2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan...

26
612 KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000 – 2003 OPINI VS FAKTA 1. Pengantar Kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang paling diperhatikan oleh masyarakat umum, yang antara lain dicerminkan oleh besarnya sorotan media massa. Hal itu dapat dimaklumi karena sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang amat dominan dalam menentukan hajat hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Perhatian masyarakat dan sorotan media massa hendaklah dipandang sebagai modal sosial dan modal politik yang berfungsi sebagai infrastruktur lunak penunjang pembangunan pertanian. Namun demikian, tanpa disadari, informasi dan berita yang serba negatif dapat menciptakan citra dan cita buruk yang justru berpengaruh buruk bagi pembangunan pertanian. Akan menjadi amat ironis bila citra dan cita buruk tersebut tercipta melalui berita opini yang tidak benar. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat dalam pembicaraan publik dan media massa. Klarifikasi dilakukan dengan menggunakan fakta statistik yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang (utamanya BPS, BULOG dan FAO) dan dapat diakses masyarakat luas. Opini yang sehat dan produktif haruslah didasarkan fakta dan analisis positif. 1. Kebijakan Pertanian Kebijakan pertanian merupakan refleksi dari sikap, perhatian dan dukungan pemerintah terhadap pembangunan pertanian. Sebagian pihak berpendapat pemerintah semakin tidak perduli terhadap pembangunan pertanian. Kalaupun ada kebijakan pemerintah, tidak signifikan atau tidak efektif sehingga tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi pembangunan pertanian. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa pemerintah lebih berperan sebagai penghambat daripada fasilitator dan pendorong pembangunan pertanian. Kalaupun pembangunan pertanian masih berlangsung, itu semua adalah berkat kerja keras petani dan masyarakat agribisnis. Pemerintah semasa orde baru lebih berpihak kepada pertanian daripada pemerintahan periode tahun 2000-2004. Benarkah demikian ?. Berikut ini diuraikan kenapa kebijakan pemerintah, opini sumbang berkenaan dengan itu dan fakta statistik mengklarifikasi opini tersebut.

Transcript of 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan...

Page 1: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

612

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000 – 2003 OPINI VS FAKTA

1. Pengantar

Kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sektor pertanian adalah sektor

ekonomi yang paling diperhatikan oleh masyarakat umum, yang antara lain dicerminkan

oleh besarnya sorotan media massa. Hal itu dapat dimaklumi karena sektor pertanian

adalah sektor ekonomi yang amat dominan dalam menentukan hajat hidup sebagian besar

rakyat Indonesia.

Perhatian masyarakat dan sorotan media massa hendaklah dipandang sebagai

modal sosial dan modal politik yang berfungsi sebagai infrastruktur lunak penunjang

pembangunan pertanian. Namun demikian, tanpa disadari, informasi dan berita yang serba

negatif dapat menciptakan citra dan cita buruk yang justru berpengaruh buruk bagi

pembangunan pertanian. Akan menjadi amat ironis bila citra dan cita buruk tersebut tercipta

melalui berita opini yang tidak benar. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk

mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat dalam pembicaraan publik dan

media massa.

Klarifikasi dilakukan dengan menggunakan fakta statistik yang dikeluarkan oleh

lembaga berwenang (utamanya BPS, BULOG dan FAO) dan dapat diakses masyarakat

luas. Opini yang sehat dan produktif haruslah didasarkan fakta dan analisis positif.

1. Kebijakan Pertanian

Kebijakan pertanian merupakan refleksi dari sikap, perhatian dan dukungan

pemerintah terhadap pembangunan pertanian. Sebagian pihak berpendapat pemerintah

semakin tidak perduli terhadap pembangunan pertanian. Kalaupun ada kebijakan

pemerintah, tidak signifikan atau tidak efektif sehingga tidak menimbulkan dampak positif

yang berarti bagi pembangunan pertanian. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa

pemerintah lebih berperan sebagai penghambat daripada fasilitator dan pendorong

pembangunan pertanian. Kalaupun pembangunan pertanian masih berlangsung, itu semua

adalah berkat kerja keras petani dan masyarakat agribisnis.

Pemerintah semasa orde baru lebih berpihak kepada pertanian daripada

pemerintahan periode tahun 2000-2004. Benarkah demikian ?. Berikut ini diuraikan kenapa

kebijakan pemerintah, opini sumbang berkenaan dengan itu dan fakta statistik

mengklarifikasi opini tersebut.

Page 2: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

613

Opini publik : Anggaran pembangunan pertanian amat kecil, dan terus mengalami

penurunan dan lebih banyak digunakan untuk membiayai mesin birok-

rasi pemerintah pusat.

Fakta statitsik: Anggaraan pembangunan memang relatif kecil, namun nilainya terus

meningkat nyata dan sebagian besar diserahkan langsung kepada

pelaku agribisnis di pedesaan.

Tidak dapat dipungkiri, anggaran pembangunan pertanian relatif amat kecil. Pada

periode tahun 2000-2004, anggaran pembangunan pertanian rata-rata Rp. 2,4 triliun per

tahun, yang berarti kurang dari satu persen dari total Anggaran Pembangunan dan Belanja

Negara (APBN). Anggaran pembangunan pertanian tersebut hanyalah sekitar Rp. 10.000

atau satu dollar AS per kapita penduduk Indonesia selama satu tahun.

Pemerintah periode tahun 2000-2004 amat menyadari hal itu dan bertekad untuk

meningkatkannya secara signifikan. Anggaran pembangunan pertanian pada periode tahun

2000-2004 mencapai Rp. 2,4 triliun per tahun, yang berarti sekitar 50 persen lebih tinggi

daripada peridoe tahun 1998-1999 yang hanya Rp. 1,7 triliun per tahun, dan hampir dua kali

lipat dari pada periode tahun 1996-1997 masa pemerintahan orde baru (Gambar 1). Dilihat

dari nilai anggaran pembangunan, jelas sekali pemerintahan periode tahun 2000-2004 amat

peduli terhadap pembangunan pertanian, bahkan dapat dikatakan lebih peduli daripada

pemerintahan periode sebelumnya.

1192.4

1734.0

2411.0

2044.1

1456.8

2349.7

3213.5 2990.8

0.0

500.0

1000.0

1500.0

2000.0

2500.0

3000.0

3500.0

1996-1997 1998-1999 2000-2004 2000 2001 2002 2003 2004

Gambar 1. Perkembangan Anggaran Pembangunan Pertanian di Indonesia (Rp Milyar). Sumber : Biro Perencanaan dan Keuangan, Deptan (2004)

Page 3: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

614

Sesuai dengan perundangan dan semangat otonomi daerah, Departemen Pertanian

telah mengubah manajemen anggaran pembangunan pertanian. Sekitar 80 persen dari

anggaran pembangunan pertanian berupa dana dekosentrasi yang dikelola pemerintrah

daerah. Departmemen Pertanian juga menjadi pelopor dalam mengalokasikan anggaran

pembangunan secara langsung kepada petani dan masyarakat agribisnis. Sekitar 60 persen

dari anggaran dekonsentrasi pembangunan pertanian diserahkan langsung kepada petani

dan praktisi agribisnis. Pemanfaatan dan pengolahan dana komitmen langsung tersebut

sepenuhnya diserahkan kepada kelompok masyarakat penerima. Dengan demikian,

pemanfaatan anggaran pembangunan pertanian lebih banyak ditentukan oleh aspirasi dan

partisipasi masyarakat petani dan pemerintah daerah.

Kiranya patut dicatat, anggaran pemerintah untuk pembangunan pertanian tidak

hanya dikelola oleh Departemen Pertanian. Anggaran pemerintah untuk pembangunan

pertanian yang dikelola Departemen Pertanian jauh lebih kecil daripada yang dikelola

Departemen lainnya. Pimpinan Departemen Pertanian selalu berpendapat bahwa tidak apa

kalaupun anggaran pembangunan di Departemen Pertanian (Budget in agricultute) tidak

besar, yang paling penting adalah anggaran untuk pembangunan pertanian (Budge for

agriculture) cukup besar. Salah satu komponen anggaran untuk pembangunan pertanian

yang cukup besar ialah untuk pembangunan inftastruktur irigasi yang dikekola oleh

Departemen Kimpraswil.

Irigasi merupakan salah satu infrastuktur sektor pertanian yang sangat vital dan

mempunyai kontribusi sangat sginifikan dalam meningkatkan kapabilitas produksi

pertanian. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan pembiayaan pembangunan

jaringan irigasi (Gambar 2). Pada tahun 2000 anggaran irigasi sebesar Rp 2,22 triliun,

meningkat menjadi Rp 4,27 triliun pada tahun 2001, dan sedikit menurun pada tahun 2002

yaitu menjadi Rp 3,71 triliun, namun kembali meningkat pada tahun 2003 menjadi Rp 4,76

triliun. Bahkan pada tahun 2003 jumlah anggaran pembangunan irigasi adalah terbesar

selama masa pemulihan ekonomi.

Page 4: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

615

2219.0

4268.7

3712.5

4762.8

0.0

500.0

1000.0

1500.0

2000.0

2500.0

3000.0

3500.0

4000.0

4500.0

5000.0

2000 2001 2002 2003

Sumber : Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2000-2003.

Opini publik : Program penyediaan kredit bersubsidi bagi petani dan praktisi agri-

bisnis sudah tidak ada, atau kalaupun ada, mestinya hanya kecil

dan hanya berupa rencana alokasi belaka.

Fakta statistik : Pemerintah periode tahun 2000-2004 telah memulihkan program

penyediaan kredit bersubsidi kepada petani yang sempat dihentikan

pada periode sebelumnya. Walau platformnya tetap, nilai realisasinya

terus meningkat tajam.

Persepsi buruk tentang program penyediaan kredit bersubsidi boleh jadi akibat dari

berbagai hambatan dan penyimpangan pelaksanaan Kredit Usahatani (KUT) pada periode

sebelumnya. Kemelut sudah demikian parah sehingga program KUT dihentikan pada tahun

1999. Pemerintah amat menyadari kredit bersubsidi bagi petani mutlak perlu dalam

memacu pembangunan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena

itulah, sejak tahun 2001 pemerintah mencanangkan program Kredit Ketahanan Pangan

(KKP) yang merupakan penyempurnaan KUT. Pemerintah menetapkan plafond penyaluran

yang cukup besar, yakni Rp. 2,08 triliun per tahun dengan subsidi bunga 6 persen per

tahun.

Pada awalnya, realisasi penyaluran KKP memang amat kecil, pada tahun pertama

bahkan kurang dari 50 persen dari nilai plafond. Dengan pembenahan administratif dan

sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan, realisasi KKP meningkat drastis dari tahun ke

Gambar 2. Perkembangan Pembiyaan Pembangunan Infrastruktur Irigasi di Indonesia

Page 5: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

616

tahun (Gambar 3). Pada bulan Juli 2004, realisasi KKP telah mencapai Rp. 2,057 triliun atau

hampir 100 persen dari plafond setahun. Selain melalui KKP, pemerintah juga membantu

pemodalan petani melalui berbagai program khusus seperti pengembangan Lembaga

Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K),

Program Pengembangan Kawasan Agribsinis (tanaman pangan, perkebunan, hortikultura,

peternakan), dan sebagainya.

2082.2

468.7

2082.2

936.3

2082.2

1748.8

2082.2 2057.2

0

500

1000

1500

2000

2500

2001 2002 2003 2004

PlafondRealisasi Penyaluran

Gambar 3. Perkembangan Realisasi Penyaluran KKP di Indonesia (Milyar). Sumber : Departemen Pertanian (2004).

Opini publik : Kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah tidak efektif

Fakta Statistik : Secara umum (rata-rata) harga gabah yang diterima petani lebih tinggi

dari harga dasar pembelian pemerintah

Keberpihakan pemerintah terhadap petani, khususnya petani, diwujudkan melalui

Inpres No. 9 Tahun 2001, tentang Kebijakan Perberasan Nasional, yang kemudian

disempurnakan lagi pada tahun 2002. Dalam Inpres tersebut, pemerintah melindungi petani

dari gejolak harga musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui

instrumen Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). Dalam kondisi pasar bebas, untuk

komoditas beras serta keterbatasan dana dan sumberdaya pemerintah, maka kebijakan

Harga Dasar Gabah (HDG) yang ditetapkan oleh pemerintah hingga tahun 2000 jelas sudah

tidak efektif lagi. Apabila hal ini dipaksakan, sama saja pemerintah Indonesia mensubsidi

Page 6: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

617

petani beras luar negeri karena dalam kenyataannya, harga paritas impor beras yang

masuk ke Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan HDPP yang ditetapkan oleh

pemerintah. Namun data BPS menunjukkan bahwa kebijakan perberasan yang dituangkan

dalam Inpres No. 9/2001, yang berlaku efektif pada awal tahun 2002, ternyata cukup efektif

untuk meningkatkan

ekonomi perberasan nasional. Berbagai kebijakan pendukung dalam Inpres tersebut,

termasuk tariff impor beras sebesar Rp. 430 per kg, mampu meningkatkan harga gabah di

tingkat petani hingga di atas HDPP (Gambar 4). Walaupun di beberapa lokasi dan waktu

tertentu, harga gabah yang diterima petani lebih rendah dari HDPP, namun secara rata-rata

tiap tahun harga gabah yang diterima petani lebih tinggi dari HDPP. Berbeda dengan

persepsi umum, kebijakan HDPP ternyata cukup efektif.

1,020

965

1,095

1,136

1,095

1,152

1,230

1,248

1,230 1,232

900

950

1,000

1,050

1,100

1,150

1,200

1,250

1,300

(Rp/

kg)

2000 2001 2002 2003 2004*)

Tahun

HDPP (GKP) Harga GKP

Gambar 4. Perkembangan HDPP dan Harga GKP (Rp/kg). Sumber : BULOG (2004). Opini publik : Kebijakan insentif harga tidak efektif sehingga nilai tukar petani

semakin menurun.

Fakta Statistik : Secara agregat Indeks Nilai Tukar telah berbalik dari cenderung

menurun menjadi cenderung meningkat terus dan sejak tahun

2003 telah melampaui puncak tertinggi sepanjang sejarah.

Secara kumulatif, efektifitas kebijakan insentif harga, termasuk dukungan harga

output dan subsidi input usahatani, dapat dicerminkan oleh dinamika indeks nilai tukar

petani. Penyediaan insentif harga merupakan elemen utama dari kebijakan “Proteksi dan

Page 7: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

618

Promosi” yang dicanangkan pemerintah. Kebijakan proteksi dimaksudkan untuk melindungi

petani dari ancaman penurunan dan fluktuasi harga di pasar internasional, serta banjir

impor produk pertanian sebagai akibat dari praktek perdagangan dunia yang tidak adil.

Untuk itu, pemerintah melindungi petani dengan mengenakan tarif impor, pengaturan (jika

perlu pelarangan) impor dan penetapan aturan sanitary dan phytosanitary. Beberapa

contohnya ialah untuk beras, gula, ayam, sapi. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga

menyediakan insentif melalui subsidi (pupuk, benih kredit), dan pembenahan pemasaran

dan perdagangan sarana produksi (pupuk, pestisida). Sejak tahun 2001 pemerintah kembali

menyediakan subsidi pupuk sekitar Rp. 1,3 triliun per tahun yang sebelumnya telah dihapus.

Selain menggunakan tarif impor Rp. 430 per Kg, pada tahun 2004 pemerintah juga

malarang impor beras.

Kebijakan harga dan perdagangan tersebut terbukti efektif dan menyediakan insentif

harga bagi petani Data BPS menunjukkan bahwa setelah mengalami keterpurukan akibat

krisis multidimensi (1998-1999), Nilai Tukar Petani (NTP) secara konsisten mengalami

peningkatan selama periode 2000-2004. Selama periode tersebut, rata-rata NTP mencapai

107,63, lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999) maupun sebelum krisis

(1993-1997) yang masing-masing sebesar 102,59 dan 106,08 (Gambar 5). Bahkan NTP

pada tahun 2003 dan 2004, telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa sebelum krisis.

Namun demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan NTP tersebut hingga saat ini

belum merata di seluruh Indonesia. NTP di Jawa secara umum masih lebih tinggi

dibandingkan dengan luar Jawa. Rata-rata NTP di Jawa selama periode 2000-2004

mencapai 115,63, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa yang hanya 89,39.

Penyebab utamanya adalah perbedaan struktur produksi. Pertanian di Jawa didiminasi

usahatani tanaman pangan, sementara di luar Jawa didominasi usahatani non-tanaman

pangan. Memang kebijakan insentif pemerintah lebih terfokus pada usahatani tanaman

pangan yang lebih banyak jumlahnya dan amat penting untuk pemantapan ketahanan

pangan nasional.

Page 8: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

619

Gambar 5. Perkembangan Nilai Pukar Petani, 2000-2004. *) Data 2004 s/d Maret Sumber : BPS.

2. Kinerja Sektor Pertanian

Opini publik : Sektor pertanian makin terpuruk, terperosok ke dalam perangkap per-

tumbuhan rendah.

Fakta statistik : Sektor pertanian telah mampu melepaskan diri dari perangkap “ spiral

pertumbuhan rendah “ (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah berada

pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju

pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth).

Keragaan sektor Pertanian dan Peternakan selama periode tahun 2000-2003 telah

mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, rata-

rata laju pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor Pertanian dan

Peternakan mencapai 1,83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999)

yang hanya mencapai 0,88 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum

krisis ekonomi) yang mencapai 1,57 persen. Subsektor Tanaman Bahan Makanan

menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar

0,58 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan selama periode sebelum krisis

ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor

Perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis yang

tumbuh sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor Peternakan walaupun telah tumbuh

96.93

99.33

103.38

114.37

124.12

90

95

100

105

110

115

120

125

(199

3 =

100)

2000 2001 2002 2003 2004*)

Tahun

Nilai Tukar Petani

Page 9: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

620

positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode

sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen.

Selama masa krisis ekonomi (1998 – 1999) laju pertumbuhan sektor Pertanian

(Tanaman Bahan Makanan, Perkebunan dan Peternakan) sangat rendah dan cenderung

menurun, dari 1,97 persen pada periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) menjadi

hanya 0,44 persen pada periode krisis ekonomi (Gambar 6) Pada periode krisis ekonomi,

pertumbuhan subsektor Peternakan mengalami penurunan menjadi 2,10 persen jauh di

bawah pertumbuhan rata-rata pada masa sebelum krisis ekonomi yang mencapai 4,69

persen. Subsektor perkebunan mengalami kontraksi tumbuh negatip sebesar 3,30 persen

jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama periode 1993-1997 yang mencapai 4,37

persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama krisis ekonomi (1998–1999)

sektor Pertanian telah terperosok ke dalam perangkap “spiral pertumbuhan rendah”.

Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB

sektor Pertanian dan Peternakan telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun

1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami kontraksi

luar biasa, tumbuh negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada

tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, sektor Pertanian dan Peternakan juga

mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian,

pertumbuhan sektor Pertanian dan Peternakan pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil.

0.71

4.37 4.69

0.99

-3.3

2.1

1.03

4.954.5

-0.35

-3.64 -1.98

1.52

9.858.36

0.91

5.67 5.63

1.88

6.3

4.32

-4

-2

0

2

4

6

8

10

1993-1997 1998-1999 2000-2003 2000 2001 2002 2003

PanganKebun

Ternak

Gambar 6 . Pertumbuhan PDB Sub Sektor Pertanian (%). Sumber: BPS.

Page 10: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

621

Keragaan sektor Pertanian selama periode pemulihan ekonomi (2000-2003) menuju

pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode 2000-2003 rata-rata laju pertumbuhan sektor

Pertanian mencapai 2,30 persen, lebih tinggi dibanding sebelum krisis ekonomi (1993-

1997) yang mencapai rata-rata 1,97 persen. Selain itu, apabila dilihat dari indeks PDB

(Gambar 7), sektor Pertanian menunjukkan peningkatan konsisten sejak tahun 2000, dan

mulai tahun 2003 sektor Pertanian sedang menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Dapat disimpulkan bahwa sektor Pertanian dan Peternakan telah terlepas dari

“perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 –

1999. Sektor Pertanian dan Peternakan telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998–

1999), dan kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating

growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth).

Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa sektor Pertanian dan Peternakan

mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah

pulih ke level sebelum krisis, laju pertumbuhan subsektor Perkebunan dan subsektor

Peternakan, yang merupakan sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor Pertanian, masih

labil dan belum sepenuhnya pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi

perekonomian nasional maupun global.

Dengan cepat teratasinya masalah flu burung dan kondisi iklim yang diperkirakan

normal, maka pada tahun 2004 kinerja PDB sektor Pertanian dan Peternakan diperkirakan

akan lebih baik lagi. Optimisme ini antara lain didukung oleh angka ramalan BPS bahwa

pada tahun 2004 produksi padi diperkirakan meningkat 1,26 persen, jagung 4,11 persen,

kedelai 5,19 persen, kacang tanah 5,30 persen dan ubikayu 3,91 persen, sehingga laju

pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan akan meningkat nyata. Semakin

pulihnya perekonomian akan mendorong peningkatan laju pertumbuhan subsektor

Peternakan dan Perkebunan secara nyata.

Page 11: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

622

1.97

7.07

0.44

-4.8

2.3

4.31

-1.51

5.39

4.133.83

2.6

4.25

3.18

4.51

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

1993-1997 1998-1999 2000-2003 2000 2001 2002 2003

Pertanian dan Peternakan

Total PDB

Gambar 7 . Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian-Peternakan dan Total (%). Sumber: BPS.

Berdasarkan indeks PDB sektor ekonomi (Gambar 7), dapat dikatakan bahwa sektor

Pertanian dan Peternakan merupakan sektor yang paling ringan terkena dampak krisis dan

cepat pulih ke kondisi sebelum krisis dibandingkan dengan sektor perekonomian secara

umum.

80

90

100

110

120

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Tahun

Per

sen

Total PDB PDB Pertanian dan Peternakan PDB Pertanian

Gambar 8. Indeks PDB sektor Pertanian pada Harga Konstan 2000, 1996 = 100. Sumber : BPS.

Page 12: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

623

Opini publik : Produksi komoditas utama menurun terus

Fakta Statistik: Produksi komoditas pangan utama lebih tinggi daripada sebelum

krisis ekonomi 1993-1996

Produksi komoditas pangan utama padi dan jagung baik sebelum krisis ekonomi

(1993-1997), masa krisis ekonomi (1998-1999), maupun pada masa pemulihan ekonomi

(2000-2004) terus meningkat, sebaliknya untuk komoditas kedelai mengalami penurunan.

Sebelum krisis ekonomi rata-rata produksi padi dan jagung di Indonesia masing-masing 49

juta ton dan 7,9 juta ton per tahun, pada masa krisis ekonomi meningkat menjadi 50,1 juta

ton dan 9,7 juta ton per tahun, dan pada masa pemulihan ekonomi juga terus meningkat

menjadi 51,9 juta ton dan 10,1 juta ton per tahun (Gambar 9 dan 10).

49,009

7,931

50,052

9,687

51,317

9,891

51,787

10,125

51,179

9,677

50,461

9,347

51,490

9,654

52,138

10,886

53,666

11,059

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

93-97 98-99 00-03 00-04 2000 2001 2002 2003 2004

Padi Jagung

Gambar 9 . Perkembangan Produksi Padi dan Jagung di Indonesia (000 ton). Sumber: BPS

1,565

1,344

795 774

1,010

827

673 672 688

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

93-97 98-99 00-03 00-04 2000 2001 2002 2003 2004

Gambar 10 . Perkembangan Produksi Kedelai di Indoensia (000 ton). Sumber: BPS.

Page 13: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

624

Demikian juga pada kelompok komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan utama,

produksi komoditas kentang, tomat, jeruk, magga, salak dan rambutan terus meningkat,

walaupun pada beberapa komoditas produksinya mengalami penurunan pada masa krisis

ekonomi. Namun yang sangat menggembirakan bahwa jumlah produksi semua komoditas

tersebut pada masa pemulihan ekonomi sudah di atas produksi sebelum krisis ekonomi

(Gambar 11).

200.00400.00600.00800.00

1,000.001,200.001,400.001,600.00

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003

Tahun

(000

To

n)

Kentang Tomat Jeruk Mangga Salak Rambutan

Gambar. 11. Perkembangan Produksi Hortikultura, 1993-2003. Sumber : BPS.

Produksi komoditas kelapa sawit, kakao, teh, dan kopi sebagai komoditas

perkebunan utama dalam tiga periode (sebelum dan saat krisis ekonomi, serta masa

pemulihan ekonomi) juga terus meningkat (Gambar 12 dan 13). Sementara produksi

komoditas tebu pada saat krisis ekonomi sempat turun, namun demikian pada masa

pemulihan ekonomi kembali meningkat, bahkan sudah menuju ke produksi normal (sebelum

krisis ekonomi).

Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao

yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi

komoditas perkebunan tradisional lainnya, yakni tebu/gula, teh, kopi, dan karet, sudah sejak

lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun

1998-1999 tidak berdampak negatif, tetapi ternyata justru berdampak positif terhadap

komoditas perkebunan, kecuali tebu/gula. Alasan utamanya ialah depresiasi rupiah

terhadap dollar Amerika menyebabkan harga komoditas perkebunan melonjak tajam yang

selanjutnya mendorong peningkatan volume ekspor komoditas tersebut.

Page 14: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

625

Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh

lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao. Prestasi luar biasa

yang mungkin tidak diperkirakan sebelumnya oleh sebagian pihak ialah untuk tebu/gula

yang mengalami titik balik ekstrim dari pertumbuhan negatif hingga tahun 1999,

menjadi tumbuh positif. Pada tahun 2000-2003, produksi tebu/gula tumbuh dengan

rata-rata laju 7,43 persen per tahun, jauh di atas pertumbuhan permintaannya.

Pertumbuhan produk yang amat tinggi tersebut telah berhasil membelokkan trend

volume impor gula dari cenderung meningkat akseleratif menjadi cenderung menurun.

Ini merupakan bukti empiris bahwa Program Akselerasi Produksi Gula Nasional yang kita

laksanakan dalam tiga tahun terakhir telah memberikan hasil yang cukup mengesankan.

Walaupun sempat anjlok, berubah dari tumbuh amat tinggi (rata-rata 17,38

persen per tahun pada periode 1998-1999) menjadi tumbuh negatif (bahkan minus

hampir 10 persen pada tahun 2000), produksi kakao telah mulai pulih kembali. Sejak

tahun 2000, produk kakao telah tumbuh positif dan pada tahun 2003 telah mencapai 4

persen per tahun. Anjloknya laju pertumbuhan produksi kakao tersebut terutama

merupakan akibat dari anjloknya nilai dolar AS dan harga kakao di pasar dunia,

serangan hama penggerek buah, serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) dan

pungutan retribusi. Dalam kondisi pasar internasional yang tidak baik dan nilai rupiah

yang terus meningkat belakangan ini, disarankan agar pengenaan pajak dan retribusi

atas proses produksi atau pemasaran kakao ditinjau ulang, paling tidak untuk

sementara.

Ke depan, pertanyaan mendasar ialah apakah pertumbuhan tinggi subsektor

Perkebunan tersebut dapat dipertahankan berkelanjutan ? Sumber utama pertumbuhan

produksi berkelanjutan untuk tanaman perkebunan ialah pertambahan luas panen.

Masalahnya ialah sejak krisis tahun 1998-1999, investasi swasta maupun pemerintah

pada perluasan areal perkebunan belum menunjukkan tanda-tanda pemu-lihan

signifikan. Kiranya patut dicatat, investasi swasta pada usaha perkebunan bersifat

jangka panjang yang umumnya membutuhkan insentif khusus dari pemerintah. Oleh

karena itu, agar pertumbuhan tinggi subsektor Perkebunan dapat dipertahankan

berkelanjutan, pemerintah perlu memulihkan kembali fasilitas kredit khusus untuk

investasi perluasan areal perkebunan.

Page 15: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

626

4,438

3072,226

5,823

4581,491

9,306

4791,734

7,581

4211,690

9,048

4281,728

9,911

4331,891

10,683

633 1,628

10,894

6652,338

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003 2004

K. Sawit Kakao Tebu

Gambar.12. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit, Kakao dan Tebu di Indonesia. Sumber : BPS.

156

447

164

523

165

598

163

555

164

567

165

569

169

702

170

737

0

100

200

300

400

500

600

700

800

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003 2004

Tea Kopi

Gambar 13. Perkembangan Teh dan Kopi. Sumber : BPS Populasi sapi potong, ayam broiler dan ayam petelur sebelum krisis ekonomi

semuanya mengalami pertumbuhan yang positif, dan pada masa krisis ekonomi

semuanya mengalami pertumbuhan yang negatif, namun demikian pada masa

pemulihan ekonomi kecuali sapi potong, kembali mengalami pertumbuhan yang positif,

bahkan rata-rata populasinya sudah melebihi populasi sebelum krisis ekonomi (gambar

14 dan 15). Dari sisi produksi terlihat juga bahwa produksi daging sapi, susu, daging

ayam broiler dan telur sebelum krisis ekonomi mengalami peningkatan dan menurun

Page 16: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

627

pada masa krisis ekonomi, namun demikian kembali meningkat termasuk produksi

daging sapi pada masa pemulihan ekonimi dengan rata-rata produksi lebih tinggi dari

sebelum krisis ekonom (gambar 16 dan 17).

Penurunan populasi ternak sapi potong selama kurun waktu 1998-2001, sejak

tahun 2002 telah teratasi dan pada tahun 2003 telah mencapai jumlah 11,5 juta ekor.

Jumlah terse-but hampir mendekati jumlah populasi tahun 1997 yang mencapai 11,9

juta ekor. Lambannya perkembangan ternak sapi, khususnya sapi potong, disebabkan

oleh masih terbatasnya kemampuan sistem perbibitan dan manajemen pengelolaan

usaha peternakan sapi. Selain itu, semakin meningkatnya pemotongan sapi betina juga

menjadi penghambat lain yang potensial menekan perkembangan populasi ternak sapi

di dalam negeri. Namun permasalahan-permasalahan tersebut sedikit demi sedikit

sudah mulai dapat diatasi sehingga populasi ternak sapi pada tahun 2002 dan 2003

sudah menunjukkan peningkatan kembali. Peningkatan populasi ternak ruminansia

besar yang utama didorong oleh keberhasilan program inseminasi buatan.

Perkembangan jumlah populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau,

secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan produksi daging.

Peningkatan populasi ternak sapi potong pada periode 2000-2003, telah mendorong

peningkatan produksi daging sapi pada periode tersebut dengan laju 2,32 persen per

tahun. Seiring dengan peningkatan produksi hasil ternak, konsumsi pangan hewani juga

mengalami peningkatan. Konsumsi daging meningkat dari 5,75 kg/kapita/tahun pada

tahun 2002 menjadi sekitar 6,08 kg/kapita/tahun pada tahun 2003.

Dari fenomena di atas terlihat bahwa usaha ternak sapi potong dan sapi perah

sebelum krisis ekonomi telah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Adanya krisis

ekonomi menyebabkan populasi dan produk dari jenis ternak ini mengalami penurunan.

Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Departemen Pertanian telah

mampu mengangkat kinerja usaha peternakan ini kembali seperti sebelum krisis

ekonomi.

Dari berbagai jenis ternak yang ada, cukup sahih untuk dikatakan bahwa

perkembangan ternak ayam ras merupakan yang paling spektakuler. Perkembangan

ternak ayam ras yang sangat pesat sejak tahun 1980-an mampu mendorong kinerja

sektor Peternakan menjadi lebih baik lagi. Sampai menjelang krisis ekonomi,

pertumbuhan populasi ayam ras pedaging dan ras petelur sangat konsisten pada

kisaran 8,14 dan 7,15 persen per tahun. Pada periode krisis (1998-1999) laju

Page 17: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

628

pertumbuhan populasi ternak ayam ras pedaging dan ras petelur turun tajam hingga

mencapai -34,09 dan -21,95 persen per tahun. Namun selama periode 2000-2003,

populasi ternak ayam ras pedaging dan ayam ras petelur kembali meningkat dengan

tajam, bahkan pada tahun 2003, populasinya jauh melebihi sebelum periode krisis

(Tabel 14). Pada awal tahun 2004 ini, kinerja produksi ayam ras kembali menghadapi

ujian dengan munculnya wabah flu burung. Namun dengan cepat teratasinya wabah

tersebut diperkirakan tidak terlalu mengganggu kinerja produksi ayam ras pada tahun

2004 ini.

Seiring dengan membaiknya keragaan populasi ternak ayam ras, maka produksi daging

ayam ras dan telur pada periode 2000-2003 juga mengalami perbaikan. Selama periode

tersebut, produksi daging ayam pedaging meningkat dengan laju sekitar 24,30 persen

per tahun, sementara produksi telur meningkat dengan laju 9,34 persen per tahun.

Selama periode tersebut, peningkatan produksi daging ayam ras yang paling tinggi

terjadi pada tahun 2000 dan 2002, yaitu masing-masing sebesar 75,77 dan 40,02

persen. Sementara untuk telur, lonjakan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2000

yang mencapai 22,38 persen.

Epidemi flu burung yang di Indonesia mulai berjangkit pada akhir tahun 2003

dapat menjadi ancaman serius bagi kinerja subsektor Peter-nakan. Industri peternakan

ayam yang sudah mulai pulih terancam terpuruk lagi jika epidemi flu burung tersebut

berkelanjutan. Namun demikian, pada akhir Februari 2004 nampaknya epidemi flu

burung sudah dapat dikendali-kan dan diberantas tuntas. Departemen Pertanian sudah

melaksanakan program komprehensif untuk mengendalikan dan memberantas epidemi

flu burung tersebut dan kini tengah melaksanakan program pemulihan dampak

negatifnya terhadap industri peternakan.

Kita optimistis, subsektor Peternakan yang telah pulih dari terpaan krisis tahun

1998-1999 akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Kata kuncinya ialah kondisi

kesehatan perekonomian makro dan ancaman epide-mi penyakit menular. Belajar dari

bencana sebelumnya, Departemen Perta-nian akan membangun sistem pencegahan

dan penanggulangan penyakit ternak menular secara nasional. Pemulihan kesehatan

perekonomian nasional merupakan tugas kita bersama.

Page 18: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

629

11,497 11,455

10,771

11,008

10,275

11,298

10,504

9,600

9,800

10,000

10,200

10,400

10,600

10,800

11,000

11,200

11,400

11,600

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003

Gambar 14. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia (000 ekor). Sumber: BPS.

647,584

67,259

339,175

42,196

734,582

74,205

530,874

69,366

621,834

70,210

865,075

78,039

920,544

79,206

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

1,000,000

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003

Ayam broilerAyam petelur

Gambar 15. Perkembangan Populasi Ayam Broiler dan Petelur di Indonesia (000 ekor). Sumber: BPS

Page 19: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

630

339

519

326289

345

644

340

515

339

537

330

752

370

771

0

100

200

300

400

500

600

700

800

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003

Sapi Ayam Broiler

Gambar 16. Perkembangan Produksi Daging Sapi dan Ayam Broiler di Indonesia.

(000 ton). Sumber: BPS.

708,480

422,503

584,947

405,690

888,163

505,616

783,316

495,647

850,000

480,000

945,746

493,374

973,589

553,442

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

1,000,000

93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003

Telur Susu

Gambar 17. Perkembangan Produksi Telur dan Susu di Indonesia (000 ton). Sumber: BPS.

Fakta statistik di atas membuktikan bahwa secara umum produksi pertanian

terus meningkat dan kondisinya pada masa pemulihan ekonomi sudah lebih baik dari

masa sebelum krisis ekonomi, sehingga opini yang mengatakan bahwa produksi

pertanian menurun sangat keliru.

Page 20: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

631

Opini publik : Persentase penduduk miskin di pedesaan makin bertambah

Fakta Statistik : Persentase penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan sejak

masa pemulihan ekonomi

Tujuan akhir utama pembangunan pertanian ialah untuk meningkat-kan

kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan secara khusus serta seluruh rakyat

Indonesia secara umum. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah

prevalensi jumlah penduduk miskin. Kemampuan suatu pemerintahan di negara

berkembang seperti Indonesia untuk menu-runkan jumlah penduduk miskin, utamanya

di pedesaan, secara konsisten merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan

karena kemiskinan, utamanya di wilayah pedesaan, merupakan salah satu kendala

utama dalam pengembangan sektor Pertanian. Penduduk miskin di pedesaan terutama

yang hidup di sektor Pertanian mempunyai kemampuan yang amat terbatas dalam

permodalan dan pengetahuan teknologi pertanian, sehingga kemam-puan mereka

dalam meningkatkan kapasitas produksi pertaniannya pun melalui pengembangan

teknologi juga terbatas. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan, utamannya di wilayah

pedesaan, merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan nasional yang

dilaksanakan oleh suatu pemerintahan.

Secara absolut jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan hampir dua kali

lipat dibanding jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan

fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan

bergantung pada sektor Pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan

sangat terkait dengan sektor Pertanian. Dengan kata lain, sektor Pertanian merupakan

sektor yang amat strategis untuk dijadikan instrumen dalam pengentasan kemiskinan.

Kemajuan sektor Pertanian, paling tidak, akan banyak memberikan kontribusi pada

penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan.

Krisis multidimensi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan

jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi 26 persen atau sekitar 32

juta orang di pedesaan dan 22 persen atau hampir 18 juta orang. Namun pada tahun

2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi 21,1 persen atau 25 juta

orang di pedesaan dan 14,5 persen atau 13 juta orang di perkotaan. Walaupun secara

absolut maupun persentase jumlah penduduk miskin masih lebih tinggi pada tahun 2002

Page 21: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

632

dibanding tahun 1996 (sebelum krisis multidimensi), namun fakta penurunan insiden

kemiskinan tersebut secara konsisten merupakan salah satu prestasi luar biasa

pembangunan Indonesia pada periode pemu-lihan ekonomi. Penurunan jumlah

penduduk miskin di wilayah pedesaan pada periode pemulihan ekonomi, tidak terlepas

dari pertumbuhan sektor Pertanian yang cukup tinggi, utamanya subsektor Tanaman

Bahan Makanan selama periode tersebut.

Berdasarkan data prevalensi kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa pada periode

tahun 2000-2002 kesejahteraan penduduk pedesaan maupun perkotaan jauh lebih baik

dari pada periode tahun 1998-1999 (masa krisis), dan sudah mendekati keadaan tahun

1996. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten

menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk

miskin, baik di desa maupun di kota ialah pertumbuhan sektor Pertanian. Salah satu

studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan sektor Pertanian dalam menu-runkan

total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di

pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penu-runan signifikan jumlah

penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode tahun 1998-

2002 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor Pertanian.

Gambar 18. Persentase Penduduk Miskin di Pedesaan, 1996 – 2004. Sumber : BPS.

19.9

25.726.1

22.3

24.8

21.1

20.2

19.5

15

17

19

21

23

25

27

( % )

1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

Persentase Penduduk Miskin

Page 22: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

633

Selain itu, bukti yang lebih kuat tentang peningkatan kesejahteraan petani adalah

menurunnya jumlah absolut anggota rumah tangga tani yang masih hidup dalam

kemiskinan yakni, dari 26 juta orang pada tahun 1999 menjadi 20,6 juta orang pada

tahun 2002. Walaupun tidak dapat ditunjukkan dengan angka spesifik, dengan

meningkatnya secara signifikan laju pertumbuhan sektor Pertanian pada tahun 2003,

maka dapat dipastikan jumlah anggota rumah tangga tani yang masih miskin pada tahun

2003 jauh lebih kecil dari pada tahun 2002. Dengan demikian, tidak dapat diragukan

lagi, pembangunan yang dilaksanakan selama periode tahun 2000-2003 telah berhasil

meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan.

Opini publik : Kemandirian pangan Indonesia semakin menurun dan telah terperang-

kap impor pangan (food trap).

Fakta Statistik : Kapasitas produksi pangan domestik untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi domestik makin meningkat.

Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu

bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang

cukup, mutu yang layak, aman dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi

pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu,

salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan

ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Data Neraca Bahan Makanan yang

diterbitkan FAO menunjukkan bahwa selama periode 2000-2002, kemampuan

penyediaan pangan Indonesia dalam kalori per kapita per hari mencapai 3.313, jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999) yang sebesar 2.832

maupun sebelum krisis (1993-1997) yang sebesar 2.849. Bahkan kemampuan ekspor

pangan Indonesia selama periode 2000-2002 juga meningkat dibandingkan dengan dua

periode sebelumnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nilai net ekspor pangan yang

mencapai 1.223 Kkal/kapita/hari (Gambar 19). Rata-rata pangsa produksi pangan dalam

negeri terhadap total kebutuhan pangan dalam negeri, selama periode 2000-2002

mencapai 111 persen, sementara impor dan ekspornya masing-masing sebesar 13 dan

24 persen, sehingga secara keseluruhan net ekspor pangan Indonesia mencapai 11

persen (Gambar 20 dan 21) Kondisi ini jauh lebih baik dari dua periode sebelumnya,

dimana pangsa produksi pangan dalam negeri di bawah 100 persen dan net ekspornya

negatif sekitar 1-3 persen.

Page 23: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

634

Gambaran ketersediaan bahan pangan untuk dikonsumsi, menurut Neraca

Bahan Makanan (NBM), dihitung berdasarkan penjumlahan produksi domestik, impor

netto, stok dikurangi dengan kebutuhan nonkonsumsi (benih, industri nonpangan, dan

penggunaan lain). Ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk kalori dan

protein per kapita selama lima tahun terakhir rata-rata kuantitasnya relatif lebih dari

cukup, yakni di atas 3.000 kilo kalori dan di atas 74 gram dibandingkan rekomendasi

ketersediaan 2.550 kilo kalori dan 55 protein per kapita per hari. Kemampuan

penyediaan pangan per kapita yang relatif masih cukup tinggi, dikarenakan produksi

pangan meningkat dan didorong oleh kebijakan impor yang lebih terbuka.

Namun demikian, perkembangan ketersediaan energi dan protein selama lima

tahun terakhir cenderung turun, karena pertumbuhan produksi yang relatif lambat, dan

impor yang se-makin menurun. Menarik untuk dicer-mati bahwa: (a) pertumbuhan

produksi domestik meningkat relatif lambat, ter-utama beras hanya 0,50 persen per

tahun, bahkan kedelai turun 15 persen per tahun; (b) jumlah penduduk terus meningkat

dengan laju 1,5 persen per tahun, sementara, impor pangan cen-derung turun. Hal ini

menunjukkan bahwa peningkatan impor yang sangat besar pada awal reformasi

merupakan dampak dari dibukanya pasar domestik (efek psikologis), sehingga volume

yang diimpor sesungguhnya lebih ba-nyak dari kebutuhan. Penurunan impor pada

tahun-tahun berikutnya merupa-kan rasionalisasi dari tindakan excessive import pada

tahun-tahun awal. Penurunan volume impor pangan ini menjelaskan penurunan tingkat

keter-sediaan energi selama lima tahun terakhir. Untuk itu, dibalik angka rata-rata

nasional per kapita yang relatif tinggi tersebut masih perlu dicermati lebih dalam aspek

kestabilan jangka panjang penyediaan dari segi volume dan harga antarwaktu serta

antarlokasi. Faktor kestabilan tersebut merupakan prakondisi bagi aksesibilitas rumah

tangga terhadap pangan yang cukup sebagai sisi terpenting dalam ketahanan pangan.

Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu

bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang

cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi

pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu,

salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan

ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Hasil pemantauan mengenai rasio impor

beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan dalam

kalori/kapita/hari menunjukkan, bahwa ketergantungan impor, dalam bentuk kalori per

jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil

Page 24: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

635

Gambar 19. Produksi dan Ekspor Pangan Indonesia, 1993 – 2002. Sumber : FAO.

Gambar 20. Pangsa Ekspor dan Impor Pangan Terhadap Ketersediaan Total Dalam Negeri,1993 – 2002. Sumber : FAO.

Data BPS juga menunjukkan bahwa impor beberapa bahan pangan pokok,

seperti beras, jagung, kedelai dan gula, terhadap total kebutuhan dalam negeri selama

periode 2000-2003 relatif kecil. Impor beras masih di bawah 3 persen, sementara impor

kedelai dan gula sekitar 2 persen dan impor jagung di bawah 2 persen. Dengan

2849.34

854.34

2831.78

833.28

3224.67

1223.67

3082.63

1082.63

3278.65

1277.65

3312.72

1310.72

0.00

500.00

1000.00

1500.00

2000.00

2500.00

3000.00

3500.00

KK

al/K

apit

a/H

ari

1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002

Tahun

Produksi Net Ekspor

10.08 10.5911.23

14.11

23.8

12.72

19.71

13.49

23.4

10.49

28.28

14.17

0

5

10

15

20

25

30

Pan

gsa

(%

)

1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002

Tahun

Ekspor Impor

Page 25: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

636

demikian, kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia semakin terancam terperosok

ke dalam perangkap ketergantungan impor pangan tidak didukung oleh data yang ada.

Gambar 21. Pangsa Produksi dan Net Ekspor Terhadap Ketersediaan Total Dalam Negeri, 1993 – 2002. Sumber : FAO. .

4. Penutup

Kinerja sektor Pertanian selama periode tahun 2000-2003 akan lebih obyektif bila

dilaksanakan dengan memperhatikan dua gejolak eksternal beruntun dan luar biasa

yaitu : (a) anomali iklim El Nino berkepanjangan (1997-1998); dan yang berulang dalam

tenggang waktu singkat (2001) ; (b) krisis multi dimensi ekonomi-sosial politik

berkepanjangan (1997-1999). Kedua kondisi abnormal tersebut tidak saja membuat

kinerja sektor Pertanian pada tahun 2000-2003 beranjak dari tahap awal yang terpuruk,

tetapi juga dengan lingkungan strategis yang tidak menguntungkan, serta perpaduan

keduanya menciptakan pesimisme dan resiko ketidakpastian berusaha sehingga sektor

Pertanian berada dalam ancaman stagnasi berkelanjutan. Dengan demikian, kinerja

sektor Pertanian pada tahun 2000-2003 haruslah dievaluasi dengan tiga perspektif yaitu

: (a) kemampuan berbalik dari ancaman kontraksi lebih buruk (rescue) ; (b) kemampuan

pulih dari stagnasi berkepanjangan (recovery) ; dan (c) kemampuan tumbuh akseleratif

(accelerating) menuju pertumbuhan tinggi berkelanjutan (sustaining growth).

Secara umum, sektor Pertanian mampu melepaskan diri dari ancaman terpuruk

secara berkepanjangan. Sektor Pertanian terbukti lebih tangguh dan mampu pulih lebih

99.49

-0.51

97.13

-2.87

111.08

11.08

106.22

6.22

112.92

12.92

114.11

14.11

-10

10

30

50

70

90

110

130

Pan

gsa

(%

)

1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002

Tahun

Produksi Net Ekspor

Page 26: 2003 OPINI VS FAKTA - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_14.pdf · mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat

637

cepat dibanding sektor-sektor lain. Walaupun periode awalnya bervariasi antar

subsektor apalagi antar komoditas, secara umum sektor Pertanian telah berhasil

berbalik dari ancaman kontraksi berkelanjutan (1997-1998), melepaskan diri dari

perangkap “ spiral pertumbuhan rendah “ (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah

berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju pertumbuhan

berkelanjutan (sustaining growth). Selain sektor pertanian mampu pilih, fakta statistik

juga menunjukkan bahwa kinerja sekor pertanian 2000-2003 ternyata lebih baik

dibanding periode sebelum krisis (1993-1996). Fakta statistik tersebut

menggugurkan opini publik di media massa yang mengatakan bahwa kinerja

sektor pertanian selama periode 2000-2003 makin terpuruk. Walaupun demikian

harus diakui bahwa kinerja sektor pertanian tersebut belum sepenuhnya mampu

mengatasi permasalahan yang dihadapi sektor pertanian utamanya peningkatan

kesejahteraan petani.

Agenda jangka menengah-pendek (sekitar lima tahun ke depan) yang perlu segera

kita rumuskan ialah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang cukup

menggembirakan tersebut. Disadari, potensi pertumbuhan yang ada saat ini sudah

hampir termanfaatkan secara optimal. Setidaknya lima upaya yang harus dan segera

dilakukan agar momentum akselerasi pertumbuhan sektor Pertanian dapat terus

dipertahankan secara berkelanjutan yaitu : (a) merenovasi dan memperluas infra

struktur fisik (hard infrastructure), utamanya sistem irigasi, sistem transportasi, sistem

telekomunikasi dan kelistrikan pedesaan; (b) revitalisasi sistem inovasi pertanian

(penelitian dan pengembangan, diseminasi teknologi pertanian) ; (c) Pengembangan

kelembagaan agribisnis (tata pemerintahan, organisasi pengusaha dan jejaring usaha) ;

(d) rekonstruksi sistem insentif berproduksi dan investasi ; (e) pengelolaan pasar input

dan output. Semua ini hendaklah diracang secara komprehensif dan terpadu.

Ke depan, pengalaman krisis pahit multi-dimensi 1997-1998 memberikan pelajaran

berharga betapa strategisnya sektor Pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan

penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sektor Pertanian merupakan kunci

untuk pengentasan kemiskinan dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Oleh

karena itu, pembangunan sektor Pertanian haruslah tetap dijadikan sebagai prioritas

pembangunan nasional. Inilah konsensus politik yang masih perlu diperjuangkan

bersama.