repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51760/1/DWIKE... · i ....
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51760/1/DWIKE... · i ....
KONSTRUKSI BERITA MODERASI BERAGAMA
SEBAGAI UPAYA MENCEGAH RADIKALISME
(Analisis Framing Rubrik Dialog Jumat Republika)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dwike Nuraini
11150510000139
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Dwike Nuraini
NIM : 11150510000139
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul
Konstruksi Berita Moderasi Beragama Sebagai Upaya
Mencegah Radikalisme (Analisis Framing Rubrik Dialog
Jumat Republika) adalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam proses
pembuatannya. Adapun kutipan yang terdapat dalam penyusunan
karya ini telah saya cantumkan sumbernya di dalam skripsi. Saya
bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai peraturan
perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau
keseluruhannya merupakan bagian dari praktek plagiarisme dari
karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan
seperlunya.
Jakarta, 22 Mei 2020
Dwike Nuraini
NIM. 1150510000139
ii
KONSTRUKSI BERITA MODERASI BERAGAMA
SEBAGAI UPAYA MENCEGAH RADIKALISME
(Analisis Framing Rubrik Dialog Jumat Republika)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh
Dwike Nuraini
NIM. 11150510000139
Dosen Pembimbing
Drs. Helmi Hidayat M. A.
NIP. 196504262014111001
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020
iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN
Skripsi karya Dwike Nuraini yang berjudul Konstruksi Berita
Moderasi Beragama Sebagai Upaya Mencegah Radikalisme
(Analisis Framing Rubrik Dialog Jumat Republika) telah diuji
dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin tanggal 8 Juni 2020.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar program sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan
Jurnalistik.
Ciputat, 8 Juni 2020
Tim Sidang Munaqasyah
Ketua Sekretaris
Kholis Ridho, M.Si Dra. Hj. Musfirah Nurlaili, MA
NIP. 197801142009121002 NIP. 197104122000032001
Penguji I Penguji II
Ali Irfani, M.Hi Bintan Humeira M. Si
NIP.197711052001122002
Pembimbing
Drs. Helmi Hidayat, MA
NIP. 196504262014111001
iv
ABSTRAK
Dwike Nuraini
11150510000139
KONSTRUKSI BERITA MODERASI BERAGAMA
SEBAGAI UPAYA MENCEGAH RADIKALISME (Analisis
Framing Rubrik Dialog Jumat Republika)
Keberagaman suku, budaya, dan agama di Indonesia
sangat terbuka bagi timbulnya polemik di antara masyarakat,
misalnya terjadi perbedaan pendapat di antara mereka lalu
sebagian tidak siap menerima perbedaan itu. Hal tersebut
dibuktikan dengan meningkatnya kasus intoleransi dari 2014
hingga 2019. Setara Institute merilis hasil survei mereka tentang
kasus intoleransi antarumat beragama selama periode pertama
pemerintahan Presiden Jowo Widodo terjadi sebanyak 846
peristiwa. Pada periode kedua, Presiden Joko Widodo
memberikan perhatian khusus terhadap kasus intoleransi, dengan
menugaskan Menteri Agama Fachrul Razi untuk berkonsentrasi
mencegah radikalisme di Indonesia. Mengapa harus radikalisme?
Karena salah satu ciri dan sikap dari paham radikal adalah
Intoleransi. Jika dibiarkan secara terus menerus, sikap itu akan
mengancam perdamaian dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu media cetak yang membahas tentang moderasi
beragama adalah Harian Umum Republika lewat rubrik „‟Dialog
Jumat‟‟ yang mereka asuh. Sejumlah berita yang mengandung
unsur moderasi beragama diteliti dalam skripsi ini, untuk
mengetahui bagaimana rubrik itu mengonstruksi berita moderasi
beragama, di tengah maraknya kasus intoleransi yang
dikhawatirkan akan melahirkan kasus radikalisme. Penelitian ini
juga ingin mengetahui bagaimana upaya „‟Dialog Jumat‟‟
Republika membingkai beritanya untuk turut serta dalam
meminimalisasi radikalisme di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian
konstruktivis dengan pendekatan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan
v
dokumentasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis
framing Robert N. Entman dengan empat elemen framingnya
yakni Problem Identification, Causal Interpretation, Moral
Evaluation, dan Treatment Recommendation.
Hasil analisis menunjukkan bahwa „‟Dialog Jumat‟‟
Republika mengonstruksi berita moderasi beragama sebagai
upaya untuk turut serta mencegah radikalisme. Hal ini dilihat
berdasarkan terpenuhinya indikator-indikator terori moderasi
beragama yang terdapat dalam berita, yaitu komitmen
kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan sikap akomodatif
terhadap kebudayaan lokal. Upaya „‟Dialog Jumat‟‟ Republika
untuk meminimalisasi paham radikal juga sesuai dengan visi dan
misinya, yaitu mempromosikan semangat toleransi antarumat
beragama.
Kata kunci : Konstruksi berita, Moderasi Beragama,
Radikalisme, Toleransi, Analisis Framing Robert N. Entman,
Dialog Jumat Republika.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pemurah dan lagi
Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya dalam kehidupan umat manusia. Atas rahmat dan karunia-
Nya jugalah peneliti dalam dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Konstruksi Berita Moderasi Beragama Sebagai Upaya
Mencegah Radikalisme (Analisis Framing Rubrik Dialog
Jumat Republika)”. Tidak lupa juga Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih jauh dari
sempurna namun tidak menghilangkan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini, baik
secara moril maupun materil. Untuk itu peneliti mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Suparto,M.Ed,Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, Wakil Dekan I
Bidan Akademik, Dr. Sihabudin Noor, M.Ag, Wakil
Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Cecep
Castrawijaya, M.A Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
2. Ketua jurusan Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si dan
Sekretaris Jurusan, Dra. H. Musfirah Nurlaily, M.A.
vii
3. Drs. Helmi Hidayat M.A., dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa membimbing, mengarahkan, dan
memberikan dukungan penuh selama proses penelitian.
4. Seluruh jajaran dosen dan staf Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Redaktur Dialog Jumat Republika, Syalaby Ichsan, dan
segenap pimpinan serta karyawan Republika yang telah
bersedia membantu peneliti dalam kegiatan wawancara
untuk memenuhi data yang dibutuhkan dalam penelitian.
6. Kedua orangtua yang peneliti cintai, Ayahanda Yana
Mulyana dan Ibunda Euis Nurnaningsih, atas doa yang tak
pernah lelah dipanjatkan dan selalu memberikan
dukungan moril dan materiil kepada peneliti. Terima
kasih atas kasih sayang dan cinta yang tak pernah usai.
7. Saudara kandung peneliti, Fitria Nurjanah, beserta seluruh
keluarga yang selalu menyemangati peneliti dalam
menyelesaikan studi.
8. Ghaitsa Harfi Adrina, keponakan yang tersayang, terima
kasih selalu menjadi pelipur lara ketika peneliti merasa
lelah.
9. Ikhwana, Anida, Nadya, Rissa, dan Sulis, sahabat yang
selalu menjadi tempat berkeluh kesah selama masa kuliah,
serta teman-teman Jurnalistik angkatan 2015 dan seluruh
mahasiswa Jurnalistik. Terima kasih karena telah
viii
memberikan masukan dan semangat untuk menyelesaikan
penelitian ini.
10. Adhitya Fauzan, Suci Amalia, dan Rizal Asyari, sahabat
yang tidak berhenti untuk memberikan semangat dan
membantu menyelesaikan penelitian ini. Serta kepada
teman-teman KKN Semarak Delapan yang telah memberi
kesan baik dan support.
11. Guru-guru semasa sekolah dan teman-teman online,
terima kasih selalu memberi dukungan dan semangat
untuk menyelesaikan skripsi.
12. Teman-teman B3e.Production, terima kasih telah menjadi
wadah baru untuk terus mengajak kebaikan, dan
menyemangati peneliti.
13. Sahabat KARIB, yang saya cintai karena Allah. Terima
kasih selalu menjadi benteng dalam kebaikan dan selalu
memberi dukungan, serta bantuan.
14. Teman-teman RDK FM, terima kasih telah memberi
pengalaman dan kesan baik, serta support semasa kuliah.
15. Ananda Lisabellaila dan Helvina Prihartanti, tetangga
sekaligus sahabat yang tidak pernah lelah memberikan
dukungan dan saran. Terima kasih banyak, untuk
berusaha selalu ada.
Sekali lagi, peneliti mengucapkan banyak terima kasih
atas dukungan dan bantuannya. Mohon maaf tidak bisa
ix
menyebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 22 Mei 2020
Dwike Nuraini
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI.......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7
1. Batasan Masalah ..................................................................... 7
2. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
1. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
2. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 13
1. Paradigma Penelitian ............................................................ 13
2. Pendekatan Penelitian ........................................................... 14
3. Metode Penelitian ................................................................. 15
4. Subjek dan Objek Penelitian ................................................. 16
xi
5. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 17
6. Teknik Analisis Data ............................................................. 17
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................. 21
A. Landasan Teori ........................................................................... 21
1. Media dan Konstruksi Realitas ............................................. 21
2. Komunikasi Massa ................................................................ 31
3. Moderasi Beragama .............................................................. 37
4. Berita ..................................................................................... 48
5. Surat Kabar ........................................................................... 52
B. Kerangka Berpikir ...................................................................... 56
BAB III GAMBAR PENELITIAN .................................................... 57
A. Profil Republika .......................................................................... 57
B. Dialog Jumat ............................................................................... 62
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .............................. 65
1. Analisis Framing Berita “Shalat di Dalam Gereja. Bolehkah?” 65
2. Analisis Framing Berita “Belajar dari Perang” ......................... 74
BAB V PEMBAHASAN ..................................................................... 82
BAB VI PENUTUP ............................................................................. 95
A. Kesimpulan ................................................................................. 95
B. Implikasi ..................................................................................... 96
C. Saran ........................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 98
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Analisis Framing Berita “Shalat di Dalam Gereja.
Bolehkah?” ................................................................................... 78
Tabel 5.2 Analisis Framing Berita “Belajar dari Perang” ....... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia terdiri atas 34 provinsi tersebar dari Sabang
hingga Merauke. Beragam suku, budaya dan bahasa ada di sana.
Selain itu, Indonesia juga disebut sebagai negara multiagama.
Ada tujuh agama yang diakui secara konstitusional, yakni Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu.
Dengan segala keberagamannya, Indonesia memiliki semboyan
Bineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu.
Alat pemersatu lainnya yang dianggap penting untuk dimiliki
suatu bangsa adalah ideologi. Pancasila sebagai ideologi negara
menjadi kewajiban setiap warga negara Indonesia mematuhinya.
Namun, pergesekan perbedaan-perbedaan kerap kali sulit untuk
dihindari. Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas HAM
pada 2016, tercatat ada 97 kasus intoleransi. Data ini meningkat
dari 76 kasus pada 2014 dan 87 kasus pada 2015.1 Kasus
intoleransi tersebut terus meningkat hingga 2018.
Adapun cacatan hitam kasus intoleransi terjadi pada 2015,
yakni adanya pembakaran masjid di Tolikara Papua dan
1Lihat “Intoleransi Meningkat Pada 2016” dalam 2016-intole
http://komnasham.go.id/ pada-ransimeningkat.html, diunduh pada 30 Oktober
2019 pukul 21:30 WIB
2
pembakaran gereja di Aceh Singkil.2 Di ujung timur Indonesia,
tepatnya di Kabupaten Tolikara, umat Islam yang hendak
melaksanakan salat id diserang oleh sekelompok orang. Musala
Baitul Muttaqin hangus dibakar. Sekelompok orang tiba-tiba
menyerang jemaah yang sedang melaksanakan salat id di
lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga, sekitar pukul 07.00
WIT. Massa meminta salat id yang digelar di ruang terbuka
dihentikan. Sebelum peristiwa pembakaran musala dan
penyerangan terhadap umat Islam yang hendak salat id, lebih
dahulu beredar surat larangan salat Idul Fitri pada 11 Juli 2015
mengatasnamakan Jemaat GIDI (Gereja Injil di Indonesia)
Wilayah Tolikara.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya Oktober 2015 kasus
intoleransi kembali terjadi. Kali ini, warga membakar rumah
ibadah milik umat Kristiani di Aceh Singkil. Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menjelaskan, bentrok berdarah
antarwarga di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh
Singkil berawal dari tindakan warga mendirikan satu gereja dan
undung-undung (tempat ibadah kecil). Tetapi, pendirian tempat
ibadah tersebut tidak sesuai jumlah yang rencananya mau
dibangun.
Beberapa contoh kasus intoleransi di atas sangat bertolak
belakang dengan semboyan Bineka Tunggal Ika. Intoleransi
2 Lihat, https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-tolikara-dan-aceh-
singkil-catatan-hitam-toleransi-beragama-kaleidoskop-merdeka-2015.html,
diakses pada 26 Juni 2020, pukul 00.07 WIB
3
merupakan lawan kata dari toleransi. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata toleransi memiliki makna:
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau bertentang dengan
pendirian sendiri. Secara bahasa, toleransi adalah sikap
menghargai pendirian orang lain, namun menghargai bukan
berarti membenarkan apalagi mengikuti.
Jadi, secara singkat intoleransi memiliki arti sikap tidak
menghargai pendapat maupun pendirian orang lain.3 Hal ini
menjadikan intoleransi sebagai salah satu ciri dari sikap dan
paham radikal. 1) Intoleran, yakni tidak mau menghargai
pendapat dan keyakinan orang lain, 2) Fanatik, yakni selalu
merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah, 3) Eksklusif,
yakni membedakan diri dari umat Islam umumnya dan 4)
Revolusioner, yakni cenderung menggunakan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan.4
Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ)
Kementerian Agama, Kiai Muchlis M Hanafi, mengatakan bahwa
moderasi beragama menjadi salah satu solusi untuk mencegah
3Ahmad Syarif, Ngaji Toleransi, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo), 2017, h. 2 4Lihat “Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – Isis,
oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)” dalam
https://belmawa. ristekdikti.go.id/wpcontent/uploads/ 2016/12/Strategi-
Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf, diakses pada 27 Oktober
2019, pukul 19.30 WIB, h. 6.
4
radikalisme dan ekstremisme.5 Kiai Muchlis mengatakan bahwa
moderasi beragama bertujuan untuk memberikan edukasi kepada
masyarakat agar saling menghargai sesama umat manusia,
khususnya bagi mereka yang tidak seagama.
Perbincangan tentang radikalisme dan upaya
pencegahannya bukanlah hal yang baru. Hal tersebut selaras
dengan perintah Presiden Jokowi saat pelantikan Menteri Agama
pada 23 Oktober 2019 kepada Fachrul Razi untuk mencegah
radikalisme, dan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi umat,
industri halal dan haji. Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid,
menyebut paham radikal dapat menyebar karena dua aspek, yakni
aspek keagamaan dan aspek ekonomi. Zainut mengatakan
radikalisme bukanlah istilah yang mengarah pada satu agama
tertentu, melainkan dapat melekat pada semua agama6. Ia
mencontohkan paham yang tidak menerima dan menggolongkan
'kafir' kepada kelompok lain yang ajarannya berbeda, itu
termasuk radikalisme dari aspek keagamaan.
Permasalahan-permasalahan ini harus segera diatasi
karena jika terus menerus dibiarkan akan mengancam perdamaian
dunia. Bukan hanya pihak pemerintahan yang bertanggungjawab
5Lihat “Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama Untuk Hindari
Radikalisme” dalam https://muslim.okezone.com/read/2019/11/04/614/
2125412/pentingnya-penguatan-moderasi-beragama-untuk-hindari-
radikalisme, diakses pada 1 November 2019, pukul 21.22 WIB 6Lihat “Kemenag Akan Kerahkan 45 Ribu Penyuluh Cegah
Penyebaran Paham Radikal” dalam https://news.detik.com/berita/d-
4760222/kemenag-akan-kerahkan-45-ribu-penyuluh-cegah-penyebaran-
paham-radikal, diakses pada 2 November 2019, Pukul 21.00 WIB.
5
melainkan seluruh lapisan masyarakat. Salah satu solusi yang
ditawarkan Kemenag adalah moderasi beragama, dimana
toleransi menjadi indikator utamanya.Secara umum, moderasi
berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan,
moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai
individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.
Dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999;
dinyatakan bahwa pers merupakan lembaga sosial serta wahana
komunikasi massa. Pers melaksanakan kegiatan jurnalistik, dan
berperan sebagai media informasi yang memiliki fungsi
pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. Salah satu fungsi pers
adalah memberikan edukasi (to educate), pers bertanggung jawab
untuk menyampaikan fakta secara objektif dan selektif, sehingga
dapat menyeimbangkan arus informasi. Direktur Kemitraan
Komunikasi Kementerian Kominfo Dr. James Pardede MM.
menyatakan saat ini banyak tayangan dan konten media yang
telah menyimpang dari tujuan untuk memberikan edukasi
terhadap masyarakat.7
Berangkat dari pemaparan di atas, peneliti melihat bahwa
pers sangat berperan penting untuk mencegah radikalisme.
Peneliti melihat bahwa masih ada media yang menjalankan
fungsinya untuk memberikan edukasi. Republika merupakan
salah satu media cetak yang membingkai berita moderasi
7Lihat “Kominfo: Banyak Tayangan Media Menyimpang” dalam
https://www.kominfo.go.id/ content/detail/1612/kominfo-banyak-tayangan-
media-menyimpang/0/sorotan_media, diakses 3 November 2019, pukul 06.30
WIB
6
beragama dengan mempromosikan semangat toleransi antarumat
beragama sebagai upaya mencegah radikalisme. Dapat dilihat
dari pembahasan yang kontroversial terkait isu toleransi
antarumat beragama yang dikemas secara sederhana dengan
melampirkan berbagai sumber terpercaya. Selain itu, Dialog
Jumat juga berani mengambil sikap yang berimbang dalam
mengemas berita, tidak menyalahkan juga tidak membenarkan.
Republika juga merupakan salah satu surat kabar yang ada
di Jakarta dan peredarannya merambah skala nasional. Surat
kabar Republika menjadi salah satu surat kabar nasional yang
telah meraih banyak penghargaan baik dari Dewan Pers, PWI,
atau penghargaan jurnalistik lainnya. Republika merupakan
media yang terkenal ideologinya berdasarkan para penggagas
media tersebut, yakni berasal dari kalangan muslim. Dalam surat
kabar Republika edisi September, peneliti menemukan dua judul
artikel tentang toleransi antarumat beragama yang menarik untuk
dijadikan sampel terkait isu radikalisme yang menyebabkan
perpecahbelahan antarumat, antara lain: Shalat di Dalam Gereja,
Bolehkah?, dan Belajar Dari Perang.
Berdasarkan permasalahan dan dugaan peneliti yang telah
dijelaskan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul KONSTRUKSI BERITA MODERASI BERAGAMA
SEBAGAI UPAYA MENCEGAH RADIKALISME (Analisis
Framing Rubrik Dialog Jumat Republika).
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar penelitian lebih terfokus, peneliti membatasi
masalah pada rubrik Dialog Jumat yang membahas isu
toleransi antarumat beragama, edisi September. Penelitian ini
menggunakan metode analisis framing Robert N. Entman
yang merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi,
dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekan
kerangka berpikir tertentu pada suatu peristiwa yang
diwacanakan. Analisis tersebut juga merujuk pada teori media
dan konstruksi realitas, serta konsep moderasi beragama
sebagai acuan pembahasan dalam menganalisis.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu,
bagaimana rubrik Dialog Jumat Republika mengonstruksi
berita moderasi beragama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana rubrik Dialog Jumat Republika mengonstruksi
berita moderasi beragama.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
ilmiah pengembangan ilmu jurnalistik dalam menganalisis
8
pembingkaian berita moderasi beragama pada rubrik surat
kabar dengan teknik analisis framing Robert N. Entman,
yakni menafsirkan sebuah berita melalui seleksi isu dan
penekanan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu.
Penulis juga berharap riset ini dapat dijadikan
sebagai bahan informasi, data, serta referensi bagi
mahasiswa di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah, khususnya bagi jurusan
Jurnalistik.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membentuk sikap
yang bijak bagi konsumen media massa, agar tidak
terjebak hoax dan konstruksi media yang buruk. Peneliti
berharap penelitian ini bisa memberikan informasi kepada
masyarakat, tentang bagaimana media membingkai makna
mengenai moderasi beragama melalui cara pandang yang
dibangun oleh media massa, serta fungsi media untuk
memberikan edukasi. Penelitian ini juga diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran positif dan membangun
untuk media massa, khususnya rubrik Dialog Jumat, surat
kabar Republika.
9
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini dibuat dengan meninjau berbagai jurnal dan
skripsi dengan tema dan pembahasan serupa, yakni analisis
framing pada surat kabar. Tinjauan pustaka tersebut, antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Husnul Aprilia
(2019)Jurusan Jurnalistik UIN Jakarta, dengan judul:
KONTRUKSI ISU TOLERANSI AGAMA DALAM
MEDIA ONLINE.
Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian
konstruktivis dengan pendekatan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan
dokumentasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis
framing Robert N. Entman dengan empat elemen framing-
nya yakni Problem Identification, Causal Interpretation,
Moral Evaluation, dan Treatment Recommendation.
Berdasarkan hasil temuan yang telah peneliti
paparkan, terlihat perbedaan pembingkaian yang
dilakukan oleh keempat media online Republika Online,
Kompas.com, Detik.com dan Tribunnews.com dalam
memberitakan isu toleransi agama. Republika Online
sebagai media yang dipelopori komunitas Muslim dalam
konstruksinya memaknai toleransi agama berdasarkan
nilai-nilai. Lain halnya dengan Kompas.com,
Tribunnews.com dan Detik.com memandang toleransi
10
agama dalam konteks universal yang merujuk ke arah
nilai-nilai keberagaman dan Hak asasi manusia (HAM).
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan penulis terlihat tema yang dibahas, yakni
toleransi agama. Namun dalam penelitian ini hanya
melihat bagaimana toleransi antarumat agama dibingkai
oleh sebuah media online. Sedangkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh penulis, toleransi antarumat agama
dilihat sebagai upaya mencegah radikalisme. Persamaan
lainnya dilihat dari teknik analisis dan teori yang
digunakan yakni, analisis framing Robert N. Entman.
Penelitian ini juga memiliki perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis yaitu platform dan jumlah
media yang diteliti. Penelitian ini meneliti empat media
online, sedangkan yang penulis teliti hanya satu rubrik
dalam surat kabar.
2. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 3 Nomor 1 (2019)
oleh Irfan Sanusi dan Enjang Muhaemin UIN Sunan
Kalijaga dengan judul: INTOLERANSI KEAGAMAAN
DALAM FRAMING SURAT KABAR KOMPAS.
Metode penelitian ini menggunakan analisis
framing Robert N. Entman, yang memfokuskan kajian
pada penonjolan kerangka pemikiran, perspektif, konsep,
dan klaim penafsiran media dalam memaknai objek
wacana. Penelitian diharapkan mampu menstimulasi
11
masyarakat untuk kian kritis dalam memahami beragam
berita yang dikonstruksi wartawan.
Hasil penelitian menunjukkan, Kompas
mendefinisikan masalah intoleransi keagamaan dan
keberagamaan di Indonesia sebagai masalah agama,
sosial, politik, pendidikan, dan nasionalisme. Namun
Kompas umumnya lebih mendefinisikan sebagai masalah
pemahaman agama dan melemahnya sikap nasionalisme.
Berita-berita Kompas menganggap sumber penyebabnya
lebih dominan karena pemahaman agama yang dangkal,
parsial, dan tidak mendalam. Kompas menyimpulkan
intoleransi merupakan ancaman serius yang bisa
membahayakan NKRI. Rekomendasi yang ditawarkan di
antaranya pemerintah dituntut tegas, cepat, dan tidak
berbau politis. Para tokoh agama direkomendasikan
membangun komunikasi dialogis secara intens dan
berkelanjutan, serta mendidik masyarakat untuk selalu
meningkatkan kesadaran keberagamaan yang mendalam,
moderat, dan tidak ekstrem.
Dalam penelitian ini hanya melihat bagaimana
intoleransi antarumat agama dibingkai oleh surat kabar.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis,
intoleransi sebagai indikator radikalisme yang harus
dicegah dengan menumbuhkan toleransi antarumat
beragama. Persamaan penelitian yang dilakukan penulis
12
dengan penelitian ini terletak pada teknik analisis dan
teori yang digunakan yakni, analisis framing Robert N.
Entman. Penelitian ini juga memiliki perbedaan, yaitu
media yang diteliti. Penelitian ini meneliti surat kabar
Kompas, sedangkan yang penulis teliti surat kabar
Republika.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Tarionaldo (2011),
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim Riaudengan
judul: ANALISIS ISI BERITA LAPORAN UTAMA
TABLOID REPUBLIKA DIALOG JUMAT EDISI
JANUARI-JUNI 2010.
Teori dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan teori Siregar yaitu pelaporan mendalam dalam
menyampaikan isi berita yang terdiri dari significance,
magnitude, timeliness, proximity, prominence dan human
interest. Metode penelitian yang digunakan adalah
sebagai subjek penelitiannya yaitu Tabloid Republika
Dialog Jumat dan objek penelitiannya adalah berita
laporan utama Tabloid Republika Dialog Jumat edisi
Januari sampai Juni 2010, populasi yang digunakan
sebanyak 6 edisi yaitu 8 Januari, 19 Februari, 26 Maret,
30 April, 7 Mei dan 11 Juni 2010. Hasil penelitian ini
berupa analisis isi dari tema laporan utama, pelaporan
13
mendalam dan narasumber dari Tabloid Republika Dialog
Jumat edisi Januari-Juni 2010.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan penulis terlihat media yang diteliti adalah
Dialog Jumat Republika. Namun dalam penelitian ini,
Dialog Jumat masih dalam bentuk tabloid, sedangkan
Dialog Jumat yang penulis teliti sudah masuk ke dalam
rubrik surat kabar Republika. Penelitian ini menggunakan
teknik dan teori analisis isi, dimana peneliti hanya
menganalisis isi dari berita-berita Dialog Jumat.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis,
menggunakan teknik analisis framing Robert N. Entman.
Peneliti menganalisis tulisan-tulisan dalam rubrik Dialog
Jumat dan aktor-aktor yang berperan dalam ke penulisan
rubrik tersebut, untuk mengetahui bagaimana isu toleransi
dikonstruk dan membingkai sebuah makna.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis
menganggap kenyataan itu hanya bisa dipahami dalam bentuk
jamak, berupa konstruksi mental yang tak dapat diraba,
berbasis sosial dan pengalaman yang bersifat lokal.
Paradigma konstruktivis mempunyai penilaian sendiri,
bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Paradigma
14
konstruktivis melihat fakta atau peristiwa merupakan hasil
konstruksi dan realitasnya bersifat subjektif. Realitas bisa
berbeda-beda, tergantung pada konsepsi ketika realitas itu
dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan
berbeda.8
Dalam buku Analisis Framing yang ditulis oleh
Eriyanto,disebutkan bahwa media merupakan agen
konstruksi. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, tapi
juga merupakan subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap
dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Dalam hal ini,
peneliti melihat bahwa pemberitaan terkait toleransi beragama
dalam rubrik Dialog Jumat pada surat kabar Republika,
memiliki pandangan yang dikonstruksi secara subjektif. Baik
berdasarkan, wartawan, pemilik media, maupun ideologi
media itu sendiri.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari perilaku manusia yang dapat diamati dan
diarahkan pada individu secara utuh.9 Jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-
8Herbert J. Gans, Multiperspectival News, dalam Elliot D. Cohen
(ed.), Philosphical Issues in Journalism, (New York: Oxford University Press,
1992), h. 191 9 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013),h. 82.
15
fakta yang berkaitan dengan tema, kemudian menganalisanya
untuk menjawab pertanyaan. Dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif, peneliti berharap dapat mengkaji dan
meneliti tentang pembingkaian berita toleransi antarumat
beragama pada rubrik Dialog Jumat, surat kabar Republika.
3. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan teori
analisis framing. Sosiologis, Todd Giltin, memandang
framing sebagai sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia
dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk
ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Penelitian ini menggunakan analisis framing model
Robert N. Entman yang memiliki empat perangkat. Pertama,
pemberian definisi (problem identification), yakni melihat
bagaimana wartawan memahami peristiwa, karna pada
dasarnya peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda
dan dibingkai dengan cara yang berbeda oleh wartawan
sehingga membentuk pemahaman suatu realitas yang berbeda
pula.10
Perangkat yang kedua yakni memperkirakan penyebab
masalah (diagnose causes), melihat siapa yang dianggap
sebagai aktor dari sebuah peristiwa oleh wartawan. Aktor
dalam hal ini tidak hanya „orang‟ atau berarti siapa (who?),
10
Robert N. Entman and Andrew Rojecki, “Freezing Out the Public:
Elite and Media Framing of the US Anti Nuclear Movement”, dalam Political
Communication, Vol. 10, No. 1, 1993, h. 157
16
aktor juga bisa berarti apa yang dianggap sebagai penyebab
atau sumber masalah (what?). Melalui elemen ini dapat
terlihat bagaimana wartawan memahami sebuah peristiwa dan
bagaimana ia menentukan apa dan siapa yang dianggap
sebagai sumber masalah dalam peristiwa.
Perangkat ketiga, membuat keputusan moral/evaluasi
(make moral judgment), yakni melihat argumentasi yang
digunakan wartawan untuk mendukung gagasan yang
ditampilkan dalam pemberitaan. Umumnya gagasan yang
dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan
dikenal oleh khalayak.
Perangkat yang terakhir adalah menekankan
penyelesaian (Treatment recommendation), yakni untuk
menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan dan jalan apa
yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu
tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu
dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.
Dengan menggunakan analisis framing, peneliti
berusaha mengerti dan menafsirkan makna dari suatu teks
dengan cara menguraikan bagaimana media bercerita dan
membingkai peristiwa.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah redaksi Republika. Dalam
penelitian ini, yang menjadi narasumber adalah Ichsan Salaby
sebagai redaktur rubrik Dialog Jumat Republika. Adapun
17
objek penelitian ini adalah teks dalam rubrik Dialog Jumat
Republika.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, antara
lain:
- Studi teks/dokumen: Peneliti mengamati teks berita pada
rubrik Dialog Jumat Republika. Peneliti juga mengamati
bahan bacaan sebagai referensi analisis subjek dan objek
penelitian.
- Wawancara: Peneliti melakukan wawancara dengan pihak
yang relevan atau key informan dengan substansi masalah
penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan
proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman agar
temuannya dapat diinterpretasikan. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan analisis data seperti yang diberikan
Miles and Huberman dan Spradley. Miles and Huberman
(1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai
tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis
18
data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion
drawing/verification.
Data reduction (reduksi data).
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya
cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti
dan rinci. Seperti telah dikemukakan semakin lama
peneliti ke lapangan , maka jumlah data akan semakin
banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera
dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari
tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan.
Data display (penyajian data).
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya
adalah mendisplaykan data. Penyajian data dilakukan
dengan bentuk uraian singkat, grafik, bagan, hubungan
antar kategori, dan flowchart. Dalam hal ini Miles and
Huberman (1984) menyatakan “the most frequent form of
display data for qualitative research data in the past has
been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk
menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
19
teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data,
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang
terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami tersebut.
Conclusion drawing/verification.
Langkah ketiga dalam analisis data menurut Miles
and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh
buktibukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali
ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah peneliti dalam menyusun skripsi,
peneliti membuat gambaran sistematika penulisan. Sistematika
penulisan skripsi ini dikelompokkan menjadi enam Bab, antara
lain:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
20
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi landasan teori membahas tentang landasan
teori, teori konseptual, dan kerangka berpikir.
BAB III GAMBARAN UMUM
Bab ini memberikan gambaran umum penelitian, dan
profil media yang dijadikan sebagai subjek penelitian, yakni surat
kabar republika.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Bab ini berisi data-data dan temuan penelitian.
BAB V PEMBAHASAN
Dalam Bab ini, berisi interpretasi hasil penelitian yang
diuraikan menggunakan teori-teori yang dijadikan sebagai
landasan penelitian.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan
jawaban masalah yang telah dirumuskan secara singkat. Selain
itu, dalam Bab ini juga berisi implikasi, kritik dan saran untuk
berbagai pihak terkait hasil temuan dalam penelitian.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Media dan Konstruksi Realitas
Teori Konstruksi realitas dicetuskan pertama kali oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang merupakan
gambaran proses sosial melalui tindakan dan interaksi,
dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam tinjauan
tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih menekankan
pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas
sosialnya. Realitas bukanlah suatu yang alami melainkan hasil
dari suatu konstruksi, adanya realitas karena hasil konstruksi
dari manusia.
Teori konstruksi realitas pada prinsipnya berusaha
memberikan pemahaman tentang makna, norma, peran dan
aturan bekerja dalam komunikasi. Teori ini lebih menaruh
perhatian bagaimana orang menciptakan realitas secara
kolektif. Sebab itu, dalam teori konstruksi sosial, teori
interaksi simbolik (symbolic interaction) memberikan
pengaruh yang besar dalam memberikan arti tentang makna
simbol yang ada.
Realitas sosial tergantung pada bagaimana seorang
memahami dunia, dan bagaimana menafsirkannya. Penafsiran
22
dan pemahaman itulah yang kemudian disebut suatu realitas.
Peristiwa dan realitas yang sama bisa menghasilkan
konstruksi realitas yang berbeda-beda dari seseorang yang
berbeda pula. Berger dan Luckmann mengatakan terjadi
dialektika antara individu yang menciptakan masyarakat serta
masyarakat yang menciptakan individu. Ia berpandangan
bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian
individu dalam masyarakat itulah yang membangun
masyarakat. Maka pengalaman individu tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakatnya.
Berger memandang manusia sebagai pencipta
kenyataan sosial yang objektif melalui tiga tahap dialektis
yaitu:11
1. Eksternalisasi Eksternalisasi adalah usaha pencurahan atau
ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk
ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam
masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai
produk sosial. Proses ini dimaksud adalah ketika sebuah
produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam
masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu,
maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam
kehidupan seorang untuk melihat dunia luar.
11
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15
23
2. Objektivasi Objektivasi merupakan hasil yang telah dicapai,
baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi
manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang
bisa jadi akan menghadapi seorang penghasil itu sendiri.
Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif
perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa
dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat
dilihat sebagai realitas yang objektif atau proses interaksi
sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan serta
mengalami proses institusionalisasi.
3. Internalisasi
Internalisasi lebih kepada penyerapan kembali
dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur
dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah
terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala
realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala
internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia
menjadi hasil dari masyarakat. Pada tahap ini adalah
proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial
tempat individu menjadi anggotanya.
Dalam teori konstruksi realitas sosial menurut
Peter L. Berger dan Thomas Luckman merujuk pada
24
tindakan dan interaksi sehingga menggambarkan proses
sosial, yang mana individu menciptakan secara subyektif
atas realitas yang dimiliki dan diamini. Secara tidak
langsung pemahaman realitas tersebut dengan sendirinya
terbentuk oleh masing-masing individu.12
Sedangkan untuk konstruksi realitas pada bidang
media massa tertuju pada penyusunan realitas yang
diperoleh dari setiap peristiwa hingga menjadi cerita
ataupun wacana yang punya makna. Dengan kata lain,
gagasan konstruksi sosial dan realitas media massa akan
berpengarauh pada khalayak. Sehingga media massa
dianggap sebagai medium yang berpengaruh dalam
konstruksi realitas sosial seperti konstruksi realitas sosial
media massa.13
Dalam buku Konstruksi Sosial Media Massa;
Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik,
teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter
L. Berger dan Thomas Luckman telah direvisi dengan
melihat variabel atau fenomena media massa menjadi hal
yang substansial dalam proses eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi. Artinya, sifat dan kelebihan media
massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi
sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi
12
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), h.13 13
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 194
25
konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial
yang berlangsung sangat cepat dan sebarannya merata.
Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini
massa, massa cenderung apriori, dan opini massa
cenderung sinis. Posisi konstruksi sosial media massa
pada dasarnya mengoreksi substansi kelemahan dan
melengkapi konstruksi sosial atas realitas dengan
menempatkan seluruh kelebihan media massa, serta efek
media pada keunggulan konstruksi sosial media massa
dan konstruksi sosial atas realitas. Namun, proses
simultan yang digambarkan di atas tidak bekerja secara
tiba-tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui
beberapa tahap penting.
Untuk memahami bagaimana proses kelahiran
konstruksi sosial media massa, terdapat beberapa tahapan
yang dilalui yakni14
;
1) Tahap menyiapkan materi konstruksi yang mencakup
kepada beberapa hal yaitu; Pertama keberpihakan
media massa kepada kapitalisme seperti yang terjadi
saat ini hampir semua media mainstream dimiliki
kelompok kapitalis tertentu untuk menjadikan media
massa sebagai mesin penciptaan uang dan
14
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyaakat (Kencana Prenada Media
Group, Jakarta: 2008) h.189
26
penggandaan modal. Tentunya hal itu memunculkan
ideologi yang lebih mengutamakan bagaimana agar
media massa mampu mendatangkan keuntungan
sebesar-besarnya pagi pemilik dan pemodal. Kedua
keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari
keberpihakan ini adalah empati, simpati, dan berbagai
partisipasi kepada masyarakat, namun ujungujungnya
adalah untuk menjual berita dan menaikkan rating
untuk kepentingan kapitalis. Apalagi saat ini jelas
bahwa hampir seluruh media mainstream dimiliki
kelompok usaha tertentu dan berafiliasi kepada partai
politik tertentu. Ketiga adalah keberpihakan kepada
kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya
sebenarnya adalah visi setiap media massa namun
fakta di lapangan hanyalah sebatas jargon dan slogan
saja.
2) Tahap sebaran konstruksi yakni dilakukan masing-
masing media massa dengan strategi yang berbeda
namun prinsip utamanya adalah real-time. Media
elektronik memiliki konsep real-time yang berbeda
dengan media cetak. Karena sifatnya yang langsung
(live), maka yang dimaksud dengan real-time oleh
media elektronik adalah seketika disiarkan, seketika
itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau
27
pendengar. Namun bagi varian-varian media cetak,
yang dimaksud dengan real-time terdiri dari beberapa
konsep hari, minggu, atau bulan, seperti harian,
mingguan, dan bulanan. Walaupun media cetak
memiliki konsep real-time yang tertunda, namun
konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama
sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh
berita tersebut.
3) Tahap pembentukan konstruksi yang terdiri dari dua
tahap, yakni pertama, pembentukan konstruksi realitas
pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media
massa yang terbentuk di masyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media
massa sebagai suatu realitas kebenaran. Selain itu,
kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap
generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan orang
untuk menjadi pembaca dan pemirsa media massa
adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-
pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Selain itu
menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan
konsumtif, di mana seseorang secara habit tergantung
pada media massa. Media massa adalah bagian
kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Tahap
kedua yakni pembentukan konstruksi citra yakni
bagaimana konstruksi citra pada sebuah pemberitaan
28
ataupun bagaimana konstruksi citra pada sebuah iklan.
Konstruksi citra pada sebuah pemberitaan biasanya
disiapkan oleh orang-orang yang bertugas di dalam
redaksi media massa, mulai dari wartawan, editor, dan
pimpinan redaksi. Sedangkan konstruksi citra pada
sebuah iklan biasanya disiapkan oleh para pembuat
iklan, misalnya copywriter. Pembentukan konstruksi
citra ialah bangunan yang diinginkan oleh tahap-tahap
konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra yang
dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua
model, yakni model good news dan model bad news.
Model good news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai
pemberitaan yang baik. Sedangkan model bad news
adalah sebuah konstruksi yang cenderung
mengkonstruksi kejelekan atau memberi citra buruk
pada objek pemberitaan.
4) Tahap konfirmasi yakni tahapan dimana media massa
maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi
dan akunbilitas terhadap pilihannya untuk terlibat
dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media,
tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi
argumentasi terhadap alasan-alasannya konstruksi
sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca, tahapan
ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia
29
terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi
sosial.
Hasil konstruksi realitas dengan menafsirkan
makna dari suatu teks akan memperlihatkan bagaimana
media bercerita dan membingkai peristiwa.15
Maka, ketika
menyimak surat kabar atau TV, terkadang tanpa sadar
digiring oleh definisi yang ditanamkan media massa
tersebut, yang membuat kita mengubah definisi kita
mengenai realitas sosial atau memperteguh asumsi yang
kita miliki sebelumnya.
Menurut kaum konstruktivisme, berita merupakan
hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan,
ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Hal ini
karena opini wartawan tidak dapat dihilangkan ketika
mengemas berita, selalu ada perspektif dan pertimbangan
subjektif. Selain itu, kebijakan perusahaan juga
mempengaruhi pemberitaan. Para atasan seringkali punya
kekuasaan untuk memberi keputusan. Para eksekutif
terkadang membuat kepitusan tentang peliputan
berdasarkan kepentingan tertentu, atau ideolog media itu
sendiri. 16
Hal penting lainnya dalam produksi berita adalah
gatekeeping, yang berfungsi untuk menghilangkan,
15
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Pranada Media Group,
2006), h. 10 16
Vivian John, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Prenada Media
Kencana), 2008, h. 317
30
meringkas, dan menambah berita agar pesan lebih baik
penyajiannya. Dalam proses ini terjadi konstruksi realitas
melalui penonjolan atau penghilangan isu-isu tertentu agar
diperhatikan ataupun dihiraukan publik.17
Media menjadi kekuatan dalam menggiring opini
publik karena perannya dalam memberitakan suatu
fenomena atau peristiwa. Sementara, masyarakat sebagai
audiens yang mengonsumsi apa adanya berita yang
disajikan. Padahal media tidak selalu menyajikan fakta
secara apa adanya. Ketergantungan yang tinggi terhadap
media inilah yang menjadikan media sebagai alat yang
dapat menentukan dan membentuk apa dan bagaimana
masyarakat. Pernyatan ini selaras dengan pandangan
bahwa media adalah agen konstruksi realitas.18
Melalui
berbagai strategi dan proses hingga berita sampai
dipublik, sebuah peristiwa yang sama dapat dikemas
secara berbeda dengan media yang berbeda pula.
17
Vivian John, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Prenada Media
Kencana), 2008, h. 324 18
Eriyanto, Analisis Framing. Konstruksi, Ideologi, dan Politik
Media (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2011), h. 58
31
2. Komunikasi Massa
a. Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan
melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar,
siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan
film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.19
Menurut Berger, khalayak umum terdapat dua tipe, yaitu
heterogen dan anonim.
Sifat heterogen dalam komunikasi massa yaitu
khalayak terdiri dari orang-orang yang berasal dari jenis
pekerjaan, usia adat, kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda
satu dengan lainnya. Sedangkan anonim yaitu khalayak terdiri
dari orang-orang yang tidak saling mengenal.
Dalam ilmu komunikasi massa, dijelaskan bahwa
dalam memahami simbol-simbol yang dibuat dan diproses
dalam sebuah sistem media akan menimbulkan efek dan diuji
dalam sebuah teori yang digeneralisasikan yang menjadi
fenomena terkait dengan proses komunikasi secara luas.
Artinya, komunikator dalam komunikasi massa menyebarkan
pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi “pengertian”
dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui
satu sama lain.
19
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya), 2007, h. 79
32
b. Karakteristik Komunikasi Massa
Setiap orang yang menggunakan komunikasi massa
sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasi, haruslah
memahami karakteristik komunikasi massa itu 12 sendiri.
Adapun karakteristik komunikasi massa menurut Liliweri
adalah20
:
1. Sifat Komunikator
Sesuai dengan hakekatnya dalam sifat penggunaan
media atau saluran secara profesional dengan teknologi
tinggi melalui usaha-usaha industri maka kepemilikan
media massa bersifat lembaga, yayasan, organisasi usaha
yang mempunyai struktur, fungsi dan misi tertentu.
2. Sifat pesan
Pesan komunikasi massa bersifat umum, dan
universal tentang pelbagai hal dari berbagai tempat. Isi
dari media massa itu sendiri tentang berbagai peristiwa
apa saja yang patut diketahui oleh masyarakat umum.
3. Sifat media massa
Salah satu ciri yang khas dalam komunikasi massa
adalah sifat media massa. Komunikasi massa tampaknya
lebih bertumpu pada andalan teknologi pembagi pesan
dengan menggunakan jasa industri untuk memperbanyak
20
Alo liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta :
Prenada Media Group), 2011, h. 37-39
33
dan melipatgandakan. Dengan bantuan industri ini
mengakibatkan berbagai pesan dapat menjangkau
konsumen dengan cara yang tepat, cepat dan terus
menerus.
4. Sifat Komunikan
Komunikan dalam komunikasi massa adalah
konsumen. Konsumen merupakan masyarakat umum yang
sangat beragam, heterogen dalam segi demografis,
geografis, maupun psikografis. Jumlah komunikan itu
sangat besar dan diantara mereka ada yang tidak saling
kenal namun pada suatu 13 waktu dan tempat relatif sama
mereka memperoleh jenis pesan yang sama dari media
massa tertentu.
5. Sifat efek
Bagaimanapun juga komunikasi massa
mempunyai efek tertentu. Secara umum terdapat tiga efek
dari komunikasi massa, berdasarkan teori hierarki efek,
yaitu efek kognitif (pesan komunikasi massa
mengakibatkan konsumen berubah dalam hal
pengetahuan, pandangan dan pendapat terhadap suatu
yang diperolehnya), efek afektif (pesan komunikasi massa
mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari
konsumen), dan efek konatif (pesan komunikasi massa
34
mengakibatkan orang mengambil keputusan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
6. Sifat umpan balik
Umpan balik dari komunikasi massa biasanya
lebih bersifat tertunda. Pengembalian reaksi terhadap
suatu pesan kepada sumbernya tidak terjadi pada saat
yang sama melainkan setelah suatu media itu beredar atau
pesannya itu memasuki kehidupan suatu masyarakat
tertentu.
c. Efek Komunikasi Massa
Komunikasi mempunyai efek tertentu menurut
Liliweri, secara umum terdapat tiga efek komunikasi massa,
yaitu:21
1. Efek kognitif, pesan komunikasi massa
mengakibatkan konsumen berubah dalam hal
pengetahuan, pandangan, dan pendapat terhadap
sesuatu yang diperolehnya. Efek ini berkaitan dengan
transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan,
atau informasi.
2. Efek afektif, pesan komunikasi massa mengakibatkan
berubahnya perasaan tertentu dari konsumen. Orang
dapat menjadi lebih marah dan berkurang rasa tidak
senangnya terhadap suatu akibat membaca surat
21
Alo liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, h. 39
35
kabar, mendengarkan radio atau menonton televisi.
Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau
nilai.
3. Efek konatif, pesan komunikasi massa mengakibatkan
orang mengambil keputusan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Efek ini merujuk pada
prilaku nyata yang dapat diminati, yang meliputi pola-
pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku.
d. Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi dari komunikasi massa secara garis besar
adalah sebagai berikut22
:
1. Penafsiran (Interpretation). Fungsi penafsiran ini
berbentuk komentar dan opini yang ditujukan kepada
konsumen, serta dilengkapi perspektif (sudut pandang)
terhadap berita atau tayangan yang disajikan, sehingga
membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan
minat yang sama tentang sesuatu.
2. Penyebaran nilai-nilai (Transmission Of Values).
Dengan cara media massa itu ditonton, didengar, dan
dibaca, media massa itu memperlihatkan kepada kita
bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan
oleh mereka.
22
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 2003, h. 39
36
3. Hiburan (Entertainment). Media berfungsi sebagai
penghibur tiada lain tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan pikiran konsumen.
4. Fungsi informasi, media massa berfungsi sebagai
penyebar informasi bagi pembaca, pendengar, atau
pemirsa.
5. Fungsi pendidikan. Salah satu cara media massa
dalam memberikan pendidikan adalah dengan melalui
pengajaran etika, nilai, serta aturanaturan yang berlaku
bagi pembaca atau pemirsa.
6. Fungsi mempengaruhi. Secara implisit terdapat pada
tajuk/editorial, features, iklan, artikel dan sebagainya.
7. Fungsi proses pengembangan mental. Media massa
erat kaitannya dengan prilaku dan pengalaman
kesadaran manusia.
8. Fungsi adaptasi lingkungan, yakni penyesuaian diri
terhadap lingkungan konsumen dapat beradaptasi
dengan lingkungannya dengan dibantu oleh media
massa,dengan begitu seseorang dapat lebih mengenal
lingkungannya.
9. Fungsi memanipulasi lingkungan, berusaha untuk
mempengaruhi. Komunikasi yang digunakan sebagai
alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan.
10. Fungsi meyakinkan (To Persuade), yaitu
mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan
37
atau nilai seseorang. Mengubah sikap, kepercayaan,
atau nilai seseorang. Menggerakan seseorang untuk
melakukan sesuatu.
3. Moderasi Beragama
a. Pengertian Moderasi Beragama
Moderasi beragama terdiri dari dua kata, yakni
moderasi dan beragama. Kata moderasi berasal dari
Bahasa Latin, yaitu moderatio, yang berarti ke-sedang-an
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat dua pengertian
kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2.
penghindaran keekstreman. Dalam bahasa Arab, moderasi
dikenal dengan kata wasath atau wasathiyyah, yang
memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-
tengah), I‟tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Dalam
bahasa Arab pula, kata wasathiyyah diartikan sebagai
“pilihan terbaik”.23
Menurut Muchlis M. Hanafi, mengutip pendapat
pakar tafsir Abu Su‟ud, bahwa kata wasath pada mulanya
menunjuk pada sesuatu yang menjadi titik temu semua
sisi seperti pusat lingkaran (tengah). Kemudian
berkembang maknanya menjadi sifat-sifat terpuji yang
dimiliki manusia karena sifat-sifat tersebut berada di
tengah sifat tercela. Seperti sifat dermawan adalah
23
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 15
38
pertengahan antara kikir dan boros, berani merupakan
pertengahan antara takut dan sembrono.24
Gagasan moderasi keagamaan menurut al-
Qaradhawi, berangkat dari adanya kecenderungan
radikalisme, baik kanan maupun kiri. Dua radikalisme
tersebut dijelaskan secara rinci oleh al-Qaradhawi dalam
bukunya Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syariah baina al-
Maqashid al-Kulliyyah wa al-Nushush al-Juz‟iyyah.25
Dalam istilah al-Qaradhawi keduanya disebut
sebagai al-mu‟aththilah al-judud (neo-liberalisme) dan al-
zhahiriyyah al-judud (neo-literalisme). Dua
kecenderungan radikalisme yang menutupi ruh Islam ini
menurut al-Qaradhawi berangkat dari pemahaman teks
keagamaan yang sama-sama radikal; yang satu terjebak
pada liberalisme, sementara yang lain terkungkung dalam
literalisme. Karena itulah untuk melakukan moderasi pada
dua kecenderungan radikal tersebut, al-Qaradhawi
menawarkan metode pemahaman teks keagamaan yang
moderat, dan kelompok yang mengimplementasikan
metode tersebut ia sebut sebagai al-madrasahal-
wasathiyyah (mazhab moderat).26
24
Muchlis M. Hanafi, Konsep Al-Wasathiyyah Dalam Islam,
Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius Vol VIII, No 32, 2009, h. 40. 25
Cairo: Dār al-Syurūq. 2008. al-Qaraḍāwi, Yūsuf. Fiqih Maqashid
Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, terj. oleh
A Sulaiman - 8102 26
Lihat https://ibtimes.id/moderasi-keagamaan-antara-haedar-
nashir-dan-yusuf-al-qaradhawi/ diakses 17 Juni 2020, pukul 17.59
39
Adapun lawan kata moderasi adalah berlebihan.
Dalam bahasa Arab dikenal dengan kata tatharruf,
sedangkan dalam bahasa Inggris bermakna extreme,
radical, dan excessive.Makna extreme dan excessive
berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung,
berbalik memutar, mengambil tindakan/ jalan yang
sebaliknya”.27
Sedangkan radical artinya doktrin atau
praktik penganut paham radikal atau paham ekstrem.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
radikalisme merupakan paham atau aliran yang radikal
dalam politik. Paham ini menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastis.28
Selanjutnya, kata beragama memiliki kata dasar
agama, yang berarti ajaran atau sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan antar manusia dan manusia dengan
lingkungannya. Kata “ber” dalam kata beragama
merupakan imbuhan yang menyatakan suatu tindakan,
keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.
Dalam KBBI, kata beragama berarti menganut (memeluk)
agama. Jadi, beragama adalah menganut suatu agama
27
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI), 2019, h. 16 28
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Versi 1.5.1 Luar Jaringan (Offline), 2010.
40
yang berisi ajaran dan sistem yang mengatur tata
keimanan dan peribadatan kepada Tuhan, serta kaidah
atau tata cara berkehidupan sosial.
Jadi, moderasi beragama dapat dipahami sebagai
sikap dalam menganut suatu agama sesuai dengan ajaran
agama yang dianut dengan seimbang antara pengalaman
agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada
praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan
(inklusif). Keseimbangan inilah yang menjadi salah satu
prinsip moderasi untuk menghindari sikap ekstrem,
fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Hal
tersebut menjadikan moderasi beragama sebagai kunci
terciptanya toleransi dan kerukunan, terpeliharanya
peradaban, dan terciptanya perdamaian.
Dalam menentukan sebuah cara pandang, sikap,
dan perilaku beragama tergolong moderat atau ekstrem,
perlu adanya batasan dan indikator tertentu, seperti teks-
teks agama, konstitusi negara, kearifan lokal, serta
konsensus dan kesepakatan bersama.29
Beberapa indikator
tersebut juga digunakan dalam moderasi sebagai strategi
nirkekerasan, seperti, menafsirkan teks-teks agama yang
menekankan pada sikap toleran dan inklusif yang berbasis
nilai-nilai kemanusiaan. Selain reinterpretasi teks agama,
mekanisme internal-agama juga bisa dilakukan dengan
29
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 87
41
menggunakan otoritas tokoh atau pemimpin agama untuk
mengajak para pengikutnya agar mengedepankan
perdamaian.
Strategi yang kedua, yakni berkaitan dengan
Indonesia yang multikultural. Praktik ini dapat dilakukan
dengan melakukan dialog antar individu, kelompok dan
komunitas antaragama dengan menjalin hubungan yang
harmonis melalui kerja sama dalam kegiatan
kemasyarakatan, saling menghargai saat perayaan hari-
hari besar keagamaan, dan bergaul tanpa ada beban
perbedaan. Untuk strategi terakhir menggunakan
pendekatan ekstra-agama yang cakupannya cukup luas.
Dalam konteks global, dapat dilakukan dengan membuat
asosiasi transnasional yang diikat dengan satu misi
bersama yakni perdamaian dunia.
b. Prinsip Dasar Moderasi Beragama
Inti dari moderasi beragama adalah adil dan
berimbang.30
Berdasarkan KBBI, kata “adil” diartikan: 1)
tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada
kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang.
Jika dianalogikan, wasit dalam setiap pertandingan harus
bersikap adil, yakni berpihak pada kebenaran. Prinsip
kedua, keseimbangan. Prinsip ini sesuai dengan makna
dari kata moderasi sendiri yakni keseimbangan,
30
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 19
42
menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen
untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan
persamaan.
Tarmizi Taher menyebutkan moderasi beragama
dalam Islam memiliki dua ciri yang mandiri. Pertama,
adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi
dengan kewajiban. Kedua, adanya keseimbangan antara
kehidupan dunawi dan ukhrawi, serta material dan
spiritual. Sehingga peradaban dan kemajuan yang dicapai
oleh umat Islam tidak semu dan fatamor gana, tapi hakiki
dan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan, yakni
mewujudkan kebaikan di dunia dan di akhirat serta
dijauhkan dari malapetaka dan siksaan neraka.31
Mohammad Hashim Kamali menjelaskan bahwa
prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam
konsep moderasi berarti, seseorang tidak boleh ekstrem
pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik
temu. Beliau juga mengatakan bahwa moderasi
merupakan aspek penting dalam Islam, namun hal
tersebut juga berlaku untuk agama lain. Mohammad
Hashim Kamali menjelaskan lebih jauh tentang moderasi
merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya
harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara
31
Hery Sucipto, “Tarmizi Taher dan Islam Madzhab Tengah”,
pengantar editor dalam Hery Sucipto (ed.), Islam Madzhab Tengah:
Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Cet. I; Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2007), hlm.17.
43
personal, keluarga, dan masyarakat hingga hubungan
antarmanusia.
c. Indikator Moderasi Beragama
Sikap moderat pada dasarnya bersifat dinamis,
selalu bergerak, karena moderasi merupakan proses
pergumulan terus-menerus yang dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Seorang yang moderat akan
berusaha untuk menyeimbangkan antara sisi kanan dan
kiri. Dalam buku Moderasi Beragam yang diterbitkan oleh
Kemenag, disebutkan bahwa ada empat indikator yang
menjadi fokus pembahasan moderasi beragama, antara
lain: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-
kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Keempat indikator ini sangat penting untuk mengetahui
bagaimana implementasi moderasi beragama di Indonesia.
Komitmen kebangsaan berkaitan dengan kesetiaan
pada prinsip-prinsip berbangsa, seperti penerimaan dan
pengamalan butir Pancasila sebagai ideologi negara, dan
prinsip-prinsip berbangsa lainnya yang tertuang dalam
Konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.
Jika komitmen kebangsaan berbicara tentang sikap
diri terhadap negara, berbeda halnya dengan toleransi.
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang tanpa
mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan,
mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan
44
pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang
kita yakini. Berbicara toleransi berarti berbicara sikap
terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam
menerima perbedaan.32
Dalam toleransi juga harus
disertai rasa menghormati dan menghargai perbedaan,
serta selalu berpikir positif.
Indikator ketiga yakni anti-kekerasan. Kekerasan
yang dimaksud adalah radikalisme, paham yang ingin
melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik
dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrem atas
nama agama, baik secara verbal, fisik, dan pikiran.
Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme, karena
kelompok radikal dapat melakukan cara apa pun agar
keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang
tidak sepaham dengan mereka. Radikalisme bisa muncul
karena adanya rasa ketidakadilan dan keterancaman.
Namun kedua hal tersebut bukan serta merta melahirkan
radikalisme, melainkan adanya rasa benci terhadap
kelompok yang dianggap sebagai pembuat ketidakadilan
dan pihak-pihak yang mengancam identitasnya.33
Indikator terakhir yakni akomodatif terhadap
budaya lokal, digunakan untuk melihat sejauh mana
kesediaan untuk menerima praktik amaliah keagamaan
yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi.
32
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 43 33
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 45
45
Sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama
yang dianut, orang-orang moderat cenderung lebih ramah
dalam menerima tradisi dan budaya lokal.34
Sebaliknya,
ada juga kelompok yang tidak akomodatif terhadap
budaya lokal, karena menganggap tradisi budaya dalam
beragama sebagai tindakan yang mengotori kemurnian
agama.
Contoh peran moderasi beragama dalam
mengakomodasi budaya lokal, yaitu kalau kita ke Kudus,
sampai sekarang ada makanan khas yaitu sate kerbau.
Kenapa bukan sate sapi? Itu karena Wali Songo di sana,
terbiasa menghormati keyakinan leluhur agama Hindu,
dimana agama itu sangat menghormati sapi, karena
dianggap sebagai dewa yang disucikan. Salah satu bentuk
penghomatan binatang sapi, Wali Songo saat itu
mengganti sate sapi menjadi sate kerbau. Penghormataan
antaragama inilah yang diterapkan oleh Wali Songo
dalam bermoderasi.35
Keempat indikator yang terdapat dalam buku
Moderasi Beragama yang tulis oleh Kementerian Agama
dipilih oleh peneliti karena telah mewakili indikator-
indikator moderasi beragama secara umum. Lukman
Hakim Syaifuddin mengatakan bahwa empat indikator ini
34
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 46 35
Wawancara bersama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI
periode 2014 - 2019, 13 Mei 2020
46
merupakan faktor yang paling terlihat sebagai ancaman
keutuhan kehidupan beragama.
d. Moderasi Beragama dalam Media
Prinsip adil dan berimbang dalam moderasi
beragama, dapat dijadikan sebagai nilai (value) yang
bermanfaat untuk mengelola informasi serta
meminimalisasi berita bohong (hoax); moderasi beragama
memberi pelajaran untuk berpikir dan bertindak bijaksana,
tidak fanatik atau terobsesi buta oleh satu pandangan
keagamaan seseorang atau kelompok saja, tanpa
mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau
kelompok lain. Moderasi lebih kepada sikap mengambil
“jalan tengah”, tidak memihak kepada ekstrem kanan
maupun ekstrem kiri.
Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta tahun
2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar
terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial
atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak
memiliki akses internet lebih bersikap moderat dibanding
mereka yang memiliki akses internet. Bila dipersenkan,
jumlah orang yang mengakses internet sebesar 84,94%,
dan sisanya 15,06% yang tidak memiliki akses internet.
Berdasarkan survei ini juga menyebutkan bahwa generasi
milenial yang mengandalkan dunia maya sebagai sumber
belajar agama cukup banyak, sebesar 54,37%.
47
Saat ini, media cetak juga banyak yang
bertransformasi ke digital. Seperti surat kabar/koran yang
mulanya hanya media cetak, kini dapat diakses melalui
internet atau biasa disebut e-paper. Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, serta sifat media
yang membangun jejaring, tidak memihak, dan interaktif,
bahkan sering kali dapat dimanipulasi dapat memengaruhi
perilaku sosial, termasuk perilaku beragama. Hal ini
disebabkan kurang terkendalinya penyaringan untuk
menyeleksi antara berita benar dan berita salah, karena
ketertarikan mayoritas masyarakat saat ini cukup melalui
judul yang menarik, bahkan provokatif dan heboh.36
Selain merebaknya kasus hoaks, wajah ganda
internet juga memberi ruang penyebaran konten
kebencian dengan mengatasnamakan agama. Banyak
masyarakat yang menjadikan berbagai informasi dan opini
yang bersebaran di internet sebagai jalan pintas atas bahan
referensi dan pengetahuan soal-soal agama tanpa
melakukan verifikasi.
Menghadapi kondisi seperti saat ini, perspektif
moderasi beragama menjadi sangat penting untuk
dijadikan framing, apalagi masyarakat Indonesia yang
plural dan multikultural.
36
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, h. 91
48
4. Berita
a. Pengertian Berita
Berita berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni Vrit
atau Vritta yang berarti “kejadian” atau “ yang telah
terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia sendiri menjadi
Berita atau Warta. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, „Berita‟
merupakan “Laporan mengenai kejadian atau peristiwa
yang hangat”37
.
Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan
„Berita‟ yakni antara lain: Dr. Willard C. Bleyer
mendefinisikan berita sebagai kenyataan baru yang dipilih
wartawan untuk dimuat dalam surat kabar. Lain halnya
dengan J.B Wahyudi yang mendefinisikan berita sebagai
laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki
nilai penting dan menarik bagi sebagian khalayak, masih
baru dan dipublikasikan secara luas melalui media massa.
Peristiwa tidak dapat disebut berita, apabila tidak
dipublikasikan secara periodik pada media massa38
.
Dja‟far H Assegaf menjelaskan bahwa berita
adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa (baru),
yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan,
yang dapat menarik perhatian pembaca. Entah karena luar
37
R. Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Feature,
(PT.INDEKS Kelompok GRAMEDIA), h. 33 38
Totok Juroto, Manajemen Penerbitan Pers, (PT Remaja
Rosdakarya: Bandung, 2004), h. 46-47
49
biasa, entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula
karena ia mencakup segi-segi human interest seperti
humor, emosi dan ketegangan.39
Dengan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa berita merupakan laporan informasi
mengenai sebuah peristiwa, mengandung fakta dan ide
yang dapat menarik perhatian masyarakat, bersifat baru
atau aktual, memiliki nilai penting (news value), dan
dipublikasikan oleh media untuk disiarkan kepada
khalayak atau pembaca.
b. Jenis-jenis Berita
Dalam jurnalistik sendiri, berita terbagi dalam
beberapa jenis berita. Pembagian tersebut dilakukan
berdasarkan isi berita yang dibuat, termasuk dilihat dari
proses peliputannya, penyusunan, serta penyajiannya.40
Straight News
Jenis berita ini merupakan berita langsung, isi
beritanya ditulis secara singkat, lugas dan apa adanya.
Berita yang berjenis Straight News dapat ditemui
pada halaman pertama surat kabar. Jenis berita
Straight News terbagi menjadi 2 yaitu Hard News dan
39
Lihat, “26 Pengertian Berita Menurut Para Ahli Serta Unsur Berita
5w + 1h“ dalam https://soalterbaru.com/%E2%88%9A-26-pengertian-berita-
menurut-para-ahli-serta-unsur-berita-5w-1h-2/, diakses pada 27 Februari 2020,
pukul 14.37 WIB 40
Romli, Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis untuk Pemula: edisi
revisi, (PT Remaja Rosdakarya: Bandung), 2006 (cetakan ke-tujuh), h. 32-34
50
Soft News. Hard News adalah berita yang isinya
memiliki nilai lebih, beritanya berkualitas dan terbaru.
Isi beritanya sangat penting, sehingga harus
segera disampaikan kepada masyarakat. Biasanya isi
berita yang berjenis Hard News memiliki sifat khusus
atau berita yang berisi tentang suatu kejadian yang
terjadi secara tiba-tiba. Sedangkan Soft News adalah
berita pendukung dan mempunyai nilai berita dibawah
Hard News.
Depth News
Berita jenis ini mempunyai isi yang bersifat
mendalam. Depth News biasanya terdapat ulasan-
ulasan yang mendalam terhadap suatu peristiwa. Jenis
berita ini memiliki isi yang lebih menonjolkan tentang
“mengapa peristiwa itu terjadi” dan juga “bagaimana
peristiwa itu terjadi. Tujuan dari berita jenis ini adalah
untuk mengangkat suatu kejadian secara lebih
mendalam.
Investigation News
Investigasi News adalah berita yang cara
pembuatannya berdasarkan penyelidikan atau
penelitian yang dilakukan dari berbagai sumber.
Dalam menulis Investigation News biasanya jurnalis
mempunyai tujuan tertentu seperti untuk membongkar
tindak kriminal yang sangat merugikan masyarakat,
51
membongkar sebuah jaringan penjualan illegal dan
masih banyak lagi.
Investigation News bertujuan untuk
mengungkap hal-hal yang tersembunyi dari sebuah
kejadian. Hal tersebut membuat seorang jurnalis yang
menulis berita jenis ini harus melakukan penelusuran
informasi dan melakukan penyelidikan. Biasanya
jurnalis yang menulis berita ini harus bertindak
layaknya seorang intel.
Interpretative News
Berita jenis Interpretative News adalah berita
pengembangan dari Straight News . Interpretative
News adalah berita langsung dimana didalamnya
ditambahkan beberapa informasi seperti pendapat
seseorang atau sebuah penelitian yang dilakukan oleh
penulis.
Informasi tambahan dalam berita tersebut
dapat berupa latar belakang peristiwa, data-data yang
terkait dan hasil wawancara dengan para pengamat
atau para ahli. Pengembangan berita jenis ini lebih
menekankan pada fakta daripada opini.
Opinion News
Pengertian dari Opinion News adalah berita
yang berisi opini tentang suatu kejadian yang sedang
terjadi. Biasanya isi dari jenis berita ini adalah
52
pendapat dari para pengamat atau para ahli dari
masalah, isu atau dari kejadian yang sedang terjadi.
Selain itu pendapat juga dapat diperoleh dari
masyarakat, pelajar ataupun mahasiswa.
5. Surat Kabar
Surat kabar adalah kumpulan berita, artikel, cerita,
iklan dan sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas
ukuran plano. Surat kabar terbit secara teratur, bisa setiap hari
atau seminggu satu kali.41
a. Karakteristik Surat Kabar
Surat kabar memiliki beberapa karakter khusus,
antara lain publisitas, peridoditas, universalitas, aktualitas,
dan terdokumentasi.
- Publisitas
Publisitas yang berarti penyebarannya untuk
public atau khalayak. Surat kabar juga memiliki jangka
waktu tertentu dalam penerbitan atau biasa disebut
perioditas.
- Perioditas
Perioditas menunjuk pada keteraturan terbitnya
surat kabar, bisa harian, mingguan, atau dwi mingguan.
41
Totok Djuroto, Menulis Artikel dan Karya Ilmiah, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002), h. 11
53
- Universalitas
Selain itu, surat kabar juga memiliki karakter
universalitas. Hal ini terkait bagian isi surat kabar yang
menyeluruh dan meliputi berbagai aspek kehidupan,
sosial, ekonomi, budaya, agama, dan lain-lain.
Lingkupnya bersifat lokal, regional, nasional, bahkan
internasional.
- Aktualitas
Berbicara isi pada surat kabar, maka karakter yang
tepat adalah aktualitas. Hal ini sangat diperlukan karena
berkaitan dengan isi surat kabar yaitu berita, fakta-fakta,
atau opini. Aktualitas sejalan dengan makna dari berita
yang berarti kini atau keadaan yang sebenarnya. Berita
juga diartikan sebagai laporan tercepat yang penting atau
menarik minat, atau keduanya untuk khalayak. Laporan
cepat menunjuk pada “kekinian” atau makna dari aktual
itu sendiri.
- Terdokumentasi
Karakter terakhir yaitu terdokumentasi. Lembaran-
lembaran kertas yang berisikan berita, artikel, dan opini
dapat dipastikan oleh beberapa pihak tertentu dianggap
penting untuk diarsipkan.
b. Fungsi Surat Kabar
Surat kabar memiliki fungsi yang sama dengan
media massa lainnya. Dari empat fungsi media massa,
54
yaitu sebagai pemberi informasi, edukasi, hiburan, dan
persuasif, surat kabar lebih menonjolkan pada pemberian
informasi. Hal ini sesuai dengan tujuan para pembaca,
yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut, rubrik surat kabar terdiri dari
berbagai jenis berita, tanpa mengabaikan fungsinya
sebagai hiburan karena tersedianya rubrik artikel ringan,
feature (laporan perjalanan, biografi seseorang yang
menarik), rubrik cerita bergambar atau komik, serta cerita
bersambung.42
c. Rubrik
Rubrik biasanya menjadi sebuah kriteria dari suatu
hal, seperti surat kabar. Rubrik juga disebut kolom. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepala
karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan
lain-lain. Biasanya, rubrik terletak di bagian kepala
karangan atau bagian atas dari sebuah koran atau majalah.
Menurut Onong Uchjana Effendy, rubrik merupakan
ruangan khusus pada surat kabar serta media cetak
lainnya, mengenai aspek serta kegiatan dalam kehidupan
masyarakat.43
Misalnya rubrik wanita, rubrik pendapat,
rubrik olah raga, rubrik pembaca, rubrik lifestyle dan lain
sebagainya.
42
Erdinaya dan Ardianto, Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2004), h. 104 43
Onong Uchjana Effendy, KAMUS KOMUNIKASI, (Bandung: PT.
Mandar Maju, 1989), h. 86
55
Rubrik merupakan alokasi halaman untuk
menampilkan tulisan-tulisan tertentu dalam satu tema.
Biasanya dalam sebuah surat kabar terdapat beberapa
rubrik yang memiliki fokus tema-tema tertentu.44
44
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan: Suatu Pengantar,
(Bandung: Batik Press, 2005), h. 113
56
B. Kerangka Berpikir
Intoleran
Ada yang
rukun
Indonesia negara
multikultural
Fanatik
Eksklusif
Revolusioner
Bagaimana Dialog Jumat
Republika mengonstruksi
berita moderasi beragama?
Dialog Jumat
Republika hadir
sebagai rubrik
dengan bingkai
moderasi
beragama
Moderasi beragama
menjadi salah satu
upaya mencegah
radikalisme
Melahirkan
radikalisme
Kasus intoleransi
meningkat
Ada yang
berpolemik
57
BAB III
GAMBAR PENELITIAN
A. Profil Republika
1. Sejarah Republika
Republika merupakan surat kabar nasional yang
didirikan oleh kalangan komunitas muslim Indonesia pada
1992. Hal ini dilatarbelakangi pasang surutnya politik
Indonesia pada masa dekade 1980-an, yakni memburuknya
hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Masyarakat Islam.
Saat itu ceramah-ceramah Islami dan penerbitan buku-buku
bernuansa Islam mendapat tekanan dari negara. Di bawah PT
Abdi Bangsa, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
yang saat itu diketuai BJ Habibie akhirnya mendapatkan izin
penerbitan dan terbit perdana pada 4 Januari 1993.
Pendiri Yayasan Abdi Bangsa berjumlah 48 orang
yang terdiri dari beberapa menteri, pejabat tinggi negara,
cendikiawan, tokoh masyarakat, serta pengusaha. Beberapa
orang diantaranya, Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, H.
Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien
Soeharto, dan Presiden Soeharto yang berperan sebagai
pelindung Yayasan serta B. J Habibie sebagai ketua ICMI
yang dipercaya juga sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan
Abdi Negara.
Setelah berhasil melahirkan Republika, kiprah ICMI
semakin surut sehingga kepemilikan saham diambil alih oleh
58
Mahaka Media yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh
keluarga Erick Tohir. Selanjutnya, Republika berada dalam
PT Republika Mandari, anak perusahaan PT Abdi Bangsa.
Meskipun berpindah pemegang saham, visi dan misi
Republika tidak berubah. Visi Republika adalah modern,
moderat, muslim, kebangsaan, dan kerakyatan. Sedangkan
misi Republika adalah sebagai koran masyarakat baru yang
maju, cerdas, dan beradab.
Ideologi Republika adalah ideologi pemiliknya, PT
Abdi Bangsa, yaitu: kebangsaan, kerakyatan dan keIslaman;
dengan tujuan mempercepat terbentuknya “civil society”.
Orientasi inilah yang sehari-hari dituangkan Republika dalam
bentuk informasi dan sajian lainnya. Republika menampilkan
Islam dengan wajah moderat.45
Sejak pertama kali terbit pada
4 Januari 1993, penjualan oplah terus meningkat. Hanya
dalam waktu sepuluh hari sejak edisi perdana, oplah koran ini
sudah mencapai 100.000 ekslempar. Pada Desember 1993
oplah Republika sudah mencapai 130.000 per hari. Pada
tahun 2010 oplah Republika 115.000 ekslempar. Harian
Republika tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Di Jakarta
sebanyak 50,31%, Jawa Barat 17,30%, Jawa Tengah 6,90%,
Jawa Timur 4,36%, sisanya tersebar di daerah lain.
Sebagai upaya pemenuhan tuntutan khalayak,
Republika telah melakukan berbagai penyempurnaan. Hal
45
Ibnu hamad, Realitas Politik di Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis. (Jakarta: Granit, 2004), h. 122
59
tersebut di wujudkan dengan menyempurnakan desain
penampilan koran, dan meningkatkan porsi berita maupun
artikel yang berkaitan dengan bisnis lebih banyak dan
menempatkannya hampir di setiap halaman. Republika pun
menampilkan corak jurnalisme yang khas. Republika
menyajikan berita cenderung atraktif, jelas, dan tuntas.
Republika mengembangkan corak jurnalisme yang “enak
dibaca”. Bahasa dan gaya penuturannya diupayakan popular,
renyah, tidak kaku tanpa mengabaikan kaidah bahasa.
Visualisasi dan desain menarik disajikan dengan menonjolkan
bentuk grafis yang informatif (berupa gambar , foto, tabel)
serta eksploitasi cetakan warna.
Topik yang memperoleh perhatian lebih adalah topik-
topik yang dekat dan berdampak langsung terhadap pembaca.
Topik-topik tersebut disegmentasikan sebagai berikut:
Resonansi, Hikmah, Solikui, Wacana, Tajuk, Tekad, Rekor,
Manajer, Trend Teknologi, Diolag Jum‟at, Koran Kecil, dan
Selasar. Sebagai wujud tanggungjawab sosial, khususnya
kepada kaum dhuafa, pada Juli 1993, Harian Umum
Republika mendirikan program “Dompet Dhuafa” yang
menghimpun, mengelola, dan menyalurkan zakat
pembacanya. Program ini juga diwujudkan sebagai bentuk
partisipasi dalam menyukseskan program pengentasan
kemiskinan di Indonesia.
60
2. Visi dan Misi Republika
Republika adalah sebuah surat kabar yang lahir di
tengah ketidakstabilan Indonesia. Dalam perubahan yang
melanda hampir semua aspek kehidupan, seperti politik,
ekonomi, iptek, sosial, budaya, dan “keterbukaan” menjadi
kata kunci. Republika memilih posisi untuk turut
mempersiapkan masyarakat Indonesia memasuki masa
dinamis, tanpa perlu kehilangan segenap kualitas yang telah
dimiliki. Republika memiliki beberapa visi, yaitu : 1)
Menegakkan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar 2) Membela,
melindungi, dan melayani kepentingan umat 3) Mengkritisi
tanpa menyakiti 4) Mencerdaskan, mendidik dan
mencerahkan 5) Berwawasan kebangsaan
Motto Republika “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”
menunjukkan semangat mempersiapkan masyarakat
memasuki era baru. Keterbukaan dan perubahan telah dimulai
dan tidak ada langkah kembali, karena telah bersepakat
mencapai kemajuan, meski demikian, berupaya juga untuk
melakukan perubahan atau pembaharuan, tidak mesti terus
mengganggu stabilitas yang telah susah payah dibangun.
Keberlimpahan Republika terarah kepada besarnya penduduk
Negeri yang mempersiapkan diri bagi sebuah dunia yang
lebih baik dan adil.
Media massa seperti Republika hanya menjadi
penopang agar langkah tersebut bermanfaat bagi
61
kesejahteraan bersama. Dengan latar belakang tersebut, misi
republika dibagi kedalam beberapa bidang, antara lain :
a) Dalam bidang Politik
Republika mendorong atau mengembangkan
demokrasi dan optimalisasi peran lembaga-lembaga
Negara, Mendorong partisipasi politik semua lapisan
masyarakat dan Mengutamakan kejujuran dan moralitas
dalam politik, Penghargaan terhadap hak-hak sipil,
Mendorong terbentuknya pemerintah yang bersih.
b) Dalam bidang Ekonomi
Mendukung terbukanya demokrasi ekonomi,
Mempromosikan profesionalisme, Pemerataan sumber-
sumber ekonomi, Mempromosikan moral dan etika dalam
berbisnis.
c) Dalam bidang Budaya
Republika mendukung sikap yang terbuka, kritis dan
apresiatif terhadap bentuk-bentuk ekspresi kreatif budaya
yang berkembang di masyarakat, mengembangkan
bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat,
mencerdaskan, menghaluskan perasaan dan mempertajam
kepekaan nurani. Menolak pornografi dan pornoaksi.
d) Dalam bidang Agama
Republika menyiarkan agama Islam, mempromosikan
semangat toleransi, mewujudkan Islam rahmatan lil
62
alamin‟ dalam segala ilmu, serta membela, melindungi,
dan melayani kepentingan umat.
e) Dalam bidang Hukum
Republika Mendorong terwujudnya masyarakat secara
hukum, Menjunjung tinggi supremasi hukum,
Mengembangkan mekanisme checks and balances
pemerintah masyarakat, serta mennjunjung tinggi HAM
dan mendorong pemberantasan KKN secara tuntas.
B. Dialog Jumat
Dialog Jumat merupakan suplemen surat kabar
Republika yang berisi berbagai rubrik, antara lain laporan
utama, tuntunan, fatwa, muhibah, komunitas, tasawuf, zakat,
mujahidah, silaturahmi, dan uswah. Isi pada masing-masing
rubrik disesuaikan dengan tema dan isu yang sedang
happening atau aktual.
Dialog Jumat memiliki struktur organisasi
tersendiri, dimana struktur ini menentukan alur pemberitaan.
Redaktur (Syalaby), editor (biro bahasa), wakil redaktur
pelaksana (Heri Ruslan), tim desain atau layout, dan reporter
(Imas Damayanti dan Andri Saputra).46
Alur pemberitaan
Dialog Jumat Republika diawali dengan penyerahan hasil
liputan reporter kepada editor, setelah itu didesain dan layout.
Selanjutnya, berita diperiksa oleh Redaktur yang kemudian
46
Wawancara dengan Syalaby Ichsan, redaktur Dialog Jumat
Republika, 1 Februari 2020 di Gedung Republika
63
diserahkan kepada Wakil Redaktur Pelaksana. Berita yang
telah diperiksa, dicetak kasar atau biasa disebut pracetak.
Sebelum dicetak sebagai finishing, berita kembali diserahkan
kepada Redaktur untuk diperiksa kembali. Tahap terakhir
yaitu cetak dan publikasi.
Visi dan misi Dialog Jumat sama dengan surat kabar
Republika, hanya saja pembahasannya lebih khusus dan
mayoritas tema keagamaan. Salah satu hal yang menjadi
tujuan penting hadirnya Dialog Jumat yaitu sebagai surat
kabar dengan pembahasan yang mewakili umat. Dialog Jumat
juga berusaha untuk menarasikan sebuah usaha dalam
memperjuangkan toleransi antarumat beragama, sehingga
menjadikan masyarakat yang moderat.
Melalui tulisan yang bertemakan toleransi merupakan
upaya untuk melawan ektremisme. Dimana ektremesme itu
sendiri kan artinya berlebihan, di situ ada intoleransi, fanatik
dan eksklusif. Kaum ekstremes akan merasa dirinya yang
paling benar, apa yang dia pelajari, apa yang dia yakini itu
yang paling benar. Apalagi kaum seperti ini paling jago untuk
menyalahkan pihak lain, terutama yang berbeda
keyakinannya.
Maka dari itu, Dialog Jumat mengemas tulisan
sedemikian rupa mencoba untuk memberikan bahan bacaan
dengan harapan, ada pertimbangan-pertimbangan setelah
membacanya. Pertimbangan yang seperti apa? Misal, seusai
64
membaca berita “Belajar dari Perang”, pembaca lebih bersifat
moderat karena dalam tulisannya itu tidak mengandung unsur
menghakimi, justru malah saling menghargai. Toleransi
menjadi kunci penting bagi Dialog Jumat, sesuai dengan visi
dan misi Republika dalam bidang agama, yaitu ingin
menyiarkan agama Islam dengan mempromosikan semangat
toleransi, mewujudkan Islam rahmatan lil alamin dalam
segala ilmu, serta membela, melindungi, dan melayani
kepentingan umat.
Dialog Jumat melihat kasus intoleransi yang
meningkat disebabkan karena tidak ada yang mau berusaha
untuk mengalah. Mengalah dalam artian bukan menggadaikan
akidah dan keimanan, tapi lebih kepada sisi humanismenya.
Saat ini justru sulit menemukan manusia yang mampu
memanusiakan manusia itu sendiri. Berbeda sedikit,
tersinggung, dan lain sebagainya. Banyaknya muslim yang
belum dewasa dalam hal pemikiran salah satunya. Masyarakat
sepertinya masih melihat melalui kacamata kuda orientasinya
juga karena merasa menjadi mayoritas. Seperti ajaran
demokrasi, ketika menjadi mayoritas maka kita merasa
berkuasa.
65
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
1. Analisis Framing Berita “Shalat di Dalam Gereja.
Bolehkah?”
Penulis: Syalaby Ichsan
Edisi: 6 September 2019, halaman 5
Tabel 5.1
Analisis Framing Berita “Shalat di Dalam Gereja.
Bolehkah?”
Problem Identification
(Identifikasi Masalah)
Adanya perdebatan tentang beribadah
di tempat peribadatan agama lain.
Diagnose Causes
(Memperkirakan
penyebab masalah)
Tersebarnya isu Islamophobia,
khususnya di negara-negara Eropa
dan Amerika.
Make Moral Judgment
(Membuat keputusan
moral)
Islam tidak melarang bermuamalah
dan berinteraksi dengan Nonmuslim,
asalkan sesuai syar‟i.
Treatment
Recommendation
(Menekankan
Penyelesaian)
Boleh atau tidaknya salat di dalam
Gereja sesuai dengan beberapa
ketentuan dan urgensinya masing-
masing.
Problem Identification. Dalam berita “Shalat di
Dalam Gereja, Bolehkah?”, Dialog Jumat membuat taiching
66
berita, yaitu “Umar pernah menolak shalat di gereja saat
menyambangi Baitul Maqdis”, kemudian dilanjutkan dengan
isi teks berita. Di awal kalimat pada paragraf pertama
dituliskan bahwa “Islam tidak pernah melarang
bermuamalah dengan Nonmuslim”.
Dalam taiching terdapat kata “menolak”, hal ini
menjadi menarik karena seolah judul sudah menjawab bahwa
tidak diperbolehkah salat di dalam Gereja, buktinya, Umar
pun menolak. Tetapi ketika berlanjut ke kalimat berikutnya,
pembaca akan menemukan pernyataan yang berbeda yaitu
terdapat kata “tidak pernah melarang”. Dua kata kunci yang
berbeda, seolah Dialog Jumat terlihat tidak konsisten dalam
memahami bagaimana sikap yang harus dilakukan ketika
berinteraksi antara Muslim dengan Nonmuslim dan beribadah
di tempat beribadatan agama lain. Perdebatan inilah yang
menjadi permasalahan dalam berita “Sholat di Dalam Gereja.
Bolehkah?”.
Kedua, diagnose causes (memperkirakan penyebab
masalah). Islamopobia menjadi salah satu faktor diangkatnya
berita “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”.
Demi toleransi dan rasa aman, Muslim
bersosialisasi di tempat ibadah umat beragama
lain. Tidak jarang, saat berinteraksi itu bertepatan
dengan waktu shalat, sehingga Muslim harus
67
menjalankan ibadah di gereja atau tempat
beribadah lainnya. 47
Berdasarkan kutipan berita di atas, Dialog Jumat
memberikan gambaran bagaimana Islamophobia di Eropa dan
Amerika mengaharuskan Muslim membaur dengan
Nonmuslim. Interaksi tersebut merupakan upaya untuk
mengurangi stigma negatif tentang Islam di Eropa dan
Amerika. Kehidupan antarumat beragama di Eropa dan
Amerika juga digambarkan oleh Dialog Jumat sebagai proses
penerimaan peribadatan antarumat beragama yang bersifat
amaliah. Hal ini selaras dengan indikator moderasi beragama,
yaitu toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Elemen selanjutnya adalah make moral judgment
(membuat pilihan moral). Pada elemen Dialog Jumat
menyampaikan bawah tidak ada larangan untuk bermuamalah
dan berinteraksi antarumat beragama. Hal ini disampaikan
Dialog Jumat dengan mengutip firman Allah,
“… Allah SWT memuliakan tempat dan
rumah peribadatan. Di dalam Alquran Surah al-
Hajj ayat 40, Allah SWT berfirman, “…Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
47
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
68
gereja-gereja, rumah-rumah iba dat orang Yahudi,
dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.”48
Kutipan teks di atas menunjukkan adanya anjuran
untuk saling menjaga meskipun memiliki kepercayaan yang
berbeda. Hal ini sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu. Nilai-nilai yang
seperti ini ditunjukkan Dialog Jumat untuk menggiring
pembaca kepada ingatan kemajemukan yang ada di
Indonesia, dan melaksanakan komitmen kebangsaan. Karena
menunaikan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud
pengamalan ajaran agama.
Dialog Jumat memaparkan tafsir dari Prof. Quraish
Shihab tentang anjuran memelihara tempat peribadatan.
Dalam tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa memelihara dan
menjaga tempat peribadatan, bukan hanya masjid-masjid,
melainkan gereja-gereja, dan tempat peribadatan agama lain
adalah kewajiban umat Islam. Dalam tafsir tersebut terdapat
kata “kewajiban”, yang berarti sesuatu yang harus
dilaksanakan.
48
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
69
Berita “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?” terdapat
di dalam kolom fatwa yang isi beritanya memaparkan
penjelasan dari para ulama dan fatwa dunia. Selain tafsir al-
Misbah, Dialog Jumat menuliskan fatwa Mesir, antara lain,
Lembaga fatwa Mesir Dar al Ifta
menyebutkan, prinsip hubungan antara Muslim dan
Nonmuslim adalah hidup berdampingan dalam damai.
Diperbolehkan bagi Muslim untuk bergaul dengan
Nonmuslim dengan cara yang tidak bertentangan
dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW.”49
Kemudian Dialog Jumat juga memberi penekanan,
dengan memaparkan kutipan ayat suci Al-Quran,
Allah pun tidak melarang kita dari
menjaga hubungan baik dengan Nonmuslim,
bertukar hadiah atau tindakan perlakuan baik
lainnya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak pula
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil....”
[QS al-Mumtahanah : 8].50
49
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5 50
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
70
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada larangan
untuk berbuat baik terhadap antarumat beragama. Bukan lagi
pendapat ulama, melainkan dari Allah SWT langsung yang
menyampaikan, atau disebut dengan firman Allah. Dialog
Jumat.
Berdasarkan beberapa kutipan teks di atas,
menunjukkan Dialog Jumat membawa pembaca pada sikap
saling menghargai dan penuh perdamaian. Sesuai dengan
indikator moderasi beragama, yakni antikekerasan. Tidak ada
anjuran untuk memaksa ataupun berlaku kasar dalam
kehidupan antarumat beragama.
Elemen yang terakhir adalah Treatment
recommendation (menekankan penyelesaian). Dari beberapa
kutipan berita, Dialog Jumat mengatakan bahwa salat di
dalam Gereja hukumnya boleh atau mubah. Namun, Dialog
Jumat memberikan asumsi “rawan fitnah” dengan
memaparkan kisah Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab pernah menolak shalat
di gereja saat menyambangi Baitul Maqdis. Umar
yang datang ke Yerussalem setelah Amr bin Ash
menaklukkan negeri para nabi itu ditawari shalat
di Gereja Makam Suci oleh Uskup Sophronius.
71
Umar menolak. Dia memilih shalat di luar
gereja.51
Penolakan Umar bin Khattab di sampaikan dalam satu
paragraf, kemudian diikuti paragraf berikutnya berisi alasan
mengapa Umar menolak salat di dalam Gereja,
Alasan dia tidak mau shalat di gereja karena
khawatir jika umat Islam akan merubah gereja ini
menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat
di situ.52
Kisah Umar bin Khattab menjadi pertimbangan
pembaca tentang hukum salat di dalam Gereja. Umar
merupakan orang terpandang, alasan penolakannya juga
masuk akal. Dialog Jumat kemudian memberikan penjelasan
tentang hukum salat di dalam Gereja dengan memaparkan
fatwa Syeikh Yusuf Qaradawi,
Pilihan shalat di gereja bisa diambil
seandainya memang tidak ada tempat lain atau
masjid lain untuk shalat. Namun demikian, Syeikh
Qaradawi merekomendasikan untuk menghindari
51
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5 52
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
72
shalat di rumah peribadatan agama lain karena
rawan fitnah.53
Dialog Jumat tetap menganjurkan untuk
mengusahakan terlebih dahulu, untuk mencari masjid atau
tempat yang memungkinkan untuk bisa melaksanaka salat.
Peneliti melihat Dialog Jumat berusaha untuk menyajikan
berita dengan jawaban yang sederhana dan mudah dipahami
oleh pembaca. Dialog Jumat juga terlihat memposisikan
dirinya sebagai media yang berada di tengah-tengah, tidak
berpihak pada salah satu jawaban yaitu boleh atau tidak.
Pada elemen terakhir ini, Dialog Jumat menutup berita
dengan memberikan tiga kesimpulan dari penelitian el-
Bukhari Institute tentang hukum salat di dalam Gereja.
Peneliti dari el-Bukhari Institute, Moh
Juriyanto menukil kitab al-Adabu al-Syar‟iyah wa
al-Minah al-Mar‟iyah karya Muhammad bin
Muflih al-Maqdisi. Kitab itu menyebutkan
beberapa pendapat ulama terkait hukum
melaksanakan salat di tempat ibadah Nonmuslim.
Pertama, menurut Ibnu „Aqil, melaksana
kan salat di tempat ibadah Nonmuslim dinilai sah
namun makruh, baik di dalamnya ada patung atau
tidak. Kedua, menurut Ibnu Tamim, jika di dalam
tempat ibadah Nonmuslim tidak ada patungnya,
53
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
73
maka boleh memasuki tempat ibadah tersebut dan
juga boleh melaksanakan shalat di dalamnya. Pen
dapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu „Abbas dan
Malik. Mereka berdua tidak memakruhkan salat di
dalam gereja karena ada patungnya.
Ketiga, boleh melaksanakan salat di
tempat ibadah Nonmuslim asalkan bersih dan suci.
Ini adalah pendapat sahabat Ibn „Umar dan Abu
Musa Al-Asy‟ari. Walla hualam. 54
Dialog Jumat mengambil berbagai sumber informasi
sebagai referensi berita. Contohnya dalam berita “Salat di
Dalam Gereja. Bolehkan?” masuk ke dalam sub rubrik fatwa,
dimana pendapat para ulama dijadikan sebagai referensi.
Kutipan berita di atas merupakan kesimpulan dari
keseluruhan isi berita. Dialog Jumat memberikan argumentasi
tentang hukum salat di dalam Gereja yakni mubah atau
dibolehkan asalkan ada urgensi dan ketentuan berdasaran
syariat.
54
Dialog Jumat Republika, “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, 6
September 2019, h. 5
74
2. Analisis Framing Berita “Belajar dari Perang”
Penulis: Syalaby Ichsan
Edisi: 20 September 2019, halaman 4
Tabel 5.2
Analisis Framing Berita “Belajar dari Perang”
Problem
Identification
(Identifikasi
Masalah)
Pemahaman masyarakat terhadap
perang adalah sebuah peristiwa
dimana adanya perlawanan,
pembunuhan, dan perebutan
kekuasaan.
Diagnose Causes
(Memperkirakan
penyebab masalah)
Masyarakat dikepung stigma negatif
tentang peperangan karena kurang
referensi atau informasi yang valid.
Make Moral
Judgment
(Membuat
keputusan moral)
Perang juga berbicara tentang adab
dan sikap menghadapi lawan.
Treatment
Recommendation
(Menekankan
Penyelesaian)
Nabi Muhammad SAW telah memberi
legasi bagi kemanusiaan dalam
peperangan. Kisah-kisah terdahulu
dapat dijadikan sebagai referensi
bacaan dan renungan, bahwa dalam
Islam ada adab ketika berperang.
75
Elemen pertama adalah Problem Identification.
Dalam berita Belajar dari Perang, Dialog Jumat mengulas
tentang kondisi perang zaman dahulu. Tempat peribadatan
menjadi sasaran sehingga melahirkan banyak korban.
Wartawan juga menuliskan contoh kisah Nabi Adam AS
ketika putranya, Habil, dibunuh saudara kandungnya, Qabil,
bermaksud untuk memberikan gambaran kepada pembaca
bahwa pembunuhan sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam.
Hal ini ditunjukkan Dialog Jumat melalui tulisannya dalam
berita Belajar dari Perang.
Gereja-gereja mereka tidak boleh
ditempati dan dirobohkan. Perang menjadi salah
satu bagian dari sejarah panjang manusia.
Manusia sudah saling membunuh, bahkan sejak
zaman Nabi Adam AS ketika putranya, Habil,
dibunuh saudara kandungnya, Qabil. Dengan
skala yang lebih masif, perang dengan berbagai
motif terjadi hingga zaman modern ini.55
Gambaran tentang perang ditekankan diparagraf
kedua, dimana perang dapat meregang banyak nyawa.
Berbagai motif orang berperang dilakukan dengan cara
kekerasan, paksaan, bahkan pembunuhan. Namun diakhir
paragraf, wartawan berusaha menunjukkan bahwa sekejam
55
Dialog Jumat Republika, Belajar dari Perang, 20 September 2019, h. 4
76
apapun peperangan, tetap menjadi sejarah perjuangan dunia.
Hal ini ditunjukkan dalam teks berita, yaitu:
Jutaan manusia menjadi korban
peperangan. Mereka berperang demi agama,
kekuasaan, harta, bahkan perempuan. Meski
menyisakan cerita kejam, perang kerap menjadi
sebuah fragmen sejarah perjalanan manusia.
Dialog Jumat tidak sekadar menyampaikan dampak
negatif dari perang, tetapi mencoba untuk melihat sisi lain
perang. Hal itu terbukti dari kutipannya dalam berita, “Meski
menyisakan cerita kejam, perang kerap menjadi sebuah
fragmen sejarah perjalanan manusia.”. Seolah Dialog Jumat
memberikan klarifikasi bahwa seburuk apapun sebuah
perang, tetap menjadi hal penting dalam sejarah kehidupan.
Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah).
Dalam berita “Belajar dari Perang”, tidak terlihat dalam teks
berita, namun peneliti mencoba menganalisis melalui teks
yang terlampir pada elemen problem identification. Dialog
Jumat mencoba membawa pembaca pada perspektif peristiwa
peperangan zaman Nabi dan peperangan yang terjadi saat ini.
Terlihat Dialog Jumat berasumsi bahwa kebanyakan
masyarakat memaknai peperangan sebagai sebuah peristiwa
yang mengandalkan kekerasan dan kekuasaan. Hal ini karena
referensi atau informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat,
77
baik melalui tulisan/buku, ataupun dari media sebagai sumber
informasi.
Elemen selanjutnya adalah make moral judgment
(membuat pilihan moral). Dialog Jumat menyampaikan
bahwa Perang bukan sekadar tentang perlawanan,
pembunuhan, dan perebutan kekuasaan, tetapi perang juga
berbicara tentang apa yang dilakukan saat perang, bagaimana
adab berperang, dan apa tujuan berperang.
“Kita bisa mengenang bagaimana
pasukan Muslimin merebut Baitul Maqdis pada
abad ke-7 Masehi. Kisah pengepungan panjang di
Aelia dalam ekspedisi pasukan Amr bin Ash
berakhir dengan perjanjian damai yang
diprakarsai Umar bin Khattab sang amirul
mukminin.”56
Kutipan teks di atas terlihat Dialog Jumat mencoba
merubah stigma negatif masyarakat tentang perang kepada
hal-hal lain yang dapat dipelajari dari perang. Hal itu
dibuktikan dengan adanya perjanjian damai yang diajukan
oleh Umar bin Khattab, yang berisi jaminan keselamatan jiwa
dan harta lawan perangnya. Selain itu, Umar juga
menegaskan bahwa tempat peribadatan umat Kristiani tidak
boleh ditempati dan dirobohkan.
56
Dialog Jumat Republika, Belajar dari Perang, 20 September 2019, h. 4
78
”Gereja-gereja mereka tidak boleh
ditempati dan dirobohkan. Tak boleh ada yang
dikurangi apa pun dari dalamnya atau yang
berada dalam lingkungannya, baik salib atau
harta benda apa pun milik mereka. Mereka tak
boleh dipaksa dalam hal agama mereka atau
mengganggu siapa pun dari mereka ....”57
Meskipun berbeda keyakinan, Umar tetap menjaga
toleransi antarumat beragama dengan menjamin harta dan
tempat peribadatan umat lain. Berarti, dalam berperangpun
tidak boleh menganggu dan memaksa umat agama lain untuk
melakukan sesuatu berdasarkan kehendak pribadi.
Selain tentang Umar bin Khattab, Dialog Jumat juga
menuliskan kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang sangat
memanusiakan lawan perangnya. Dalam berita “Belajar dari
Perang”, Dialog Jumat mengutip kata-kata Shalahuddin yang
disampaikan kepada musuhnya saat berperang,
“Aku akan mengantarkan tiap-tiap jiwa
(orang) kalian (umat Kristen) dengan aman ke
wilayah-wilayah Kristen, setiap jiwa dari kalian,
wanita, anak-anak, orang tua, seluruh pasukan
dan tentara, dan juga ratu kalian. Dan, akan aku
kembalikan raja kalian dan pada apa yang Tuhan
57
Dialog Jumat Republika, Belajar dari Perang, 20 September 2019, h. 4
79
kehendaki atasnya. Tidak ada satu pun dari kalian
akan disakiti. Aku bersumpah.”58
Kutipan Shalahuddin di atas menunjukkan, betapa
hebatnya seorang panglima perang yang menjunjung tinggi
adab dalam memanusiakan musuhnya. Jika dilihat dari
kutipan Shalahuddin, Beliau merupakan pemimpin yang tegas
dan bijaksana, bahkan musuhnya pun sangat menghormati
beliau. Tidak hanya bersumpah, Shalahuddin juga menjadi
panutan umat Islam. Beliau pernah mengirim tabib untuk
mengobati musuhnya, Raja Inggris, Richard yang dikenal
dengan sebutan si Hati Singa. Tidak hanya itu, Shalahuddin
al-Ayyubi juga memberikan dua ekor kuda untuk musuhnya,
karena melihat kuda musuhnya sudah tua.
Secara logika, dan mayoritas pemikiran masyarakat
tentang perang, pasti sangat minim yang memerhatikan adab
dalam berperang, terlebih bersikap seperti Umar dan
Shalahuddin. Ternyata toleransi antarumat beragama sudah
diterapkan sejak zaman Nabi, bahkan ketika berperang.
Elemen yang terakhir adalah Treatment
recommendation (menekankan penyelesaian). Dengan
memaparkan kisah-kisah panglima perang yang sangat
mengutamakan adab, Dialog Jumat terlihat berusaha untuk
memberikan informasi bahwa perang tidak hanya tentang
perlawanan, dan saling bunuh. Kisah-kisah seperti ini menjadi
58
Dialog Jumat Republika, Belajar dari Perang, 20 September 2019, h. 4
80
ikhtiar Dialog Jumat dalam menuntun masyarakat untuk
meningkatkan sikap toleransi antarumat beragama.
Dialog Jumat menutup berita dengan dua paragraf
yang berisi kesimpulan dari isi berita, antara lain,
Selain petarung sejati, Umar dan
Shalahuddin merupakan Muslim yang taat. Mereka
memegang teguh ajaran Islam, bahkan dalam
perang. Rasulullah SAW memberi legasi yang
berharga bagi kemanusiaan dari peperangan.
Nabi SAW melarang umatnya untuk membunuh
perempuan dan anak-anak dalam peperangan (HR
Bukhari 3015 dan Muslim 1744). Rasulullah SAW
juga melarang mencincang mayat tentara musuh
(HR Muslim 1731).
Untuk tawanan, Nabi SAW juga telah
mengeluarkan instruksi yang jelas untuk
memberikan perawatan. Sejarah mencatat
bagaimana umat Islam saat itu menangani
tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624
Masehi. Sebanyak 70 orang tawanan Makkah yang
ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan
atau tanpa tebusan. Bukan hanya jiwa, Nabi SAW
bahkan melarang pasukan Muslimin untuk
mencabut atau menebang pepohonan dan
merubuhkan bangunan.59
59
Dialog Jumat Republika, Belajar dari Perang, 20 September 2019, h. 4
81
Dua paragraf tersebut menuliskan bahwa Nabi
Muhammad SAW. memerintahkan untuk menjaga adab-adab
ketika berperang. Melalui berita “Belajar dari Perang”, Dialog
Jumat tidak sekadar memberikan informasi tentang perang,
tetapi juga memberikan edukasi yakni mengambil hikmah
dari perang. Dalam beritanya Dialog Jumat berusaha
mengungkapkan bahwa sebenarnya perang dapat memberikan
sebuah pembelajaran, terutama bagi kehidupan antarumat
beragama.
82
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam teori media dan konstruksi realitas, disebutkan
bahwa isi berita dapat dipengaruhi karena otoritas pimpinan
media, ideologi media, ataupun subjektivitas penulis berita atau
wartawan. Dialog Jumat memiliki struktur manajemen dimana
seorang redaktur merangkap sebagai penulis berita. Hal ini sangat
mempengaruhi bagaimana berita dikemas, karena berperan mulai
dari pemilihan tema, proses penulisan, hingga naik cetak.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti
melihat dua berita yang menjadi sampel penelitian memiliki
kesamaan konstruksi yang berusaha dibentuk oleh Dialog Jumat.
Hal ini sesuai dengan isu yang ditonjolkan dalam berita, yakni
toleransi antarumat beragama. Terlihat dalam kedua berita
tersebut menyerukan perdamaian dengan cara saling menghargai
dan menghormati, terutama dalam kehidupan antarumat
beragama.
Adapun latar belakang isu yang diangkat, yaitu redaktur
melihat kasus intoleransi yang selalu meningkat karena masih
banyak bibit-bibit ekstremisme, dimana masyarakat bersikap
menutup diri dari sebuah perbedaan (eksklusif), dan merasa
dirinya yang paling benar (fanatik). Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara bersama redaktur Dialog Jumat,
83
“Melalui berita moderasi beragama seperti ini
juga termasuk upaya untuk melawan ektremisme.
Dimana ektremesme itu sendiri kan artinya
berlebihan, di situ ada fanatik dan eksklusif yang juga
keduanya merupakan indikator paham radikal. Kaum
ekstremes itu kan merasa dirinya yang paling benar,
apa yang dia pelajari, apa yang dia yakini itu yang
paling benar. Apalagi kaum seperti ini paling jago
untuk menyalahkan pihak lain, terutama yang berbeda
keyakinannya.”
Dalam kutipan wawancara di atas, Redaktur
menyampaikan bahwa upaya untuk melawan ektremisme adalah
dengan menampilkan berita-berita yang berkaitan dengan
moderasi beragama dan menciptakan masyarakat yang moderat.
Selain itu, penonjolan aspek toleransi ini juga sesuai dengan visi
Republika dalam bidang agama, yaitu mempromosikan semangat
toleransi antarumat beragama.
Selain menyeleksi tema, Dialog Jumat juga memilih judul
yang menarik minat pembaca. Sesuai yang dikatakan redaktur
sekaligus penulis berita, ketika diwawancara, “Ini judulnya
emang agak nyeleneh, ya. Salah satu hal penting untuk menarik
pembaca ya seperti ini”.60
Berdasarkan kutipan wawancara
tersebut, terlihat Dialog Jumat berasumsi bahwa judul menjadi
60
Wawancara bersama Redaktur Dialog Jumat Republika, Syalaby.
Pada 1 Februari 2020
84
aspek penting untuk menarik minat baca masyarakat terhadap
suatu berita.
Berangkat dari tujuan dibuatnya berita dalam Dialog
Jumat, peneliti juga sempat menyinggung bagaimana Dialog
Jumat memaknai kasus ekstremisme.
“Radikalisme ini bagian dari ekstremisme
(berlebih-lebihan). Tapi kita tidak menafikan memang
ada benih-benih ekstremisme di masyarakat.
Banyaknya muslim yang belum dewasa dalam hal
pemikiran salah satunya. Masyarakat sepertinya masih
melihat melalui kacamata kuda orientasinya juga
karena merasa menjadi mayoritas. Seperti ajaran
demokrasi, ketika menjadi mayoritas maka kita merasa
berkuasa.”
Dalam berita “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?” redaktur
sekaligus penulis berita, tidak membahas tentang kehidupan berbangsa
dan bernegara secara langsung, tetapi dalam isi beritanya menyisipkan
nilai-nilai Pancasila, seperti adanya kebebasan beragama, saling
menghargai antarumat beragama, menjalin hubungan yang baik
meskipun memiliki perbedaan, dan lain sebagainya. Menjadi warga
negara yang baik merupakan salah satu pengamalan ajaran agama,
begitu pula sebaliknya, menjalankan ajaran agama sama dengan
menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
Dua berita yang dijadikan sampel penelitian terdapat dalam
tema rubrik yang berbeda, yakni fatwa dan tuntunan. “Sholat di Dalam
Gereja. Bolehkan?” merupakan rubrik fatwa yang referensinya berasal
85
dari berbagai fatwa. Dengan menampilkan beberapa sumber fatwa,
Dialog Jumat menunjukkan sikap moderatnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan redaktur Dialog Jumat,
“Kita bisa saja merujuk salah satu fatwa yang
membolehkan atau yang tidak membolehkan tapi kita
tidak seperti itu, bahwa kita punya satu sikap toleransi,
punya prinsip dan punya dasar. Kita diajarkan lakum
dinukum waliyadin, kita boleh hormat terhadap agama
dan umat agama lain selama tidak mencampuri Aqidah
masing-masing. Dalam konteks ini kita juga punya
sikap seperti itu, walaupun dalam kondisi darurat, itu
menjadi fleksibel.”
Berdasarkan kutipan di atas, peneliti melihat Dialog Jumat
berusaha untuk mengambil sikap berimbang. Hal ini
menunjukkan sikap tidak condong ke kanan ataupun ke kiri,
melainkan menarik dua garis pada posisi tengah. Sumber yang
dijadikan sebagai referensi juga memiliki fatwa yang hampir
selaras, sehingga tidak menimbulkan konflik. Fatwa yang
disampaikan dalam berita terlihat berusaha untuk menjawab
permasalahan dengan mengambil jalan tengah, yakni
memberikan hukum mubah, asalkan sesuai dengan urgensi dan
syariat Islam. Redaktur juga memberikan contoh berita lain yang
mengambil berbagai sumber, yaitu tentang rokok dan vape.
Dialog Jumat mengambil fatwa Muhammadiyah dan NU yang
dikenal memiliki pandangan yang berbeda.
86
Dalam rubrik fatwa, berita “Sholat di Dalam Gereja.
Bolehkah?” Dialog Jumat tidak sekadar menunjukkan fatwa
tentang hukum salat di dalam Gereja. Tetapi mengulas bagaimana
sikap seorang Muslim terhadap tempat beribadatan lain. Redaktur
menyampaikan bahwa setiap bangunan yang ada adalah bumi
Allah, maka wajib hukumnya untuk menjaga dan memelihara
semua tempat peribadatan.
Beberapa kali Dialog Jumat menyampaikan dalam
beritanya tentang adab atau bagaimana sikap yang seharusnya
dilakukan, salah satunya, komunikasi. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara bersama redaktur Dialog Jumat.
“Hal seperti ini bisa terjadi kadang adanya
misunderstanding dan agama dijadikan sebagai trigger
untuk seseorang dalam berbuat sesuatu. Contohnya,
terkadang satu gereja di komplek atau komunitas
muslim ketika dia tidak melakukan komunikasi dengan
baik, maka itu akan menjadi kesalahpahaman. Berbeda
jika dia ada silaturahmi ada komunikasinya terlebih
dahulu dan menjadi rules.”
Pertanyaan yang diajukan yaitu mengenai tanggapan
redaktur tentang maraknya penyerangan rumah ibadah. Jawaban
redaktur ketika wawancara terlihat konsisten karena redaktur
sekaligus penulis berita “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”
menyampaikan bahwa komunikasi merupakan aspek penting
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, terlebih dalam
87
lingkungan multiagama. Dialog Jumat menggiring pembaca
untuk tetap menjalin hubungan yang baik antarumat beragama.
Dalam berita “Sholat di Dalam Gereja. Bolehkah?”, juga
disampaikan bahwa muslim dan nonmuslim dapat hidup
berdampingan dan berhubungan dengan damai. Hal ini
disampaikan melalui lampiran beberapa ayat suci Alquran dan
hadist Nabi SAW dalam berita. Peneliti melihat ayat suci Alquran
dan hadist yang disampaikan dalam berita merupakan aspek yang
cukup penting untuk meyakinkan pembaca.
Selain subjektivitas wartawan dan otoritas pimpinan
media, ideologi media juga mempengaruhi bagaimana berita
dikemas. Sebagai media dengan berideologikan Islam, tentu yang
menjadi kunci referensi setiap tulisan/berita yaitu Alquran dan
hadist. Ayat dan hadist yang disampaikan juga relevan dengan
apa yang dibahas dalam berita. Misal, berbicara tentang
hubungan antarumat beragama, maka ayat yang dipilih yaitu
tentang bagaimana sikap yang dianjurkan ketika menjalani
hubungan antarumat beragama. Meskipun di beberapa tema
rubrik tidak melansir dari ayat suci Alquran dan hadist, tetapi
kemasan berita tetap bernafaskan keislaman.
Selanjutnya, dalam tema tuntunan, Dialog Jumat
mengambil referensi dari kisah-kisah Nabi Muhammad SAW.
dan juga para sahabatnya, sebagaimana seorang muslim memang
disunnahkan untuk mengikuti apa yang Nabi SAW. lakukan.
Mengapa harus Nabi Muhammad SAW. Jelas karena Beliau
88
merupakan “Role Model” umat Islam. Maka Dialog Jumat
berusaha mengambil kisah-kisah Nabi dan para sahabatnya
sebagai referensi dalam berita, guna memberikan contoh dan
diharapkan menjadi contoh bagi siapapun yang membaca,
Dalam berita “Belajar dari Perang” redaktur mengatakan
bahwa yang melatarbelakangi berita tersebut adalah karena masih
banyak masyarakat yang dikepung dengan stigma negatif tentang
hal-hal yang berkaitan dengan perang dalam Islam. Terlebih isu
radikalisme dan terorisme yang sedang marak diperbincangkan.
Salah satu kelompok yang disebut sebagai pelaku doktrin negatif
tentang Islam yaitu ISIS. Redaktur menganggap bahwa ISIS
merupakan salah satu kelompok yang menafikan nilai-nilai
keislaman.
“Artikel ini ingin membantah pernyataan-
pernyataan yang keliru Melalui tulisan ini, Dialog
Jumat ingin menarasikan bahwa Islam itu agama
rahmatan lil alamin, bahkan ketika perang. Jangan
sampai apa yang terjadi saat ini, stigma Islam seolah
menjadi pelaku teroris dan sebagainya terus
digaungkan. Adanya ISIS yang menjadikan gerakannya
sebagai ideologi Islam padahal sangat jauh dari
praktik dalam teori Keislaman inilah yang harus
diperbaiki.
Kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa Dialog
Jumat ikut serta dalam meminimalisasi paham-paham yang tidak
89
sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Ikhtiar itu dilakukan oleh
Dialog Jumat dengan menarasikan bahwa Islam merupakan
agama rahmatan lil‟alamin melalui berita-berita yang
dipublikasikan.
Adanya kelompok-kelompok yang menyimpang juga
mengakibatkan munculnya Islamophobia. Redaktur memaknai
Islamophobia sebagai ketakutan terhadap Islam baik secara
personal ataupun ajarannya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan redaktur Dialog Jumat, menyebutkan bahwa kasus
Islamophobia juga bisa terjadi dengan adanya larangan
penggunaan atribut yang menunjukkan identitas sebuah agama.
Contohnya larangan penggunaan turban di India, termasuk ada
juga larangan mengenakan jilbab. Berangkat dari permasalahan
ini, redaktur sekaligus penulis berita Dialog Jumat mengajak
masyarakat untuk melawan Islamophobia dengan perdamaian.
Dalam teori komunikasi massa disebutkan bahwa media
mampu memberikan pengaru atu efek kepada para pembacanya
melalui teks berita. Salah satunya efek kognitif, yaitu
mengakibatkan konsumen berubah dalam hal pengetahuan,
pandangan, dan pendapat terhadap sesuatu yang diperolehnya.
Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan, atau informasi. Hal ini ditunjukkan oleh Dialog
Jumat dengan berusaha untuk merubah pandangan dan
menambah pengetahuan masyarakat yang dikepung dengan
stigma negatif terhadap hal-hal yang berkaitan tentang agama.
90
Contohnya dalam rubrik Dialog Jumat disebutkan bahwa
berbeda bukan berarti tidak bisa berdampingan. Masyarakat
terpaku pada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan secara keliru.
Misal “Lakum diinukum wa liyadiin”, memang artinya untukmu
agamamu, dan untukku agamaku. Jika diartikan hanya dalam
bentuk teks, maka pemahaman masyarakat hanya berhenti pada
kehidupan “masing-masing”. Sementara nyatanya, dalam
kehidupan antarumat beragama, diperlukan ada yang namanya
berinteraksi, dan disampaikan oleh Dialog Jumat dengan melansir
firman Allah dan juga hadist, bahwa setiap manusia bisa hidup
berdampingan, bahkan dengan perdamaian. Dari situlah terlihat
bahwa Dialog Jumat sebagai media, memberikan efek atau
pengaruh yang baik, melalui teks-teks berita dengan pembahasan
atau tema yang ada.
Berdasarkan analisis framing yang telah dilakukan,
peneliti melihat yang paling ditonjolkan oleh Dialog Jumat
terletka pada elemen make moral judgment atau membuat
keputusan moral yakni argumentasi wartawan sebagai pendukung
gagasan yang ditampilkan dalam berita. Selain mengajak untuk
saling menjaga dan mengahargai sebuah perbedaan, redaktur
Dialog Jumat mengatakan bahwa dalam menghadapi sebuah
perbedaan harus melibatkan sisi humanismenya. Jangan sampai
hanya karena berbeda pilihan, berbeda pendapat, sampai
bermusuhan dan melupakan sisi kemanusiaannya. Hal ini
disampaikan redaktur ketika wawancara.
91
“Jadi, sebenarnya tidak separah itu sebuah
perbedaan itu. Kita harus saling menjaga. Memang
benar lakum dinukum waliyadin, tapi harus tetap ada
humanismenya begitu. Apalagi Indonesia itu agamanya
beragama, tidak hanya Islam dan Kristen.”
Redaktur Dialog Jumat terlihat berusaha untuk
menekankan bahwa segala perbedaan yang ada, bukan berarti
tidak bisa berdampingan. Terlebih dalam berita-beritanya selalu
mengajak untuk meningkatkan kesadaran humanismenya. Hal ini
sesuai dengan teori komunikasi massa, bahwa media memiliki
fungsi to persuade atau meyakinkan pembaca dengan
mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai
seseorang. Mengubah sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang.
Menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Dalam berita “Belajar dari Perang”, Dialog Jumat
memberikan contoh kisah peperangan yang dipimpin oleh Umar
bin Khattab dan Shalahuddin al Ayubi. Ketika berperang, bukan
sekadar pertumpahan darah, tetapi tetap ada sisi humanismenya.
Dalam berita tersebut disampaikan bagaimana sikap kedua
panglima perang tersebut, sangat mengedepankan sisi
humanismenya. Mereka tetap menjaga jiwa dan harta lawan
perangnya, bahkan menjaga dan memelihara tempat peribadatan
musuhnya.
Hal ini juga ditegasnya dalm teks berita dengan
menyampaikan hadist Rasulullah SAW. sebagai bentuk
92
penegasan bahwa dalam perangpun ada adab atau aturannya.
Peneliti melihat Dialog Jumat selalu berusaha untuk memberikan
penegasan dari setiap argument atau teks berita yang
disampaikan. Jadi, pembaca tidak berhenti pada satu asumsi,
melainkan ada pertimbangan lainnya dengan dihadirkan asumsi-
asumsi berupa penegasan atau pengukuhan setiap tulisan dalam
berita.
Redaktur Dialog Jumat menyampaikan bahwa masih
banyak masyarakat yang bersikap intoleransi, fanatik, dan
ekslusif, serta menjadikan agama sebagai tameng atau pembelaan
yang melenceng. Sehingga segala sesuatu yang pelaku rasa benar,
ia selalu mengatasnamakan agama. Padahal jelas-jelas tidak
sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Adapun beberapa hal
yang menjadi penyebab kesalahpahaman dalam mempelajari
ajaran agama, seperti yang dikatakan redaktur Dialog Jumat
sebagai berikut,
“Ada banyak hal yang menyebabkan ekstremisme,
ada yang karena belajar dari guru yang salah, kita
belajar dari kitab salah, dan belajar tanpa guru. Dari
sisi humanisnya seperti itu, dan kadang-kadang kita
juga tidak tahu apakah sikap kita salah atau tidak.”
Melalui Rubrik inilah, Dialog Jumat berusaha untuk
menjalankan perannya sebagai media tidak hanya sekadar
memberikan informasi, tetapi juga memberikan edukasi para
93
pembaca, sehingga pesan yang disampaikan dapat dimaknai dan
dijadikan sebagai referensi.
Indonesia dikenal dengan negara multiagama, sudah
sepatutnya masyarakat menanam sifat saling menghargai dan
menerima. Namun, dengan adanya perbedaan tersebut tidak
menutup kemungkinan untuk terjadinya pergesakan. Redaktur
Dialog Jumat menyampaikan bahwa masyarakat terlihat belum
dewasa dalam menghadapi perbedaan yang ada. Hal ini ia
sampaikan ketika menanggapi bagaimana sikap individu terhadap
kasus intoleransi.
“Di Indonesia terlihat belum dewasa, misalkan ada
gereja di lokasi mayoritasnya muslim begitu juga
sebaliknya, ketika ada mushola atau masjid di
mayoritas Kristen, pasti akan ada pergesekkan.
Mungkin jika adanya dialog, adanya silaturahmi,
adanya interaksi itu bisa menjadi solusi dan tidak akan
menjadi masalah ke depan selama tidak mencampuri
urusannya masing-masing. Itu akan menjadi PR berat.”
Menumbuhkan sikap toleransi itu menjadi kunci.
Misalnya, ketika kita berada di tempat yang mayoritas Muslim,
maka kita harus menerima tradisi atau budaya yang ada. Begitu
pun sebaliknya, jika kita berada di tempat yang mayoritas Kristen
atau pun agama lain, maka kita harus menerima tradisi atau
budaya yang ada. Menerima dalam artian menghargai dan
menghormati perbedaan yang sudah ada dan apa yang diyakini
94
orang lain. Posisi ini mencerminkan proses memposisikan diri
pada budaya yang berbeda, dan proses menerima seseorang atau
suatu hal dari budaya yang berbeda. Proses ini disebut sebagai
akomodatif budaya lokal.
Peneliti melihat Dialog Jumat berusaha untuk menggiring
pembaca untuk membiasakan diri menerima perbedaan dengan
menghargai dan menjalankan kehidupan antarumat beragama
dengan mengedepankan unsur perdamaian.
95
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang konstruksi berita
moderasi beragama sebagai upaya mencegah radikalisme dalam
rubrik Dialog Jumat Republika, dapat disimpulkan bahwa Dialog
Jumat Republika menggunakan bingkai moderasi beragama. Hal
tersebut juga sesuai dengan visi dan misi Republika yang
mengandung unsur modern, keislaman, kebangsaan, kerakyatan,
dan yang paling utama adalah sikap moderat.
Salah satu indikator yang paling terlihat dalam berita
Dialog Jumat adalah mempromosikan semangat toleransi. Dua
sample penelitian menonjolkan isu toleransi antarumat beragama,
yang merupakan indikator moderasi beragama. Dialog Jumat juga
memberikan solusi bahwa sikap menerima dan menghargai
antarumat beragama menjadi kunci untuk tetap menjaga
kerukunan dan perdamaian di tengah perbedaan.
Berdasarkan hasil analisis framing model Robert N. Dan
interpretasi hasil penelitian, peneliti melihat Dialog Jumat telah
memenuhi indikator-indikator moderasi beragama. Meskipun
toleransi menjadi indikator yang paling ditonjolkan oleh Dialog
Jumat, tetapi indikator lainnya juga telah terpenuhi, seperti,
komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan akomodatif
terhadap kebudayaan lokal.
96
Meskipun sesuai dengan ideologi dan misi Republika,
serta telah terpenuhinya indikator moderasi beragama, dalam
penelitian ini tidak menyimpulkan bahwa media Republika
merupakan media yang moderat, melainkan rubrik yang
menyajikan berita dengan bingkai moderasi beragama. Sehingga
berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan, dapat
disimpulkan bahwa Dialog Jumat mengonstruksi berita moderasi
beragama sebagai upaya mencegah radikalisme.
B. Implikasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, implikasi
yang dihasilkan adalah bahwa media memiliki peran penting
dalam meminimalisasi radikalisme. Salah satunya dengan
menyajikan berita-berita dengan bingkai moderasi beragama. Hal
tersebut juga sesuai dengan fungsi media dalam memberikan
edukasi, yang dalam penelitian ini agar masyarakat saling
menghargai sesama umat manusia, dan menerima sebuah
perbedaan. Selain itu, dengan membaca skripsi yang mengangkat
isu moderasi beragama juga penting sebagai bahan bacaan atau
referensi untuk kemudian dikembangkan dan dilengkapi hasil
temuan penelitian.
C. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti
merasa perlu mengemukakan beberapa saran, antara lain:
97
1. Media Republika. Peneliti berharap Republika menjadi
contoh bagi media massa lainnya guna memberikan
edukasi kepada masyarakat untuk saling menghargai,
menghormati, dan menerima perbedaan.
2. Rubrik Dialog Jumat. Peneliti menyarankan agar
pengasuh Dialog Jumat dapat memastikan apakah
tujuannya dalam mempromosikan semangat toleransi
tersampaikan kepada pembaca atau tidak. Hal ini
diperlukan adanya penelitian lebih lanjut, ataupun dari
Dialog Jumatnya sendiri menyediakan alat untuk survei
apakah pembaca telah terpengaruh oleh framing moderasi
beragama atau tidak.
3. Masyarakat umum. Peneliti menyarankan agar
masyarakat selektif memilih referensi bacaan atau
tontonan. Selain itu dapat menjadikan kisah-kisah
terdahulu sebagai salah satu referensi, seperti kisah-kisah
zaman Rasulullah SAW.
4. Pemerintah. Peneliti menyarankan agar pemerintah lebih
massif mengampanyekan moderasi beragama sebagai
upaya mencegah radikalisme. Salah satunya melalui
berita-berita media massa.
5. Akademisi. Peneliti menyarankan agar penelitian ini
dapat dilengkapi dan diperkaya dengan berbagai sumber
dan data yang sesuai dengan perkembangan isu yang ada.
98
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmad Syarif, 2017. Ngaji Toleransi, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Alex Sobur, 2001. Etika Pers: Profesionalisme dengan
Nurani, Bandung: Humaniora Utama Press.
Alo liliweri, 2011. Komunikasi Serba Ada Serba
Makna.Jakarta : Prenada Media Group.
Asep Syamsul M. Romli, 2005. Jurnalistik Terapan: Suatu
Pengantar, Bandung: Batik Press.
Burhan Bungin, 2006. Sosiologi Komunikasi, Pranada Media
Group.
Burhan Bungin, 2008. Konstruksi Sosial Media Massa,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Effendy, Onong Uchjana, 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat
Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Erdinaya dan Ardianto, 2004. Komunikasi Suatu Pengantar,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Eriyanto, 2011. Analisis Framing. Konstruksi, Ideologi, dan
Politik Media, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Haris Herdiansyah, 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif
Untuk Ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika.
99
Herbert J. Gans, 1992. Multiperspectival News, dalam Elliot
D. Cohen (ed.), Philosphical Issues in Journalism, New York:
Oxford University Press.
Imam Gunawan, 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori
dan Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jumroni dan Suhaemi, 2006. Metode-metode Penelitian
Komunikasi, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Kementerian Agama RI, 2019. Moderasi Beragama, Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Margaret M. Poloma, 1984. Sosiologi Kontemporer, Jakarta:
CV Rajawali.
Syahrin Harahap, 2017. Upaya Kolektif Mencegah
Radikalism & Terorisme, Depok: SIRAJA.
Hery Sucipto, 2007. “Tarmizi Taher dan Islam Madzhab
Tengah”, pengantar editor dalam Hery Sucipto (ed.), Islam
Madzhab Tengah: Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher
(Cet. I; Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu).
Cairo: Dār al-Syurūq. 2008. al-Qaraḍāwi, Yūsuf. Fiqih
Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan
Aliran Liberal, terj. oleh A Sulaiman.
100
Jurnal:
Muchlis M. Hanafi, 2009. Konsep Al-Wasathiyyah Dalam
Islam, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius Vol
VIII, No 32.
Lihat Horace M. Kallen, 1972. Radicalism dalam Edwin R.
A. Seligman, Encyclopedia of the Social Science Vol. XIII-
XIV (New York, Mcmilan Company.
Horace M. Kallen, 1972. Radicalism dalam Edwin R. A.
Seligman, Encyclopedia of the Social Science Vol. XIII-XIV,
New York, Mcmilan Company.
Robert N. Entman and Andrew Rojecki, 1993. “Freezing Out
the Public: Elite and Media Framing of the US Anti Nuclear
Movement”, dalam Political Communication, Vol. 10, No. 1.
Internet:
Kasus Intoleransi Meningkat, http://komnasham.go.id/pada-
2016-intoleransimeningkat.html
Moderasi Keagamaan antara Haedar Nashir dan Yusuf al-
Qaradhawi , https://ibtimes.id/moderasi-keagamaan-antara-
haedar-nashir-dan-yusuf-al-qaradhawi/
Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – Isis
https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/12/ Strategi-Menghadapi-Paham-
Radikalisme-Terorisme.pdf
Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama untuk Hindari
Radikalisme,https://muslim.okezone.com/read/2019/11/04/61
101
4/2125412/pentingnya-penguatan-moderasi-beragama-untuk-
hindari-radikalisme
Kasus Tolikara dan Aceh Singkil, Catatan Hitam Kasus Intoleransi
Beragama, https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-tolikara-
dan-aceh-singkil-catatan-hitam-toleransi-beragama-kaleidoskop-
merdeka-2015.html,
Kemenag Akan Kerahkan 45 Ribu Penyuluh Cegah
Penyebaran Paham Radikal , https://news.detik.com/berita/d-
4760222/kemenag-akan-kerahkan-45-ribu-penyuluh-cegah-
penyebaran-paham-radikal
Kominfo: Banyak Tayangan Media yang Menyimpang,
https://www.kominfo.go.id/content/detail/1612/kominfo-
banyak-tayangan-media-menyimpang/0/sorotan_media
102
103
SAMPEL BERITA MODERASI BERAGAMA DALAM
RUBRIK DIALOG JUMAT REPUBLIKA
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis berita
moderasi beragama dalam rubrik Dialog Jumat edisi September
2019. Terdapat dua sampel berita yang dijadikan sebagai bahan
analisis, antara lain:
1. Judul : Shalat di Dalam Gereja, Bolehkah?
Penulis : Syalaby Ichsan
Gambar 4.1
Rubrik Dialog Jumat Republika
(Edisi: 6 September 2019, halaman 5)
104
Teks berita “Shalat di Dalam Gereja, Bolehkah?”
Umar pernah menolak shalat di gereja saat
menyambangi Baitul Maqdis. Islam tidak pernah
melarang bermuamalah dengan non-Muslim. Tidak
sedikit umat Islam yang tinggal di negara-negara non-
Muslim bergaul dalam kegiatan mereka. Terlebih,
embusan isu Islamofobia, khususnya di negara-negara
Eropa dan Amerika membuat Muslim justru harus
membaur.
Demi toleransi dan rasa aman, Muslim
bersosialisasi di tempat ibadah umat beragama lain.
Tidak jarang, saat berinteraksi itu bertepatan dengan
waktu shalat, sehingga Muslim harus menjalan kan
ibadah di gereja atau tempat beribadah lainnya.
Lantas, bagaimana sebenarnya pendapat ulama
tentang masalah ini? Allah SWT memuliakan tempat dan
rumah peribadatan. Di dalam Alquran Surah al-Hajj
ayat 40, Allah SWT berfirman, “…Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-
biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah iba dat
orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa.”
105
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai
beberapa istilah, yakni Sawami‟, Biya‟un, dan Salawat.
Imam Ibnu Katsir mengutip Ibnu Abbas, Mujahid, Abul
Aliyah, Ikrimah Ad-Dahhak menjelaskan, Sawami„
adalah tempat-tempat ibadat yang kecil yang dipakai
oleh para rahib. Ada juga yang berpendapat jika
Sawarni adalah rumah peribadatan kaum Majusi.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa
sawami‟ adalah rumah-rumah yang terletak di pinggir-
pinggir jalan.
Biya‟un diistilahkan sebagai tempat peribadatan
yang jauh lebih besar daripada yang pertama. Tempat
ini memuat lebih banyak orang di dalamnya; milik
orang-orang Nasrani pula. As-Saddi telah meriwayatkan
dari orang-orang yang menerimanya dari Ibnu Abbas,
bahwa biya‟un adalah tempat-tempat peribadatan
orang-orang Yahudi.
Sedangkan, Mujahid mengatakan bahwa biya‟un
itu tiada lain adalah gereja-gereja. Salawat dipahami
sebagai gereja-gereja. Hal yang sama telah dikatakan
oleh Ikrimah, Ad-Dahhak, dan Qatadah bahwa salawat
adalah gerejanya orang Yahudi alias sinagoge.
Memaknai ayat tersebut, Prof Dr. Quraish
Shihab dalam tafsir Al Mishbah mengungkapkan, Allah
SWT tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah
ibadah. Karena itu, ulama menetapkan bahwa menjadi
kewajiban umat Islam untuk memeliharanya. Bukan saja
106
memelihara masjid-masjid, melainkan juga rumah
ibadah umat lain, seperti gereja dan sinagoge.
Lembaga fatwa Mesir Dar al Ifta menyebutkan,
prinsip hubungan antara Muslim dan non-Muslim
adalah hidup berdampingan dalam damai.
Diperbolehkan bagi Muslim untuk bergaul dengan non-
Muslim dengan cara yang tidak bertentangan dengan
perintah Allah dan Rasulullah SAW.
Allah pun tidak melarang kita dari menjaga
hubungan baik dengan nonmuslim, bertukar hadiah atau
tindakan perlakuan baik lainnya. Allah SWT berfirman,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil....” [QS al-Mumtahanah
: 8].
Menurut Dar al Ifta, tidak ada larangan hukum
untuk mengunjungi gereja dengan tujuan mengadvokasi
dan memperkenalkan Islam atau memberikan pujian
pada kesempatan tertentu dalam batas-batas syariah.
Dar al-Ifta juga berpendapat, diperbolehkan untuk
shalat di dalam gereja jika sudah tiba waktunya kita
berada di sana. Sebelum shalat, hendaknya Muslim itu
meminta persetujuan dari penanggung jawab gereja
setempat.
Adapun membaca, mempelajari dan membahas
Alkitab, itu harus dilakukan oleh para sarjana khusus
107
yang fasih dalam poin keraguan dan memiliki alat untuk
mengecilkan dialog antaragama. Salah seorang ulama
Saudi, Abdullah bin Sulaiman Al-Manea,
mengungkapkan, jika Muslim bisa melakukan shalat di
gereja atau sinagoge. Menurut dia, semua lahan milik
Allah SWT. Salah satu hadis Nabi SAW yang berasal
dari Abu Sa‟id Al Khu dri, “Bumi ini semuanya
merupakan masjid. Kecuali kuburan dan kamar mandi.”
Anggota Dewan Ulama Senior itu mencontohkan, dalam
berhubungan dengan non-Muslim, Rasulullah SAW
menerima utusan kaum Nasrani Najran di masjidnya. Di
masjid tersebut, kaum Nasrani pun berdoa menghadap
ke Yerussalem dan Rasulullah membiarkannya.
Rawan fitnah
Umar bin Khattab pernah menolak shalat di
gereja saat menyambangi Baitul Maqdis. Umar yang
datang ke Yerussalem setelah Amr bin Ash menaklukkan
negeri para nabi itu ditawari shalat di Gereja Makam
Suci oleh Uskup Sophronius. Umar menolak. Dia
memilih shalat di luar gereja.
Setelah menunaikan shalat, Umar
mengungkapkan, alasan dia tidak mau shalat di gereja
karena khawatir jika umat Islam akan merubah gereja
ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat di
situ.
Dalam fatwanya, Syeikh Yusuf Qaradawi pun
mengungkapkan, pilihan shalat di gereja bisa diambil
108
seandainya memang tidak ada tempat lain atau masjid
lain untuk shalat. Namun demikian, Syeikh Qaradawi
merekomendasikan untuk menghindari shalat di rumah
peribadatan agama lain karena rawan fitnah.
Peneliti dari el-Bukhari Institute, Moh Juriyanto
menukil kitab al-Adabu al-Syar‟iyah wa al-Minah al-
Mar‟iyah karya Muhammad bin Muflih al-Maqdisi.
Kitab itu menyebutkan beberapa pendapat ulama terkait
hukum melaksanakan salat di tempat ibadah non-
Muslim.
Pertama, menurut Ibnu „Aqil, melaksana kan
salat di tempat ibadah nonmuslim dinilai sah namun
makruh, baik di dalamnya ada patung atau tidak. Kedua,
menurut Ibnu Tamim, jika di dalam tempat ibadah
nonmuslim tidak ada patungnya, maka boleh memasuki
tempat ibadah tersebut dan juga boleh melaksanakan
shalat di dalamnya. Pen dapat ini sesuai dengan
pendapat Ibnu „Abbas dan Malik. Mereka berdua tidak
memakruhkan salat di dalam gereja karena ada
patungnya.
Ketiga, boleh melaksanakan salat di tempat
ibadah nonmuslim asalkan bersih dan suci. Ini adalah
pendapat sahabat Ibn „Umar dan Abu Musa Al-Asy‟ari.
Walla hualam.
ed: a Syalaby Ichsan
109
2. Judul : Belajar dari Perang
Penulis : Syalaby Ichsan
Gambar 4.2
Rubrik Dialog Jumat Republika
(Edisi: 20 September 2019, halaman 4)
110
Teks berita “Belajar dari Perang”
Gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati dan
dirobohkan. Perang menjadi salah satu bagian dari
sejarah panjang manusia. Manusia sudah saling
membunuh, bahkan sejak zaman Nabi Adam AS ketika
putranya, Habil, dibunuh saudara kandungnya, Qabil.
Dengan skala yang lebih masif, perang dengan
berbagai motif terjadi hingga zaman modern ini.
Jutaan manusia menjadi korban peperangan.
Mereka berperang demi agama, kekuasaan, harta,
bahkan perempuan. Meski menyisakan cerita kejam,
perang kerap menjadi sebuah fragmen sejarah
perjalanan manusia.
Kita bisa mengenang bagaimana pasukan
Muslimin merebut Baitul Maqdis pada abad ke-7
Masehi. Kisah pengepungan panjang di Aelia dalam
ekspedisi pasukan Amr bin Ash berakhir dengan
perjanjian damai yang diprakarsai Umar bin Khattab
sang amirul mukminin. Haekal dalam bukunya, Umar
bin Khattab, mengungkapkan, pada 637 M, Umar
membuat perjanjian dengan utusan Uskup Agung di
Yerussalem Severinus. Perjanjian damai yang dicatat
sejarah tentang kebesaran jiwa kaum Muslimin. Di
antara perjanjian tersebut, berikut kutipannya.
”Inilah jaminan yang telah diberikan oleh
hamba Allah Umar Amirul Mukminin kepada pihak
Aelia. Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta
mereka. Untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka.
111
Bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok
agama yang lain.
”Gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati
dan dirobohkan. Tak boleh ada yang dikurangi apa
pun dari dalamnya atau yang berada dalam
lingkungannya, baik salib atau harta benda apa pun
milik mereka. Mereka tak boleh dipaksa dalam hal
agama mereka atau mengganggu siapa pun dari
mereka ....”
Utusan Severinus itu segera kembali dengan
hasil perjanjian itu. Uskup Agung Severinus amat
gembira. Perjanjian itu bahkan membolehkan siapa
pun dari penduduk untuk meninggalkan kota dan pergi
bersama orang-orang Romawi.
Sikap Umar berbeda jauh dengan Heraklius.
Kaisar itu hendak memaksa penduduk kota untuk
meninggalkan keyakinan ajaran mereka untuk
mengikuti ajaran negara yang resmi. Heraklius
bahkan mengancam mereka yang menolak akan
dipotong hidung dan telinganya. Rumahnya bahkan
harus dirobohkan.
Yerusalem memang menjadi tempat yang kerap
diperebutkan hingga sekarang. Perang Salib pun
melekat dengan nama kota tua itu. Shalahuddin al-
Ayyubi menjadi nama lain yang identik dengan al-
Quds. Dia dihormati kedua kubu, baik dari masyarakat
Muslim maupun Kristen. Namanya sungguh harum
karena kewibawaannya dalam menjaga adab dan
112
memanusiakan lawan, bahkan dalam medan
pertempuran.
Syahdan, pasukan Shalahuddin yang mampu
mengalahkan pasukan Raja Jerussalem di tengah
tandusnya padang pasir merangsek ke benteng lawan.
Benteng itu dijaga di bawah pimpinan seorang
kesatria bernama Balian de Ibelin. Dengan
kekuatannya, Shalahuddin bisa dengan mudah
membunuh semua penghuni Yerusalem seperti yang
mereka lakukan kepada umat Islam.
Namun, Shalahuddin tidak melakukannya. Dia
mengampuni, bahkan melindungi warga Yerusalem
yang memilih untuk mempertahankan agamanya. ”Aku
akan mengantarkan tiap-tiap jiwa (orang) kalian
(umat Kristen) dengan aman ke wilayah-wilayah
Kristen, setiap jiwa dari kalian, wanita, anak-anak,
orang tua, seluruh pasukan dan tentara, dan juga ratu
kalian. Dan, aku akan mengembalikan raja kalian dan
pada apa yang Tuhan kehendaki atasnya. Tidak satu
pun dari
kalian akan disakiti. Aku bersumpah,”
Shalahuddin menyampaikan tawarannya yang
diterima Balian. Sejarah juga mencatat, Shalahuddin
pernah mengirim tabib untuk mengobati lawannya,
Raja Inggris Richard si Hati Singa yang sedang sakit.
Dia bahkan memberikan Richard dua kuda bagus
karena kuda musuhnya sudah tua. Kebijaksanaan dan
kemampuan diplomasi Shalahuddin tercatat sejarah.
113
Lewat diplomasi itu, dia bisa mempertahankan
Yerusalem meski dalam kondisi terdesak.
Selain petarung sejati, Umar dan Shalahuddin
merupakan Muslim yang taat. Mereka memegang
teguh ajaran Islam, bahkan dalam perang. Rasulullah
SAW memberi legasi yang berharga bagi kemanusiaan
dari peperangan. Nabi SAW melarang umatnya untuk
membunuh perempuan dan anak-anak dalam
peperangan (HR Bukhari 3015 dan Muslim 1744).
Rasulullah SAW juga melarang mencincang mayat
tentara musuh (HR Muslim 1731).
Untuk tawanan, Nabi SAW juga telah
mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan
perawatan. Sejarah mencatat bagaimana umat Islam
saat itu menangani tawanan pertama selepas Perang
Badar
pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang tawanan
Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan
dengan atau tanpa tebusan. Bukan hanya jiwa, Nabi
SAW bahkan melarang pasukan Muslimin untuk
mencabut atau menebang pepohonan dan merubuhkan
bangunan.
Semua warisan ini hendaknya menjadi
pelajaran berharga bagi generasi ini. Bukan untuk
berperang tapi mengambil hikmah dari perang.
Wallahualam.
ed: a Syalaby Ichsan
114
TRANSKIP HASIL WAWANCARA
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai satu
narasumber yaitu redaktur Dialog Jumat Republika, Syalaby
Ichsan. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali pertemuan,
yakni pada 7 Januari 2020 dan 1 Februari 2020 di gedung
Republika Jl. Warung Buncit (Warung Jati Barat) No. 37, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Tugas-tugas seorang redaktur yaitu
memimpin rapat redaksi, menentukan tema dan membuat TOR
liputan, dan memeriksa hasil laporan liputan reporter sebelum
disebarluaskan. Redaktur Dialog Jumat juga merangkap sebagai
penulis berita. Dalam penelitian ini sampel berita yang dipilih,
ditulis langsung oleh redaktur. Untuk lebih lengkapnya, saya
akan memaparkan hasil wawancara,
115
Jumat, 7 Januari 2020
Gambar 4.3
Wawancara bersama redaktur Dialog Jumat Republik
(7 Januari 2020)
1. Kalau di Dialog Jumat, untuk struktur organisasinya
gabung dengan surat kabar Republika atau punya
struktur tersendiri?
Kalau di Dialog Jumat, dari anggotanya sendiri itu
merupakan gabungan dari berbagai pihak. Ada dari
internal Republika, khusus Dialog Jumat, bahkan ada
yang dari eksternal juga, katakanlah orang luar, dan itu
bisa berubah-ubah orangnya meskipun dengan tugas yang
sama. Kalau dari saya sendiri, sebagai redaktur, dimana
saya yang punya tanggung jawab penuh di Dialog Jumat
Republika ini. Tidak hanya menerima laporan hasil
liputan, tapi juga sebagai koordinator. Sebelum saya acc,
laporan hasil liputan diserahkan kepada wakil redaktur
pelaksana di surat kabar Republika, Heri Ruslan.
116
Beliaulah yang dimaksudkan anggota internal. Kemudian,
untuk pihak luar atau eksternalnya yaitu bertugas sebagai
editor. Mungkin biasanya surat kabar memiliki editor
khusus, tetapi Dialog Jumat memiliki editor yang berasal
dari biro bahasa. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
tidak hanya satu orang yang diutus khusus Dialog Jumat,
melainkan orang-orang yang berbeda. Jadi, mereka hanya
menerima arahan dari saya untuk mengedit hasil laporan
liputan reporter. Nah, kalau untuk reporter kita punya dua
yaitu Imas Damayanti dan Andri Saputra. Mereka inilah
yang khusus melakukan liputan untuk Dialog Jumat. Tapi
saya sebagai redaktur juga ikut andil di dalamnya, seperti
artikel yang kamu jadikan sebagai sampel penelitian itu
saya yang menulis.
2. Bagaimana cara redaktur dalam memilih tema?
Kalau untuk alur rapat redaksinya itu yang memutuskan
temanya redaktur. Rapat redaksi biasanya dilaksanakan
pada Jumat, Sabtu, dan Minggu. Biasanya rapat terjadwal
itu untuk liputan laporan utama, tapi bisa juga sekalian
penentuan tema-tema lain. Dialog Jumat kan banyak tuh
sub-rubriknya, seperti laporan utama, tuntunan, fatwa,
muhibah, komunitas, tasawuf, zakat, Mujahidah,
silaturahmi, dan uswah. Mereka kan pembahasannya
beda-beda, referensinya juga pasti beda-beda.
117
Kalau temanya udah keluar, kemudian reporter liputan,
setelah itu lapor ke redaktur. Untuk pemilihan tema
keseluruhan tulisan di Dialog Jumat Republika, biasanya
sedang happening atau aktualitas. Kalau laput bisa dilihat
dari pack-nya sendiri. Kemarin itu, kan ada isu
penyeragaman khotbah, nah kita bikin itu. Terkadang
dibuat by date juga, seperti peringatan-peringatan hari
besar Islam maupun nasional. Misalkan tanggal 22
Desember peringatan hari Ibu, kalau orang-orang bahas
tentang ibu, di Dialog Jumat membahas tentang peran Ibu
di Gaza, servive-nya seperti apa? Dan lain sebagainya.
Alternatif lain kalau memang lagi sepi pembahasan, kita
akan buat pembahasan yang umum, misalnya cara
beradab, bergaul, berpakaian, Shalat, dan lain-lain.
3. Sampel saya ini kan di bagian Fatwa dan Tuntunan.
Kalau Fatwa itu referensinya bagaimana?
Fatwa itu liat dari pack – nya juga. Nanti saya research
nih, mana yang lagi happening, mana yang lagi
diperbincangkan atau sebagai hot issue. Contohnya
sampel kamu ini. Contoh artikel lainnya seperti
pembahasan tentang rokok, dan yang terbaru, vape. Kita
tulis di dalamnya tentang hukum rokok berdasarkan fatwa
dari Muhammadiyah dan NU. Kalau dari NU itu tentang
118
vape masih dikaji, sementara kalau rokok konvensional
hukumnya bisa makruh, mubah, atau haram, tergantung
situasinya. Pokoknya, kebanyakan si membahas yang
aktual.
4. Kalau yang tuntunan, referensinya seperti apa?
Kalau yang tuntunan, seperti yang kita bahas kemarin
tentang wabah. Ketika Rasulullah SAW. menghadapi
wabah itu seperti apa? Ternyata metodenya menarik.
Rasul itu mengkarantina orang-orang yang terkena wabah.
Dulu itu, wabah pes, yakni wabah yang berasal dari
kotoran hewan. Nah, itu ada hadis yang bilang kalau “Jika
ada orang yang terkena wabah, berdiamlah di tempat
kamu. Maka itu akan menjadi pahala bagi kamu, ketika
kamu bersabar.”
Begitu pun orang yang ingin berkunjung ke lokasi yang
terkena wabah. Ia harus menunda perjalanannya. Ada pula
kisah ketika Umar bin Khattab melakukan perjalanan ke
negeri Syam, beliau ingin ke sana dan mendengar kabar
bahwa di Syam sedang ada wabah. Beliau berbincang
dengan Abu Ubaidah, lalu Abu Ubaidah berkata, “Itu kan
penyakit dari Allah, janganlah kita menghindari takdir
Allah”. Kata Umar, “Kita ini sedang ikhtiar untuk
menghindari wabah”. Hal tersebut kemudian dibenarkan
oleh Rasulullah. Dari situlah artikelnya menjadi hal yang
119
menarik. Pembahasannya kita gunakan perspektif kisah
Rasulullah.
Sabtu, 1 Februari 2020
Gambar 4.4
Wawancara bersama redaktur Dialog Jumat
Republika
1. Pertanyaan selanjutnya, ini lebih kepada isi
artikelnya, bang. Saya kan ambil dua judul artikel,
“Belajar dari Perang” dan “Sholat di Dalam Gereja.
Bolehkah?”. Untuk yang pertama, apa latar belakang
redaktur memilih judul “Belajar dari Perang”?
Masyarakat sudah dikepung dengan stigma hal-hal yang
berkaitan dengan perang dalam Islam itu selalu kontak
fisik dan menyerang. Padahal yang dicontohkan tidak
120
seperti itu. Jadi, ketika dulu Rasulullah menaklukkan
Mekkah, sangat minim pertumpahan darah. Ini juga
berlaku ketika Umar menaklukkan Baitul Maqdis, Beliau
berbincang dengan Uskup, bahkan punya perjanjian untuk
menjaga Marwah orang-orang Kristen yang ada di
Yerusalem. Umar juga menjamin setiap jiwa dan setiap
umat Kristiani merdeka untuk melakukan ibadah di sana.
Waktu itu juga Umar berkata bahwa gereja tidak bisa
dijadikan sebagai masjid. Saat itu, Uskup Sorphronius
sendiri yang mempersilakan Umar untuk sholat di dalam
Gereja, namun Umar lebih memilih untuk mencari
Masjid. Beliau bukan melarang, tetapi dikhawatirkan
dengan sholatnya Ia di gereja, akan ada anggapan bahwa
gereja dapat dijadikan sebagai masjid.
Ada ayat di dalam Alquran kalau Allah itu berfirman
bahwa setiap rumah ibadah itu dilindungi oleh Allah.
Kisah-kisah semacam itu bisa menjadi teladan atau patron
bahkan rol model bagi Politisi, Panglima Militer dan
seluruh masyarakat muslim untuk melihat bahwa ketika
berperang pun harus ada pendekatan humanis. Dalam
perang juga yang dikedepankan adalah adabnya dan
sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan balik lagi kalau
orang Islam itu dalam perang, banyak aturannya seperti,
tidak boleh mencabut pohon, tidak boleh menghancurkan
tembok atau bangunan, tidak boleh membunuh
121
perempuan dan anak-anak. Semua Aturan itu kok
sekarang berubah menjadi yang dikhawatirkan.
Contohnya, seperti ISIS yang malah menafikan nilai-nilai
keislaman. Artikel ini ingin membantah pernyataan-
pernyataan yang keliru Melalui tulisan ini, Dialog Jumat
ingin menarasikan bahwa Islam itu agama rahmatan lil
alamin, bahkan ketika perang. Jangan sampai apa yang
terjadi saat ini, stigma Islam seolah menjadi pelaku teroris
dan sebagainya terus digaungkan. Adanya ISIS yang
menjadikan gerakannya sebagai ideologi Islam padahal
sangat jauh dari praktik dalam teori Keislaman inilah yang
harus diperbaiki.
2. Menurut Abang sendiri, kenapa banyak kasus
penyerangan rumah ibadah?
Menurut saya, hal seperti ini bisa terjadi kadang adanya
misunderstanding dan agama dijadikan sebagai trigger
untuk seseorang dalam berbuat sesuatu. Contohnya,
terkadang satu gereja di komplek atau komunitas muslim
ketika dia tidak melakukan komunikasi dengan baik,
maka itu akan menjadi kesalahpahaman. Berbeda jika dia
ada silaturahmi ada komunikasinya terlebih dahulu dan
menjadi rules. Contoh konkretnya ketika seseorang ingin
mendirikan rumah ibadah sama halnya dengan umat Islam
jika ingin membangun mushola harus mendapat izin oleh
122
lingkungan sekitar. Saya pernah berkunjung ke masjid di
Victoria dan mereka terlebih dahulu harus mengumpulkan
tanda tangan masyarakat setempat untuk mendirikan
masjid tersebut.
3. Kalau dari individunya sendiri itu juga berpengaruh
atau tidak terhadap maraknya kasus intoleransi?
Di Indonesia terlihat belum dewasa, misalkan ada gereja
di lokasi mayoritasnya muslim begitu juga sebaliknya,
ketika ada mushola atau masjid di mayoritas Kristen, pasti
akan ada pergesekkan. Mungkin jika adanya dialog,
adanya silaturahmi, adanya interaksi itu bisa menjadi
solusi dan tidak akan menjadi masalah ke depan selama
tidak mencampuri urusannya masing-masing. Itu akan
menjadi PR berat.
Kita ingin masyarakat bisa melihat dan belajar dari Al-
Sabiqun Al-awwalun dari kisah-kisah sahabat. Contoh,
Rasulullah pernah menegur Usamah bin Zaid ketika
membunuh seseorang yang baru saja mengucapkan
kalimat syahadat, lalu Usamah membantah dengan
berkata, “Terkadang antara ucapan dengan hati itu
berbeda”. Kemudian Rasul bertanya kembali, “Apakah
kamu mengetahui apa yang ada di isi hatinya?”. Jadi,
pembelajaran dari sini, jangan mudah menghakimi
seseorang, terlebih orang yang berbeda keyakinannya.
123
Ada beberapa ayat Alquran yang dijadikan sebagai
pedang contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 191, “Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka......”.
Banyak masyarakat yang membacanya tidak secara satu
kesatuan, tapi hanya sepatuh. Hal seperti ini jelas keliru.
Harusnya dilihat dari konteksnya. Ketika dilihat saat
perang itu seperti apa? Ketika orang Islam berperang tidak
membahasakan perang untuk menaklukkan suatu, tetapi
pembebasan. Contohnya ketika Salahuddin dapat merebut
Al Quds itu Salahuddin bahasanya membebaskan yaitu
membebaskan praktik-praktik kezaliman agar menjadi
lebih merdeka.
Apakah ada penguasa Islam yang memaksa orang-orang
Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam? Apakah ada
perusakan terhadap simbol-simbol keagamaan? Orang
Islam itu sangat toleran dan sangat menghormati antar
agama, kita harus menjaga kerukunan, harus menjaga
toleransi, harus menjaga kesucian tempat-tempat ibadah
tanpa harus kita gadaikan kepercayaan keagamaan kita
(tawasul). Itu yang kita inginkan dan yang kita rasakan
karena kita tahu grassroot kita itu masih banyak yang
mengedepankan fanatisme.
124
4. Berdasarkan beberapa jawaban Abang, dapat saya
simpulkan salah satu hal yang melatarbelakangi
adanya “Belajar dari Perang” ini adalah ISIS.
Memang seberapa besar pengaruh kehadiran ISIS
itu?
Seberapa besar? ya kita itu tidak bisa menafikan di tahun
2019 ini sudah lay down. Waktu awal ISIS muncul itu
banyak banget orang Indonesia yang pergi ke sana,
bahkan teman saya sendiri ingin menjadi bagian dari ISIS
dan menganggap bahwa ISIS itu benar. Beberapa orang
terpancing itu karena ISIS selalu memberi kutipan-kutipan
Abu Bakar Al-Baghdadi yang memang secara narasi
menyamakan dengan Abu Bakar As Siddiq dan memang
dia mengutip hadis-hadis dari Ali Bin Abi Thalib, “Ketika
akhir zaman akan datang pasukan berpakaian hitam
dengan membawa bendera lailahaillallah”.
Atribut ISIS yang menyerupai isi yang ada dalam hadis
tersebut, membut beberapa masyarakat terpengaruh.
Banyak yang terpengaruh ke sana karena propaganda ISIS
padahal isi itu ketika kita melihat tentang ISIS itu,
contohnya seperti adanya pembunuhan massal, secara
logika apakah itu ajaran Islam? Kemudian merusak rumah
ibadah, apakah itu ajaran Islam juga? Yang dikhawatirkan
125
itu ideologi ISIS. Walaupun ISIS sudah dikatakan bubar,
tetapi ideologinya itu masih akan tetap ada .
5. Sebenarnya apa si yang ingin disampaikan oleh Dialog
Jumat, melalui “Belajar dari Perang” ini?
Ini kan sampelnya Umar dan Salahuddin ya, termasuk
Salahuddin juga sangat beradab, bahkan mengirim tabib
untuk musuhnya sendiri. Sebenarnya bukan hanya tempat
ibadah yang ditekankan, tapi juga adab menghadapi
musuh. Sampelnya ini selain Umar, juga ada Salahuddin
Al Ayyubi. Kita ambil cerita ketika peringatan hari Natal,
setiap 25 Desember, pasti akan ada penjagaan gereja.
Rumah ibadah itu dijaga oleh polisi-polisi yang kadang
berlebihan menjaganya.
Beberapa kasus penyerangan sudah banyak, termasuk
masjid Istiqlal juga pernah diserang dengan bom molotov.
Contoh lain di Tolikara, masjid juga dibakar dan belum
lama kemarin itu di Minahasa salah satu musala di serang
oleh sekelompok ormas kepemudaan setempat. Kemudian
sebelumnya juga ada penyerangan masjid di Medan,
komplek Mandala. Nah di sini kita ingin berbicara kalau
semua tempat, semua rumah ibadah itu harus dilindungi.
Kenapa sampelnya gereja dan masjid? Karena tidak dapat
dipungkiri, Indonesia memang mayoritas agamanya dua
itu.
126
Melalui artikel ini, kami ingin memperlihatkan Islam
yang dewasa, Islam yang mengayomi. Kita akan memberi
pencerahan kepada pembaca kita bahwa pendahulu kita
itu sangat menghormati rumah ibadah. Umar itu sangat
menghormati rumah ibadah, Rasulullah itu sangat
menghormati rumah ibadah, Salahudin juga, termasuk
Muhammad Alfatih waktu menaklukkan Konstantinopel,
Beliau tidak pernah mencolek ornamen-ornamen Kristen
yang ada di dalamnya bahkan sampai sekarang bisa kita
lihat lukisan Bunda Maria masih ada. Harusnya itu bisa
menjadi warisan yang kita ambil, bukan yang diambil itu
yang buruknya seperti adanya ISIS yang malah
menyerang.
6. Selanjutnya artikel “Sholat di Dalam Gereja,
Bolehkan?”. Apa yang melatarbelakangi tulisan
tersebut?
Selain meningkatnya kasus intoleransi, maraknya isu
Islamophobia di Eropa dan Amerika juga membuat
Muslim harus membaur demi menghindari hal itu.
Muslim harus bersosialisasi dengan baik demi menjaga
toleransi dan perdamaian, bahkan untuk menghilangkan
stigma bahwa Islam harus ditakuti. Dari sini akan ada
perbandingannya dengan kondisi Indonesia sendiri.
127
Di luar sana Islamophobia dilawan dengan toleransi, tapi
mengapa di Indonesia justru malah terlihat masyarakat
banyak yang fanatik. Permasalahan intoleransi ini
meningkat karena ya itu, tidak ada yang mau berusaha
untuk mengalah. Mengalah dalam artian bukan
menggadaikan akidah dan keimanan, tapi lebih kepada
sisi humanismenya. Saat ini justru sulit menemukan
manusia yang mampu memanusiakan manusia itu sendiri.
Berbeda sedikit, tersinggung, dan lain sebagainya.
7. Menurut Abang, Islamophobia itu apa?
Ketakutan terhadap Islam kepada personil atau
muslimnya, maupun kepada ajarannya dan itu memang
didesain dari para orientalis, jadi memang akarnya sudah
dalam. Ketika orang-orang banyak di Eropa itu yang
mengatasnamakan sekularisme, atas nama kemanusiaan
mereka melarang simbol-simbol keagamaan. Contohnya
orang India itu kan punya turban, namun turban itu
dilarang dipakai, orang Yahudi juga termasuk.
Di antara orang Islam di beberapa negara yang sudah
melarang penggunaan jilbab di ruang publik juga ada.
Kita harus melawan itu bukan cuma di sana, tapi di sini
kita juga melihat masih banyak semangat Islamophobia
yang sangat berasa walaupun kita Indonesia ini Negara
Islam terbesar di dunia, tapi elit negara justru memiliki
128
ketakutan yang masih cukup besar terhadap Islam.
Contohnya waktu kita melihat peristiwa 212, Pilpres dan
lain-lain, bahkan di media sosial pun masih ada semangat
cebong dan kampret.
Gejala-gejala yang ada seperti ini harus kita lawan. Dialog
Jumat ingin mengikhtiarkan itu, walaupun banyak yang
berbeda pilihan politik atau pilihan mazhab. Kita harus
tetap satu dan saling menghargai pilihan masing-masing.
Apakah itu kecenderungan politik atau agama itu bukan
jadi alasan kita untuk bertengkar.
8. Lalu apa kaitannya Islamophobia dengan rumah
peribadatan?
Kalau tidak salah waktu itu, ada yang diserang oleh satu
kelompok, orang muslim itu bersembunyi di dalam gereja
dalam situasi menghindar dari tekanan orang-orang
sekitar yang sudah punya semangat Islamophobia.
Kemudian, sudah masuk waktu sholat, sementara ia
sedang berada di dalam gereja. Dari situlah muncul
pertanyaan, boleh atau tidaknya sholat di dalam gereja
ketika kondisinya darurat seperti itu. Keadaannya sedang
mencekam dan keadaan yang tidak memungkinkan untuk
dia keluar dari gereja. Ini kan fatwanya dari al-Ifta Mesir,
dikutip lagi dari Al Bukhari Institute ada kondisinya
terkait hukum sholat di tempat peribadatan non muslim.
129
Hukumnya makruh, jika tidak ada patung maka boleh
masuk ke dalam rumah peribadatan tersebut.
Ada juga fatwa Syekh Yusuf Qardhawi, fatwa itu tidak
memvonis sesuatu tetapi memberikan objek-objek hukum
yang ada dan menjadi pendapat para ulama. Syekh
Qardhawi juga bilang pilihan ini bisa diambil tapi dengan
catatan memang tidak ada masjid di luar. Itu berarti kalau
kondisinya darurat dibolehkan sholat di rumah
peribadatan lain. Seperti halnya kita makan babi dalam
kondisi darurat karena tidak ada makanan lain, sementara
kita lagi ada di hutan adanya hanya babi. Jadi, dibolehkan
untuk makan babi. Tapi beda hal jika di hutan itu memang
ada hewan lain seperti Kijang, maka kita haram untuk
makan babi, dan kita makannya daging Kijang. Jadi
fleksibel, diberi judul ini supaya orang membacanya
tertarik.
Sebenarnya jika ditanya apa kaitannya Islamophobia
dengan tempat peribadatan ini hanya contoh kasus saja.
Posisinya sedang marak Islamophobia, dan katakannya
korban yang terjebak di tempat peribadatan agama lain
dan kemudian harus melaksanakan ibadah. Lebih kepada
bagaimana kita mengambil sikap dalam kondisi darurat si
sebenarnya. Jangan sampai kita berlebihan menafsirkan
sesuatu, apalagi hanya dari satu refensi. Contohnya dalam
130
artikel ini saja, selain keputusannya diperbolehkan sholat
dalam gereja, tetapi kita lihat di sisi lain bahwa Umar Bin
Khattab pernah mengalami hal yang sama. Namun beliau
menolak untuk shalat dalam gereja karena khawatir gereja
itu malah dijadikan sebagai masjid, karena masyarakat
melihat kemudian menirukan sikap Umar.
Jadi, sebenarnya tidak separah itu sebuah perbedaan itu.
Kita harus saling menjaga. Memang benar lakum
dinukum waliyadin, tapi harus tetap ada humanismenya
begitu. Apalagi Indonesia itu agamanya beragama, tidak
hanya Islam dan Kristen.
9. Kalau dari Abang sendiri memaknai toleransi itu
seperti apa sih?
Dari tulisan ini kita tidak mengatakan boleh atau tidak
boleh. Kita bisa saja merujuk salah satu fatwa yang
membolehkan atau yang tidak membolehkan tapi kita
tidak seperti itu, bahwa kita punya satu sikap toleransi,
punya prinsip dan punya dasar. Kita diajarkan lakum
dinukum waliyadin, kita boleh hormat terhadap agama
dan umat agama lain selama tidak mencampuri Aqidah
masing-masing. Dalam konteks ini kita juga punya sikap
seperti itu, walaupun dalam kondisi darurat, itu menjadi
fleksibel. Contohnya seperti daging babi tadi, masa makan
daging babi aja bisa halal masa sholat di dalam gereja
131
tidak boleh? Tapi dengan catatan memang kondisinya
darurat dan tidak ada pilihan lain.
Toleransi itu jadi kunci. Ketika kita menjelaskan bahwa
boleh orang sholat di gereja, nah itu berlaku toleransi dari
umat Islamnya dan umat Kristennya juga harus toleran,
toleran dalam arti dia mempersilahkan muslim itu
melakukan ibadah di rumah peribadatannya, asal tidak
mencampuri aqidah
10. Salah satu pemberangkatan masalah penelitian saya
ini karena meningkatnya kasus intoleransi, ditambah
lagi perintah Presiden terhadap Kemenag untuk
mencegah radikalisme. Tanggapan Abang terhadap
radikalisme ini seperti apa?
Radikalisme ini bagian dari ekstremesme (berlebih-
lebihan). Tapi kita tidak menafikan memang ada benih-
benih ekstremisme di masyarakat. Banyaknya muslim
yang belum dewasa dalam hal pemikiran salah satunya.
Masyarakat sepertinya masih melihat melalui kacamata
kuda orientasinya juga karena merasa menjadi mayoritas.
Seperti ajaran demokrasi, ketika menjadi mayoritas maka
kita merasa berkuasa.
Ada banyak hal yang menyebabkan ekstremisme,
ada yang karena belajar dari guru yang salah, kita belajar
132
dari kitab salah, dan belajar tanpa guru. Dari sisi
humanisnya seperti itu, dan kadang-kadang kita juga tidak
tahu apakah sikap kita salah atau tidak.
Kalau memaknai ekstremisme itu kan berlebih-
lebihan kan, berlebihan dalam beragama, berlebihan
dalam memahami sebuah paham, memahami teks
keagamaan tertentu, ya kayak tadi itu. Kan kalau dia baca
semua muslim yang kamu temui itu darahnya halal, lah
kita keluar dari sini ngeliat orang, kita bunuh dong? Itulah
yang dimaksud dengan fanatic, memaknai sesuatu secara
berlebihan dan tidak didasari ilmu. Biasanya orang fanatic
cenderung merasa dirinya yang paling benar.
11. Dari Dialog Jumat sendiri, upaya apa yang dilakukan
untuk mengeliminasi tersebarnya radikalisme di
kalangan masyarakat?
Ya melalui artikel-artikel ini. Tapi kita juga harus
berimbang, jangan sampai kita terjebak pada isu tertentu..
Nah, kita sebagai media juga harus punya kritik, semua
kelakuan pemerintah yang seperti itu. Contoh lain ketika
khutbah mau diseragamkan, Majelis Taklim mau diatur,
posisi kita tuh harus seperti apa?
Melalui berita moderasi beragama seperti ini juga
termasuk upaya untuk melawan ektremisme. Dimana
ektremesme itu sendiri kan artinya berlebihan, di situ ada
133
fanatik dan eksklusif yang juga keduanya merupakan
indikator paham radikal. Kaum ekstremes itu kan merasa
dirinya yang paling benar, apa yang dia pelajari, apa yang
dia yakini itu yang paling benar. Apalagi kaum seperti ini
paling jago untuk menyalahkan pihak lain, terutama yang
berbeda keyakinannya.
Maka dari itu, kita kemas tulisan sedemikian rupa
mencoba untuk memberikan bahan bacaan dengan
harapan, ada pertimbangan-pertimbangan setelah
membacanya. Pertimbangan yang seperti apa? Misal
seusai membaca “Belajar dari Perang”, pembaca lebih
bersifat moderat karena dalam tulisannya itu tidak
mengandung unsur menghakimi, justru malah saling
menghargai. Itu tadi, toleransi menjadi kunci penting bagi
kami. Dialog Jumat sendiri juga memegang teguh visi dan
misi Republika dalam bidang agama, yaitu ingin
menyiarkan agama Islam dengan mempromosikan
semangat toleransi, mewujudkan Islam rahmatan lil
alamin dalam segala ilmu, serta membela, melindungi,
dan melayani kepentingan umat.
134
12. Dari upaya yang udah dilakukan oleh Dialog Jumat
ini, apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat atau
pembaca?
Nah itu belum ada dari kita, harus ada riset lanjutan. Kita
paling readershipnya berapa, itu ada. Cuman untuk
sampai terinfluencenya itu kita belum. Tapi secara kasat
mata, ketika kita menurunkan sesuatu, insya Allah Dialog
Jumat ini dibaca sama pemerintah dan kita mendapatkan
impact dari pemerintah. Tapi ya memang kita tidak ada
alat ukurnya untuk mencari tahu akan berdampak seperti
apa artikel ini terhadap pembaca?
13. Tapi menurut Abang, penting atau tidak mengetahui
seberapa besar pengaruh bacaan kepada si pembaca?
Penting. Untuk mencari tahu, sebenarnya tulisan ini tuh
ada dampaknya atau tidak bagi para pembaca, memang
harus ada pihak ketiga yang mengukur ini. Bisa jadi ada
penelitian lanjutan dari skripsi kamu. Contoh pertanyaan
permasalahannya, “Apakah anda merasa moderat setelah
membaca artikel Dialog Jumat ?”. Terus terang kalau kita
itu sih belum ada. Tapi ya untuk kuantitasnya itu dari
Reader online.
Kalau secara kasat mata, kita lihat impact dari
pemerintahnya juga, contohnya itu yang jilbab Polwan.
Saat itu gencar banget dari online dan di semua Lini kita
135
beritakan dan Alhamdulillah ada hasilnya. Setelah
menunggu puluhan tahun para Polwan belum boleh
berjilbab sampai akhirnya Polwan saat ini boleh berjilbab.
Mungkin itu salah satu capaian yang terlihat.