ICASERD WORKING PAPER No - Home - Pusat Sosial Ekonomi...

24
ICASERD WORKING PAPER No.41 DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA Supadi dan Sri Hery Susilowati Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Transcript of ICASERD WORKING PAPER No - Home - Pusat Sosial Ekonomi...

ICASERD WORKING PAPER No.41

DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA

Supadi dan Sri Hery Susilowati

Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No.41

DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA

Supadi dan Sri Hery Susilowati

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.039.41.2.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

1

DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA

Supadi dan Sri Hery SusilowatiPusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Agricultural Land Holding Dynamics in Indonesia. Agricultural lands are considered as a very strategic resources. During the period of 1983–1993, national percentage of agricultural land loss were up to 79,31 percent (from the total of the Indonesian agricultural land loss) just in Java Island (1,02 million hectare). The 68,30 percent of the total loss were came from wetlands. Agricultural land loss had reduced the average lands ownership and were increased the small farms proportion. The PATANAS survey results in the period of 1994–1998 shown that the average wetlands ownership were having the tendency to decrease. On the contrary to the increases of drylands ownership. The household participation in agricultural lands by the period of 1994–1998 had shown the increase, nevertheless the participation in the drylands ownership were decreased. By means of more economic pressure to the wetlands. There were indication shown that the level of economical inequalities are far more serious in Java. The result of the PATANAS survey held in five provinces in and outer Java shown that the ownership and the holding of land were become more inequal in every province. This wetlands ownerships distribution were more equal compared to the drylands ownership distribution. Wetlands gini ratio were around 0,48–0,83 and as for the drylands ownership were around 0,30–0,74. The land holding distribution were relatively more evenly distributed compared to the ownership by legal rights that had occurs.

Key words : land ownership, land holding, wetland, dryland

ABSTRAK

Lahan pertanian merupakan sumberdaya yang sangat strategis. Secara nasional selama periode 1983–1993, proporsi penyusutan lahan pertanian di Jawa mencapai 1,02 juta ha (79,31 persen dari total penyusutan lahan di Indonesia seluas 1,28 juta ha). Dari total penyusutan tersebut 68,30 persen adalah lahan sawah. Penyusutan lahan pertanian telah menurunkan rata-rata pemilikan lahan dan meningkatkan proporsi petani gurem. Hasil survey di lima provinsi PATANAS selama kurun waktu 1994–1998 menunjukkan rata-rata pemilikan lahan sawah cenderung menurun, sebaliknya pemilikan lahan kering mengalami peningkatan.Tingkat partisipasi rumah tangga pada pemilikan lahan tegalan mengalami penurunan. Namum peningkatan partisipasi rumah tangga pada lahan sawah diikuti oleh penurunan rata-rata luas pemilikan lahan sawah per rumah tangga, ini berarti tekanan ekonomi terhadap lahan sawah cukup berat. Terdapat indikasi kuat tingkat ketimpangan di Jawa lebih serius. Hasil penelitian di lima provinsi PATANAS yang dilakukan di Jawa dan Luar Jawa menunjukkan distribusi pemilikan dan penguasaan lahan semakin timpang di setiap provinsi. Distribusi pemilikan lahan sawah secara umum lebih timpang dibandingkan dengan distribusi pada lahan kering. Nilai rasio ginipada pemilikan lahan sawah berkisar 0,48–0,83, sedangkan pada pemilikan lahan kering bervariasi antara 0,30–0,74. Distribusi penguasaan garapan secara relatif lebih merata dibandingkan pemilikan, karena pengalihan hak penggarapan (sakap, sewa, gadai) telah berlangsung.

Kata kunci : pemilikan lahan, penguasaan lahan, lahan sawah, lahan kering

2

PENDAHULUAN

Lahan dibutuhkan oleh hampir semua aktivitas ekonomi, sehingga kelangkaannya

meningkat dengan pesat. Fakta membuktikan bahwa di antara berbagai jenis

sumberdaya, lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat strategis. Masalah lahan

mempunyai implikasi sosial ekonomi yang sangat luas dan penuh komplikasi. Derivasi

permasalahannya yang terkait dengan struktur penguasaan lahan tidak hanya

menyangkut permasalahan efisiensi produksi, tetapi juga aspek keadilan sosial

(Sumaryanto dan Rusastra, 1999).

Secara gradual, lahan pertanian produktif mengalami penyusutan sebagai

konsekuensi berkembangnya aktivitas sektor perekonomian nasional yang juga menuntut

ketersediaan lahan dan infrastruktur yang relatif memadai. Konflik antar sektor ekonomi

dalam penggunaan lahan masih terus berlangsung seiring dengan pelaksanaan proses

pembangunan, dan fenomena ini sementara menempatkan sektor pertanian pada posisi

yang relatif kurang menguntungkan (Sudaryanto, 1999).

Lahan pertanian subur makin terbatas karena tidak terkontrolnya alih fungsi lahan

pertanian. Sementara itu pewarisan dalam masyarakat cenderung ke arah fragmentasi

lahan, sehingga lahan yang terbatas itu dibagi-bagi dalam luasan yang sempit. Kondisi

ini menyebabkan ketimpangan penguasaan lahan masyarakat makin melebar, karena

lahan-lahan yang luasannya kecil cenderung terakumulasi pada beberapa petani kaya,

sehingga terjadi polarisasi. Secara umum, alih fungsi lahan berdampak negatif terhadap

petani kecil yang diindikasikan oleh luas pemilikan lahan yang menurun dan hanya

sebagian kecil petani yang dapat memanfaatkan kesempatan ekonomi yang muncul

dengan adanya alih fungsi lahan tersebut.

Lahan merupakan aset yang sangat penting bagi masyarakat perdesaan,

khususnya bagi desa-desa yang kegiatan produksinya bersifat “landbase”. Dengan

demikian tingkat dan distribusi pemilikan lahan seringkali dapat dijadikan gambaran

pemerataan faktor produksi sebagi sumber pendapatan dan sering pula sebagai indikator

tingkat kesejahteraan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya dapat mencerminkan

tingkat kesejahteraan yang sebenarnya. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan

bahwa luas pemilikan lahan berkorelasi positif dengan pendapatan rumah tangga (Wiradi

dan Manning, 1984; Soentoro, 1981 dan Sumaryanto, et al., 1994).

3

Fenomena yang selama ini terjadi menunjukkan bahwa pembangunan perdesaan

yang salah satunya ditandai dengan berkembangnya sektor non-pertanian umumnya

diikuti dengan meningkatnya permintaan terhadap aset produktif lahan. Kompetisi yang

meningkat dalam penggunaan lahan mengakibatkan realokasi lahan kepada bentuk

penggunaan lahan yang memberikan penerimaan tertinggi kepada aset lahan

(Nasoetion, 1984). Dengan meningkatnya laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan

lain, terutama di pedesaan yang lokasinya dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi,

mengakibatkan ketersediaan lahan pertanian semakin terbatas (Pakpahan, et al.,1993).

Kesemua ini mengakibatkan perubahan pola dan distribusi penguasaan lahan.

Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat aksesibilitas suatu wilayah, maka

distribusi pemilikan lahan akan semakin timpang. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi

lahan bahwa peningkatan aksesibilitas wilayah akan meningkatkan nilai ekonomi dari

lahan, dan pada gilirannya akan memicu terjadinya ketimpangan pemilikan dan

penguasaan lahan di wilayah tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa di samping

memberikan dampak positif, keterbukaan wilayah juga memberikan dampak negatif

terhadap distribusi penguasaan lahan.

Semakin sempitnya lahan pertanian sebagai akibat dari terus bertambahnya

jumlah lahan pertanian yang beralih fungsi, akan mengurangi jumlah garapan, dan pada

akhirnya akan berdampak pada berkurangnya lapangan kerja buruh tani. Secara umum,

alih fungsi lahan berdampak negatif terhadap petani kecil, yang diindikasikan oleh luas

pemilikan lahan yang menurun dan hanya sebagian kecil petani yang dapat

memanfaatkan ekonomi yang muncul dengan adanya alih fungsi lahan.

Di tengah perubahan struktur perekonomian seperti sekarang ini, studi tentang

struktur penguasaan lahan di perdesaan cukup penting, karena lahan bukan lagi sekedar

faktor produksi, tetapi telah berkembang sebagai komoditas, sehingga konflik-konflik

sosial yang terjadi semakin sering dan rumit. Lahan dibutuhkan oleh hampir semua

aktivitas ekonomi. Program pengembangan komoditas membutuhkan data dan informasi

tentang struktur penguasaan lahan agar implementasi program tidak mengalami

hambatan sosial ekonomi, karena sebagian besar proses produksi pertanian bersifat

landbase.

4

PERKEMBANGAN TATA GUNA LAHAN

Luas lahan daratan Indonesia sekitar 191.946.000 ha, Dari luasan tersebut luas

areal pertanian mencapai 45.033.671 ha, Perbandingan luas daratan dengan areal

pertanian yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Daratan Indonesia Dibandingkan dengan Areal Pertanian di Indonesia, 1998 (000ha)

WilayahLuas daratan

IndonesiaLuas areal pertanian Persentase terhadap

luas wilayah

1. Jawa 13.219 (6,89%) 8.773 (19,48%) 66,37%

2. Luar Jawa 178.727 (93,11%) 36.261 (80,52%) 20,29%

Indonesia 191.946 (100,00%) 45.034 (100,00%) 23,46%

Sumber : BPS, 1998

Berdasarkan angka-angka tersebut secara keseluruhan luas lahan yang telah

diusahakan sebenarnya relatif tidak luas, yaitu sekitar 45 juta ha (23,46 %). Yang

menjadi masalah bahwa lahan yang telah dimanfaatkan secara efektif tersebut tersebar

pada bagian-bagian wilayah subur. Hampir 70 persen pusat pemukiman penduduk dan

persawahan yang subur dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana pembangunan

pertanian di Jawa, terkonsentrasi pada ketinggian sekitar 25 mdpl kebawah (Suwarno,

1995).

Globalisasi ekonomi, transformasi struktur ekonomi serta meningkatnya

pendapatan masyarakat telah mendorong permintaan produk sektor sekunder

(manufaktur) dan tersier (jasa), seiring dengan itu peralihan penguasaan lahan melalui

jual beli yang diikuti dengan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian meningkat

pesat sejak Pelita IV. Dorongan tersebut juga didasari oleh kenyataan bahwa nilai

tambah non-pertanian per satuan luas pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan

usaha pertanian. Luas lahan pertanian di Jawa sudah menurun dengan laju 50.000 ha

per tahun untuk pembangunan perumahan, kawasan industri dan prasarana ekonomi.

Perluasan lahan pertanian di Jawa sudah tidak mungkin lagi. Masalah yang dihadapi

adalah bagaimana mengurangi laju penyusutan lahan pertanian di Jawa. Untuk Luar

Jawa peningkatan areal tanaman pangan juga berjalan sangat lambat, dengan laju

kurang dari satu persen per tahun, sedangkan laju peningkatan areal perkebunan di Luar

Jawa berjalan dengan laju sekitar 4,2 persen per tahun. Lahan penggembalaan atau

padang rumput baik di Jawa maupun Luar Jawa menyusut dengan laju 2,5 persen per

5

tahun (Tabel 2). Pengembangan prasarana irigasi dan peningkatan intensitas tanam

telah pula mengurangi ruang gerak bagi pengembangan ternak ruminansia besar.

Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Pertanian di Indonesia, 1980-1998.

Luas Areal Pertanian Menurut Wilayah & Tahun

Jawa (ha) Total Indonesia (ha)Penggunaan lahan1980 1998 1980 1998

1. Pemukinan 1.553.665 1.841.791 4.498.500 5.582.5462. Lahan Kering - Ladang/Huma - Tegalan dan Kebun

264.4902.657.674

242.3142.871.459

2.477.3247.388.267

3.247.2428.568.675

3. Padang Rumput 78.085 41.001 3.475.534 2.016.9724. Tambak 104.635 127.606 217.569 481.3765. Kolam Ikan dan Empang 37.224 37.837 199.307 168.3756. Perkebunan - Perkebunan Rakyat - Perkebunan Besar (Swasta & Negara)

237.809365.020

326.299312.573

6.645.4401.307.773

13.476.9842.986.586

7. Sawah 3.491.275 2.972.099 7.071.317 8.504.915

Total Penggunaan Lahan 8.789.877 8.772.979 33.281.031 45.033.671Total Lahan Pertanian (di luar pemukiman) 7.236.212 6.931.188 28.782.531 39.451.125

Sumber : BPS. Penggunaan Lahan di Jawa dan Luar Jawa 1980 dan 1998.

Indikator untuk mengetahui dinamika pembangunan pertanian adalah

perkembangan luas lahan pertanian. Informasi ini penting untuk mengantisipasi

kecukupan pangan nasional melalui perumusan strategi pengembangan lahan pertanian.

Luas lahan sawah seluruhnya 8.531.769 ha, dengan klasifikasi dapat ditanami padi satu

kali per tahun seluas 4.600.480 ha (54%) dan ditanami padi dua kali per tahun seluas

3.931.287 ha (46%). Sedangkan luas lahan kering 11.815.917 ha (Munandar, 1995).

Selama periode 1991–1998 perkembangan luas areal pertanian secara nasional

mengalami peningkatan. Namun luas areal hutan menurun (Tabel 3 dan Tabel 4).

Selama periode tersebut, lahan sawah beralih fungsi menjadi areal permukiman, industri,

jalan dan prasarana ekonomi lainnya, terutama di Jawa. Sebaliknya pada periode yang

sama, lahan sawah juga meningkat akibat perbaikan irigasi serta pencetakan sawah.

Lahan kering dan perkebunan semakin meluas dengan adanya alih fungsi lahan alang-

alang/belukar dan hutan. Alih fungsi lahan ke arah penggunaan yang lebih intensif selalu

berlangsung akibat adanya peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kualitas hidup

masyarakat. Dalam hal ini selain lahan pertanian yang berfungsi sebagai penyangga

pangan dan komoditas non-migas lainnya juga perlu diwaspadai alih fungsi lahan pada

lahan hutan yang berfungsi sebagai penyangga tata air dan agroklimat.

6

Tabel 3. Perkembangan Luas Lahan Sawah 1991-1998 di Indonesia, (juta ha)

Lahan Sawah 19911) 19982)

1. Berpengairan teknis 1,80 2,202. Setengah teknis dan pedesaan 2,60 2,603. Tadah hujan dan pasang surut 3,80 3,70Total 8,20 8,50

Sumber : 1) Direktorat Bina Teknik, Ditjen Pengairan (1995); dan 2) Kasryno, et al., (2000)

Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Lahan di Indonesia, 1991-1998, (juta ha)

Lahan 19911) 19982)

1. Perumahan/pemukiman 3,2 5,62. Sawah 8,2 8,53. Lahan Kering 10,1 11,84. Perkebunan 11,3 16,55. Hutan 130,1 121,4

Sumber : 1) Suwarno (1995); dan 2) Kasryno, et al., (2000)

Permasalahan sumberdaya lahan dan kaitannya dengan permasalahan

pembangunan pertanian tanaman pangan menurut Munandar (1995) antara lain :

a. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian potensial ke lahan non-pertanian (untuk keper-

luan industri, perumahan, wisata/olahraga, prasarana jalan dan sebagainya). Alih

fungsi lahan pertanian yang potensial menjadi lahan non-pertanian tersebut

mencapai sekitar 50.000 ha per tahun, termasuk untuk Pulau Jawa, mencapai

30.000 – 40.000 ha per tahun.

b. Di berbagai daerah, pemanfaatan lahan pertanian belum optimal. Hal ini dapat dilihat

dari masih banyaknya lahan-lahan potensial yang tidak diusahakan (sleeping land),

serta rendahnya intensitas tanam pada lahan sawah yang diusahakan. Luas lahan

yang sementara tidak diusahakan mencapai 8.211.314 ha yang terdiri dari lahan

sawah 807.168 ha, dan lahan kering 7.404,14 ha (BPS, 1992).

c. Menurunnya daya dukung lahan akibat adanya pengelolaan yang kurang tepat dan

sumberdaya lahan yang kualitasnya rendah.

d. Makin meningkatnya permintaan air untuk keperluan industri, rumah tangga,

pariwisata, perikanan, peternakan dan sebagainya, mengurangi ketersediaan air

untuk keperluan irigasi tanaman pangan.

e. Pola usahatani yang cenderung sempit dan tersebar. Sebagian besar petani,

terutama di Jawa berlahan sempit dengan pola usahatani tersebar. Kondisi ini

7

berpengaruh terhadap efisiensi usahatani, kualitas produksi dan pemasaran

hasilnya.

PERGESERAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN

Dalam proses pembangunan, kecenderungan memilih sektor-sektor kegiatan

yang mampu memberikan economic rent paling tinggi merupakan suatu hal yang logis.

Namun demikian, terkonsentrasinya penduduk Indonesia yang hidup dan bekerja di

sektor pertanian harus merupakan pijakan utama dalam kebijakan pembangunan

nasional. Program perluasan areal sawah di Luar Jawa merupakan salah satu kebijakan

pemerintah dalam upaya mengkompensasi penyusutan lahan pertanian produktif di

Jawa. Namun upaya tersebut dipandang kurang efektif dan sangat lambat, karena

berbagai kendala teknis dan non teknis yang relatif berat untuk diatasi. Kapasitas

produksi dan produktivitas pertanian nasional terus mengalami penurunan seiring

dengan kepemilikan lahan pertanian oleh petani yang semakin sempit.

Lahan produktif merupakan aset yang penting dalam pembangunan pertanian.

Namun dengan adanya pilihan terbuka (globalisasi) bagi para investor untuk

menanamkan modalnya, maka alih fungsi lahan pertanian pada daerah dengan

aksesibilitas tinggi dan infrastruktur yang baik tidak dapat dihindarkan. Menyusutnya

lahan pertanian pada daerah semacam ini akan membutuhkan reorientasi visi

pembangunan, di samping langkah-langkah strategis dalam mencegah meluasnya alih

fungsi lahan pertanian produktif.

Dalam periode 10 tahun (1983–1993) total penyusutan lahan pertanian (tidak

termasuk perkebunan besar) di Indonesia mencapai 1,28 juta ha (Tabel 5). Dari Tabel 5

terlihat proporsi penyusutan lahan di Jawa mencapai 1,02 juta ha (79,3%). Di Luar Jawa,

daerah yang mengalami penyusutan lahan terdiri dari 8 provinsi, sedangkan provinsi

lainnya (13 provinsi) mengalami peningkatan areal. Dari total penyusutan lahan secara

nasional ternyata 68,3 persen adalah lahan sawah (Statistik 50 Tahun Indonesia

Merdeka, BPS).

Penyusutan lahan pertanian menjadi isu sentral, karena sebagian besar terjadi di

Jawa yang merupakan produsen lebih dari 60 persen produksi pangan nasional.

Produktivitas padi di Jawa pada tahun 1993 mencapai 5,13 ton/ha. Sementara rata-rata

produktivitas nasional 4,38 ton/ha. Dengan demikian, alih fungsi lahan yang besar di

8

Jawa akan membawa dampak yang serius terhadap persediaan pangan nasional

(Rusastra, et al., 1997).

Tabel 5. Perubahan Luas Pemilikan Lahan Berdasarkan Wilayah (Jawa dan Luar Jawa), 1983-1993, (ha).

Wilayah SP 1983 SP 1993 Perubahan (%)1. Jawa 5.422.449 4.407.029 - 1.015.420

(79,31)2. Luar Jawa 11.281.823 11.016.976 - 264.487

(20,69) Indonesia 16.704.272 15.424.005 - 1.280.267

(100)Sumber : BPS (SP 1983 dan SP 1993) (diolah)

Diakui bahwa dengan adanya penyusutan lahan, kesempatan kerja non-pertanian

meningkat, tetapi penduduk perdesaan setempat yang dapat memanfaatkan hanya

sebagian kecil saja. Sementara itu pada saat yang bersamaan, jumlah rumah tangga

yang tidak memiliki sawah meningkat dan rata-rata pemilikan lahan cenderung

menyempit, sehingga kesempatan kerja di usahatani dengan sendirinya berkurang, yang

didukung oleh kenyataan menurunnya pangsa curahan kerja dan pendapatan di sektor

pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Susilowati, et al., 2001).

Penyusutan lahan akan cenderung menurunkan rata-rata pemilikan lahan dan

meningkatkan proporsi petani gurem. Di Jawa, dengan tingkat penyusutan yang cukup

besar, dalam periode 10 tahun (1983–1993) terdapat penurunan rata-rata pemilikan

lahan yang cukup tinggi (21,82 %) dari 0,55 ha menjadi 0,43 ha pada kondisi

peningkatan rumah tangga pertanian yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan

Luar Jawa (Tabel 6).

Tabel 6. Perubahan Rumahtangga Pertanian dan Rata-rata Pemilikan Lahan Menurut Wilayah Jawa dan Luar Jawa, 1983 dan 1993

Rumahtangga Pertanian Rata-rata pemilikan lahanWilayah1983 1993 Perubahan 1983 1993 Perubahan

(%)1. Jawa 9.792.983

(60,44)10.305.902

(54,55)512.919

(5,24)0,55 0,43 - 21,82

2. Luar Jawa 6.410.813(39,56)

8.587.081(45,45)

2.176.268(33,95)

1,60 1,28 - 20,00

Indonesia 16.203.796(100)

18.892.983(100)

2.689.187(16,60)

0,97 0,83 - 14,43

Sumber : BPS (SP 1983 dan SP 1993) diolah.Keterangan : (..) = persentase

9

Di Luar Jawa secara umum dapat dikatakan terjadi penurunan rata-rata pemilikan

lahan sebagai konsekuensi peningkatan jumlah rumah tangga pertanian. Hal ini

mengindikasikan terjadinya fragmentasi pemilikan lahan sejalan dengan pertumbuhan

penduduk. Sedangkan dampak alih fungsi lahan di wilayah ini terhadap pergeseran rata-

rata pemilikan lahan pertanian relatif rendah.

Perubahan pemilikan lahan pertanian khususnya pertanian tanaman pangan yang

diinformasikan dari Sensus Pertanian 1983 dan 1993, menunjukkan terdapatnya

peningkatan proporsi petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,50 ha. Tahun 1983

proporsinya mencapai 40,78 persen dan meningkat menjadi 48,54 persen pada tahun

1993. Secara absolut petani gurem meningkat dari 6,5 juta menjadi 8,7 juta rumah

tangga pertanian (Tabel 7).

Tabel 7. Perubahan Proporsi Rumahtangga Pertanian Tanaman Pangan dan Rata-rata Penguasaan Lahan Menurut Golongan Luas, 1983 dan 1993.

Penguasaan LahanUraian

< 0,5 ha ≥ 0,5 ha Total1. Sensus Pertanian 1983 - Jumlah RT

- Luas lahan dikuasai (ha)

- Rata-rata penguasaan (ha/RT)

6.495.065(40,78)

1.710.350(10,25)

0,26

9.432.375(59,22)

14.979.102(89,35)

1,59

15.927.400(100)

16.689.452(100)1,05

2. Sensus Pertanian 1993 - Jumlah RT

- Luas lahan dikuasai (ha)

- Rata-rata penguasaan (ha/RT)

8.726.434(48,54)

2.099.420(13,60)

0,24

9.252.017(51,46)

13.341.200(86,40)

1,44

17.978.451(100)

15.440.620(100)0,86

Sumber : BPS (SP 1983 seri B1, 1995).Keterangan : (..) = persentase

Penurunan rata-rata penguasaan lahan ini di samping karena adanya

peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dari 15,93 juta pada tahun 1983, menjadi

17,98 juta pada tahun 1993, di satu pihak juga terjadi penurunan luas lahan pertanian,

dari 16,69 juta ha pada tahun 1983, menjadi 15,44 juta ha pada tahun 1993 di lain pihak.

Hal serupa diamati pula dari survey di lima provinsi PATANAS yang menunjukkan rata-

rata pemilikan sawah cenderung menurun, sebaliknya pemilikan lahan kering mengalami

peningkatan selama kurun waktu 1994-1998. Di Provinsi Lampung rata-rata pemilikan

lahan sawah menurun sebesar 0,11 ha dan di Sulawesi Utara berkurang 0,39 ha.

Sementara di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, masing-masing menurun 0,04 ha

dan 0,08 ha dalam kurun waktu yang sama (Tabel 8).

10

Tabel 8. Rata-rata Pemilikan Lahan di Lima Provinsi PATANAS 1994 dan 1998.

Rata-rata pemilikan Lahan (ha)Sawah Lahan KeringProvinsi dan Jenis Lahan

1994 1998 1994 19981. Lampung - Sawah - Tegalan

1,090,88

0,980,58

0,321,40

0,301,50

2. Jawa Tengah - Sawah - Tegalan

0,390,68

0,350,99

-0,46

-0,42

3. Nusa Tenggara Barat - Sawah - Tegalan

0,47-

0,39-

0,901,05

0,991,15

4. Sulawesi Utara - Sawah

- Tegalan0,890,71

0,50-

0,640,62

0,591,88

5. Sulawesi Selatan - Sawah - Tegalan

0,850,50

0,850,50

0,290,71

0,410,42

Sumber : Susilowati, et al., 1999.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara agregat rata-rata lahan milik (dari

berbagai tipe lahan ) menurun dari 0,80 ha menjadi 0,73 ha per rumah tangga. Luas

pemilikan lahan di Jawa jauh lebih sempit dibandingkan Luar Jawa, dan bila dipilah

menurut agroekosistem, rata-rata luas lahan di perdesaan, lahan persawahan lebih

sempit dibandingkan rata-rata luas lahan kering (Tabel 9).

Tabel 9. Luas Pemilikan Lahan di Lima Provinsi Penelitian PATANAS 1994 dan 1998.

Rata-rata pemilikan (ha)Provinsi Agroekosistem

1994 1998

1. Lampung SawahLahan keringTotal

1,191,321,30

1,031,371,32

2. Jawa Tengah SawahLahan keringTotal

0,160,370,23

0,180,350,22

3. Nusa Tenggara Barat SawahLahan keringTotal

0,331,590,93

0,331,430,83

4. Sulawesi Utara SawahLahan keringTotal

0,921,180,96

0,701,080,85

5. Sulawesi Selatan SawahLahan keringTotal

1,130,900,94

1,050,740,82

Total SawahLahan keringTotal

0,571,070,80

0,520,990,73

Sumber : Susilowati, et al., 1999.

11

Walaupun secara agregat rata-rata luas pemilikan lahan menyempit, akan tetapi

di beberapa lokasi justru terjadi peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan adanya

beberapa individu yang meningkat luas pemilikannya karena membeli lahan baru di luar

desa atau warisan dari orang tuanya yang kebetulan berdomisili di luar desa atau di luar

blok sensus, misalnya dalam hal ini terjadi di Lampung.

TINGKAT PARTISIPASI PENGUASAAN LAHAN

Berbeda dengan rata-rata luas pemilikan lahan yang semakin menyempit, dilihat

dari segi partisipasi pemilikan lahan sawah dan lahan kering secara umum menunjukkan

kenaikan di beberapa provinsi, kecuali di Provinsi Sulawesi Utara. Kenaikan tingkat

partisipasi pemilikan lahan sawah cukup tinggi terjadi di Sulawesi Selatan dan Nusa

Tenggara Barat, yaitu 38,4 persen (49,3% menjadi 87,7%) dan 20,4 persen (41,4%

menjadi 61,8%) pada agroekosistem sawah. Sedangkan untuk tingkat partisipasi

pemilikan lahan sawah pada agroekosistem lahan kering 11,5 persen (9,90% menjadi

21,40%) dan 9,6 persen (31,7% menjadi 41,3%) pada periode yang sama (Tabel 10).

Tabel 10. Perubahan Tingkat Partisipasi Pemilikan Lahan di Lima Provinsi Penelitian PATANAS 1994-1998. (%)

Partisipasi Pemilikan LahanSawah Lahan Kering Agregat

Provinsi dan Jenis Lahan

1994 1998 1994 1998 1994 19981. Lampung- Sawah- Tegalan

71,9025,60

79,0016,60

21,8837,50

26,6038,00

39,6036,11

45,9436,31

2. Jawa Tengah- Sawah- Tegalan

23,905,02

30,805,78

-90,40

-79,60

23,2185,16

30,8073,39

3. Nusa Tenggara Barat- Sawah- Tegalan

41,40-

61,804,65

31,7059,70

41,3047,60

35,0559,70

49,4144,98

4. Sulawesi Utara- Sawah- Tegalan

50,5024,70

0,80-

22,7219,80

21,5029,50

33,0220,76

21,2028,58

5. Sulawesi Selatan- Sawah- Tegalan

49,3014,50

87,707,11

9,9541,70

21,4021,70

40,6835,94

67,9618,93

Sumber : Susilowati, et al., 1999.

Secara agregat dalam periode 1994 sampai 1998 tingkat partisipasi pemilikan

lahan sawah mengalami kenaikan, kecuali di Provinsi Sulawesi Utara. Kenaikan tingkat

partisipasi pemilikan lahan sawah tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan sebesar 27,28

12

persen (dari 40,68% menjadi 67,96%), sedangkan kenaikan terendah terjadi di Provinsi

Lampung sebesar 6,33 persen (dari 39,61% menjadi 45,94%). Di Provinsi Jawa Tengah

dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 7,59 persen dan 12,36 persen. Tingkat

penurunan partisipasi di Sulawesi Utara sebesar 11,82 persen.

Selama periode yang sama, tingkat partisipasi kepemilikan lahan tegal di Jawa

Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara mengalami kenaikan. Di Lampung

tingkat partisipasi pemilikan lahan kering mengalami kenaikan yang relatif kecil, yaitu

0,20 persen sedangkan kenaikan tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, yaitu 7,82 persen.

Penurunan tingkat partisipasi pemilikan lahan tegal yang terendah terjadi di di Jawa

Tengah, yaitu 12,77 persen dan penurunan tertinggi di Sulawesi Selatan sebesar 17,01

persen, dan Nusa Tenggara Barat 14,74 persen. Dilihat dari lahan garapan, maka

selama periode 1994-1998 tingkat partisipasi penggarapan lahan sawah pada

agroekosistem sawah yang mengalami kenaikan terjadi di Jawa Tengah, Sulawesi Utara

dan Lampung sedangkan yang mengalami penurunan terjadi di Nusa Tenggara Barat

dan Sulawesi Selatan. Sedangkan tingkat partisipasi penggarapan lahan tegal di

agroekosistem sawah pada umumnya mengalami penurunan, kecuali di Jawa Tengah

dalam persentase yang relatif kecil.

Tingkat partisipasi penggarapan lahan sawah pada agroekosistem lahan kering

pada umumnya mengalami peningkatan meskipun lahan kering pada umumnya

mengalami peningkatan dalam persentase yang relatif kecil, kecuali Nusa Tenggara

Barat. Sedangkan untuk tingkat partisipasi penggarapan lahan tegal pada umumnya

mengalami penurunan, kecuali di Sulawesi Utara dan Lampung (Tabel 11).

Dilihat secara agregat tingkat partisipasi pemilikan lahan sawah mengalami

kenaikan adalah Jawa Tengah dan Lampung, sedangkan yang mengalami penurunan

adalah Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Namun penurunan

relatif rendah, kecuali di Sulawesi Selatan yang mencapai 21 persen. Sedangkan untuk

jenis lahan tegal yang mengalami kenaikan adalah Lampung dan Sulawesi Utara,

sedangkan Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan mengalami

penurunan.

Dari uraian tentang tingkat partisipasi penguasaan lahan dapat dikemukakan

bahwa : (1) Tingkat partisipasi rumahtangga dalam pemilikan lahan sawah secara umum

mengalami peningkatan, tetapi tingkat partisipasi rumahtangga dalam pemilikan lahan

tegalan cenderung mengalami penurunan; (2) Dengan membandingkan tingkat

13

partisipasi antara pemilikan lahan dan penggarapan lahan, maka tingkat partisipasi

rumahtangga petani Jawa Tengah menunjukkan kesamaan. Hal ini mengindikasikan

bahwa tekanan ekonomi terhadap lahan sawah di Jawa cukup besar, sedangkan di luar

Jawa belum mengkhawatirkan.

Tabel 11. Perubahan Tingkat Partisipasi Rumahtangga dalam Garapan di Lima Provinsi Penelitian PATANAS 1994 –1998 (%)

Partisipasi Garapan LahanSawah Lahan Kering Agregat

Provinsi dan Jenis Lahan

1994 1998 1994 1998 1994 19981. Lampung- Sawah- Tegalan

80,0023,47

81,8415,48

30,8643,13

31,5042,20

47,3341,27

48,6743,31

2. Jawa Tengah- Sawah- Tegalan

50,675,35

67,789,79

-95,03

-90,22

50,6789,69

67,7884,42

3. Nusa Tenggara Barat- Sawah- Tegalan

86,15-

76,293,88

53,1155,71

48,5152,74

66,2055,71

61,5750,75

4. Sulawesi Utara- Sawah- Tegalan

62,3732,47

71,1328,87

24,1324,57

25,4741,20

40,2026,59

39,9240,50

5. Sulawesi Selatan- Sawah- Tegalan

88,8412,63

69,196,87

17,4642,70

21,2920,78

73,6837,11

52,8318,11

Sumber : Susilowati, et al., 1999.

Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa rata-rata luas pemilikan lahan per

rumahtangga petani menurun. Dikaitkan dengan meningkatnya tingkat partisipasi

pemilikan lahan sawah di satu pihak dan menurunnya tingkat partisipasi pemilikan lahan

kering di lain pihak, maka ketimpangan pemilikan lahan sawah semakin melebar

sedangkan tegalan semakin mengecil.

Fakta ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi terhadap lahan sawah cukup

besar. Apabila hal ini dikaitkan dengan makin bertambahnya penduduk dan makin

derasnya laju alih fungsi lahan sawah, makan tekanan ekonomi tersebut semakin berat.

Data makro menunjukkan luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga pertanian

pengguna lahan berkurang dari 18,3 juta ha pada tahun 1983 menjadi 17,6 ha pada

tahun 1993, atau menurun seluas 0,7 ha (3,8%) selama kurun waktu sepuluh tahun.

Penurunan luas lahan ini telah terjadi terutama pada lahan yang dimiliki dari 16,8 juta ha

pada tahu 1983 menjadi 15,9 juta ha pada tahun 1993 atau menurun 4,8 persen. Pada

kurun waktu yang sama, lahan pemilikan di Jawa telah menurun dari 5,6 juta ha pada

14

tahun 1983 menjadi 4,7 juta ha atau menurun 16 persen, sedangkan di Luar Jawa hanya

naik sebesar 0,77 persen (Tabel 12).

Tabel 12. Perbandingan Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Pertanian Hasil Sensus Pertanian 1983 dan 1993 (000 ha)

Uraian 1983 1993 Perubahan (%)1. Dimiliki - Jawa - Luar Jawa

16.7835.550

11.232

15.9794.660

11.319

-4,79-16,04

0,772. Dari pihak lain 2.503 2.598 3,803. Di pihak lain 938 926 -1,28Dikuasai 18.348 17.561 -3,80Sumber : BPS SP 1983 dan SP 1993.

Total rumahtangga pertanian berubah dari 19,5 juta pada tahun 1983 menjadi

21,5 juta rumahtangga. Rumahtangga pertanian dibagi menjadi 2 (dua) tipe

rumahtangga, yaitu: (1) rumahtangga bukan pengguna lahan, (2) rumahtangga

pengguna lahan. Untuk perubahan sistem rumahtangga pengguna lahan dibagi dalam 2

(dua) kelompok, yaitu pengguna lahan dengan pemilikan lebih kecil dari 0,5 ha (petani

gurem) dan pengguna lahan dengan pemilikan lebih dari 0,5 ha (petani non gurem) Tabel

13.

Tabel 13. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Pertanian Antara Pengguna Lahan dan Bukan Pengguna Lahan 1983 dan 1993 Berdasarkan Wilayah (000 ha)

1983 1993Uraian Jawa L. Jawa Total Jawa L. Jawa Total

1. Bukan pengguna lahan 438(2,25)

374(11,92)

812(4,16)

108(0,50)

212(0,99)

320(1,49)

2. Pengguna lahan

- Gurem (< 0,5 ha)

- Non Gurem (> 0,5 ha)

11.108(56,95)

7.403(37,95)

3.705(19,00

7.585(38,89)

2.129(10,92)

5.456(27,97)

18.693(95,84)

9.532(48,87)

9.161(46,97)

11.593(53,91)

8.097(37,66)

3.496(16,26)

9.590(44,60)

2.840(13,21)

6.750(31,39)

21.183(98,51)

10.937(50,86)

10.246(47,65)

Total11.546(59,20)

7.959(40,80)

19.505(100)

11.701(54,41)

9.802(45,58)

21.503(100)

Sumber : BPS SP 1983 dan SP 1993.Keterangan : ( ) = persentase

15

Tabel 13 menunjukkan pada tahun 1983 tercatat 812 ribu (4,16%) merupakan

rumahtangga bukan pengguna lahan pertanian dan 18,7 juta (95,84%) pengguna lahan.

Lebih dari 18,7 juta pengguna lahan terdapat petani gurem sebanyak 9,5 juta (48,87%)

dan 9,2 juta (46,97%) petani non-gurem. Sedangkan data Sensus Pertanian 1983

mencatat 320 ribu (1,49%) bukan pengguna lahan dan 21,8 juta (95,81%) pengguna

lahan. Sedangkan di antara rumahtangga pengguna lahan tercatat sebagai petani gurem

sebanyak 10,9 juta (50,86%) dan petani non-gurem 10,25 juta (47,65%).

Dari keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa secara agregat baik secara

relatif maupun absolut jumlah petani gurem meningkat seiring dengan meningkatnya

jumlah rumahtangga pengguna lahan. Jika dirinci lebih lanjut per wilayah proporsi petani

gurem di Jawa menurun seiring dengan menurunnya proporsi rumahtangga pengguna

lahan. Namun secara absolut jumlah petani gurem meningkat dari 7,4 juta menjadi 8,1

juta, seiring dengan meningkatnya rumahtangga pengguna lahan dari 11,1 juta menjadi

11,6 juta rumahtangga.

PERKEMBANGAN DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN

Kepadatan agraris yang tinggi di wilayah pedesaan yang lahannya mempunyai

nilai sewa yang tinggi, bukan hanya menyebabkan rata-rata pemilikan dan lahan garapan

menyempit, tetapi ternyata mendorong pula meningkatnya ketimpangan distribusinya

(Soentoro dan Rusastra, 1999).

Indeks kesenjangan diukur dengan pendekatan Rasio Gini. Nilai Rasio Gini

berkisar 0 – 1. Dalam hal ini Oshima (1976) membuat kriteria sebagai berikut:

ketimpangan rendah G < 0,4, ketimpangan sedang 0,4 ≤ G ≥ 0,5 dan tinggi G > 0,5.

Kriteria ini menunjukkan bahwa makin tinggi nilai Rasio Gini makin lebar tingkat

kesenjangan. Nilai Rasio Gini pemilikan dan penguasaan lahan sawah berkisar pada

angka 0,53 – 0,81, sedangkan kisaran pada pemilikan dan penguasaan lahan kering

adalah 0,30 – 0,74 (Tabel 14). Ini menunjukkan bahwa ketimpangan pemilikan maupun

penguasaan lahan sawah lebih besar dibanding lahan kering. Temuan ini sesuai dengan

hasil penelitian Wiradi (1986) yang menunjukkan bahwa ketimpangan pemilikan dan

penguasaan lahan sawah lebih besar dibanding lahan kering. Selama periode 1995-

1998 Nilai Rasio Gini pemilikan dan penguasaan lahan tidak banyak mengalami

perubahan baik untuk lahan sawah maupun lahan kering. Namun demikian selama

16

periode tersebut Nilai Rasio Gini pemilikan lahan sawah menurun tetapi penguasaan

meningkat.

Tabel 14. Perkembangan Nilai Rasio Gini Lahan Sawah di Lima Provinsi Penelitian PATANAS, 1994-1998.

Lahan Sawah Lahan KeringProvinsi1994 1998 1994 1998

1. Lampung PemilikanPenguasaan

0,610,56

0,590,53

0,550,47

0,550,46

2. Jawa Tengah PemilikanPenguasaan

0,820,79

0,830,81

0,780,77

0,740,73

3. Nusa Tenggara Barat PemilikanPenguasaan

0,740,72

0,810,77

0,530,56

0,630,62

4. Sulawesi Utara PemilikanPenguasaan

0,680,61

0,690,63

0,710,69

0,720,73

5. Sulawesi Selatan PemilikanPenguasaan

0,510,46

0,480,54

0,370,36

0,300,31

Sumber : Susilowati, et al., 1999.

Perkembangan distribusi penguasaan total lahan sawah dan lahan kering selama

1983-1993 (Tabel 15) menunjukkan beberapa informasi menarik yaitu telah terjadi

peningkatan ketimpangan penguasaan lahan dari 0,5047 menjadi 0,6432 dan dilihat

secara disagregasi Jawa dan Luar Jawa, nampak ketimpangan di Jawa lebih besar dan

berkembang lebih cepat dibandingkan dengan Luar Jawa. Dalam periode sepuluh tahun

ini Rasio Gini di Jawa meningkat dari 0,49 menjadi 0,56, sementara itu Rasio Gini di Luar

Jawa relatif stagnasi sekitar 0,4774 – 0,4786. Dibandingkan dengan periode

sebelumnya, rumahtangga pertanian dengan penguasaan lahan kurang dari 0,1 ha pada

tahun 1993 menjadi sumber ketimpangan yang sangat potensial khususnya di Jawa, hal

ini ditunjukkan oleh Rasio Gini dari 0,2810 menjadi 0,5588 di Jawa dan 0,3212 menjadi

0,4774 di Luar Jawa.

Dengan mengacu pada kategori yang dibuat oleh Oshima (1976), nampak bahwa

pada tahun 1983 di Jawa telah terjadi ketimpangan dengan kategori tinggi (Rasio Gini >

0,5). Namun dengan tidak mengikutsertakan rumahtangga pertanian dengan luas kurang

dari 0,1 ha diperoleh ketimpangan rendah (Rasio Gini < 0,4). Keadaan ini merefleksikan

besarnya peningkatan petani gurem dan tunakisma belakangan ini. Fragmentasi lahan

telah terjadi dengan sangat meluas khususnya di Jawa. Luas penguasaan sempit ini (<

0,1 ha ) tentu sangat tidak efisien untuk diusahakan dan tidak menjanjikan sebagai

tumpuan sumber pendapatan. Dengan demikian perlu upaya khusus untuk mencegah

terjadinya fragmentasi lahan secara meluas lagi. Seperti diketahui ketimpangan

17

penguasaan lahan yang semakin meningkat sangat tidak kondusif bagi pemerataan hasil

pembangunan.

Tabel 15. Rasio Gini Distribusi Penguasaan Total Lahan Sawah dan Kering Rumahtangga Pertanian Tanaman Pangan 1983 dan 1993.

1983 1993WilayahTanpa luas

< 0,1 haTotal rumah

tanggaTanpa luas

< 0,1 haTotal rumah

tangga1. Jawa 0,4557 0,4901 0,2810 0,55882. Luar Jawa 0,4684 0,4786 0,3213 0,4774Indonsesia 0,4925 0,5047 0,4995 0,6432Sumber : BPS. Sensus Pertanian 1983 dan 1993 (diolah).

Tabel 16 menunjukkan untuk tahun 1993 secara agregat ketimpangan

penguasaan lahan sawah nampak lebih besar dibanding dengan lahan kering.

Keberadaan rumahtangga petani kecil (< 0,1 ha) sebagai sumber ketimpangan lebih

menonjol di daerah persawahan dibandingkan lahan kering.

Tabel 16. Rasio Gini Distribusi Penguasaan (garapan) Lahan Sawah, Lahan Kering dan Total Lahan Berdasarkan Golongan Wilayah, 1993.

Lahan Sawah Lahan Kering Total LahanWilayahTanpa luas

< 0,1 ha

Total rumah tangga

Tanpa luas

< 0,1 ha

Total rumah tangga

Tanpa luas

< 0,1 ha

Total rumah tangga

1. Jawa 0,2793 0,5928 0,2891 0,6079 0,2809 0,55882. Luar Jawa 0,2357 0,7154 0,3318 0,5791 0,3213 0,4744 Indonesia 0,4470 0,8002 0,5167 0,7089 0, 4995 0,6432Sumber : Sensus Pertanian 1993 BPS, Jakarta.

Di Jawa tidak terdapat perbedaan Rasio Gini penguasaan lahan sawah dan lahan

kering, kedua-duanya memiliki ketimpangan tinggi. Menurut Rusastra et al., (1997)

aksesibilitas memiliki keterkaitan erat dengan ketimpangan penguasaan/pemilikan lahan.

Hal ini sesuai dengan teori ekonomi lahan, bahwa peningkatan aksesibilitas wilayah akan

diikuti oleh peningkatan nilai ekonomi lahan, yang pada akhirnya akan memicu

munculnya ketimpangan penguasaan lahan. Nampak bahwa keterbukaan suatu wilayah

di samping memberikan dampak positif terhadap pengembangan suatu daerah, juga

memberikan dampak negatif terhadap distribusi penguasaan aset penting bagi petani

yaitu lahan. Nilai Rasio Gini dilihat dari distribusi pemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel

17

18

Tabel 17. Rasio Gini Distribusi Pemilikan Lahan Sawah, Lahan Kering dan Total Lahan Berdasarkan Golongan Wilayah, 1993.

Lahan Sawah Lahan Kering Total LahanWilayahTanpa luas

< 0,1 haTotal

rumah tangga

Tanpa luas< 0,1 ha

Total rumah tangga

Tanpa luas< 0,1 ha

Total rumah tangga

1. Jawa 0,2849 0,7290 0,2789 0,7009 0,2813 0,64312. Luar Jawa 0,2480 0,7723 0,3355 0,6035 0,3277 0,5316 Indonesia 0,4608 0,8341 0,5248 0,7248 0,5097 0,6789Sumber : Sensus Pertanian 1993 BPS, Jakarta.

Dari perbandingan Rasio Gini penguasaan lahan (garapan) dan Rasio Gini

pemilikan lahan maka dapat diungkapkan bahwa: (1) pemilikan lahan ternyata lebih

timpang dibandingkan dengan penguasaan lahan (garapan) baik untuk lahan sawah

maupun lahan kering untuk seluruh wilayah; (2) perbedaan tingkat ketimpangan antara

pemilikan dan penguasaan lahan ini terlihat lebih menonjol pada lahan sawah

dibandingkan lahan kering.

Dari perbedaan nilai Rasio Gini antara pemilikan dan penguasaan untuk dua jenis

lahan yang berbeda diperoleh beberapa informasi menarik, yaitu: (1) telah berlangsung

pengalihan hak garapan di antara petani (sekap, sewa ataupun gadai); (2) pengalihan

hak penggarapan lebih menonjol di pertanian lahan sawah dibandingkan dengan di lahan

kering.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengalihan penguasaan lahan melalui jual beli yang diikuti dengan alih fungsi

lahan pertanian ke non-pertanian meningkat pesat sejak Pelita IV. Dorongan tersebut

juga diikuti oleh kenyataan bahwa nilai tambah non-pertanian per satuan luas pada

umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pertanian. Alih fungsi lahan ke arah

penggunaan yang lebih intensif selalu berlangsung akibat adanya peningkatan jumlah

penduduk dan tuntutan kualitas hidup masyarakat. Selama dasawarsa tahun 1990-an

secara keseluruhan luas areal pertanian secara nasional meningkat, sedangkan luas

areal hutan menurun. Namun di lain pihak di berbagai daerah pemanfaatan lahan

pertanian belum optimal. Hal ini dicirikan dari masih luasnya lahan-lahan potensial yang

tidak diusahakan (sleeping land) serta rendahnya intensitas tanam pada lahan sawah

yang diusahakan.

19

Selama periode 1983-1993 proporsi penyusutan lahan di Jawa mencapai 1,02

juta ha (79,31%). Dari total penyusutan lahan secara nasional ternyata 68,30 persen

adalah lahan sawah. Penyusutan lahan pertanian telah menurunkan rata-rata pemilikan

lahan dan meningkatkan proporsi petani gurem. Di Jawa dengan tingkat penyusutan

rata-rata luas pemilikan lahan yang cukup tinggi (21,28%) dari 0,55 ha menjadi 0,43 ha

pada kondisi peningkatan rumahtangga pertanian yang relatif lebih rendah dibandingkan

Luar Jawa. Di Luar Jawa secara umum penurunan rata-rata pemilikan lahan masih

sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.

Perubahan pemilikan lahan pertanian khususnya pertanian pangan dalam periode

sepuluh tahun (1983 – 1993) menunjukkan terdapatnya peningkatan proporsi petani

gurem dari 40,78 persen (6,5 juta rumahtangga) menjadi 48,54 persen (8,7 juta

rumahtangga). Kondisi ini selain karena adanya peningkatan jumlah rumahtangga

pertanian (dari 15,93 juta ha menjadi 17,98 juta), juga diiringi dengan penurunan luas

lahan pertanian dari 16,69 juta ha menjadi 15,44 juta ha. Hasil survey di lima provinsi

PATANAS menunjukkan rata-rata pemilikan lahan sawah cenderung menurun,

sebaliknya pemilikan lahan kering mengalami peningkatan selama kurun waktu 1984 –

1998. Secara agregat, hasil sensus tersebut menunjukkan rata-rata pemilikan lahan

menurun dari 0,80 ha menjadi 0,73 ha per rumahtangga. Luas pemilikan lahan di Jawa

jauh lebih sempit dibandingkan Luar Jawa.

Tingkat partisipasi rumahtangga dalam pemilikan lahan sawah selama periode

1994 – 1998 menunjukkan terdapat peningkatan tingkat partisipasi rumahtangga dalam

pemilikan lahan sawah, sedangkan tingkat partisipasi rumahtangga pada pemilikan lahan

tegal mengalami penurunan. Peningkatan partisipasi rumahtangga pada lahan sawah

diikuti dengan penurunan rata-rata luas pemilikan lahan sawah per rumahtangga.

Fenomena ini menunjukkan ketimpangan pemilikan lahan sawah semakin lebar,

sedangkan tegal semakin kecil. Secara umum dapat dikatakan ketimpangan pemilikan

maupun penggarapan lahan sawah lebih besar dibandingkan lahan kering. Fakta

tersebut menunjukkan bahwa tekanan ekonomi terhadap lahan sawah cukup berat. Bila

hal ini dikaitkan dengan makin tingginya laju penyusutan lahan sawah, maka tekanan

ekonomi tersebut semakin bertambah berat. Implikasi dari temuan ini adalah di masa

datang peranan sawah tidak dapat diharapkan lagi untuk meningkatkan pendapatan

petani. Peningkatan pendapatan petani di lahan sawah hanya dapat ditingkatkan melalui

20

diversifikasi yang berasal dari sektor non pertanian atau melalui pengembangan

komoditas yang bernilai tinggi.

Secara agregat terdapat peningkatan ketimpangan penguasaan lahan pada tahun

1993 (0,6432) dibandingkan waktu sebelumnya (1983) sebesar 0,5047. Terdapat indikasi

kuat bahwa kecenderungan tingkat ketimpangan di Jawa lebih serius. Hasil penelitian di

lima provinsi PATANAS yang dilaksanakan baik di Jawa maupun di Luar Jawa

menunjukkan bahwa distribusi pemilikan dan penguasaan lahan cenderung semakin

timpang di setiap provinsi. Distribusi pemilikan lahan sawah secara umum lebih timpang

dibanding dengan distribusi pada lahan kering. Nilai Rasio Gini pada pemilikan lahan

sawah berkisar 0,48 - 0,83 bervariasi di setiap provinsi. Sedangkan Rasio Gini pada

pemilikan lahan kering bervariasi antara 0,30 - 0,74. Distribusi penguasaan garapan

secara relatif lebih merata dibandingkan distribusi pemilikan. Hal ini menunjukkan bahwa

pengalihan hak penggarapan (sakap, sewa, gadai) telah berlangsung.

Semakin tinggi nilai ekonomis komoditas yang diusahakan bertambah timpang

distribusi pemilikan lahan pertanian. Juga terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi

tingkat aksesibilitas daerah akan meningkatkan nilai ekonomi lahan, yang pada gilirannya

memicu terjadinya ketimpangan pemilikan dan penguasaan di daerah tersebut.

Keterbukaan daerah di samping memberikan dampak positif, juga memberikan dampak

negatif terhadap penguasaan lahan. Distribusi pemilikan lahan non sawah (lahan kering)

di beberapa desa provinsi PATANAS menunjukan tingkat ketimpangan sedang sampai

tinggi. Keberadaan komoditas bernilai ekonomi tinggi diperkirakan merupakan faktor

penjelas keadaan ini. Semakin tinggi nilai ekonomis komoditas yang dapat diusahakan

semakin timpang distribusi pemilikan dan penguasaan lahan. Dikaitkan dengan kondisi

ini maka pemilik modal cenderung akan lebih tertarik untuk memiliki atau menanamkan

modalnya pada lahan non sawah dibandingkan lahan sawah karena lebih bebeas dalam

memilih komoditas yang diusahakan.

Indikator yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian adalah

pemerataan distribusi penguasaan dan pengelolaan lahan. Data menunjukkan

ketimpangan penguasaan lahan hanya terjadi di Jawa, sementara di Luar Jawa

pemilikan dan penguasaan lahan masih luas dan distribusinya merata. Fenomena ini

perlu dipertimbangkan dalam penyusunan program pembangunan di masa datang.

Dalam kondisi sumber daya lahan semakin terbatas dan struktur pemilikan dan

penguasaan yang timpang, manfaat terbesar dari program pertanian akan lebih banyak

21

dinikmati oleh pemilik lahan luas, sementara risiko lebih banyak ditanggung petani

berlahan sempit dan penggarap. Untuk menekan dampak negatif, perlu diambil langkah

antisipasi dengan mengupayakan agar dampak positifnya lebih besar. Langkah-langkah

tersebut antara lain: (i) pengaturan tentang pemilikan dan penguasaan lahan; (ii)

peningkatan kesempatan kerja non pertanian; (iii) penciptaan sumber pendapatan yang

berbasis non pertanian; (iv) program pengembangan agroindustri, usaha peternakan

seperti unggas, ruminansia kecil dan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi yang

bersifat hemat lahan; (v) pembangunan non pertanian lainnnya seperti industri kerajinan

dan lain-lain. Selain itu satu hal lagi yang perlu diperhatikan mengingat kecilnya rata-rata

luas pemilikan lahan pertanian adalah perlu dicegahnya jangan sampai lahan pertanian

ini semakin kecil di tahun-tahun mendatang. Program lain yang juga penting untuk

memperbaiki struktur penguasaan lahan adalah perluasan areal pertanian dan

mendorong mobilitas penduduk ke wilayah yang kepadatan agrarisnya rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Hermanto. 1999. Dinamika dan Optimasi Sumberdaya Pertanian Menuju Globalisasi Ekonomi. Kasus Alih Fungsi Lahan Pertanian. Prosiding Agribisnis Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian.

IFPRI. 1995. A 2020 Vision for Food Agriculture and The Environment. International Food Policy Research Institute. Washington. D.C.

Kasryno, Faisal. 1996. Meningkatkan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Mengembangkan Sistem Usaha Pertanian Menuju Era Globalisasi Ekonomi. Seminar Nasional Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian. Bogor 25-26 September 1996. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kasryno, Faisal, Effendi Pasandaran, Pantjar Simatupang, Erwidodo dan Tahlim Sudaryanto. 2000. Membangun Kembali Sektor Pertanian dan Kehutanan. Seminar Nasional Persfektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor 9-10 November 2000. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Mubyarto. 1997. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Cetakan Ketiga.

Munandar, Sinis. 1994. Program Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian.

Munandar, Sinis. 1995. Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Air dalam Mendukung Upaya Pemantapan Swasembada Pangan Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia dan The Ford Foundation.

Nasoetion, L. 1994. Kebijaksanaan Perlahanan Nasional dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi. Pengalaman Masa Lalu, Tantangan dan Arah ke Masa Depan. Makalah Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Lahan Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Oshima, Harry, T. 1976. Beberapa Perspektif dalam Pembagian Pendapatan. Prisma No. 1, Februari 1976. Hal 3-12.

22

Pakpahan, A., Sumaryanto, Nizwar Syafaat, Handewi P. Salim, Supena Friyatno dan Rafael P. Somaji. 1993. Analisa Kebijaksanaan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non-Pertanian. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rusastra, I Wayan, Gelar Setia Budhi, Syaiful Bahri, Khairina M. Noekman, MSM Tambunan, Sunarsih dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Soentoro. 1981. Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Pedesaan. Rural Dinamyc Series, SAE-SDP. Bogor.

Sudaryanto, Tahlim. 1999. Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan dalam Era Pasar Bebas. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otomi Daerah. Bogor 16-17 November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sugito, Toto. 1979. Perkembangan Usahatani di Jawa Tengah Agro Ekonomika No. 11 Tahun X Oktober 1979. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Hal. 5-18.

Sumaryanto, Handewi P. Salim, Nizwar Syafaat, Mewa Arifin, Supena Priyatno, Saktyanu K. Darmoredjo, Sri Hastuti Suhartini dan Agus Pakpahan. 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non-Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sumaryanto dan I Wayan Rusastra. 1999. Struktur Penguasaan Lahan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Bogor 16-17 November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Suprapto, Ato. 1994. Menyimak Hasil Sensus Pertanian 1993. Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian. Warta Pertanian No. 129/Th.X/1994.

Susilowati, S.H., Sumaryanto, M. Syukur, C. Saleh, Al. Sri Bagyo, Supriyati, W. Sudana, Rudi Sunarya Rivai, Bambang Sayaka, Maesti Mardiharini dan Erma Suryani. 1999. Perubahan Penguasaan Aset, Tenaga Kerja dan Teknologi di Pedesaan Indikator Pembangunan Wilayah Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Susilowati, S.H., C. Saleh, A.K. Zakaria, Sri Wahyuni, Supriyati, Supadi, Waluyo dan T. Nurasa. 2001. Studi Dinamika Ekonomi Pedesaan ( Patanas) : Usahatani, Ketenagakerjaan, Pendapatan dan Konsumsi. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suwarno, P. Suryo. 1995. Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Langkah-Langkah Penang-gulangannya. Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia dan The Ford Foundation.

Wiradi, Gunawan and C. Manning. 1994. Landownership, Tenancy and Sources of Household Income, Community Pattern from Partial Recensus of Eight Villages in Rural Java. Rural Dinamyc Series No. 29. Studi Dinamika Pedesaan. Yayasan Survey Agroekonomi. Bogor.