Hypovolemic Shock Ec Gastroenteritis

33
Diagnosis Syok Hipovolemik serta Tatalaksana Kegawatannya Jemie Rudyan F6 Mahasiswa Kedokteran Universitas Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 – Jakarta Barat [email protected] Bab I Pendahuluan Diagnosis dan tatalaksana dari syok adalah tantangan yang paling sering dijumpai oleh dokter-dokter ICU. Syok secara luas dapat dibagi menjadi tiga grup berdasarkan patofisiologinya, yakni syok hypovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Kegagalan metabolisme sel dari organ- organ dalam tubuh adalah komplikasi yang dapat terjadi pada ketiga jenis syok ini. Pola hemodinamik sangat bervariasi pada ketiga jenis syok ini. Pada tinjauan pustaka kali ini akan dibahas mengenai syok tipe hipovolemik yang dapat diakibatkan karena adanya kehilangan cairan karena diare dan muntah. Tujuan Page 1

Transcript of Hypovolemic Shock Ec Gastroenteritis

Diagnosis Syok Hipovolemik serta Tatalaksana KegawatannyaJemie RudyanF6Mahasiswa Kedokteran Universitas Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta [email protected]

Bab IPendahuluanDiagnosis dan tatalaksana dari syok adalah tantangan yang paling sering dijumpai oleh dokter-dokter ICU. Syok secara luas dapat dibagi menjadi tiga grup berdasarkan patofisiologinya, yakni syok hypovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Kegagalan metabolisme sel dari organ-organ dalam tubuh adalah komplikasi yang dapat terjadi pada ketiga jenis syok ini. Pola hemodinamik sangat bervariasi pada ketiga jenis syok ini. Pada tinjauan pustaka kali ini akan dibahas mengenai syok tipe hipovolemik yang dapat diakibatkan karena adanya kehilangan cairan karena diare dan muntah.

TujuanMahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis syok, terutama syok hipovolemik serta penatalaksanaan gawat darurat yang harus dilakukan.

HipotesisWanita 80 tahun tersebut mengalami syok hipovolemik yang disebabkan oleh karena gastroenteritis diare.

Bab IITinjauan PustakaPrimary surveyLangkah utama dan penting dalam menilai pasien yang datang dalam kondisi syok adalah dengan melakukan survei primer, dimulai dari1 :1. Airway maintenance, langkah pertama dalam survei primer adalah penilaian jalan nafas. Bila pasien masih dapat berbicara, maka kemungkinan jalan nafas tidak ada hambatan, namun apabila pasien tidak sadarkan diri, kemungkinan pasien tidak dapat mempertahankan jalan nafasnya. Jalan nafas dapat dibebaskan dengan melakukan triple airway maneuver yakni head tilt, chin lift, jaw thrust. Jika terdapat hambatan jalan nafas karena cairan, maka cairan tersebut harus dibersihkan dari mulut. Apabila terjadi obstruksi, maka dapat dilakukan endotracheal tube.2. Breathing and ventilation, toraks harus diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Tujuan dari langkah ini adalah menilai pasien memiliki nafas yang adekuat dan menilai apakah terdapat kondisi toraks mengancam nyawa, seperti airway obstruction, tension pneumothorax, hematothorax, flail chest, open pneumothorax, cardiac tamponade.3. Circulation, pada langkah ini, dinilai sirkulasi darah pada seluruh tubuh, dengan melakukan pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, konjungtiva, dan waktu pengisian kapiler. Pendarahan adalah salah satu penyebab dari syok hipovolemik, selain itu kondisi kehilangan cairan lain jga dapat menyebabkan syok hipovolemik seperti diare berat dan luka bakar masif . Perdarahan eksternal dapat dikontrol dengan pemberian tekanan.4. Disability/neurologic assessment, dalam langkah ini, penilaian neurologis dasar dibuat yakni AVPU (alert, verbal stimuli response, painful stimuli response, unresponsive). Salah satu cara yang mudah untuk menilai pada langkah ini adalah dengan Glasgow Coma Scale.5. Exposure and environmental control, pasien harus tidak berpakaian, dengan penguntingan pakaian, berikan selimut untuk mencegah hipotermia.

Critical Care ScoringPenilaian pada penyakit menjadi metode yang popular untuk menjadi triage pasien, banyak cara penilaian yang diperkenalkan, namun masing-masing mempunyai keterbatasan tersendiri. Dari banyak cara penilaian akan dibahas yang sering digunakan pada unit gawat darurat.21. Glasgow Coma Scale (GCS), menilai koma pada pasien dengan trauma kepala. Skala ini didasarkan pada pembukaan mata, respon verbal, dan respon motorik. Total dari skala ini adalah penjumlahan skor dari ketiga respon ini yang bervariasi dari nilai terendah 3 sampai nilai tertinggi 15 yang berarti sadar penuh. Pemeriksaan pasien dan penghitungan GCS dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 1 menit. Tabel 1 Glasgow Coma Scale2Eye VerbalMotor

4 = spontan5 = orientasi penuh6 = patuh perintah

3 = suara4 = bicara bingung5 = menunjuk rangsang

2 = nyeri3 = bahasa hanya kata4 = menarik pada nyeri

1 = tidak ada2 = hanya suara bukan kata3 = flexi

1 = tidak ada2 = ekstensi

1 = tidak ada

2. Trauma score, penilaian ini diperlukan karena meningkatnya kasus pasien trauma yang diterima unit gawat darurat. Penilaian ini berdasar pada GCS dan status dari sistem kardiovaskular dan respirasi. Range nilai dari skala ini adalah 1-16

Gambar 1 www.myrome.org

3. Revised trauma score, merupakan alat penilaian yang paling banyak digunakan untuk trauma fisiologis. Penilaian ini dinilai dari GCS, tekanan darah sistol, dan frekuensi nafas.

Gambar 2 www.myrome.org

Setelah pemeriksaan survei primer dilaksanakan, atas kecurigaan pasien mengalami syok hipovolemik, maka pasien perlu mendapatkan terapi resusitasi cairan. Perkiraan jumlah cairan yang hilang pada kondisi hypovolemik tidak mudah dilakukan, pengurangan cairan ekstrasel sebesar 15-25% atau sekitar 2-4L diperlukan sebelum timbulnya perubahan pada tekanan darah atau frekuensi nadi. Jumlah cairan yang harus digantikan adalah cairan basal yang diperlukan setiap hari, dan defisit cairan yang diakibatkan oleh diare dan muntah.

Secondary surveysetelah survei primer telah dilaksanakan dan resusitasi telah diberikan, sehingga tanda vital kembali normal, survei sekunder dapat dimulai. Survei sekunder mencakup pemeriksaan fisik yang lengkap, kemudian anamnesis yang lengkap pula. Pemeriksaan laboratorium lanjutan dapat dilakukan sesuai dengan indikasi. Apabila pada saat dilakukannya survei sekunder, kondisi pasien memburuk, maka survey primer kembali dilaksanakan dengan kecurigaan adanya ancaman terhadap nyawa pasien.1

AnamnesisDalam hal riwayat kesehatan, banyak faktor yang perlu ditanyakan, dan karena pasien adalah tidak sadarkan diri, maka suami yang mengantar wajib di lakukan anamnesis : a. Identitas Pasien (Nama, usia, jenis kelamin)Identitas pasien ditanyakan umur pasien, hal ini berguna agar dinilai banyaknya terapi cairan yang perlu dipergunakan dan caranya, karena pada pasien yang sudah tua ditakutkan apabila pemberian cairan berlebihan dapat terjadi edema pulmonar.b. Keluhan Utamac. Riwayat penyakit SekarangJika didapatkan adanya keluhan utama, ditanyakan sejak kapan keluhan tersebut terjadi. Ditanyakan hal yang berhubungan seperti riwayat adanya perdarahan yang aktif atau adanya trauma yang baru terjadi atau pengeluaran cairan tanpa keluarnya darah seperti pada diare dan muntah, adakah riwayat warna kebiruan pada bibir dan kuku, adakah riwayat pasien mengeluh rasa haus.d. Riwayat penyakit DahuluTanyakan riwayat penyakit yang sudah pernah diderita, atau masih berlangsung hingga datang berobat, karena dapat berhubungan dengan penyakit yang diderita sekarang.e. Riwayat penyakit KeluargaTanyakan riwayat keluarga, apakah ada yang menderita hal yang sama, karena terdapat penyakit yang dapat diturunkan (herediter)f. Riwayat pekerjaanTanyakan pekerjaan apa yang dilakukan oleh pasien, serta kebiasaan apa yang sering dilakukan oleh pasien.g. Riwayat lingkungan Pasien tinggal dimana, dan tanyakan kondisi sekitar tempat tinggal apakah sering terendam air, dan tanyakan makanan yang sering dikonsumsi.3

Dari anamnesis suami pasien didapatkan bahwa terdapat diare sejak 26 jam terakhir dengan frekuensi 30 menit 2 kali diare, volume cairan yang keluar adalah 125-150cc, konsistensi dari cairan yang keluar adalah berwarna coklat, berlendir kuning, dan cair berwarna putih.

Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran, tanda-tanda vital, glasgow coma scale, waktu pengisian kapiler, pemeriksaan tekanan vena jugularis, abdomen patologis yang dilakukan setelah kondisi gawat telah ditatalaksana dan pasien kondisinya kembali stabil.Tanda-tanda vital yang diperiksa pada pasien adalah suhu tubuh, frekuensi nafas, frekuensi nadi, tekanan darah. Glasgow coma scale seperti yang sudah dijelaskan diatasHal yang dilakukan pada pemeriksaan abdomen adalah:1. Inspeksi untuk melihat bentuk abdomen simetris atau tidak, datar atau menonjol, warna kulit dan apakah dan apakah ada vena yang berdilatasi, juga dilihat aoakah adanya gerakan pada abdomen.2. Palpasi dilakukan untuk mengetahui adana nyeri pada tekanan dan pelepasan sentuhan pada bagian abdomen tertentu.3. Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya pembesaran hati atau adanya perforasi lambung, hal ini dilakukan dengan pembedaan suara timpani yang terdapat pada rongga kosong dengan gas, dan suara pekak yang merupakan suara perkusi organ.4. Auskultasi dilakukan untuk mengetahui adanya bising usus yang meningkat atau adanya suara nadi pada abdomen seperti pada kasus aneurisma aorta.

Penilaian derajat dehidrasi dengan :1. Keadaan dan tingkah laku2. Mata, air mata, rasa haus3. Turgor kulit4. Ubun-ubun cekung pada anak5. Nadi cepat dan lemah6. Pada keadaan asidosis metabolik terdapat pernapasan yang cepat dan dalam.4

Didapatkan hasil pemeriksaan fisik pasien adalah tekanan darah 70/40, frekuensi nadi adalah 112 kali/menit, frekuensi nafas adalah 26 kali/menit nafas cepat dan dalam, suhu tubuh 36oC. Skor GCS diperkirakan 6-7, hal ini menunjukkan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan cor-pulmo didapatkan semua dalam batas normal, sedangkan pada pemeriksaan abdomen didapatkan adanya neri tekan abdomen. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien dicurigai jatuh ke dalam syok hipovolemik berat, karena disertai penurunan kesadaran dan mekanisme kompensasi yang berkerja berat, serta tekanan nadi yang sangat sempit. Kemudian dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik diperkirakan pasien mengalami gastroenteritis.

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratorium mungkin berguna dalam menentukan penyebab dari hipotensi. Namun, resusitasi pada pasien dengan syok tidak boleh tertahan hanya karena menunggu hasil laboratorium.2Nilai hematokrit pada pasien dengan syok hipovolemik bervariasi dari rendah, normal, hingga tinggi tergantung dari penyebab dan durasi syok. Saat kehilangan darah berlangsung, evaluasi pada pengisian kapiler dengan cairan interstitial hematokrit dapat bernilai normal. Namun apabila pasien mengalami perdarahan yang kronis namun perlahan, dan terlambat untuk diketahui maka hematokrit akan bernilai rendah. Saat hipovolemia terjadi karena kehilangan cairan bukan darah seperti diare, muntah, nilai hematokrit akan tinggi. Asam laktat terakumulasi pada pasien dengan syok yang berat hingga menyebabkan metabolisme anaerob. Penilaian elevasi asam laktat arterial dengan kecepatan pembuangannya dengan volume resusitasi serta kontrol perdarahan merupakan marker yang penting. Kegagalan untuk membuang kenaikan asam laktat arterial menunjukkan bahwa resusitasi tidak adekuat. Jika telah diberikan resusitasi cairan yang cukup, namun masih tetap tinggi kadar asam laktat arterial, maka harus dicari penyebab hipoperfusi yang lain.2Pada pasien non-trauma dengan syok hipovolemik memerlukan pemeriksaan USG jika dicurigai adanya aneurisma aorta abdominal. Jika perdarahan saluran crna dicurigai, maka diperlukan pemasangan nasogastrik tube, dan lavage gaster dilakukan. Endoskopi juga dapat dipergunakan untuk mengetahui sumber perdarahan. Pada kecurigaan deseksi aorta maka diperlukan pemeriksaan CT-Scan. Jika dicurigai adanya trauma abdomen, maka FAST USG dilakukan pada pasien, dengan kondisi stabil atau tidak stabil. Jika dicurigai adanya trauma pada tulang panjang yang menyebabkan fraktur, maka diperlukan foto radiologis 2 posisi. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien dengan pengeluaran cairan tanpa darah berlebih seperti kasus diare adalah kadar elektrolit dan juga Ph tubuh, karena pada kasus-kasus ini ditakutkan terjadi pembuangan elektrolit berlebihan khususnya kalium dan dapat terjadi metabolik asidosis.2Monitoring hemodinamikPenilaian pada central venous pressure jarang diperlukan untuk membuat diagnosis syok hipovolemik. Karena volume darah yang berkurang dapat membuat vena kolaps, insersi dari monitoring vena sentral dapat berbahaya. Jika tekanan darah pasien dan status mentalnya tidak merespons terhadap administrasi cairan, maka harus dicurigai adanya sumber perdarahan yang masih aktif. Central venous pressure monitoring berguna untuk pasien yang lebih tua dengan kecurigan mengalami gagal jantung kongestif, karena administrasi cairan berlebih dapat mengakibatkan terjadi edema pulmonar. 2Monitor kapnobar akan memberi nilai pada pengurangan kadar CO2. Hal ini diproduksi dengan pengurangan aliran darah paru. Saat dibandingkan dengan analisa gas darah, kadar CO2 arterial dengan end tidal akan bertambah luas bedanya. Jika fungsi paru normal, hanya akan terjadi perubahan minimal pada saturasi hemoglobin. Maka pulse oxymetry akan memberikan nilai yang normal.2

Working diagnosisSyok hipovolemik adalah kondisi medis dimana terdapat kehilangan cairan yang cepat, sehingga mengakibatkan gagal organ multipel karena volume darah yang bersirkulasi dalam tubuh tidak adekuat, syok hipovolemik paling banyak disebabkan oleh karena kehilangan darah yang cepat (hemoragik). Selain dari perdarahan, syok tipe ini dapat berasal dari kehilangan cairan selain darah yang juga signifikan, contohnya adalah kehilangan cairan karena gastroenteritis diare dan luka bakar yang masif. Tingkat keparahan dari syok bergantung tidak hanya pada voume cairan yang defisit tapi juga pada umur pasien dan riwayat penyakit pasien sebelumnya. Faktor lain yang menentukan juga adalah kecepatan volume cairan yang hilang, hal ini penting karena menentukan keberhasilan respons kompensasi. Syok hypovolemik dibagi atas tipe yang ringan, sedang, dan berat yang bergantung pada jumlah darah yang berkurang.2Tabel 2 Klasifikasi syok hipovolemik2PatofisiologiGejala klinis

Ringan (40% volume darah)Perfusi ke otak dan jantung berkurangPasien teragitasi, bingung. Tekanan darah sangat rendah disertai frekuensi nadi yang cepat dan lemah. Takipneu dapat terjadi. Jika dibiarkan henti jantung dapat terjadi

Diagnosa bandingSyok yang terjadi karena hipovelima dapat terkeoh dengan syok yang terjadi akibat penyebab yang lain. Syok kardiogenik menyebabkan gejala yang mirip dengan syok akibat hipovolemia, dengan pengecualian umumnya pada syok kardiogenik terjadi distensi vena jugular. Setelah trauma, kerusakan pada spinal cord menyebabkan vasodilatasi perifer dapat menyebabkan syok yang tahan terhadap resusitasi cairan. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada pasien trauma, dan tidak boleh diperkirakan sebab lain yang menjadi penyebab syok sampai cairan dengan jumlah adekuat sudah diberikan pada pasien.2 Intoksikasi alkohol dapat membuat diagnosis hipovolemik sulit. Elevasi kadar serum etanol dapat membuat kulit menjadi hangat dan kering. Pasien ini juga dapat menjadi hipotensi pada posisi telentang. Syok hipoglikemik karena pemberian insulin yang berlebihan juga dapat terjadi, pasien ditemukan dengan keadaan dingin, oligouria, dan takikardia. Yang menjadi indikator kecurigaan syok tipe ini adalah adanya riwayat pemakaian insulin dalam beberapa waktu kebelakang.2

Patofisiologi Tubuh manusia memberi respons pada perdarahan akut dngan mengaktivasi sistem fisioogis mayor, yakni sistem hematologik, cardiovaskular, renal, dan neuroendokrin.2,1. Sistem hematologik memberi respons pada kehilangan darah yang akut dan berat dengan mengaktivasi cascade koagulan dan kontraksi dinding pembuluh darah (pelepasan tromboksan A2). Sebagai tambahan, trombosit juga diaktivasi dan membentuk sumbatan pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak mengeluarkan kolagen, yang akhirnya akan membentuk deposisi fibrin, dan membuat sumbatan yang komplit. Saat syok terjadi karena kehilangan cairan tubuh saja, tanpa kehilangan sel darah merah yang dapat terjadi karena diare, muntah, atau luka bakar, terjadi konsentrasi dari ruang intravaskular dengan peningkatan viskositas. Hal ini dapat menyebabkan mikrovaskular trombosis.2. Sistem kardiovaskular memberi respons awal pada syok hipovolemik dengan meningkatkan frekuensi pompa jantung, meningkatkan kontraktilitas otot jantung, dan konstriksi pembuluh darah perifer. Respons ini terjadi karena pelepasan dari norepinefrin dan pengurangan tonus vagal (regulasi oleh baroreseptor pada arkus aorta, arkus karotis, atrium kiri). Respons kardiovaskular juga menyebabkan redistribusi aliran darah ke otak, jantung, ginjal. Redistribusi ini mengakibatkan pengurangan aliran darah ke tempat lain seperti kulit, tulang, dan saluran cerna. Pengurangan terbanyak terjadi pada aliran ke visceral dan splanchnic. Pada kondisi yang berlanjut aliran darah ke renal juga akan berkurang dan menyebabkan turunnya filtrasi glomerulus dan pengeluaran urin. Peningkatan kecepatan aliran mikrosirkulasi sebagai akibat dari vasokonstriksi pembuluh kapiler pada kulit memiliki keuntungan lain, yakni memperbaiki penghantaran oksigen sementara terjadi juga pengurangan asidosis jaringan. Konstriksi arteriol meningkatkan aliran darah dan mengurangi waktu darah yang diam ditempat. Hal ini mengakibatkan oksigen dihantar lebih cepat kejaringan, dan diwaktu yang sama CO2 berdifusi juga ke arteriol.2,53. Sistem renal memberi respons pada syok hipovolemik dengan mengurangi aliran darah ke ginjal. Penurunan aliran aferen menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus jatuh ke bawah level kritikal yang dibutuhkan untuk filtrasi ke kapsul bowman. Ginjal memerlukan aliran darah yang cukup untuk menjaga metabolisme. Hypovolemia yang lama dapat berakhir pada tubular nekrosis.24. Sistem neuroendokrin memberi respons pelepasan adrenergik dan sekresi vasopressin, angiotensin adalah mekanisme kompensasi dari neuroendokrin. Dan semuanya menyebabkan vasokonstriksi,translokasi cairan dari interstitium ke celah vaskular, dan menjaga cardiac ouput. Sekresi aldosteron dan vasopressin, mengingkatkan retensi garam dan air di renal untuk menjaga volume darah yang beredar dalam tubuh. Sekresi epinefrin, kortisol, glukagon meningkatkan konsentrasi glukosa ekstrasel dan membuat simpanan energi bisa digunakan untuk metabolisme. Sekresi endorfin kurang diketahui namun zat yang dikenal sebagai opioid endogen berguna untuk mengurangi rasa nyeri.2,55. Efek metabolik jaringan memerlukan ATP sebagai sumber energi, dan secara normal ATP didapatkan melalui siklus krebs secara aerob. Saat O2 tidak tersedia, maka ATP dihasilkan dari jalur anaerob yang juga memproduksi asam laktat. Produk ini yang dapat menyebabkan asidosis metabolik akibat iskemia. Hal penting yang menentukan jalur mana yang digunakan untuk produksi ATP adalah ketersediaan O2. Hantaran oksigen bergantung pada jumlahnya di darah dan cardiac output. 2

Gejala klinis Temuan klinis yang bisa didapatkan pada syok hipovolemik bervariasu bergantung pada umur pasien, riwayat penyakir, jumlah cairan yang hilang, dan lama waktu cairan hilang. Frekuensi nadi dan pengukuran tekanan darah tidak menjadi indikator yang bisa sangat dipercaya pada kondisi syok hipovolemik. Pasien yang lebih muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan derajat sedang dengan vasokonstriksi dan peningkatan frekuensi nadi yang tidak terlalu tinggi. Lebih lanjut lagi syok hipovolemia dapat memiliki gejala bradikardi sebagai efek akhir. Tekanan darah ortostatik dapat berguna. Normalnya transisi dari posisi telentang ke posisi duduk akan mengurangi tekanan darah 10mmHg dan tekanan tidak kembali normal setelah lewat beberapa menit. Pasien yang lebih tua dengan tekanan darah yang normal saat posisi telentang, sering menjadi hipotensi saat diubah posisinya menjadi duduk. Pengurangan pengisian kapiler, kulit yang dingin, biru dan vena kutan yang kolaps dihubungkan dengan perfusi yang kurang. Temuan ini tidak spesifik untuk syok hipovolemik, karena dapat juga ditemukan pada syok kardiogenik atau syok karena kardiak tamponade atau tension pneumothorax. Vena jugular yang kolaps ditemukan pada syok hipovolemik, walau dapat juga terjadi pada kompresi jantung karena terapi resusitasi yang tidak adekuat. Pemeriksaan vena jugularis baik dilakukan pada pasien yang miring 30o dan tekanan atrial yang normal akan menghasilkan distensi vena 4cm diatas manubrium sterni. Urine output berkurang pada pasien dengan syok hipovolemik. Oligouria pada pasien dewasa memiliki definisi jumlah urin yang 100/menit) dan takipnue, mulai berkurangan tekanan nadi, kulit dingin, lembab, dan biru, pengisian kapilar yang terhambat, anxietas. Kelas 3 kehilangan darah 30-40% : takikardia dan takipnue, pengurangan tekanan darah sistol, oligouria, agitasi. Mulai dari derajat ini pasien memerlukan transfusi darah. Kelas 4 kehilangan darah .40% : takikardia dan takipnue, tekanan darah sistol yang sangat berkurang, tekanan nadi menyempit, keluaran urin yang menyempit hingga hilang, kehilangan kesadaran, kulit dingin dan pucat.Area dimana perdarahan yang bisa mengancam nyawa terjadi adalah pada thorax, abdomen, paha. Oleh karena itu masing-masing tempat harus diperiksa tanda-tanda perdarahan.2

Penatalaksanaan Prinsip umum tatalaksana, resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik pada ruang ICU dilaksanakan dengan dasar yang terkontrol. Seperti pada semua keadaan gawat, prioritas dari airway, breathing, circulation harus dilaksanakan terlebih dahulu. Akses intravena harus minimal melalui dua jalur. Kateter vena sentral tidak boleh dimasukkan melalui vena jugularis atau subclavian pada pasien dengan syok hipovolemik karena risiko terjadinya pneumothorax. Penilaian dengan cepat pada sumber perdarahan. Sumber potensial adalah perdarahan adalah perdarahan saluran cerna, luka bakar, robeknya jahitan pada jaringan vaskular.2

Resusitasi cairanResusitasi cairan dengan cepat adalah dasar dari tatalaksana terapi syok hipovolemik. Cairan harus diinfus pada kecepatan yang tepat untuk mengoreksi defisiensi cairan. Pada pasien yang muda, infus biasanya dilakukan dengan kecepatan penuh yang disanggupi oleh alat dan akses vena. Pada pasien yang lebih tua atau dengan penyakit jantung, infus harus diperlambatkan setelah terjadi respon perbaikan untuk mencegah terjadinya efek hipervolemia. Cairan parenteral dibagi dua yakni kristaloid dan koloid, yang berbeda dari berat molekul.1. Kristaloid, cairan kristaloid memiliki berat molekul yang rendah yakni 25-30mmHg). Edema subkutan dapat menjadi masalah yang diperhatikan karena mengganggu mobilitas pasien, meningkatkan potensi ulkus decubitus.2 2. Koloid, cairan ini memiliki berat jenis molekul yang tinggi untuk efek osmotiknya. Karena itu, cairan koloid akan berada didalam ruang intravaskular dalam waktu yang lama. Jumlah cairan koloid yang lebih sedikit dibandingkan dengan cairan kristaloid diperlukan untuk terapi resusitasi karena sifat berat molekulnya yang berat, sehingga menarik cairan dari ruang ekstravaskular ke ruang intravaskular. Pada metaanalisis dari percobaan random, prospektif dengan 26 sampel ditemukan peningkatan angka sebesar 4% pada kematian dengan penggunaan albumin dibanding kristaloid sebagai terapi resusitasi.a. Albumin adalah koloid yang paling sering digunakan. Memiliki berat molekul 66.000-69.000 dan tersedia sebagai larutan dengan konsentrasi 5% dan 25%. Serum albumin normal adalah 96% albumin, dimana fraksi protein plasma adalah 83%. Waktu paruh waktu dari albumin adalah 8 jam, walaupun kurang dari 10% kadarnya keluar dari intravaskular setelah administrasi. Saat 25% albumin dimasukkan, didapatkan volume intravaskular 5 kali dari jumlah volume koloid yang dimasukkan. Seperti pada kristaloid, monitoring dari terapi cairan ini harus dilakukan, karena dapat terjadi fungsi pulmonar yang berkurang.2b. Hetastarch adalah produk sintetik yang tersedia dengan konsentrasi 6% yang diencerkan pada normal salin. Berat molekulnya sama dengan albumin, dan sekresi melalui ginjal sebanyak 46% dalam 2 hari, dan sisa 64% dieliminasi dalam 8 hari. Cairan ini merupakan volume expander yang efektif, dan dengan efek yang bertahan dari 3 jam hinga 24 jam. Kebanyakan pasien merespons dengan infus cairan 500-1000 cc, namun menjadi komplikasi paru, ginjal, dan hepar apabila dosisnya >20cc/kgBB. Cairan ini mempunyai efek menurunkan kadar trombosit dan anti faktor VIII. Karena itu biasanya digunakan hanya 500-1000cc.2c. Dextrans, terdapat dua buah cairan ini yang beredar yakni dxtrans 70 dan dextrans 40. Keduanya dapat digunakan sebagai volume expander. Dextrans 40 di saring oleh ginjal dan menyebabkan efek diuresis, sedangkan dextrans 70 di metabolisme menjadi CO2 dan air. dextrans 70 bertahan lebih lama pada intravaskular dibandingkan dengan dextrans 40. Dextrans 70 lebih disenangi untuk volume expander karena waktu paruhnya yang bertahan hingga beberapa hari. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal, anafilaksis, dan perdarahan. Dextrans 40 yang digunakan untuk diuresis malah bisa menurunkan jumlah volume plasma, sedangkan dextran 70 dihubungkan dengan kejadian gagal ginjal. Kedua cairan ini inhibisi adhesi trombosit dan agregasi trombosit melalui faktor VIII.2

Pada pelaksanaannya jumlah cairan infus yang diberikan harus dihitung terlebih dahulu, agar pasien tidak mengalami undertreatment maupun overtreatment, mengingat kondisi pasien yang sudah berumur 80 tahun, maka kondisi overtreatment dapat membahayakan pasien. Dari riwayat pasien didapatkan mengalami diare sejak 26 jam yang lalu dengan frekuensi setiap 30 menit 2 kali diare dengan voum cairan 125-150cc, disertai muntah dengan frekuensi 1 kali per jam dengan volume 75-100cc. Maka dapat dilakukan penghitungan perkiraan banyaknya cairan yang hilang selama 26 jam.1. Diare 26 jam, setiap 30 menit 2 kali diare total adalah 52 kali diare. Setiap diare volume yang keluar adalah 125-150cc, diambil 140cc, maka 140 dikali dengan 52. Sehingga total cairan diare yang keluar adalah 7280cc.2. Muntah 26 jam, setiap 1 jam 1 kali muntah, sehingga total adalah 26 kali muntah. Setiap muntah volume adalah 75-100cc, diambil 85cc. Sehingga 26 dikali 85cc, menjadi 2210ccTotal cairan yang terbuang adalah 9490cc perkiraan. Namun dalam terapi resusitasi cairan perlu juga dipikirkan kebutuhan basal cairan yang dihitung dengan menggunakan berat badan tubuh. Rumus yang umum digunakan adalah 10kg pertama dikalikan 4, 10kg kedua dikalikan 2, dan sisa berat badan dikalikan satu, kemudian dijumlahkan. Angka hasil penjumlahan adalah kebutuhan basal cairan per jam yang dibutuhkan oleh pasien. Jika diambil semisal berat badan pasien adalah 60kg, maka jumlah cairan basal yang diperlukan adalah 100cc/jam. Maka dengan anggapan pasien tidak puasa namun mengalami kehilangan cairan serta ditambah kebutuhan per jam, diberikan pemberian cairan dengan diguyur untuk mengejar defisit cairan masif yang dialami oleh pasien. Diberikan bolus langsung 30cc/kgBB, berarti 30cc dikali dengan 60kg, 1800cc. 9490cc dikurangi infus bolus 1800cc yang diberikan dalam 30 menit-1 jam, sehingga sisa 7690cc, dalam 8 jam pertama diberikan 3845cc, dan dalam 16 jam berikutnya diberikan 3845cc lagi. Sebagai monitoring jumlah cairan yang masuk sudah adekuat maka dilakukan pengukuran tekanan darah, dipasangkan kateter jika sudah tidak mengalami oligouria, tekanan darah kembali normal, dan keadaan umum pasien membaik, maka pemberian cairan sudah adekuat. Sehingga setelah itu, pasien dievaluasi ulang, dan infus cairan diatur ulang kecepatannya agar tidak mengalami overtreatment.2,8Pada hypovolemia yang persisten, dapat diberikan pula obat-obat inotropik, seperti dopamine, dobutamine, vasopressin untuk menjaga kinerja ventrikel.5Diare yang terjadi perlu dihentikan dan penyebabnya dicari lebih lanjut apakah berupa suatu intoleransi atau suatu infeksi agar tidak memberikan tatalaksana yang salah, untuk pemberian obat penghenti diare dapat diberikan loperamid dengan dosis 4mg pada awalnya, dan 2 mg setiap diare, sehari tidak lebih dari 16mg. Hentikan apabila tidak ada perbaikan dalam 48jam. Efek samping yang dapat terjadi adalah mual, nyeri perut, mulut kering, flatulens, konstipasi.9

Kontroversi1. Kristaloid vs koloid, sampai saat ini masih banyak kontroversi tentang penggunaan mana yang dianggap lebih baik, karena masing-masing cairan mempunyai kerugian dan kelebihan. Pada cairan kristaloid kelebihannya adalah dapat berdifusi ke jaringan interstitial, sedangkan kekurangannya adalah cairan tidak dapat bertahan lama dalam intravaskuler sehingga memerlukan jumlah cairan yang banyak dengan perbandingan infus kristaloid 3:1 per jumlah volume cairan yang keluar, kemudian dikatakan juga bahwa larutan ringer bersifat pro-inflamasi. Koloid memiliki kelebihan bertahan lebih lama di intravaskular sehingga tidak perlu jumlah yang banyak untuk resusitasi cairan, namun kelemahannya adalah karena waktu di intravaskular yang lama, sehingga cairan ini tidak berdifusi keluar ke jaringan interstitial, dan pada studi meta-analisis angka kematian dengan penggunaan tunggal larutan ini lebih tingga apabila dibandingkan dengan penggunaan kristaloid.2,8

KomplikasiSequele neurologis, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya perfusi pada otak yang merupakan organ vital. Kematian, disebabkan oleh kegagalan organ multipel karena hipoperfusi, khususnya organ vital seperti otak dan jantung. Asidosis metabolik, dehidrasi menimbulkan gejala syok, sehingga filtrasi glomerulus berkurang, sehingga konsentrasi asam bertambah dan berakibat pH tubuh menurun. Hipokalemia dengan gejala lemah otot, aritmia, ileus paralitik.Hipoglikemi dengan gejala lemas, apatis, syok dan kejang.2,7

PrognosisPrognosis bergantung pada jumlah volume cairan yang hilang serta seberapa cepat penanganan kegawatan yang diberikan.7Ad vitam (hidup): dubia ad malamAd sanatinam (sembuh): dubia ad malamAd fungsionam (fungsi) : dubia ad malam

Bab IIIPenutupKesimpulan

Pasien perempuan berusia 80 tahun tersebut datang dengan syok hipovolemik berat yang dikarenakan oleh GED. Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien yang datang dengan syok adalah melakukan survei primer yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure. Pada pasien ini diperlukan tatalaksana setelah semua langkah dilakukan yakni berupa resusitasi cairan, dimana terdapat pilihan kristaloid dan koloid, penggunaan kedua cairan ini tidak harus terpisah dan dapat dikombinasi. Setelah semua langkah dilakukan dan pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan maka dapat dilakukan survei sekunder yakni anamnesis pasien dengan lengkap dan evaluasi ulang pasien. Kasus syok hipovolemik memiliki prognosis yang sangat bergantung pada jumlah cairan yang hilang dari tubuh, semakin banyak cairan yang terbuang, semakin jelek prognosis dari pasien.

Daftar pustaka

1. Pacagnella RC, Souza JP, Durocher J, et al. A systematic review of the relationship between blood loss and clinical signs.PLoS One. 2013;8(3):e57594. Diunduh pada 21 november 20142. Bongard F S, Sue D Y, Vintch J R E. Current diagnosis & treatment critical care. New York:McGrawhill;2008.h 10-2, 222-30.3. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h 37,474. Burnside, McGlynn. Adams diagnosis fisik (alih bahasa: dr. Henny Lukmanto). Jakarta: EGC;2004.h 117-22.5. Abrutyn E, Braunwald E, Fauci AS et all editor. Harrisons principle of internal medicine 16th ed. New York:McGrawhill;2005.h 1602-2.6. Kliegman, Stanton, Schor, Behrman. Nelson textbook of pediatrics 19th ed. New York. Elsevier: 2011; h. 1276-1281.7. Sarkar D, Philbeck T. The use of multiple intraosseous catheters in combat casualty resuscitation.Mil Med. Feb 2009;174(2):106-8. Diunduh pada 21 november 20148. Ghafari MH, Moosavizadeh SA, Moharari RS, Khashayar P. Hypertonic saline 5% vs. lactated ringer for resuscitating patients in hemorrhagic shock.Middle East J Anesthesiol. Oct 2008;19(6):1337-47. Diunduh pada 21 november 2014 9. MIMS 121st ed. Antidiarrheals. 2012.h .27

Page 14

22