. Kejawen adalah produk pertemuan antara Islam

91 Baca Mark R. Woordward, Islam in Java; Normative Piety and Mysticisme in The Sultanete of Jogyakarta (An Arbor: UMI, 1985).92 Baca Muhaimi, Islam dalam bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logor, 2001).

29

Page 31: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

dan kebudayaan Jawa kuno, produk dari penjinakan kerajaan-kerajaan Jawa

oleh VOC.93

Sementara tulisan Andrew Beatty dalam karyanya Varieties of

Javanese Religion, sebuah penelitian antropologis yang dilakukan selama

dua periode, dari Desember 1991 hingga Juni 1993, dengan tambahan

setahun lagi, dari April 1996 hingga April 1997, di sebuah desa dengan

1,430 jiwa (di kala itu), di lembah Gunung Ijeng, kira-kira enam mil dari

kota, tepatnya di Banyuwangi, adalah salah satu penelitian yang

mendukung karya Geertz tentang sinkretisme.94

Dalam pendahuluannya Beatty mengatakan bahwa bukunya yang

berjudul Variasi Agama di Jawa adalah mengenai aneka ragam bentuk,

kontroversi, dan rekonsiliasinya; lebih abstrak lagi tentang perbedaan dan

sinkretisme kebudayaan. Di mana di Banyuwangi ia menemukan bukti-

bukti variasi kebudayaan yang jelas (diversitas), di mana perbedaan itu

dibangun dalam ruang yang sama. Akan tetapi di tengah-tengah diversitas

itu terdapat pertemuan yang selaras antara mistisisme, Panteisme, pemujaan

roh halus, dan ketaatan agama normatif dalam sebuah kerangka sosial.95

Dari berbagai kajian tentang Agama Jawa di atas, menghasilkan

konsep yang bervariasi. Geertz menghasilkan konsep Islam Sinkretik.

Mulder dengan pendekatan lokal menyebut sebagai Lokalisasi Islam.

Woodward dan Muhamimin melalui pendekatan aksiomatika struktural

merumuskan sebagai Islam Akulturatif. dan Beatty melalui pendekatan

polisemi dan multivokalitas, menyebutnya sebagai Islam praktis.

Kosepsi-konsepsi di atas didasarkan pada penggunaan teori yang

berbeda dalam memahami Islam. Geertz dengan konsep sinkretismenya

93 Baca Niels Murder, Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), 1-20.94 Untuk melindungi desa dari publisitas yang kurang baik maka Beatty menggunakan nama samaran untuk lokasi penelitiannya dengan menggunakan nama Bayu. Bayu adalah salah satu dari beberapa desa yang hampir seluruhnya Osing; desa itu aktif secara kebudayaan, dan secara kebetulan daerah itu menjadi pusat kegiatan mistik. Ibid., 29. 95 baca Pendahuluan dari karya Beatty (Variasi Agama di Jawa).

30

Page 32: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

didasarkan pada pemahamannya terhadap Islam yang bercorak puritan,

karena ia terpengaruh oleh Islam yang beraliran syari’ah modern. Geertz

hanya mengidentifikasi Islam dengan madzhab modernis dan juga

menganggap segala sesuatu dari tradisi Jawa seperti slametan sebagai asli

atau berlatar belakang Hindu-Budha, sehingga ia menyimpulkan bahwa

banyak kehidupan keagamaan umat Islam di Jawa sebagai Hindu.

Sementara Woodward dengan konsep akulturasinya karena

didasarkan pada pemahamannya terhadap Islam yang bercorak sufistik.

Woodward melihat bahwa Islam di Jawa adalah hasil perjalanan panjang

dari persentuhan antara budaya lokal dengan ajaran sufi. Ia mengatakan

bahwa beberapa praktek ritual yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa

banyak didasarkan pada sumber-sumber teks kaum sufi, terutama konsep

Ibn ‘Arabi.

Beatty dalam kajiannya tentang slametan di Banyuwangi yang

berusaha untuk memahami Islam sebagaimana dikonsepsikan dan

dipraktekkan menemukan bahwa muslim yang taat di Banyuwangi

bukanlah kaum puritan dogmatik yang dikenal dalam etnografi orang Jawa

melalui tulisan Geertz; Tuhan dengan sosok yang menakutkan, tidak

terpisahkan dari masjid-masjid dan menghindari kontak dengan orang lain

yang tidak beragama. Di Banyuwangi, orang-orang yang taat tetap

meyakini tradisi mereka, hidup berdampingan dengan orang-orang yang

tidak taat. Orang-orang di desa Banyuwangi memiliki keyakinan yang

ritualistik, berorientasi praktis, dan tidak dogmatis. Maka dari penelitiannya

itu, Beatty menemukan bahwa Islam di Jawa (Banyuwangi) adalah Islam

praktis.

Sesungguhnya beberapa konsep di atas masih meninggalkan

permasalahan. Konsep sinkretisme jelas mengandung kelemahan, sebab

mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal.

Baik yang dilakukan oleh Geertz, Beatty, dan Mulder memberikan

31

Page 33: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

legitimasi bahwa Islam hanyalah nominal saja, aspek luar, sebab inti dari

semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak mampu menyentuh kedalaman

budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika harus

berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada di luar.

Kajian tentang Islam dengan konsep akulturasi yang compatible juga

menyisahkan persoalan pada aras macam apa dan bagaimana Islam

dipahami dan sekaligus dikonstruksi menjadi seperti itu. Jika Islam

mengalami proses saling menerima dan memberi dalam konteks ajaran dan

praktek ritual, maka semestinya terdapat gambaran bagaimana proses

konstruksi Islam sebagaimana keadaannya sekarang. Dialektika itu yang

tidak diperoleh dalam berbagai kajian tentang Islam akulturatif. Maka ada

teori baru yang mungkin juga bisa digunakan dalam mengkaji beberapa

tradisi keagamaan di Jawa guna menghasilkan pemahaman mengenai

agama Jawa, yaitu Islam kolaboratif. Meskipun demikian, yang perlu

diingat adalah bahwa bentuk dari corak keagamaan di atas, baik

tradisionalis maupun modernis atau apapun namanya, adalah gejala sosial,

sehingga di Jawa ditemukan adanya masyarakat MUNU (Muhammadiyyah-

NU) dan lain sebagainya.96

Dari beberapa penelitian yang ada, Islam di Jawa sangat unik, karena

memiliki corak tersendiri sehingga memunculkan beragam teori tentang

Islam Jawa tergantung siapa yang menelitinya. Persoalan Islam di Jawa

sinkretik ataukah akulturatif bukan menjadi bagian pokok penting dalam

penelitian ini. Yang jelas dari beberapa penelitian tentang Islam di Jawa

menggambarkan betapa kentalnya Islam di Jawa dengan praktek-praktek

ritual keagamaan yang terkesan sangat tradisional, sehingga basis Islam

tradisional sangat kuat sekali di wilayah Jawa.

96 Baca Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

32

Page 34: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Bab III

Pondok Modern Gontor dan

Ideologi Perekat Umat

A. Perekat Umat (Tinjauan Islam)

33

Page 35: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Secara terminologis, kata perekat umat dapat dikonotasikan dengan

kegiatan ke arah menghubungkan, menghimpun, menyatukan dan

mendamaikan; antar umat, atau antar unsur-unsur dalam umat, bahkan bisa

pula antar sekelompok kecil dalam umat atau antar unsur-unsur dalam

kelompok kecil dari itu, sesuai dengan kondisi di mana seseorang itu

berada.

Landasan normatif daripada ideologi perekat umat adalah ayat al

Qur’an yang membicarakan peran dan posisi umat Islam yang diidealkan

dengan beberapa kategori: khaira ummah97 (masayarakat terbaik), ummatan

wasatan98 (masyarakat seimbang), dan ummah muqtasidah99 (masyarakat

modern). Umat ideal itu ditugasi untuk mengemban beberapa fungsi

profetik; senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran,100

serta tidak bercerai-berai dan berselisih, setelah memperoleh keterangan

yang jelas.101 Konsep kemasyarakatan yang ditekankan al Qur’an adalah

model masyarakat mandiri yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan

menimalisir intervensi eksternal. Al Qur’an, karena itu, memberi petunjuk

beberapa mekanisme damai untuk memecahkan problem internal, yaitu,

metode syûrâ102 (musyawarah), islâh103 (rekonsiliasi), dan al da’wah bi al

hikmah wa al mujâdalah bi allatî hiya ahsan104 (seruan dengan

kebijakasanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik, tidak

radikal).

Dalam ayatnya al Qur’an menjelaskan bahwa umat Islam

memperoleh predikat sebagai masyarakat pertengahan/berimbang

(ummatan wasatan).105 Wasat di situ berarti moderat, dan berada di tengah-97 Q. S. Ali Imran/ 3: 110.98 Q. S. al Baqarah/ 2: 142.99 Q. S. al Maidah/ 5: 66.100 Q. S. Ali Imran/ 3: 110.101 Q. S. Ali Imran/ 3: 105.102 Q. S. Ali Imran/ 3: 159. Al Shura/ 26: 58.103 Q. S. al Hujurât/ 49: 9.104 Q. S. al Nahl/ 16: 125.105 Q. S. al Baqarah/ 2: 143.

34

Page 36: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

tengah. Posisi tengah bisa ditempuh dengan berdiri persis di tengah atau

dengan menggabungkan yang terbaik dari dua gejala yang bertentangan.

Penempatan posisi tengah itu tidak sekedar pada tingkat konsep, tetapi juga

pada tingkat geografis dan sejarah. Secara geografis, Islam lahir di Timur

Tengah, yang terletak di tengah-tengah antara peradaban Barat (Romawi)

dan Timur (Persia). Dalam sejarah klasik, Islam berhasil menaklukkan

bekas jajahan Romawi dan Persia, sehingga Islam bisa membentang dari

Spanyol hingga India.106 Posisi tengah juga bisa dilihat pada tingkat budaya,

dimana Islam mengambil yang terbaik dari unsur duniawi dan ukhrawi.107

Dalam ayat yang lain, al Qur’an juga menyebutkan ummah

muqtasid108 (golongan pertengahan). Kata muqtasid berasal dari kata

iqtasada-yaqtasidu-iqtisâd, berarti hemat. Ia juga berarti I’tidâl, lurus,

sedang, pertengahan, atau sederhana. Berarti ummah muqtasid,

sebagaimana bunyi ayatnya, adalah sekelompok kecil dalam masyarakat

yang tetap setia menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir

kerusakan. Berarti dalam sikapnya, mereka sangat moderat dan tidak

terjebak pada sisi ekstrim. Jadi, dari situ jelas bahwa di dalam al Qur’an kita

bisa mendapatkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ide perekat umat, di

mana di dalam al Qur’an terdapat penuturan, bahwa semua orang yang

beriman adalah bersaudara, dan apabila antara sesama orang beriman

berselisih, Kitab Suci itu menganjurkan agar selalu diusahakan upaya islâh

(rekonsiliasi) dalam rangka taqwa kepada Allah dan usaha mendapatkan

rahmatNya.109

Pengajaran tentang persaudaraan itu kemudian dipertegas dengan

petunjuk tentang prinsip bagaimana memelihara ukhuwwah islâmiyyah,

106 W. Montgomery Watt & R. Bell, Introduction to al Qur’an (Edinbrugh: Edinbrugh University Press, 1990), 1-2.107 Ini tercermin dari anjuran do’a yang berbunyi “Rabbanâ âtinâ fi al dunyâ hasanah, wa fi al âkhirati hasanah, waqinâ adhâba al nâr.108 Q. S. al Mâ’idah/ 5: 66.109 Q. s. al Hujurat/49: 9-10.

35

Page 37: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

yaitu hendaknya tidak ada suatu kelompok di antara kaum beriman, pria

maupun wanita, yang merendahkan kelompok yang lain, kalau-kalau

mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang

merendahkan. Dan prinsip itu kemudian diteruskan dengan beberapa

petunjuk yang lain untuk memperkuat dan mempertegas maknanya, dengan

menjelaskan secara konkret hal-hal yang akan merusak persaudaraan,

seperti saling meremehkan, memanggil sesama orang beriman dengan

panggilan yang tidak simpatik, banyak berprasangka, suka mencari

kesalahan orang lain, dan mengumpat.110

Deretan firman Allah tentang persaudaraan berdasarkan iman itu

diperkuat lagi dengan penegasan yang menjelaskan bahwa terbaginya umat

manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dimaksudkan

sebagai tanda pengenalan diri (identitas), yang semuanya itu harus

dibawakan dalam lingkungan kemanusiaan yang lebih luas dengan sikap

penuh saling menghargai. Juga, ditegaskan bahwa harkat dan martabat itu

ada dalam sikap hidup yang lebih sejati, dalam bentuk taqwa, dan bahwa

hanya Allah yang mengetahui dan dapat mengukur taqwa itu.111

Itu artinya, sebagai makhluk yang ditunjuk untuk menjadi khalifah

oleh Allah di atas bumi, manusia diperintahkan untuk senantiasa saling

menghormati, menghargai, menolong, menyayangi, mencintai, demi

terciptanya suatu tatanan kehidupan (di dunia) yang tentram, damai,

sentosa. Sebab, hakikat daripada penciptaan manusia adalah untuk

memakmurkan semesta, membangun sistem tatanan kehidupan yang adil,

yang semua itu tidak bisa diwujudkan dengan cara bertikai, untuk

membunuh yang lain.112 Dari itu, satu segi yang harus lebih diperhatikan

dalam memahami kembali Islam ialah semangat kemanusiaan (habl min al

110 Q. s. al Hujurat/49: 11-12.111 Q. s. al Hujurat/49: 13.112 Q. s. al Baqarah. 2: 30.

36

Page 38: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

nâs), yang merupakan sisi kedua ajaran Islam setelah semangat Ketuhanan

(habl min Allâh).

Dari itu, dalam praktik kehidupan bermasyarakat umat Islam di

Madinah, ummah merupakan salah satu prinsip kunci yang menjadi pijakan

dalam bekerja sama, antar berbagai kelompok sosial dalam konfigurasi

pluralistik.113 Thomas W. Arnold menyatakan bahwa organisasi ummah

yang dibentuk Nabi merupakan kehidupan kebangsaan dalam Islam, bahkan

pertama dalam sejarah kemanusiaan.114

Memang, sebagaimana dalam istilah-istilah kalam, fiqh, atau

tasawuf, istilah pluralisme dalam al Quran tidak ditemukan, begitu juga

dalam hadith. Ajaran-ajaran kemajemukan itu tersirat dalam al Quran

seperti firman Allah: “Kalau Allah menghendaki, maka semua orang

dimuka bumi ini akan beriman.” Allah pernah menegur Nabi Muhammad:

”Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi beriman?” Ayat ini

sering kita dengar. Maksudnya jelas, dalam agama Islam tidak boleh ada

paksaan (lâ ikrâha fi al dîn) dan menghormati perbedaan.

Maka profil perekat umat sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an di atas

adalah berjiwa terbuka, dalam arti berpenampilan ramah, mampu

mengenalkan diri dan mengenali masyarakatnya, dengan tidak larut atau

lebur tanpa kepribadian. Luwes dalam pergaulan, dalam arti pandai

menjalin silaturrahmi dengan semua unsure masyarakat tanpa pilih-pilih

dan tidak memberikan kesan mengeblok ke salah satu pihak, dengan tetap

mengacu pada ketakwaan. Memiliki daya pengaruh, dalam arti mampu

membawa lingkungannya untuk melangkah maju kea rah yang lebih

inovatif dan konstruktif, dalam bentuk keterpaduan umat dan kerjasama

positif. Mempunyai bekal cukup untuk memimpin lingkungannya, dalam

pengertian memiliki kemampuan untuk membaca kondisi obyektif

113 Hal ini tercantum dalam Piagam Madinah pasal 1, 37, dan 44.114 Thomasn W. Arnold, The Preaching of Islam (New Delhi: Low Price Publications, 1995), 33.

37

Page 39: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

lingkungan dan bisa mengerti aksi apa yang harus dilakukan, apabila situasi

menuntutnya untuk berbuat, atas panggilan imannya. Lebih-lebih jika

situasi telah memanas dan mencerminkan saling perselisihan antar unsur

masyarakat. Memiliki kadar kebijaksanaa, dalam batas sejauh yang bisa

diresapinya melalui pesa-pesan kajian ilmiah, di antaranya melalui materi

fiqh dengan pandangan setiap madzhab, ditambah dengan pengalaman

dalam kehidupan keseharian, yang selalu mengacu pada kebersamaan dan

kenasionalan.

Sedangkan landasan teologis dan sosiologis daripada ideologi

perekat umat adalah keyakinan terhadap kodrat manusia sebagai makhluk

sosial. Artinya, manusia itu – agar dapat bertahan hidup dan melestarikan

kehidupannya – tidaklah dapat mengelakkan diri dari impoertaiva kodrati

untuk hidup secara berkelompok dalam satuan-satuan agregatif yang

disebut masyarakat. Dalam kelompok agregatif seperti itu, manusia

berhimpun untuk tidak sekedar berhimpun melainkan lebih jauh dari itu,

ialah mengembangkan kehidupan yang teratur dan/atau terorganisasi . Di

dalam kehidupan berkelompok seperti itu individu-individu manusia

membagi kerja atas dasar kekhususan masing-masing, dan kemudian

daripada itu juga saling berkomunikasi guna mengefektifkan kerjasamanya

dan/atau guna menyelesaikan silang selisih yang mengganggu

kerjasamanya.115

Apabila dicermati, di tengah kehidupan semesta yang kodrati ini,

ternyata hidup secara terorganisasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti

itu bukanlah satu-satunya modus atau model kehidupan yang dialami

spesies makhluk yang disebut manusia (Homo sapiens) itu saja. Semut dan

lebah madu adalah serangga-serangga yang terbilang makhluk sosial juga.

Demikian juga halnya dengan gajah atau singa atau pula kijang-kijang liar

115 Soetandyo Wignjosoebroto, “Dua Paradigma Klasik untuk Memahami dan/atau Menjelaskan Hakikat Ketertiban dalam Kehidupan Bermasyarakat Manusia,” Materi Filsafat Ilmu Sosial Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Semester I, 2003.

38

Page 40: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

dan kera-kera yang hidup dalam belantara. Mereka ini adalah pula spesies-

spesies yang menurut kodratnya mesti hidup sebagai makhluk social.

Mereka juga hidup dalam suatu organisasi dengan pembagian peran dan

kerja serta berkomunikasi satu sama lain demi diperolehnya pangan, papan

perlindungan dan upaya melanjutkan keturunan yang semuanya itu akan

menjamin kelestarian spesies di tengah alam semesta ini.116

Menurut paradigma Aristotelian, yang bertolak dari anggapan

aksiomatik, seluruh kenyataan alam semesta ini pada hakikatnya adalah

suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang

sempurna sejak awal mulanya. Menurut Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-

1716), sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian ini, meyakini

bahwa kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu

imperativa keselarasan. Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada

hakikatnya adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah terwujud secara

pasti sejak awal mulanya. Inilah yang disebut a pre-established harmonius

order. Leibniz bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan Mahakuasa dan

Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta semesta ini. Penciptaan

tentulah didasari oleh suatu intensi, maksud atau alasan yang

mengisyaratkan adanya tujuan yang final (causa finalis).117

Scott Gordon (1991:214-215) mencontohkan keselarasan suatu

orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan

oleh Leibniz. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh

Leibniz disebut monad yang independen) telah “memainkan” bagian

masing-masing yang sekalipun secara mandiri namun secara total lalu

menjadi berkeselarasan. Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak

lain karena adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak

awal mulanya. Partitur itu telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam

116 Ibid.117 Ibid.

39

Page 41: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

setiap satuan (pemain) yang ada di dalam totalitas sistem (orkestra). Teori

di atas sejalan dengan sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa

kemajemukan atau pluralisme adalah sunnatullâh.

Sementara itu manusia yang hidup akan terus berkembang, sehingga

dari perkembangan itu di dalam masyarakat terjadi perbedaan. Hal ini

menurut Brian Fay, dalam Contemporary Philosophy of Social Science, hal

semacam ini wajar terjadi di dalam kebhinekaan sosial dan kultural dunia.

Tentunya jika terdapat banyak perbedaan sosial, maka orang-orang itu

secara radikal berbeda antara satu dengan yang lain.118

Dalam teori Atomisme, Brian Fay kemudian menyebutkan bahwa

setiap dari kita pada dasarnya berbeda dan terpisah dari yang lain. Setiap

kita adalah satu bagian yang berdiri sendiri, yang memiliki identitas dan

integritas sendiri. Dengan demikian, maka setiap makhluk yang bernama

manusia merupakan suatu personalitas sendiri yang berbeda dengan

lainnya.119

Kemajemukan atau pluralisme adalah sunnatullâh. Dalam banyak

ayat, al Qur’an menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang

memang dikehendaki Allah.120 Karena itu, siapa saja yang berusaha

menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Karena

kehidupan bermasyarakat bersifat plural, tidak boleh ada pemaksaan

kehendak, termasuk memaksa seseorang untuk beriman. Indonesia adalah

negara plural. Ketika kita melihat pluralitas itu sebagai sesuatu yang positif,

bukan negatif, maka kita memasuki pluralisme sebagai suatu konsep yang

didukung al Qur’an.

Kalau kita perhatikan, alam ciptaan Allah ini memang beragam

keberadaannya, penuh dengan perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu adalah

118 Brian Fay, Contemporary Philosophy of Social Science, (terj.) M. Muhith (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 7.119 Ibid., 37.120 Q. S. 49: 13.

40

Page 42: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

kodrat, dan manusia tidak bisa melawan kodrat itu, justru harus

menghormatinya. Karena memang hidup manusia itu adalah keberadaan

bersama, ko-eksistensi. Untuk ko-eksistensi, seseorang tidak dapat

memaksakan kepentingan dirinya sendiri pada orang lain, sebab orang lain

juga mempunyai kepentingan lain seperti dirinya. Masing-masing manusia

memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, akan tetapi mereka harus bisa hidup

bersama dalam bermacam-macam perspektif kebenaran itu, dengan saling

menghargai kebenaran masing-masing. Sebab manusia itu terbatas, maka

kebenaran yang satu dapat melengkapi kebenaran yang ain, karena

kebenaran itu tidak terbatas, seperti halnya Allah juga tidak terbatas.

B. Pondok Modern Gontor

Untuk mengetahui ideologi Pesantren Gontor, maka banyak sekali

data yang bisa kita gunakan sebagai pisau analisis. Pertama, adalah figur

kepemimpinan Pondok Modern Gontor. Sebab di dalam pesantren sosok

kyai sangat memegang peran yang paling utama. Hal ini bisa dilihat dari

penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya, yang menyebut

kyai sebagai penghubung budaya antara pesantren dan dunia luar. Kyai

menyaring mana unsur budaya yang boleh masuk dan mana yang tidak.

Demikian halnya dengan Hiroko Horikoshi, ia menyebutkan bahwa kyai

bisa berperan kreatif dalam perubahan sosial.121

Uraian di atas menjelaskan bahwa kehidupan pesantren berpusat

pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor

kehilangan santri ataupun mati sama sekali berhubung dengan

meninggalnya kyai bersangkutan. Hal itu terutama terjadi bila pengganti

kyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang ia

gantikan.122

121 Lihat Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat (Yogyakarta: LkiS, 1999), vi.122 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), 18.

41

Page 43: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Kyai adalah seseorang yang dipandang sebagai guru dan ahli agama

Islam, yang menguasai beberapa kitab Islam klasik. Panggilan ini umum

dipakai di lingkungan masyarakat Islam tradisional di pedesaan Jawa. Bagi

mereka, kyai seringkali tidak hanya menjadi guru agama, tetapi juga

merupakan tokoh atau pemimpin masyarakat, tempat meminta nasehat

dalam berbagai persoalan, mengharap berkah, do’a-do’a dan pengobatan,

bahkan seringkali juga sebagai tempat perlindungan. Benda mencatat

bahwa penderitaan yang berkepanjangan sebagai akibat dari politik tanam

paksa, alienasi politik dari kaum priyayi telah menempatkan para kyai

sebagai surga di mana para petani desa mencari perlindungan.123

Kepercayaan masyarakat desa akan kekuatan-kekuatan supranatural

dan magis juga sering membuat kekuasaan kharismatik kepada kyai. Untuk

itu, di bawah ini akan diulas tentang biografi kyai Gontor, Motto dan Panca

Jiwa Pesantren Gontor, Kegitan rutinitas atau aktivitas yang dilakukan oleh

santri Gontor, serta materi-materi tauhid dan fiqh yang diajarkan di Gontor.

1. Biografi Singkat Kyai Pondok Modern Gontor

Pondok Modern Gontor adalah sebuah pesantren yang terletak di

Desa Gontor, sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur

Tegalsari dan 11 KM kea rah tenggara dari kota Ponorogo. Nama pesantren

di Gontor itu adalah Darussalam (kampung damai). Akan tetapi karena

adanya beberapa system modern dalam pendidikan yang diterapkan di

pesantren itu, pesantren Gontor kemudian lebih dikenal dengan pesantren

modern. Pesantren Gontor didirikan oleh tiga kyai; Ahmad Sahal (1901-

1977), Zainuddin Fanani (1908-1967), Imam Zarkasyi (1910-1985) dengan

nama Darussalam dan Founding fathers pesantren modern yang terdiri dari

tiga bersaudara itu dijuluki dengan istilah trimurti.124

123 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, 21.124 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Percetakan Darussalam, 2004), 1-5.

42

Page 44: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Ahmad Sahal adalah alumni pesantren salaf murni, yaitu Siwalan

Panji Sidoarjo, dan Tremas Pacitan. Sementara Imam Zarkasyi adalah

alumni pesantren Padang Panjang, Sumatra Barat, yang pada waktu itu

merupakan pintu masuknya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

Sebelum ke Padang Panjang, Imam Zarkasyi pernah mondok di beberapa

pesantren salaf.125

Pada tahun 1967 Zainuddin Fanani wafat, disusul oleh Ahmad Sahal

pada tahun 1977, sehingga kendali pesantren hanya dipegang oleh Imam

Zarkasyi. Sejak itulah Gontor identik dengan Imam Zarkasyi, sebab Imam

Zarkasyi sebagai nahkoda tunggal dari perjalanan pesantren Gontor.

Imam Zarkasyi yang dilahirkan di Desa Gontor pada tanggal 21

Maret, memulai pendidikan Dasarnya di Sekolah Desa Nglumpang, pada

usia belum genap sepuluh tahun. Di samping sekolah, waktu-waktu

luangnya ia gunakan untuk mengaji kitab-kitab kuning seperti Ta’lim al

Muta’allim, al Sulam, Safinah al Najât, Taqrib.126

Setelah menyelesaikan sekolah Desa dalam waktu lima tahun ia

melanjutkan ke Sekolah Ongko Loro127 di Jetis. Seperti sebelumnya, Imam

Zarkasyi yang di pagi hari sekolah, di sore hari ia gunakan untuk mondok di

Pesantren Josari, di bawah bimbingan Kyai Mansyur. Pelajaran utama di

pondok ini adalah tauhid, khatmi al-Qur’ân, Barzanji, dan khitâbah. 128

Kemudian Imam Zarkasyi melanjutkan ke Solo, yaitu di pesantren

Jamsaren, sebuah pesantren yang terkenal di masa itu karena alumninya

hafal Alfiyah dan Imriti. Akan tetapi, K. H. Abu Amar, pemimpin pesantren

125 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 4. 126Ibid,,19.127 Sekolah Ongko Loro (Vervolkschool, 2 tahun) adalah lanjutan dari Sekolah Desa (Volkschool) yang berlangsung tiga tahun. Sekkolah Ongko Loro biasanya terletak di distrik atau kabupaten. Kentjaraningrat, “Ikhtisar Sejarah Pendidikan di Indonesia” dalam Koentjaraningrat (ed.) Masalah-masalah Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1982), 409. 128 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,19.

43

Page 45: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

ini juga dikenal sebagai anti taqlid, sehingga memberanikan diri untuk

mengajar al Qur’an dan Hadits meskipun dengan resiko mendapatkan

cemoohan dari pesantren-pesantren lain. Di sini, Imam Zarkasyi belajar

pada malam hari, sedangkan pada pagi hari, ia belajar di Madrasah

Arabiyah Islamiyah, yang dikenal dengan Arabische School, sebuah

pendidikan menengah dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa

pengantar. Untuk sore hari, Imam Zarkasyi belajar di Madrasah Manbaul

Ulum, sebuah madrasah yang didirikan oleh Keraton Surakarta yang

dipersiapkan untuk mendidik anak-anak keraton. Karena itulah seragam

sekolah pun khas keraton. Madrasah ini paling modern di Jawa pada saat

itu.129

Semasa di Solo ini, Imam Zarkasyi bertemu dengan Oemar al-

Hasyimi, seorang guru di Madrasah Arabiyah Islamiyah yang berasal dari

Tunisia dan mendorong Imam Zarkasyi untuk melanjutkan studinya ke

Padang Panjang, Sumatera Barat, karena di daerah ini telah banyak ulama’

lulusan Mesir.130 Pada saat itu, wilayah ini sangat subur dengan lembaga

pendidikan Islam modern. Maka keberangkatan Imam Zarkasyi ke Padang

Panjang menjadi sangat kontroversial bagi santri Jawa, karena masyarakat

santri di Jawa pada saat itu memiliki kecenderungan untuk mondok di

Tebuireng Jombang atau Tremas Pacitan. Di Padang Panjang, sekolah yang

pertama-tama dimasuki oleh Imam Zarkasyi adalah Sumatera Tawalib

School. Kemudian melanjutkan ke Normal Islam School, sebuah lembaga

pendidikan yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam di

Padang pada tanggal 1 April 1931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus.

Dalam perjalanan karirnya sebagai pembina pesantren, Imam

Zarkasyi juga pernah duduk di pemerintahan, yaitu sebagai Kepala Bagian

Pendidikan dan Pengajaran di Kantor Urusan Agama di Jakarta, yang pada

129 Ibid., 21-23.130 Ibid., 29.

44

Page 46: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

tahun 1946 berubah menjadi Departemen Agama. Selain itu, Imam

Zarkasyi juga pernah menjadi pengurus pusat Hizbullah, sebagai

penanggung jawab bagian pendidikan dan pengajaran kader Hizbullah, dan

aktif di Partai Masyumi ketika partai ini meupakan gabungan dari partai-

partai Islam. Akan tetapi kemudian ia keluar ketika terjadi perpecahan di

dalam tubuh Masyumi, dan semenjak itu pula, Imam Zarkasyi tidak

berkecimpung di dalam dunia politik lagi.131

Maka dari penjelasan sekilas tentang perjalanan pendidikan kyai

pesantren Gontor yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda,

antara pendidikan tradisional, dan modern, penulis yakin bahwa latar

belakang pendidikan sangat mempengaruhi pembentukan ideologi

seseorang, sehingga penulis menyatakan bahwa perpaduan materi kaum

tradisionalis dan modernis mewarnai jiwa santrinya di masa kepemimpinan

Pondok Modern Gontor masih dikendalikan oleh tiga tokoh secara utuh.

Akan tetapi, setelah K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Ahmad Sahal

wafat dan Gontor hanya dipimpin oleh satu figur, yaitu K.H. Imam

Zarkasyi, penulis yakin bahwa kemodernan Gontor dalam bidang ideologi

lebih menonjol. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perjalanan pendidikan

Imam Zarkasyi yang diakhiri di Padang Panjang, pusat gerakan

pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-19.132 sebagai tempat akhir

melanjutkan studinya, banyak diwarnai oleh pendidikan dan pemikiran

modern di sana. Dan hal inilah yang kemudian menjadikan Imam Zarkasyi

sangat berperan dalam memodernisasi salah satu pesantren di Jawa yaitu

Gontor.131 Ibid., 175-177.132 Di penghujung abad ke-19, Sumatra Barat merupakan pintu gerbang masuknya erakan salaf dan pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia. Banyak sekolah didirikan untuk mendukung pembaharuan tersebut. Di Padang Panjang Dr. Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah (1909). Dua bersaudara Zaenuddin Labay el Yunusi dan Rahmah Labay el Yunusi, mendirikan Madrasah Diniyah Putra (1915) dan Diniyah Putri (1923). Sementara itu, Sumatra Thalawalib didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (1921). Kemudian pada tahun 1931, sekolah Normal Islam (Islamic Training College). Ibid., 29.

45

Page 47: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

2. Sintesa Pondok Modern Gontor

Pondok Modern didirikan dan dikembangkan dari hasil sintesa

antara Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir), Pondok Syanggit di Afrika

Utara, Universitas Aligarh di India dan Taman Pendidikan Shantiniketan di

India. Dari Al-Azhar dan Syanggit diambil sistem pengelolaan wakaf yang

luas sehingga mampu memberikan bea belajar para mahasiswanya dari

berbagai penjuru dunia, di samping keduanya merupakan benteng

pertahanan kebudayaan dan pendidikan Islam yang kokoh. Aligarh terkenal

handal dalam usaha modernisasi pendidikan dan aktualisasi ajaran Islam

yang sesuai dengan tuntutan zaman, di mana mahasiswanya dibekali

dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta menjadi pelopor revival

of Islam.. Shantiniketan mampu mengembangkan sistem kebudayaan,

kesederhanaan, kekeluargaan dan kedamaian. Sintesa terakhir ini,

shantiniketan, mengilhami penamaan pesantren di Desa Gontor itu dengan

nama Dârussalâm, yang berarti rumah kedamaian dan keselamatan. Secara

implisit, kata itu mengandung makna filosofis yang ideal, yaitu menjadikan

Desa Gontor yang konon singkatan dari panggon sing kotor (tempat yang

kotor dipenuhi kemaksiatan molimo; 5M) berubah menjadi Dârussalâm,

kampung damai dan selamat dari kemaksiatan. 133

Spirit dari keempat sintesa itu senantiasa hidup pada generasi setelah

“Trimurti”, maka diabadikan dalam penamaan gedung-gedung di asrama

PM. Ada gedung Al-Azhar, gedung Syanggit dan seterusnya. Back-ground

pendirian pesantren secara historis, sosiologis, filosofis maupun idealis dari

arah dan tujuan pendidikan, yang diselenggarakan di PM Gontor, antara

lain sebagai berikut: yaitu pengabdian keilmuan dan gerakan dakwah

Islamiyah, amar ma'ruf nahi munkar di kalangan masyarakat dimana saja

santri berada.

133 Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,598.

46

Page 48: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Maka dari sintesa Pondok Modern Gontor kita bisa menduga

kemodernan Gontor tidak hanya di bidang pendidikan, akan tetapi juga

pada bidang ideologi. Sebab dalam sintesa itu ditemukan adalah Aligarh

sebagai salah satu sintesanya. Aligarh adalah sebuah lembaga pendidikan

modern yang terkenal handal dalam usaha modernisasi pendidikan dan

aktualisasi ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, membekali

mahasiswanya dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta menjadi

pelopor revival of Islam pada masa itu. Dipelopori oleh Ahmad Sayyid

Khan, tokoh gerakan modernisme Islam di India. Aligarh juga mengajarkan

beberapa materi keislaman dengan menggunakan Bahasa Inggris (bahasa

penjajah di India pada saat itu),134 dan itulah yang dilakukan oleh Gontor.

3. Master Plan dan Manajemen Pendidikan Pondok Modern Gontor

Pondok Modern juga memiliki jangka panjang yang didasarkan pada

rencana induk (master plan) yang ditenarkan oleh Pondok Gontor dengan

istilah "Panca Jangka" (five-terms). Terdiri atas pendidikan dan pengajaran,

sarana dan prasarana, sumber pembiayaan, kaderisasi dan kesejahteraan

keluarga. Masing-masing mempunyai institusi tersendiri dengan

serangkaian program yang direncanakan (planing; takhtît) sesuai dengan

periodisasi waktu tertentu yaitu jangka pendek, menengah, panjang, dan

panjang sekali; diorganisasi (organizing; tandîm) dengan rapi; dikordinasi

(coordination; tansîq) dengan baik; dilaksanakan (implementazion; tanfîdh)

dan dikontrol (controlling; murâqobah) secara intensif agar hasilnya ideal.

Metode pengelolaan (management; idârah) secara modern dibarengi

dengan semangat futuristik yang sangat dominan dalam seluruh elemen

yang terkait. Tentunya semua bentuk manajemen seperti belum didapatkan

dalam pesantren-pesantren tradisional di Jawa pada masa itu.135

134 Ibid.135 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Percetakan Darussalam, 2004), 17-18.

47

Page 49: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Manajemen dalam bidang pendidikan dan pengajaran Pondok

Gontor sangat modern, seperti: penggunaan sistem pengajaran melalui

kurikulum yang sudah ditetapkan; metode pengajaran dengan cara klasikal

(secara bersama-sama di dalam kelas) dengan jenjang studi yang harus

dilalui melalui test hasil belajar berupa ujian lisan (oral examination;

imtihân shafawî) maupun tulisan (written; tahrîrî); diadakannya evaluasi

pengajaran atas guru-guru dengan rutin yang diistilahkan dengan "kamisan"

yang diadakan rutin setiap hari Kamis sekaligus menjadi wahana check and

balance dalam seluruh aktivitas pendidikan dan pengajaran serta

kebijaksanaan-kebijaksanaan pondok secara umum baik internal maupun

eksternal; dan yang lebih unik adalah pemakaian bahasa Arab dan Inggris

sebagai alat komunikasi belajar dan berinteraksi di dalam pesantren serta

pemakaian dasi, sebuah pakaian yang identik dengan kemodernan. Dan

semua itu di bawah pimpinan seorang direktur sekolah (KMI) yang

dibawahi lagi oleh para pimimpin (tiga orang kyai) pondok yang menjadi

"mandataris" Badan Wakaf.136

Dalam bidang sarana dan prasarana adalah menejemen santri dalam

sistem asrama dengan fasilitas pergedungan yang kondusif bagi

terlaksananya proses belajar dan mengajar. Disediakannya perpustakaan,

lapangan olah raga, tempat belajar, ruang tidur, kamar mandi, penghijauan

tanaman, masjid, kantin, balai kesehatan, dan lain-lain yang menjadi

kebutuhan primer, sekunder maupun tertier untuk kestabilan dan

kenyamanan proses pendidikan

Tanggungjawab manajerial yang ditangani langsung oleh badan

khusus yang bernama Badan Pembangunan dan Pemeliharaan Pergedungan

Pondok Modern secara strukutural di bawah ketua Yayasan Pemeliharaan

136 sebagai badan tertinggi yang beranggotakan 15 orang. Sebagai catatan tambahan bahwa pimpinan pondok dipilih oleh Badan Wakaf untuk jangka waktu lima tahun dan kemudian bisa dipilih kembali.

48

Page 50: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) di bawah koordinasi

Pimpinan Pondok Modern dan Badan Wakaf. Manajemen modern dalam

pembiayaan seperti: penggalian dana dari dalam pesantren sendiri melalui

koperasi pelajar, koperasi mahasiswa, toko buku, apotik, penggilingan padi,

dan sektor-sektor usaha lain yang dikelola oleh Organisasi Pelajar,

Organisasi Mahasiswa, dan Yayasan secara lebih luas dan umum.

Semboyan yang dikenal dalam pendanaan ini ialah self berduiping system

yang dapat menumbuhkan self of belonging dan self of responsibility

terhadap pondok pesantren.137

Semua Master Plan dan manajemen pendidikan di atas adalah ciri

khas dari orang modern. Dari sini terlihat sekali bahwa pemikiran Gontor

sangat modern yang tentunya sangat dipengaruhi oleh ideologi

kemodernannya.

4. Motto dan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor

Moto Pondok Modern Gontor meliputi; Berbudi tinggi (noble

character; akhlaq karimah), yang menjadi prioritas utama dan dasar dari

semboyan dan gerak hidup komunitas santri. Pendidikan akhlak

diaktualisasikan melalui keteladanan berperilaku baik. Dan pada diri

Rasulullah SAW terdapat keteladanan yang terbaik.138 Yang kedua adalah

berbadan sehat, yang diilhami dari makna sebuah Hadits Rasulullah SAW.

"al-mu'minu al qawiyyu khairun wa-ahabbu ilallâhi min al mu'min al dh'îf"

Tindakan penjagaan dan peningkatan kesehatan lebih diutamakan dari pada

pengobatan.139

Oleh sebab itu Pondok memperhatikan masalah K5 yang

mengaktifkan santri berpartisipasi langsung dengan penuh kesadaran.

137 Ibid.138 Q. s. al Ahzâb, 33: 21.

139 Ibid., 19.

49

Page 51: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Secara teratur diadakan olah raga wajib berupa lari pagi dan SKJ,

pembersihan lingkungan, makanan bergizi, pelaksanaan kegiatan sesuai

dengan jadwal waktu dan disiplin yang tinggi. Untuk melatih kekuatan fisik

dan mental pesantren juga menyediakan fasilitas olah raga dan bela diri

fisik. Yang ketiga adalah berpengetahuan luas, dengan mengembangkan

etos ilmiah yang tinggi dan diciptakannya reading habit yang tidak terbatas

pada lingkungan kelas dan perpustakaan, akan tetapi dalam banyak tempat

dan momen. Maka didapatkan bacaan berupa koran maupun karya tulis

santri berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris yang tertempel pada etalase

hampir di semua sudut asrama. Yang ke empat adalah berpikiran bebas,

tidak terpola secara jumûd dan lamban.

Hal ini merupakan modal besar untuk melakukan ijtihad dan tajdîd

(pembaruan) sehingga terwujud prestasi-prestasi baru, inovasi, kreasi dan

kreatifitas berpikir dan terhindar dari taklid, pengikutan tanpa penggunaan

daya nalar yang tinggi. Pengembangan sistem budaya dan intelektualitas di

kalangan santri merupakan kontribusi besar yang dilahirkan dari kebebasan

berpikir. Saham lain yang diberikan oleh moto ini adalah pembebasan diri

dari belenggu pengkultusan individu. Sudah tentu semua itu didasari oleh

moto-moto sebelumnya yaitu berbudi tinggi, berbadan sehat dan

berpengetahuan luas. Oleh karenanya kebebasan berpikir tidak dipahami

dengan kebebasan tanpa batas norma-norma dan kaidah umum agama

Islam.

Moto di atas masih banyak prinsip-prinsip dan falsafah hidup yang

dibingkai di dalam mutiara hikmah dan di internalisasikan melalui

pendidikan santri. Misalnya : berjasalah dan jangan meminta jasa; i'malû

fawqa mâ 'amilû; i'malû fa-sayarallâhu 'amalakum wa rasûluhû wa al-

mu'minûn, dan lain-lain yang menunjukkan etos bergerak, berkreasi dan

berprestasi tanpa pamrih hanya karena Allah semata. Etos bergerak ini tentu

50

Page 52: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

dilandasi atas fiqh al awlawiyât dan fiqh harakî dalam mengemban amanat

dan misi khilâfatullâh fi al-ardi.

Slogan fî ayyi ardin tata’- fa-anta mas-ûlun 'an Islâmihâ, selalu

menjadi inspirasi dan motivasi santri untuk beriman-islam-ihsan dalam

makna yang universal dan komprehensif. Pengejawantahan orentasi ini

dituangkan dalam penyusunan kurikulum pengajaran di tingkat KMI

(Kulliyyatul Mu’allimîn al Islâmiyyah, setingkat tsanawiyah dan aliyah

Indonesia) maupun di tingkat perguruan tinggi (dulu: Institut Pendidikan

Darussalam, IPD; sekarang : Institut Studi Islam Darussalam, ISID). Dan

disosialisasikan melalui pendidikan 24 jam sehari penuh dengan semboyan,

apa yang kamu lihat, kamu dengar, kamu rasakan di pondok ini adalah

pendidikan (pengajaran dalam arti yang lebih luas). , ini mempunyai makna

keseimbangan (tawâzun; balance) dalam sikap dan gaya hidup; tidak kikir

dan tidak boros (al-bastu kulla al-basti; waste of money, time, luxury,

etc.)140, tidak menggantungkan hidup pada orang lain dan seterusnya.

Dalam hal materi ini berarti dengan baik telah mampu mencukupi

kebutuhan primer (dhorûriyyât; necessities) sebagai prioritas utama

kemudian sekunder (thanawiyyât; secondaries) dan pelengkap (kamaliyyât;

luxuries) urutan berikutnya. Dari segi kwantitas cukup relatif sehingga KH.

Ahmad Sahal (rahimahullâh) mengucapkan, “aku tidak mendoakan anak-

anakku untuk menjadi orang kaya tetapi mendoakan untuk menjadi orang-

orang yang paling banyak mengeluarkan zakatnya.” Di antara cara yang

ditempuh oleh PM adalah membekali para santri dengan ketrampilan,

keahlian dan kewiraswastaan. Jika kesederhanaan lebih ditekankan dalam

urusan material maka kemodernan berkaitan erat dengan hal-hal immaterial.

Seperti dalam pemikiran dan pergerakan serta pembaruan. Karenanya

pesantren tidak pernah berhenti berijtihad. Modernitas dipelihara dan di

140 lihat QS. Al-Isra : 29.

51

Page 53: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

aktualkan secara kontinu sehingga tidak sampai menjadi kerak dan fosil

sejarah.

Dari salah satu motto yang dimiliki yaitu berpikiran bebas, Gontor

telah memberikan saham pembebasan diri dari belenggu pengkultusan

individu. Maka di dalam pondok ini tidak ada pengkultusan anak seorang

kyai, seperti panggilan Gus yang terjadi di beberapa pesantren di Jawa.

Sudah tentu semua itu didasari oleh moto-moto sebelumnya yaitu berbudi

tinggi, dan berpengetahuan luas. Oleh karenanya kebebasan berpikir tidak

dipahami dengan kebebasan tanpa batas norma-norma dan kaidah umum

agama Islam. Di sini kelihatan lagi bagaimana kemodernan pemikiran

ideologi pesantren Gontor dengan kebebasan berpikir yang ditetapkan oleh

Gontor dalam salah satu mottonya, yang tentunya tidak ditemukan di

beberapa Pesantren tradisional, karena seorang santri tidak boleh membanta

apa yang disampaikan sang kyai.

Pijakan modernisasi adalah kaidah : al-muhâfadah 'ala al qadîmi al-

sâlih wa al-akhdhu bi al-jadîdi al-aslah, menjaga hal-hal lama yang baik

dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Berarti mempunyai akar yang

kuat ke dalam bumi dan tetap orisinal disamping menjulang ke langit dan

terus aktual. Diibaratkan kalimat tayyibah yang tersitir dalam ayat 24 surat

Ibrahim. Barangkali karena orentasi kemodernan inilah PM memberikan

piranti pembaharuan berupa ilmu bahasa Arab dan Inggris (kunci sebagai

telah disebut sebelumnya), usûl fiqh, mustalah al hadîth, hadîth, tafsîr, ‘ilm

al mantiq, dan ilmu-ilmu alat. Disamping telah mengenalkan buku bidâyah

al mujtahid wa nihayah al muqtasid karya Ibnu Rusyd yang mempelajari

fiqih Islam dengan menggunakan metode komparasi. Hal ini baru diajarkan

pada kelas lima KMI.

Pendidikan Pondok Modern Gontor juga memiliki lima jiwa

pesantren yang diistilahkan dengan Panca Jiwa Pondok Pesantren, yaitu;

52

Page 54: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islâmiyyah, dan

kebebasan.141

Jiwa keikhlasan berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan

karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu.

Segala perbuatan dilakukan dengan niat semat-mata untuk ibadah, lillah.

Kyai ikhlas mendidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu

menjalankan proses pendidikan serta para santri ikhlas untuk dididik.

Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis

antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa

ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun

dan kapanpun.

Dalam jiwa kesederhanaan, Gontor tidak berarti pasif atau nerimo,

tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu

terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri

dalam menghadapai perjuangan hidup.

Di balik kesederhanaan terpancar jiwa besar, berani maju dan

pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan

tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi

perjuangan dalam segala segi kehidupan.

Dalam jiwa berdikari, di pondok Gontor segala sesuatunya

dikerjakan oleh kyai dan santri, tidak ada pembantu, pegawai dalam

pondok.

Dalam jiwa ukhuwah, kehidupan pesantren diliputi suasana

persaudaraan yang karab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama

dalam jalinan ukhuwah islamiyah. Tidak ada dinding yang dapat

memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di

pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat dalam

masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.

141 Ibid., 15-16.

53

Page 55: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Jiwa bebas, berarti bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam

menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan

bebas dari berbagai pengaruh negative dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini

akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala

kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-

unsur negative, yaitu apabila kebebasan itu disalah gunakan, sehingga

terlalu bebas dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.

Panca Jiwa itulah yang mengawali dan menggerakkan seluruh

aktivitas dan dinamika pesantren, yang bisa ber-“ekses” negatif dalam

jatidiri atau eksistensi pesantren. Sebagai contoh, gangguan pada; unsur

keikhlasan berupa riyâ', takabbur, motivasi-motivasi material an-sich dan

lain-lain.

Pada unsur kesederhanaan (At-tawassut), seperti al-ifrât dan at-tafrît

dalam bersikap, bertindak dan berperilaku, pada unsur kemandirian (self-

help, independence; al-i'timâd 'ala al nafsi), seperti ketergantungan pada

pihak lain, rasa tak percaya diri, rendah diri (inferior), dan lainnya, pada

unsur ukhuwwah Islâmiyyah (Islamic brotherhood), seperti ta'assub

(fanatik) golongan, keturunan atau suku dan lainnya. Sedangkan pada unsur

kebebasan (al-hurriyyah; freedom), seperti keterikatan dan kesempitan

berpikir, berekspresi atau bergerak, feodalisme dan lain-lain.

Gangguan seperti tersebut diatas harus dihindari, jika telah hinggap

wajib segera ditanggulangi atau diobati. Jika tidak, niscaya akan

mengantarkan pesantren ke pintu kemusnahan. Orang-orangnya bisa

diibaratkan robot tak bernyawa yang disetir kearah tak menentu, dan

pergedungan yang ada bisa dianggap kuburan-kuburan yang mungkin

diziarahi - jika tidak mengerikan.itu karena eksistensi Panca Jiwa

merupakan.jaminan (guarantee) bagi pesantren untuk menggapai tujuan

dan arah yang pasti, menjaga keutuhan sistem, serta menjadi pemandu

langkah gerakan dan etos kedirian pondok pesantren.

54

Page 56: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

5. Kepemimpinan di Pondok Modern Gontor

Kepemimpinan di Pondok Modern Gontor tidak berdasar pada garis

keturunan, akan tetapi dalam bentuk modern, karena siapa saja boleh

menjadi kyai asal memenuhi beberapa persyaratan, sebagaimana yang telah

ditetapkan oleh Badan Wakaf, organisasi tertinggi dalam kepemimpinan

Pondok Modern Gontor.142

Di Gontor tidak ditemukan adanya pengkultusan kyai dan

keturunannya. Tidak ada panggilan Gus di dalam lingkungan pesantren

Gontor. Di sini terlihat kemodernan ideology Gontor. Karena sikap

semacam ini hanya dimiliki oleh kaum modernis, seperti yang disebutkan di

dalam bab dua di atas.

Lembaga tertinggi dalam organisasi pesantren Gontor adalah Badan

Wakaf. Badan Wakaf ini semacam badan legislative yang beranggotakan 15

orang, bertanggung jawab atas segala pelaksanaan dan perkembangan

pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern. Untuk tugas dan kewajiban

keseharian amanat ini dijalankan oleh Pimpinan Pondok.143

Pimpinan pondok Gontor semacam badan eksekutif yang dipilih oleh

Badan Wakaf setiap 5 tahun sekali. Menurut Weber, bentuk kepemimpinan

seperti ini adalah bentuk dari sebuah kepemimpinan modern.

6. Materi yang Diajarkan di Pondok Modern Gontor

Untuk mengetahui orientasi ideologi pendidikan di pesantren

Gontor, maka di antara materi ajar yang perlu dikaji adalah materi tauhid,

fiqh dan kegiatan ekstra. Alasan pemilihan pada tiga materi tersebut karena

ketiganya sangat berpengaruh dalam membentuk karakter santri sebuah

Pondok Pesantren, dan sekaligus menjadi ciri khas dari masing-masing

142 Ibid., 122-123. Untuk mengetahui macam-macam bentuk kepemimpinan baca teori Weber.143 Ibid., 20-24.

55

Page 57: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

kelompok keagamaan yang ada di Indonesia. Jadi, materi tauhid, fiqh dan

kegiatan keseharian adalah landasan dasar untuk menilai orientasi ideologi

keberagamaan seseorang.

Di Gontor, materi tauhid yang diajarkan untuk kelas I adalah materi

yang dikemas oleh Imam Zarkasyi dalam bukunya Ushuluddin. Dalam

kitab ini Imam Zarkasyi menyebutkan bahwa ia memilih aliran Ahlu al-

Sunnah wa al-Jama'ah, madzhab mayoritas umat Islam di dunia dan di

Indonesia.144 Materi ini diajarakan selama satu tahun. Untuk materi tauhid

pada tingkat selanjutnya yaitu II, III, IV, V dan VI (kelas akhir di Pondok

Modern Gontor), merujuk kepada dua tokoh gerakan pembaharuan dalam

Islam, yaitu Ibn Taymiyyah dan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, serta

pemikiran-pemikiran Muhammad ‘Abduh. Memang ada alas an yang

mengatakan bahwa pemilihan materi tauhid pada madzhab Ibn Taymiyyah

didasarkan pada kontrak ideologi antara Gontor dengan Arab Saudi, yang

dalam hal ini sebagai donator dalam pembangunan salah satu gedung yang

ada di pesantren tersebut. Di mana, ketika Arab Saudi menyumbangkan

beberapa dana untuk pembangunan gedung di pesantren Gontor, mereka

menginginkan agar materi tauhid yang dijadikan bahan ajar di pesantren

Gontor adalah pemikiran Ibn Taymiyyah.145 Akan tetapi, meskipun

demikiran, penerimaan kyai Gontor terhadap tawaran ini merupakan

cerminan daripada orientasi ideologi kyai Gontor, yang menggambarkan

bahwa ia adalah seorang reformis, modernis, bahkan mungkin puritanis

meskipun lebih toleran atau lunak dan kelompok puritanis yang sebenarnya.

Untuk materi fiqh, di kelas I materi yang digunakan sebagai bahan

ajar di bidang fiqh adalah materi yang dikemas langsung oleh Imam

Zarkasyi. Dalam kitabnya itu, Imam Zarkasyi memilih madzhab Imam

Syafi'I dengan alasan bahwa madzhab itu adalah madzhab mayoritas umat

144 Imam Zarkasyi, Ushuluddin (Ponorogo: Trimurti Press, t.t.), 3 (bab penduhuluan).145 Hasil wawancara dengan Drs. Makasi, M.Ag. ketua Ikatan alumni Pesantren Gontor cabang Surabaya, pada tanggal 1 Juni 2005.

56

Page 58: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Islam di Indonesia. Untuk kelas II menggunakan kitab al-Fiqh al-Wadhih,

sementara untuk kelas III dan IV menggunakan kitab bulughul maram,

sebuah kitab yang digunakan di pesantren modern dan tradisional. Untuk

kelas V dan VI menggunakan kitab Bidayat al-Mujtahid, sebuah kitab yang

menguraikan pendapat dari berbagai madzhab fiqh yang ada dalam Islam

dengan menggunakan metode komparasi.

Pemilihan mdzhab fiqh dengan alas an sebagai madzhab mayoritas

umat Islam menggambarkan betapa pentingnya persatuan umat Islam dalam

pemikiran kyai Gontor, sehingga santri Gontor benar-benar terbantu oleh

materi fiqh madzhab fiqh tersebut untuk menjadi perekat umat di

masyarakatnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana seorang santri Gontor

akan menjadi perekat umat jika tidak paham dengan madzhab mayoritas

umat Islam di tempat tinggalnya. Untuk itu, pemilihan materi fiqh dengan

madzhab syafi'i bisa dimungkinkan didasarkan pada alas an slogan perekat

umat yang didengungkan oleh Gontor, bukan karena cerminan daripada

pemikiran fiqh murni Imam Zarkasyi.

Sekilas memang dari materi tauhid dan fiqh terlihat adanya

perpaduan antara tradisionalisme dan modernisme Islam dalam ideologi

pesantren modern itu. Akan tetapi, jika ditimbang secara proporsional,

materi yang mengarah kepada modernisme Islam lebih mengakar dalam

orientasi keagamaan santrinya, karena materi-materi yang mengarah kepada

paham modernisme Islam di samping pada materi tauhid, juga pada

kegiatan ekstra para santrinya, apalagi materi-materi itu diajarkan di akhir

tingkatan dari perjalanan santri Gontor, pijakan yang sering disampaikan

oleh kyainya kepada para santri adalah kaidah: al-muhâfadah 'ala al qadîmi

al-sâlih wa al-akhdhu bi al-jadîdi al-aslah, menjaga hal-hal lama yang baik

dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Berarti mempunyai akar yang

kuat ke dalam bumi dan tetap orisinal di samping menjulang ke langit dan

terus aktual.

57

Page 59: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Sementara materi yang mengarah pada paham tradisionalisme Islam

hanya ditemukan pada materi fiqh kelas I & II, sementara untuk kelas III,

IV, V & VI sudah pada fiqh komparatif. Paham tradisionalisme Islam juga

hanya terlihat dalam symbol masjid pesantren yang berupa bedug dan

kentongan. Hal itupun didasarkan pada pengalaman kyai Gontor, Imam

Zarkasyi. Di mana ketika beliau sedang dalam pengungsian dari kejaran

penjajah, beliau tersesat di suatu tempat, sehingga mendengan suara bedug,

yang bertanda telah dating waktunya sholat sekaligus tanda bahwa jarak ke

perkampungan sudah dekat. Dari pengalaman itu, Imam Zarkasyi memiliki

pendapat bahwa bedug memiliki manfa'at sehingga ia membolehkan

penggunaanya di masjid Gontor.

Dari sini memang bisa di ambil kesimpulan bahwa Imam Zarkasyi

tidak terlalu radikal dalam mensikapi beberapa tradisi masyarakat Jawa

yang tradisional. Akan tetapi ia adalah seorang modernis, karena bisa

dilihat dari beberapa symbol kemodernan Gontor seperti bentuk mimbar

masjid yang tidak menggunakan tongkat, sholat tarawih yang hanya

delapan raka’at, tidak adanya kegiatan ritual keagamaan yang bercorak

tradisional, seperti tahlilan, diba'an, yasinan, dan lain sebagainya. Para

santri Gontor juga tidak dianjurkan untuk mengunjungi makam kyai pendiri

pesantren modern itu, bahkan tidak pernah terlihat keluarga kyai yang

mengunjungi makam kyai Gontor, padahal letaknya sangat dekat dengan

asrama santri. Sementara kegiatan ini adalah salah satu kegiatan yang

dianjurkan oleh pesantren yang berbasis kaum tradisional. Memang bisa

saja alas an dari sikap di atas adalah untuk menghindari adanya

pengkultusan individu terhadap sang kyai yang sudah meninggal, akan

tetapi bisa juga dinilai sebagai salah satu bukti bahwa orientasi ideology

keluarga kyai Gontor yang reformis-modernis bahkan puritanis, karena anti

ziarah kubur.

58

Page 60: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Modernisme Gontor juga terlihat dalam beberapa kegiatan ekstra

para santri dan dalam penggunaan pakaian para santrinya. Dalam kegiatan

ekstra ditemukan kegiatan bela diri yaitu pencak silat, yang dalam hal ini

Gontor berkiblat kepada Tapak Suci, sebuah perguruan silat yang berada di

bawah nauangan kelompok modernis. Dalam melaksanakan kegiatannya,

santri Gontor dituntut untuk selalu tepat waktu, sehingga sudah menjadi

pemandangan yang biasa di Pondok Gontor beberapa santri yang harus lari

terburu-buru guna mengejar waktu. Hal ini diharapkan santri Gontor benar-

benar menghormati waktu. Efek daripada disiplin ini adalah santri Gontor

menjadi militant, sehingga wajar jika ditemukan beberapa santri Gontor

yang menjadi militant secara ideology. Dalam berpakaian para santri

diwajibkan untuk berdasi dalam beberapa kegiatan tertentu, seperti

muhadarah (latihan berpidato), dan tidak selalu memakai sarung. Sarung

hanya digunakan ketika sholat berjama'ah.

Di lingkungan Pondok sering ditemukan rekaman-rekaman atau

tulisan-tulisan yang mengarah pada ajakan jihad, melawan penjajah dan

orang non-muslim, sehingga dalam beberapa kali kegiatan latihan berpidato

didengar teriakan, bunuh Soeharto, hancurkan kaum Yahudi, lawan orang

Kristen dan lain sebagainya. Teriakan-teriakan itu juga direalisasikan

melalui kegiatan perkemahan Kamis-Jum'at (PERKAJUM) di beberapa

tempat yang meruapakan basis kristenisasi.

Dari beberapa kegaitan ekstra tersebut, tidak jarang santri Gontor

yang termotivasi untuk bersikap radikal dalam orientasi keberagamaannya,

terutama terhadap non-muslim. Dan hal itu terbukti dari beberapa

alumninya yang masuk dalam keanggotaan kelompok militant Islam seperti

FPI, dan lain sebagainya.

Ada cerita lucu, bahwa pada saat terjadinya konflik di Ambon, ada

seorang alumni yang telah menjadi anggota FPI ikut berangkat ke Ambon

untuk membantu umat Islam yang sedang berperang melawan orang Kristen

59

Page 61: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

di sana. Setelah ia menembaki beberapa orang Kristen, tiba-tiba ada

sweeping dari pihak militer Indonesia, dan menangkap alumni Gontor yang

disebutkan tadi. Ternyata ketika ia ditangkap oleh salah seorang anggota

militer, ia terkejut karena yang menangkapnya adalah kawan sekelas

semasa di Gontor, yang kini telah menjadi anggota ABRI.

C. Ideologi Perekat Umat Pondok Modern Gontor

Salah satu faktor kemunculan ide perekat umat di Gontor adalah

situasi politik di Indonesia yang sangat berpengaruh pada bidang

pendidikan, di mana masing-masing partai politik membangung lembaga

pendidikan untuk dijadikan sebagai media dakwah kepentingan politiknya,

sehingga di dalam salah satu materi yang diajarkan di lembaga pendidikan

itu adalah materi-materi politik yang cenderung menekankan pada sikap

fanatic terhadap salah satu golongan tertentu. Dari situlah Gontor

terinspirasi untuk menjadi lembaga pendidikan yang netral, terbebas dari

kepentingan golongan atau partai politik tertentu dengan semboyan berdiri

di atas dan untuk semua golongan.146Semboyan inilah pijakan utama dari

ideologi perekat umat yang dikomandangkan oleh Gontor.

Ada lima kata kunci untuk membentuk ideologi perekat umat di

Pondok Modern Gontor, sebagaimana yang diajarkan kepada para

santrinya; kesederhanaan dalam berpikir, ukhuwwah Islâmiyyah,

kebebasan, akhlak mulia (noble character; akhlaq karimah), pengetahuan

yang luas, tidak terpola secara jumûd.

Dalam kesederhanaan (At-tawassut), terkandung arti anti radikalisme

dan liberalisme (al-ifrât dan at-tafrît) dalam bersikap, dalam ukhuwwah

Islâmiyyah (Islamic brotherhood), berarti anti ta'assub (fanatik) golongan,

keturunan atau suku dan lainnya, sedangkan pada unsur kebebasan (al-

146 Nurhadi Ihsan, Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Ponorogo: Darussalam Press, 2004), 14.

60

Page 62: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

hurriyyah; freedom), berarti anti keterikatan dan kesempitan berpikir,

berekspresi atau bergerak, feodalisme dan lain-lain. Dalam akhlak mulia

(noble character; akhlaq karimah) dan pengetahuan yang luas, ada modal

besar untuk melakukan ijtihad dan tajdîd (pembaruan) sehingga terwujud

prestasi-prestasi baru, inovasi, kreasi dan kreatifitas berpikir dan terhindar

dari taklid, pengikutan tanpa penggunaan daya nalar yang tinggi.

Kebebasan berpikir tidak dipahami dengan kebebasan tanpa batas norma-

norma dan kaidah umum agama Islam.

Makna perekat umat yang dimaksudkan oleh Pesantren Gontor di

tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia yang plural bisa kita baca dari

wasiat terakhir yang diberikan kepada para santri yang telah tamat sebelum

mereka meninggalkan Pesantren Gontor, yaitu yang berbunyi:

"Jadilah anak-anakku perekat umat. Ketika sedang berada di tengah-

tengah masyarakat, hendaknya anak-anakku pandai meletakkan,

menyelaraskan, menyesuaikan serta membawa diri. Anak-anakku

kalau menghendaki, masuklah partai yang kamu senangi, tetapi

hendaklah selalu hati-hati dalam makmum atau kalau menjadi imam

partai, baca tokoh-tokoh partai Islam. Jangan sampai keblinger,

jangan buta, jangan meninggalkan prinsip dan jangan kehilangan

prinsip ridallah lii'lai kalimatillah. Maka jadilah anak-anakku orang

yang berprinsip. Bahayanya masuk partai, kalau imamnya larut,

makmumnya tetap nurut, imamnya batal, makmumnya tidak mau

kenal. Apa yang tinggal? Maka kenalilah benar-benar siapa kawan,

siapa lawan, dan ke mana arah tujuan, mana prinsip yang dijadikan

pedoman. Dunia tahu, masyarakat pun melihat segala tingkah laku,

budi pekerti dan mentalitas imam-imam partai, yang seringkali

memalukan ulama umum di muka lain agama dan atheis. Mereka

tertawa menghina, sedang yang ditertawakan tidak merasa. Maka

jangan sekali-kali khianat karena partai. Hati-hati, jangan sampai

61

Page 63: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

menjadi orang yang khatamallahu 'ala qulubihim, berani kafir,

ngumbar nafsu angkara murka. Tidak kenal batas, tidak tahu arah,

lupa tujuan, hilang prinsip. Masalah khilafiah, furu'iyah sudah

dibahas sejak 500 sampai 1000 tahun yang lalu dan tidak akan ada

habisnya. Kalau anak-anakku masih juga membesar-besarkan,

menghebohkan masalah tersebut, berarti ketinggalan zaman 10

abad.147"

Dari pesan itu bisa kita pahami, bahwa makna perekat umat yang

diinginkan Gontor adalah masuk ke golongan mana saja, sehingga alumni

Gontor bisa ada di mana-mana, meskipun Gontor tidak ke mana-mana,

dengan tetap bersikap tasamuh. Tidak terlalu fanatic terhadap kelompok

tertentu yang bisa menimbulkan perpecahan umat Islam.

Untuk menjadi perekat umat, pendidikan di Pondok Modern Gontor

tidak berorientasi dan berafiliasi kepada parta-partai politik, termasuk tidak

memihak pada salah satu organisasi masa dan golongan. Berarti

mempunyai visi kenetralan dan berusaha menjadi perekat umat. Oleh sebab

itu daya dan sikap tenggang rasa (tasâmuh; tolerance) selalu ditanamkan

pada anak didik, demikian juga daya dan sikap kerjasama (ta_âwun;

cooperative). Kedua hal itu adalah modal besar untuk membangun

persatuan dan kesatuan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka untuk mendukung terealisasikannya cita-cita Gontor menjadi

perekat umat, sejak dini Pondok Modern Gontor membekali anak didiknya

dengan berbagai materi pelajaran, yang telah disusun sedemikian rupa, guna

membekali santrinya agar bisa berkiprah sebagai perekat umat di tengah

masyarakat dengan baik. Di antaranya adalah dengan membekali pelajaran

fiqh dari kelas satu sampai kelas empat yang mengacu pada madzhab yang

dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu madzhab syafi'i.

147 Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Darussalam Press, t.t.), 21-22.

62

Page 64: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Pengajaran fiqh madzhab syafi'I itu dimaksudkan agar jika sewaktu-waktu

santri kembali ke masyarakatnya mereka telah memiliki dasar ilmu yang

lazim bagi seorang muslim Indonesia, sekaligus merupakan bahan untuk

memasuki jenjang berikutnya. Selain itu, di Gontor juga digunakan Kitab

Bulugh al Marom, sebuah kitab fiqh yang dipakai sebagai bahan ajar di

pesantren modern dan tradisional, sehingga santri Gontor tidak asing

dengan kitab yang mampu berada di dua lingkungan tersebut.

Selanjutnya, di kelas lima dan enam, santri dibekali materi fiqh

dengan cara pendekatan kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid,

di mana kitab ini mengetengahkan hukum fiqh dari berbagai pendapat

madzhab, dengan harapan santri Gontor dapat menyikapi berbagai pesoalan

di masyarakat dengan penuh kebijaksanaan, bahwa satu permasalahan akan

selalu memiliki berbagai dimensi pengertian, belum lagi jika dikaitkan

dengan berbagai latar belakang pihak-pihak yang terkait di dalam

permasalahan itu.

Slogan yang diangkat oleh PM dalam hal ini antara lain : Jadilah

perekat ummat, Gontor diatas dan untuk semua golongan, Gontor bukan

NU dan bukan Muhammadiyah; dua sisi corak yang seolah paradoksal itu

menjadi ciri khas PM. Maka prinsip yang dipegang adalah nata_âwan fî-mâ

nattafiq natasâmah fî-mâ nakhtalif. Ibâdah talabu al ‘ilmi lillâh, tujuan

inilah yang perlu diutamakan dalam pendidikan di pesantren. Layaknya

sebuah lembaga pendidikan maka misi dan visi pesantren adalah keilmuan

dan pengembangan intelektualitas yang dikemas dalam nilai-nilai keislaman

yang utama. Pesantren harus berusaha merekayasa diri menjadi pusat

keilmuan dan pengembangan intelektualitas. Etos ilmiah selalu mewarnai

dinamika pesantren. Dalam bahasa Al-Quran disebut dengan tafaqquh fî al-

dîn.148

148 lihat QS. At-Taubah : 122.

63

Page 65: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Bekal lain yang diberikan Gontor kepada santrinya adalah tercermin

dalam jenis kegiatan dan aktivitas santri di dalam asrama. Di antaranya

santri Gontor dilarang berkumpul dengan teman satu daerah lebih dari tiga

orang. Sejak dini ditanamkan kepada santri untuk tidak fanatic

kedaerahan/kesukuan dan lebih ditekankan pada wawasan ukhuwah

islamiyah dan wawasan nasional secara khusus.

Dalam satu kamar tempat tinggal santri, tidak diperbolehkan hanya

terdiri dari satu suku saja. Orang Jawa harus mengenal dan berteman

denagn baik dengan suku Banjar, Betawi, Bugis, Sunda, dan lain

sebagainya.

Maka dengan prediket sebagai perekat umat, santri Gontor

diharapkan mampu memberika warna kepada masyarakat, memiliki sikap

menyatukan, menciptakan keharmonisan serta kebersamaan di kalangan

umat Islam.

Akan tetapi, untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai

centelan organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati” oleh sebagian

masyarakat muslim Indonesia. Dalam kesadaran intern umat Islam, label

Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum memberi makna

sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas, dan kenyataan

sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga wajar sekali, jika

pengelompokan itu terus berkembang, dan semakin bertambah jumlahnya

hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.

Maka, untuk mewujudkan impiannya sebagai perekat umat, alumni

Gontor akan dihadapkan pada kekuatan masyarakat itu, yang secara

psikologis akan mempengaruhi kepribadiannya, sehingga bisa terjadi

beberapa kemungkinan: Pertama, bersikap statis dan kaku (fundamentalis).

Hasilnya, kehadiran alumni Gontor tadi tidak memberikan warna positif,

64

Page 66: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

bahkan hanya menambah jumlah bilangan kelompok di dalam masyarakat.

Kedua, bersikap aktif, akan tetapi terkesan advanturer (radikal).

Kemungkinan ini bisa terjadi apabila seorang alumni tadi terlalu

merasa yakin dengan dirinya dan segala apa yang dimilikinya. Dimana ia

menganggap bahwa semua masyarakat adalah mundur dan harus digarap

dengan cara apapun. Apalagi jiwa kepemudaan seorang alumni Gontor

yang masih berusia belasan tahun (setingkat tamatan SMU), apalagi materi

tauhid yang diajarkan di Gontor, adalah versi Ibn Taymiyyah, figur dari

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokoh gerakan Ortodoksi Islam di Najd

(Wahhabiyyah), belum lagi pengaruh disiplin yang diterapkan di Gontor

sangat tinggi.

Ketiga, bersikap aktif dan tidak berkepribadian (plin-plan).

Artinya ia sangat tendensius untuk masuk ke dalam organisasi

tersebut, sehingga tenggelam kedalam sikap fanatik yang berlebihan, dan

bisa juga tidak berpindah-pindah dari satu golongan ke golongan lain,

sesuai dengan jumlah materi yang didapatkan, sehingga ia terkesn sebagai

orang liberalis, dan materialistis. Dengan demikian, prediket perekat umat

akan tertanggalkan, baik secara drastis, ataupun evolusif. Sikap seperti ini

sangat besar kemungkinannya untuk terjadi, sebab kondisi sosiologis

masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi psikologi alumni Gontor.

Latane (1981) dalam teori dampak sosial terhadap psikologi

sesorang menyebutkan, bahwa seseorang yang sedang hidup bermasyarakat,

akan ditekan oleh masyarakatnya untuk menentukan diantara dua pilihan;

tetap bergabung dengan kelompok itu dengan mengikuti arus, atau keluar

dengan melawan arus. Maka menurut Festinger (1950) dan Dicner (1980),

jika sesorang memiliki tujuan dan kebutuhan yang bisa diperoleh dari

masyarakatnya tadi, ia akan memilih untuk menetap dengan mengikuti arus.

Dengan demikian, orang tadi akan mengalami de-individu, di mana

65

Page 67: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

identitas pribadi digantikan oleh suatu identitas dengan tujuan dan tindakan

kelompok.

Dengan demikian, jika yang diinginkan oleh Gontor dari ide tentang

perekat umat adalah memberikan warna kepada masyarakat, tantangan

terbesar yang dihadapi seorang alumni Gontor dalam memposisikan dirinya

sebagai perekat umat adalah usia yang relatif muda alumni Gontor untuk

dihadapkan dengan besarnya amanat, dan kuatnya daya pengaruh

masyarakat itu sendiri. Apalagi ditengah-tengah masyarakat yang, secara

sosiologis, telah terjadi pengelompokan sesuai dengan bidang profesi, yang

tentunya akan sangat berpengaruh dalam sikap keberagamaan seseorang;

antara tradisionalis dan modernis, antara fundamentalis dan liberalis. Maka

resikonya adalah, seorang alumni tadi seringkali akan larut, bisa ke dalam

kelompok Muslim fundamentalis atau liberalis, tradisionalis atau modernis,

dan, kalau sudah begitu, ia akan menjadi manusia pasif, statis, dan nerimo,

dan faktor inilah yang menjadikan banyak alumni Gontor “ada dimana-

mana, dan mungkin juga akan kemana-mana”.

Maka perekat umat yang dikumandangkan oleh Gontor bisa efektif

jika para santrinya jika telah tamat, diharapkan untuk kembali kepada

lingkungannya semula. Yang tadinya berasal dari Muhammadiyah,

dipersilahkan kembali untuk menjadi Muhammadiyah. Yang tadinya

berasal dari NU dipersilahkan untuk kembali menjadi NU. Hanya saja tidak

boleh menjadi orang yang buta dalam masalah khilafiyah.

D. Ideologi Pondok Modern Gontor

Jika telah diuraikan di atas, beberapa hal yang berkaitan dengan

Gontor termasuk ideology perekat umatnya, lalu di mana Gontor secara

ideologis?

66

Page 68: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Imam Zarkasyi, salah satu pimpinan Pondok Modern Gontor

mengatakan bahwa kata modern yang digunakan oleh Gontor hanyalah

merujuk pada metode-metode pengajarannya saja, bukan pada apa yang

diajarkan, yakni Islam murni seperti dahulu kala.

Memang di Gontor terdapat banyak orang NU seperti Idham Chalid,

sekarang Hasyim Muzdi, tapi di Gontor juga banyak orang

Muhammadiyah, sekarang ada Din Syamsuddin.

Sebagian orang mengatakan bahwa Imam Zarkasyi secara pribadi

adalah Muhammadiyah. Pemikiran semacam ini muncul karena tidak

pernah terlihat Imam Zarkasyi melakukan amalan yang dilakukan oleh

orang NU. Ketika Ahmad Sahal, salah satu pendiri Pondok Gontor,

meninggal, Imam Zarkasyi tidak mengadakan tahlilan, baik ketiak hari

pertama, ketiga, ketujuh ataupun kesekian hari dari wafatnya. Sholat

tarawih juga ala orang-orang Muhammadiyah, yaitu delapan raka'at. Akan

tetapi ia juga tidak anti dengan do'a qunut, yang menurut sebagian orang

adalah sebagai ciri orang NU, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya

Pelajaran Fiqh Jilid I.149

Tapi, jika dilihat dari beberapa pola pikir dalam bidang pendidikan,

teologi, dan praktek ibadah yang diajarkan di Gontor, tidak salah jika para

alumninya ketika terjun di masyarakat, untuk berafiliasi dengan kelompok-

kelompok yang berbasis kaum modernis sangat besar. Maka sangat

berasalan jika banyak orang menduga bahwa Gontor lebih dekat kepada

kelompok modernis seperti Muhammadiyah, apalagi putra-putri Imam

Zarkasyi banyak disekolahkan ke lembaga pendidikan yang dibina oleh

Muhammadiyah. Meskipun pemilihan ini lebih didasarkan pada kemajuan

sistem pendidikan Muhammadiyah daripada sistem pendidikan yang ada

dalam organisasi kaum tradisional, yaitu NU. Tapi paling tidak pendidikan

149 Muslich, "K.H. Imam Zarkasyi yang saya kenal, saya kagumi, dan saya jadikan guru" dalam K.H. Imam Zakasyi di Mata Umat (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 666-671.

67

Page 69: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

sangat mempengaruhi hasil pemikiran seseorang, sehingga penulis tetap

menilai bahwa pemilihan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai

tempat studi bagi putra-putrinya adalah simbol daripada kemodernan

pemikiran Imam Zarkasyi dalam bidang keagamaan.

Modernisme Gontor yang muncul dari pemikiran dan gagasan Imam

Zarkasyi itu tidak lepas dari kritikan masyarakat sekitar, karena pesantren

ini terletak di tengah-tengah setting sosial masyarakat Islam Jawa yang

terkenal sebagai basis kaum tradisionalis di Indonesia. Maka agar Gontor

dan alumninya bisa diterima di tengah-tengah masyarakat Islam di Jawa,

Imam Zarkasyi tetap mempertahankan ide-ide pemikiran kaum

tradisionalis. Artinya, sebagai ulama modern yang hidup di tengah-tengah

masyarakat Islam Jawa ia berusaha untuk tetap mempertahankan pemikiran

kaum tradisionalis, karena modernisme di Jawa masih sulit untuk diterima

oleh masyarakatnya pada abad ke-20 an itu, mungkin juga sampai sekarang.

Maka materi fiqh yang digunakan di pesantren ini tidak merujuk

pada salah satu tokoh pembaharu seperti Ahmad bin Hanbal seperti yang

terjadi di beberapa pusat pembaharuan Islam lainnya, akan tetapi dengan

menggunakan fiqh Imam Syafi’i, karena mayoritas masyarakat Indonesia

adalah penganut madzhab Syafi’i. Imam Sayafi’i adalah tokoh yang

menghormati rasionalitas dalam penetapan hukum Islam dengan ushul

fiqhnya, sehingga tidak bertentangan dengan modernisasi yang akan

dilakukan oleh Gontor dalam bidang pemikiran, termasuk fiqh.

Pada tingkat berikutnya, materi fiqh merujuk kepada Kitab Bulughu

al Marâm, sebuah kitab yang disukai oleh kalangan tradisionalis karena

tokoh pengarangnya, dan disukai oleh kalangan modernis karena

sistematikannya, sehingga buku ini diajarkan di pesantren modern dan salaf

(tradisional). Setelah itu para santrinya diajarkan Kitab Bidâyah al Mujtahid

wa Nihâyah al Muqtasid karya Ibnu Rushd, sebuah kitab fiqh yang

menggunakan metode komparasi. Tentunya dengan penggunaan kitab ini,

68

Page 70: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

para santri dilatih untuk menentukan pilihannya di tengah-tengah

banyaknya pilihan. Dan hal ini sebagai modal dasar dalam melatih kejelihan

seseorang melalui kekuatan rasionalitasnya. Maka slogan yang diangkat

oleh PM dalam hal ini antara lain: Jadilah perekat umat, Gontor di atas dan

untuk semua golongan, Gontor bukan NU dan bukan Muhammadiyah; dua

sisi corak yang seolah paradoksal itu menjadi ciri khas PM. Prinsip yang

dipegang adalah nata’âwan fî mâ nattafiq natasâmah fî mâ nakhtalif.150

Selain itu, sikap Imam Zarkasyi untuk tetap mempertahankan tradisi

ajaran kaum tradisionalis adalah penggunaan qunut dalam sholat subuh, jika

tidak dilakukan harus diganti dengan sujud sahwi, meskipun Imam Zarkasyi

juga tetap membolehkan santrinya untuk tidak menggunakan qunut dalam

sholat subuhnya. Selain dari materi fiqh, Imam Zarkasyi juga

mempertahanakn penggunaan simbol-simbol kaum tradisional, seperti

bedug dan kentongan di dalam masjid, kemudian pembacaan pujian di

antara adzan dan iqamah, serta pembacaan wirid setelah sholat dengan cara

jahr.151

Hal ini ia lakukan karena hidupnya yang berada di tengah-tengah

masyarakat Jawa yang tradisional, sehingga ia harus melunak, tidak terlalu

ekstrim dalam menolak paham kaum tradisional. Di samping itu ia juga

memiliki keinginan untuk mencetak ulama yang perekat umat, sehingga

pemikiran fiqhnya itu hanya karena niat untuk pendidikan, sehingga dengan

begitu Gontor tetap dinilai oleh orang luar sebagai pesantren yang tidak NU

dan tidak Muhammadiyah, dan pada akhirnya para santrinya bisa diterima

oleh semua pihak.152

Dugaan penulis akan hal di atas karena Imam Zarkasyi tidak pernah

memperlihatkan beberapa amalan kaum tradisionalis di depan santrinya,

150 lihat QS. At-Taubah : 122.151 Baca Imam Zarkasyi, Pelajaran Fiqh (Gontor: Percetakan Trimurti) jilid I dan II.152 Dari tinjauan politik dagang -bukan maksud penulis untuk melecehkan Gontor-, sikap ini bisa membantu Gontor untuk menjadi best seller di dalam bersaing dengan pesantren lain.

69

Page 71: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

sehingga kuat dugaan jika memang sikapnya untuk mempertahankan

beberapa ide kaum tradisionalis di pesantren yang ia rintis hanya berkisar

pada wacana atau pemikiran yang mungkin ia sendiri tidak

mengamalkannya.

Maka materi-materi tradisionalis yang masih tetap dipertahankan dan

melekat pada jiwa Gontor, “mungkin” dilakukan karena melihat kondisi

sosiologis umat Islam Indonesia yang mayoritas adalah kaum tradisionalis,

apalagi Gontor adalah Pesantren yang letaknya di Jawa, sehingga, dengan

begitu, ide perekat umat bisa dengan mudah direalisasikan oleh Gontor.153

Tentunya, pilihan ini juga akan memudahkan alumni Gontor di

dalam merealisasikan idenya sebagai perekat umat, agar bisa kemana-mana,

dan ada di mana-mana. Jika hal ini benar, maka arti dari perekat umat yang

diinginkan oleh Gontor adalah masuk ke dalam kelompok-kelompok Islam

yang ada di Indonesia, dengan harapan mampu memberikan warna atau

pengaruhnya agar tidak terjadi pertikaian antara satu dengan yang lainnya.

Mungkin sangat jeli jika Nurcholish Madjid menilai bahwa ideologi

Gontor adalah Islam Padang-Jawa, yaitu perpaduan antara Islam modernis

dan tradisionalis. Hal ini dikaitkan dengan tokoh atau figur sentral dari

Pesantren Gontor, K.H. Imam Zarkasyi. Sehingga nampak sekali Islam di

Gontor tampil sebagai sesuatu yang dinamis dan dipahami secara

konotatif.154 Atau juga bisa dikatakan bahwa Imam Zarkasyi, yang secara

ideologis sangat mewarnai Gontor adalah Islam MUNU (Muhammadiyah-

NU), jika kita menggunakan kategorisasi Munir Mulkhan dalam bukunya

Islam Murni dalam Masyarakat Petani atau bisa jadi Gontor memiliki

ideology tersendiri yang sangat unik, tidak tradisional tidak juga modernis,

yang bisa disebut dengan istilah Islam Gontory. Tapi pemetaan dengan

153 Dari tinjauan politik dagang -bukan maksud penulis untuk melecehkan Gontor-, sikap ini bisa membantu Gontor untuk menjadi best seller di dalam bersaing dengan pesantren lain. (ini sekedar lelucon)154 Nurcholish Madjid, "K.H. Imam Zarkasyi; Peran dan Ketokohannya" dalam K. H. Imam Zarkasyi, 970.

70

Page 72: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

menggunakan model tradisional dan modernis di atas dimaksudkan agar

mudah dalam mengkategorikan corak keagamaan santri Gontor. Sebab

dengan menggunakan pembagian di atas merupakan ideal type (tipe ideal)

dalam mengklasifikasikan sebuah masyarakat tertentu dari sisi ideologis,

karena tanpa menggunakan istilah-istilah di atas akan terasa sulit

memasukkan Gontor ke dalam kategori yang mana, sehingga akan terjebak

ke dalam kesimpulan adanya ideology Gontory, atau Islam Gontory.

Bab IV

Kesimpulan

1. Dalam memerankan posisinya sebagai ulama, kyai memiliki

karakteristik yang beragam, yang sangat dipengaruhi oleh latar

belakang dan taraf pendidikan yang dilalui oleh kyai yang

bersangkutan.

2. Imam Zarkasyi adalah salah satu ulama modernis yang hidup di

tengah-tengah setting sosial masyarakat Jawa yang secara

keagamaan bersifat kultural. Kemodernan Imam Zarkasyi adalah

dalam bidang pendidikan, teologi dan fiqh. Hanya saja Imam

Zarkasyi memiliki toleransi yang sangat tinggi dalam bidang fiqh.

3. Dalam melakukan dakwahnya sebagai seorang ulama, kyai yang

hidup di tengah-tengah setting sosial masyarakat Islam di Jawa pada

71

Page 73: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

abad ke-20 harus mau menerima beberapa pemikiran kaum

tradisionalis jika ingin tetap eksis dan diterima oleh masyarakat di

sekitarnya, dan hal ini harus dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi

dalam pesantren modernnya di Gontor. Artinya, sikap Imam

Zarkasyi untuk mendirikan pesantren yang tidak beraviliasi ke salah

satu organisasi tertentu adalah modal penting bagi pesantren yang

modern ini untuk tetap eksis di tengah-tengah komunitas Islam

tradisional.

4. Ulama pesantren memiliki peran lebih efektif di dalam menyebarkan

idenya kepada masyarakat muslim di Indonesia. Dengan

kemandirian ulama di dalam mengambangkan pesantrennya, di

bidang ekonomi, sistem pendidikan dan yang lainnya, sebagaimana

yang dilakukan Imam Zarkasyi, membuat ulama bisa berperan lebih

maksimal, karena tidak bergantung kepada pemerintah atau

kelompok tertentu. Tentunya hal ini bisa menjadi modal dasar bagi

tetap tegaknya seorang ulama yang disebut oleh al-Ghazali sebagai

ulama akhirat, atau ulama saleh dalam bahasa al-Muhasibi. Hal ini

pula yang merupakan akar kekuatan Imam Zarkasyi sebagai ulama

yang berpengaruh di zamannya.

5. Untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai centelan

organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati” oleh sebagian

masyarakat muslim Indonesia. Dalam kesadaran intern umat Islam,

label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum

memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara

luas, dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia.

Sehingga wajar sekali, jika pengelompokan itu terus berkembang,

dan semakin bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan

mungkin ratusan.

72

Page 74: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

6. Untuk mewujudkan impiannya sebagai perekat umat, alumni Gontor

akan dihadapkan pada kekuatan masyarakat itu, yang secara

psikologis akan mempengaruhi kepribadiannya, sehingga bisa

terjadi beberapa kemungkinan: Pertama, bersikap statis dan kaku

(fundamentalis). Hasilnya, kehadiran alumni Gontor tadi tidak

memberikan warna positif, bahkan hanya menambah jumlah

bilangan kelompok di dalam masyarakat. Kedua, bersikap aktif,

akan tetapi terkesan advanturer (radikal). Kemungkinan ini bisa

terjadi apabila seorang alumni tadi terlalu merasa yakin dengan

dirinya dan segala apa yang dimilikinya. Dimana ia menganggap

bahwa semua masyarakat adalah mundur dan harus digarap dengan

cara apapun. Apalagi jiwa kepemudaan seorang alumni Gontor yang

masih berusia belasan tahun (setingkat tamatan SMU), apalagi

materi tauhid yang diajarkan di Gontor, adalah versi Ibn Taymiyyah,

figur dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokoh gerakan

Ortodoksi Islam di Najd (Wahhabiyyah), belum lagi pengaruh

disiplin yang diterapkan di Gontor sangat tinggi. Ketiga, bersikap

aktif dan tidak berkepribadian (plin-plan). Artinya ia sangat

tendensius untuk masuk ke dalam organisasi tersebut, sehingga

tenggelam kedalam sikap fanatik yang berlebihan, dan bisa juga

tidak berpindah-pindah dari satu golongan ke golongan lain, sesuai

dengan jumlah materi yang didapatkan, sehingga ia terkesn sebagai

orang liberalis, dan materialistis. Dengan demikian, prediket perekat

umat akan tertanggalkan, baik secara drastis, ataupun evolusif. Sikap

seperti ini sangat besar kemungkinannya untuk terjadi, sebab kondisi

sosiologis masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi psikologi

alumni Gontor.

73

Page 75: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

7. Tantangan terbesar yang dihadapi seorang alumni Gontor dalam

memposisikan dirinya sebagai perekat umat adalah usia yang relatif

muda alumni Gontor untuk dihadapkan dengan besarnya amanat,

dan kuatnya daya pengaruh masyarakat itu sendiri. Apalagi

ditengah-tengah masyarakat yang, secara sosiologis, telah terjadi

pengelompokan sesuai dengan bidang profesi, yang tentunya akan

sangat berpengaruh dalam sikap keberagamaan seseorang; antara

tradisionalis dan modernis, antara fundamentalis dan liberalis. Maka

resikonya adalah, seorang alumni tadi seringkali akan larut, bisa ke

dalam kelompok Muslim fundamentalis atau liberalis, tradisionalis

atau modernis, dan, kalau sudah begitu, ia akan menjadi manusia

pasif, statis, dan nerimo, dan faktor inilah yang menjadikan banyak

alumni Gontor “ada dimana-mana, dan mungkin juga akan kemana-

mana”.

8. Penulis berpendapat bahwa Ideologi Pesantren Gontor adalah Islam

Padang-Jawa atau mungkin Islam MUNU (menurut istilah Munir

Mulkhan), atau memiliki ideology tersendiri yang sulit dimasukkan

ke dalam kategorisasi, hanya bisa disebut dengan Islam Gontor yang

tidak berideologi.

74

Page 76: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Daftar Pustaka

Ahmed, Akbar S. Post Modernism and Islam. London: Routledge, 1992.

Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali,

1988. Brown, Daniel. Rethinking Tradition in Modern Islamic

Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta:

Paramadina, 1995.

Arnold, Thomasn W. The Preaching of Islam. New Delhi: Low Price

Publications, 1995.

Azhar, Muhammad. Fiqh Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.

Azra, Azyumardi. Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan.

Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Bannerman, Patrick. Islam and Perspective: A Guide to islamic Society,

Politics and Law. London: Routledge, 1988.

75

Page 77: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Benda, Harry J. Continuity and Change in Southeast Asia. New Haven:

Yale University Southeast Asean Studies, 1972.

Brown, Daniel. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.

Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Burke, Peter. Popular Culture in Early Modern Europe. London: Maurice

Temple Smith, 1978.

Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat. Yogyakarta: LkiS, 1999.

Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Transformasi Pemikiran dan Praktik

Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Esposito, John L. ”Modernisme”, dalam Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam

Modern terj. Eva YN dkk. Bandung: Mizan, 2002.

Fay, Brian. Contemporary Philosophy of Social Science, (terj.) M. Muhith.

Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002.

Fealy, Greg. Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan

Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy. Yogyakarta;LKiS,

1997.

Geertz, Clifford. Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa.

Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.

Haidar, Ali. NU dan Islam di Indonesia. Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,

1994.

Hasan, Ahmad. The Doctrine of Ijma’ in Islam. Islamabad: Islamic

Research Institute, 1976.

Ihsan, Nurhadi. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Ponorogo:

Darussalam Press, 2004.

Jaenuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern. Surabaya:

LPAM, 2004.

_______. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002.

Kahin, George Mc. T. Nationalism and Revolution in Indonesia. Itacha:

Cornell University Press, 1952.

76

Page 78: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Koentjaraningrat (ed.) Masalah-masalah Pembangunan. Jakarta: LP3ES,

1982.

Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh.

Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik

Islam

Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.

Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 1992.

Mehden, Fred R. Von der. Islam and the Rise of Nationalism in Indonesia.

California: University of California, 1957.

Muhaimi. Islam dalam bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta:

Logor, 2001.

Murder, Niels. Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia. Yogyakarta: LKIS,

2001.

Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern World. London &

New York: Kegan Paul International, 1987.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:

LP3ES, 1980.

Rahman, Fazlur. “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,

dalam International Journal of Middle East Studies (1970), 317-

332.

Rahman, Fazlur. Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and

present Challenge. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979.

Sahal, Ahmad. Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok

Modern Gontor. Ponorogo: Darussalam Press, t.t.

Shepard, William. “Fundamentalism; Christian and Islamic, dalam

Religion, XVII (1987), 355-378.

Shils, Edward. Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1983.

77

Page 79: Ideologi Keagamaan Lembaga Pendidikan Modern

Siraj, Said Agil. Ahlussunnah wa al-Jamaah Dalam Lintas Sejarah.

Yogyakarta;LKPSM, 1997.

Tim Penyusun, K. H. Imam Zarkasyi,dari Gontor Merintis Pesantren

Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.

Watt W. Montgomery & R. Bell. Introduction to al Qur’an. Edinbrugh:

Edinbrugh University Press, 1990.

Watt, Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: Edinburg

University Press, 1985.

Webstar, Noah. Webstar new International Dictionary of the English

Language Unabridged. Massachusetts, USA: G&C, 1966.

Woordward, Mark R. Islam in Java; Normative Piety and Mysticisme in

The Sultanete of Jogyakarta. An Arbor: UMI, 1985.

Zarkasyi, Imam. Pelajaran Fiqh. Gontor: Percetakan Trimurti.

78