Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

213
Editor: Sri Wilarso Budi Asep Hidayat Maman Turjaman Hutan Tropis Indonesia Hutan Tropis Indonesia Hutan Tropis Indonesia ISBN : 978-602-440-241-9 Kehutanan PT Penerbit IPB Press IPB Science Techno Park Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] @IPBpress Penerbit IPB Press

Transcript of Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Page 1: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Editor:Sri Wilarso Budi

Asep HidayatMaman Turjaman

Hutan Tropis Indonesia

Hutan Tropis Indonesia

Hutan Tropis Indonesia

ISBN : 978-602-440-241-9

KehutananPT Penerbit IPB PressIPB Science Techno ParkJl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

@IPBpressPenerbit IPB Press

Page 2: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Hutan Tropis Indonesia

Page 3: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 4: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Editor:

Sri Wilarso BudiAsep Hidayat

Maman Turjaman

PUSAT PENELITIAN DANPENGEMBANGAN HUTAN

Press

Penerbit IPP PressKampus IPB Taman Kencana,

Kota Bogor-Indonesia

Kerja sama:

c1/11.2017

Penerbit IPB PressIPB Science Techno Park

Bogor - Indonesia

C.01/01.2018

Hutan Tropis Indonesia

Page 5: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Judul Buku: Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia

Pengarah: Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi KLHK

Penanggung jawab: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Penulis: Ahmad Faizal, Ph.D Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D Djarwanto, Ph.D Maman Turjaman, Ir, DEA, Dr. Retno Prayudyaningsih, Dr. Rizki Maharani, Dr. Rizkita Rachmi Esyanti, Dr. Rizna Triana Dewi, Ph.D Safinah Surya Hakim, S.Hut, M.Si. Sihati Suprapti, Dra. Sri Wilarso Budi, Ir. M.S., Dr., Prof. Yutaka Tamai, Associate Prof., Ph.D

Editor: Sri Wilarso Budi Asep Hidayat Maman Turjaman

Korektor: Dwi Murti Nastiti Helda Astika Sirgear

Penyunting Bahasa: Aditya Dwi Gumelar

Penata Isi: Bintoro, S.Kom Alfyandi

Desain Sampul: Bintoro, S.Kom

Edisi/Cetakan: Cetakan Pertama, Januari 2018

Jumlah Halaman: 196 + 16 halaman romawi

PT Penerbit IPB PressIPB Science Techno ParkJl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128

ISBN: 978-602-440-241-9

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2017, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 6: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

KATA SAMBUTAN DIRJEN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

Sejak lama kekayaan sumber daya alam Indonesia diakui memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, atau lebih dikenal dengan istilah megabiodiversity country. Bukti nyata menunjukkan bahwa pusat keanekaragaman hayati (kehati) di dunia berada di Hutan Tropis Indonesia. Kehati dipisahkan menjadi satuan ekosistem, jenis dan genetik. Semua kesatuan tersebut membentuk keanekaragaman yang beragam, unik dan tinggi. Namun sayang tekanan terhadap hutan tropis sangat besar, seperti: deforestasi, degradasi, kebakaran hutan dan kegiatan peneliti biopiracy yang tidak terkendali menyebabkan kehati, jasa lingkungan dan nilainya teracam merosot tajam.

Seiring dengan dinamika kerusakan lingkungan yang terjadi, jasad renik atau mikroba hutan adalah salah satu sumber daya genetik Hutan Tropis Indonesia yang akan ikut mengalami keterancaman sebagai penyusun ekosistem yang utuh. Mikroba hutan memiliki peran yang sangat penting, meski perannya dalam sebuah ekosistem tidak terlihat secara kasat mata. Mikroba hutan sangat bertanggung jawab dalam proses penguraian limbah berupa serasah, kayu dan biomassa lainnya di dalam hutan, menjadikan bahan yang berguna dalam siklus rantai makanan. Fungsi alami dan pemanfaatan mikroba hutan lainnya sangat beragam dan terus akan meningkat seiring dengan perkembangan IPTEK yang terus berubah sesuai kebutuhan manusia.

Dalam rangka menjaga lingkungan dan pelestarian sumber daya alam, buku ini secara jelas dan nyata memberikan sumbangan pikiran dan menggambarkan tentang manfaat besar mikroba Hutan Tropis Indonesia bagi pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan di segala bidang. Bagaimana peran mikroba dalam memperbaiki

dan meningkatkan nilai hutan dan lingkungan (Bioremediasi, bioferlizer, bio-induksi dan bioplastik), meningkatkan ketahanan pangan, dan kesehatan, dijelaskan secara detail sesuai dengan fakta sains yang ada. Kami berkeyakinan bahwa kasawan konservasi, seperti: Taman Nasional Gunung Rinjani, merupakan point of references penting bagi riset jangka panjang. Kerjasama riset di kawasan konservasi dengan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbukti juga sangat penting, seperti: penemuan edible mushroom termahal ke-dua di dunia (Morchella crassipes), dan akan dilanjutkan di waktu yang akan datang.

Terakhir, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua penulis dan editor yang secara konsisten telah mencurahkan waktu dan pemikirannya guna memberikan pemcerahaan dan nilai-nilai yang berguna untuk kita semua. Semoga buku ini memberikan pemahaman baru dan bahan acuan pembelajaran bagi para pihak sehingga akhirnya upaya konservasi keanekaragaman hayati Indonesia yang menjadi tanggung jawab kita semua dapat berjalan dengan baik.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

Ir. Wiratno, M.Sc

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • v

Page 7: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 8: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Hutan hujan tropis Indonesia memiliki sebagian besar keanekaragaman hayati dunia. Keanekaragaman dan tingkat endemik spesies yang tinggi, menjadikan hutan hujan tropis Indonesia salah satu yang terpenting di dunia untuk nilai konservasinya. Saat ini, telah terjadi deforestasi teresterial yang menjadi penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati, salah satu di antaranya adalah keanekaragaman mikroba hutan. Mikroba hutan sebagai salah satu komponen sumber daya hutan memiliki banyak fungsi penting untuk memberikan solusi terhadap berbagai tantangan saat ini, seperti krisis pangan, energi, obat dan kesehatan manusia, perbaikan lingkungan hidup dan hutan, dan lain sebagainya. Mikroba hutan merupakan salah satu aset penting untuk dunia penelitian dan pengembangan bioteknologi dan rekayasa biologi. Materi genetik mikroba hutan dapat digunakan sebagai bahan riset dan pemanfaatan untuk rekayasa genetik, biofertilizer, pengendalian penyakit dan hama hutan, pengolahan limbah toksik, bioremediasi, dan produksi energi alternatif. Mikroba hutan perlu dikonservasi dengan pengelolaan yang profesional dalam bentuk bank mikroba atau culture collection atau bank gen. Kegiatan eksplorasi dan koleksi mikroba penting dilakukan mengingat hutan sebagai salah satu habitat alami mikroba terus mengalami degradasi dan deforestasi. Degradasi habitat alami dan perubahan lingkungan mikro dari mikroba seperti pada tumbuhan, tanah, lantai hutan, akan berdampak pula pada degradasi jumlah populasi dan keanekaragaman hayati mikroba hutan yang selama ini berinteraksi dan berfungsi sebagai komponen penentu dalam proses perombakan dan siklus nutrisi di ekosistem hutan hutan tropis.

Secara tradisional konservasi biologi difokuskan pada konservasi keanekaragaman jenis baik itu flora, fauna, dan mikroba secara in situ. Artinya, menjaga kawasan konservasi berarti telah melakukan konservasi makhluk hidup atau spesies biologi yang hidup dan berinteraksi di dalamnya. Namun, saat ini ada kecenderungan terbaru, konservasi juga ditujukan pada keanekaragaman fungsional. Contoh keanekaragaman fungsional adalah proses kolonisasi tanah oleh tanaman yang kemungkinan tidak akan terjadi tanpa kehadiran fungi/bakteri dan mikroba lainnya. Sistem persahabatan antara tanaman hutan dan mikroba merupakan salah satu adaptasi “kedua partner” mengatasi keterbatasan air dan nutrisi untuk hidup dan berkembangbiak di tanah dengan kondisi yang sangat tidak subur dan ekstrem.

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) pada tahun 2017 berumur 104 tahun dan saat ini lebih memfokuskan riset pada pemanfaatan mikroba hutan sebagai unggulan risetnya. BLI telah membangun Pusat Koleksi Mikroba Hutan Tropis (INTROF-CC) dengan tujuan pemanfaatan mikroba hutan tropis untuk mendukung industri pangan, kesehatan, pemulihan lingkungan, restorasi hutan, dan bioenergi.

INTROF-CC memiliki jejaring dengan Pusat Koleksi Mikroba yang dimiliki oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong Jawa Barat yaitu INA-CC ( Indonesia Culture Collection). Masa depan industri kehutanan dan lingkungan hidup diprediksi akan bertumpu pada pemanfaatan mikroba utama sebagai sumber utama devisa negara, dan akan menggantikan industri kayu dari hutan alam yang dari tahun ke tahun produksinya menurun dan harganya sudah tidak kompetitif lagi.

KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • vii

Page 9: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sumber Daya Manusia (SDM) yang menangani riset mikroba hutan di BLI masih sangat terbatas. Peneliti-peneliti yang menekuni riset tersebut tersebar di beberapa Satuan Kerja di lingkup BLI. Di Pusat Litbang Hutan terdapat 5 peneliti, di Pusat Litbang Hasil Hutan (2 peneliti), Banjabaru (2 peneliti), Samarinda (1 peneliti), dan Makassar (1 peneliti). Buku ini merupakan bunga rampai yang berisi topik khusus tentang Bioprospek Mikroba dan memuat juga informasi status kegiatan riset peneliti di BLI. Buku ini disusun secara bersama-sama dalam beberapa Bab dengan judul “ Bioprospek Mikroba Hutan Tropis di Indonesia”, kontributor dari ITB, IPB, LIPI, dan Universitas Hokkaido (Jepang) juga memberikan sumbangan penulisan yang berkaitan dengan topik ini.

Pemanfaatan mikroba di era molekuler dan bio-informatika diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Pembangunan Nasional Indonesia terutama di sektor pangan, kesehatan, energi, pemulihaan lingkungan hidup dan kehutanan, yang pada akhirnya bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi

Henry Bastaman

viii • KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI

Page 10: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

KATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

Keanekaragaman hayati (Kehati), flora, fauna, dan mikroba merupakan komponen kunci dalam pengelolaan hutan tropis di Indonesia. Sumber Daya Genetik (SDG) adalah satuan terkecil dari elemen penyusun Kehati yang merupakan rangkaian aset nasional yang mencerminkan identitas suatu bangsa yang perlu dilindungi, dijaga, dan termanfaatkan dengan benar. Mikroba hutan tropis merupakan satuan yang lebih kompleks dari SDG, namun fungsinya untuk menjaga, memperbaiki, dan menyeimbangkan kondisi lingkungan masih dianggap sebelah mata bahkan diabaikan oleh banyak pihak. Padahal mikroba memiliki manfaat yang spesifik dan beragam, selalu menyimpan sesuatu untuk diungkap lebih mendalam, “mikroba selalu lebih pintar dari keilmuan para mikrobiologis”. Saat ini, melalui penerapan ilmu dan teknologi (iptek) yang dimiliki dan dikuasai, aplikasi pemanfaatan mikroba dapat diwujudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kelesatarian hutan, kesehatan, energi dan lingkungan untuk berbagai tujuan.

Berdirinya Indonesian Tropical Forest – Culture Collection (INTROF-CC) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Tahun 2015 adalah wujud nyata untuk mengoleksi, mereservasi, menjaga, dan melindungi mikroba hutan Indonesia

yang memiliki potensi dan manfaat yang besar. Menggali manfaat mikroba hutan tropis merupakan pekerjaan yang sangat berat, ibarat mencari satu butir kecil intan dalam satu gunung pasir. Perlu riset yang fokus dengan melibatkan lintas disiplin keilmuan. Dalam buku ini dijelaskan tentang beberapa peran penting mikroba hutan tropis yang dapat dimanfaatkan (bioprospek), diaplikasikan, kendala dan tantangan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi hijau (green economy).

Terakhir, saya ucapkan banyak terima kasih dan perhargaan setinggi-tingginya kepada editor dan semua penulis yang telah berkontribusi bab per-bab dalam buku ini. Saya sangat berharap, buku ini memberikan dampak positif bagi penelitian dan pengembangan ke depan sehingga menghasilkan riset yang inovatif dan memiliki keterbaruan dalam pemanfaatan mikroba hutan tropis.

Kepala Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan,

Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • ix

Page 11: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 12: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Kekayaan sumber daya Kehutanan Indonesia sangat beragam dari ekosistem hutan hujan tropis, yang terdiri atas komponen flora, fauna, serangga, dan beragam jenis mikroba (bakteri, fungi, yeast, virus, dan lain-lain). Mereka memerankan fungsi yang saling bertautan untuk menyeimbangkan kondisi ekosistem yang ideal. Beragam jenis pohon hutan dianggap sebagai pusat pembentuk sinergisme komunitas mikroba hutan. Bagian kecil dari fungi mikroba adalah sebagai agen dekomposer, mendaur ulang sisa buangan (misal: limbah biomassa) menjadi berguna bagi lingkungan. Masih banyak fungsi lainnya sehingga mikroba harus menjadi komponen integral dari ekosistem. Namun sayang, fungsi tersebut banyak diabaikan oleh banyak pihak termasuk dari pemangku kebijakan pembangunan.

Orientasi ekonomi dunia maju “Based Bio-economy” menjadikan bioresources sebagai sumber inovasi dari riset-riset integratif, multidisplin, konsisten, dan dukungan pendanaan yang memadai. Negara maju yang miliki bioresources yang terbatas dengan segala cara, bahkan dengan illegal (biopiracy) berupaya mendapatkan bioresources (termasuk mikroba hutan tropis) untuk menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Sebagai sumber daya genetik (SDG) mikroba hutan tropis Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang tidak dapat dielakan, menjadi kekayaan bangsa yang mutlak harus dijaga, dilestarikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dan secara utuh oleh anak bangsa sendiri.

Buku ini berisi tentang bioprospek mikroba hutan tropis, dijelaskan prospeknya pada setiap bab secara detail mengenai topik khusus pemanfaatan mikroba hutan tropis tentang prospek bio-induksi, bio-healthy, bio-food security, bio-fertilizer, dan bio-plastik. Penulis-penulis yang berkontribusi pada isi buku ini membidangi keahlian Iptek tanaman dan mikroba seperti bidang bioteknologi tanaman, mikrobiologi hutan, mikologi, kimia organik, ilmu tanah, dan silvikultur. yang secara konsisten meneliti, mempelajari dan menyebarluaskan beberapa penemuannya tentang mikroba hutan, baik fungi, bakteri dan atau khamir. Penulis yang berkontribusi berasal 11 lembaga penelitian dan pendidikan dari dalam dan luar negeri, Perancis, Belgia, dan Jepang.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua penulis yang telah menyumbangkan nilai-nilai pemikiran yang sangat berharga. Harapan kami, buku ini disusun untuk memberikan informasi akan peran dan manfaat mikroba hutan tropis Indonesia yang besar. Kami juga berharap, informasi-informasi yang diberikan dapat dijadikan bahan acuan bagi para periset mikroba hutan di masa depan yang masih menyisakan banyak ruang kosong untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.

Sri Wilarso BudiAsep Hidayat

Maman Turjaman

KATA PENGANTAR

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • xi

Page 13: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 14: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Ahmad Faizal, Ph.DPlant Science and Biotechnology Research Group, School of Life Sciences and Technology- Institut Teknologi Bandung, Ganesa 10, 40132 Bandung, Indonesia.

Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.DForest Microbiology Research Group – INTROF CC, Forest Research and Development Centre, FORDA, the Ministry of Environment and Forestry, Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia.

Djarwanto, Ph.DProcessing of Forest Product, Forest Product Research and Development Centre, FORDA, the Ministry of Environment and Forestry, Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia.

Maman Turjaman, Ir, DEA, Dr.Forest Microbiology Research Group – INTROF CC, Forest Research and Development Centre, FORDA, the Ministry of Environment and Forestry, Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia.

Retno Prayudyaningsih, Dr.Institute of Environment & Forestry Research and Development, Jalan Perintis Kemerdekaan Km16 Makassar, Indonesia.

Rizki Maharani, Dr.Dipterocarps Research Center (DiReC), FORDA, the Ministry of Environment and Forestry, Jalan A.W. Syahranie No. 68, Samarinda (75119), East Kalimantan, Indonesia.

Rizkita Rachmi Esyanti, Dr.Plant Science and Biotechnology Research Group, School of Life Sciences and Technology- Institut Teknologi Bandung, Ganesa 10, 40132 Bandung, Indonesia.

Rizna Triana Dewi, Ph.DChemistry Research Centre, Institute of Indonesia Science (LIPI), Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15214, Banten, Indonesia.

Safinah Surya Hakim, S.Hut, M.Si.Institute of Environment & Forestry Research and Development Banjarbaru, Jalan Ahmad Yani Km 28,8 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia.

Sihati Suprapti, Dra.Processing of Forest Product, Forest Product Research and Development Centre, FORDA, the Ministry of Environment and Forestry, Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia.

Sri Wilarso Budi, Ir. M.S., Dr., Prof.Departemen of Silviculture, Faculty of Forestry,Bogor Agriculture University, Kampus IPB Dramaga Bogor, Indonesia

Yutaka Tamai, Associate Prof., Ph.DLaboratory of Forest Resource Biology, Division of Environment Science, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, N-9, W-9, Kita-ku, Sapporo 060-8589, Japan

DAFTAR PENULIS

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • xiii

Page 15: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 16: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

DAFTAR ISI

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • xv

KATA SAMBUTAN DIRJEN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM .........................vKATA SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI ................................................. viiKATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN .................................................... ixKATA PENGANTAR ................................xiDAFTAR PENULIS ................................ xiiiDAFTAR ISI ...........................................xiv

bab 1 PENDAHULUAN ...........................1

bab 2 GAMBARAN UMUM MIKROBA HUTAN TROPIS ............................3POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Maman Turjaman ................................... 5

bab 3 APLIKASI UNTUK BIO-INDUKSI .............................. 17INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Ahmad Faizal dan Rizkita Rachmi Esyanti .................................................. 19

bab 4 APLIKASI UNTUK BIO-HEALTHY ........................... 49PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Asep Hidayat dan Rizna Triana Dewi ... 51

bab 5 APLIKASI UNTUK BIO-FOOD-SECURITY ............... 63OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Rizki Maharani dan Yutaka Tamai ....... 65JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Sihati Suprapti dan Djarwanto ............ 83

bab 6 APLIKASI UNTUK BIO-FERTILIZER ........................ 99FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Safinah Surya Hakim .......................... 101PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Sri Wilarso Budi ................................. 113APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Retno Prayudyaningsih ...................... 133BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Maman Turjaman ............................... 155

Page 17: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

xvi • DAFTAR ISI

bab 7 APLIKASI UNTUK BIO-PLASTIK ........................... 173BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Asep Hidayat ...................................... 175

bab 8 PENUTUP................................. 193

Page 18: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 1 PENDAHULUAN

Kekayaan sumber daya Kehutanan Indonesia sangat beragam mulai dari tegakan hutan hujan tropis, yang

terdiri dari komponen biotik berupa flora, fauna, serangga, nematoda, dan beragam jenis mikroba (bakteri, fungi, yeast, virus, dan lain-lain). Mereka memerankan fungsi yang saling bertautan untuk menyeimbangkan kondisi lingkungan yang ideal.

Beragam jenis pohon hutan dianggap sebagai pusat pembentuk sinergisme komunitas mikroba hutan.

Bagian kecil dari fungi mikroba adalah sebagai agen dekomposer, mendaur ulang sisa buangan

(misal: limbah biomassa) menjadi berguna bagi lingkungan. Masih banyak fungsi lainnya sehingga

mikroba harus menjadi komponen integral dari ekosistem. Namun sayang, fungsi tersebut banyak

diabaikan oleh banyak pihak termasuk dari pemangku kebijakan pembangunan.

Page 19: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 20: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 2 GAMBARAN UMUM

MIKROBA HUTAN TROPIS

Penjelasan secara umum di mana posisi mikroba dalam ekosistem hutan tropis. Potensi

keanekaragaman hayati (Kehati) mikroba hutan tropis merupakan aset nasional yang

sangat berharga dan harus diselamatkan serta dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia.

Melalui kegiatan riset bioprospek mikroba maka diharapkan kita dapat membantu meningkatkan

peran mikroba hutan untuk berbagai sektor pembangunan di Indonesia, dengan syarat

adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan konservasi dan adanya kebijakan pemerintah

yang mendukung dalam program riset bioprospek beserta pemanfaatannya.

Page 21: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 22: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Oleh:Maman Turjaman

A. Potensi Keanekaragaman Mikroba Hutan

Istilah “biodiversity” berasal dari kependekan “biological diversity” dengan konsep awal yang cukup sederhana mengenai keanekaragaman hayati mencakup jumlah total semua variasi biotik dari tingkat gen sampai ke tingkat ekosistem (Purvis dan Hector 2000). Prospek riset biodiversity ke depan sangat menjanjikan, bagaimana para peneliti mengukur parameter biodiversity dengan manfaat yang luas bagi kesejahteraan umat manusia di bumi ini. Para peneliti telah membuktikan bahwa meski keanekaragaman hayati tidak hanya difokuskan pada riset satu disiplin ilmu saja, namun studi tentang biodiversity pada aspek-aspek tertentu telah menghasilkan penemuan yang cepat, menarik dan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Analisis filogenetik dan temporal menyoroti proses ekologis dan evolusioner keanekaragaman hayati saat ini menemukan kondisi biodiversity yang mengkhawatirkan pada jenis-jenis tertentu pada ekosistem hutan tropis. Tidak ada keraguan bahwa manusia sekarang telah merusak hutan dan menghancurkan keanekaragaman menuju tingkat kepunahan. Pertanyaan penting yang sekarang harus dijawab adalah seberapa buruk kerugian atau punahnya keanekaragaman hayati yang dapat memengaruhi fungsi ekosistem. Meskipun upaya riset telah melaporkan banyaknya temuan yang bermanfaat, namun manfaat ini sangat kecil dibandingkan dengan keberadaan tingkat kelimpahan biodiversity, urgensi dan pentingnya masing-masing spesies berinteraksi, misal: simbosis antara fungi mikoriza dan pohon-pohon yang tumbuh alami

di mana menghasilkan hubungan yang saling menguntungkan dalam menjaga keutuhan ekosistem hutan tropis. Kepunahan mikroba hutan dapat memberikan dampak kerugiaan yang sangat besar karena proses deforestasi hutan tropis terjadi sangat cepat, dan sangat sulit untuk dipulihkan kembali dan memerlukan waktu yang sangat lama. Kepunahan keanekaragaman hayati berujung pada banyaknya malapetaka bagi umat manusia, misal: hilangnya vegetasi hutan menyebabkan erosi, hilangnya kesuburan tanah, bencana banjir dan longsor, serangan hama penyakit pada tanaman pertanian dan perkebunan, serta perubahan iklim global.

Hutan tropis Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa sebagai bioresources untuk pengembangan produk-produk biprospek berbasis mikroba (Sukara 2007). Keanekaragaman flora, fauna, dan mikroba hutan sangat tinggi, tetapi dari segi populasi sangat rentan mengalami kepunahan (Purvis dan Hector 2000). Mikroba hutan yang didominasi oleh fungi, bakteri, dan khamir (yeast) hidup berlimpah di semua jaring-jaring makanan di ekosistem hutan tropis. Selama ini para peneliti memahami bahwa mikroba hutan dan komunitas mikroba pada abad ke-19 dan ke-20 mengalami adaptasi diberbagai metode dan aspek riset, awalnya mempelajari mikroba patogenik dan mikroba tanah. Melalui penerapan teknik biakan murni, uji mikroskopis, kimia dan biokimia memungkinkan peneliti untuk mengklasifikasikan dan menghitung berbagai populasi (bakteri, fungi, ragi, protozoa, dan virus) dan proses biologis yang terjadi (Gambar 1) (Amador 2012).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 5

Page 23: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Keanekaragaman jenis-jenis pohon hutan dianggap sebagai pusat pembentukan sinergisme dengan komunitas mikroba hutan, karena keragaman senyawa kimia organik yang terkandung dalam serasah-serasah dapat menentukan luasnya heterogenitas dan dimanfaatkan oleh komunitas dekomposer maupun patogen. Hutan hujan tropis dataran rendah memiliki keanekaragaman jenis pohon hutan tertinggi, dan berinteraksi dengan keanekaragaman mikroba hutan yang bertanggungjawab sebagai agen dekomposer di lantai hutan. Artinya, faktor-faktor pembentukan dan berkembangnya populasi mikroba di hutan tropis memiliki nilai yang tinggi untuk memprediksi perubahan iklim yang berbasis pada penghitungan emisi karbon dan nitrogen (McGuire et al. 2011). Simbiosis mikroba hutan diprediksi terjadi antara vegetasi hutan. Penyebaran mikroba muncul karena vegetasi hutan dapat tumbuh pada kondisi tanah dengan fosfor (P) terbatas, termasuk jumlah dan komposisi senyawa karbon (C) organik yang tersedia, pH tanah dan ketersediaan unsur hara tanah di lantai hutan yang berbeda-beda (Barberan et al. 2015).

Sumber: Puris dan Hector (2000)

Gambar 1. Kelompok mikroba hutan seperti fungi, bakteri, virus merupakan komponen biodiversity yang memberikan kontribusi penting dalam ekosistem hutan tropis

Mikroba hutan merupakan anggota dan komponen integral ekosistem, namun aktivitas mikroba hutan kurang dikenal dan

mendapat sedikit pengakuan dari pemegang kebi jakan pembangunan kehutanan. Implementasi strategi pengelolaan hutan yang lestari menempatkan mikroba hutan sebagai komponen pelengkap saja (Bender et al. 2016; Barberan et al. 2015). Dalam buku ini disajikan sintesis potensi mikroba hutan untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi ekosistem hutan tropis serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat yang ramah lingkungan. Buku ini memberikan perspektif pendekatan yang menjanjikan untuk meningkatan keberlanjutan pengelolaan hutan melalui peningkatan fungsi keanekaragaman hayati dengan mengetahui komposisi populasi mikroba hutan yang menjadi prioritas. Dalam buku ini juga disajikan tentang kajian teknik mikrobiologi hutan sebagai dasar Iptek untuk menghasilkan sistem pemanfaatan hutan yang lestari, yang dapat mendukung kebutuhan manusia secara langsung, dan mengurangi dampak lingkungan berupa kerusakan hutan.

B. Bioprospek Mikroba HutanMikroba hutan merupakan aset nasional

yang penting yang harus terjaga dan termanfaatkan. Peruntukan dan manfaat mikroba hutan ke depan diarahkan untuk membantu proses restorasi hutan tropis, meremediasi, memulihkan dan merekonstruksi kembali fungsi-fungsi hutan, menyediakan alternatif energi, menyediakan obat-obatan untuk kesehatan manusia, dan alternatif jenis-jenis pangan dari hutan. Keanekaragaman mikroba hutan yang tinggi membuat peneliti harus menyusun peta jalan dan program riset jangka panjang, mulai dari menseleksi mikroba unggul secara konsisten dan ketat karena tidak semua mikroba mempunyai kinerja yang tinggi dalam mendukung industri bioprospek. Memanfaatkan mikroba hutan yang spesifik dan telah diseleksi sebagai bioprospek unggulan dapat dilakukan dengan sangat efektif, efisien,

6 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 24: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

fleksibel, menjadi katalisator yang produktif, dan memiliki potensi sebagai proses dasar dari sektor ekonomi yang dinamis (Sukara 2012). Peningkatkan benefit secara maksimal dari industri berbasis mikroba sangat terbuka luas, membuktikan disiplin ilmu mikrobiologi hutan memiliki kontribusi dalam membangun bio-ekonomi.

Situasi ekonomi dunia yang memasuki milenium ketiga didominasi oleh Knowledge Based Bio-Economy (KBBE) bukan Resource Based Economy sebagaimana dibuktikan oleh negara-negara maju yang memiliki terbatas bioresources. Mereka sangat mengandalkan kegiatan riset yang inovatif untuk memenangkan persaingan dan penyerapan pasar global. Bagi Indonesia, pengembangan KBBE merupakan suatu tantangan, dan membutuhkan dukungan banyak pihak yang secara konsisten dan berkelanjutan mulai dari pemerintah, politisi, perguruan tinggi, lembaga riset, industri dan masyarakat secara umum. Khusus untuk industri nasional, tidak terkecuali industri yang memerlukan bahan baku dari sumber daya alam, investasi di bidang Iptek dan riset kemitraan yang terintegrasi dengan berbagai institute riset menjadi sangat penting dalam rangka peningkatkan produksi dan daya saing. Diperlukan riset 10–20 tahun dengan biaya investasi riset yang cukup besar untuk menghasilkan komersialisasi produk bahan obat-obatan berbasis mikroba hutan tropis, apabila Indonesia ingin berperan serta dalam kancah produk-produk bioprospek yang bio-ekonomi.

Berkaitan dengan daya saing bangsa, World Competitiveness Centre mengumumkan posisi indeks saing global Indonesia di tahun 2017 berada pada posisi 18 dari 63 negara. Kondisi ini semakin membaik jika dibandingkan pada tahun 2014/2015, Indonesia masih menempati posisi 34 dari 144, di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, masing-masing pada posisi 2, 20 dan

31. Jika ditilik dari faktor-faktor penentu indeks daya saing global yang meliputi persyaratan-persyaratan dasar, penguatan efisiensi (efficiency enhancers), faktor-faktor inovasi dan kecanggihan bisnis maka dukungan Iptek secara langsung dilakukan untuk meningkatkan daya saing pada pencapaian kesiapan teknologi (technology readiness) dengan memperhatikan faktor penentu tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa intervensi Iptek sangat menentukan daya saing, namun demikian pembenahan tata kelola pemerintahan, stabilitas makroekonomi, penyediaan infrastruktur, efisiensi dalam bidang pasar bahan baku, tenaga kerja, finansial, pendidikan, dan pelatihan serta intervensi pasar juga dapat meningkatkan daya saing global.

Kekayaaan mikroba hutan tropis Indonesia merupakan keunggulan komparatif bangsa dan dapat ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif sepanjang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan membenahi infrastruktur, efisiensi dan riset inovatif. Beberapa pakar berpendapat bahwa kekayaan bioresources hutan tropis Indonesia mempunyai nilai kompetitif tinggi yang tidak dimiliki bangsa lain, dan menjadi pengerak roda pembangunan bangsa (Sukara 2007). Oleh sebab itu, banyak negara maju yang tidak memiliki kekayaan saling berebut dengan segala cara, bahkan dengan cara illegal (biopiracy), berupaya mendapatkan bioresources mikroba hutan tropis untuk menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi.

Bioprospek mikroba dalam merestorasi hutan tropis lebih membahas ke arah topik khusus, misal: bagaimana kelompok fungi ektomikoriza berperan membantu kegiatan regenerasi pohon pada kelompok keluarga dipterokarpa (Brearley 2011; Turjaman et al. 2006; Turjaman et al. 2005). Di level Asia Tenggara riset aplikasi fungi ektomikoriza pada jenis dipterorkarpa pertama kali dilakukan oleh Dr. Lee Sue See dkk, bekerja sama dengan peneliti dari Inggris dan Prancis. Di Thailand,

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 7

Page 25: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sangwanit dkk melakukan riset aplikasi fungi ektomikoriza pada beberapa jenis dari keluarga dipterokarpa, demikian pula Prof. Reynaldo de la Cruz dan tim melakukan riset ektomikoriza di Filipina (Lee 1998). Riset ektomikoriza di Indonesia cukup banyak dilakukan oleh peneliti dari IPB, UGM, dan BLI dengan melakukan riset aplikasi ektomikoriza melalui uji coba inokulasi ektomikoriza pada jenis-jenis dipterokarpa di tingkat semai maupun lapang.

Biorestorasi fungi ektomikoriza merupakan input Iptek yang penting untuk melakukan kegiatan restorasi pada kelompok hutan dipterokarpa di hutan hujan tropis Indonesia. Dari hasil riset tiga dekade yang lalu, disimpulkan bahwa keluarga dipterokarpa memiliki status ketergantungan yang tinggi terhadap fungi ektomikoriza pada sistem perakarannya. Artinya tanpa kehadiran fungi ektomikoriza, pertumbuhan pohon dipterokarpa mengalami pertumbuhan yang terhambat (stagnan) bahkan kematian (Brearley 2011; Lee 1998). Simbiosis mutualisme ini turut berkontribusi dalam proses penyebaran inokulan ektomikoriza secara alami dari pohon induk dipterokarpa dengan mengkolonisasi ektomikoriza pada semai-semai dipterokarpa yang tumbuh di sekitar pohon induknya (Lee dan Alexander 1996; Lee dan Alexander 1994). Kegiatan restorasi hutan dipterokarpa merupakan keniscayaan yang harus segera dilakukan di hutan hujan tropis (tanah mineral), rawa gambut, dan kerangas yang terdegradasi (Moyersoen et al. 2001). Proses restorasi untuk mengembalikan fungsi hutan dipterokarpa seperti semula merupakan kegiatan jangka panjang dan memerlukan investasi tinggi. Kekuatan mikroba mutualisme akan membantu proses pemulihan pada lahan-lahan terdegradasi terutama lahan pascatambang, dan telah banyak diaplikasi di hutan beriklim sedang seperti di Amerika, Eropa, dan Australia. Kondisi lahan ekstrem tanpa lapisan subur (Overburden), tidak

memungkinkan vegetasi dapat tumbuh di areal tersebut, introduksi fungi mikoriza menjadi pilihan utama dalam mensukseskan dan meningkatkan daya hidup (survival rate) tanaman pada areal pascatambang (Turjaman et al. 2009).

Potensi makro fungi liar di lantai hutan tropis belum disentuh dan dimanfaatkan oleh manusia untuk kepentingan alternatif pangan (Arko et al. 2017; Semwal et al. 2014). Di Indonesia ada beberapa jenis makro fungi yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dan termasuk kelompok fungi ektomikoriza, yaitu makro fungi pelawan yang bersimbiosis dengan jenis pohon pelawan (Tristaniopsis spp.) yang tumbuh di Provinsi Bangka Belitung. Ada makro fungi Morchella spp. yang tumbuh di lantai hutan gunung Rinjani pada ketinggian 1500 m dpl (Gambar 2) dengan status sebagai fungi saprofit. Makro fungi liar yang dapat dikonsumsi ini memiliki cita rasa yang unik dan khas, bahkan beberapa di antaranya mirip seperti cita rasa daging sapi. Kandungan nutrisi pada makro fungi ini juga dapat disandingkan dengan daging sapi, telur, keju ataupun lemak yang dijadikan trend kuliner, gaya hidup modern masa kini. Makro fungi yang dapat dikonsumsi sangat layak untuk dikembangkan karena selain dapat dikonsumsi sebagai sumber pangan alternatif juga sebagai sumber obat herbal. Pengembangan edible mushroom ini dapat dipertimbangkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan. Ketahanan pangan bagi rakyat dilakukan dengan memberikan hak bagi rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya hutan tropis setempat. Potensi jenis makro fungi dan limbah biomassa lokal sebagai sumber daya yang melimpah di hutan tropis sehingga budidaya makro fungi merupakan bioprospek yang mendukung ketahanan pangan nasional. Pemanfaatan limbah biomassa sebagai media budidaya makro

8 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 26: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

fungi diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan dari limbah-limbah hutan, sekaligus menghasilkan strategi ekonomi, memanfaatkan limbah biomassa menjadi sesuatu yang berguna, bahkan dapat mendukung ketersediaan sumber pangan bergizi.

Potensi fungi endofitik pada pohon penghasil gaharu mempunyai kemampuan membentuk gaharu secara biologis (Turjaman et al. 2016). Fungi endofitik yang turut membentuk gaharu secara alami, hidup secara alami pada bagian pohon dari keluarga Thymelaeaceae, terutama dari genera Aquilaria dan Gyrinops. Diperkirakan ada sekitar 15 jenis Aquilaria dan 12 jenis Gyrinops yang tumbuh secara alami di kawasan Asia Tenggara. Produk gaharu apabila dibakar akan mengeluarkan aroma khas dan berkhasiat sebagai bahan obat-obatan, disebabkan oleh

deposit metabolik sekunder dari kelompok senyawa Sesquiterpene (Faizal et al. 2017). Keberadaan sesquiterpene dalam kuantitas yang tinggi menunjukkan kualitas gaharu yang tinggi (Azarina et al. 2016). Inokulasi buatan dengan menggunakan fungi endofitik merupakan katalisasi proses pembentukan gaharu secara alami dengan cara membuat banyak pelukaan dan memasukan inokulan pembentuk gaharu. Dengan ditemukannya teknik inokulasi pembentukan gaharu maka akan membantu mengatasi ketersediaan gaharu alam yang semakin menurun. Melalui teknologi inokulasi fungi endofitik pembentuk gaharu, saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu berkembang pesat (Gambar 3). Pengaruh negatif dari adanya teknologi inokulasi adalah banyak sekali bahan inokulan palsu yang dibuat tanpa melalui kajian riset laboratorium. Mereka melakukan inokulasi dengan bahan kimia asam yang menyebabkan pohon dapat berwarna hitam, tapi tidak menghasilkan aroma wangi gaharu (Turjaman et al. 2016).

Potensi fungi endofitik pada akar tanaman hutan juga menjadi riset yang menarik Karena fungi ini mempunyai manfaat yang baik bagi pertumbuhan tanaman hutan (Hakim et al. 2015). Fungi endofitik ini masuk kategori fungi yang hidup bebas di sekitar di rhizosfer (free-living fungi). Dari berbagai hasil riset tentang fungi endofitik ini menunjukkan bahwa keanekaragaman dan manfaat fungi endofit ini sangat berlimpah. Namun riset ini belum banyak dilakukan di hutan tropis Indonesia. Dari sisi keanekaragaman hayati, tak diragukan lagi bahwa kekayaan fungi hutan tropis Indonesia sangat berlimpah dan bernilai sangat tinggi dalam konteks keanekaragaman global. Fungi endofit mempunyai peranan dalam rantai makanan di ekosistem hutan tropis karena keberadaannya bisa menentukan adanya keharmonisan pada sistem perakaran tanaman termasuk kemampuan pertumbuhan pohon di hutan, resistensi terhadap hama dan penyakit,

Sumber: Turjaman M; Hidayat, A (Koleksi pribadi)

Gambar 2. Dua jenis makro fungi liar yang dapat dimakan (edible mushroom) yaitu makro fungi pelawan yang bersimbiosis dengan jenis-jenis pohon Tristaniopis spp. di pulau Bangka-Belitung (foto atas) dan makro fungi Morchella spp. tumbuh alami di gunung Rinjani (Lombok, NTB) pada ketinggian di atas 1500 m dpl (foto bawah)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 9

Page 27: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

serta toleransi terhadap cekaman lingkungan. Selain itu, fungi endofit juga harus ditangani dengan serius terkait kemampuan produksi metabolit sekundernya yang dimungkinkan suatu saat nanti dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan. Dalam program riset dan implementasinya, riset tentang fungi endofit memerlukan kehati-hatian karena kemungkinan adanya senyawa mikotoksik, atau berdampak negatif yang berpotensi membahayakan lingkungan.

Sumber: Turjaman M (Koleksi pribadi)

Gambar 3. Produk gaharu hasil inokulasi fungi endofitik pada jenis Aquilaria malaccensis

Selama ini Iptek tentang fungi endofit masih sangat terbatas yang berkaitan dengan stimulasi pertumbuhan tanaman hutan, apalagi menyangkut pemanfaatannya untuk kepentingan kesehatan. Salah satu manfaat fungi endofit adalah fungi ini dapat memproduksi senyawa metabolik sekunder. Fungi endofit dapat menghasilkan Taxol yang berasosiasi dengan jenis pohon Taxus spp. Seperti diketahui Taxol merupakan kelas senyawa aktif pertama yang memiliki peran sebagai agen penstabil mikrotubula (microtubule-stabilizing-agent), dan Taxol sebagai salah satu

senyawa yang direkomendasikan oleh Food and Drug Administrastion (FDA) Amerika untuk digunakan secara klinis dalam penyembuhan kanker payudara, ovarium, prostat dan non-small-cell lung carcinoma (Onrubia et al. 2013). Topik riset ini memberikan bioprospek yang menjanjikan dari perspektif disiplin ilmu biologi molekuler, biokimia, farmasi, dan ekologi hutan. Keuntungan pemanfaatan fungi endofit ini adalah potensinya sangat baik untuk aplikasi produksi massal Taxol di masa datang. Produksi Taxol dengan pemanfaatan teknologi fermentasi ini akan menekan laju eksploitasi berlebihan terhadap tegakan Taxus di hutan alam, yang selama ini menjadi satu-satunya bahan baku produksi Taxol. Secara bersamaan, teknologi seperti ini juga meningkatkan kebutuhan Taxol di pasar sehingga menjamin ketersediaan obat anti kanker secara lebih memadai untuk para pasien penderita kanker. Sejarah industri farmasi telah mencatat bahwa teknologi fermentasi berbasis fungi endofit sangat memegang peran penting dalam memproduksi massal obat-obatan. Hal ini menjadi suatu tantangan baru bagi peneliti dan industri farmasi untuk bekerja sama menemukan metode yang paling efektif dalam memproduksi bahan aktif Taxol yang berbasis fungi endofit. Bioteknologi melalui fermentasi fungi endofit sangat sederhana jika dibandingkan dengan kultur sel tanaman. Fermentasi fungi endofit untuk produksi Taxol juga dapat menghasilkan beberapa penemuan produk baru berupa bahan aktif lain yang memberi nilai tambah dan manfaat untuk kesehatan lainnya (Gambar 4).

Mikroba hutan tropis juga berpotensi berperan dalam kegiatan bioremediasi. Pemanfaatan mikroba lokal dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi lahan yang tercemar akibat aktivitas pertambangan. Saat ini banyak kawasan hutan di Indonesia telah dikonversi sebagai areal konsesi pertambangan, misal: melalui perjanjian pinjam pakai kawasan hutan. Kerusakan hutan akibat pembukaan tambang

10 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 28: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

secara terbuka (open mining), tentunya dapat berakibat terjadinya pencemaran lingkungan air, udara, dan tanah. Pengertian Bioremediasi didefinisikan sebagai respons biologis terhadap lingkungan yang telah tercemar. Lebih lanjut Hammer (1993) mengartikan bioremediasi merupakan aktivitas pemanfaatan mikroba hutan yang efektif dalam rangka mengurai pencemar di lingkungan dirubah bentuk menjadi pencemar yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya. Menurut Watanabe (2001), mempunyai definisi bioremediasi yang agak sedikit berbeda, bioremediasi adalah pemanfaatan potensi metabolik organisme dan enzim yang diproduksinya untuk mengurai bahan tercemar berbahaya. Definisi versi lain menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 tahun 2003, Bioremediasi sebagai proses pengolahan limbah minyak bumi yang

sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan mikroba, tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar.

Pokok bahasan lain dalam buku ini adalah tentang masalah limbah plastik yang terjadi di Indonesia. Diperlukan solusi yang tepat untuk mengurangi pencemaran plastik di darat dan laut, yaitu tentang kemajuan Iptek Bio-plastik. Bio-plastik merupakan plastik yang sebagian dan atau seluruhnya terbuat dari bahan terbarukan. Istilah Bio-plastik yang biodegradable adalah plastik yang memiliki karakteristik untuk bisa terdegradasi secara biologis, dan akan terurai sempurna menjadi CO2 dan H2O (Hidayat dan Tachibana 2012). Sifat degradasi bio-plastik sangat berkaitan erat dengan kelarutan molekul penyusun plastik tersebut dalam air sehingga

Sumber: http://ibsd.gov.in/dr-l-shantikumar-singh/

Gambar 4. Bioprospek mikroba untuk berbagai fungsi pemanfaatanya untuk kehidupan sehari-hari, kesehatan manusia, dan kesejahteraan masyarakat

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 11

Page 29: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

mikroba yang mampu mendegradasi plastik dapat memanfaatkannya sebagai sumber karbon dan energi. Selama ini produk bio-plastik belum tentu dapat terurai sempurna secara alami dan hanya produk bio-plastik yang dapat terurai dengan sempurna dan cepat, akan sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai material pengganti plastik konvensional di masa yang akan datang.

C. Konservasi Mikroba HutanSelama ini flora dan fauna di hutan tropis

Indonesia adalah wujud yang dapat dilihat, dihasilkan langsung dan menjadi topik utama karena berkaitan dengan nilai tangible serta komersial sebagai penghasil devisa negara. Sementara ini, bioresources mikroba hutan tropis Indonesia belum masuk komoditas hutan yang ditulis dalam perundang-undangan konservasi yang berlaku di Indonesia. Padahal kekayaan sumber daya alam mikroba hutan tropis mempunyai keunggulan komparatif bangsa dan dapat ditingkatkan menjadi keunggulan kompetitif sepanjang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan membenahi infrastruktur, efisiensi, dan inovasi riset yang berkaitan dengan mikroba hutan. Banyak peneliti asing mengajak bekerja sama riset khusus pengembangan bioprospeksi mikroba, namun mereka cenderung lebih ingin menguasai koleksi mikroba hutan tropis Indonesia tanpa adanya berbagi keuntungan kepada bangsa Indonesia sebagai pemilik aset mikroba hutan.

Indonesia secara resmi telah meratifikasi Protokol Nagoya pada tanggal 24 September 2013 yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2013 (Yulia dan Zainol 2013). Manfaat bagi Indonesia yang telah menyetujui Protokol Nagoya adalah: (1) menegaskan penguasaan negara atas bioresources dan kedaulatan negara atas

pengaturan akses terhadap Sumber Daya Genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD RI 1945; (2) mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati: (3) menjamin pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan SDG pemilik atau penyedia SDG; dan (4) menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Sejak tahun 2014, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi (BLI) telah mempersiapkan pusat koleksi khusus mikroba hutan tropis (Indonesia Tropical Forest Culture Collection-INTROF CC) dengan tujuan untuk mengelola koleksi mikroba hutan, dengan sistem penyimpanan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya dapat dilakukan oleh para peneliti internal mikrobiologi hutan, maupun pihak eksternal dapat bekerja sama melakukan riset bioprospek (Gambar 5). Sebelum INTROF CC berdiri, peneliti mikrobiologi hutan BLI telah memanfaatkan fungi mikoriza untuk kegiatan riset rehabilitasi maupun restorasi hutan dengan memformulasikan fungi mikoriza sebagai pupuk hayati yang praktis dalam kegiatan revegetasi di lahan pascatambang dan lahan rawa gambut yang terdegradasi (Turjaman et al. 2009; Tawaraya et al. 2003). Ke depan INTROF CC harus mempunyai aturan yang jelas dalam bekerja sama peneliti asing sesuai aturan Protokol Nagoya. Aturan dasar yang harus ada adalah Perjanjian Kerja sama (Memorandum of Agreement) dan Persetujuan Pengalihan Material (Material Transfer Agreement) yang telah disetujui kedua belah pihak. Apabila dalam kerja sama memiliki tujuan komersialisasi mikroba maka harus ada

12 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 30: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

pembagian keuntungan (Benefit Sharing) yang disepakati oleh para pihak.

Lebih lanjut kehadiran INTROF CC dapat memberikan kesempatan kepada para peneliti maupun para mahasiswa S1/S2/S3 untuk melakukan riset bioprospek yang berkaitan dengan sumber energi, alternatif pangan, obat-obatan, bioremediasi, dan lain sebagainya. Mikroba hutan mempunyai keunggulan seperti dapat tumbuh cepat apabila difermentasi, massa mikroba minimal mengandung 40% protein, memiliki kandungan vitamin dan mineral yang tinggi (Bourdichon et al. 2012). Proses fermentasi merupakan perubahan enzimatik secara anaerob dari suatu senyawa organik dan menjadi produk organik yang lebih sederhana, seperti proses pembuatan tape, tempe, oncom, kecap, yoghurt, keju, roti, minuman beralkohol, dan lain-lain (Kustyawati 2009; Melliawati et al. 2006). Beberapa abad yang lalu, dunia kesehatan Indonesia telah mengenal temuan Louis Pasteur, melakukan pasteurisasi untuk sterilisasi bakteri yang menyebabkan kemasaman susu, kerusakan berbagai makanan, dan menemukan vaksin rabies. Atas jasa-jasanya, nama Pasteur diabadikan di kota Bandung. Tidak dapat dipungkiri pemanfaatan mikroba dapat membantu berbagai permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, perbaikan lingkungan dan sekaligus dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi melalui industri berbasis mikroba. Dalam waktu mendatang, temuan dan inovasi pemanfaatan mikroba ini akan terus bekembang, banyaknya publikasi di jurnal internasional, perolehan hak paten yang pada akhirnya teknologi mikroba dapat sebagai katalisator dalam memproduksi produk bioprospek skala massal melalui pembangunan industri yang efisien dan kompetitif.

Sumber: Turjaman M (Koleksi pribadi)

Gambar 5. Koleksi fungi ektomikoriza yang disimpan di pusat koleksi mikroba INTROF-CC, Badan Litbang dan Inovasi

Konservasi mikroba hutan secara ex-situ dalam pengelolaan dan jejaring INTROF CC dinilai mempunyai peran strategis dalam rangka membangun kelembagaan riset dengan tujuan untuk memanfaatkan biodiversitas mikroba hutan yang lebih mantap dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Kelembagaan yang dibangun dalam bentuk laboratorium pusat koleksi mikroba adalah sangat tepat untuk mencurahkan seluruh kreativitas dan inovasi para peneliti untuk menghasilkan Iptek bioprospek mikroba hutan melalui riset peta jalan yang jelas sehingga hasilnya dapat ditransformasikan kepada pertumbuhan sektor industri berbasis mikroba hutan yang menguntungkan dan kompetitif.

D. Kebijakan yang Mendukung Riset Mikroba Hutan Tropis di Tingkat Nasional

Pemanfaatan mikroba hutan tanpa ada dukungan penelitian, pengembangan, dan inovasi tidak akan dapat berkontribusi pada berbagai sektor pembangunan yang memerlukan proses “bio-stimulasi mikroba” seperti dibidang energi, kesehatan, alternatif pangan, usaha restorasi hutan, dan lingkungan. Strategi dan peta jalan penelitian serta pengembangan mikroba hutan perlu dirancang dan diimplementasikan melalui tata kelola yang

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 13

Page 31: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

jelas dan dukungan fasilitas, SDM, serta investasi biaya yang memadai. Kebijakan pemerintah dan program pembangunan berbasis riset harus didukung dan mendapat persetujuan secara politik secara berkelanjutan, siapapun pimpinan pemerintah RI/Kementerian/DPR RI, dan riset prioritas nasional harus menjadi pedoman jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk itu perlu disusun payung hukum melalui Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pemanfaatan mikroba hutan yang didasarkan pada ratifikasi Protokol Nagoya, misalnya perlu disusun Undang Undang tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Mikroorganisme di Indonesia.

Akhirnya, potensi kekuatan mikroba hutan tropis merupakan aset bangsa Indonesia yang sangat berharga, harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, dan harus dipelihara dan dilindungi melalui penguasaan Iptek tentang bioprospek mikroba. Indonesia yang telah ikut meratifikasi protokol Nagoya, semoga aturan “benefit sharing” dapat diberlakukan secara adil bagi pemilik bioresources mikroba hutan, seandainya pihak negara industri maju ingin bekerja sama memanfaatkan bioprospek mikroba hutan untuk kepentingan umat di planet bumi ini.

PustakaArko PF, Marzuki BM, & Kusmoro J. (2017). The

inventory of edible mushroom in Kamojang Nature reserve and Nature Park, West Java, Indonesia. Biodiversitas. 18(2): 530–540.

Barberan A, McGuire KL, Wolf JA, Jones, FA, Wright SJ, Turner BL, Essene A, Hubbel SP, Faicloth BC, & Flerer N. (2015). Relating belowground microbial composition to the taxonomic, phylogenetic, and functional trait distribution of trees in a tropical forest. Ecology Letter. 18: 1397–1405.

Bender SF, Wagg C, & van der Heijden MGA. (2016). An underground revolution: biodiversity and soil ecological engineering for agricultural sustainability. Trend in Ecology & Evolution. 31: 440–452.

Brearley FQ. (2011). The importance of ectomycorrhizas for the growth of dipterocarps and the efficacy of ectomycorrhizal inoculation schemes. In Rai M, Varma A. (Eds.) Diversity and Biotechnology of Ectomycorrhizae, Soil Biology 25, p:3–17. Springer-Verlag, Berlin.

Bourdichon F, Casaregola S, Farrokh C, Frisvad JC, Gerd ML, Hammes WP, Harnet J, Huys G, Laulund S, Ouwehand A, Powell IB, Prajapati JB, Seto Y, Schure ET, van Boven A, Vanckerckhoven V, Zgoda A, Tuijtelaars S, & Hansen EB. (2012). Food fermentation: Microorganisms with technological beneficial use. International Journal of Food Microbiology. 154(3): 87–97.

Dalling JW, Heineman K, Lopez OR, Wtight SJ, & Turner BL. (2016). Nutrient availability in tropical rain forests: the paradigm of phosphorus limitation. In Goldstein G, Santiago LS. (Eds.) Tropical Tree Physiology, Tree Physiology, 6, DOI 10.1007/978-3-319-27422-5_12.

Faizal A, Esyanti RR, Aulinisa EN, Irawati, Santoso E, & Turjaman M. (2017). Formation of agarwood from Aquilaria malaccensis in response to inoculation of local strains of Fusarium solani. Tree. 31: 189–197.

Hakim SS, Budi SW, & Turjaman M. (2015). Phosphate solubilizing and antifungal activity of root endophyte isolated from Shorea leprosula Miq. And Shorea selanica (DC) Blume. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21: 138–146.

14 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 32: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Hamer G. (1993) . Bioremediation: a response to gross environmental abuse. Trends in Biotechnology. 11(8): 317–319.

Hidayat A, & Tachibana S. (2014). Decolorization of azo dyes and mineralization of phenanthrene by Trametes sp. RT10 isolated from Indonesian mangrove forest. Indonesian Journal of Forestry Research. 1: 67–75.

Kustyawati ME. (2009). Kajian peran yeast dalam pembuatan tempe. Agritech. 29(2): 64–70.

Lee SS. (1998). Root symbiosis and nutrition. In Appanah S, Turnbull JM. (Eds.) A review dipterocarps: taxonomy, ecology and silviculture. p.: 99–114. Center for International Forestry research, Bogor, Indonesia.

Lee SS, & Alexander IJ. (1994). The response of seedling of two dipterocarp species to nutrient addition and ectomycorrhizal infection. Plant Soil. 163: 299–306.

Lee SS, & Alexander IJ. (1996). The dynamics of ectomycorrhizal infection of Shorea leprosula seedlings in Malaysian rain forests. New Phytol. 132: 297–305.

McGuire KL, Fierer N, Batemen C, Treseder KL, & Turner BL. (2011). Fungal community composition in neotropical rain forests: the influences on tree diversity and precipitation. Microbial Ecology. 63: 804–812.

Melliawati R, Rohmatussolihat, & Octavina F. (2006). Seleksi mikroorganisme potensial untuk fermentasi pati sagu. Biodiversitas. 7(2): 101–104.

Moyersoen B, Becker P, & Alexander IJ. (2001). Are ectomycorrhizas more abundant than arbuscular mycorrhizas in tropical heath forests? New Phytologist. 150: 591–599.

Onrubia M, Cusido RM, Ramirez K, Hernandez-Vazquez L, Moyano E, Bonfill M, & Palazon J. (2013). Bioprocessing of plant in vitro systems for the mass production of pharmaceutically important metabolites: Paclitaxel and its deratives. Current Medicinal Chemistry. 20: 880–891.

Purvis A, & Hector A. (2000). Getting the measure of biodiversity. Nature. 405: 212–219.

Semwal KC, Stephenson SL, Bhatt VK, & Bhatt RP. (2014). Edible mushrooms of the Northwestern Himalaya, India: a study of indigenous knowledge, distribution and diversity. Mycosphere. 5(3): 440–461.

Sukara E. (2007). Present status and challenges on agricultural microbe bio-prospecting in Indonesia. Annales Bogoriensis n.s. 11(1): 31–39.

Tawaraya K, Takaya Y, Turjaman M, Tuah SJ, Limin SH, Tamaim Y, Cha JY, Wagatsuma T, & Osaki M. (2003). Arbuscular mycorrhizal colonization of tree species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management. 182: 381–386.

Turjaman M, Hidayat A, & Santoso E. (2016). Development of agarwood induction technology using endophytic fungi. In Mohamed R. (Eds.) Agarwood: Science Behinf the Fragrance (Tropical Forestry). p: 57–70. Singapore, Springer.

Turjaman M, Santoso E, Susanto A, Gaman S, Limin SH, Tamai Y, Osaki M, & Tawaraya K. (2011). Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forests. Wetlands Ecology and Management. 19: 331–339.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 15

Page 33: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Turjaman M, Santoso E, Sitepu IR, Tawaraya K, Purnomo E, Tambunan R, & Osaki M. (2009). Mycorrhizal fungi increased early growth of tropical trees seedlings in adverse soil. Indonesia Journal of Forestry Research. 6(1): 17–25.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, & Tawaraya K. (2006). Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. Journal of Tropical Forest Science. 18(4): 166–172.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, & Tawaraya K. (2005). Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. Improve the early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forests. 30: 67–73.

Watanaebe K. (2001). Microorganisms relevant to bioremediation. Current Opinion in Biotechnology. 12: 237–241.

Winder RS, & Shamoun SF. (2006). Forest pathogens: friend or foe to biodiversity. Canadian Journal of Plant Pathology. 28: S221–S227.

Vibha B, & Neelam G. (2012). Importance of exploration of microbial diversity. ISCA Journal of Biological Sciences. 1(3): 78–83.

Yulia, & Zainol YA. (2013). Melindungi keanekaragaman hayati dalam rangka protocol Nagoya. Mimbar Hukum. 25(2): 271–283.

16 • POTENSI KEKUATAN MIKROBA HUTAN TROPIS

Page 34: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 3 APLIKASI UNTUK BIO-INDUKSI

Usaha budidaya pohon penghasil gaharu kelompok famili Thymelaeaceae sudah banyak

dilakukan semenjak tahun 2000-an. Produk gaharu yang bernilai ekonomi tinggi semakin

sulit diproduksi secara alami. Gaharu tidak akan terbentuk hanya dengan melakukan

usaha budidaya, melakukan penanaman pohon penghasil gaharu, karena proses pembentukkan

gaharu secara alami memerlukan proses yang lama. Melalui aplikasi mikroba, proses

pembentukan gaharu dapat dipercepat sehingga usaha budidaya menjadi solusi yang tepat

untuk mengatasi gaharu alam yang semakin terbatas melalui proses aman dan lestari.

Potensi mikroba yang diungkapkan meliputi proses pembentukan gaharu, keragaman jenis

mikroba dan perkembangan aplikasi bio-induksi di Indonesia.

Page 35: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 36: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Oleh:Ahmad Faizal dan Rizkita Rachmi Esyanti

A. PendahuluanGaharu merupakan komoditi hasil hutan

bukan kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa jenis tumbuhan yang berasal dari famili Thymelaeaceae yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Harga per kg kayu gaharu alam kualitas “double super” dapat mencapai US$ 20.000–30.000 di tingkat pengumpul kabupaten/provinsi dan harga dapat mencapai kisaran US$ 60.000–100.000 apabila produk ini sampai konsumen di Timur Tengah dan Daratan Tiongkok. Selain produksi resin, ada produk turunan gaharu juga telah berkembang sejak lama yaitu produksi minyak gaharu yang berasal dari gaharu kelas “abuk” dalam skala bioreaktor yang sangat menguntungkan. Harga 1 tolak minyak gaharu kualitas terendah mencapai US$ 20–200 dengan kisaran volume 12 mL. Diversifikasi produk gaharu meliputi gubal, minyak, parfum, dupa/hio, makmul, tasbih, sabun, bubuk (aromaterapi), obat nyamuk, teh, dan dekoratif (Susmianto et al. 2014).

Saat ini, produk gaharu juga mulai dikembangkan untuk digunakan dalam bidang kesehatan, antara lain sebagai obat-obatan analgesik dan anti radang, serta potensial untuk dikembangkan sebagai obat dalam mengatasi demam, sakit ginjal, rematik, batuk/asma, pencernaan, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, antioksidan (Turjaman 2014). Di beberapa negara seperti Cina, Eropa, dan India, gaharu digunakan sebagai obat sakit perut, obat impotensi, penghilang rasa sakit,

kanker, diare, tersedak, ginjal, tumor paru-paru, tumor usus, dan sebagainya. Selain itu, di Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat, gaharu sudah dikembangkan sebagai obat penghilang stres, gangguan ginjal, sakit perut, pembengkakan liver (akibat hepatitis maupun sirosis) dan limfa. Kegunaan gaharu yang berasal dari genus Aquilaria dalam bidang farmasi antara lain sebagai bahan baku obat yang mengandung senyawa antikanker (Hashim et al. 2014), antidepresan (Yang et al. 2013), dan antimikroba (Chen et al. 2011). Selain itu, gaharu telah teruji dapat mengobati beberapa penyakit seperti sirosis, tumor lambung, sakit ginjal, dan sakit paru-paru serta menjadi senyawa antirematik, antikonvulsan, antiasmatik, karminatif diuretika, serta sebagai afrodisiak. Potensi penggunaan yang beragam tersebut disebabkan oleh banyaknya ragam kandungan senyawa metabolit yang dihasilkan pada proses respons pertahanan tanaman penghasil gaharu ketika mendapat cekaman fisik, kimia, maupun biologis.

Di beberapa negara, gaharu juga terkenal dengan sebutan lain seperti “Jinkoh” dan “Kyara” ( Jepang), “Oud/Oudh” (Arab), Eaglewood (Eropa, Papua Nugini), “Agar” (India), atau “Agarwood” di beberapa negara lainnya. Tidak semua spesies dari famili Thymelaeaceae dapat menghasilkan gaharu. Dari sekitar 48 genera yang teridentifikasi hanya ada beberapa genus yang sudah diketahui dapat menghasilkan gaharu di antaranya Aquilaria, Gyrinops, Aetoxylon, Gonystylus, Enkleia, Phaleria, dan Wikstroemia (Komar et al. 2014). Dari beberapa genus tumbuhan penghasil

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 19

Page 37: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

gaharu, Aquilaria merupakan genus yang paling banyak dibudidayakan dan dijadikan bahan penelitian untuk dapat meningkatkan produksi gaharu (Gambar 1).

Aquilaria merupakan genus yang banyak dijumpai di wilayah Asia seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, India, dan China. Gaharu dari genus Aquilaria umumnya menghasilkan senyawa sesquiterpenes (Tajuddin et al. 2016), senyawa turunan chromone, senyawa hidrokarbon, serta senyawa-senyawa aromatik lainnya (Naef 2011; Naf et al. 1995). Beberapa senyawa yang diketahui terkandung dalam gaharu yang berasal dari genus Aquilaria antara lain α- dan β-agarofuran, agarospirol, oxo-agarospirol, jinkoh-eremol, jinkohol II, guaiene, selina-diene dan eudesmol (Yoswathana 2013; Pasaribu et al. 2015). Beberapa spesies yang sering digunakan untuk produksi gaharu antara lain Aquilaria malaccensis, A. sinensis dan A. crassna.

Indonesia sebagai salah satu negara tropis di wilayah Asia Tenggara, memiliki jenis pohon penghasil gaharu terbanyak, dan delapan spesies gaharu paling terkenal di antaranya A. malaccensis, A. beccariana, A. cumingiana, A. filaria, A. hirta, A. microcarpa, Gonystylus hankenbergii, G. macrophyllus dan Gyrinops versteegii. Indonesia juga merupakan eksportir terbesar dari ke delapan negara eksportir lainnya untuk diekspor ke China, India, Jepang, Korea, dan Amerika (Rasool dan Mohamed 2016). A. malaccensis merupakan jenis yang paling banyak dimanfaatkan. Indonesia memiliki pohon penghasil gaharu yang sangat beragam dari berbagai genus dan memiliki karakteristik khas pada masing-masing daerah berbeda. Contohnya di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan didominasi oleh genus Aquilaria sementara untuk kawasan Indonesia timur seperti di pulau Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara memiliki potensi gaharu dari genus Gonystylus dan Gyrinops. Gaharu alam Kalimantan merupakan gaharu pertama yang

Sumber: Faizal, A. (Koleksi pribadi)

Gambar 1. Kebun budidaya pohon penghasil gaharu milik perhutani di Kebasen, Banyumas

20 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 38: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

populer di kalangan pasar internasional sejak berabad-abad lalu. Gaharu begitu diminati oleh masyarakat global karena manfaat dari kandungan metabolit sekunder yang ada dalam kayu dan daunnya, khususnya dalam bidang kesehatan. Oleh sebab itu, harganya menjadi sangat mahal dan terjadilah perburuan liar gaharu yang menyebabkan terancam punahnya gaharu di alam.

Sejak November tahun 1994, jenis pohon penghasil gaharu A. malaccensis dikategorikan dalam Appendix II CITES (the Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) (CITES 2004) dan pada tahun 1998 digolongkan sebagai spesies rentan (vulnerable) oleh IUCN (The International Union for the Conservation of Nature) (The IUCN Red List of Threatened Species 2015). Walaupun mengalami pembatasan dalam konservasi internasional (CITES dan IUCN), produk gaharu memiliki permintaan pasar yang terus meningkat.

Gaharu merupakan senyawa metabolit sekunder berupa resin yang terbentuk sebagai respons dari adanya pelukaan/kerusakan fisik maupun akumulasi dari bagian yang terinfeksi oleh infeksi mikroba. Gaharu tersebut berbentuk padat, berwarna cokelat hingga hitam gelap dan berbau harum, terdapat pada bagian kayu di batang atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang mendapat cekaman fisik, kimia dan biologis. Secara alami, gaharu dapat terbentuk karena pelukaan dan adanya mikroba endofit pada pohon penghasil gaharu. Mikroba endofit ini umumnya berupa fungi. Hingga kini berbagai jenis fungi yang terkait maupun tidak terkait dengan produksi gaharu telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada pohon-pohon penghasil gaharu. Setelah banyak diketahui penyebab terbentuknya gaharu maka teknik injeksi maupun induksi fungi telah berkembang pesat untuk merangsang sekresi resin pada tumbuhan Aquilaria spp. (Turjaman et al.

2016). Tulisan pada Bab ini bertujuan untuk mengulas perkembangan hasil-hasil riset dasar tentang proses pembentukan gaharu yang berkaitan dengan interaksi mikroba dengan pohon penghasil gaharu dari genus Aquilaria.

B. Sintesis Senyawa Metabolit sebagai Respons Pertahanan

Sintesis metabolit sekunder pada tumbuhan dapat bersifat konstitutif maupun induktif. Sintesis metabolit sekunder yang bersifat konstitutif umumnya merupakan bagian dari metabolit yang berperan dalam pertumbuhan maupun perkembangan. Namun, tumbuhan juga dapat menyintesis senyawa konstitutif yang berperan dalam ketahanan awal antara lain adalah fenol, lignin, lilin, suberin, dan lain-lain. Metabolit sekunder yang bersifat induktif umumnya disintesis tumbuhan sebagai fungsi pertahanan. Baik pertahanan terhadap cekaman fisik, kimia maupun biologis. Cekaman fisik yang terjadi pada tumbuhan dapat bersifat alamiah, antara lain karena pelukaan. Gaharu dapat terbentuk secara alamiah, diduga akibat pelukaan seperti adanya petir, herbivori oleh hewan dan serangga atau pelukaan terkena parang oleh manusia yang menyebabkan cekaman fisik. Selain itu pelukaan yang tidak langsung tertutup atau membusuk merupakan jalan masuk untuk infeksi mikroba. Mikroba yang banyak ditemui menginfeksi pelukaan pada tanaman gaharu adalah jenis fungi yang sifatnya patogen. Namun, Gibson (1977) berhasil mengisolasi endofit Cytosphaera mangiferae yang dapat menginduksi pembentukan gaharu pada tanaman sehat. Pembentukan gaharu tersebut secara umum merupakan respons karena diinduksi oleh sinyal yang berupa pelukaan maupun mikroba. Skema respons tersebut digambarkan secara umum seperti pada Gambar 2.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 21

Page 39: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Diagram pada Gambar 2 menjelaskan bahwa seluruh sinyal yang dikenali oleh sel tumbuhan dan menginduksi respons pertahanan didefinisikan sebagai elisitor. Elisitor dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yang umum dan spesifik. Elisitor umum (non-spesifik) adalah elisitor yang tidak berbeda secara nyata efeknya pada tumbuhan yang sejenis. Elisitor yang spesifik adalah elisitor yang terbentuk oleh patogen tertentu dan dikenali oleh tumbuhan yang memiliki gen untuk ketahanan yang cocok dengan gen patogen tersebut (Henry et al. 2012).

Elisitor yang umum dapat berupa Pathogen-Associated Molecular Patterns (PAMPs), yaitu ketika elisitor berupa bagian dari pathogen, sedangkan elisitor yang berupa sinyal endogen dari tumbuhan inang akibat kerusakan yang disebabkan oleh patogen diistilahkan sebagai DAMPs (Damage-Associated Molecular Patterns), sementara sinyal dari mikroba yang non-patogen diberi istilah sebagai MAMPs (Microbe-Associated Molecular Patterns), dan yang terakhir adalah elisitor kimia lain. Pengenalan elisitor umum oleh reseptor pada tumbuhan akan menginisiasi reaksi yang beragam, yang berakhir pada aktivasi respons resisten yang basal dan disebut sebagai PAMP-

Triggered Immunity (PTI) (Nicaise et al. 2009) (Gambar 2A). Reaksi pertahanan ini cukup kuat untuk menahan infeksi sebelum mikroba mengkolonisasi tumbuhan inang. Namun beberapa patogen yang sangat virulen dapat mengatasi resistensi yang basal tersebut dengan menghasilkan protein efektor yang bersifat virulen atau DNA di dalam sel inang. Elisitor yang spesifik tersebut dapat menghambat jalur sinyal atau sintesis senyawa pertahanan oleh tumbuhan inang sehingga menekan tipe pertahanan pertama tersebut. Sinyal elisitor yang spesifik tersebut dapat menyebabkan kerentanan tumbuhan terhadap mikroba patogen yang virulen. Pada tumbuhan yang sangat resisten, tumbuhan mengembangkan pertahanan lebih lanjut melalui gen resisten (R) yang spesifik terhadap penyakit, yang disebut sebagai effector-triggered-immunity/ETI (Jones dan Dangl 2006) (Gambar 2B). Cekaman fisik dan biologis ini menginduksi tanaman penghasil gaharu untuk mempertahankan diri dengan membentuk senyawa metabolit sekunder untuk menghentikan kerusakan kayu lebih lanjut. Proses seperti ini berlangsung sangat lama, bahkan bisa puluhan tahun, dan hasil studi tersebut memberi ilham untuk mempercepat proses tersebut sehingga gaharu dapat

A. Elisitor umum (nonspesifik)

Senyawa kimia nonpatogen

MAMPs

Sinyaling sel

Respons Imun

patogenSerangga dan herbivora

PAMPs

Sinyaling sel

Respons Imun

DAMPs

Tumbuhan

Primary Innate Immune

Sinyaling sel

Respons Imun

patogen

Efektor (protein avr)

reseptor

B. Elisitor spesifik

reseptor

Secondary Innate Immune

Sumber: Henry et al. (2012)

Gambar 2. Jenis elisitor pada tumbuhan yang meliputi elisitor umum/nonspesifik (A) dan elisitor spesifik (B)

22 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 40: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dihasilkan lebih cepat pada tanaman jenis gaharu yang dibudidayakan, bahkan studi telah dilakukan pada sistem in vitro pada kultur kalus dan sel.

Ketahanan yang terbentuk di sekitar tempat infeksi awal terbentuk dikenal sebagai Localized Acquired Resistance (LAR) (Kombrink dan Schmelzer 2001) (Gambar 3A). Pada kondisi di mana sinyal molekul dilepaskan ke bagian yang jauh dari tempat infeksi maka sinyal tersebut dapat menginduksi mekanisme pertahanan di tempat yang jauh dari tempat infeksi. Reaksi ketahanan yang sistemik dapat menyebabkan inangnya lebih tahan terhadap serangan patogen di seluruh bagian tumbuhan. Fenomena ini dikenal sebagai systemic acquired resistance/SAR (Iriti et al. 2010) (Gambar 3B). Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa metabolit yang menjadi kandidat sebagai sinyal antara lain: Metil salisilat, jasmonat, azelaic acid dan senyawa diterpenoid yang bersifat mobil untuk mengaktifkan SAR sehingga

meningkatkan ketahanan terhadap beragam patogen. Bentuk lain dari ketahanan terinduksi dapat terjadi dari induksi molekul yang berasal dari mikroba yang non-patogen atau endofit (MAMPs), yang dikenal sebagai induced systemic resistance/ISR (Mishra et al. 2009). Mikroba yang dikenal dapat menginduksi ISR antara lain adalah plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), di antaranya adalah beberapa jenis Pseudomonas dan Bacillus.

Tumbuhan inang dapat mengenal elisitor tersebut melalui reseptor yang dimiliki sel, untuk PAMPs umumnya menggunakan reseptor kinase tertentu. Tumbuhan juga dapat mengenali keberadaan patogen melalui komponen endogen tumbuhan akibat kerusakan struktur tumbuhan, baik kerusakan yang dihasilkan oleh patogen maupun oleh tumbuhan (DAMPs) di apoplas, yang kemudian seperti juga PAMPs dikenali oleh reseptor, misalnya oligogalakturonid yang dikenali oleh receptor WAK1. Kerusakan struktur juga dapat ditransmisikan secara sistemik ke

Sumber: Henry et al. (2012)

Gambar 3. Mekanisme imunitas bawaan primer/resitensi basal (primary innate immunity) pada kondisi terlokalisasi (A) atau sistemik (B) pada tumbuhan

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 23

Page 41: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

jaringan atau organ lain, misalnya residu 23 peptida AtPep1 dilepaskan karena pelukaan di jaringan tanaman Arabidopsis dan dikenali oleh reseptor PEPR1 (Henry et al. 2012).

MAMPs pada ketahanan yang sistemik oleh fungi endofit belum terkarakterisasi sebaik pada rhizobacteria. Djonović et al. (2006) berhasil membuktikan bahwa elisitor seperti hidrofobin Sm1 yang dihasilkan fungi endofit Trichoderma virens menginduksi ketahanan sistemik pada jagung sehingga kerusakan peptida ini dapat menurunkan ketahanan tanaman. Oleh sebab itu, diduga bahwa sinyal peptida tersebut penting dalam komunikasi antara T. virens dengan tumbuhan untuk menginduksi respons ketahanan, demikian pula dengan metabolit sekunder harzianolide dan pentyl-pyranone. Flagellin yang merupakan komponen dari rhizobacterium Pseudomonas putida strain WCS358 dapat berperan sebagai elisitor dari ketahanan sistemik Arabidopsis terhadap P. syringae (Meziane et al. 2005). Lipopolysaccharides (LPS) dari permukaan sel bakteri gram negatif juga sering dilaporkan sebagai PAMPs. Pada gaharu, fungi berfungsi sebagai elisitor biotik yang dapat meningkatkan sintesis metabolit sebagai resin gaharu, dan setiap elisitor memiliki bagian yang dapat dikenali khas oleh sel tanaman gaharu sehingga menghasilkan beragam senyawa yang memberikan aroma khas pada gaharu yang diperoleh.

Sering kali pelukaan menyebabkan kondisi cekaman yang menyebabkan terjadinya infeksi berikutnya oleh patogen. Diduga ketahanan pertama akibat pelukaan sudah menginduksi sistem ketahanan, dan juga mengaktifkan mekanisme perkembangan struktur tertentu pada tumbuhan untuk bertahan dari patogen. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat cross-talk antara jalur sinyaling pelukaan dengan pertahanan terhadap patogen, yang menghasilkan respons berbeda. Salah satunya adalah integrasi respons pada level

MAP kinase yang mengkatalisis fosforilasi yang menghasilkan struktur untuk menutup pelukaan dan dihasilkannya transduksi sinyal untuk mengaktifkan gen yang berhubungan dengan ketahanan. Banyaknya sinyal dan gen yang diaktifkan membentuk jejaring sinyal yang sering kali memiliki variasi yang spesifik bergantung jenis tumbuhannya.

Struktur yang terlibat dalam sinyal tersebut antara lain oligopeptida sistemin, oligosakarida yang dilepaskan dari dinding sel yang rusak, dan hormon seperti jasmonat, etilen dan asam absisat (León et al. 2001). Dua kelompok respons ketahanan tumbuhan, yaitu systemic acquired resistance (SAR) and induced systemic resistance (ISR) sering terinduksi pada suatu kondisi cekaman yang terjadi bersamaan. SAR terinduksi karena patogen dan dimediasi oleh asam salisilat, serta menghasilkan akumulasi berupa pathogenesis-related (PR) proteins. PR protein tersebut antara lain berbagai enzim yang dapat langsung mendegradasi dinding sel patogen seperti kitinase dan β-1,3-glucanase, protein yang berperan dalam menahan infeksi atau menginduksi nekrosis. ISR terinduksi oleh beberapa endofit, antara lain oleh rhizobacteria nonpatogen, dimediasi oleh asam jasmonat atau etilen, serta tidak selalu berhubungan dengan akumulasi PR protein, meskipun terdapat penelitian yang menunjukkan terbentuknya PR protein seperti PR5 dan PR7 pada tomat yang diinduksi nonpatogen (Dutta et al. 2014). Oleh sebab itu, pada gaharu sering kali metabolit yang dihasilkan secara alami maupun induksi tidak terlalu berbeda.

Luka mekanis, induksi senyawa kimia, maupun fungi patogen dapat dikenali reseptor sebagai sinyal yang menginduksi respons pertahanan. Hal tersebut dapat menstimulasi flux Ca2+ dan menginduksi transduksi sinyal, baik dengan perantara etilen, jasmonat dan salisilat. Hasil dari transduksi sinyal tersebut adalah diaktivasinya beberapa jalur yang

24 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 42: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

berperan dalam terbentuknya faktor-faktor transkripsi, seperti MYB, MYC, dan WRKY. Wong et al. (2013) menunjukkan bahwa pelukaan menginduksi ekspresi AmWRKY, dan meningkatkan ekspresi AmPAL dan AmGLU. Diduga, AmWRKY memediasi respons pelukaan, sedangkan AmPAL memediasi respons terhadap infeksi fungi dengan ko-induksi AmGLU. Faktor transkripsi tersebut dapat mengaktifkan terbentuknya protein dalam bentuk enzim yang terlibat dalam jalur biosintesis terpen maupun chromone (Gambar 4).

Pada gaharu, proses induksi untuk menghasilkan gaharu secara hasil budidaya umumya dilakukan dengan perlukaan mekanis pada batang dan juga diberi perlakuan bahan

bahan kimia seperti metil jasmonat, NaCl, peroksida, dan yang lainnya dapat memicu pembentukan gaharu. Hasilnya menunjukkan bahwa pembentukan gaharu dengan cara tersebut tidak menyebabkan terjadinya pembentukan gaharu ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik/elisitor tersebut. Pada pembentukan gaharu yang diinduksi oleh mikroba seperti fungi, gaharu menyebar lebih luas dari tempat induksi awal sehingga kuantitas gaharu yang dihasilkan lebih banyak, bahkan secara kualitatif menghasilkan komponen seperti anisylacetone, benzaldehyde, benzylacetone, guaiene, palustrol, dan turunan chromone. Senyawa-senyawa ini serupa dengan senyawa yang dihasilkan tanaman gaharu secara alamiah.

Dinding Sel

Membran Sel

Pelukaan (mekanik, kimiawi, patogen) Asam Jasmonat

Sumber: Xu et al. (2013)

Gambar 4. Mekanisme pensinyalan pada tumbuhan yang diinduksi pelukaan maupun patogen

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 25

Page 43: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

C. Teknik Isolasi dan Identifikasi Fungi pada Tanaman Penghasil Gaharu

Pada awalnya teknik isolasi fungi menggunakan metode sederhana dengan menginkubasi potongan jaringan dari tanaman penghasil gaharu yang didapatkan di lapangan pada media tumbuh/kultur fungi. Media yang umum digunakan untuk menumbuhkan isolat fungi penginduksi gaharu antara lain adalah media agar air (water agar, 2%), media PDA (potato dextrose agar) dan media BLA (banana leaf agar). Identifikasi dan konfirmasi genus atau spesies fungi dilakukan dengan pewarnaan lactophenol cotton blue untuk memperjelas ciri morfologi fungi saat diamati di bawah mikroskop (Gambar 5).

Walaupun teknik isolasi dan identifikasi kultur fungi menggunakan media kultur telah berkembang, namun teknik ini tidak mampu diterapkan pada fungi yang tidak dapat ditumbuhkan pada media in vitro atau fungi dengan kemampuan hidup yang sangat lambat. Dengan demikian, perlu pengembangan metode yang tidak melibatkan kultur pada media tumbuh yang dapat menyeleksi dan mengindetifikasi keragaman fungi dari berbagai jenis sampel.

Seiring dengan perkembangan ilmu bioteknologi, berbagai spesies fungi berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari sampel gaharu menggunakan teknik PCR dengan primer yang didesain berdasarkan regio ITS (internal trascribed spacer). ITS merujuk pada spacer DNA yang terletak di antara subunit kecil dan

Sumber: Faizal, A. (Koleksi pribadi)

Gambar 5. Hasil pengamatan mikroskopi pada tanaman sehat A. malacensis (A) dan penampakan hifa fungi Fusarium solani pada bagian kayu yang diinduksi (B). Identifikasi fungi menggunakan pewarnaan lactophenol cotton blue menunjukkan hifa yang identik pada kultur suspensi (C) dan hifa fungi yang menginfeksi jaringan kayu (D)

26 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 44: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

sub-unit besar RNA ribosom (rRNA) pada kromosom. ITS biasanya berukuran pendek sekitar 500–800 pasang basa dan telah banyak digunakan untuk mengindentifikasi dan karakterisasi fungi (Martin dan Rygiewicz 2005). Berbagai basis data primer saat ini tersedia pada bank gen yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi regio yang berbeda-beda pada DNA fungi. Regio yang menjadi target pada urutan DNA fungi idealnya merupakan regio lestari supaya amplifikasi DNA hanya terjadi secara spesifik. Hal ini juga memudahkan dalam membedakan antara spesies-spesies yang memiliki kekerabatan dekat. Selain itu, kemampuan rDNA untuk melakukan multikopi membuat regio ITS mudah untuk diamplifikasi dari sampel DNA dengan kosentrasi rendah atau bahkan dari sampel yang mudah mengalami degradasi. Sebagai contoh, perbedaan pada urutan ITS telah memungkinkan untuk mendeteksi berbagai fungi fitopathogen yang menginfeksi tumbuhan tanpa harus melakukan isolasi dari fungi-fungi tersebut (Schoch et al. 2012). Metode molekuler yang melibatkan proses kloning, sekuensing, dan analisis filogenetik mampu mendeteksi berbagai fungi endofit yang belum pernah diisolasi sebelumnya dengan teknik kulturisasi pada media tumbuh. Kombinasi teknik konvensional dengan teknik kultur fungi pada media in vitro serta metode deteksi molekuler diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih detail dan akurat untuk mempelajari keragaman fungi yang hidup secara endofit ataupun sebagai patogen pada Aquilaria spp. Informasi ini merupakan modal dasar selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam memanipulasi atau menginduksi produksi gaharu budidaya pada lahan budidaya dan mengurangi eksplorasi berlebihan terhadap spesies Aquilaria spp. di habitat aslinya.

D. Distribusi Fungi Penginduksi Gaharu

Induksi pembentukan gaharu hasil budidaya telah berkembang dengan signifikan, salah satunya dengan pendekatan bioteknologi menggunakan berbagai galur dan spesies fungi. Beberapa pustaka terkait menyebutkan bahwa peran fungi dalam pembentukan gaharu telah diujicoba pertama kali oleh (Bose 1934) menggunakan fungi Torula sp., selanjutnya oleh peneliti dari India yang berhasil mengisolasi fungi Epicoccum granulatum yang terkait dengan produksi resin pada kayu pohon A. agallocha (Bhattacharyya 1952). Hingga kini, banyak ilmuan maupun praktisi berhasil mengisolasi berbagai jenis fungi di antaranya adalah Aspergillus, Fusarium solani, F. xylaroides, Botrydiplodia sp., Penicillium sp., Acremonium sp., Cladosporium sp., dan mengonfirmasi peran positif fungi-fungi tersebut pada proses pembentukan gaharu.

Identifikasi dan isolasi fungi dari jaringan tanaman penghasil gaharu telah banyak dilaporkan antara lain oleh Gong dan Guo (2009) yang berhasil mengisolasi 128 isolat fungi dari daun, akar dan batang tanaman Aquilaria sinensis dengan Fusarium spp., dan Glomerularia sp. sebagai spesies dominan. Pada jenis pohon penghasil gaharu yang sama, Wang et al. (2009) juga berhasil mengisolasi 50 isolat fungi dan menemukan bahwa fungi dominan yang ditemukan pada gaharu berasal dari genus Fusarium dan Colletotrichum. Chen et al. (2017) mengembangkan metode isolasi fungi pada jaringan penghasil gaharu yang terbagi menjadi empat lapisan yaitu: decomposition layer (DL), agarwood layer (AL), transition layer (TL), dan normal layer (NL) (Gambar 6). Total 110 isolat fungi berhasil diidentifikasi dari keempat bagian tersebut meliputi 37 isolat dari bagian DL, 46 isolat

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 27

Page 45: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dari bagian AL, 18 isolat dari bagian TL dan 9 isolat dari bagian NL. Namun demikian, ditemukan bahwa Lasiodiplodia theobromae merupakan spesies yang sangat dominan pada keempat bagian yang diamati. Fenomena pada A. sinensis ini menunjukkan bahwa perbedaan habitat maupun kondisi pertumbuhan akan berpengaruh pada perbedaan populasi dan distribusi fungi dominan pada pembentukan gaharu.

Sebanyak 30 spesies fungi endofit juga telah diisolasi dari A. subintegra di Thailand. Identifikasi berdasarkan karakter morfologi menunjukkan bahwa fungi yang dominan ditemukan pada spesies ini meliputi Colletotrichum, Pestalotiopsis, Fusarium, Russula, Arthrinium, Diaporthe dan Cladosporium.

Fungi-fungi yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi sebagai fungi endofit dari pohon penghasil gaharu genus Aquilaria umumnya bersifat spesifik. Genus/spesies fungi tertentu hanya ditemukan di salah satu spesies Aquilaria dan tidak ditemukan pada spesies Aquilaria lainnya. Chaepalosporium misalnya, fungi ini hanya dapat dijumpai pada A. sinensis. Namun, beberapa fungi lain justru dapat dijumpai

pada banyak spesies Aquilaria, seperti fungi dari genus Fusarium. Selain bersifat spesifik terhadap spesies, fungi endofit juga bersifat spesifik terhadap bagian tumbuhan. Pada spesies pohon yang sama, fungi endofit hanya akan dijumpai pada bagian tertentu saja. Sebagai contoh, isolat fungi endofit pada bagian yang mengandung resin umumnya berbeda dengan isolat pada bagian yang tidak menghasilkan resin.

Pada Tabel 1 dapat dilihat daftar 76 spesies fungi yang sejauh ini berhasil diidentifikasi dari Aquilaria spp. yang tumbuh di berbagai negara Asia. Hingga saat ini hanya sekitar 25% dari total spesies fungi tersebut yang telah dibuktikan berperan langsung dalam menginduksi pembentukan gaharu. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat peluang besar untuk mengekplorasi bagaimana peran fungi-fungi tersebut terkait dengan pembentukan gaharu.

Sumber: Chen et al. (2017)

Gambar 6. Isolasi fungi pada batang A. sinensis yang diinduksi dengan perlukaan (a) dan pembagian 4 lapisan (layer) tempat fungi diisolasi (b)

28 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 46: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabe

l 1.

Fung

i end

ofit y

ang

diiso

lasi

dari

berb

agai

jarin

gan

Aqui

laria

spp.

No

Fung

i end

ofit

Spes

ies p

ohon

pen

ghas

il ga

haru

Jarin

gan/

orga

n ya

ng d

itelit

iAs

al ta

nam

anPe

rana

n fu

ngi d

alam

in

duks

i gah

aru

Pust

aka

1Ac

rem

oniu

m sp

.A.

micr

ocar

pa-

Indo

nesia

ÖRa

hayu

(201

0)2

Actin

omad

ura

glau

ciflav

aA.

cras

sna

daun

dan

akar

Thail

and

*Ni

mno

i et a

l. (20

10)

3Al

tern

aria

sp.

A. si

nens

is da

unCh

ina

*Ti

an et

al. (

2013

)4

Alte

rnar

ia a

ltern

ata

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

dia

*Pr

emala

tha d

an K

alra (

2013

)5

Aspe

rgillu

s sp.

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

done

siaÖ

Subo

wo (2

010)

6Bo

tryos

phae

ria sp

.A.

sine

nsis

daun

Chin

Tian

et a

l. (20

13)

7Bo

tryos

phae

ria d

othi

dea

A. si

nens

issa

mpe

l kay

uCh

ina

ÖTi

an et

al. (

2013

)8

Botry

osph

aeria

rhod

ina

A. si

nens

isba

tang

Chin

Zhan

g et

al. (

2017

)9

Ceph

alos

poriu

m sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)10

Chae

tom

ium

glo

boss

umA.

aga

lloch

a-

Indi

Tam

uli e

t al. (

2000

)11

Chae

tom

ium

sp.

A. si

nens

is -

Chin

a*

Tian

et a

l. (20

13)

12Cl

adop

hial

opho

ra sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)13

Clad

ospo

rium

sp.

A. m

alac

cens

isba

tang

Indo

nesia

*

Lisd

yani

et a

l. (20

15)

14Cl

ados

poriu

m te

nuiss

imum

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

a*

Cui e

t al. (

2011

)15

Clad

ospo

rium

edge

worth

rae

A. si

nens

isba

tang

, aka

r, da

unCh

ina

*Go

ng d

an G

uo (2

009)

16Co

chlio

bolu

s lun

atus

A. m

alac

cens

ispo

tong

an ka

yuM

alays

ia*

Moh

amed

et a

l. (20

14)

17Co

lleto

trich

um gl

eosp

orio

des

A. si

nens

is da

unCh

ina

*Ti

an et

al. (

2013

)18

Coni

othy

rium

nitid

aeA.

sine

nsis

sam

pel g

ahar

uCh

ina

*Cu

i et a

l. (20

11)

19Cu

nnin

gham

ella

bain

ieri

A. m

alac

cens

ispo

tong

an ka

yuM

alays

iaÖ

Raso

ol d

an M

oham

ed (2

016)

20Cu

rvul

aria

sp.

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

dia

*Pr

emala

tha d

an K

alra (

2013

)21

Cylin

droc

ladi

um sp

.A.

sine

nsis

daun

Chin

a*

Tian

et a

l. (20

13)

22Da

vidiel

la ta

ssia

naA.

mal

acce

nsis

sam

pel k

ayu

Indi

a*

Prem

alath

a dan

Kalr

a (20

13)

23Di

plod

ia m

utila

A. si

nens

is-

Chin

Tian

et a

l. (20

13)

24Ep

icocc

um g

ranu

latu

mA.

aga

lloch

a-

Indi

Bhat

tach

aryy

a (19

52)

25Ep

icocc

um n

igru

mA.

sine

nsis

sam

pel g

ahar

uCh

ina

*Cu

i et a

l. (20

11)

26Fim

etar

iella

rabe

nhor

stii

A. si

nens

is-

Chin

Tao

et a

l. (20

11)

27Fu

sariu

m b

ulbi

geni

umAq

uila

ria sp

.-

Indo

nesia

ÖSu

bowo

(201

0)28

Fusa

rium

equi

setti

A. m

alac

cens

issa

mpe

l gah

aru

Indo

nesia

*Ar

imbi

(201

4)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 29

Page 47: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No

Fung

i end

ofit

Spes

ies p

ohon

pen

ghas

il ga

haru

Jarin

gan/

orga

n ya

ng d

itelit

iAs

al ta

nam

anPe

rana

n fu

ngi d

alam

in

duks

i gah

aru

Pust

aka

29Fu

sariu

m la

terit

ium

Aqui

laria

sp.

bata

ngIn

done

siaÖ

Budi

et a

l. (20

10)

30Fu

sariu

m o

xysp

orum

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

Zhan

g et

al. (

2014

)31

Fusa

rium

oxy

spor

umA.

mal

acce

nsis

-In

dia

ÖTa

mul

i et a

l. (20

00)

32Fu

sariu

m so

lani

A. m

alac

cens

issa

mpe

l gah

aru

Indo

nesia

, Mala

ysia

ÖBu

di et

al. (

2010

) dan

Faiza

l et a

l. (20

17)

33Fu

sariu

m so

lani

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

a*

Cui e

t al. (

2011

)34

Geot

richu

m sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)35

Glom

erul

aria

sp.

A. si

nens

isba

tang

, aka

r, da

unCh

ina

*Go

ng d

an G

uo (2

009)

36Go

nytro

chum

sp.

A. si

nens

isba

tang

, aka

r, da

unCh

ina

*Go

ng d

an G

uo (2

009)

37Gu

igna

rdia

man

qifer

aeA.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)38

Hypo

crea

fairn

osa

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

dia

*Pr

emala

tha d

an K

alra (

2013

)39

Hypo

crea

lixii

A. m

alac

cens

ispo

tong

an ka

yuM

alays

ia*

Moh

amed

et a

l. (20

10)

40Hy

pocr

ea lix

iiA.

sine

nsis

sam

pel g

ahar

uCh

ina

ÖCu

i et a

l. (20

11)

41La

siodi

plod

ia th

eobr

omae

A. m

alac

cens

ispo

tong

an ka

yuM

alays

ia*

Moh

amed

et a

l. (20

10)

42La

siodi

plod

ia th

eobr

omae

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

Chen

et a

l. (20

17)

43Le

ptos

phae

rulin

a ch

arta

rum

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

a*

Cui e

t al. (

2011

)44

Mas

sarin

a al

boca

rnis

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

dia

*Pr

emala

tha d

an K

alra (

2013

)45

Mon

ilia sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)46

Mor

tiere

lla sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)47

Muc

or sp

.A.

mal

acce

nsis

bata

ngIn

done

sia*

Lisd

yani

et a

l. (20

15)

48M

yceli

a ste

rilia

A. si

nens

isba

tang

, aka

r, da

unCh

ina

*Go

ng d

an G

uo (2

009)

49M

ycos

phar

ella

A. si

nens

is da

unCh

ina

*Ti

an et

al. (

2013

)50

Nigr

ospo

ra o

ryza

eA.

sine

nsis

poto

ngan

gah

aru

Chin

Li et

al. (

2014

)51

Nigr

ospo

ra sp

haer

icaA.

mal

acce

nsis

bata

ngIn

done

sia*

Lisd

yani

et a

l. (20

15)

52No

card

ia a

lba

A. cr

assn

ada

un d

an ak

arTh

ailan

d*

Nim

noi e

t al. (

2010

)53

Noca

rdia

jiang

xiens

isA.

cras

sna

daun

dan

akar

Thail

and

*Ni

mno

i et a

l. (20

10)

54No

dulis

poriu

m sp

. A.

sine

nsis

bata

ngCh

ina

ÖW

u et

al. (

2010

)55

Nono

mur

ae ru

bra

A. cr

assn

ada

un d

an ak

arTh

ailan

d*

Nim

noi e

t al. (

2010

)56

Ovu

laris

sp.

A. si

nens

isba

tang

, aka

r, da

unCh

ina

*Go

ng d

an G

uo (2

009)

Tabe

l 1.

Fung

i end

ofit y

ang

diiso

lasi

dari

berb

agai

jarin

gan

Aqui

laria

spp.

(lan

juta

n)

30 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 48: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No

Fung

i end

ofit

Spes

ies p

ohon

pen

ghas

il ga

haru

Jarin

gan/

orga

n ya

ng d

itelit

iAs

al ta

nam

anPe

rana

n fu

ngi d

alam

in

duks

i gah

aru

Pust

aka

57Pa

raco

niot

hyriu

mA.

sine

nsis

sam

pel g

ahar

uCh

ina

*Cu

i et a

l. (20

11)

58Pi

chia

sp.

A. m

alac

cens

issa

mpe

l kay

uIn

dia

*Pr

emala

tha d

an K

alra (

2013

)59

Peni

cilliu

m sp

.Aq

uila

ria sp

-

Indo

nesia

*Su

bowo

(201

0)60

Pesta

lotio

psis

sp.

A. si

nens

is -

Chin

a*

Tian

et a

l. (20

13)

61Ph

oma

herb

arum

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

a*

Cui e

t al. (

2011

)62

Phom

opsis

sp.

A. si

nens

isda

unCh

ina

*Ti

an et

al. (

2013

)63

Pleo

spor

a sp

.A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)64

Pseu

dono

card

ia

halo

phob

icaA.

cras

sna

daun

dan

akar

Thail

and

*Ni

mno

i et a

l. (20

10)

65Ra

mich

lorid

ium

sp.

A. si

nens

isda

unCh

ina

*Ti

an et

al. (

2013

)66

Rhin

ocla

diell

a sp

. A.

sine

nsis

bata

ng, a

kar,

daun

Chin

a*

Gong

dan

Guo

(200

9)67

Rhizo

muc

or va

riabi

lisA.

sine

nsis

sam

pel g

ahar

uCh

ina

*Cu

i et a

l. (20

11)

68Sa

geno

mell

a sp

.A.

sine

nsis

daun

Chin

a*

Tian

et a

l. (20

13)

69Sc

ytalid

ium

ligni

cola

A. m

alac

cens

isba

tang

Indo

nesia

*Li

sdya

ni et

al. (

2015

)70

Scop

ular

iops

is sp

.A.

mal

acce

nsis

bata

ngIn

done

sia*

Lisd

yani

et a

l. (20

15)

71St

rept

omyc

es h

aina

nens

isA.

cras

sna

daun

dan

akar

Thail

and

*Ni

mno

i et a

l. (20

10)

72St

rept

omyc

es ja

vens

isA.

cras

sna

daun

dan

akar

Thail

and

*Ni

mno

i et a

l. (20

10)

73Tr

ichod

erm

a sp

.A.

mal

acce

nsis

sam

pel k

ayu

Indi

a*

Prem

alath

a dan

Kalr

a (20

13)

74Tr

ichod

erm

a sp

irale

A. si

nens

is-

Chin

a*

Li et

al. (

2014

)75

Xyla

ria m

ali

A. si

nens

issa

mpe

l gah

aru

Chin

a*

Cui e

t al. (

2011

)76

Xyla

ria sp

.A.

sine

nsis

-Ch

ina

*Ti

an et

al. (

2013

= di

keta

hui d

apat

men

gind

uksi

pem

bent

ukan

gah

aru

atau

men

ghas

ilkan

seny

awa y

ang

seru

pa d

enga

n ka

ndun

gan

pada

gah

aru;

* = b

elum

teru

ji ata

u tid

ak d

apat

men

gind

uksi

pem

bent

ukan

gah

aru

Tabe

l 1.

Fung

i end

ofit y

ang

diiso

lasi

dari

berb

agai

jarin

gan

Aqui

laria

spp.

(lan

juta

n)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 31

Page 49: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

E. Komposisi Senyawa Penyusun Gaharu oleh Induksi Fungi

Kualitas dari gaharu sangat ditentukan oleh komposisi dari senyawa terkandung di dalamnya. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 150 kompleks senyawa kimia yang menjadi penyusun gaharu meliputi senyawa seskuiterpen, aromatik, alkana, dan asam lemak. Jenis senyawa kimia yang dihasilkan oleh induksi fungi sangat bergantung pada strain dan/atau jenis fungi yang digunakan. Sebagai contoh, induksi A. sinensis dengan fungi C. gloeosporioides dan Botrysphaeria sp. selama 8 bulan menghasilkan 30,22% senyawa golongan chromanone, di antaranya 4H-1benzopyan-4-one, 2-methyl,5,6,7,8-tetrahydro-2, 2-dimethyl-5-chromanone, 2(2-phenylethyl)chromen-4-one dan 8-methoxy-2-(2-phenylethyl)chromen-4-one. Sementara itu, senyawa seskuiterpen seperti aristolone, a-costol dan bamuxial hanya terbentuk 12 bulan pasca induksi dengan kelimpahan relatif sebanyak 6,31% (Tian et al. 2013). Analisis lanjut terhadap sampel gaharu hasil induksi 12 bulan dapat mendeteksi 16 senyawa yang terdiri dari 35,09% senyawa volatil dengan komponen penyusun utama dari antara lain 2-(2-phenyl–ethyl) chromanone, senyawa aromatik dan seskuiterpen.

Induksi Lasiodiplodia sp. pada A. sinensis menginduksi sintesis senyawa fenol, 2,2’-methylene bis [6-(1,1-dimethylethyl)-4-methyl dengan kelimpahan yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan senyawa penyusun gaharu tidak terlepas dari respons pertahanan tanaman terhadap induksi pathogen, mengingat bahwa fungi ini merupakan fungi yang umum menyerang lebih dari 280 spesies tanaman dan menyebabkan berbagai penyakit.

Melalui pendekatan yang serupa, Faizal et al. (2017) menginduksi A. malaccensis dengan empat strain F. solani yang telah diisolasi dari sampel A. malaccensis yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia.

Analisis pada sampel gaharu tiga bulan hasil induksi menunjukkan bahwa F. solani strain Gorontalo adalah strain terbaik untuk bioinduksi gaharu hasil budidaya pada jenis A. malaccensis. Analisis senyawa penyusun gaharu menunjukkan bahwa senyawa tridecanoic acid, α-santalol, spathulenol, aromadendrene oxide, isoaromadendrene epoxide, asam oleat dan 13,17,21-trimethylpentatriacontane merupakan komponen utama penyusun gaharu yang diinduksi oleh fungi ini.

Analisis senyawa yang dilakukan pada sampel A. malaccensis oleh Peng et al. (2015) menunjukkan bahwa terdapat sebelas senyawa seskuiterpen yang sintesisnya diinduksi oleh fungi Basidiomycetes yaitu eudesmol, valencene, allo-cedrol, presilphiperfolan-8-ol, gurjunene, eremophilone, longipinene, hinesol, longiborneol, rosifol iol dan liguloxide. Penyelusuran literature lainnya menunjukkan bahwa senyawa-senyawa seperti agarospirol, cubebol, eudesmol, hinesol, valencene, benzylactone, santalol, guaiol, 2-linoleoylglycerol, a-copaen-11-ol, and eudesm-7(11)-en-4a-ol merupakan senyawa-senyawa yang paling sering dilaporkan sebagai senyawa penyusun yang terdapat pada gaharu. Penggunaan fungi yang berbeda dalam rentang waktu induksi yang berbeda akan menghasilkan senyawa gaharu yang berbeda pula (Chhipa et al. 2017). Berdasarkan data-data di atas dapat disimpulkan bahwa induksi gaharu hasil budidaya bergantung pada jenis dan intensitas infeksi. Komposisi senyawa yang terkandung dalam gaharu hasil bioinduksi dengan beberapa jenis fungi penginduksi (umur induksi 2–18 bulan) dibandingkan dengan gaharu hasil infeksi alami (120 bulan) disarikan pada Tabel 2. Kesamaan senyawa yang terkandung dalam gaharu hasil bioinduksi dengan senyawa pada gaharu yang terbentuk secara alami selama puluhan tahun menunjukkan bahwa bioinduksi gaharu menggunakan fungi merupakan metode yang sangat menguntungkan bagi industri maupun praktisi gaharu.

32 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 50: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

1Ac

etop

heno

ne, 4

-met

hyl-

--

--

--

--

-+

2Af

rican

-1(5

)-en-

2,6-

dion

e+l

+xl+xl

+xl-

--

--

-

3Ag

aros

piro

l-

--

--

++

--

+

4Al

lo-c

edro

l-

--

--

--

-+

-

5An

etho

le-

--

--

--

-+

-

6An

isylac

eton

e-

--

--

--

+-

+

7Ar

istol

-9-e

n 12

a-ol

--

--

-+

--

--

8Ar

istol

one

--

--

--

+-

--

9Ar

omad

endr

ene O

xide 1

--

--

+-

--

--

10Ar

omad

endr

ene O

xide 2

--

--

+-

--

-+

11Be

nzald

ehyd

e-

--

-+

--

--

+

121,

2-Be

nzen

edica

rbox

ylic a

cid,

bis(

2-et

hylh

exyl)

este

r-

--

--

--

+-

-

131,

2-Be

nzen

edica

rbox

ylic a

cid,

mon

o (2

-eth

ylhex

yl) es

ter

+l -

--

--

--

--

14Be

nzen

e pro

pano

ic ac

id-

--

-+

--

+-

-

15Be

nzen

esul

fona

mid

e, 4

-met

hyl-

--

--

+-

--

--

164H

-1-B

enzo

pyra

n-4-

one,

2-m

ethy

l--

--

--

--

+-

-

17Be

nzyl

acet

one

+x-

--

+-

++

-+

18Bu

tyl is

obut

yl ph

thala

te-

-+l

--

--

+-

-

19α

-Cad

inol

--

--

--

--

-+

20Ca

dine

ne-

+x-

+x-

--

--

-

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 33

Page 51: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

21α

-Cam

phol

enal

--

--

--

--

-+

22D-

(+)-C

arvo

ne-

--

--

--

--

+

233-

Care

ne-

--

--

--

--

+

24Ca

ryop

hylle

ne o

xide

--

--

+-

+-

--

25Ci

s-Car

veol

--

--

--

--

-+

261,

4-Ci

neol

e-

--

--

--

--

+

27α

-Cop

aen-

11-o

l-

--

--

++

--

-

28Cu

stol

--

--

--

-+

--

29Cu

bebo

l-

--

--

++

--

+

30Cy

clohe

xane

,1-e

then

yl-1-

met

hyl-

2,4-

bis(

1- m

ethy

lethe

nyl)-

,[1S(

1α,2β,

4β)]

-(β-e

lemen

e)

--

--

+-

--

--

31p-

Cym

en-8

-ol

--

--

--

--

-+

32p-

Cym

ene

--

--

--

--

-+

33Dy

benz

il ace

tone

--

--

--

-+

--

34Di

buty

l pht

halat

e+xl

+xl+xl

+l -

--

--

-

35α

-Dich

loro

hydr

in-

--

--

--

--

+

36Di

epice

dren

e-1-

oxid

e-

--

--

--

--

+

37Di

hydr

ocar

vone

--

--

--

--

-+

38Di

hydr

o-β-

agar

ofur

an-

--

--

--

--

+

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

34 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 52: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

394,

8a-D

imet

hyl-6

-pro

p-1-

en-2

-yl-

2,3,

5,6,

7,8-

hexa

hydr

o-1H

-na

phth

alene

-2,3

-dio

l-

+xl+xl

+xl-

--

--

-

40Ei

cosa

ne+l

+l -

-+

--

--

-

41Et

hyl 3

-phe

nylp

ropi

onat

e-

--

--

--

+-

-

42Et

hyl O

leate

--

--

--

-+

--

43Eu

calyp

tol

--

--

--

--

-+

44Eu

carv

one

--

--

--

--

-+

45Eu

desm

-7(1

1)-e

n-4a

-ol

--

--

-+

+-

-+

46Eu

desm

ol-

--

--

++

-+

+

47Gu

aiol

--

--

-+

+-

-+

48Gu

rjune

ne-

--

--

--

-+

-

49He

nico

sane

+l -

--

--

--

--

50He

ptad

ecan

e+l

--

-+

--

--

-

51α

-Hep

tyl c

inna

mic

aldeh

yde

--

+x+l

--

--

--

52He

xade

cano

id ac

id-

--

-+

--

--

-

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 35

Page 53: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

53Hi

neso

l-

--

--

++

-+

-

546-

(1-H

ydox

ymet

hylvi

nyl)-

4,8a

-di

met

hyl-3

,5,6

,7,8

,8a-

hexa

hydr

o-1H

-nap

htale

n-2-

one

-+xl

+xl+x

--

--

--

559-

Hydr

oxyla

dani

fer-1

0-on

e[9(

10 ->

1)

-abe

o-9-

Hydr

oxya

rom

ade n

dran

-10

-one

]+x

--

--

--

--

-

56Iso

arom

aden

dren

e epo

xide

--

--

+-

--

--

57Iso

unde

cane

--

--

--

-+

--

585-

Isopr

opyl-

6-m

ethy

l-hep

ta-3

,5-

dien

-2-o

l-

--

--

--

--

+

59Le

vove

rben

one

--

--

--

--

-+

60Li

gnoc

eran

e+x

--

--

--

--

-

61Li

gulo

xide

--

--

--

--

+-

62Li

mon

ene o

xide,

tran

s--

--

-+

--

--

+

63D-

Lim

onen

e-

--

--

--

--

+

64Li

nalo

ol ac

etat

e-

--

--

--

-+

-

652-

Lino

leoylg

lycer

ol-

--

--

+-

+-

-

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

36 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 54: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

66Lo

ngib

orne

ol-

--

--

--

-+

-

67Lo

ngifo

lene

--

--

--

--

-+

68Lo

ngip

inen

e-

--

--

--

-+

-

69M

ayur

one

--

--

--

--

-+

702-

Met

hyl r

esor

cinol

, diac

etat

e-

+x-

--

--

--

-

713-

(4-M

etho

xyph

enyl)

Pro

pion

ic ac

id et

hyl e

ster

--

--

--

-+

--

724-

(4-M

etho

xyph

enyl)

but

an-2

-one

-+x

+x-

--

--

--

738-

Met

hoxy

-2- (

2-ph

enyle

thyl)

ch

rom

en-4

-one

--

--

--

-+

--

74M

yrte

nol

--

--

--

--

-+

75Na

phth

alene

, 1,2

,3,4

,4n,

5,6,

8a-

octa

hydr

o-7-

met

hyl-4

-met

hylen

e-1-

(1-m

ethy

lethy

l)-(1α

,4aβ

,8aα

)-

-+l

+-

--

--

76Na

phth

alene

, 1,2

,4a,

5,8,

8a-

hexa

hydr

o-4,

7-di

met

hyl-1

-(1-

met

hylet

hyl)-

, [1S

-(1α

,4aβ

,8aα

)]-

--

-+x

--

--

--

77Ne

ozon

e-

--

--

--

+-

-

78Ni

trobe

nzon

e-

--

--

--

--

+

79No

nade

cane

+x-

--

--

--

--

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 37

Page 55: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

80O

cta h

ydro

nap

htale

ne-

--

--

--

--

+

81O

ctad

ecen

e-

--

-+

--

--

-

82O

leic a

cid-

--

-+

--

--

-

83Pa

lmitic

acid

--

--

--

++

--

84Pe

ntad

ecan

e+xl

+xl+xl

+xl-

--

--

-

85Ph

enol

, 2,4

-bis(

1,1-

dim

ethy

lethy

l)--

--

--

--

+-

-

86Ph

enol

, 2,2

’-met

hylen

ebis[

6-(1

,1-

dim

ethy

lethy

l)-4-

met

hyl-

+xl+xl

+xl+x

--

--

--

872-

(2-P

heny

lethy

l) ch

rom

en-4

-one

--

--

--

-+

--

88Ph

thali

c acid

, isob

utyl

2,4,

4-tri

met

hylp

hent

yl es

ter

+l +l

--

--

--

--

89α

-Pin

ene o

xide

--

--

--

--

-+

90Pi

noca

rvuo

ne-

--

--

--

--

+

91Tr

ans-p

inoc

arve

ol-

--

--

--

--

+

92Pr

esilp

hipe

rfolan

-8-o

l-

--

--

--

-+

-

93Tr

idec

anoi

d ac

id-

--

-+

--

--

-

94Ps

eudo

phy

tol

--

--

--

--

+-

95Ro

sifol

iol

--

--

--

--

+-

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

38 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 56: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

96Sa

ntalo

l-

--

-+

++

--

-

97(E

)-Ses

quith

ujen

-12-

al+l

+l -

--

--

--

-

98α

-Seli

nene

--

--

--

-+

--

99Sp

athu

lenol

--

--

+-

--

--

100

Stea

ric ac

id-

--

--

--

+-

-

101

Styr

ene

--

--

+-

--

--

102

Stig

mas

tero

l-

--

-+

--

--

-

103

Syrin

gald

ehyd

e-

--

--

--

+-

-

104

Terp

inen

-4-o

l-

--

--

--

--

+

105

1-α

-Terp

ineo

l-

--

--

--

--

+

106

Tetra

cosa

ne-

--

-+

--

--

-

107

5,6,

7,8-

Tetra

hydr

o-2,

2-di

met

hyl-5

-Ch

rom

anon

e-

--

--

--

+-

-

108

Trico

sane

--

--

+-

--

--

109

13,1

7,21

-Trim

ethy

lpen

tatri

a-co

ntan

e

110

Thym

ol-

--

--

--

--

+

111

(+)-T

hreo

-1,5

-Dip

heny

lpen

tane

-1,

3-di

ol-

--

--

--

+-

-

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 39

Page 57: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No.

Seny

awa

yang

terid

entifi

kasi

Fung

i yan

g di

guna

kan

pada

indu

ksi

Xyla

ria sp

. dan

Las

iodi

plod

ia sp

.(C

ui et

al.

2013

)

F. so

lani

(F

aiza

l et a

l. 20

17)

M. fl

avol

ines

(Zha

ng et

al.

2012

)

C. g

loeo

spor

oide

s dan

Bo

tryo

sphe

ria sp

. (Ti

an

et a

l. 20

13)

Basid

iom

ycot

a (P

eng

et a

l. 20

15)

Agar

oil

(Chh

ipa

et a

l. 20

17)

2 bu

lan

4 bu

lan

6 bu

lan

8 bu

lan

3 bu

lan

6 bu

lan

12 b

ulan

8–12

bul

an18

bul

an12

0 bu

lan

112

Tran

s-2-C

aren

-4-o

l-

--

--

--

--

+

113

Triet

hyl c

itrat

e-

--

--

--

+-

-

114

4(10

)-Thu

jene

--

--

--

--

-+

115

Valec

ene

--

+l +l

--

--

+-

116

Verb

enol

acet

ate

--

--

--

--

-+

117

cis-V

erbe

nol

--

--

--

--

-+

118

Virid

ifloro

l-

--

--

--

--

+Ke

tera

ngan

: + =

terd

etek

si, -

= tid

ak te

rdet

eksi

+x = han

ya te

rdet

eksi

pada

Xyla

ria sp

. ; +l =

hany

a ter

dete

ksi p

ada L

asio

dipl

odia

sp.; +

xl = te

rdet

eksi

pada

Las

iodi

plod

ia sp

. dan

Xyla

ria sp

.

Tabe

l 2.

Daf

tar k

ompo

sisi s

enya

wa

gaha

ru h

asil

bioi

nduk

si de

ngan

beb

erap

a je

nis f

ungi

pem

bent

uk g

ahar

u (la

njut

an)

40 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 58: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

F. Perkembangan Gaharu Hasil Budidaya melalui Induksi Fungi di Indonesia

Selain oleh fungi endofit, induksi produksi gaharu juga dapat dipercepat dengan cara menginduksikan fungi tertentu pada pohon penghasil gaharu. Beberapa jenis fungi yang dapat digunakan untuk induksi gaharu pada Aquilaria spp. antara lain: Xylaria sp. dan Lasiodiplodia sp., M. flavolines, C. gloeosporoides dan Botryospheria sp., Basidiomycota dan F. solani.

Di Indonesia sendiri, jenis-jenis fungi yang telah diaplikasikan dalam induksi gaharu hasil budidaya meliputi Acremonium sp., Aspergillus sp., F. bulbigenium, F. lateritium, F. solani dan F. moniliformae. Riset intensif yang dilakukan oleh Tim Environment and Forestry, Research, Development, and Innovation Agency (FORDA), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Republik Indonesia

menunjukkan bahwa F. solani merupakan salah satu agen hayati yang sangat efektif dalam menginduksi pembentukan gaharu. Isolat Fusarium dapat dibedakan dari genus lain berdasarkan ciri khusus Fusarium yang mempunyai bentuk makrokonidia seperti bulan sabit (fusoid) dan pangkal konidia dengan bentuk sel kaki (huck/foot cell).

Hingga saat ini beberapa strain F. solani telah diisolasi dari berbagai Provinsi di Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, Riau, Kalimantan Tengah, Barat, Timur dan Selatan, Jawa Barat, Gorontalo, NTT, NTB, Maluku dan Papua (Sitepu et al. 2011). Beberapa strain (Gambar 7 dan 8) telah berhasil diujikan dalam kapasitas sebagai penginduksi gaharu pada A. microcarpa (Karlinasari et al. 2015) dan A. malaccensis (Faizal et al. 2017).

Sumber: Faizal, A. (Koleksi pribadi)

Gambar 7. F. solani strain Gorontalo (A), Jambi (B), Papua (C) dan Singkep (D) yang telah siap dicampur dan dihaluskan dengan blender untuk kemudian diinduksikan pada pohon A. malaccensis

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 41

Page 59: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sumber: Faizal et al. (2017)

Gambar 8. Pembentukan gaharu pada A. malaccensis hasil induksi dengan fungi F. solani selama 3 bulan. Skala = 2 cm

G. Pembentukan Gaharu pada Kultur Sel A. Malaccensis Hasil Interaksi dengan Fusarium

Mekanisme pembentukan gaharu pada berbagai jenis pohon penghasil gaharu masih belum terdokumentasikan dengan baik. Salah satu metode yang dilakukan adalah dengan mengembangkan sistem kultivasi in vitro, yang memungkinkan berbagai analisis dapat dilakukan secara komprehensif. Agar dapat mempelajari bagaimana tumbuhan mampu menghasilkan senyawa aromatik pada gaharu maka Sen et al. (2017) menginkubasi kalus A. malaccensis pada media kultur jaringan yang telah diinduksi dengan Fusarium selama 12 hari.

Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa terdapat sejumlah senyawa unik yang terbentuk dan/atau kandungan meningkat sebagai hasil interaksi antara kalus A. malaccensis yang dikokultiasi dengan Fusarium. Di antara senyawa ini, senyawa n-hexadecanoic acid (asam palmitat) memiliki kelimpahan tertinggi. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa cekaman biotik seperti infeksi fungi umumnya akan direspons tumbuhan dengan menyintesis asam lemak bebas yang memicu reaksi radikal yang melibatkan oksidasi asam lemak. Salah satu akibat dari proses ini adalah peningkatan produksi senyawa oxilipin seperti jasmonat. Akumulasi asam palmitat juga merupakan sinyal

untuk inisiasi biosintesis lipid dari prekursor karbohidrat.

Senyawa lainnya adalah octadecanoic acid ethyl ester, atau bentuk ester dari senyawa octadecanoic acid (asam stearat). Hasil analisis senyawa pada kalus menunjukkan bahwa konsentrasi asam stearat bebas menurun secara signifikan selama proses interaksi antara kalus dan fungi yang kemungkinan berkorelasi positif dengan produksi senyawa aromatik. Senyawa asam lemak dominan lainnya adalah asam linoleat. Linoleat dan asam linoleat merupakan prekursor untuk lipoxygenase (LOX) yang menginisiasi jalur biosintesis octadecanoate and lipoxygenase yang berperan langsung pada pembentukan senyawa jasmonat dan berbagai senyawa volatil lainnya.

Di antara senyawa terpen yang dihasilkan dari interaksi kalus dan fungi, terdapat senyawa geranylisovalerate. Menariknya, senyawa dengan aroma buah ini telah diketahui sebagai kelompok senyawa semiokimia (feromon). Hal ini dapat menjelaskan bahwa pelukaan akibat infeksi serangga dapat menjadi awal atau jalan induksi Fusarium pada Aquilaria.

Senyawa lain yang kandungannya meningkat secara signifikan adalah tetrapentacontane, 1,54, dibromo-, senyawa yang merupakan komponen utama pada minyak atsiri dan pentatriacontane, salah satu komponen penting penyusun gaharu. Meskipun beberapa senyawa penting penyusun gaharu dapat disintesis oleh kalus atau dihasilkan dalam jumlah meningkat

42 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 60: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

oleh interaksi dengan Fusarium, beberapa senyawa kunci seskuiterpen tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terdapat perbedaan regulasi biosintesis senyawa seskuiterpen pada jalur metabolisme tumbuhan yang tidak terdiferensiasi dengan tumbuhan utuh. Mekanisme pembentukan gaharu oleh interaksi fungi dan inang penghasil gaharu A. malaccensis dapat dilihat pada Gambar 9.

H. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Fungi Endofit Gaharu

Isolasi dan kulturisasi fungi endofit pada media tumbuh dan analisis senyawa kimia yang dihasilkan juga telah membuktikan bahwa bahwa fungi-fungi endofit tersebut mampu menghasilkan senyawa yang sama dengan yang terkandung pada sampel gaharu. Banyak peneliti kini mengembangkan berbagai teknik kultivasi mikroba endofit gaharu dan

mengisolasi senyawa metabolit sekunder dari organisme tersebut. Beberapa senyawa yang telah diisiolasi menunjukkan kemiripan dengan kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada gaharu antara lain senyawa 11-hydroxycapitulatin B dan capitulatin B, senyawa golongan seskuiterpen yang diisolasi dari N. oryzae A8, isolat dari A. sinensis in (Li et al. 2014), juga senyawa frabenol yang diisolasi dari F. rabenhorstii A20 (Tao et al. 2011).

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa senyawa chromone dan turunannya merupakan komponen penting dalam gaharu. Isolasi senyawa dari kultur padat fungi endofit B. rhodina A13 pada A. sinensis menunjukkan bahwa fungi ini mampu menghasilkan tujuh senyawa analog 2-(2-phenylethyl)chromone (Zhang et al. 2017). Senyawa-senyawa yang berhasil diidentifikasi berdasarkan data spektral karakteristik fisika kimia meliputi 6-hydroxy-7-methoxy-2-(2-phenylethyl)chromone (1), 6,7-dimethoxy-2-(2-phenylethyl) chromone (2), (5S,6R,7S,8R)-

Sumber: Sen et al. (2017)

Gambar 9. Mekanisme pembentukan gaharu hasil interaksi antara fungi dan A. malaccensis. Kompleks regulasi genom dan metabolisme pada gaharu dan Fusarium memicu pengaturan mekanisme pertahanan, dan induksi jalur biosintesis metabolit sekunder melalui seperti jalur mevalonat, LOX dan lilin

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 43

Page 61: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrchromone (3), 6-hydroxy-2-(2-phenylethyl)chromone (4), 4′-hydroxy-2-(2-phenylethyl)chromone (5), 6-methoxy-2-phenethyl-4H-chromen-4-one (6), dan 6-methoxy-2-(4′-methoxy-phenethyl)-4H-chromen-4-one (7) (Gambar 10).

I. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Endofit dari Aquilaria Spp.

Induksi gaharu hasil budidaya melalui bioinduksi selalu dikaitkan dengan interaksi antara fungi patogen maupun endofit dengan tumbuhan inang. Peran bakteri umumnya tidak pernah dibahas karena umumnya bakteri hanya menyebabkan proses pembusukan pada jaringan luka. Namun demikian, Bhore et al. (2013) yang menggunakan teknik amplifikasi PCR berdasarkan kesamaan sekuen 16S rRNA mengisolasi bakter-bakteri endofit dari tujuh spesies Aquilaria yang tumbuh di Malaysia. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis bakteri endofit yang bersimbosis dengan spesies Aquilaria (Tabel 3).

Seperti diketahui, bakteri endofit dapat menyintesis senyawa kimia di dalam tumbuhan inangnya. Perlu dipelajari lebih jauh bagaimana peran bakteri endofit ini kaitannya dalam

membantu proses pertahanan pada tumbuhan. Selain itu, koleksi bakteri endofit ini juga memungkinkan ekplorasi lebih jauh untuk menghasilkan produk-produk potensial seperti senyawa obat, hormon tumbuhan maupun senyawa alami baru lainnya.

J. PenutupTeknik bioinduksi pembentuk gaharu

dengan menggunakan mikroba dipandang lebih memberi kepastian dan menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan fisik atau kimia dalam menghasilkan gaharu hasil budidaya. Prinsip Bioindukasi dengan bantuan mikroba merupakan satu cara mengimitasi atau meniru proses kejadian pembentukan gaharu secara alami dengan pola induksi dipercepat, yaitu dengan membuat pelukaan sebanyak mungkin dan memasukan mikroba pembentukan gaharu secara berurutan. Bioinduksi gaharu dengan elisitasi fungi menunjukkan komposisi senyawa yang sama dengan gaharu yang terbentuk secara alami. Namun demikian, perlu studi lebih lanjut untuk mempelajari bagaimana hubungan interspesifik antara mikroba dan pohon inang penghasil gaharu dalam proses pembentukan gaharu sehingga produksi gaharu dengan bioinduksi dapat dilakukan secara efektif. Selain itu, eksplorasi lebih jauh terhadap potensi

Sumber: Zhang et al. (2017)

Gambar 10. Struktur kimia senyawa analog 2-(2-phenylethyl)chromone yang diisolasi dari B. rhodina A13

44 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 62: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

mikroba endofit ini dapat membantu dalam mengembangkan industri gaharu yang efisien serta ramah lingkungan.

PustakaArimbi RP. (2014). Molecular identification of

Fusarium spp. associated with eaglewood based on its internal transcribed spacer sequence. Thesis S-2 Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor.

Bhattacharyya B. (1952). On the formation and development of agaru in Aquilaria agallocha. Scientific Culture. 18: 240–243.

Bhore SJ, Preveena J, & Kandasamy KI. (2013). Isolation and identification of bacterial endophytes from pharmaceutical agarwood-producing Aquilaria species. Pharmacognosy Research. 5: 134–137.

Bose SR. (1934). The nature of agar formation. Scientific Culture. 4: 89–91.

Budi SW, Santoso E, Wahyudi A. (2010). Identifikasi jenis-jenis fungi yang potensial terhadap pembentukan gaharu dari batang Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika. 1: 1–5.

Chen H, Yang Y, Xue J, Wei J, Zhang Z, & Chen H. (2011). Comparison of compositions and antimicrobial activities of essential oils from chemically stimulated agarwood, wild agarwood and healthy Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg trees. Molecules. 16: 4884–4896.

Chen X, Sui C, Liu Y, Yang Y, Liu P, Zhang Z, & Wei J. (2017). Agarwood formation induced by fermentation liquid of Lasiodiplodia theobromae, the dominating fungus in wounded wood of Aquilaria sinensis. Current Microbiology. 74: 460–468.

Chhipa H, Chowdhary K, Kaushik N. (2017). Artificial production of agarwood oil in Aquilaria sp. by fungi: a review. Phytochemistry Reviews. Doi:10.1007/s11101-017-9492-6

CITES. (2004). Amendments to appendices I and II of CITES In Proceedings of Thirteenth Meeting of the Conference of the Parties, Bangkok, Thailand.

Cui J-l, Guo S-x, & Xiao P-g. (2011). Antitumor and antimicrobial activities of endophytic fungi from medicinal parts of Aquilaria sinensis. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 12: 385–392.

Djonović S, Pozo MJ, Dangott LJ, Howell CR, & Kenerley CM. (2006). Sm1, a proteinaceous elicitor secreted by the biocontrol fungus Trichoderma virens induces plant defense responses and systemic resistance. Molecular Plant-Microbe Interaction. 19: 838–853.

Dutta D, Puzari KC, Gogoi R, & Dutta P. (2014). Endophytes: exploitation as a tool in plant protection. Brazilian Archives Biology and Technology. 57: 621–629.

Faizal A, Esyanti RR, Aulianisa EN, Iriawati, Santoso E, Turjaman M. (2017). Formation of agarwood from Aquilaria malaccensis in response to inoculation of local strains of Fusarium solani. Trees. 31: 189–197.

Gibson I. (1977). The role of fungi in the origin of oleoresin deposits (agaru) in the wood of Aquilaria agallocha Roxb. Bano Biggan Patrika. 6: 16–26.

Gong LJ, & Guo SX. (2009). Endophytic fungi from Dracaena cambodiana and Aquilaria sinensis and their antimicrobial activity. African Journal of Biotechnology. 8: 731–736.

Hashim YZ, Phirdaous A, & Azura A. (2014). Screening of anticancer activity from agarwood essential oil. Pharmacognosy Research. 6: 191–194.

Henry G, Thonart P, & Ongena M. (2012). PAMPs, MAMPs, DAMPs and others: an update on the diversity of plant immunity elicitors. Biotechnology, Agronomy, Society and Environment. 16: 257–268.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 45

Page 63: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Iriti M, Castorina G, Vitalini S, Mignani I, Soave C, Fico G, & Faoro F. (2010). Chitosan-induced ethylene-independent resistance does not reduce crop yield in bean. Biological Control. 54: 241–247.

Jones JDG, & Dangl JL. (2006). The plant immune system. Nature. 444: 323–329.

Karlinasari L, Indahsuary N, Kusumo HT, Santoso E, Turjaman M, & Nandika D. (2015). Sonic and ultrasonic waves in agarwood trees (Aquilaria microcarpa) inoculated with Fusarium solani. Journal of Tropical Forest Science. 27: 351–356.

Komar TE, Wardani M, Hardjanti FI, & Ramdhania N. (2014). In-situ and ex-situ conservation of Aquilaria and Gyrinops: a review. Research and Development Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development in cooperation with International Tropical Timber Organization (ITTO)–CITES Phase II Project.

Kombrink E, & Schmelzer E. (2001). The hypersensitive response and its role in local and systemic disease resistance. European Journal of Plant Pathology. 107: 69–78.

León J, Rojo E, & Sánchez-Serrano JJ. (2001). Wound signalling in plants. Journal of Experimental Botany. 52: 1–9.

Li D, Chen Y, Pan Q, Tao M, & Zhang W. (2014). A new eudesmane sesquiterpene from Nigrospora oryzae, an endophytic fungus of Aquilaria sinensis. Records of Natural Products. 8: 330–333.

Lisdyani, Anna N, & Siregar EBM. (2015). Reisolasi dan identifikasi fungi pada batang batang gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) hasil induksi. Peronema Forestry Science Journal. 4: 1–5.

Martin KJ, & Rygiewicz PT. (2005). Fungal-specific PCR primers developed for analysis of the ITS region of environmental DNA extracts. BMC Microbiology. 5: 28–28.

Meziane H, van Der Sluis I, Van Loon LC, Hofte M, & Bakker PAHM. (2005). Determinants of Pseudomonas putida WCS358 involved in inducing systemic resistance in plants. Molecular Plant Pathology. 6: 177–185.

Mishra AK, Sharma K, & Misra RS. (2009). Purification and characterization of elicitor protein from Phytophthora colocasiae and basic resistance in Colocasia esculenta. Microbiology Research. 164: 688–693.

Mohamed R, Jong PL., & Kamziah AK. (2014). Fungal inoculation induces agarwood in young Aquilaria malaccensis trees in the nursery. Journal of Forestry Research. 25: 201–204.

Naef R. (2011). The volatile and semi-volatile constituents of agarwood, the infected heartwood of Aquilaria species: A review. Flavour and Fragrance Journal. 26: 73–89.

Naf R, Velluz A, Brauchli R, & Thommen W. (1995). Agarwood oil (Aquilaria agallocha Roxb.). Its composition and eight new valencane-, eremophilane and vetispirane derivatives. Flavour and Fragrance Journal. 10: 147–152.

Nicaise V, Roux M, & Zipfel C. (2009). Recent advances in PAMP-triggered immunity against bacteria: pattern recognition receptors watch over and raise the alarm. Plant Physiology. 150: 1638–1647.

Nimnoi P, Pongsilp N, & Lumyong S. (2010). Endophytic actinomycetes isolated from Aquilaria crassna Pierre ex Lec and screening of plant growth promoters production. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 26: 193–203.

Pasaribu G, Waluyo TK, & Pari G. (2015) Analysis of chemical compounds distinguisher for agarwood qualities. Indonesian Journal of Forestry Research. 2: 1–7.

46 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 64: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Peng CS, Osman MF, Bahari N, Nuri E, Zakaria R & Rahim KA. (2015) Agarwood inducement technology: A method for producing oil grade agarwood in cultivated  Aquilaria malaccensis  Lamk. Journal of Agrobiotechnology. 6: 1–16.

Premalatha K, & Kalra A. (2013). Molecular phylogenetic identification of endophytic fungi isolated from resinous and healthy wood of Aquilaria malaccensis, a red listed and highly exploited medicinal tree. Fungal Ecology. 6: 205–211.

Rahayu G. (2010). Fragrance formation in Aquilaria spp. shoot culture induced by Acremonium sp. Microbiology Indonesia. 4: 55–59.

Rasool S, & Mohamed R. (2016). Understanding agarwood formation and its challenges. In Mohamed R (Eds.) Agarwood: Science Behind the Fragrance. p: 39–56. Springer Singapore, Singapore.

Schoch CL, Seifert KA, Huhndorf S, Robert V, Spouge JL, Levesque CA, Chen W, & Consortium FB. (2012), Nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region as a universal DNA barcode marker for Fungi. Proceeding of the National Academy of Sciences. 109: 6241–6246.

Sen S, Dehingia M, Talukdar NC, & Khan M. (2017). Chemometric analysis reveals links in the formation of fragrant biomolecules during agarwood (Aquilaria malaccensis) and fungal interactions. Scientific Reports. 7: 44406.

Sitepu IR, Santoso E, Siran SA, & Turjaman M. (2011). Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer provide. In: Production and Utilization Technology for Sustainable Development of Gaharu in Indonesia, Bogor, Indonesia.

Subowo YB. (2010). Fungi pembentuk gaharu sebagai penjaga kelangsungan hidup tanaman gaharu (Aquilaria sp.). Jurnal Teknik Lingkungan. 11: 167–173.

Susmianto A, Turjaman M, & Setio P. (2014). Rekam jejak: gaharu induksi, teknologi Badan Litbang Kehutanan. Indonesia: FORDA PRESS.

Tajuddin SN, Aizal CM, & Yusoff MM. (2016). Resolution of complex sesquiterpene hydrocarbons in Aquilaria malaccensis volatile oils using gas chromatography technique. In Mohamed R (Eds.) Agarwood: Science Behind the Fragrance. p: 103–124. Springer Singapore, Singapore.

Tamuli P, Boruah P, Nath SC, & Samantha R. (2000). Fungi from diseased agarwood tree (Aquilaria agallocha Roxb.): two new records. Advances in Forestry Research in India. 22: 182–187.

Tao M-H, Yan J, Wei X-Y, Li D-L., Zhang W-M, & Tan J-W. (2011) A novel sesquiterpene alcohol from Fimetariella rabenhorstii, an endophytic fungus of Aquilaria sinensis. Natural Product Communications. 6: 763–766.

Tian J, Gao X, Zhang W, Wang L, Qu L. (2013). Molecular identification of endophytic fungi from Aquilaria sinensis and artificial agarwood induced by pinholes infusion technique. African Journal of Biotechnology. 12: 3115–3131.

Turjaman M. (2014). Industri hulu-hilir gaharu. In Susmianto A, Turjaman M, & Setio P (Eds.) Rekam jejak gaharu induksi. p.: 185–216. Indonesia: FORDA PRESS.

Turjaman M, Hidayat A, & Santoso E. (2016) Development of agarwood induction technology using endophytic fungi. In Mohamed R (Eds.) Agarwood: Science Behind the Fragrance. p: 57–71. Springer Singapore, Singapore.

Wang L, Zhang W, Pan Q, Li H, Tao M, & Gao X. (2009). Isolation and molecular identification of endophytic fungi from Aquilaria sinensis. Journal of Fungal Research. 7: 37–42.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 47

Page 65: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Wong M, Siah C, Faridah Q, & Mohamed R. (2013) Characterization of wound responsive genes in Aquilaria malaccensis. Journal of Plant Biochemistry and Biotechnology. 22: 168–175.

Wu Z-C, Li D-L, Chen Y-C, & Zhang W-M. (2010) A New Isofuranonaphthalenone and benzopyrans from the endophytic fungus Nodulisporium sp. A4 from Aquilaria sinensis. Helvetica Chimica Acta. 93: 920–924.

Xu Y, Zhang Z, Wang M, Wei J, Chen H, Gao Z, Sui C, Luo H, Zhang X, Yang Y, Meng H & Li W. (2013) Identification of genes related to agarwood formation: transcriptome analysis of healthy and wounded tissues of Aquilaria sinensis. BMC Genomics. 14: 1–16.

Yang L, Qiao L, Ji C, Xie D, Gong N-B, Lu Y, Zhang J, Dai J, & Guo S. (2013) Antidepressant abietane diterpenoids from Chinese eaglewood. Journal of Natural Products. 76: 216–222.

Yoswathana N. (2013) Extraction of agarwood (Aquilaria crassna) oil by using supercritical carbon dioxide extraction and enzyme pretreatment on hydrodistillation. Journal of Food, Agriculture and Environment. 11: 1055–1059.

Zhang Y, Liu H-x, Li W-s, Tao M-h, Pan Q-l, Sun Z-h, Ye W, Li H-h, Zhang W-m. (2017) 2-(2-Phenylethyl)chromones from endophytic fungal strain Botryosphaeria rhodina A13 from Aquilaria sinensis. Chinese Herbal Medicines. 9: 58–62.

48 • INTERAKSI MIKROBA DENGAN POHON PENGHASIL GAHARU GENUS Aquilaria

Page 66: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 4 APLIKASI UNTUK BIO-HEALTHY

Pemanfaatan sumber bahan alam dari ekstraksi langsung bagian tamanan; daun, kulit,

batang atau akar memiliki banyak terbatasan. Salah satunya adalah meningkatnya kerusakan

habitat, menipis, dan terfagmentasinya populasi tanaman potensial sumber obat. Program

budidaya dan konservasi bukan merupakan jalan yang lebih efektif untuk mencari sumber

bahan alam. Berbasis pada penerapan bioteknologi, fermentasi mikroba menjadi salah

satu alternatif penyedian sumber bahan alam yang lebih efektif dan efisien. Potensi mikroba

yang diungkapkan adalah mikroba endofit yang memiliki potensi sebagai obat antikanker

(Taxol@), meliputi teknik isolasi dan identifikasi, proses fermentasi, kuantifikasi senyawa aktif,

prospek dan tantangan.

Page 67: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 68: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Oleh:Asep Hidayat dan Rizna Triana Dewi

A. PendahuluanPaclitaxel (Taxol®), seperti halnya docetaxel,

merupakan senyawa aktif anti kanker yang masuk ke dalam kelompok Taxanes. Senyawa ini bekerja melalui penghambatan mitosis. Taxol dan docetaxel adalah kelas senyawa aktif pertama yang memiliki peran sebagai agen penstabil mikrotubula (mictotubule-stabilizing-agent/MSA). Kedua senyawa aktif tersebut direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA) yang secara klinis digunakan untuk penyembuhan kanker payudara, ovarium, prostat dan non-small-cell lung carcinoma (Onrubia et al. 2013). Taxol pertama kali diisolasi dan diidentifikasi dari bagian kulit batang kayu Taxus brevifolia (Pasific yew) yang tumbuh di areal pegunungan North Western, Amerika Serikat dan Western Canada (Farrar 1995). Selang beberapa tahun setelah proses isolasi (1963–1971), baru kemudian struktur kimia Taxol teridentifikasi (Gambar 1). Taxol adalah golongan senyawa diterpenes yang sangat komplek, dengan nama kimiawi 5β, 20-epoxy-1,2 α,4,7 β,13 α - hexahydroxytax-11-en-9one-4, 10-diacetate-2-benzoate 13 ester dengan (2R,3S)-N-benzoyl-3-phenylisoserine; dengan formulasi C47H51NO14 dengan berat molekul 853.9 Da (Panchagnula 1998).

Namun demikian rasio permintaan, dan ketersediaan Taxol masih memiliki banyak kesulitan dan permasalahan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: 1) jumlah bahan aktif (Taxol) yang terbatas dengan rendemen produk yang sangat rendah 0.01–0.05% (Suffness 1995); 2) pertumbuhan

tanaman (Genus Taxus) yang sangat lambat (Garyali, 2013); 3) terlokalisasinya Taxol pada bagian organ yang spesifik (Frense, 2007); dan 4) keterancaman kelestarian Genus Taxus karena kegiatan pemanenan yang berlebihan dan alih fungsi lahan hutan (IUC, 2014). Padahal di lain pihak Zhou et al. (2010) melaporkan bahwa Taxol adalah senyawa yang memiliki resiko atau efek samping yang kecil, efisiensi dan efisien dalam membunuh sel kanker sehingga menjadikannya obat yang paling popular dan paling dicari di dunia. Satu pasien penderita kanker paling tidak membutuhkan sekitar 2–2,5g Taxol atau setara kurang lebih 6–8 pohon Taxus yang berumur minimal 60 tahun (Malik et al. 2011). Untuk alasan itulah, beberapa penelitian dan usaha untuk mencari alternatif-alternatif baru untuk memproduksi Taxol adalah langkah dan kunci terpenting dalam rangka menjaga kelestratian Genus Taxus dan menyeimbangkan suplai dan permintaan Taxol yang sampai sejauh ini masih belum seimbang.

Program penanaman Taxus, kecuali Taxus sumatrana yang penyebaran alaminya sampai ke Indonesia, merupakan kegiatan pemuliaan pohon. Taxus yang hidup di alam dirubah menjadi pohon yang dapat dibudidayakan secara intensif. Tujuannya adalah menekan tingginya laju eksploitasi melalui peningkatkan produksi perbanyakan secara massal, cepat tumbuh dan memilih Taxus yang memiliki kandungan Taxane yang tinggi (Smith et al. 2006). Program penanaman Taxus bukan satu-satunya jalan yang lebih efektif untuk memproduksi Taxol dan tentu harus dicari

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 51

Page 69: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

teknologi lain yang dinilai lebih efisien dalam memproduksi Taxol. Ilmuwan terus bergerak pada peneltian-penelitian dasar berbasis bioteknologi untuk menciptakan mekanisme produksi Taxol yang lebih efektif dan efisien. Beberapa di antara penelitian tersebut adalah melalui sintesis total secara kimiawi (Masters et al. 1995), semi-sintesis (biologi – kimia, Yuan et al. 1996), kultur sel/kalus (Vongpaseuth dan Roberts 2007) dan mikroba fermentasi (Zhou et al. 2010; Frense 2007; Jalgaonwala et al. 2011).

Ketertarikan ilmuwan dalam melakukan produksi Taxol melalui perantaraan agen mikroba fermentasi berawal dari penelitian

yang dilakukan oleh Stierle et al. (1993). Taxomyces andeanae, jamur endofit yang diisolasi dari kulit luar T. brevifolia dideteksi menghasilkan Taxol dengan konsentrasi 24–25 ng/L. Pengembangan dan pemanfaatan jamur endofit jamur penghasil Taxol terus bergerak secara signifikan. Hal ini didasarkan pada kenyataannya bahwa pertumbuhan jamur endofit yang sangat cepat dan proses fermentasi yang sangat mudah (Li et al. 2003). Jika penerapan bioteknologi terbukti dapat menjamin peningkatan produksi Taxol oleh jamur endofit (rendemen > 1 mg/L), maka prospek pengembangan produksi Taxol skala besar oleh endofit akan sangat prospektif.

57

karena kegiatan pemanenan yang berlebihan dan alih fungsi lahan hutan (IUC, 2014).

Padahal dilain pihak Zhou et al., (2010) melaporkan bahwa Taxol adalah senyawa

yang memiliki resiko atau efek samping yang kecil, efisiensi dan efisien dalam

membunuh sel kanker, sehingga menjadikannya obat yang paling popular dan paling

dicari di dunia. Satu pasien penderita kanker paling tidak membutuhkan sekitar 2-2,5g

Taxol atau setara kurang lebih 6-8 pohon Taxus yang berumur minimal 60 tahun

(Malik et al., 2011). Untuk alasan itulah, beberapa penelitian dan usaha untuk

mencari alternatif-alternatif baru untuk memproduksi Taxol adalah langkah dan kunci

terpenting dalam rangka menjaga kelestratian Genus Taxus dan menyeimbangkan

suplai dan permintaan Taxol yang sampai sejauh ini masih belum seimbang.

A B

C

Sumber: Itokawa dan Sankawa (2003)

57

karena kegiatan pemanenan yang berlebihan dan alih fungsi lahan hutan (IUC, 2014).

Padahal dilain pihak Zhou et al., (2010) melaporkan bahwa Taxol adalah senyawa

yang memiliki resiko atau efek samping yang kecil, efisiensi dan efisien dalam

membunuh sel kanker, sehingga menjadikannya obat yang paling popular dan paling

dicari di dunia. Satu pasien penderita kanker paling tidak membutuhkan sekitar 2-2,5g

Taxol atau setara kurang lebih 6-8 pohon Taxus yang berumur minimal 60 tahun

(Malik et al., 2011). Untuk alasan itulah, beberapa penelitian dan usaha untuk

mencari alternatif-alternatif baru untuk memproduksi Taxol adalah langkah dan kunci

terpenting dalam rangka menjaga kelestratian Genus Taxus dan menyeimbangkan

suplai dan permintaan Taxol yang sampai sejauh ini masih belum seimbang.

A B

C

Sumber: Itokawa dan Sankawa (2003)

57

karena kegiatan pemanenan yang berlebihan dan alih fungsi lahan hutan (IUC, 2014).

Padahal dilain pihak Zhou et al., (2010) melaporkan bahwa Taxol adalah senyawa

yang memiliki resiko atau efek samping yang kecil, efisiensi dan efisien dalam

membunuh sel kanker, sehingga menjadikannya obat yang paling popular dan paling

dicari di dunia. Satu pasien penderita kanker paling tidak membutuhkan sekitar 2-2,5g

Taxol atau setara kurang lebih 6-8 pohon Taxus yang berumur minimal 60 tahun

(Malik et al., 2011). Untuk alasan itulah, beberapa penelitian dan usaha untuk

mencari alternatif-alternatif baru untuk memproduksi Taxol adalah langkah dan kunci

terpenting dalam rangka menjaga kelestratian Genus Taxus dan menyeimbangkan

suplai dan permintaan Taxol yang sampai sejauh ini masih belum seimbang.

A B

C

Sumber: Itokawa dan Sankawa (2003) Sumber: Itokawa dan Sankawa (2003)

Gambar 1. Struktur molekul dari 10 deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B) dan paclitaxel (C), molecular structure of 10 deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B) and paclitaxel (C)

52 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 70: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Hal ini bukan hanya akan menekan biaya dan meningkatkan suplai Taxol, namun juga hal penting lainnya yang bisa dicapai adalah pelestarian pohon Taxus yang terancam keberadaannya di alam. Upaya peningkatan produksi Taxol melalui fermentasi jamur dapat dilakukan melalui serangkain penelitian-penelitian dasar yang difokuskan pada skrining dan isolasi jamur endofit yang secara alami terbukti mampu menghasilkan kandungan Taxol yang tinggi, seleksi strain jamur endofit melalui mekanisme bioteknologi modern (proses mutasi baik secara fisik dan genetik), dan manipulasi media fermentasi (suhu, pH, jumlah inkulum, media, dan lama waktu fermentasi) (Zhou et al. 2010). Tulisan ini diharapkan memberikan informasi, pemahaman dan bahan acuan baru tentang perkembangan penelitian jamur endofit penghasil Taxol.

B. Jamur Endofit

1. Apa itu jamur endofit? Endofit adalah mikroorganisme yang hidup

dan menginfeksi jaringan dalam tanaman tanpa menyebabkan penyakit atau pengaruh yang merugikan, dan hidup bermutualisme dengan tanaman inangnya, paling tidak dalam satu bagian siklus hidupnya (Bacon dan White 2000). Di antara mikroorganisme, endofit paling banyak ditemukan adalah jamur, namun tidak menutup kemungkinan kalau bakteri, mikroplasma dan aktinomicetes juga ditemukan sebagai endofit pada tanaman (Staniek et al. 2008).

2. Di Mana ditemukan?Berbeda dengan jamur mikoriza, jamur

endofit berada sepenuhnya pada jaringan di dalam tanaman baik yang tumbuh pada bagian daun, batang dan akar. Secara garis besar endofit dikelompokan ke dalam dua tipe yaitu jamur endofit clavicipaceous dan jamur

endofit nonclavicipaceous. Pengklasifikasian ini didasarkan pada lokasi keberadaannya pada pohon inang (akar, daun dan/atau batang), jumlah koloni, keragaman koloni ( jumlah spesies), dan keuntungan yang diberikan (fungsi ekologi, Rodriquez et al. 2009).

Banyaknya penemuan tentang isolasi jamur endofit menunjukkan bahwa jamur tersebut berpotensi untuk membantu stimulasi proses produksi bioaktif metabolit (metabolit sekunder) untuk pertahanan, pertumbuhan dan manfaat lain bagi pohon inang (Kusari et al. 2012; Selim et al. 2012). Dalam proses biosintesis Taxol oleh pohon inang Taxus, setidaknya membutuhkan 19 enzim dan enzim tersebut ternyata disekresikan oleh jamur endofit. Hal ini menunjukkan bahwa proses metabolit sekunder, misal: Taxol, terjadi dengan melipatkan peran jamur endofit.

C. Isolasi dan Identifikasi Jamur Penghasil Taxol

1. Isolasi jamur endofit penghasil Taxol

Isolasi jamur endofit sangat praktis dan sederhana. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah sterilisasi permukaan dan pemotongan sampel bagian pohon inang sebagai bahan eksplan. Tujuannya adalah meminimalisasi pertumbuhan efifit mikroba yang tumbuh pada bagaian permukaan tanaman. Media isolasi dapat digunakan antara lain air agar, potato dextrose agar (PDA), yeast extract agar (YEA), rose bengal chloramphenicol agar, luria bertani agar, dan humic acid vitamin agar (Jalgaonwala et al. 2011). Jamur-jamur endofit yang tumbuh dipisahkan/dibedakan untuk kemudian diisolasi agar didapat individu jamur yang murni. Temperatur 25–30OC adalah suhu yang ideal bagi jamur ini tumbuh, dengan lama penyimpanan selama 2–3 minggu.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 53

Page 71: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Terdapat dua cara yang digunakan untuk mengisolasi dan memisahkan jamur endofit dari pohon inangnya. Pertama (Garyali et al. 2013), kulit batang pohon inang (1 x 3 cm) dari batang muda dikoleksi untuk kemudian dicuci oleh air yang mengair dan air yang steril. Permukaan kulit batang kemudian disterilisasi dengan cara merendamkannya ke dalam 70% alkohol (1–2 menit), cuci dengan 4% sodium hipoklorit (1–1.5 menit) dan kemudian dicuci kembali oleh air steril beberapa kali. Bagian kulit batang kemudian dibuang sehingga didapat kulit batang bagian dalam (0,5 x 0,5 x 0,5 cm), sebagai spesimen. Kemudian spesimen tersebut diletakan pada permukaan media PDA. Isolasi permurnian dilakukan dengan cara mengambil dan menempelkan bagian hifa setiap individu ke media PDA yang baru. Pemurnian dan pengecekan dilakukan beberapa kali untuk memastikan bahwa jamur yang diisolasi sudah murni. Cara kedua (Caruso et al. 2000; Wang et al. 2008) yaitu bagian permukaan jaringan tanaman (kulit, akar, daun) disterilsasi dengan cara merendamkannya ke dalam larutan sodium hipoklorit (3 menit) dan air (30 detik). Spesimen yang telah dipotong (5 mm) kemudian diletakan di atas permukaan air agar (2%). Setelah masa inkubasi beberapa hari, hypa yang tumbuh pada bagian dalam spesimen diambil dan diletakan pada media PDA. Pemurnian dapat terus dilakukan sampai di dapat isolat yang benar-benar murni.

Zhao et al. (2010) melaporkan bahwa ketertarikan akan penelitian jamur endofit yang diisolasi dari pohon inang genus Taxus, begitu juga hubunganya dengan pohon inang lainnya, proses fermentasi, dan rekayasa genetik terus berkembang. Hal ini dikarenakan proses skrining dan isolasi memegang peranan penting sebagai tahap seleksi awal untuk memilih jamur endofit yang secara alami memproduksi Taxol dengan kadar yang tinggi. Dari hasil yang sudah

ada, paling tidak ditemukan 19 genera jamur endofit penghasil Taxol, dan turunannnya (misal: baccatin III dan 10-deacetylbaccatin III), seperti antara lain Alternaria, Aspergillus, Botryodiplodia, Botrytis, Cladosporium, Ectostroma, Fusarium, Metarhizium, Monochaetia, Mucor, Ozonium, Papulaspora, Periconia, Pestalotia, Pestalotiopsis, Phyllosticta, Pithomyces, Taxomyces, dan Tubercularia. Pohon inang jamur endofit penghasil Taxol tidak hanya terbatas pada genus Taxus (misal:. T. baccata, T. cuspidata, T. media, dan T. yunnanensis) tetapi genus lainnya (misal:. Cardiospermum helicacabum, Citrus medica, Cupressus sp., Ginkgo biloba, Hibiscus rosa-sinensis, Podocarpus sp., Taxodium distichum, Terminalia arjuna, Torreya grandifolia, dan Wollemia nobilis). Tabel 1 merangkum beberapa jamur endofit penghasil Taxol. Hidayat et al. (2014) melaporkan bahwa Jamur endofit yang disolasi dari T. sumatrana, yang tumbuh di Indonesia, telah dicoba untuk diisolasi tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sampai saat ini penelitian tentang kandungan paclitaxel masih terus berjalan dan belum dipublikasikan.

2. Identifikasi jamur endofit penghasil Taxol

Identifikasi dapat dilakukan dengan cara melihat karaketristik secara morphologi dan/atau molekuler. Identifikasi secara morphologi adalah cara yang paling umum. Identifikasi ini dilakukan dengan cara melihat karakteristik phenotip jamur yang dikulturkan, seperti: koloni atau hypa, spora dan struktur reproduksi (Wei 1979). Jamur endofit umumnya adalah jamur askomisetes dan aseksual, tetapi terkadang ditemui ada yang tidak dapat memproduksi spora meskipun sudah dikulturkan 3–4 bulan (Huang et al. 2001). Jika ditemukan hal yang demikian, maka pengecekan pada tubuh buah

54 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 72: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

jamur harus dilakukan. Namun demikian, hampir 42% strain jamur endofit tidak dapat teridentifikasi secara sempurna oleh teknik ini (Zhang et al. 1999).

Dengan kemajuan teknologi maka teknik identifikasi secara molekular merupakan metode yang lebih modern dan efisien dalam mengidentifikasi jamur endofit. Identifikasi dilakukan dengan membandingakan urutan basa nukleotida pada region internal-transcriber spacer (ITS), 5.8 S, 26 S, 18 rDNA dan/atau 18 rRNA (Wang et al. 2008; Sreekanth et al. 2011; Chakravarthi et al. 2008; Selim et al. 2012; Garyali et al. 2013; 2009; Zhou et al. 2010). Produk polymerase chain reaction (PCR) yang telah murni kemudian di sequensing. Persentase

kemiripan urutan basa nukleotide dicari dengan membandingkannya dengan data jamur endofit yang tersedia pada NCBI melalui GenBank BLAST (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). Konstruksi pohon philogeni dibuat dengan bantuan software, misal: Mega5 (Tamura et al. 2011).

3. Identifikasi kandungan Taxol

Untuk menghasilkan Taxol maka proses fermentasi jamur endofit harus dilakukan pada media yang cocok. Tahapan proses fermentasi itu sendiri terdiri atas dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk memastikan agar jamur yang akan dibiakkan (inokulum/biakan) tumbuh secara normal. Proses fermentasi sebenarnya

Tabel 1. Jamur endofit penghasil Taxol dengan kandungan lebih dari 24 μg/L

No Jenis Asal ekplanKandungan

TaxolPustaka

1 Taxomyces andeanae Kulit, T brevifolia 24–25 μg/L Strabel et al. 19932 Pestalotiopsi microspora Kulit, T. wallichiana 60–70 μg/L Strobel et al. 1996

3 Tubercularia sp. Stain TF5 Kulit, T maireiIdentifikasi taxol: HPLC, UV, & MS

Wang et al. 2000

4 Nodulisporium sylviforme T. cuspidata 51–126 μg/L Zhou et al. 20015 Strain IFBC-Z38 - 1000 μg/L Chen et al. 20026 Phoma Strain Tax-X - 33 μg/L Chen et al. 20037 Altenaria alternate Strain TFP6 - 85 μg/L Tian et al. 2006

8 Colletotrichum gloeosporioidesDaun, Justicia

gendarusa163 μg/L

Gangadevi dan Muthumary, 2008

9 Bartalina robillardoides Daun, Aegle marmelos 188 μg/LGangadevi dan

Muthumary 200810 Fusarium solani Batang muda, T. celebia 1.6 μg/L Chakravathi et al. 200811 Aspergillus niger T. cuspidata 273 μg/L Zhou et al. 200912 Cladosporium sp. Strain MD2 - 800 μg/L Zhang et al. 200913 Pestalotiopsis versicolor Kulit, T cuspidata 478 μg/L Kumaran et al. 201014 Pestalotiopsis neglecta Daun, T cuspidata 375 μg/L Kumaran et al. 201015 Fusarium redolens Kulit, T. baccata 66 μg/L Garyali et al. 2013

16 Diaporthe phaseolorum T wallichianaBaccatin III, 219

μg/LZaiyou et al. 2013

17 Jamur endofit dari T. sumatrana masih dalam penelitian*)Sumber: Hidayat et al. (2014) yang dimodifikasi

Keterangan: *) penelitian jamur endofit penghasil Taxol dari hutan tropis Indonesia belum ditemukan dalam bentuk laporan ilmiah

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 55

Page 73: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

terjadi pada tahap kedua, di mana pada tahap ini biomassa jamur dikondisikan supaya dapat tumbuh lebih cepat dan Taxol sebagai metabolit sekunder pun dapat dihasilkan. Beberapa media yang sering digunakan dalam proses fermentasi di antaranya adalah S-7, Potato dextrose, dan media minimal berupa media kultur cair (Gangadevi dan Muthumary 2008; Garyali et al. 2013; Stierle et al. 1993; Chakravarthi et al. 2008). Inkubasi dilakukan pada suatu kondisi di mana ruangan tempat penyimpanan kultur tetap terjaga pada suhu 25–30OC, selama 7–21 hari. Suhu, pH, jumlah inokulum (termasuk jenis dan strain inokulum), media, dan lama waktu fermentasi sangat memengaruhi jumlah Taxol yang dihasilkan (Zhou et al. 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Stierle et al. 1995 menunjukkan bahwa penambahan beberapa regulator dan precursor pada proses fermentasi, meningkatkan kandungan Taxol yang dihasilkan.

Setelah masa inkubasi, Taxol yang dihasilkan diisolasi dan diidentifikasi melalui tahapan ekstraksi dan pemurnian. Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pelarut organik baik pada miselia, kultur media dan/atau kedua-duanya secara langsung atau terpisah. Pelarut organik yang umum digunakan dalam proses ekstraksi ini adalah metanol (MeOH), etil asetat (EtoAc), kloroform (CHCl3) dan diklorometan (CH2Cl2). Kandungan asam lemak dihilangkan terlebih dahulu dengan penambahan asam kabonat (Na2CO3, Strobel et al. 1996; Garyali et al. 2013).

Tabel 2. Warna hasil reaksi antara jenis reagent dan Taxol pada Thin Layer Chromatography (TLC)

Jenis reagent Warna yang muncul

Phosphoric acid – eta-nol (2:8 v/v), 120OC

Coklat, brown

Sulfuric acid –metha-nol (1:1 v/v), 110OC

Coklat pekat, dark brown

Iodine-potassium iodide

Coklat kekuning-kunin-gan, yellowish brown

Ninhydrin reagent, 110OC

Coklat, brown

Anisaldehyde-sulfuric reagent

Biru, blue

Ferric trichloride-etahnol reagent, 105OC

Tidak muncul, no rec-tion

Vanillin-sulfuric acid-methanol reagent

Biru, blue

Sumber: Wang et al. (2000)

Taxol pada ekstrak kotor selanjutnya dicek keberadaannya dengan menggunakan TLC (Thin Layer Chromatography, silika gel GF 254; Merck) dan standar otentik Taxol digunakan sebagai pembanding. Beberapa reagent dapat dipilih (Tabel 2.) untuk mempermudah pengecekan keberadaan Taxol melalui perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna tersebut merupakan hasil reaksi antara reagent dengan Taxol. Di antara beberapa reagent yang terlihat pada Tabel 2, reagent dengan solusi 1% vanillin (w/v) dalam sulfuric acid adalah jenis reagent yang banyak dipakai. Jika keberadaan Taxol positif terdeteksi maka spot berwarna biru keabu-abuan akan muncul (Gambar 2.). Beberapa peneliti (Wang et al. 2000; Chakravarthi et al. 2008; Zhou et al. 2009; Gangadevi dan Muthumary 2008) menggunakan beberapa kombinasi pelarut organik sebagai pelarut pembawa dalam analisa TLC, yaitu: A. CHCl3:MeoH (7:1, 9.2:0.8), B. CHCl3:Asetonitril (ACN) (7:3, 4:1), C. EtoAc:isopropanol (9.5:0.5), D. metil

56 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 74: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

chlorida (CH3Cl):tetrahidofuran (THF) (6:2), dan E. CH3Cl:MeOH: dimetilformamida (DMF) (9:0.9:0.1).

Rf - 0.58

Sumber: Chakravarthi et al. (2008)

Gambar 2. TLC analisis dari Taxol. Sample dirunning oleh kombinasi pelarut CHCl3 dan MEOH (9.2:0.8, v/v). 1. Standar Taxol, 2–4 sampel dalam ekstrak kotor MEOH

Titik/spot yang diduga Taxol pada lembaran TLC kemudian dikikis, dikumpulkan dan dimurnikan. Pemurniaan dilakukan pada kolom kromatographi yang diisi oleh silika gel setinggi 12 cm (silika gel 60–120 mesh; Merck) dan CHCl3. Sampel yang tekumpul tadi dimasukan ke dalam column dengan ACN sebagai larutan pembawa. Sampel yang terlarut kemudian di TLC kembali dengan larutan pembawa CHCl3:ACN (7:3). Keberadaan Taxol dideteksi untuk terakhir kalinya dengan menyemprotan reagent (1% vanillin (w/v) dalam sulfuric acid dan divisualisasi di bawah sinar ultraviolet gelombang pendek 250–270 nm (Stierle et al. 1993; Garyali et al. 2013).

Sampel yang telah dimurnikan, dianalisa lebih lanjut dengan UV/Vis spectrophotometry (Gangadevi dan Muthumary 2008; Wang et al. 2000), FAB/fast atom bombardment Mass (Gangadevi dan Muthumary 2008), HPLC/high-performance liquid chromaography

(Gangadevi dan Muthumary 2008; Wang et al. 2000; Chakravarthi et al. 2008; Kumaran et al. 2010; Gangadevi dan Muthumary 2008; Garyali et al. 2013), LC-MS/liquid chromatography-mass spectometry (Wang et al. 2000; Chakravarthi et al. 2008; Kumaran et al. 2010; Gangadevi dan Muthumary 2008; Garyali et al. 2013), MALDI-MS/matrix-assited laser desorpation/ionization (Chakravarthi et al. 2008), dan NMR/nuclear magnetic resonance (Strobel et al. 1996; Kumaran et al. 2010). Analisa dengan HPLC adalah teknik analisa yang paling popular digunakan dalam beberapa penelitian, dengan alasan karena praktisannya, sampel yang diuji tidak hancur/dapat digunakan kembali, dan nilai akurasi analisa yang cukup baik (Gambar 3). Selanjutnya, kandungan Taxol dapat dihitung dengan membuat kurva kalibrasi Taxol standar. Untuk bisa mendeteksi keberadaan Taxol pada alat HPLC maka harus dilakukan dengan pada kolom fase terbalik C18, kombinasi larutan pembawa berupa MeOH, air dan/atau ACN, diode array detector dan/atau UV detector (230–270 nm), dengan laju aliran sampel 1–2 mL/min, volume 10–20 μl, dan waktu analisa 20–30 menit (Kumaran et al. 2010; Gangadevi dan Muthumary 2008; Garyali et al. 2013).

D. Strategi Peningkatan HasilMeskipun penelitian tentang jamur endofit

penghasil Taxol sudah dilakukan semenjak tahun 1993 oleh Stierle et al. (1993) yang merupakan penemu pertama Taxomyces andeanae, jamur endofit penghasil Taxol yang diisolasi dari kulit luar T. brevifolia, namun penelitian ini masih terus berkembang. Salah satunya mengarah pada strategi peningkatan produksi Taxol yang meliputi peningkatan kualitas jamur endofit dan optimalisasi kondisi kultur.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 57

Page 75: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

1. Pengingkatan kualitas jamur endofit

Zhou et al. (2010) menjelaskan peningkatan kualitas jamur endofit dapat dilakukan dengan proses mutasi dan bioteknologi. Mutasi adalah perbaikan karakter genetik dari organisme melalui perlakukan secara fisik (i.e. ultraviolet, χ-ray, γ-rays, fast neutron, laser, microwave, ion beams dan lain-lain) dan kimia (i.e. ethyl methyl sulfomar (EMS), dan nitrosoguanidine (NTG), dan lain-lain). Zhou et al. (2001) melakukan serangkaian penelitian dengan memberikan perlakukan pada jamur endofit penghasil Taxol melalui radiasi UV, EMS, 60Co (60Co–γ-ray), NTG, dan beberapa proses mutagenesis. Perubahan produksi Taxol terjadi pada jamur endofit tersebut, dari 125.7 μg/L Taxol menjadi 314.1 μg/L (meningkat lebih dari 100%). Zhao et al. (2008a) meneliti effect mutasi terhadap HD1-3 melalui pelakuan radiasi UV, NTG, and UV + NTG, dan menemukan bahwa kombinasi perlakukan, radiasi UV, NTG, dan UV + NTG, menghasilkan HD1-3 yang bermutasi dengan hasil yang mengembirakan. Zhao et al. (2008b) melaporkan bahwa fermentasi Taxol juga meningkat menjadi 448.52 ug/L, melalui

perlalukan mutasi baik secara fisik, kimia, energi atom, satellite piggyback ataupun mutasi ganda pada jamur endofit lainnya. Metode kedua dalam upaya peningkatan kualitas jamur endofit adalah melalui bioteknologi. Cara ini adalah yang paling umum digunakan untuk meningkatkan produktivitas hasil untuk jamur-jamur filamen. Beberapa peneliti telah mendapatkan hasil bahwa perbaikan strain jamur penghasil Taxol bisa dilakukan dengan transformasi gen yang terlibat dalam sintesis Taxol melalui rekayasa genetik (Wang et al. 2007a, b, c)

2. Optimalisasi kondisi kultur

Penambahan precursors, zat penghambat/stressing, regulator dan aditif yang lain sangat berpengaruh terhadap kandungan Taxol yang dihasilkan selama proses fermentasi (Stierle et al. 1995; Zhang dan Dong 2002).

Sumber: Guo et al. (2006)

Gambar 3. Analisis HPLC dari Taxol dan sampel. Senyawa standar (spektum bagian bawah): Taxol (16.3 min) dan baccatin III (7.8 min). Sampel (spektum bagian atas)

58 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 76: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

E. Prospek dan Tantangan ke Depan

Produksi Taxol oleh jamur endofit yang diisolasi dari pohon inangnya memberikan manfaat dan prospek yang baik dari prespektif biomolekukar, biokimia dan ekologi. Keuntungannya yang secara langsung dapat dirasakan dengan pemanfaatan jamur endofit adalah potensinya yang sangat baik untuk aplikasi produksi Taxol di masa akan datang. Produksi Taxol dengan pemanfaatan teknologi seperti ini akan menekan laju over eksploitasi Genus Taxus di alam, yang selama ini menjadi satu-satunya bahan baku produksi Taxol. Secara bersamaan, teknologi seperti ini juga meningkatkan suplai Taxol di pasar sehingga menjamin ketersediaan obat anti kanker secara lebih memadai untuk para konsumen. Sejarah telah mencatat bahwa teknologi fermentasi dengan mikroorganisme pada industri farmasi masih memegang peranan penting. Hal ini membuat suatu tantangan baru bagi pelaku industri dan peneliti untuk terus berkerja sama menciptakan sebuah metode alternatif untuk produksi Taxol, yang salah satunya bisa dilakukan dengan peran jamur endofit. Teknologi fermentasi jamur endofit sangat sederhana terlebih jika dibandingkan dengan kultur sel tanaman. Fementasi jamur endofit untuk produksi Taxol juga akan menghasilkan beberapa penemuan produk baru (bioaktif, dan enzyme yang terlibat dalam biosynthesis Taxol) yang memberikan nilai manfaat lainnya.

Meskipun penelitian produksi Taxol dengan fermentasi jamur endofit telah banyak dilakukan secara international, sedikit penelitian di Indonesia, namun aplikasi pada skala produksi masih menemukan beberapa kendala seperti: 1) biomasa yang dihasilkan selama ini masih rendah, 2) Taxol yang dihasilkan dalam kultur media masih kecil, dan 3) masih belum jelasnya

beberapa tahapan biosintesis Taxol itu sendiri, baik proses dan produk antara sehingga kondisi yang optimal untuk fermentasi belum ditemukan (Yuan et al. 2006). Namun demikian teknik fermentasi ini cukup prospektif untuk pengembangan skala besar karena biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit, kandungan Taxol relatif stabil, dan membuka peluang penelitian dengan penemuan yang baru (Yuan et al. 2006; Zhou et al. 2010).

PustakaBacon CW & White JF. (2000). Microbial

endophytes, Marcel Deker Inc, New York.Caruso M, Colombo AL, Fedeli L, Pavesi A,

Quaroni S, Saracchi M, & Ventrella G. (2000). Isolation of endophytic fungi and actinomycetes taxane producers. Annals of Microbiology. 50: 3–13.

Chakravarthi BVSK, Das P, Surendranath K, Karande AA, & Jayabaskaran C. (2008). Production of paclitaxel by Fusarium solani isolated from Taxus celebica. Journal of Biosciences. 33: 259–267.

Farrar JL. (1995). Trees in Canada. Canadian Forest Service and Fitzhenry & Whiteside Ltd. Markham ON.

Frense D. (2007). Taxanes: perspectives for biotechnological production. Applied Microbiology and Biotechnology. 73: 1233–1240.

Gangadevi V, Muthumary J. (2008). Isolation of Colletotrichum gloeosporioides, a novel endophytic taxol-producing fungus from the leaves of a medicinal plant, Justicia gendarussa. Mycologia Balcanica. 5: 1–4

Garyali S, Kumar A, Reddy MS. (2013). Taxol Production by an Endophytic Fungus, Fusarium redolens , Isolated from Himalayan Yew. Journal of Microbiology and Biotechnology. 23: 1372–1380.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 59

Page 77: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Guo BH, Wang YC, Zhou XW, Hu K, Tan F, Miao ZQ, & Tang KX. (2006). An endophytic Taxol-producing fungus BT2 isolated from Taxus chinensis var. mairei. African Journal of Biotechnology. 5: 875–877.

Hidayat A, Subiakto A, Rachmat HH. (2014). Taxus sumatrana, mutiara terpendam dari zamrud Sumatra. Bogor–Indonesia: Forda Press.

Huang WY, Cai YZ, Hyde KD, Corke H, & Sun M. (2008). Biodiversity of endophytic fungi associated with 29 traditional Chinese medicinal plants. Fungal Diversity. 33: 61–75.

Itokawa H. & Sankawa U. (2003). Biosyenthesis of toxoids. In Itakawa H, & Lee K-H (Eds.) Taxus: the Genus Taxus. p: 19–34. New York: Taylor and Francis.

Jalgaonwala RE, Mohite BV, & Mahajan RT. (2011). A review: Natural products from plant associated endophytic fungi. Journal of Microbiology and. Biotechnology Research. 1: 21–32.

Kumaran RS, Kim HJ, & Hur BK. (2010). Taxol promising fungal endophyte, Pestalotiopsis species isolated from Taxus cuspidate. Journal of Bioscience & Bioengineering. 110: 541–546.

Kusari S, Hertweck C, & Spiteller M. (2012). Chemical Ecology of Endophytic Fungi: Origins of Secondary Metabolites. Chemistry & Biology. 19: 792–798.

Lin FC, Liu XH, Wang HK, Zhang CL. (2003). Recent research and prospect on taxol and its producing fungi. Acta Microbiologica Sinica. 43: 534–538.

Malik S, Cusidó RM, Mirjalili MH, Mayona E, Palzon J, & Bonfill M. (2011). Production of the anticancer drug taxol in Taxus baccata suspension cultures: A review. Process Biochemistry. 46: 23–34.

Masters JJ, Link JT, Snyder LB, Young WB, & Danishefsky SJ. (1995). A total synthesis of taxol. Angewandte Chemie International Edition. 34: 1723–1726.

Onrubia M, Cusidó RM, Ramirez K, Hernández-Vázquez L, Moyano E, Bonfill M, & Palazon J. (2013). Bioprocessing of Plant In Vitro Systems for the Mass Production of Pharmaceutically Important Metabolites: Paclitaxel and its Derivatives. Current Medicinal Chemistry. 20: 880–891.

Panchagnula R. (1998). Pharmaceutical aspects of paclitaxel. International Journal of Pharmaceutics. 72: 1–15.

Rodriguez RJ, Henson J, Van Volkenburgh E, Hoy M, Wright L, Beckwith F, Kim Y, & Redman RS. (2008). Stress tolerance in plants via habitat-adapted symbiosis. International Society of Microbial Ecology. 2: 404–416.

Selim KA, El-Beih AA, AbdEl-Rahman TM, & El-Diwany AI. (2012). Biology of Endophytic Fungi. Current Research in Environmental & Applied Mycology. Doi 10.5943/cream/2/1/3.

Smith RF, Cameron SI, Letourneau J, Livingstone T, & Livingstone K. (2006). Assessing The Effects Of Mulch, Compost Tea, And Chemical Fertilizer On Soil Microorganisms And Early Growth, Biomass Partitioning, And Nutrition Of Field-Grown Rooted Cuttings Of Canada Yew (Taxus canadensis). PGRSA 2006 Annual Meeting, July 8–12, Quebec City, Canada.

Sreekanth D, Sushim GK, Syed A, Khan BM, & Ahmad A. (2011). Molecular and Morphological Characterization of a Taxol-Producing Endophytic Fungus, Gliocladium sp., from Taxus baccata. Mycobiology. 39: 151–157.

60 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 78: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Staniek A, Woerdenbag HJ, & Kayser O. (2008). Endophytes: exploiting biodiversity for the improvement of natural product-based drug discovery. Journal of Plant Interactions. 3: 75–93.

Stierle A, Strobel G, & Stierle D. (1993). Taxol and taxane production by Taxomyces andreanae, an endophytic fungus of Pacific yew. Science. 260: 214–216.

Stierle A, Strobel G, Stierle D, Grothaus P, & Bignami G. (1995). The search for a taxol-producing microorganism among the endophytic fungi of the Pacific yew, Taxus brevifolia. Journal of Natural Products. 58: 1315–1324.

Strobel GA, Hess WM, Ford E, Sidhu RS, & Yang X. (1996). Taxol from fungal endophytes and the issue of biodiversity. Journal of Industrial Microbiology. 17: 417–423.

Suffness MV. (1995). Taxol: science and applications. USA: CRC Press.

Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, & Kumar S. (2011). MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Molecular Biology and Evolution. 28: 2731–2739.

Vongpaseuth K, & Roberts SC. (2007). Advancements in the understanding of Paclitaxel metabolism in tissue culture. Current Pharmaceutical Biotechnology. 8: 219–36

Wang JF, Li G, Lu H, Zheng Z, Huang Y, & Su W. (2000). Taxol from Tubercularia sp. strain TF5, an endophytic fungus of Taxus mairei. FEMS Microbiology Letter. 93: 249–243.

Wang JW, Zheng LP, & Tan RX. (2007a). Involvement of nitric oxide in cerebroside-induced defense responses and taxol production in Taxus yunnanensis suspension cells. Applied Microbiology and Biotechnology. 75: 1183–1190.

Wang SW, Ma X, Ping WX, & Zhou DP. (2007b). Research advances on taxol production by microbe fermentation. Microbiology. 34: 561– 565.

Wang Y-T, Lo H-S, Wang P-H. 2008. Endophytic fungi from Taxus mairei in Taiwan: first report of Colletotrichum gloeosporioides as an endophyte of Taxus mairei. Botanical Studies. 49: 39–43.

Wang YC. 2007. Genetic transformation of taxol-producing endo-phytic fungi and molecular cloning of genes involved in taxol biosynthesis pathway. Dissertation, Shanghai Jiao Tong University, Shanghai, China.

Wang YC, Guo BH, Miao ZQ, & Tang KX. (2007c). Transformation of taxol- producing endophytic fungi by restriction enzyme-mediated integration (REMI). FEMS Microbiology Letters. 273: 253–259.

Wei JC. (1979). Hand Book of Fungi Identification. Shanghai: Technology Press.

Yuan JI, BI J-N, YAN B, & ZHU X-D. 2006. Taxol-producing Fungi: A New Approach to Industrial Production of Taxol. Chinese Journal Of Biotechnology. 22: 1–6.

Zaiyou J, Li M, Guifang X, & Xiuren Z. (2013). Isolation of an endophytic fungus producing baccatin III from Taxus wallichiana var. mairei. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 40: 1297–1302.

Zhang LQ, Sheng GU, Shao H, & Wei RC. (1999). Isolation determination and aroma product characterization of fungus producing irone. Mycosystema. 18: 49–54.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 61

Page 79: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Zhang YN, & Dong ZL. (2002). A study on fermentation condition of endophytic fungus associated with taxol. Journal of Northwest University (Natural Science edition). 32: 310–312.

Zhao J, Zhou L, Wang L, Shan L, Zhong L, Liu X, & Gao X. (2010). Endophytic fungi for producing bioactive compounds originally from their host plants. Applied Microbiology and Biotechnology. 86: 1707–1717.

Zhao K, Ping WX, Zhou DP. (2008b). Recent advance and prospect on taxol production by endophytic fungus fermentation: a review. Acta Microbiologica Sinica. 48: 403–407.

Zhao K, Zhao LF, & Zhou DP. (2008a). Isolation of a taxol-producing endophytic fungus and inhibiting effect of the fungus metabolites on HeLa cell. Mycosystema. 27: 735–744.

Zhou DP, Ping WX, Sun JQ, Zhou XH, Liu XL, Yang DZ, Zhang JP, & Zheng XQ. (2001). Isolation of taxol producing fungi. Journal of Microbiology. 21: 18–19, 32.

Zhou X, Zheng W, & Tang K. (2009). Identification of a taxol-producing endophytic fungus EFY-36. African Journal of Biotechnology. 8: 2623–2625.

Zhou X, Zhu H, Lu L, Lin J, & Tang K. (2010). A review: recent advances and future prospects of taxol-producing endophytic fungi. Applied Microbiology and Biotechnology. 86: 1707–1717.

62 • PROSPEK PRODUKSI TAXOL MELALUI FERMENTASI JAMUR ENDOFIT

Page 80: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 5 APLIKASI UNTUK

BIO-FOOD-SECURITY

Salah satu upaya untuk mendukung ketahanan pangan dengan mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan

di Indonesia adalah melalui pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal masyarakat.

Makro fungi yang hidup di sekitar hutan memiliki potensi sebagai sumber pangan yang sehat. Potensi mikroba, khususnya

makro fungi kayu (jamur kayu), yang diungkapkan meliputi jenis-jenis makro fungi

sebagai sumber pangan potensial, nilai gizi yang tinggi, teknik, dan analisis budidaya, serta pemanfaat limbah biomassa lokal.

Page 81: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 82: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA

MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Oleh: Rizki Maharani & Yutaka Tamai

A. PendahuluanJamur merupakan kelompok organisme

eukariotik yang membentuk dunia jamur atau regnum fungi. Semua jamur adalah fungi, tetapi tidak semua fungi adalah jamur. Jamur pada umumnya multiseluler (bersel banyak), bertubuh buah dan bisa dilihat dengan kasat mata. Ciri-ciri jamur berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya. Jamur berkembangbiak dengan spora, yang biasanya dapat tumbuh dan berkembang di atas tanah ataupun pada media lain sebagai sumber makanan dan kebanyakan ditemukan di hutan. Oleh karena itu, banyak dikenal sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dapat dikomsumsi baik sebagai sumber pangan maupun obat-obatan (Chamberlain et al. 1998; Miles dan Chang 1997). Kata “jamur” sendiri memiliki pengertian berbeda untuk orang yang berbeda pada negara yang berbeda. Sebagai contoh, orang Romawi, sejak zaman kuno, mereka telah tertarik pada jamur yang disebut sebagai “Makanan para dewa”. Orang Yunani menganggap jamur dapat memberi kekuatan bagi para pejuang dalam pertempuran, karena memiliki nilai mistis/sakral, kultural, tradisional dan legendaris (Shepard dan Arora 2008).

Perkembangan jamur konsumsi di Indonesia pada awalnya kurang begitu diminati masyarakat, bahkan cenderung dipandang sebelah mata. Hal ini disebabkan karena selain

hanya tumbuh di hutan, jamur juga dipandang tak memiliki gizi maupun nilai ekonomi. Jika ingin mengonsumsi jamur dan membiakkannya, mereka harus mengambil dari hutan dan dibudidayakan pada media yang sesuai. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta didukung dengan upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, HHBK atau Non-Timber Forest Products (NTFPs) memiliki nilai yang sangat strategis. Begitu juga dengan pengembangan jamur konsumsi, yang merupakan salah satu HHBK yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan jamur ini diarahkan sebagai salah satu upaya mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan. Upaya pengembangan ini memiliki kontribusi yang saling terkait antara input dan output sehingga layak dijadikan andalan bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Seiring perubahan budaya masyarakat dengan kembali menyukai semua yang “Berbau Alami” (Back to the Nature), memberikan potensi besar bagi masyarakat dalam berinovasi kuliner, misalnya membuat berbagai produk olahan kuliner berbahan jamur. Untuk itu, pengembangan produk jamur sebagai sumber pakan maupun obat-obatan merupakan salah satu pilihan tepat untuk program pemerintah dalam mendukung ketahanan pangan (Nawa Cita).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 65

Page 83: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Produk jamur dikategorikan ke dalam tanaman sayuran dan bersaing dengan komoditas sayuran lainnya. Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2008 sampai tahun 2012 rata-rata produktivitas jamur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya yaitu sebesar 460.99 Ton/Ha (Direktorat Jendral Hortikultura 2013).

Di samping untuk keperluan domestik, Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang memiliki keunggulan dalam hasil budidaya jamur. Selain impor, Indonesia juga termasuk pengekspor jamur yang tidak kecil. Bahkan tidak jarang, nilai ekspor jamur Indonesia lebih tinggi dibanding nilai impornya. Indonesia sudah termasuk salah satu negara pemasok utama jamur dunia di samping Spanyol, Belanda, RRC, Perancis, Belgia, Jerman, Jepang, Thailand, dan Taiwan. Hal ini dikarenakan,

konsentrasi produksi jamur Indonesia lebih banyak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, seperti Singapura, Australia, Inggris, Jerman, Perancis dan Balanda, yang setiap tahun terus mengalami kenaikan sebesar 7,4%. Data dari Pusdatin dan BPS (2016) menyebutkan bahwa sejak tahun 2014–2016 nilai ekspor dan impor jamur sangat fluktuatif, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Ada beberapa jenis jamur konsumsi yang mendominasi pasar Indonesia, seperti jamur tiram (Pleurotus spp.), jamur kuping (Auricularia spp.) dan jamur merang (Volvariella volvaceae). Hal ini dikarenakan potensi pengembangan yang mudah dan kandungan nutrisi penting sebagai sumber pangan yang tinggi (Tabel 3).

Tabel 1. Produktivitas tanaman sayuran tahun 2008–2012 di Indonesia (ton/ha)

No Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012 Rataan1. Paprika 2,11 4,46 5,53 13,06 14,94 8,022. Bawang Putih 1233 15,41 12,29 14,74 16,60 14,273. Lobak 48,37 29,75 32,38 27,27 32,16 33,984. Jengkol 80,08 62,47 50,23 65,80 50,94 61,905. Kembang Kol 109,49 96,03 101,20 113,49 125,83 109,206. Buncis 266,55 290,99 336,49 334,65 338,66 313,467. Kangkung 323,75 360,99 350,87 355,46 310,62 340,338. Bayam 163,81 173,75 152,33 160,51 176,97 165,479. Terung 427,16 451,56 482,305 519,48 319,89 440,0710 Jamur 430,47 384,65 613,76 458,54 417,54 460,99

Sumber: Direktorat Jendral Hortikultura (2013)

Tabel 2. Data perkembangan ekspor dan impor jamur Indonesia pada tahun 2014–2016

TahunEkspor Impor

Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$)

2014 261.952 1114.044 1397.358 3373.009

2015 186.427 1178.044 1622.182 3932.351

2016 1397.358 679.849 1188.951 3243.254Sumber: Pusdatin dan BPS (2016)

66 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 84: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 3. Perbandingan kandungan nutrisi beberapa jenis jamur konsumsi setiap 100 gram

No JenisProtein

(%)Lemak

(%)Karbohidrat

(%)

1 Jamur Tiram 27 1,6 58

2 Jamur Kuping 8,4 0,5 82,4

3 Jamur Merang 1,8 0,3 4Sumber: Taskirawati dan Baharuddin (2009)

Dari beberapa jamur konsumsi tersebut, jamur tiram paling dikenal dan diminati. Hasil penelitian telah banyak membuktikan bahwa jamur ini memiliki berbagai manfaat positif bagi tubuh dan sangat disarankan untuk dikonsumsi. Jamur tiram khususnya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu komoditi jamur konsumsi unggulan dan bernilai ekonomi tinggi. Jamur tiram termasuk dalam kelas Basidiomycetes, satu jamur kayu yang tumbuh pada serat kayu (Chang dan Miles 1992). Jamur tiram mempunyai kemampuan untuk berkembangbiak dan mendegradasi berbagai macam limbah biomassa berlignoselulosa dengan daur yang relatif singkat, terutama dari semua jenis jamur pelapuk putih lainnya (Chang dan Miles 1988; Das dan Mukherjee 2007; Pedra et al. 2009; Menolli Junior et al. 2010; Omarini et al. 2010).

Berbagai jenis jamur kayu bermanfaat sebagai sumber pangan bernilai gizi tinggi dengan kandungan kolesterol yang rendah. Menurut Suriawiria (2001) keunggulan jamur tiram adalah: a) berkhasiat untuk kesehatan di mana kandungan protein nabatinya yang tidak mengandung kolesterol sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit darah tinggi, penyakit jantung, mengurangi berat badan, obat diabetes, obat anemia dan sebagai obat anti tumor. Protein nabati yang terdapat dalam jamur hampir sebanding atau relatif lebih tinggi dibandingkan protein sayuran, dan memiliki kandungan lemak yang rendah dibandingkan daging sapi demikian juga kalorinya, b) jamur tiram dapat diproduksi sepanjang tahun, c)

budidaya jamur tiram tidak menggunakan bahan kimia atau pupuk anorganik sehingga tidak merusak lingkungan, d) dilihat dari segi teknik budidayanya, dapat dibudidayakan dengan mudah.

Pengembangan budidaya jamur tiram di Indonesia cukup prospektif. Saat ini, produk jamur tiram sudah mulai marak dijumpai baik dalam bentuk segar ataupun olahan di pasar-pasar tradisional dan pasar-pasar modern (swalayan dan supermarket). Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan, usaha budidaya jamur tiram memiliki peluang untuk dikembangkan oleh masyarakat sekitar hutan dengan bantuan dari pihak pengelola hutan. Hal ini ditunjang dengan ketersediaan bahan baku untuk media tumbuh yaitu serbuk kayu gergajian yang cukup melimpah di dalam dan di sekitar hutan, serta di lokasi pabrik penggergajian. Seiring dengan semakin berkembangnya Iptek, budidaya jamur secara konvensional telah berkembang dan memungkinkan untuk dibudidayakan pada berbagai media limbah biomassa, seperti limbah pertanian, peternakan, perkebunan maupun kehutanan. Selama media tersebut ketersediaannya melimpah dan mempunyai kandungan hara menyerupai media tumbuh asalnya yaitu kayu, maka jamur tersebut akan tumbuh dan berkembangbiak dengan baik.

Budidaya jamur prinsipnya adalah “memindahkan” proses dekomposisi material organik oleh mikroorganisme ( jamur) di alam ke ruang yang “sederhana dengan cara terkendali” yang dilandasi tujuan ekonomi. Budidaya jamur dalam perspektif ekologi-ekonomi adalah salah satu proses siklus materi di ekosistem yang berdampak ekonomi (Ezejiofor et al. 2012; Fonseca et al. 2015). Budidaya jamur memanfaatkan limbah industri perkebunan, kehutanan, maupun pertanian sebagai “media proses” sehingga limbah tersebut mempunyai nilai ekonomis yang cukup besar bagi pendapatan masyarakat.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 67

Page 85: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

B. Analisis Sifat Dasar beberapa Limbah Biomassa sebagai Media Budidaya Jamur Kayu

Jamur kayu membutuhkan media yang mengandung lignin dan selulosa (lignoselulosa) untuk mendukungnya tumbuh, berkembang biak dan menghasilkan tubuh buah (Chang dan Miles 1988). Jamur tidak hanya mampu mengubah limbah biomassa berlignoselulosa tersebut menjadi sumber pakan manusia, tetapi juga mampu memproduksi nutrisi penting yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan (Girmay et al. 2016). Khusus untuk jenis jamur tiram, telah banyak limbah biomassa berlignoselulosa yang berasal dari berbagai limbah sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan, seperti jerami, sekam, bonggol jagung, tandang kosong sawit sampai pada limbah kertas dan serbuk kayu gergaji, dijadikan rujukan sebagai media budidaya jamur kayu (Mondal et al. 2010; Maharani dan Yutaka 2011; Tesfaw et al. 2015). Perlakuan dengan menggunakan berbagai media limbah biomassa tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangbiakan dan produk jamur dimaksud (Maharani dan Yutaka 2011; Sharma et al. 2013; Hoa et al. 2015; Satpal et al. 2017). Lebih lanjut, penelitian sangat penting diarahkan pada kesesuaian berbagai limbah biomassa sebagai media untuk meningkatkan produktivitas jamur budidaya, dimulai dari menganalisis sifat dasarnya, baik kimia maupun fisiknya (Maharani et al. 2010; Assan dan Mpofu 2014; Hoa et al. 2015; Bellettini et al. 2016).

Secara umum, sifat fisik dan kimia dari bahan lignoselulosa didapat dari komposisi dan morfologi dinding sel, bergantung pada proses biosintesis dan pembentukannya (Bodîrläu et al.2007). Memahami sifat kimia dan fisiknya sangat penting untuk meningkatkan produktivitas budidaya jamur. Selain itu, penentuan nilai standar sifat kimia

dan fisika dari media tersebut diperlukan untuk menyediakan bahan baku yang lebih baik bagi setiap jenis jamur di setiap daerah (negara) berdasarkan karakteristik limbah lokal. Dalam tulisan ini akan disajikan analisis sifat kimia dan fisik beberapa limbah biomassa potensial yang dipilih selain alasan ramah lingkungan, juga mewakili karakteristik limbah di Indonesia.

1. Sifat Kimia beberapa Limbah Biomassa sebagai Rujukan Media Budidaya Jamur Kayu

Sebagian besar media yang digunakan untuk budidaya jamur adalah limbah organik dan lignoselulosa (Levanon et al. 1998). Beberapa sifat kimia termasuk beberapa bahan organik (karbon dan nitrogen), ekstraktif, lignin, selulosa dan hemiselulosa sangat penting sebagai media pertumbuhan jamur (Levanon et al. 1998; Badu et al. 2011; Hoa et al. 2015). Beberapa limbah biomassa dari kehutanan dan perkebunan dapat dijadikan rujukan media pertumbuhan untuk budidaya (Tabel 4.) jamur karena ketersediaannya yang melimpah di Indonesia.

Tabel 4 menunjukkan beberapa komponen kimia penting dalam limbah biomassa kehutanan dan perkebunan, di antaranya: selulosa, holoselulosa, lignin, dan zat ekstraktif. Panshin dan Zeeuw (1983) mengklasifikasikan komponen kimia dinding sel tanaman tingkat tinggi terbagi menjadi komponen primer dan sekunder. Komponen primer, selulosa, hemiselulosa dan lignin, pada dasarnya membentuk sifat kimia dan fisik dinding sel yang merupakan bahan terbesar pada dinding. Pada kayu yang normal kandungan selulosa 40–50%, hemiselulosa 20–35%, dan Lignin 15–35% (Panshin dan Zeeuw 1983). Selulosa komponen utama yang paling penting karena memiliki hubungan primer dengan perilaku fisik kayu secara keseluruhan. Komponen

68 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 86: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

sekunder bukanlah komponen penting dalam penyusun kayu namun kehadirannya sangat memengaruhi sebagian besar sifat fisik dan beberapa perilaku kimiawi kayu. Sebagai contoh, zat ekstraktif memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat dan kualitas pengolahan kayu. Bau dan warna khas kebanyakan kayu berasal dari zat ekstraktif (Panshin dan Zeeuw 1983). Komponen kimia limbah biomassa serbuk gergaji kayu dari daerah iklim sedang dan iklim tropis sangat berbeda (Tabel 5).Holoselulosa dan ekstraktif yang dikandung serbuk gergaji asal tropis lebih tinggi daripada asal iklim sedang.

Meskipun komponen primer kedua daerah asal tersebut sangat penting (No 1–3, Tabel 5), kehadiran ekstraktif diprediksi memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat dan kualitas pemanfaatan kayu. Demikian halnya terhadap pemanfaatannya sebagai media budidaya jamur, kandungan ekstraktif asal tropis yang tinggi akan menjadi penghambat pertumbuhan fungi (antifungi), sekaligus berpengaruh terhadap produktivitas jamur (Davis dan Aegerter 2000; Onuoha 2007; Sözbir et al. 2015).

Tabel 4. Komponen kimia dari beberapa limbah biomassa kehutanan dan perkebunan

No Jenis Ekstraktif (%) Lignin (%) Holoselulosa (%) α-selullosa (%)

1 Shorea laevis 7,244 29,099 73,921 51,689

2 Eusideroxylon zwagerii 10,320 39,190 66,606 40,727

3 Shorea sp 4,468 27,331 72,877 46,379

4 Evodia alba 2,638 18,820 78,639 40,999

5 Terminalia cattapa 0,291 27,131 73,973 39,279

6 Macaranga triloba 0,079 27,754 76,031 43,147

7 Veronnema canescens 2,243 32,969 78,695 42,694

8 Acacia mangium 11,846 22,371 75,738 43,468

9 Glercidia sp 4,114 15,541 80,186 41,376

10 Cocoa sp 1,545 14,255 79,261 42,065

11 Elaieis guinensis 8,887 14,511 71,911 38,958

12 Hevea brasiliensis 3,828 15,125 76,682 40,756Sumber: Data Primer, Maharani, R.

Tabel 5. Perbandingan komponen kimia dari beberapa limbah biomassa dari daerah iklim sedang dan tropis

No Komponen KimiaLimbah Biomassa

Daerah Iklim Sedang (%)Limbah Biomassa

Daerah Iklim Tropis (%)1 Holoselulosa 50-83 66-802 ά-sellulosa 35-55 38-523 Lignin 15-35 14-394 Ekstraktif 1,0-6,0 1,0-12

Sumber: Maharani (2011)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 69

Page 87: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

2. Sifat Fisika beberapa Limbah Biomassa sebagai Rujukan Media Budidaya Jamur Kayu

Sifat fisik dari limbah biomassa penting untuk diketahui karena akan membantu dalam penentuan formulasi campuran media budidaya jamur kayu terbaik (Levanon et al. 1998; Maharani et al. 2010). Beberapa karakteristik sifat fisik akan memengaruhi produktivitas jamur yang dihasilkan antara lain konduktivitas listrik, berat volume, kepadatan spesifik, ukuran partikel (distribusi dan kerapatannya), porositas dan retensi air (Levanon et al. 1998). Lebih lanjut beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kondisi media yang berkualitas sangat ditentukan oleh distribusi dan kerapatan partikel, porositas dan retensi air (Maharani et al. 2010; Naasz dan Bussières 2011; Hoa et al. 2015).

Distribusi partikel adalah daftar nilai atau fungsi matematis yang menentukan jumlah relatif, biasanya oleh massa, partikel yang ada menurut ukuran tertentu. Kerapatan partikel merupakan jumlah partikel rata-rata dalam satuan volume atau luas unit. Porositas adalah ukuran dari ruang kosong di antara material, dan merupakan fraksi dari volume ruang kosong terhadap total volume, yang bernilai antara 0 dan 1, atau sebagai persentase antara 0–100%. Porositas bergantung pada jenis bahan, ukuran bahan, distribusi pori, sementasi, riwayat diagenetik, dan komposisinya. Sementara retensi air adalah kondisi di mana pada saat semua pori terisi penuh air, material dianggap jenuh, dan tegangan matrik adalah nol. Beberapa metode pengukuran telah digunakan terutama sebagai rujukan pada material terdekomposisi sehingga dapat digunakan sebagai metode pendekatan pengukuran sifat fisik dimaksud untuk media tumbuh jamur (Horisawa et al. 1999; Araki dan Terazawa 2004; Maharani et al. 2010).

Enam belas jenis limbah biomassa dari daerah tropis dalam bentuk serbuk gergaji telah diteliti sebagai rujukan untuk media budidaya jamur (Maharani et al. 2010). Serbuk gergaji dengan kadar air berkisar 12 ~ 17% dikelompokkan menjadi 3 ukuran partikel: besar, kasar dan halus. Seperti terlihat pada Gambar 1, 2 dan 3, klasifikasi besar (OS) digunakan untuk ukuran partikel <24 mesh (<710 μm), ukuran partikel kasar (CPS) untuk ukuran partikel 24–60 mesh (350μm–710 μm) dan ukuran partikel halus (FPS) untuk 60–80 Mesh (177 μm–250 μm).

Berat jenis kayu mempunyai pola kecenderungan yang sama dengan kerapatan partikel. Kayu yang memiliki berat jenis tinggi cenderung menghasilkan serbuk gergaji dengan kerapatan partikel tinggi (Gambar 4), seperti pada kayu Ulin (E. zwageri). Pola ini dapat dijelaskan dengan hipotesis bahwa berat jenis kayu yang tinggi akan memengaruhi rata-rata berat serbuk gergaji. Selain itu, ukuran partikel CPS yang relatif lebih besar cenderung memiliki kerapatan partikel yang relatif lebih rendah daripada FPS. Secara umum ukuran partikel material (bahan baku) akan memengaruhi kerapatannya, di mana kerapatan partikel menurun sesuai dengan peningkatan ukuran partikel (Bergström et al. 2008; Coudray et al. 2009; Maharani et al. 2010). Lebih lanjut, pengaruh ukuran partikel dan kerapatannya dapat dilihat pada Gambar 5.

Sejak kerapatan partikel dipengaruhi oleh berat jenis kayu, maka peningkatan berat jenis kayu berhubungan searah dengan peningkatan kerapatan partikel yang diiringi oleh penurunan jumlah pori. Oleh karena itu, serbuk gergaji dengan berat jenis dan kerapatan yang tinggi mempunyai kecenderungan rendah untuk nilai porositasnya. Sedangkan untuk retensi air lebih dipengaruhi oleh kerapatan partikelnya, di mana ukuran partikel halus (FPS) berkontribusi

70 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 88: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

meningkatkan kerapatan partikel sekaligus nilai retensi air (Maharani et al. 2010; Naasz dan Bussières 2011; Hoa et al. 2015).

Hubungan antara berat jenis kayu dan sifat fisik serbuk gergaji limbah biomassa dari daerah tropis dapat dilihat pada uji statistik pada Tabel 6.

Sumber: Maharani, R (Data Primer)

Gambar 1. Serbuk gergaji dengan ukuran besar (OS), <24 mesh (<710 μm): a) Eusideroxylon zwageri, b) Shorea laevis, dan c) Shorea leprosula (1bar = 100 μm)

Sumber: Maharani, R (Data Primer)

Gambar 2. Serbuk gergaji dengan ukuran kasar (CPS), 24–60 mesh (350μm–710 μm): a) Eusideroxylon zwageri, b) Shorea laevis, dan c) Shorea leprosula (1bar = 100 μm)

Sumber: Maharani, R (Data Primer,)

Gambar 3. Serbuk gergaji dengan ukuran halus (FPS) untuk 60–80 Mesh (177 μm– 250 μm): a). Eusideroxylon zwageri, b) Shorea laevis, dan c) Shorea leprosula (1bar = 100 μm)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 71

Page 89: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sumber: Maharani et al. (2010)

Gambar 4. Proporsi distribusi ukuran partikel dalam kelas ukuran partikel berbeda berdasarkan variasi kerapatan kayu

Sumber: Maharani et al. (2010)

Gambar 5. Proporsi CPS dan FPS di antara variasi kerapatan kayu dan hubungannya dengan :a). kerapatan partikel (particle density), b). porositas (porosity), dan c). retensi air (water retention)

72 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 90: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 6. Analisis regresi linier hubungan antara sifat fisik dengan berat jenis kayu beberapa serbuk gergaji kayu tropis

Sifat Fisik Serbuk Gergaji Kayu Tropis

Persamaany = a + b*x

Cc R2 F-Ratio P-Value

Sebaran Ukuran Partikel (OS) y = 15.68 - 13.20*WD -0.66 43.31 10.70 0.006Sebaran Ukuran Partikel (CPS) y =18.46 + 6.29*WD 0.44 19.40 3.37 0.088Sebaran Ukuran Partikel (FPS) y =65.86 + 6.90*WD 0.45 20.09 3.52 0.082Kerapatan Partikel (CPS) y =0.006 + 0.27*WD 0.92 84.42 75.87 < 0.001Kerapatan Partikel (FPS) y =-0.019 + 0.34*WD 0.72 52.21 15.30 0.002Porositas (CPS) y =98.70 - 25.61*WD -0.86 74.35 40.58 < 0.001Porositas (FPS) y =97.05 - 26.49*WD -0.83 69.38 31.72 < 0.001Retensi Air (CPS) y =68.46 - 33.17*WD -0.57 32.85 6.85 0.020Retensi Air ( FPS) y =80.33 - 6.07*WD -0.28 -0.28 1.18 0.297

Sumber: Maharani et al. (2010)

Keterangan: n = 16 jenis, OS = Over size/ukuran besar, CPS = Coarse particle size/ukuran kasar, FPS = Fine particle size/ukuran halus, Cc = coefficient correlation/koefisien korelasi, WD = wood density/berat jenis kayu.

Hubungan positif antara berat jenis kayu, kerapatan partikel dan ukuran partikel menandakan bahwa variasi berat jenis kayu di antara ukuran partikel tersebut dapat menggambarkan variasi kerapatan partikel, sekaligus variasi dalam sifat fisiknya. Hal ini memberikan informasi dasar tentang sifat fisik limbah biomassa dari kayu tropis yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan pemanfaatannya sebagai media budidaya jamur dan penentuan formulasi yang tepat.

C. Pengaruh Sifat Dasar Media terhadap Pertumbuhan dan Hasil Produktivitas Jamur Kayu

Saat ini, di Indonesia, komponen utama media yang digunakan untuk budidaya komersial jamur tiram adalah serbuk gergaji. Informasi tentang potensi penggunaan sumber media budidaya lokal lainnya masih kurang. Di sisi lain, intensifnya budidaya jamur dengan hanya menggunakan serbuk gergaji sebagai media utama budidaya menyebabkan reduksi daerah berhutan (Baharuddin & Taskirawati 2009). Dalam beberapa tahun terakhir, telah

terjadi peningkatan kesadaran publik terkait perlindungan hutan dan sorotan potensi kekurangan serbuk gergaji telah diinisiasi melalui pencarian alternatif media yang dapat digunakan untuk budidaya jamur tiram yang berkelanjutan di masa depan. Baru-baru ini, petani telah mencari media tumbuh jamur alternatif yang lebih mudah didapat dan lebih hemat biaya dengan harapan hasil panen yang lebih tinggi dan berkualitas. Media tumbuh alternatif harus diketahui komposisi nutrisinya sebelum digunakan untuk tujuan budidaya jamur secara komersial. Komposisi nutrisi merupakan salah satu faktor pembatas kolonisasi saprobiotik jamur budidaya, terutama saat pembentukan tubuh buah jamur tiram (Oei 2005; Naraian et al. 2009; Fonseca et al. 2015).

Sumber nutrisi utama jamur tiram adalah selulosa dan hemiselulosa. Di samping itu, rasio C/N merupakan faktor penting untuk komposisi media optimum jamur tiram. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) membutuhkan banyak karbon dan sedikit sumber nitrogen daripada jamur kancing (Agaricus bisporus). Sebagian besar media utama, seperti: jerami sereal, limbah kapas, dan serbuk gergaji,

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 73

Page 91: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

membutuhkan suplementasi sumber nitrogen (misal: dedak gandum) untuk mencapai rasio C/N optimal. Bahan anorganik yang terdapat media utama sudah mencukupi sehingga tidak memerlukan tambahan (Cha et al. 1998). Penambahan bahan anorganik pada media utama menyebabkan resiko kontaminasi menjadi tinggi dan menghambat bioavailabilitas (Cha et al. 1998; Maharani et al. 2011). Pemanfaatan media utama alternatif potensial tanpa penambahan bahan anorganik sangat dianjurkan karena lebih mudah diimplementasikan, lebih murah, terhindar dari kontaminasi dan lebih ramah lingkungan (Cha et al. 1998; Maharani et al. 2011; Kavitha et al. 2013; Satpal et al. 2017).

Beberapa bahan alternatif lignoselulosa limbah biomassa untuk media tumbuh jamur dari perkebunan Kelapa Sawit (Gambar 6) , yaitu: tandan buah kosong, pelepah daun dan batang; dari Hutan Tanaman Industri

(HTI, Gambar 7), yaitu: kulit pohon Akasia (Acacia mangium) dan rumput pengganggu “alang alang (Imperata cylindrica)”. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit saat ini mampu mencapai produksi 32 ton tandan buah segar per hektar per tahun, sedangkan setiap 25 metrik ton tandan buah utuh menghasilkan 16 metrik ton tandan kosong (Sheil et al. 2009; Sridhar dan Ade Oluwa 2009); serta 10,5 ton per ha per tahun daun, dan 20 ton per ha per 25 tahun batang (Van Dam 2008). Limbah berbiomasa yang dihasilkan tersebut banyak digunakan sebagai bahan bakar, pupuk mulsa, pupuk organik, papan kepadatan menengah (MDF), dan papan binderless (Sheil et al. 2009; Sridhar dan AdeOluwa 2009; Van Dam 2008; WWF 2008). Gambaran proses pengolahan dan pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai kompos terlihat pada Gambar 8 dan Tabel 7.

Sumber: Maharani, R (Koleksi pribadi)

Gambar 6. Limbah biomassa dari perkebunan kelapa sawit (batang, ranting, pelepah dan tandan Buah)

74 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 92: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 7. Potensi dan manfaat limbah kelapa sawit

No Jenis limbah Potensi per ton (TBS %) Manfaat1 Tandan kosong 23,0 Pupuk, kompos, pulp, papan partikel, energi

2 Limbah padat 4,0 Pupuk, kompos, makanan ternak

3 Cangkang 6,5 Arang, karbon aktif, papan partikel

4 Serabut 13,0 Energi, pulp, kertas, papan partikel

5 Limbah cair 50,0 Pupuk, air irigasi

6 Air kondensat Air umpan boilerSumber: gubuktani.com (diakses 15 Juni 2017)

Keterangan: TBS = Tandan Buah Segar

Sumber: Maharani, R (Koleksi pribadi)

Gambar 7. Limbah biomassa dari HTI (kulit kayu akasia dan Alang-alang).

Sumber: Maharani, R (Koleksi pribadi)

Gambar 8. Limbah tandan kosong kelapa sawit sebagai kompos untuk pupuk tanaman (kiri), dan tempat tumbuh jamur putih (kanan)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 75

Page 93: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Di sisi lain, kulit kayu Akasia dan alang-alang juga melimpah, umumnya digunakan sebagai bahan bakar domestik kelas rendah atau dibuang, menciptakan masalah pada lingkungan sekitar. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa alang-alang dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur tiram, bila dicampur dengan bahan lain seperti gambut lokal dan sekam padi (Otsamu et al. 1995; Poppe dan Ramon 1997). Penelitian lain melaporkan bahwa aktivitas anti jamur dan anti bakteri dari senyawa kelompok polifenol yang berasal kulit kayu Acacia spp. akan menghambat pertumbuhan jamur tiram, tetapi bagaimana mekanisme masih belum jelas (Mahesh dan Satish 2008; Mutai et al. 2009).

Maharani et al. (2011) mengemukakan bahwa beberapa bahan lignoselulosa yaitu tandan kosong sawit, pelepah daun sawit, batang/ranting sawit, kulit kayu Akasia dan alang-alang dapat digunakan sebagai alternatif media (substrat) budidaya jamur tiram tanpa suplemen apa pun. Hasil pengamatan pada setiap tahapan pertumbuhan jamur, yaitu: masa

inkubasi/masa penumbuhan miselia jamur, masa awal pertumbuhan tubuh buah/pinhead dan masa pertumbuhan tubuh buah, dengan media dimaksud, baik murni (tanpa suplemen) maupun kombinasi di antaranya menunjukkan produktivitas yang maksimal dengan tetap memperhatikan komposisi komponen kimia media, terutama kandungan nitrogennya (N).

Berikut hasil pengamatan pada setiap tahapan pertumbuhan jamur yang dipengaruhi oleh substrat limbah biomassa dimaksud, tanpa penambahan suplemen dan dapat langsung diaplikasikan. Gambar 10 menunjukkan bahwa substrat yang berasal dari batang/ranting kelapa sawit (POT) menyediakan masa inkubasi yang relatif singkat dan paling baik dibandingkan semua sampel uji, tanpa campuran suplemen apa pun. Hal ini diduga karena kandungan nitrogen (Tabel 8) pada POT lebih rendah dibandingkan sampel uji lainnya. Pada masa inkubasi ini, kehadiran substrat dengan nitrogen (N) tinggi akan menyebabkan masa inkubasi berjalan lambat (Maharani et al. 2011; Yang et al. 2013; Tesfaw et al. 2015).

Tabel 8. Komponen kimia limbah biomasa sebagai sumber media alternatif untuk budidaya Jamur Tiram Putih

Komponen KimiaMedia

EFB POF POT AB ICC (%) 42,6 43,7 45,3 48,4 43,7 N (%) 2,1 0,4 0,6 1,5 0,8 C/N 20,4 124,9 75,5 32,9 57,5 Ekstraktif (%) 11,5 20,2 11,0 19,9 6,4 α-Selulosa (%) 39,7 46,8 35,5 40,4 45,1 Hemiselulosa (%) 29,2 35,1 38,7 33,5 35,2 Lignin (%) 27,9 21,5 34,5 27,4 26,4 Perbandinganselulosa:lignin

1,4 2,2 1,0 1,5 1,7

Sumber: Maharani et al. (2011)

Keterangan: EFB = tandan buah kosong sawit; POF = pelepah daun sawit; POT = batang/ranting sawit; AB = kulit kayu akasia; IC = alang-alang

76 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 94: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Oleh karena itu, substrat dengan kandungan N rendah seperti POT disarankan pemakaiannya tanpa suplemen atau bahkan menjadikannya sebagai suplemen untuk campuran pada substrat lain yang kondisi kandungan N lebih tinggi.

Sumber: Maharani et al. (2011)

Gambar 10. Pengaruh substrat terhadap masa inkubasi

Percepatan masa inkubasi ini sangat penting karena dapat dijadikan sebagai indikasi kondisi kesehatan substrat yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memproduksi tubuh buah (Naraian et al. 2009).

Sumber: Maharani et al. (2011)

Gambar 11. Pengaruh substrat terhadap masa primordia

Hasil yang ditunjukkan pada Gambar 11 memperlihatkan tandan kosong sawit (EFB) secara umum menghasilkan masa primordia yang relatif singkat, artinya mampu menghasilkan pinhead (calon tubuh buah) dengan lebih cepat. Pada masa ini, pertumbuhan miselia menjadi pinhead membutuhkan lebih banyak N (berlawanan pada masa inkubasi). Oleh karena itu, subtrat yang mempunyai kandungan N alami yang tinggi (seperti EFB) akan mampu menghasilkan pinhead lebih cepat (Tabi et al. 2008; Yang et al. 2013). Alasan lain adalah karakteristik

Sumber: Maharani, R (Koleksi pribadi)

Gambar 8. Tahapan pertumbuhan jamur yang dianalisa (masa inkubasi, masa primordia dan masa pertumbuhan tubuh buah)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 77

Page 95: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

limbah biomassa EFB merupakan substrat berserat alami yang mampu menyediakan cukup ruang udara dengan ukuran partikelnya yang tidak terlalu halus (nilai porositasnya tinggi) sehingga menyediakan ruang yang cukup untuk pertumbuhan fungi. Keadaan yang demikian, akan menjadikan substrat mendadi lebih padat dan kompak saat air ditambahkan sehingga menurunkan/menghilangkan ruang kosong (Tabi et al. 2008; Maharani et al. 2010).

Sumber: Maharani et al. (2011)

Gambar 12. Pengaruh substrat terhadap masa perkembangan tubuh buah

Sumber: Maharani et al. (2011)

Gambar 13. Pengaruh substrat terhadap rasio efisiensi biologi (maharani et al. 2011).

Hasil di atas (Gambar 12 dan 13) menunjukkan bahwa baik batang/ranting sawit (POT) dan pelepah sawit (POF) yang dijadikan sebagai substrat tambahan (suplemen) pada substrat lain menghasilkan hubungan yang positif pada masa perkembangan tubuh buah maupun nilai rasio efisiensi jamur tiram putih. POT dapat mempersingkat daur tumbuh (mempercepat panen), sedangkan POF mampu meningkatkan hasil/produktivitas jamur. POT yang secara alami mempunyai kandungan N rendah dan ekstraktif rendah, berkontribusi pada awal masa penciptaan kondisi substrat yang sehat sejak masa inkubasi. POF yang alaminya memiliki kandungan selulosa paling tinggi dan rendah lignin, berkontribusi menciptakan lingkungan yang baik untuk pembentukan tubuh buah dan kontinuitasnya. Lebih lanjut, pengamatan tentang berbagai macam kombinasi limbah-limbah biomassa ini penting agar menghasilkan kombinasi terbaik bagi peningkatan produktivitas, sekaligus agar aplikasinya dapat lebih tepat guna.

D. PenutupJamur memiliki cita rasa yang unik dan khas,

bahkan beberapa di antaranya mirip seperti cita rasa daging sapi. Kandungan nutrisi pada jamur juga dapat disandingkan dengan daging sapi, telur, lemak ataupun. Jamur sangat layak untuk dikembangkan karena selain dapat dikonsumsi sebagai sumber pangan, juga sebagai sumber obat herbal. Pengembangan budidaya jamur dapat dipertimbangkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kedaulatan/ketahanan pangan yang merupakan salah satu sasaran utama prioritas nasional 2015–2019. Melalui dukungan potensi jenis jamur dan limbah biomassa lokal, budidaya jamur merupakan peluang yang prospektif. Lebih lanjut, pemanfaatan limbah biomassa

78 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 96: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

alternatif sebagai media budidaya jamur tiram diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan, mengonversi limbah biomassa menjadi sesuatu yang berguna menjadi sumber pangan bernutrisi.

PustakaAraki Y, & Terazawa M. (2004). Physical

properties of sawdust and soil (in Japanese). In: Proceedings of the Hokkaido Branch of Japan Wood Research Society. 36: 67–70.

Arora D, & Shepard GH. (2008). Mushrooms and Economic Botany 1. Economic Botany. 62: 207–212.

Assan N, & Mpofu. (2014). The influence of substrate on mushroom productivity. Scientific Journal of Crops Science. 3(7): 86–91.

Badu M, Twumasi SK, & Boadi NO. (2011). Effects of Lignocellulosic in Wood Used as Substrate on the Quality and Yield of Mushrooms. Food and Nutrition Sciences. 2: 780–784.

Baharuddin, & Taskirawati I. (2009). Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Bellettini MB, Fiorda FA, Maieves HA, Teixeira GL, Avila S, Hornung PS, Maccari-j A, & Ribani RH. (2016). Factor affecting mushroom Pleurotus spp. Saudi Journal of Biological Sciences. In Press.

Bergström D, Israelsson S, Öhman M, Dahlqvist SA, Gref R, Boman Ch, & Wästerlund I. (2008). Effects of raw material particle size distribution on the characteristics of Scots pine sawdust fuel pellets. Fuel Processing Technology. 89: 1324–1329.

Bodîrläu R, Spiridon I, Teacă CA. (2007). Chemical investigation of wood tree species in temperate forest in East-Northern Romania. Chemistry of Romanian Tree Species. Bioresources. 2(1): 41–57.

Cha DY, Park JS, You CH, Kim GP, Jeon CS, & Lee DW. (1998). Oyster mushroom cultivation technology and management. The Farmers Newspaper (in Korean).

Chamberlain J, Bush R, & Hammett A. (1998). Non-Timber Forest Products: The Other Forest Products. Forest Product Journal. 48: 2–12.

Chang ST, & Miles PG. (1992). Mushroom biology—A new discipline. Mycologist. 6: 64–65.

Chang ST, & Miles PG. (1988). Edible Mushroom and their cultivation. Florida U.S.A: CRC Press, Inc. Boca Raton. 27, 83, 88.

Coudray N, Dieterlen A, Roth E, & Trouve G. (2009). Density measurement of fine aerosol fractions from wood combustion sources using ELPI distributions and image processing techniques. Fuel Processing Technology. 88(5): 947–954.

Das N, & Mukherjee M. (2007). Cultivation of Pleurotus ostreatus on weed plants. Bioresource Technology. 98: 2723–2726.

Davis RA, & Aegerter BJ. (2000). Edible Mushroom Cultivation. Jodhpur, India: Scientific Publishers. 2–5.

Direktorat Jenderal Hortikultura. (2013). Laporan Kinerja (LAKIP). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 79

Page 97: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Ezejiofor TIN, Duru CI, Asagbra AE, Ezejiofor AN, Orisakwe, OE, Afonne JO, & Obi E. (2012). Waste to wealth: Production of oxytetracycline using Streptomyces species from household kitchen wastes of agricultural produce. African Journal of Biotechnology. 11: 10115–10124.

Fonseca TRB, Silva TA, Alecrim MM, Filho RFC, & Teixeira MFS. (2015). Cultivation and nutritional studies of an edible mushroom from North Brazil. African Journal of Microbiology Research. 9(30): 1814–1822.

Girmay Z, Gorems W, Birhanu G, & Zewdie S. (2016). Growth and yield performance of Pleurotus ostreatus(Jacq. Fr.) Kumm (oyster mushroom) on different substrates. AMB Express. 6: 87.

Hoa HT, Wang CL, & Wang CH (2015). The Effects of Different Substrates on the Growth, Yield, and Nutritional Composition of Two Oyster Mushrooms (Pleurotus ostreatus and Pleurotus cystidiosus). Mycobiology. 43(4): 423–434.

Horisawa S, Sunagawa M, Tamai Y, Matsuoka Y, Miura T, & Terazawa M. (1999). Biodegradation of nonlignocellulosic substances II: Physical and chemical properties of sawdust before and after use as artificial soil. Journal of Wood Science. 45(6): 492–497.

Kavitha B, Rajannan G, & Jothimani P. (2013). Utilization of empty fruit bunch of oil palm as alternate substrate for the cultivation of mushroom. International Journal of Science, Environment and Techology. 2: 839–846.

Levanon D, Danai O, & Masaphy S. (1988). Chemical and physical parameters in recycling organic wastes for mushroom production. Biological Wastes. 26: 341–348.

Maharani R, Yutaka T, Yajima T, & Minoru T. (2010). Scrutiny on physical properties of sawdust from tropical commercial wood species: Effects of different mills and sawdust’s particle size. Journal of Forestry Research. 7(1): 20–32.

Maharani R, Yutaka T, Koda K, Kojima Y, & Minoru T. (2010). Wood density variations of tropical wood species: Implications to the physical properties of sawdust as substrate for mushroom cultivation. Wood Research Journal. 1(1): 34–39.

Maharani R. (2011). The Scrutiny of Chemical and Physical Properties of Some Lignocellulosic Substrates:It’s Impact to the Crop Performance of Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus). Ph.D dissertation. Graduate School of Agriculture. Hokkaido University. Japan. Unpublished.

Maharani R, & Yutaka T. (2011). Effects of different nitrogen rich substrates and their combination to the yield performance of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). World Journal of Microbiology and Biotechnology. 27: 1695–1702.

Mahesh B, & Satish S. (2008). Antimicrobial activity of some important medicinal plant against plant and human pathogens. World Journal of Agricultural Sciences. 4(5): 839–843.

Menolli Junior N, Asai T, Capelari M, & Paccola-Meirelles LD. (2010). Morphological and molecular identification of four braziliancommercial isolates of Pleurotus spp. and cultivation on corncob. Brazilian Archives of Biology and Technology. 53(2): 397–408.

Miles PG, & Chang ST. (1997). Mushroom biology-Concise Basics and Current Development. World Scientific Publishing. Singapore.

80 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 98: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Mondal SR, Rehana MJ, Noman MS, & Adhikary SK. (2010). Comparative study and growth and yield performance of oyster mushroom (Pleurotus florida) on different substrates. Journal of Bangladesh Agrilcultural University. 8(2): 213–220.

Mutai C, Bii C, Vagias C, Abatis D, & Roussis V. (2009). Antimicrobial activity of Acacia mellifera extracts and lupine triterpenes. Journal of Ethnopharmacology. 123: 143–148.

Naasz R, & Bussières P. (2011). Particle sizes related to physical properties of peat-based substrates. Acta Horticulturae (ISHS). 893: 971–978.

Naraian R, Sahu K, Kumar S, Garg SK, Singh CS, & Kanaujia RS. (2009). Influence of different nitrogen rich supplements during cultivation of Pleurotus florida on corn cob substrate. Environmentalist. 29: 1–7.

Oei P. (2005). Small-scale mushroom cultivation: oyster, shiitake and wood ear mushrooms. First edition of Digigrafi, Wageningen, The Netherlands. ISBN Agromisa. 90: 8573-038-4.

Omarini A, Nepote V, Grosso NR, Zygadlo JA, & Albertó E. (2010). Sensory analysis and fruiting bodies characterisation of the edible mushrooms Pleurotus ostreatus and Polyporus tenuiculus obtained on leaf waste from the essential oil production industry. Interantional Journal of Food Science and Technology. 45: 466–474.

Onuoha CI. (2007). Cultivation of the mushroom (pleurotus tuber-regium) using some local substrates. Life Science Journal. 4(4): 58 –61.

Otsamu A, Adjers G, Hadi TS, Kuusipalo J, & Vuokko R. (1995). Effect of site preparation and initial fertilizer on the establishment and growth of four plantation tree species used in reforestation of Imperata cylindrical (L.) Beauv. dominated grassland. Forest Ecology and Management. 73(1–3): 271–277.

Panshin AJ, & Zeuww C-d. (1983). Textbook of Wood Technology: Structure, Identification, Properties, and Uses of the Commercial Woods of the United States and Canada (McGraw-Hill series in forest resources) (v. 1) 4 Sub Edition.

Pedra WN, Carnelossi, MAG, Silva GF, Yaguiu P, Lira ML, Gonçalves GB, & Marino RH. (2009). Chemical and sensorial analysis of Pleurotus ostreatus cultivated in coconut exocarp supplemented with wheat bran and/or rice bran. Arqui. Inst. Biol. 76(1): 91–98.

Poppe J, & Ramon J. (1997). Growing edible mushrooms on forest margin wastes. Repport on forest fire prevention. European Union and Indonesian Forest Sector Support.

Pusdatin, BPS. (2016). Buletin Bulanan Indikator Makro Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Satpal S, Gopal S, Siddarth-n R, Ankit K, Bhanu P, Priyanka B, & Kumar PR. (2017). Effect of different substrates on the growth and yield of oyster mushroom (Pleurotus djamor). Int. J. Agri Sci. 9(4): 3721–3723.

Sharma S, Yadav RKP, & Pokhrel CP. (2013). Growth and Yield of Oyster mushroom (Pleurotus Osteratus) on different Substrate. Journal of New Biological Reports. 2(1): 3–8.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 81

Page 99: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sheil D, Casson A, Meijaard E, van Nordwijk M, Gaskell J, Sunderland-Groves J, Wertz K, & Kanninen M. (2009). The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? Occasional paper no. 51. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Sridhar MKC, & Ade Oluwa OO. (2009). Palm oil industry residues. In Sing Nigam, P., & Pandey, A. (Eds.), Biotechnology for Agro-industrial Residues Utilisation: 341–355, Springer.

Suriawiria U. (2001). Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu: shitake, kuping, tiram. Cetakan III. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sözbir GD, Bektas I, & Zulkadir A. (2015). Lignocellulosic Wastes Used for the Cultivation of Pleurotus ostreatus Mushrooms: Effects on Productivity. Bioresources. 10(3): 4686–4693.

Tesfaw A, Tadesse A, & Kiros G. (2015). Optimization of oyster (Pleurotus ostreatus) mushroom cultivation using locally available substrates and materials in Debre Berhan, Ethiopia. Journal of Applied Biology and Biotechnology. 3(01): 015–020.

Van Dam JEG. (2008). Options for sustainability improvement and biomass use in Malaysia. Rapport nr. 1080, BO-03-007-005. Agrotechnology and Food Innovation b.v, onderded van Wageningen UR.

World Wide Fund for Nature/WWF. (2008). How pulp and paper and palm oil from Sumatra increase global climate change and drive tigers and elephants to local extinction. Excerpts from: Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emissions in Riau, Sumatra, Indonesia. WWF Indonesia Technical Report. WWF Indonesia, Jakarta.

Yang W, Guo F, & Wan Z. (2013). Yield and size of oyster mushroom grown on rice/wheat straw basal substrate supplemented with cotton seed hull. Saudi Journal of Biological Sciences. 20: 333–338.

82 • OPTIMALISASI BUDIDAYA JAMUR KAYU PADA BERBAGAI LIMBAH BIOMASSA DALAM RANGKA MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Page 100: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Oleh: Sihati Suprapti dan Djarwanto

A. PendahuluanSampai saat ini, kayu masih merupakan

sumber daya hutan andalan dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa eksploitasi hutan berarti memungut kayu dari hutan. Namun selain kayu, hutan masih banyak menyimpan sumber daya potensial berupa aneka ragam jenis plasma nutfah yang sebagian besar belum tersentuh atau kurang mendapat perhatian. Salah satu jenis sumber daya hutan dimaksud yang memiliki potensial sebagai sumber pangan yang sehat adalah jamur kayu (Suprapti 2013).

Jamur kayu merupakan mikroorganisme saprofit, hidup dengan memanfaatkan sisa tumbuhan lain berupa limbah kayu meliputi cabang, ranting, daun, tunggak, serbuk gergaji dan material yang mengandung lignoselulosa lain (Suprapti dan Djarwanto 1995; McIntosh 2009). Jamur kayu berkembang biak melalui fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif, jamur kayu membentuk benang-benang halus berwarna putih yang disebut miselium, sedangkan pada fase generatif, tubuh buah jamur membentuk spora. Spora tersebut akan berkecambah membentuk miselium dan seterusnya. Tubuh buah jamur kayu merupakan bagian jamur yang dapat dimakan. Masyarakat telah menerima jamur kayu hasil budidaya pada limbah kayu sebagai salah satu sumber bahan pangan (Suprapti 1987).

B. Dampak Positif Budidaya Jamur Kayu terhadap Lingkungan

Limbah industri pengolahan kayu berupa serbuk gergaji belum semua digunakan bahkan hanya dibuang di tempat penumpukan limbah. Adanya limbah tersebut dapat menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh industri penggergajian kayu berupa penyediaan lahan, dan biaya pengumpulan, pengepakan (dengan karung plastik) dan pengangkutan ke tempat pembuangan. Timbunan limbah tersebut jika dibiarkan akan menimbulkan pencemaran lingkungan, menganggu pemandangan dan memenuhi lahan. Serbuk gergaji secara alami lambat terdegradasi Serbuk gergaji yang dibuang di lahan pinggir sungai dapat menghambat aliran air dan mengakibatkan banjir, sedangkan jika dibakar akan mencemari udara. Hal tersebut berpotensi menimbulkan biaya yang kadang tidak terukur secara riil dengan uang dan menjadi beban bagi masyarakat. Dengan memanfaatkan limbah serbuk gergaji untuk media jamur pangan maka akan memberikan nilai tambah berupa manfaat langsung; dihasilkan tubuh buah jamur sebagai makanan yang bergizi; dan kompos yang berupa sisa media dapat digunakan sebagai penyubur tanah. Manfaat tidak langsung lainnya, seperti ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar limbah akan berimplikasi meredam potensi masyarakat untuk merambah hutan, peningkatan kesehatan lingkungan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan (Djarwanto et al. 2004). Di Jawa, kompos sisa media jamur kayu dan kantong plastik bekas media telah

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 83

Page 101: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

laku dijual. Oleh karena itu usaha budidaya jamur yang tidak meningggalkan limbah (zero waste) layak disebut sebagai usaha yang berbasis teknologi bersih lingkungan (CTP: Clean technology process).

C. Budidaya Jamur Kayu di Indonesia

Jenis jamur yang telah dibudidayakan di Indonesia terutama di Jawa yaitu jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram pink (P. flabellatus), jamur tiram abu-abu (P. sajor-caju), jamur tiram hitam/abalon (P. cystidiosus), jamur kuping hitam (Auricularia polytricha), jamur kuping cokelat (A. auricula-judae), jamur kuping (Auricularia spp.), dan shiitake (Lentinula edodes). Sementara di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali), untuk konsumsi jamur kayu umumnya diperoleh dari alam atau lingkungan sekitarnya sebab masyarakat setempat belum membudidayakannya. Selain itu, jamur lingzhi (Ganoderma lucidum) telah dibudidayakan di sebagian wilayah Indonesia.

Media jamur yang umum digunakan adalah serbuk gergaji kayu karena murah dan mudah didapat. Didapatkan satu perusahaan yang menggunakan media jamur dari baggase tebu. Jenis kayu yang digunakan oleh kebanyakan petani jamur yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) untuk semua jenis jamur, dan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dan kayu jati (Tectona grandis L.f.) untuk shiitake. Suprapti (1993), Suprapti dan Djarwanto (2009a), dan Djarwanto dan Suprapti (2001) menyatakan bahwa jenis kayu yang baik untuk media jamur tiram antara lain kayu karet, pulai (Alstonia scholaris R.Br.), sengon, aren (Arenga pinnata Merr.), suren (Toona sureni Merr.), manii (Maesopsis eminii Engl.), nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.), merkubung (Macaranga gigantea

Muell. Arg.), mahang (M. Pruinosa Muell. Arg), balam (Palaquium gutta Baill.), medang (Litsea firma Hook. f.) dan bayur (Pterospermum diversifolium Bl).

Jenis kayu yang cocok untuk media jamur shiitake yaitu kayu karet, sengon, pulai, aren, ampupu (Eucalyptus urophylla ST. Blake), jengkol (Pithecelebium jiringa Prain.), kemang (Mangifera caesia Jack.), leda (Eucalyptus deglupta BL.), mahoni (Swietenia mahagoni Jack. dan S. macrophylla King.), mangium (Acacia mangium Willd.), meranti (Shorea platyclados V.Sl.), dan saninten (Castanopsis argentea A.DC.) (Suprapti 1993; Suprapti dan Djarwanto 1994, 1995a, 1996, 2009a; Djarwanto dan Suprapti 1999; Djarwanto et al. 2001, 2002).

Jenis kayu yang cocok untuk media jamur kuping (Auricularia polytricha) antara lain karet, sengon, sengon buto (Elaeocarpus cyclocarpa), damar (Agathis borneensis), kenanga (Cananga odorata), aren, manii (Suprapti dan Djarwanto 1998, 2013; Djarwanto dan Suprapti 2016). Sedangkan jamur lingzhi (Ganoderma lucidum) dapat dibudiodayakan pada kayu mangium, dan sengon (Suprapti dan Djarwanto 2009b; Djarwanto dan Suprapti 2010).

Bahan suplemen yang ditambahakan ke dalam media serbuk gergaji kayu yaitu dedak, kapur, kalsium karbonat (CaCO3), gips, menir jagung, tepung terigu, pupuk (tri-super-fospat, tri-sodium-fospat, urea, ZA, NPK). Cara sterilisasi media yang umum digunakan petani yaitu dengan mengukus media dalam drum dan pemberian uap air bertekanan ke dalam ruangan kayu berlapis bahan kedap air, serta menggunakan sterilizer modern (otoklaf). Inokulasi bibit umumnya dilakukan di dalam ruangan tertentu. Bibit jamur yang umum digunakan merupakan perbanyakan dari bibit impor pada media serbuk gergaji dan dikemas dalam botol kaca. Tempat pemeliharaan jamur

84 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 102: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

(kumbung) berupa gubug dapat bervariasi mulai dari yang berdinding bilik bambu, beratap daun nipah atau genting. Beberapa perusahaan menggunakan kumbung dengan konstruksi kayu berlapis seng. Ditinjau dari segi volume maupun kualitas, produksi jamur di Indonesia belum konsisten. Daerah pemasaran jamur hasil budidaya masih di sekitar kota saja, belum meluas sampai ke pelosok desa. Bekas media jamur yang sudah tidak produktif umumnya dijual dan dimanfaatkan untuk pupuk. Kendala utama yang dihadapi petani jamur adalah ketersediaan bibit, kualitas jamur, kontinuitas produksi, munculnya hama dan penyakit serta sulitnya pemasaran jamur bagi pemula.

Beberapa hal yang perlu dikuasai masyarakat agar sukses dalam memanfaatkan sumber daya jamur yaitu: teknik budidaya, ketersediaan dan kualitas bibit, kontinuitas kualitas dan volume produk, dan pengetahuan tentang hama dan penyakit jamur, serta penanganan pasca panen mencakup teknologi penyimpanan, pengawetan dan pengolahan jamur, serta jaringan pemasaran.

D. Potensi PasarBeberapa jenis jamur terdapat di pasaran

dalam kondisi segar dan kering. Jenis jamur yang umumnya dipungut masyarakat dari hutan antara lain jamur grigit (Schizophyllum commune), jamur kuping (Auricularia polytricha, Auricularia spp.), jamur gajih/kuping putih (Tremella spp.), jamur pasang (Lentinula edodes), jamur menjangan (Polyporus sp), jamur amis (Marasmius sp.) dan kulat (Lentinus spp.). Jamur yang diperoleh dari hutan biasanya untuk konsumsi sendiri dan untuk dijual di pasar tradisional terdekat. Pada waktu musim hujan jamur tersebut terdapat berlimpah sehingga sering tidak habis terjual semua. Oleh karena itu sebagian jamur tersebut dikeringkan agar tahan disimpan lama. Daerah pemasaran jamur kering dapat lebih luas, ditemukan hampir di semua kota di Indonesia

(Suprapti & Djarwanto 1995a). Jamur kuping, shiitake dan jamur gajih kering yang dijual di pasaran sebagian besar merupakan jamur import. Sebagai gambaran import jamur pangan dan negara asalnya tercantum pada Tabel 1. Adapun harga jamur kayu di Indonesia (dalam Rupiah) adalah sebagai berikut:

• Jamur tiram segar : Rp 8.000 – Rp 39.000• Jamur kuping segar : Rp 14.000 – Rp 36.000• Jamur kuping kering : Rp 60.000 – Rp 115.000• Jamur gajih kering : Rp 150.000 – Rp 250.000• Jamur grigit kering : Rp 10.000 – Rp 20.000• Jamur shiitake segar : Rp 40.000 – Rp 95.000• Shiitake kering : Rp 80.000 – Rp 325.000• Lingzhi kering : Rp 200.000 – Rp 300.000

Di beberapa kota di Jawa, masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi jamur kayu produksi petani setempat. Permintaan pasar akan jamur kayu cukup tinggi. Berdasarkan informasi dari seorang petani jamur di Sukabumi, permintaan jamur kayu untuk pasar lokal adalah sekitar satu ton per hari, belum lagi untuk pasokan ke Jakarta dan Bandung, sedangkan pasokan jamur segar masih jauh dari mencukupi. Peluang pasar jamur cukup baik sebab permintaan pasar lokal saja belum terpenuhi, dan peluang ekspor masih terbuka mengingat bangsa lain seperti Cina, Jepang, Eropa, dan sebagian Amerika gemar mengonsumsi jamur. Teknologi budidaya beberapa jenis jamur sudah dikuasai, bahkan sebagian sudah diusahakan secara komersil.

E. Nilai Gizi JamurJamur kayu mengandung protein,

karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin yang besarnya tergantung kepada jenisnya. Berdasarkan hasil analisis kimia, nilai gizi jamur umumnya lebih baik daripada sayuran, buah-buahan, telur dan daging kecuali hati (Tabel 2 dan 3). Bahan dan komposisi media jamur memengaruhi nilai gizinya (Djarwanto dan Suprapti 1990, 1992, 2010; Kihumbu et al. 2008).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 85

Page 103: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 1. Import jamur pangan dan negara asalnya periode Januari-Desember 2000

Keterangan Komoditas Negara Asal Berat Bersih (Kg) Nilai (US$)Jamur segar atau dingin (Mushrooms fresh or chilled)

Japan 8960 13814Hong Kong 3311 6947

Korea 7 60Taiwan 22000 25300

Cina 9140 31543Singapore 17849 9218Malaysia 3 24

Indonesia 4598 8129Australia 6471 8261

Netherlands 265 504Jamur kering (Mushrooms and truffles dried)

Japan 838 375Hong Kong 2110 878

Korea 1000 2800Taiwan 359 5978

Cina 349402 234889Thailand 897 385

Singapore 44511 32325Malaysia 1766 296

India 17000 4351Senegal 477 305Australia 432 620

United States 1989 355Netherlands 121 249

France 983 620Sumber: BPS (2000)

86 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 104: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 2. Komposisi gizi jamur kayu yang dapat dimakan (mg per 100 g sampel)

Jenis jamur Sampel Kadar airProtein

(Nx4,38)Lemak

KarbohidratSerat Abu

Energi (kcal)

Sumbertotal Bebas-N

Auricularia auricula-judae

kering 16,4 8,1 1,5 81,0 74,1 6,9 9,4 356 1

Auricularia polytricha

segar 87,1 7,7 0,8 87,6 73.6 14,0 3,9 347 1kering 13,0 7,9 1,2 84,2 75,1 9,1 6,7 357 1

Lentinus edodes segar 91,8 13,4 4,9 78,0 70,7 7,3 3,7 392 1kering 15,8 10,3 1,9 82,3 75,8 6,5 5,5 375 1

Lentinus spp. segar 80,3 12,7 2,0 79,6 62,4 17,2 5,7 330 1kering 19,7 13,1 0,6 75,1 57,9 17,2 11,2 301 1

Pleurotus flabellatus td td 21,6 1,8 57,4 td 8,7 td 345 2td td 19,9 1,4 57,2 td td td td 4

Pleurotus ostreatus segar 73,7 10,5 1,6 81,8 74,3 7,5 6,1 367 1kering 10,7 27,4 1,0 65 56,7 8,3 6,6 356 1td td 30,4 2,2 57,6 td 8,7 td 245 3kering 15,0 20,3 1,7 58,6 td td td td 5

P. sajor-caju segar 88,7 18,9 4,8 52,4 td 10,3 td 272 6Pleurotus sp. (var. India)

segar 91,0 21,6 7,2 60,5 48,6 11,9 10,7 351 1

Polyporus sulfureus segar 70,8 14,4 3,2 75,1 72,1 3,0 7,3 387 1Schizophyllum sp. kering 15,0 5,6 3,0 89,4 67,4 22,0 2,0 331 1Tremella fuciformis kering 19,7 4,6 0,2 94,8 93,4 1,4 0,4 412 1Ganoderma lucidum

kering 9,77 13,65 4,50 td td td 2,71 td 7

Sumber: 1. Crisand dan Sands (1978); 2. Bano dan Rajarathnam (1982); 3. FAO (1982); 4. Djarwanto dan Suprapti (1990); 5. Djarwanto dan Suprapti (1992); 6. Garcha et al. (1993), 7. Djarwanto dan Suprapti (2010)

Keterangan: td = tidak dianalisis (tidak disebutkan)

Tabel 3. Kandungan vitamin dan mineral jamur pangan (mg per 100 g sampel)

Jenis Jamur Sampel Thiamine Riboflavin NiacinAsam

askorbatCa P Fe Na K

Auricularia polytricha

kering 0,2 0,4 2,4 td 249 116 23,2 144 680

Lentinus edodes segar 7,8 4,9 54,9 0 98 476 8,5 61 tdkering 0,4 0,9 11,9 0 12 171 4,0 19 380

Lentinus spp. segar - - - - 86 798 555 286 870Pleurotus ostreatus

segar 4,8 4,7 108,7 0 33 1348 15,2 837 3793

Tremella fuciformis

kering 0,1 0,3 7,2 24,9 29 381 4,4 72 451

Sumber: Crisan dan Sands (1978)

Keterangan: td = tidak dianalisis

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 87

Page 105: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia protein merupakan bagian paling kritis dalam menu makanan mereka karena harga bahan pangan dengan kandungan protein tinggi seperti daging dan telur relatif mahal bagi sebagian orang sehingga hanya sedikit terdapat dalam menu sehari-hari. Kandungan protein jamur diketahui cukup tinggi, dengan mengonsumsi jamur dalam jumlah tertentu maka kebutuhan akan protein diharapkan dapat terpenuhi. Kandungan protein jamur kayu cukup lengkap, meliputi 18 asam amino (Tabel 4).

F. Khasiat Medis Jamur Kayu Jamur kayu, selain sebagai sumber

bahan pangan juga memiliki khasiat medis (Tabel 5). Jamur kuping cokelat (Auricularia auricula-yudae) dan jamur kuping hitam (A. polytricha) telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan obat di Cina. Memakan jamur tersebut secara teratur dipercaya dapat mengobati sakit tenggorokan, anemia dan sakit saluran pernapasan, serta penyakit usus yang disebabkan oleh organisme patogen, termasuk gejalanya seperti rasa panas di bagian perut dan demam. Jamur tersebut dapat pula digunakan

Tabel 4. Kandungan asam amino beberapa jenis jamur kayu (mg per 100 g sampel)

Jenis asam aminoJenis Jamur

L. edodes Pleurotus sp. P. ostreatus P. ostreatus P. sajor-caju*

Isoleusin 218 363 266 267 4,4

Leusin 348 275 390 610 7,0

Lysin 174 313 250 287 5,7

Metionin 87 79 90 97 1,8

Cystin td Td 29 29 td

Fenylalanin 261 125 216 233 td

Tyrosin 174 td 184 189 td

Treonin 261 263 264 290 5,0

Tryptofan td 56 61 87 1,2

Valin 261 291 309 326 5,3

Arginin 348 419 306 334 td

Histidin 87 131 87 107 2,2

Alanin 305 td 450 403 5,0

Asam aspartat 392 td 564 570 td

Asam glutamat 1349 td 890 1041 td

Glysin 218 td 273 281 td

Prolin 218 td 269 287 td

Serin 261 td 271 309 td

Total asam amino esensiil 1784 1765 2059 2415

Total asam amino 4962 td 5169 5747 38,9Sumber: Crisan dan Sands (1978), * Chang dan Miles, 2004)

Keterangan: td = tidak dianalisis, * = data gram per 100 gram sampel

88 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 106: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

untuk penguat tulang dan pencuci darah. Oleh karena banyak manfaatnya maka jamur kuping dianggap sebagai obat yang mujarab untuk segala macam penyakit (FAO 1982a). Di Cina, jamur kuping putih (Tremella fuciformis) dipercayai sebagai obat pencuci darah, penguat paru-paru dan saluran pernapasan (FAO 1982a). Liu (1993) menyatakan bahwa jamur kuping putih memiliki efek antitumor, menjaga ketahanan tubuh pada sistim otot, sel, dan kekebalan.

Jamur shiitake (Lentinula edodes) telah dijual dalam bentuk pil, tablet, kapsul, tonic (minuman berkasiat) dan cairan injeksi. Shiitake memiliki efek medis: antifungal, antitumor, antiviral (dapat melawan influenza secara invitro maupun invivo), meningkatkan stamina tubuh dan dapat menurunkan kadar kolesterol sekitar 24% (Cochran 1978).

Jamur tiram (Pleurotus) memiliki nilai manfaat medis dan telah digunakan untuk pengobatan tradisional rakyat seluruh dunia, sebagai sumber makanan sehat yang istimewa dan cocok untuk menu diet bagi penderita diabetes/gagal ginjal, penyakit

hati dan hipertensi. Di Thailand, jamur tiram dapat membantu memecahkan problema kurang gizi dan penyakit anemia (FAO 1982). Menurut Chang (1993), jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dapat menghambat pertumbuhan kanker sarcoma sebesar 75,3% (Tabel 6). Jamur Pleurotus ostreatus memiliki pengaruh anti HIV, anti tumor, antioksidan, menurunkan kadar gula dan kolesterol, sedangkan jamur P. sajor-caju berfungsi sebagai anti HIV, anti tumor dan menurunkan tekanan darah (Chang dan Miles 2004; Patel, Naraian dan Singh 2012; Gregory, Svagelj dan Pohleven 2007). Jamur grigit atau “supa beas” (Schizophyllum commune telah digunakan untuk obat kanker cervic di Jepang (Pai 1990 dalam Buswell dan Chang 1993).

Jamur lingzhi (Ganoderma lucidum), tubuh buah dan miseliumnya mengandung senyawa bioaktif yang berkhasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan obat tidak beracun (nontoxic medicine) yang bermanfaat untuk meningkatkan daya ingat, pendengaran, penglihatan dan penciuman (Liu 1994; Mizuno 1997; Chang dan Miles 2004). Jamur ini memiliki efek medis: anti-HIV

Tabel 5. Komponen berkhasiat obat pada jamur

No Khasiat Komponen Jenis Jamur1 Antibakteri Hirsutic acid Banyak jenis2 Antibiotika E-b-methoxyakrilat Oudemansiella radicata3 Antivirus Polisakarida, protein Lentinus edodes dan Polyporaceae4 Cardiac tonic Flammutoxin Flamulina velutipes5 Penurun kolesterol Eritadenin Collybia velutipes6 Penurun gula darah Peptide glycogen, Ganoderan, glucan Ganoderma lucidum7 Penurun tekanan darah Triterpen Ganoderma lucidum8 Antithrombus 5’-AMP,5’-GMP Psalliota hortensis9 Penghambat PHA r-GHP Psalliota hortensis, Lentinus edodes

10 Antitumor b-glukan Banyak jenis,RNA-complex Hypsizygus marmoreus

(Lyophyllum shimeji)11 Peningkat sekresi hati Armillarisia A Armillariella tabescens12 Analgesik, efek sedatif Marasmic acid Marasmius androsaceus

Sumber: Pai et al. (1990) dalam Buswell dan Chang (1993)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 89

Page 107: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

(Human immunodeficiency virus), antitumor, antihipertensi, antioxidant, dan antidiabetic (Chang dan Miles 2004; Lin dan Zhang 2004; Wang dan Ng 2006; Paterson 2006). Jamur tersebut merupakan bahan obat yang berharga, yang telah lama digunakan secara turun temurun sebagai obat tradisionil untuk berbagai penyakit di Cina dan Jepang (Hattori 1997). Jamur lingzhi telah diperdagangkan di Cina (Liu 1993) yang dikemas dalam bentuk tablet, cairan tonik (minuman berkasiat), dan teh celup. Di Indonesia, jamur tersebut mulai dikonsumsi beberapa tahun terakhir berupa produk impor dari Cina dalam berbagai kemasan dengan nama dagang lingzhi. Produk domestik Ganoderma lucidum dijual dalam bentuk kapsul dan irisan jamur yang dikeringkan, namun jumlahnya masih sedikit.

Tabel 6. Efek antitumor ekstrak jamur kayu terhadap kanker sarcoma 180

Jenis JamurPenghambatan

Tumor (%)Auricularia mesenterica 42,6Coriolus versicolor 77,5Flammulina velutipes 81,1Ganoderma applanatum 64,9Lentinus edodes 80,7Pholiota nameko 86,5Pleurotus ostreatus 75,3

Sumber: Chihara (1992) dalam Chang et al. (1993)

G. Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Kayu

Dalam usaha tani jamur, aspek ekonomi merupakan prioritas utama yang harus dipertimbangkan. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman di lapangan, keuntungan atau kerugian dalam usaha tani jamur sangat bervariasi. Faktor yang dapat memengaruhi usaha tersebut yaitu kemampuan teknologi budidaya yang meliputi pembuatan bibit,

pemilihan bibit, pemilihan media, pemeliharaan, sumberdaya manusia (tenaga yang trampil, ulet, telaten, dan motivasi kuat), teknologi penanganan pasca panen dan pemasaran. Selain itu, diperlukan modal yang berupa modal tetap dan modal tidak tetap.

Modal tetap terdiri atas lahan (lokasi usaha), bangunan dan peralatan. Bangunan dapat bervariasi mulai dari yang memakai dinding bilik bambu, kayu, atau tembok; menggunakan atap nipah, bilik, injuk, atau genting dan berlantai tanah atau semen. Biaya yang diperlukan untuk membuat kumbung lebih dari Rp1.500.000,- dengan usia pakai bangunan lebih dari 3 tahun. Lokasi usaha dipilih dengan pertimbangan kesesuaian faktor lingkungan untuk pertumbuhan jamur, seperti tinggi tempat, suhu dan kelembaban, mudah dijangkau dan dekat pasar, serta ketersediaan bahan baku produksi (misalnya kantong plastik PVC, serbuk gergaji, dedak, kapur dan air bersih) yang memadai serta ketersediaan tenaga kerja buruh. Makin rendah biaya tetap maka akan makin cepat modal usaha tersebut kembali dan sebaliknya makin tinggi biaya tetap maka akan makin lama modal tersebut kembali.

Modal tidak tetap berupa bahan habis pakai yang digunakan untuk memproduksi jamur tersebut. Biaya ini dapat diperbarui pada bulan kelima (untuk media dari serbuk gergaji kayu lunak) dan selanjutnya diulang sampai umur pakai kumbung jamur habis. Kelayakan usaha sangat tergantung pada modal tidak tetap dan harga jual produk jamur. Hasil analisis biaya budidaya jamur kayu pada skala rumah tangga dan usaha kecil, secara ekonomis cukup menjanjikan. Perkiraan biaya operasional usaha tani jamur tiram dan jamur shiitake dalam skala rumah tangga telah dilaporkan oleh Suprapti dan Djarwanto (2009) sebagai berikut:

90 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 108: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

1. Analisa biaya budidaya jamur tiram (Pleurotus spp.) pada skala rumah tangga

Perkiraan biaya operasional untuk pembuatan sebuah kumbung berkapasitas 10.000 kantong media dengan asumsi masa pakai bangunan dan peralatan tiga tahun, yaitu: modal tetap Rp6.370.000,-; modal tidak tetap Rp7.410.000,- ; dan upah tenaga kerja Rp1.450.000,- (nilai 1$ = Rp10.200,-). Jika rata-rata produksi jamur segar 200 gram per kantong selama 6 bulan maka besarnya produksi 2000 kg, dengan harga rata-rata Rp 8.000,-. Total harga jamur = Rp16.000.000,-. Penerimaan bersih selama 6 bulan adalah Rp770.000,-. Break event point (BEP) atau titik impas volume produksi = 1.997,50 kg. BEP harga produk = Rp7.615,- /kg. Revenue Cost Ratio (RCR) atau rasio biaya dan pendapatan = 1,05. Net Present Value (NPV) = Rp14.460.864,78 ® Dengan asumsi bahwa bunga bank 20% pertahun, penerimaan yang akan diperoleh 6 bulan mendatang sebenarnya senilai Rp14.460.864,78.

2. Analisa biaya budidaya jamur shiitake (Lentinula edodes) pada skala rumah tangga

Perkiraan biaya operasional untuk pembuatan sebuah kumbung isi 10.000 kantong media jamur shiitake dengan asumsi masa pakai bangunan dan peralatan tiga tahun, adalah: modal tetap Rp6.370.000,- ; modal tidak tetap Rp8.160.000,- dan upah tenaga kerja Rp1.450.000,- (nilai 1$ = Rp10.200). Jika rata-rata produksi jamur segar 80 gram per kantong selama 12 bulan maka besarnya produksi 800 kg, dengan harga rata-rata Rp30.000,-. Total harga jamur = Rp24.000.000,-. Penerimaan bersih selama 12 bulan = Rp8.020.000,-. BEP

atau titik impas volume produksi = 532,67 kg. BEP harga produk = 19.975,-/kg. RCR atau rasio biaya dan pendapatan = 1,50. NPV dengan asumsi bahwa bunga bank 20% pertahun = Rp19.604.682,20 ® Penerimaan yang akan diperoleh 12 bulan mendatang sebenarnya senilai Rp19.604.682,20.

3. Analisa biaya budidaya jamur lingzhi (Ganoderma lucidum) pada skala rumah tangga

Analisis kelayakan untuk investasi jamur lingzhi pada skala kecil dengan jumlah media sebanyak 6.000 kantong per siklus produksi (4 bulan), modal tetap Rp60.954.000,- modal tidak tetap Rp8.364.500,- dan biaya operasional sebesar 7.933.330,-. Apabila panen jamur lingzhi rata-rata 20 g (0,02 kg) per kantong dengan harga jual jamur Rp130.000 per kg adalah layak, dengan indikator nilai NPV (bunga bank 20% pertahun) sebesar Rp 7.130.100,- nilai B/C ratio sebesar 1.03, dan nilai internal rate of return (IRR) 0,25. Investasi tersebut akan mulai mendatangkan cashflow positif pada tahun ke-3 bersamaan dengan habisnya usia pakai kumbung jamur (Suprapti et al. 2008; Suprapti dan Djarwanto 2009).

4. Analisa biaya budidaya jamur tiram putih pada skala rumah tangga

Analisis kelayakan untuk investasi budidaya jamur tiram putih pada skala kecil dengan jumlah media sebanyak 30.000 kantong per siklus produksi (4 bulan), modal tetap Rp 67.500.000,- modal t idak tetap Rp 36.852.500,- dan biaya operasional sebesar 10.333.330,- (nilai 1$ = Rp10.200). Apabila panen jamur tiram rata-rata 100 g (0,10 kg) per kantong dengan harga jual jamur Rp6.000,- per kg adalah layak, dengan indikator

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 91

Page 109: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

nilai NPV (bunga bank 20% pertahun) sebesar Rp48.270.263,- nilai B/C ratio sebesar 1.24 dan nilai IRR lebih besar dari pada bunga bank yang berlaku. Investasi tersebut akan mulai mendatangkan cashflow positif pada tahun ke-2, sebelum habis usia pakai kumbung jamur (Suprapti et al. 2008).

5. Analisa biaya budidaya jamur kuping (Auricularia spp.) pada skala rumah tangga

Analisa kelayakan finansial budidaya jamur kuping menurut Suprapti dan Djarwanto (2013) adalah dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan yaitu biaya tetap sebesar Rp71.600.000,- yang diperkirakan memiliki usia pakai 3 tahun. Dalam satu tahun dapat dilakukan 3 siklus produksi. Biaya variabel untuk satu siklus produksi adalah Rp7.488.000. Sementara biaya operasional untuk satu siklus produksi yakni Rp8.000.000,- dan biaya perawatan Rp250.000,-. Perkiraan penerimaan jika populasi jamur yang digunakan 6000 kantong, dengan asumsi persentase tumbuh sebesar 50%. Dalam satu siklus produksi dipanen 5 kali. Harga jamur kuping yang digunakan adalah Rp15.000,- (Auricularia polytricha) dan Rp20.000,- (Auricularia auricula-judae). Perkiraan penerimaan per siklus produksi adalah Rp12.195.000 (A. polytricha) dan Rp11.940.000,- (A. auricula-judae). NPV masing-masing untuk jamur kuping adalah Rp21.192.174 (A. auricula-judae) dan Rp24.171.783 (A. polytricha), B/C ratio nya berturut-turut 1,25 dan 1,27 dan IRR nya 0,63 dan 0,64. Investasi ini akan mendatangkan cashflow positif pada tahun ke dua.

H. Sisa Media Setelah media dikonversi menjadi biomasa

tubuh buah, media masih tersimpan berupa media bersama miselium (spent compost).

Besarnya sisa media tergantung pada jenis kayu yang digunakan, jenis jamur, dan periode (lamanya) pemeliharaan. Djarwanto et al. (2001) menyebutkan bahwa sisa media jamur shiitake memiliki berat berkisar antara 20,51–45,60 % dari bobot media basah, dan kadar air berkisar antara 60,49–85,19 %. Sisa media tersebut dapat digunakan untuk pupuk tanaman dan campuran media persemaian. Buswell dan Chang (1993) menyatakan bahwa kompos sisa media jamur merupakan hasil perombakan selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang efektif sebagai pupuk, penggembur tanah, menjaga keseimbangan sumber nitrogen, dan karbon untuk pertumbuhan tanaman. Di dalam tanah sisa media akan ditranformasi menjadi humus. Material ini memegang peranan untuk mempertahankan struktur tanah, meningkatkan aerasi tanah dan meningkatkan kapasitas dalam mengikat air.

Menurut Djarwanto, Suprapti & Ismanto (2016) nilai C/N sisa media jamur tiram kandungan unsur hara dapat bervariasi (Tabel 7). Pada masa empat bulan setelah inokulasi, penyusutan niai C/N belum memenuhi harapan yaitu mendekati kompos. Nilai C/N kompos dari sampah organik yang memenuhi SNI 19-7030-2004 adalah 10–20 (SNI 2004), kompos Bidlingmaier yakni 12,9–24,2 (Djarwanto 2009) dan yang memenuhi standar kompos Jepang yaitu <35 (Komarayati dan Pasaribu 2005). Komarayati, Gusmailina & Djarwanto (2012) menyatakan nilai C/N sisa media jamur Pleurotus ostreatus yang berumur 5 bulan setelah inokulasi (empat bulan masa produksi jamur) yaitu 39,80%. Departemen Pertanian (2009) menyebutkan persyaratan teknis minimal pupuk organik dengan nilai C/N berkisar antara 15–25. Menurut Liu (1994), Komarayati et al. (2012) penyusutan nilai C/N dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, semakin besar nilai perbandingan unsur karbon (C) dengan bitrogen (N). Oleh karena itu, pemanfaatan

92 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 110: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

sisa media jamur untuk pertumbuhan tanaman sebaiknya dicampur dengan tanah karena selama proses degradasi pada media masih berlangsung dan tubuh buah jamur dapat muncul walaupun dicampur di dalam tanah.

Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan unsur hara dalam media jamur menurut Djarwanto, Suprapti & Ismanto (2016) adalah fosfor (P2O5) 0,11–0,55%, kalium (K2O) 0,11–0,32%, kalsium (CaO) 1,29–3,11% dan magnesium (MgO) 0,10–0,24%, nilainya masih dibawah standar kompos perhutani yaitu P2O5 0,90%, K2O 0,60%, CaO 4,9% dan MgO 0,70% (Komarayati dan Pasaribu 2005), serta dibawah batas minimum kompos Bidlingmaier (Djarwanto 2009). Komarayati et al. (2012) menyebutkan bahwa kadar unsur P2O5 0,48%, K2O 0,46%, CaO 1,38% dan MgO 0,21. Rata-rata kandungan unsur hara dalam kompos Bidlingmaier antara lain P2O5 yaitu 0,9 (0,3–1,8) %, K2O: 0,6 (0,2–1,4)%, MgO: 0,7(0,3–1,6)% dan CaO: 4,9(2,7–6,2)% (Djarwanto 2009).

I. Pemberdayaan Masyarakat Masyarakat desa sekitar hutan sebagian

besar memiliki tingkat pendapatan dan pengetahuan yang rendah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka sangat bergantung kepada alam (hutan sekitarnya), seperti: mengambil kayu, hasil hutan lain, bahkan serasah hutan termasuk yang sudah jadi

kompos atau top-soil. Kehidupan masyarakat yang kekurangan, rentan terhadap provokasi untuk merambah hutan dari orang yang tidak bertanggungjawab. Lambat laun eksistensi hutan dapat terancam sedangkan mereka tetap miskin. Oleh karena itu, harus dicari cara yang produktif agar laju perusakan hutan terkendalikan. Hutan memang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat tapi ekploitasi yang berlebihan dan tidak terencana akan berbahaya terhadap kelestariannya. Banyak cara dapat di lakukan untuk memberdayakan masyarakat agar intensitas tekanan terhadap hutan terkendali misalnya dengan memberikan lapangan kerja yang masih berkaitan dengan hutan (bergantung kepada hutan merupakan cara hidup turun temurun yang sulit lepas dari kehidupan kebanyakan masyarakat desa), akan tetapi ada peningkatan nilai ekonomis dan manfaat hasil hutan bagi mereka, serta kelestarian hutan tetap terjaga. Menurut Irawanti (2003) masyarakat perlu dibantu menjadi berdaya agar dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya sekaligus mendukung keberhasilan akan terwujudnya hutan lestari. Salah satu upaya yaitu memberdayakan masyarakat antara lain melalui budidaya jamur pada media serbuk gergaji (Djarwanto et al. 2004), dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan

Tabel 7. Nilai C/N media Hevea brasiliensis pada umur empat bulan setelah inokulasi jamur

Pupuk Kosentrasi

(%)Nilai C/N

media awal Nilai C/N media setelah difermentasi jamur

P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju

Kontrol (Control) 0,0 117,68 95,84 75,43 84,22

Trisuper-phosphate (TSP)

0,1 116,96 85,24 76,52 83,37

0,3 114,51 56,03 35,53 71,51

0,5 114,55 95,48 56,05 83,42

Urea 0,1 104,43 29,09 39,57 50,13

0,3 89,95 65,53 50,46 69,00

0,5 81,64 66,39 64,58 71,08Sumber: Djarwanto, Suprapti dan Ismanto (2016)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 93

Page 111: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dan kemandirian mereka dalam usaha tani. Implikasi dari berkembangnya usaha tani jamur kayu dapat memperkuat ketahanan pangan melalui penambahan keanekaragaman sumber pangan dan pemberdayaan sumber daya manusia dengan membuka lapangan kerja baru. Perbaikan lingkungan dicapai melalui pengembalian bekas media jamur berupa kompos ke alam sebagai penghara tanah.

Pemasyarakatan jamur kayu di Jawa telah mulai dilakukan sejak tahun 1984 melalui sosialisasi budidaya jamur kayu, pelatihan, pembinaan secara terus-menerus dan evaluasi, sedangkan sosialisasi di Luar Jawa mulai tahun 1991 terhadap peladang berpindah, masyarakat sekitar industri kayu dan para pemungut humus (top soil) di sekitar kawasan taman nasional. Sebagai contoh, pemasyarakatan jamur pangan terhadap 20 pemuda yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, yang dilakukan pada tahun 2000–2002 di Gadog, Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar peserta berpotensi menjadi tenaga yang trampil, ulet, rajin dan motivasi kuat dalam budidaya, namun sangat lemah dalam pemasaran hasil panen (Suprapti dan Djarwanto 2013).

PustakaBano Z, & Rajarathnam S. (1982). Pleurotus

mushroom as a nutritious food. In: Chang, S.T. and T.H. Quimio (Eds.) Tropical Mushrooms Biological Nature and Cultivation Methods. p: 363–380. Hong Kong: The Chinese University Press.

BPS. (2000). Indonesia foreign trade statistics Imports 1999. Volume I. BPS, Jakarta.

Buswell JA, & Chang ST. (1993). Edible mushrooms: Attributes and applications. In: Chang ST, JA Buswell, & PG Miles (Eds.). Genetics and Breeding of Edible Mushrooms. p: 297–324. Gordon and Breach Science Publishers.

Chang ST. (1993). Mushroom Biology: The impact on the mushroom production and mushroom products. In: Chang ST., J.A. Buswell & S-w Chiu (Eds.) Mushroom Biology and Mushroom Products. p: 3–20. Hong Kong: The Chinese University Press.

Tabel 8. Kandungan unsur hara media Hevea brasiliensis pada umur empat bulan setelah diinokulasi jamur

Pupuk Jenis jamur CaO (%) K2O (%) MgO (%) Na2O (%) P2O5(%)

Urea 0,1% Kontrol (tanpa jamur) 2,18 0,23 0,19 0,02 0,30

P. flabellatus 2,11 0,26 0,16 0,07 0,18

P. ostreatus 1,29 0,23 0,12 0,01 0,16

P. sajor-caju 2,19 0,11 0,15 0,06 0,11

Urea 0,3% Kontrol (tanpa jamur) 2,19 0,23 0,20 0,02 0,30

P. flabellatus 1,59 0,11 0,10 0,02 0,11

P. ostreatus 3,32 0,32 0,24 0,07 0,28

P. sajor-caju 1,46 0,22 0,13 0,04 0,16

Urea 0,5% Kontrol (tanpa jamur) 2,19 0,23 0,19 0,02 0,30

P. flabellatus 2,67 0,14 0,19 0,08 0,47

P. ostreatus 3,11 0,20 0,19 0,07 0,55

P. sajor-caju 1,79 0,15 0,14 0,07 0,32Sumber: Djarwanto, Suprapti dan Ismanto (2016)

94 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 112: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Chang ST, & Miles PG. (2004). Mushrooms cultivation, nutritional value, medicinal effect, and environmental impact. Second Edition. 477p. Boca Raton London New York Washington, D.C: CRC Press.

Cochran KW. (1978). Medical effects. In Chang, S.T. and W.A. Hayes (Eds.) The Biology and Cultivation of edible Mushrooms. p: 169–187. New York: Academic Press.

Crisan EV, & Sands A. (1978). Nutritional Value. In: Chang ST, and WA Hayes (Eds.) The Biology and Cultivation of edible Mushrooms. p: 137–168. New York: Academic Press.

Departemen Pertanian. (2009). Persyaratan teknis minimal pupuk organik. S.K. Menteri Pertanian no. 28/Permentan/SR.130/5/2009, tanggal 22 Mei 2009.

Djarwanto. (2009). Studi pemanfaatan tiga jenis fungi pada pelapukan daun dan ranting mangium di tempat terbuka. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 27(4): 314–322.

Djarwanto, & Suprapti S. (1990). Nilai gizi jamur Pleurotus flabellatus. Seminar Ilmiah Nasional Peranan Biologi Dalam Peningkatan Pengelolaan Sumberdaya Hayati, 20–21 September 1990 di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.

Djarwanto, & Suprapti S. (1992). Nilai gizi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang ditanam pada media dari limbah penggergajian. Prosiding Hasil penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, tanggal 11–12 Februari 1992 di Bogor. p: 81–88. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Djarwanto, & Suprapti S. (2000). Biokonversi media serbuk gergaji 9 jenis kayu oleh Lentinula edodes asal Kalimantan. Proceedings Seminar Nasional II Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 2–3 September 1999. Buku 1. Hlm.: 399–409. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Djarwanto, & Suprapti S. (2001). Utilization of sawdust of small log diameter for three species oyster mushroom media. Proceedings of Seminar Environment Conservat ion Through Eff ic iency Utilization of Forest Biomass, November 13th, 2000 in Faculty of Forestry Gajah Mada University, Yogyakarta. p: 333–340. Yogyakarta: Debut Press Jogyakarta.

Djarwanto, & Suprapti S. (2010). Pertumbuhan dan nilai gizi Ganoderma lucidum pada media limbah mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 28(1): 9–17.

Djarwanto, & Suprapti S. (2016). Utilization of aren (Arenga pinnata Merr.) sawmilling waste for edible mushroom media. Indonesian Journalof Forestry Research. 1: 17–27.

Djarwanto, Gandjar I, & Suprapti S. (2002). Pertumbuhan dan produktivitas Lentinula edodes asal Kalimantan Timur pada media serbuk gergaji 15 jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia tanggal 6–9 Agustus 2001 di Samarinda. p: VI.37–VI.43. Samarinda: Fakul tas Kehutanan Univers i tas Mulawarman.

Djarwanto, Suprapti S, & Gandjar I. (2003). Produktivitas dua strain Lentinula edodes pada media serbuk gergaji lima jenis kayu. Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI tanggal 30 Agustus–1 September 2002 di Bogor. p: 598–604. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 95

Page 113: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Djarwanto, Suprapti S, & Ismanto A. (2016). Biokonversi serbuk gergaji kayu hutan tanaman oleh jamur Pleurotus spp. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 34(4): 285–296.

Djarwanto, Suprapti S, Yamto, & Roliadi H. (2004). Cultivation of edible mushroom in Karo, North Sumatera. In: Gintings A. Ng, H Daryanto and H Roliadi (eds.) Proceeding of The International Worksop “Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment, March 16–17, 2004, Bogor-Indonesia. p: 199–210.

FAO. (1982). Growing oyster mushroom. FAO Regular Programme. No. RAPA 54. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Bangkok.

FAO. (1982a). Growing Jew’s ear mushroom. FAO Regular Programme. No. RAPA 55. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Bangkok.

Garcha HS, Khanna PK, & Soni GL. (1993). Nutritional importance of mushroom. In: Chang ST, JA Buswell and S-w Chiu (Eds.) Mushroom Biology and Mushroom Products. p: 227–236. Hong Kong: The Chinese University Press.

Gregory A, Svagelj M, & Pohleven J. (2007). Cultivation techniques and medicinal properties of Pleurotus spp. Food Technol. Biotechnol. 45(3): 236–249.

Hattori M. 1997. Inhibitory effect of components from Ganoderma lucidum on the growth of human immunodeficiency virus (HIV) and the Protease Activity. p: 128–135. In: Mizuno T, Ide N, and Hasegawa Y. (Eds). Proceedings of the 1st International Symposium on Ganoderma lucidum in Tokyo, Nov. 17–18, 1997. Japan.

Irawanti S. (2003). Kegiatan penelitian aksi pada perencanaan pembangunan social forestry. Semiloka Hasil Kajian Lapang Social Foretry. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Kihumbu AG, Shitandi AA, Maina MS, Khare KB, & Sharma HK. (2008). Nutritional composition of Pleurotus sajor-caju grown on water hyacinth, wheat straw and corncob substrate. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences. 4(4): 321–326.

Komarayati K, & Pasaribu R A. (2005). Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(1): 35–41.

Komarayati S, Gusmailina, & Djarwanto. (2012). Pemanfaatan sisa media tumbuh jamur tiram untuk arang kompos. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI IX, tanggal 2 November 2011 di Yogyakarta. p:889–894. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ISBN: 978-602-1905-21-0. Website: http:/www.mapeki.org.

Liu B. (1994). Conversion of mulberry waste by Lentinula edodes. In Proceeding-II: The Biology and Technology of Mushroom. Luo XC & M Zang (eds). p: 71–73. China Agricultural Scientech Press.

Liu ZB. (1993). Advances in the pharmacology of Tremella polysaccharides. In: Chang ST, JA Buswell and S-w Chiu (Eds.) Mushroom Biology and Mushroom Products. p: 293–299. Hong Kong: The Chinese University Press.

Lin Z-b, & Zhang H-n. (2004). Anti-tumor and immunoregulatory activities of Ganoderma lucidum and its possible mechanisms. Acta Pharmacologica Sinica. 25(11): 1387–1395.

McIntosh P. (2009). Auricularia auricula, the Wood Ear Mushroom: A rubbery edible fungus that grows on trees. http://suite101.com/article/auricularia-aur icula- the-wo o d-ear-mushro om-a120532#ixzz21hOJCxuL. Diakses tanggal 28 Februari 2013.

96 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 114: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Mizuno T. (1997). Studies on bioactive substances and medicinal effects of Reishi, Ganoderma lucidum in Japan. Kenson Electronic Publishing.

Patel Y, Naraian R, & Singh VK. (2012). Medicinal properties of Pleurotus species (oyster mushroom): A review. World Journal of Fungal and Plant Biology. 3(1): 1–12. ISSN 2219-4312. DOI: 10.5829/idosi.wjfpb.2012.3.1.303. IDOSI Publications.

Paterson RRM. (2006). Ganoderma-A t h e r a p e u t i c f u n g a l b i o f a c t o r y. Phytochemistry. 67: 1985–2001.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (2004). Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. SNI 19-7030-2004. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

S u p ra p t i S . ( 1 9 8 7 ) . Ke m u n g k i n a n pemasyarakatan jamur kayu di Indonesia. Duta Rimba 83 – 84/XIII/1987: 36–40.

Suprapti S. (1993). Cultivation of some species of edible mushroom on log and sawdust media. The first International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products, 23–26th August, 1993, Hong Kong. Chinese University, Hong Kong.

Suprapti S. (2013). Pengelolaan jamur perusak kayu untuk mendukung pelestarian dan pemanfaatan sumber daya hutan. Himpunan Bunga Rampai Orasi Ilmiah Ahli Penelti Utama (APU) Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. p: 1–42. Website www.pustekolah.org

Suprapti S, & Djarwanto. (1994). Pertumbuhan jamur Lentinus edodes pada substrat serbuk gergaji dari kayu hutan tanaman. Prosiding Pertemuan Ilmih Tahunan Peranan Mikrobiologi Dalam Industri Pangan tanggal 10 Desember 1994. p: 332–337. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suprapti S, & Djarwanto. (1995). Beberapa jenis jamur pelapuk kayu yang telah dimanfaatkan untuk bahan pangan. Prosiding Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional tanggal 9–11 Juni 1995. p: 559–563. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia.

Suprapti S, & Djarwanto. (1995a). Screening and selection of edible mushrooms that have high economic value and utilize wood wastes as media. Research report on the International Collaborative Project “Screening and Utilization Agricultural Wastes Degrading Microorganisms UNESCO-ROSTSEA. p: 31–47. Korea: Seoul National University, Seoul 151–742.

Suprapti S, & Djarwanto. (1996). Biokonversi serbuk gergaji beberapa jenis kayu oleh tiga strain Lentinus edodes. Seminar Nasional Mikrobiologi Lingkungan II tanggal 9–10 Oktober 1996. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Suprapti S, & Djarwanto. (1998). Bioconversion of sawdust of five wood species by black ear-mushroom (Auricularia polytricha). Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6–7, 1998, Serpong. p: E23–E28.

Suprapti S, & Djarwanto. (2009a). Pedoman budidaya jamur shiitake dan jamur tiram. 60 hal. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Suprapti S, & Djarwanto. (2009b). Pemanfaatan kulit kayu mangium untuk media jamur berkhasiat obat. Prosiding Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008. p: 81–92. ISBN: 978-979-3132-33-4.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 97

Page 115: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Suprapti S, & Djarwanto. (2013). Produktivitas jamur kuping pada media serbuk gergaji kayu sengon dalam rangka pelatihan masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XV (6–7 Nopember 2012), Makasar. p: 346–351

Suprapti S, & Djarwanto. (2013). Produktivitas jamur Auricularia spp. pada kompos serbuk gergaji kayu Falcataria mollucana. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 31(4): 271–282.

Suprapti S, Djarwanto, & Sadikin, D.M. (2008). Uji coba teknologi produksi jamur berkhasiat obat dan analisa finansialnya. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Wang H, & Ng TB. (2006). Ganodermin, an antifungal protein from fruiting bodies of medicinal mushroom Ganoderma lucidum. Peptides. 27: 27–30.

98 • JAMUR KAYU SEBAGAI SUMBER PANGAN DARI HUTAN

Page 116: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 6 APLIKASI UNTUK

BIO-FERTILIZER

Selama ini hutan tropis di Indonesia tumbuh secara alami tanpa ada intervensi dari

manusia untuk membesarkan pohon-pohon dengan kehati yang sangat tinggi. Hutan tropis

tidak pernah ditambah pupuk kimia untuk meregenerasi hutan alam yang ratusan tahun tumbuh dengan baik sehingga proses suksesi.

Bio-fertilizer merupakan teknologi yang ampuh untuk meregenerasi hutan secara buatan dengan memahami interaksi yang terjadi

antara inang pohon dan mikroba hutan yang tumbuh di lantai hutan. Dengan memahami

interaksi tersebut maka bio-fertilizer sebagai produk pupuk hayati yang paling aman untuk

menumbuhkan berbagai jenis pohon dan pupuk hayati ini dapat diproduksi skala massal.

Page 117: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 118: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Oleh: Safinah Surya Hakim

A. PendahuluanMikroba diketahui memiliki manfaat luas

yang bisa digunakan oleh manusia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mikroba yang bisa didapat dari berbagai lokasi dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Saat ini mikroba baik itu fungi atau bakteri sudah dimanfaatkan skala luas untuk berbagai kepentingan baik di bidang kesehatan, pangan, pertanian, material, dan lain-lain. Oleh karena itu, pencarian mikroba baru terus dilakukan.

Hutan tropis diperkirakan merupakan habitat dari berbagai jenis mikroba termasuk fungi. Hawksworth (2001) memperkirakan jumlah fungi di seluruh dunia adalah 1,5 juta spesies. Namun, seiring dengan adanya teknologi serta metode baru terutama dalam identifikasi jenis, berbagai peneliti memperkirakan jumlah mikroba termasuk fungi jauh melebihi angka tersebut (Locey dan Lennon 2016). Dari estimasi jumlah yang ada, diperkirakan masih sebagian kecil saja yang telah dieksplorasi dan dimanfaatkan. Oleh karena itu, eksplorasi mikroba mendesak untuk dilakukan sebagai bentuk konservasi serta mendukung penemuan mikroba baru yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Salah satu target eksplorasi mikroba yang dilakukan sekarang adalah eksplorasi fungi endofit.

Di Indonesia, studi fungi endofit sudah dilakukan, namun jika ditelaah lagi, penelitian fungi endofit lebih banyak dilakukan di bidang pertanian dibandingkan eksplorasi sekaligus pemanfaatannya di bidang kehutanan. Merujuk

pada laman web Indonesian Publication Index (IPI) (www.portalgaruda.org), situs yang menyediakan berbagai jurnal lokal dari banyak akademisi dan peneliti Indonesia mempublikasikan hasil penelitiannya, dengan menggunakan kata kunci endofit dan endophyte diketahui terdapat 174 jurnal yang mengulas tentang fungi endofit. Dari seluruh jurnal tersebut, hanya 22 artikel (13%) saja yang membahas endofit pada tanaman kehutanan dan sebanyak 152 (87%) jurnal yang ada membahas endofit pada tanaman yang menjadi komoditas pertanian. Oleh karena itu, penulisan makalah ini adalah ditujukan untuk mengetahui status fungi endofit dari hutan tropis mencakup ekologi serta potensi pemanfaatannya di bidang kehutanan.

B. Fungi Endofit: Definisi dan Ekologi

Fungi endofit jika didefinisikan secara sederhana dapat diartikan berdasarkan dari dua kata yang membentuknya, yakni endon yang berarti dalam; dan phyton yang berarti tumbuhan sehingga dapat diterjemahkan sebagai fungi yang hidup di dalam jaringan tumbuhan (Schulz dan Boyle 2005). Fungi dapat dikategorikan sebagai endofit jika keberadannya dalam jaringan tanaman tidak mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut (Schulz et al. 2006). Interaksi endofit dengan inang tidak mengganggu pertumbuhan tanaman karena adanya suatu interaksi “balance antagonism” atau disebut juga suatu interaksi antagonism yang berimbang

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 101

Page 119: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

(Schulz dan Boyle 2005). Saat endofit berinteraksi dengan tanaman, endofit akan mengeluarkan enzim dan tanaman mengeluarkan pertahanan sebagai respons (Hartley et al. 2014). Pada proses tersebut terjadi interaksi berimbang sehingga keberadaan endofit tidak menimbulkan kerugian pada tanaman.

Pada beberapa referensi disebutkan bahwa mikoriza dikategorikan sebagai endofit (Sieber 2002). Namun, beberapa peneliti sepakat mendefinisikan mikoriza berbeda dengan endofit (Saikkonen 1998; Brundrett 2004; Brundrett 2006; Schulz 2006; Bayman 2007; Rodriguez et al. 2009). Perbedaan mendasar endofit dan mikoriza adalah adanya hifa mikoriza yang sudah terbentuk saat berinteraksi, dan transfer nutrisi (Brundett 2006). Selain itu perbedaan lain karena adanya sebagian organ tubuh mikoriza yang tumbuh di luar jaringan tanaman (Bayman P 2007).

Kelimpahan serta keanekaragaman spesies endofit diperkirakan sangat melimpah. Hal ini dikarenakan endofit dijumpai pada berbagai habitat, dari lingkungan arktik hingga tropis, dari berbagai organ tanaman seperti: daun, tangkai daun, bunga, kulit kayu, batang, dan pucuk. Sieber (2007) menyebutkan bahwa pada satu jenis pohon dapat dihuni oleh 100 jenis fungi endofit.

Berdasarkan kedekatan evolusinya, taksonomi serta tanaman inangnya terdapat dua kelompok endofit. Kelompok pertama yakni (a) endofit clavipitaceous (kelas 1) yakni endofit yang termasuk dalam fungi family Clavicipitaceae (Ascomycota) yang pada umumnya berasosiasi dengan berbagai jenis tanaman rumput-rumputan sehingga dikenal dengan sebutan grass endophyte (Bayman 2007). Jenis endofit ini sudah banyak diteliti, terutama terkait dengan jenis fungi Epichloe (Oberhofer dan Leuchtmann 2014; Kauppinen

Sumber: Schulz dan Boyle (2006)

Gambar 1. Antagonisme berimbang antaraendofit dengan tanaman

102 • FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Page 120: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

et al. 2016) dan Neotyphodium (Miller et al. 2009; Victoria Novas et al. 2009; Liu et al. 2011; Soleimani et al. 2015). Kelompok endofit kedua yakni kelompok (b) endofit non-clavipitaceous (NC) yakni kelompok endofit yang diketahui secara luas berasosiasi dengan jenis-jenis tanaman vascular (Rodriguez et al. 2009). Kelompok endofit NC berdasarkan kolonisasi, mekanisme transmisi, fungsi ekologis serta inang dibagi menjadi tiga kelompok yakni (a) kelas 2; (b) kelas 3, dan (c) kelas 4. Pada endofit NC kelas 3, fungi berasosiasi dengan jaringan-jaringan di atas tanah. Pada endofit NC kelas 4, fungi endofit diketahui berasosiasi dengan jaringan tumbuhan di bawah tanah, yakni akar. Selanjutnya, endofit NC kelas 2 dapat dijumpai pada jaringan yang ada di bawah tanah maupun di atas tanah. Selengkapnya tentang klasifikasi fungi endofit dicantumkan pada Tabel 1. Kelompok endofit NC inilah yang banyak ditemui pada studi endofit di hutan tropis.

Untuk mengisolasi fungi endofit, terdapat beberapa metode yang bisa digunakan yakni (a) sterilisasi permukaan (b) studi molekular dan (c) pengamatan histologi. Dari segi kemudahan dan biaya, isolasi fungi endofit menggunakan

sterilisasi permukaan merupakan metode yang banyak dipakai. Terdapat beberapa larutan yang umum digunakan dalam sterilsasi permukaan antara lain Sodium Hypochlorite (NaOCl), alkohol, etanol, dan formalin (Sieber 1993). Setelah dilakukan sterilisasi permukaan, segmen-segmen tumbuhan tersebut diletakkan pada media agar. Media yang banyak digunakan untuk mengisolasi fungi endofit adalah media Potato Dextrose Agar (PDA) dan Malt Extract Agar (MEA). Setelah diinkubasi dalam media agar, fungi endofit akan muncul dari tepi segmen (Gambar 3).

Hingga saat ini tidak ada metode baku dalam isolasi fungi endofit, terkait kadar konsentrat larutan, dan lama perendaman karena adanya perbedaan sifat jaringan pada tiap-tiap jenis tumbuhan. Beberapa peneliti melakukan penelitian tersendiri untuk mengetahui keefektifan metode sterilisasi permukaan yangakan digunakan (Schulz et al. 1993; Silvani et al. 2008; Hakim et al. 2014). Kelemahan metode sterilisasi permukaan ini adalah tidak terdeteksinya jenis-jenis fungi yang sulit dikulturkan (Porras-alfaro dan Bayman 2011). Dalam mengatasi kendala tersebut, metode

Sumber: Brundrett (2006)

Gambar 2. Perbedaan asosiasi fungi endofit dan mikoriza pada tanaman

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 103

Page 121: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

baru dengan pendekalan molekular dapat dilakukan untuk mengeksplorasi sekaligus mengidentifikasi fungi endofit (Bullington dan Larkin 2015).

Sumber: Hakim et al. (2014).

Gambar 1. Gambar 3. Miselia fungi endofit yang muncul dari jaringan tanaman yang sudah disterilisasi pada media MEA 1%

C. Fungi Endofit di Hutan Tropis

Berdasarkan hasil penelusuran tentang studi dan pemanfaatan mikroba di hutan tropis Indonesia dapat diketahui bahwa fokus utama penelitian mikoriza. Penelitian fungi endofit mencakup eksplorasi, identifikasi, masih lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian tentang mikoriza. Diperkirakann fungi endofit di wilayah tropis memiliki keanekaragaman dan kelimpahan tinggi, sepeti penyataan yang

disampaikan Arnold (2001) bahwa endofit di hutan tropis bersifat hyperdiverse, jumlahnya sangat melimpah.

Meskipun diklaim bahwa fungi di hutan tropis sangat melimpah, Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase kolonisasi pada beberapa tipe hutan tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Perbedaan persentase kolonisasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor lingkungan dan faktor teknis. Beberapa faktor lingkungan yang bisa memengaruhi antara lain kadar air tanah, kedekatan dengan sumber air, curah hujan, kondisi kesuburan tanah. Semakin tinggi kelembapan air tanah, curah hujan, serta semakin baik kesuburan tanah pada suatu wilayah maka persentase kolonisasi endofit lebih tinggi (Suryanarayanan et al. 2002; Larkin et al. 2012; Lau et al. 2013). Faktor kelestarian kondisi hutan ternyata juga dapat memengaruhi kolonisasi dari fungi endofit. Pada kondisi hutan yang tidak terdegradasi, kolonisasi fungi endofit lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak (Saikkonen 2007; Hakim et al. 2016). Huang et al. (2016) juga melaporkan bahwa komunitas fungi endofit lebih sedikit pada hutan bekas terbakar dibandingkan yang tidak.

Selain faktor lingkungan, faktor teknis juga memengaruhi persentase kolonisasi fungi endofit. Perbedaan metode sterilisasi permukaan yang mencakup jenis larutan yang digunakan, besaran konsentrat larutan, lama perendaman, lebar segmen yang disterilisasi, bagian jaringan tanaman (muda/

Tabel 1. Klasifikasi fungi endofit

KriteriaClavipitaceous Non-clavipitaceous

Kelas1 Kelas 2 Kelas 2 Kelas 3Kisaran Inang Sempit Luas Luas LuasLokasi jaringan inang yang terinfeksi Tunas dan rhizoma Tunas, akar,

rhizomaTunas Akar

Transmisi Vertikal dan Horizontal Vertikal dan Horizontal

Horizontal Horizontal

Sumber: Rodriguez et al. (2006)

104 • FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Page 122: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

tua/pucuk/lamina), juga umur tanaman dapat memengaruhi persentase kolonisasi. Suryanarayanan dan Thennarasan (2004),dan Arnold (2007) pada penelitiannya mendemonstrasikan bahwa komunitas fungi endofit lebih banyak dijumpai pada daun yang usianya lebih tua dibandingkan dengan jaringan daun dengan usia lebih muda.

Berbagai jenis fungi endofit berhasil diisolasi pada berbagai jenis tanaman kehutanan di berbagai wilayah Indonesia (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui fungi-fungi Hypocreales, Diaporthales, Xylariales, serta Eurotiales banyak dijumpai pada berbagai jenis tanaman kehutanan yang ada di Indonesia. Hasil isolasi ini memiliki kesamaan dengan jenis-jenis fungi endofit yang diisolasi dari berbagai jenis pohon pada hutan hujan pegunungan di India antara lain: Corynespora cassiicola, Penicillium sp., Phomopsis sp, Phyllosticta sp, Sporormiella intermedia, Xylaria sp., Pestalotiopsis, dan Collectotrichum (Suryanarayanan et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa fungi endofit dari kelompok ordo tersebut dapat diasumsikan banyak berasosiasi dengan berbagai tanaman kehutanan. Selain itu, jenis-jenis kelompok fungi pada ordo tersebut merupakan fungi yang generalis, yakni bisa berasosiasi dengan berbagai jenis tanaman (Arnold 2001; Sieber 2007; Reddy et al. 2016). Sebagai contoh, jenis fungi endofit Pestalotiopsis sp. (Ordo: Xylariales) merupakan fungi generalis yang diketahui berasosiasi dengan 72 jenis pohon pada satu lokasi hutan (Reddy et al. 2016).

Tabel 3. Jenis-jenis fungi yang diidentifikasi dari beberapa lokasi di Indonesia

No Jenis Fungi Ordo InangLokasi

Pengambilan Sampel

Pustaka

1 Penicillium purpurogenumColletothricum gloeosporioides Nectria curta. Pestalotiopsis sp

Eurotiales GlomerallalesHypocrealesXylariales

Manggis sda.sda.sda.

- Radji et al. 2014

2 Trichoderma spirale Velsaceae sp. Melanconiella ellisiiChaetospora callimorpha Trichoderma asperlum

HypocrealesDiaporthalesDiaporthalesChaetosphaerialesHypocreales

Akar Shorea leprosuladanShorea

selanicasda.sda.sda.

Hutan penelitian Dramaga,

Bogor, Jawa Barat

Hakim et al. 2015

Tabel 2. Persentase kolonisasi fungi endofit pada beberapa tipe hutan

No Tipe hutanPersentase

Kolonisasi (%)Pustaka

1 Daerah Temperate

70–100 Achlich dan Sieber 1996

2 Jenis-jenis dipterokarpa

59,3–75,5 Orachnipulap et al. 1998

3 Hutan daerah cina

48,5–65,6 Sun et al. 2012

4 Hutan Neotropical

95 Arnold 2001

5 Hutan Rawa Gambut

49–56,2 Hakim et al. 2016

6 Riparian forest

28,5 Lau et al. 2013

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 105

Page 123: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No Jenis Fungi Ordo InangLokasi

Pengambilan Sampel

Pustaka

3 Nemania primoluteaXylaria feejensisGeomyces pannorumPestalopsis mangiferaeColletrichum gleosporoidesPenicillumcitrinumPhyllosticta capitalensi

XylarialesXylarialesMyxotriachaceaeXylarialesGlomerallalesEurotialesBotrphaeriaceae

Daun beberapa jenis tanaman hutan rawa

gambut sda.sda.sda.sda.sda.

Hutan Rawa Gambut di Kalimantan

Tengah

Hakim et al. 2017

4 Aspergillus sp. Acremonium sp.

EurotialesHypocreales

Akar tanaman bakau (Avicenia marina)

Minahasa, Sulawesi Utara

Posangi dan Bara (2014)

6 Fusarium Hypocreales Akar anggrek di hutan papua

Sentani-Papua Sufaati et al. 2016

7 Guignardia endophyllicola

Botrphaeriaceae Tangkai daun Acacia mangium

Taman Nasional Gunung

Halimun Salak , Sukabumi, Jawa

Barat

Suciatmih et al. 2011

Colletotrichum sp. Curvularia sp.Colletotrichum sp. Fusarium oxysporum Schlecht

GlomerallalesPleosporalesGlomerallalesHypocreales

Tangkai daun Ficus benjamina

sda.sda.sda.

Colletotrichum sp.Colletotrichum sp.

GlomerallalesGlomerallales

Tangkai daun Bintaro (Cerbera manghas L.)

Fusarium sp.Colletotrichum sp.

HypocrealesGlomerallales

Mengkudu (Morindra citrifolia L.)

sda.Phomopsis sp.Colletotrichum sp

DiaporthalesGlomerallales

tangkai daun dan daun Gravillea

robusta A. CunnG. endophyllicola Botrphaeriaceae Tangkai daun Karet

(Hevea brasiliensis)Colletotrichum sp. Glomerallales Daun Pyrrosia

nummulariifoliaG. endophyllicola Botrphaeriaceae Tangkai daun

dan daun Guioa diplopetala (Hassk)

Radlk

Tabel 3. Jenis-jenis fungi yang diidentifikasi dari beberapa lokasi di Indonesia (lanjutan)

106 • FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Page 124: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No Jenis Fungi Ordo InangLokasi

Pengambilan Sampel

Pustaka

8 Aspergillus sp.Cladosporiu sp.Diaporthe sp.Fusarium sp.Penicillium sp.Pestalotiopsis sp.Phoma sp.Phomopsis sp.

EurotialesCapnodialesDiaporthalesHypocrealesEurotialesXylarialesDiaporthalesDiaporthales

Pada berbagai bagian tanaman(Uncaria

gambier) (buah, akar, batang,akar)

sda.sda.sda.sda.sda.

Sumatra Barat Ilyas et al. 2009

D. Aplikasi Fungi Endofit dalam Mendukung Pembangunan Hutan

Fungi endofit memiliki peran bagi pembangunan hutan melalui beberapa mekanisme antara lain (a) meningkatkan pertumbuhan tanaman (b) meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Beberapa fungi endofit dilaporkan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman antara lain Fusarium tricinctum, Alternaria alternate (Khan et al. 2015), Penicillum citrinum (Khan et al. 2016), Phialocephala sp. dan Pirimifospora sp.. Terdapat perubahan fenotip serta fisiologis saat fungi endofit berasosiasi dengan tanaman. Tanaman cokelat yang berasosiasi dengan endofit menunjukkan perubahan ekspresi gen yang mencakup produksi lignin, produksi selulosa, laju fotosintesis, serta kadar nitrogen (Meija et al. 2014). Ditambahkan oleh Fouda et al. (2015), adanya inokulasi endofit tanaman terbukti meningkatkan performa fisiologis tanaman yakni konten klorofil, rasio pucuk akar, dan biomassa tanaman. Peningkatan ini dihubungkan dengan adanya fitohormon indole 3 acetic acid (IAA) yang diproduksi oleh tanaman (Khan et al. 2016). Selain itu, peningkatan fosfor dari tanah ke tanaman

dilaporkan juga terjadi setelah asosiasi fungi endofit dengan tanaman (Gasoni dan Gurfinkel 1997).

Inokulasi fungi endofit pada tanaman tidak selamanya menguntungkan. Tellenbach et al. (2011) mengungkapkan bahwa inokulasi endofit dapat menurunkan kesehatan tanaman. Adanya efek negatif ini diasumsikan dipengaruhi oleh ketidakmampuan tanaman inang serta virulensi endofit yang tinggi sehingga tidak dapat terbentuk “balance antagonism” (Schulz dan Boyle 2006). Dampak negatif yang dihasilkan dari asosiasi tanaman dengan endofit ini ternyata dapat pula diikuti oleh efek sampingan yang positif. Rudgers et al. (2012) dalam penelitiannya mendemostrasikan bahwa inokulasi fungi endofit pada tanaman menyebabkan turunnya nilai daya hidup tanaman, namun meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan pada tanaman yang tidak diinokulasi.

Untuk memaksimalkan fungsi endofit dalam meningkatkan pertumbuhan, dual inokulasi antara fungi endofit dengan mikoriza dilakukan. Reininger dan Sieber (2012) menyatakan melalui dual inokulasi ini ada peningkatan pertumbuhan dibandingkan pada tanaman yang diinokulasi tunggal dengan endofit saja atau mikoriza saja. Hasil lain juga mengungkapkan bahwa dual inokulasi ini juga

Tabel 3. Jenis-jenis fungi yang diidentifikasi dari beberapa lokasi di Indonesia (lanjutan)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 107

Page 125: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dapat mengurangi efek negatif fungi endofit saat berasosiasi dengan tanaman (Tellenbach et al. 2011).

Selain meningkatkan pertumbuhan tanaman, fungi endofit juga dapat berperan dalam meingkatkan resistensi tanaman dalam melawan hama dan penyakit yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, fungi endofit Trichoderma spirale dari akar Shorea sp. dapat menekan pertumbuhan fungi patogen Fusarium sp. yang merupakan patogen dari tanaman Jabon secara in vitro (Anthocepalus cadamba) (Hakim et al. 2015). Bukti lain ditunjukkan oleh fungi endofit Colletrrichum sp., Xylaria sp., dan Fusarium sp. yang dapat menurunkan pertumbuhan fungi patogen Phytophthora palmivora pada tanaman cokelat (Hanada et al. 2010; Silvani et al. 2008). Fungi endofit bisa berpotensi digunakan sebagai sumber bahan pestisida karena diketahui memproduksi senyawa-senyawa lain ergot alkaloid, ergovine, ergotamine, regulosin, ergocryptine, agroclavine, elymoclavine, peramine dan lain-lain (Kumar dan Kaushik 2008). Senyawa-senyawa tersebut terbukti memiliki efek toksik pada hama dan penyeakit yang menyerang tanaman. Salah satu contoh mekanisme endofit dalam perannya sebagai biokontrol yakni fungi endofit yang memproduksi regulosin terbukti dapat memengaruhi preferensi dari hama ulat dalam mengkonsumsi daun jarum (Miller et al. 2002). Penggunaan regulosin yang diproduksi endofit ini saat ini sudah diaplikasikan pada hutan tanaman Picea glauca di Kanada (Newcombe 2011).

Selain dua hal di atas, endofit pada hutan berpotensi besar sebagai indikator lingkungan serta sumber senyawa baru. Fungi endofit terbukti merespons berbagai perubahan lingkungan seperti kekeringan (Saikkonen 2007), kebakaran hutan (Huang et al. 2016), dan kondisi hutan yang terfragmentasi (Hakim

et al. 2017). Hal ini juga menandakan fungi endofit bisa dengan cepat merespons adanya perubahan iklim (Newcombe 2011). Fungsi lain endofit yang sangat potensial di hutan tropis adalah sebagai sumber senyawa baru yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan antara lain untuk kepentingan medis, ketahanan pangan, serta energi (Suryanarayanan 2012).

Dalam aplikasi fungi endofit, ketelitian sangat diperlukan. Serangkaian uji dan penapisan sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi antara lain: dampak pada organisme lain, mikotoksik serta dampak pada lingkungan. Berbagai potensi fungi endofit yang ada di hutan tropis ini merupakan perkerjaan besar yang menjadi kesempatan besar serta tantangan dalam mengungkap rahasia kekayaan fungi endofit yang dimiliki hutan tropis.

E. Prospek dan Tantangan ke depan

Studi fungal endofit di hutan tropis, masih dipandang sebelah mata. Padahal, berbagai studi berhasil menunjukkan keanekeragaman serta manfaat fungi endofit yang sangat melimpah. Dari segi biodiversitas, tidak diragukan lagi bahwa kekayaan fungi hutan tropis cukup melimpah dan bernilai sangat penting dalam konteks keanekaragaman global. Endofit diperlukan di hutan karena keberadaanya bisa menentukan keseimbangan lingkungan termasuk kemamapuan tumbuh pohon di hutan, resistensi terhadap hama dan penyakit, serta toleransi terhadap cekaman lingkungan. Selain itu, fungi endofit juga perlu dieksplorasi lebih lanjut terkait kemampuan produksi metabolit sekundernya yang dimungkinkan bisa bermanfaat bagi berbaga bidang. Dalam aplikasinya, diperlukan kecermatan karena perlu diinvestigasi lagi kemungkinan adanya senyawa mikotoksik, atau dampak negatif yang berpotensi membahayakan lingkungan.

108 • FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Page 126: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PustakaArnold AE. (2007). Understanding the diversity

of foliar endophytic fungi: progress, challenges, and frontiers. Fungal Biology Reviews. 21(2–3): 51–66.

Arnold E. (2001). Diversity and ecology of fungal endophytes in tropical forests. In Desmukh SK & Rai MK, Biodiversity of fungi: Their role in human life. p: 49–68. Michigan: Science publisher.

Bayman P. (2007). Fungal Endophytes. In K. CP & D. IS (Eds.), Environmental and Microbial Relationships, 2nd Edition. p.: 213–227. Berlin: Springer-Verlag.

Bullington LS, & Larkin BG. (2015). Using direct amplification and next-generation sequencing technology to explore foliar endophyte communities in experimentally inoculated western white pines. Fungal Diversity. 17(2015).

Gasoni L, & Gurfinkel BSDE. (1997). The endophyte Cladorrhinum foecundissimum in cotton roots: Mycological Research. 101(7): 867–870.

Hakim SS, Budi SW, & Turjaman M. (2014). Sterilisasi permukaan untuk mengisolasi fungi endofit akar pada meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.) di hutan penelitian Dramaga. Jurnal Silvikultur Tropika. 5(1): 49–53.

Hakim SS, Budi SW, & Turjaman M. (2015). Phosphate solubilizing and antifungal activity of root endophyte isolated from Shorea leprosula Miq. and Shorea selanica (DC) Blume. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21: 138–146.

Hakim SS, Yuwati TW, & Nurulita S. (2017). Isolation of peat swamp forest foliar endophyte fungi as biofertilizer. Journal of Wetland Environmental Management. 5(1): 10–17.

Hanada Reiji, Pomela AWV, Costa HS, Bezerra JL, Loguercio LL, & Pereira JO. (2010). Endophytic fungal diversity in Theobroma cacao (cacao) and T. grandiflorum (cupuaçu) trees and their potential for growth promotion and biocontrol of balck-pod disease. Fungal Biology. 1(14): 901–910.

Hartley SE, Eschen R, Horwood JM, Gange AC, & Hill EM. (2014). Infection by a foliar endophyte elicits novel arabidopside-based plant defence reactions in its host, Cirsium arvense. New Phytol. (October): 1–12.

Huang Y, Devan MMN, Ren JMU, Furr SH, Arnold AE, & Arnold AE. (2016). Pervasive effects of wildfire on foliar endophyte communities in montane forest trees. Microb Ecol. 71: 452–468.

Ilyas M, Kanti A, Jamal Y, & Agusta A. (2009). Biodiversity of endophytic fungi associated with Uncaria gambier Roxb. (Rubiaceae) from West Sumatra. Biodiversitas. 10(1): 23–28.

Kauppinen M, Saikkonen K, Helander M, Pirttilä AM, & Wäli PR. (2016). Epichloë grass endophytes in sustainable agriculture. Nature Plants. 2: 1–7.

Khan AL, Al-harrasi A, Al-rawahi A, Al-farsi Z, & Al-A. (2016). Endophytic fungi from Frankincense tree improves host growth and produces extracellular enzymes and indole acetic acid. PLoS ONE. 11(6): e0158207.

Khan AR, Ullah I, Waqas M, Shahzad R, Hong S-J, Park G-S, Shin J-H. (2015). Plant growth-promoting potential of endophytic fungi isolated from Solanum nigrum leaves. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 31(9): 1461–1466.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 109

Page 127: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Kumar S, & Kaushik N. (2008). Endophytic fungi for pest and disease management. In A Ciancio & K Mukerji (Eds.), Integrated management of diseases caused by fungi, phytoplasma and bacteria. p: 365–387. Berlin: Springer Science Business Media.

Larkin BG, Hunt LS, & Ramsey PW. (2012). Foliar nutrients shape fungal endophyte communities in Western white pine (Pinus monticola) with implications for white-tailed deer herbivory. Fungal Ecology. 5(2): 252–260.

Lau MK, Arnold a E, & Johnson NC. (2013). Factors influencing communities of foliar fungal endophytes in riparian woody plants. Fungal Ecology. 6(5): 365–378.

Liu Q, Parsons AJ, Xue H, Fraser K, Ryan GD, Newman J a, & Rasmussen S. (2011). Competition between foliar Neotyphodium lolii endophytes and mycorrhizal Glomus spp. fungi in Lolium perenne depends on resource supply and host carbohydrate content. Functional Ecology. 25: 910–920.

Locey KJ, & Lennon JT. (2016). Scaling laws predict global microbial diversity. PNAS. 113(21): 5970–5975.

Meija LC, Herre EA, Sparks JP, Winter K, Garcia MN, Bael SA. Van Maximova S N. (2014). Pervasive effects of a dominant foliar endophytic fungus on host genetic and phenotypic expression in a tropical tree. Frontiers in Microbiology. 5: 1–16.

Miller JD, Cherid H, Sumarah MW, & Adams GW. (2009). Horizontal transmission of the Picea glauca foliar endophyte Phialocephala scopiformis CBS 120377. Fungal Ecology. 2(2): 98–101.

Miller JD, Mackenzie S, Foto M, Adams GW, & Findlay JA. (2002). Needles of white spruce inoculated with rugulosin-producing endophytes contain rugulosin reducing spruce budworm growth rate. Mycological Progress. 106: 471–479.

Newcombe G. (2011). Endophytes in Forest Management: Four challenges roles in nature? In A Pirttila & A Frank (Eds.), Endophytes of Forest Tree. p: 251–262. New York: Springer Science Business Media.

Oberhofer M, & Leuchtmann A. (2014). Horizontal transmission, persistence and competition capabilities of Epichloë endophytes in Hordelymus europaeus grass hosts using dual endophyte inocula. Fungal Ecology. 11: 37–49.

Porras-alfaro A, & Bayman P. (2011). Hidden fungi, emergent properties: endophytes and microbiomes. Annual Review of Phytopathology. 49: 291–315.

Posangi J, & Bara RA. (2014). Analisis aktivitas dari jamur endofit yang terdapat dalam tumbuhan bakau Avicennia marina di Tasik Ria Minahasa. Jurnal Pesisir Dan Laut Tropis. 1(1): 30–38.

Radji M, Nugraheni FA, & Sumiati A. (2014). Molecular Identification of Endophytic Fungi Isolated from Garcinia porrecta and Garcinia forbesii. Jurnal Farmasi Indonesia. 4(4): 156–160.

Reddy MS, Murali T, Suryanarayanan T, & Thirunavukkarasu N. (2016). Pestalotiopsis species occur as generalist endophytes in trees of Western Ghats forests of southern India. Ecology. 24: 70–75.

Reininger V, & Sieber TN. (2012). Mycorrhiza reduces adverse effects of dark septate endophytes (DSE) on growth of conifers. PLoS ONE 7(8): e42865. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0042865

Rodriguez R, White-Jr J, Arnold A, & Redman R. (2009). Fungal endophytes : diversity and functional roles. New Phytologist. 182: 314–330.

110 • FUNGI ENDOFIT: RISET DAN APLIKASINYA DI HUTAN TROPIS INDONESIA

Page 128: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Rudgers J, Miller TE, Zielger SM, & Craven KD. (2012). There are many ways to be a mutualist: Endophytic fungus reduces plant survival but increases population growth There are many ways to be a mutualist: Endophytic fungus reduces plant survival but increases population growth. Ecology. 93(3): 565–574.

Saikkonen K. (2007). Forest structure and fungal endophytes. Fungal Biology Reviews. 21(2–3): 67–74.

Schulz B, & Boyle C. (2005). The endophytic continuum. Mycological Research. 109(6): 661–686.

Schulz B, & Boyle C. (2006). What are endophytes? In B Schulz, C Boyle, & T Sieber (Eds.), Microbial Root Endophytes (9): 1–13. Springer, Berlin Heidelberg.

Schulz B, Wanke U, Draeger S, & Aust H. (1993). Endophytes from herbaceous plants and shrubs: effectiveness of surface sterilization methods. Mycological Research. 97(12): 1447–1450.

Sieber TN. (2007). Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists?. Fungal Biology Reviews. 21: 75–89.

Silvani VA, Fracchia S, Fernandez L, & Godeas PA. (2008). A simple method to obtain endophytic microorganisms from field-collected roots. Soil Biology & Biochemistry. 40:1259–1263.

Soleimani M, Afyuni M, Hajabbasi MA, Nourbakhsh F, Sabzalian MR, & Christensen JH. (2015). Phytoremediation of an aged petroleum contaminated soil using endophyte. Chemosphere. 81(9): 1084–1090.

Suciatmih, Yuliar, & Supriati D. (2011). Isolasi, identifikasi, dan skrining jamur endofit penghasil agen biokontrol dari tanaman di lahan pertanian dan hutan penunjang gunung salak. J.Tek.Lingkungan. 12(2): 171–186.

Sufaati S, Agustini V, & Suharno. (2016). Fusarium as endophyte of some terrestrial orchid from Papua, Indonesia Short Communication: Fusarium as endophyte of some terrestrial orchid from Papua. Biodiversitas. 17(1): 366–371.

Suryanarayanan TS. (2012). Fungal endophytes: an untapped source of biocatalysts. Fungal Diversity. 54: 19–30.

Suryanarayanan TS, Murali TS, & Venkatesan G. (2002). Occurrence and distribution of fungal endophytes in tropical forests across a rainfall gradient. Canadian Journal of Botany. 80(8): 818–826.

Suryanarayanan T, & Thennarasan S. (2004). Temporal variation in endophyte assemblages of Plumeria rubra leaves. Fungal Diversity. 15: 197–204.

Tellenbach C, Tellenbach C, Grünig CR, & Sieber TN. (2011). Negative effects on survival and performance of Norway spruce seedlings colonized by dark septate root endophytes are primarily isolate-dependent. Environmental Biology. 13(9): 2508–2517.

Victoria Novas M, Iannone LJ, Godeas AM, & Cabral D. (2009). Positive association between mycorrhiza and foliar endophytes in Poa bonariensis, a native grass. Mycological Progress. 8(1): 75–81.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 111

Page 129: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 130: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM

MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Oleh: Sri Wilarso Budi

A. PendahuluanDaerah di sekitar perakaran tumbuhan

dikenal sebagai daerah rhizozfer yang kondisi fisik, kimia maupun biologi tanahnya sangat berbeda jika dibandingkan dengan daerah yang jauh dari perakaran tumbuhan. Hal ini dimungkinkan karena banyak mikroorganisme baik dari golongan bakteri maupun fungi yang memanfaatkan sumber-sumber makanan yang cukup banyak tersedia di daerah ini. Sebagai makhluk yang termasuk dalam golongan heterotroph, bakteri, dan fungi memerlukan sumber makanan yang sudah jadi seperti karbohidrat, gula, protein, dan sebaginya. Sumber makanan ini cukup berlimpah di sekitar rhizozfir baik yang berasal dari guguran daun-daun tumbuhann maupun bagian lainnya yang kemudian mengalami proses dekomposisi maupun yang berasal dari senyawa-senyawa organik yang dikeluarkan oleh tumbuhan melalui akar yang dikenal sebagai eksudat akar. Dengan demikian maka daerah rhizosfer adalah merupakan daerah yang sangat kompleks dan tempat terjadinya interaksi antara berbagai macam makhluk hidup yang ada di daerah tersebut. Di antara sekian banyak interkasi yang terjadi, salah satu bentuk interaksi yang sangat penting di daerah rhizosfer adalah interaksi anatara akar tumbuhan tingkat tinggi dengan fungi yang disebut sebagai mikoriza.

Istilah mikoriza pertama kali dikemukakan oleh Frank (1888), seorang ilmuwan yang mendalami penyakit tumbuhan dari Jerman.

Istilah mikoriza diambil dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu “myces” yang artinya fungi dan “rhiza” yang artinya akar. Fungi dan tumbuhan tingkat tinggi saling membutuhkan makanan yang tidak dapat dipenuhi oleh masing-masing individu tersebut sehingga pada akhirnya membentuk kerjasama yang saling menguntungkan bagi ke dua belah pihak yang dikenal sebagai simbiosis mutualisme, membentuk satu kesatuan akar dan fungi menjadi satu yang dinamakan mikoriza. Fungi adalah termasuk ke dalam golongan makhluk heterotrof yang memerlukan makanan yang sudah jadi. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya menggantungkan kepada tumbuhan yang dapat memproduksi senyawa-senyawa karbohidrat, gula, inositol, vitamin, dan lain-lain serta dapat dikeluarkan oleh tumbuhan melalui akar yang disebut sebagai eksudat akar. Sebaliknya tumbuhan pada kondisi tertentu kesulitan untuk mendapatkan bahan baku berupa unsur hara dan air dari dalam tanah, karena akar tidak dapat menyerap. Pada kondisi demikian, fungi dengan kemampuan hifa-hifanya yang dapat berkembang sangat ektensif di dalam tanah dapat mengambilkan unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah dan diberikan kepada tumbuhan untuk diolah menjadi gula, karbohidrat, dan lain-lain melalui proses fotosintesis.

Banyak tipe-tipe mikoriza yang dapat dijumpai di alam dan secara umum dibedakan berdasarkan pada proses kolonisasinya. Menurut Smith dan Read (2007), secara

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 113

Page 131: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

garis besar ada 3 (tiga) tipe mikoriza yaitu (1) Ektomikoriza (2) Endomikoriza dan (3) Ektendomikoriza

Ektomikoriza, banyak dijumpai pada pohon-pohon besar dari keluarga Dipterocarpaceae, Pinaceae, Fagaceae, dan sebagian dari keluarga Myrtaceae. Ciri utama dari ektomikoriza adalah terjadinya perubahan morfologi akar. Pada awal proses symbiosis, hifa-hifa fungi mendekat ke akar-akar rambut kemudian menempel di dinding sel akarnya dan masuk ke dalam akar tetapi tidak menembus sel-sel kortek, kemudian bercabang-cabang membentuk struktur jaring-jaring “hartig” (Gambar 1) yang berfungsi sebagai pertukaran nutrisi antara tanaman dengan funginya.

Sumber: Brundrett et al. (1996)

Gambar 1. Jaring-jaring hartig

Di sisi lain hifa-hifa yang tidak masuk ke dalam akar juga berkembang menyelimuti rambut-rambut akar sehingga membentuk mantel yang tebal dan mengubah morfologi akarnya (Gambar 2). Fungi yang bersimbiosis dengan akar tumbuhan terutama dari Basidiomycetes dan Ascomycetes.

Sumber: Brundrett et al. (1996)

Gambar 2. Morfologi ektomikoriza

Pada tipe Endomikoriza tidak terjadi perubahan bentuk morfologi akar tumbuhannya dan untuk mengidentifikasi apakah tumbuhan bersimbiosis dengan fungi atau tidak perlu menggunakan mikroskop. Terdapat banyak macam endomikoriza, namun yang paling banyak dipelajari adalah Mikoriza Arbuskula. Mikoriza arbuskula banyak dijumpai pada sebagian besar pohon-pohon dan juga tumbuhan lain di luar kelompok pohon-pohonan. Hampir 95% keluarga tumbuhan terdapat Mikoriza arbuskula (Smith dan Read 2007). Pada tipe ini fungi berkembang di sekitar akar, namun tidak menyelimuti akar-akar rambut dan tidak membentuk mantel sehingga tidak terjadi perubahan morfologi akarnya. Hifa yang masuk ke akar menembus sel-sel kortek dan berkembang bercabang-cabang membentuk struktur baru yang disebut Arbuskulus (Gambar 3A) yang fungsinya sama dengan jaring-jaring hartig pada ektomikoriza. Di samping itu, ujung-ujung hifa yang berkembang di dalam akar juga akan membentuk struktur yang disebut Vesikel (Gambar 3B) yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan bahan makanan. Adapun tipe Ektendomikoriza merupakan tipe yang mempunyai ciri-ciri ke dua tipe di atas.

Secara diagramatis perbedaan anatara Ektomikoriza dengan Mikoriza arbuskula disajikan pada Gambar 4.

114 •

Page 132: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sumber: Brundrett et al. (1996)

Gambar 4. Diagramatis mikoriza arbuskula dan ektomikoriza

Sumber: Read et al. (1976)

Gambar 5. Keberadaan mikoriza di dalam ekosistem alam

b. Penyebaran Mikoriza Arbuskula di Alam

Mikoriza merupakan komponen yang sangat penting di dalam ekosistem hutan dan berperan dalam siklus nutrisi. Mikoriza bukan saja dipandang sebagai struktur simbiotik antara fungi dengan akar tumbuhan, namun sudah merupakan komponen ekosistem yang erat dan saling memengaruhi antara tumbuhan, fungi dan tanah (Mosse 1975). Keberadaan mikoriza di ekosistem sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Read et al. (1976) menunjukkan gambaran keberadaan mikoriza di dalam suatu ekosistem yang dipengaruhi oleh biomassa, sumber pembatas serta tipe mikorizanya (Gambar 5).

Di daerah tropis, mikoriza arbuskula telah ditemukan di berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem mangrove (Saidi 2007), ekosistem hutan pantai (Delvian 2010), ekosistem gambut (Nurhandayani et al. 2013; Tawaraya et al. 2003), ekosistem hutan dataran rendah (Hermawan et al. 2015), ekosistem hutan sub pegunungan (Termedi 2006), dan ekosistem hutan Pegunungan (Santika 2006). Jenis-jenis yang ditemukan sangat bervariasi, namun pada umumnya didominasi oleh Genus Glomus (Tabel 1).

A BSumber: Brundrett et al. (1996); Budi, SW (Koleksi pribadi)

Gambar 3. Arbuskulus (A) dan Vesikel (B)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 115

Page 133: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Tabel 1. Penyebaran Mikoriza Arbuskula di berbagai tipe ekosistem di Indonesia

No Tipe Ekosistem Jenis Vegetasi Jenis Fungi Mikoriza Arbuskula Pustaka

1 Mangrove Bakau-bakauan Spora mikoriza arbuskula belum teridentifikasi

Saidi et al. (2007), Nursanti et al. (2012)

2 Pantai/Tanah Salin

1. Ipomoea sp. 2. Calotropis sp. 3. Glycine sp. 4. Acacia sp. 5. Gnetum sp.

Glomus sp., Schlerocystis sp., Gigaspora sp

Wanda et al. (2015)

1. Alstonia sp.2. Averrhoa sp.3. Buchanania arborescen 4. Diospiros yendula 5. Erythrina crassifolia 6. Flemingia congesta 7. Ficus glomerata8. Hibiscus tiliaceaus 9. Macaranga tanarius 10. Myristica crinita 11. Myristica iners 12. Pandanus littolaris 13. Planchonella nitida 14. Planchonia valida15. Pongamia pinnata 16. Pterospermum acerifolium 17. Sterculia campanulata 18. Terminalia catappa 19. Uraria crinita 20. Vitex quinata

Glomus spp, Schlerocystis sp, Gigaspora sp., Acaulospora sp.

Delvian (2010)

3 Dataran rendah Gambut

Eucalyptus pelita Glomus spp. Hermawan et al. (2015)

Zea mays, Glycine max Glomus spp. Pangaribuan (2014) Ananas comosus Glomus spp, Gigaspora sp,

Acaulospora sp.Nurhandayani et al. (2013)

Bekas terbakar Glomus spp, Acaulospora sp. Sayuti et al. (2011) Anthocephalus cadamba Glomus spp, Acaulospora sp. Padri et al. (2015)

116 •

Page 134: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No Tipe Ekosistem Jenis Vegetasi Jenis Fungi Mikoriza Arbuskula Pustaka

4 Dataran rendah tanah mineral

Vegetasi dataran rendah didominasi pohon Pericopsis mooniana

Glomus agregatum, Glomus boreale, Glomus canadense, Glomus halonatum, Glomus versiforme, Rhizophagus diaphanous, Sclerocystis clavispora, Septoglomus con-strictum, Claroideoglomus etunicatum, Scutellosphora auriglobosa, Acaulosphora scrobiculata, Acaulosphora delicate, Ambispora appen-diculata

Husna et al. (2015)

Jabon (Anthocephalus cad-amba)

Glomus sp., Enthrophospora sp., Acaulosphora sp.

Budi dan Dewi (2016)

Desmodium sp. Glomus spp., Acaulospora sp., Muryati et al. (2016)5 Sub Pegunungan Hutan campuran Glomus spp., Acaulospora sp. Tarmedi (2006)6 Pegunungan Hutan campuran Glomus spp., Gigaspora sp.,

Acaulospora sp.Santika (2006)

Di ekosistem hutan hujan tropis yang elevasinya rendah diduga didominasi oleh endomikoriza terutama mikoriza arbuskula, sedangkan pada daerah-daerah yang lebih tinggi, banyak dijumpai pohon-pohon yang bersimbiosis dengan ektomikoriza (Meyer 1973). Di ekosistem padang rumput daerah tropis dan padang pasir didominasi oleh tipe mikoriza arbuskula, demikian juga di padang rumput daerah temperate, sedangkan di daerah Oasis banyak dujumpai ektomikoriza (Trappe 1981). Hayman (1982) menyatakan bahwa fungi mikoriza arbuskula merupakan fungi yang penyebarannya sangat luas di dunia, mulai dari daerah padang pasir, tropis, sub tropis dan dapat berasosiasi dengan lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. Sieverding (1988) menyatakan bahwa tanah-tanah di daerah tropis banyak mikoriza arbuskulanya, dengan jenis yang dominan adalah Glomus fasciculatum, Acaulospora scorbiculata

dan Scutelospora pellucida. Adapun jenis Entrophospora colombiana dan Gigaspora margarita banyak dijumpai pada tanah tropis yang mempunyai pH<5 atau > 5.3.

Penyebaran mikoriza di ekosistem alam dapat secara horizontal maupun vertikal. Di sebagian besar habitat, mikoriza menurun sejalan dengan ke dalam tanah. Aktivitas fungi mikoriza arbuskula dapat terjadi sampai kedalaman tanah lebih dari 1 meter, akan tetapi jumlahnya menurun dengan semakin dalam tanah (Zajicek et al. 1986). Di sekitar rizosfer Artemisia tridentate ditemukan 4 jenis fungi mikoriza arbuskula pada 20 cm lapisan tanah atas, tetapi pada ke dalam 60 cm hanya dijumpai Glomus macrocarpus (Allen 1990). Davidson dan Christensen (1977) juga melaporkan bahwa sebagian besar fungi mikoriza arbuskula di Amerika Utara berada di 20 cm lapisan tanah atas. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Schwab dan Reever (1981) di Amerika Utara

Tabel 1. Penyebaran Mikoriza Arbuskula di berbagai tipe ekosistem di Indonesia (lanjutan)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 117

Page 135: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Bagian Barat. Dilaporkan juga oleh Hafeel dan Gunatilleke (1990) bahwa spora fungi mikoriza arbuskula pada kedalaman 0–10 cm dan 10–20 cm lebih banyak jumlahnya dibandingkan pada kedalaman 20–30 cm, 30–40 cm dan 40–50 cm baik di hutan alam, hutan tanaman Pinus caribeae maupun di bekas perladangan di Srilanka.

Hasil penelitian Tarmedi (2006) di hutan sub Pegunungan Kamojang Jawa Barat juga ditemukan kepadatan spora yang semakin menurun dengan semakin dalam tanahnya (Tabel 2). Semakin dalam tanah, kandungan bahan organik juga menurun, aerasi dan kesuburan juga menurun.

Tabel 2. Kepadatan spora/50 g tanah dari hutan sub pegungngan Kamojang

No Jenis TumbuhanKedalaman

(cm)

Kepadatan Spora/50 g

tanah1 Ficus sinuata 0–10 29

10–20 122 Eupathorium

riparium0–10 10

10–20 383 Elastosoma

parvum0–10 0

10–20 44 Oplismenus

compositus0–10 5

10–20 25 Alternathera sp. 0–10 10

10–20 26 Syzygium

jamboloides0–10 14

10–20 5Sumber: Tarmedi (2006)

Keberadaan spora mikoriza, di samping dipengaruhi oleh kedalaman tanah juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah. Sieverding (1991) melaporkan adanya hubungan tersebut (Tabel 3).

Tabel 3. Konsentrasi bahan organik dan kepadatan spora per 100 g tanah pada berbagai tingkat kedalaman

Kedalaman Tanah (cm)

Bahan Organik (%)

Jumlah Spora /100g Tanah

0–20 7.6 ± 0.4 110 ± 3220–40 5.2 ± 1.4 35 ± 640–60 2.1 ± 0.5 22 ± 1460–80 0.7 ± 0.2 10 ± 7

80–100 0.5 ± 0.2 9 ± 8100–120 0.5 ± 0.1 7 ± 3120–140 0.4 ± 0.0 4 ± 4140–160 0.0 9 ± 6160–180 0.0 5 ± 8180–200 0.0 1 ± 2200–220 0.0 1 ± 1

Sumber: Sieverding (1991)

Hasil penelitian Sahner et al. (2015) juga menunjukkan bahwa perubahan hutan alam menjadi karet alam, karet tanaman dan kebun sawit di wilayah hutan Bukit 12 Sarolangun dan Hutan Harapan, Batang Hari Jambi dapat meningkatkan jumlah spora mikoriza arbuskula (Gambar 6). Hal ini mengindikasikan bahwa dengan semakin rendah bahan organik maka akan semakin banyak populasi spora mikoriza arbuskulanya dan jika dikaitkan dengan kesuburan tanahnya maka semakin kurang subur tanahnya maka akan semakin banyak ditemukan spora mikoriza arbuskulanya.

Sumber: Sahner et al. (2015)

Gambar 6. Jumlah spora mikoriza arbuskula pada berbagai tipe ekosistem.

118 •

Page 136: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Hasil penelitian Husna et al. (2015) juga membuktikan peran dari bahan organik dan juga ketersediaan P di dalam tanah terhadap kepadatan spora mikoriza arbuskula di habitat kayu Kuku (Perocopsis mooniana Thw.) (Tabel 4). Semakin tinggi bahan organik dan P tersedia makan semakin banyak kepadatan spora mikoriza di dalam tanah. Bahan organik dan P tersedia dalam tanah merupakan indikator kesuburan tanah.

Penyebaran mikoriza ke habitat yang baru dapat dilakukan secara aktif maupun secara pasif. Penyebaran secara aktif terjadi melalui pertumbuhan miselia dan kontak antar akar tumbuhan (Hetrick 1984; Read et al. 1976). Powell (1984) mengemukakan bahwa fungi mikoriza arbuskula menyebar dengan kecepatan 30 cm per tahun melalui ekspansi akar di dalam pot gelas. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui bianatang, aliran air dan angin (Allen 1990; Hetrick 1984).

C. Potensi Mikoriza bagi Tanaman dalam Menghadapi Cekaman Lingkungan

Secara umum pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan potensi keturunan yang membatasi modifikasi

struktur dan fungsi yang dapat ditimbulkan oleh lingkungan. Sementara faktor lingkungan merupakan komponen yang ada di sekitar tanaman tumbuh seperti cadangan air tanah, unsur hara, cahaya matahari, suhu dan mikroorganisme. Tanaman yang secara genetik unggul akan mengekpresikan keunggulannya jika didukung oleh faktor lingkungan yang optimal.

Kondisi tempat tumbuh tanaman di daerah tropis banyak dijumpai faktor-faktor yang membatasi pertumbuhan tanaman itu sendiri sehingga pertumbuhan tanamannya tidak optimal. Tanaman yang tumbuh dalam lingkungan yang terbatas akan mengalami cekaman ataupun tekanan yang dapat berpengaruh terhadap proses-proses metabolisme dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhannya. Cekaman lingkungan dapat ditimbulkan dari mikroorganisme maupun dari kondisi fisik. Beberapa kondisi lingkungan fisik yang dapat menimbulkan cekaman terhadap pertumbuhan tanaman di antaranya adalah (1) daerah dengan curah hujan rendah akan mengalami cekaman kekeringan (2) daerah dengan sebaran tanah masam yang luas akan mengalami cekaman aluminium (3) daerah pantai akan mengalami cekaman salinitas (4) daerah bekas penambangan akan mengalami cekaman logam

Tabel 4. Kepadatan spora mikoriza arbuskula pada berbagai level bahan organik dan P tersedia dalam tanah pada habitat kayu kuku di Sulawesi Tenggara

No Lokasi C org (%) P tersedia (ppm) Kepadatan spora/100 g1 Kantor Gubernur 0.56±0.05 2.9±0.22 208.6±1.662 Kampus UHO 1.04±0.08 4.26±0.29 41.2±0.773 PT. Vale Indonesia 2.43±0.10 0.94±0.13 25.6±0.874 Cagar Alam 1.33±0.13 6.36±0.24 37.8±0.95 Bali Jaya 0.88±0.07 6.24±0.25 13.8±0.516 Hutan Alam 1.00±0.06 5.38±0.22 57.4±0.98

Sumber: Husna et al. (2015)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 119

Page 137: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

berat. Sementara dari mikroorganisme pada umumnya terjadi karena adanya serangan fungi yang dapat menimbulkan penyakit busuk akar pada tanaman.

Usaha-usaha dalam mengatasi berbagai cekaman baik cekaman fisik maupun biologi telah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara dan hasilnya juga sangat bervariasi. Fungi mikoriza mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengatasi cekaman-cekaman tersebut. Pada uraian berikutnya akan dibahas lebih mendalam mengenai peran dari mikoriza dalam mengatasi berbagai cekaman di atas.

1. Cekaman KekeringanAir menempati proporsi yang cukup besar

di dalam sel makhluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan. Kandunga air di dalam sel makhluk hidup bervariasi anatara 60–90% tergantung umur dari sel tersebut. Air memegang peranan yang sangat vital untuk pertumbuhan tumbuhan, di antaranya adalah (1) isi dari protoplasma sel; (2) pelarut nutrisi dalam tanah; (3) medium untuk reaksi metabolisme; (4) reaktan dalam reaksi metabolisme; (5) bahan baku fotosintesis; (6) menjaga turgiditas sel; dan (7) pendukung pemanjangan sel. Tumbuhan yang kekurangan air akan mengalami gangguan pertumbuhannya di antaranya disebabkan oleh (1) penurunan tekanan turgor; (2) penutupan stomata; (3) penurunan laju fotosintesis; (4) gangguan pembesaran sel; dan (5) terjadi disorganisasi protoplasma.

Tumbuhan yang kekurangan air dapat mengalami kematian dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan program rehabilitasi lahan-lahan kritis di Indonesia. Njurumana dan Susila (2006) menyatakan bahwa tingginya kegagalan rehabilitasi lahan kritis merupakan satu kesatuan yang simultan dari berbagai aspek, di antaranya adalah terbatasnya ketersediaan bibit unggul dan dukungan teknologi tepat guna yang sesuai

dengan kondisi tapak dan agroklimat. Upaya rehabilitasi lahan kritis banyak mendapatkan kendala berupa kematian jenis-jenis terpilih pada tingkat awal pertumbuhan di lapangan karena kondisi lingkungan yang panas dan kering (Farida 2000). Kondisi panas dan kering ini akan semakin meningkat di masa yang akan datang dengan adanya isu perubahan iklim yang sudah dirasakan pada saat ini.

Lahan kritis di Indonesia Bagian Timur, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang umumnya savana kering mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah yaitu kurang dari 20% karena tingginya tingkat kematian tanaman pada awal penanaman di lapangan. Kematian ini karena tanaman mengalami kegagalan beradaptasi akibat masalah kekurangan air, kualitas bibit yang rendah dan kondisi lahan marginal (Surata 2007).

Persoalan cekaman kekeringan dan terbatasnya ketersediaan hara bagi tanaman merupakan realitas permasalahan yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi lahan kritis saat ini dan permasalahan ini akan semakin besar di masa yang akan datang dengan adanya perubahan iklim secara global. Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media tanam. Cekaman kekeringan pada tanaman dapat disebabkan kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotransporasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup.

Respons tanaman yang mengalami cekaman kekeringan meliputi perubahan pada tingkat seluler dan molekuler, seperti perubahan akumulasi senyawa metabolit osmotik terlarut, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen sebagai respons biokimia, serta perubahan ekspresi gen sebagai respons molekuler (Muller

120 •

Page 138: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dan Whitsitt 1996). Mekanisme adaptasi tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah dengan pengaturan osmotik sel. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim serta menjaga turgor sel.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman kekeringan pada tanaman di antaranya adalah mencari jenis-jenis yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu, pemanfaatkan mikroba bagi tanaman yang mampu membantu peningkatan serapan air oleh tanaman perlu dilakukan, di antaranya dengan fungi mikoriza arbuskula. Penggunaan mikoriza untuk membantu tanaman dalam proses penyerapan air yang menjadi faktor pembatas dalam rehabilitasi lahan kritis sangat dianjurkan. Menurut George et al. (1992) keberadaan mikoriza memberikan kontribusi peningkatan serapan air oleh tanaman inang selain peran pokoknya meningkatkan serapan fosfat. Selain itu, mikoriza juga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman baik pada kondisi kecukupan air maupun kondisi tercekam kekeringan (Al-Karaki 1998).

Fungi mikoriza arbuskula mempunyai berbagai peran penting dalam peningkatan produktivitas tanaman melalui toleransi terhadap kondisi stress air (Auge 2001; Al-Karaki 1998). Menurut George et al. (1992) bahwa hifa mikoriza dapat menyokong serapan air oleh tanaman inang. Peningkatan serapan air tersebut diduga merupakan efek tidak langsung dari mikoriza yakni pengaruhnya terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Keberadaan FMA pada akar tanaman memengaruhi kondisi agregasi tanah yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan tanah menahan air, menurut Matthias dan Peter (2002) menjelaskan bahwa glomaline

merupakan glycoprotein yang secara khusus dihasilkan oleh fungi mikoriza arbuskula dan jumlah produksinya sangat erat hubungannya dengan tersedianya air yang cukup bagi fungsi fisiologis FMA. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa eksternal yang dapat tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan subsoil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh 1 cm akar bermikoriza dapat mencapai 12–15 cm3 atau 6–15 kali lebih banyak dibandingkan akar tanaman yang tak bermikoriza yang hanya sekitar 1–2 cm3 (Cruz et al. 2004). Hasil penelitian Wahyudi (2009) menunjukkan bahwa fungi mikoriza arbuskula membantu meningkatan ketahanan bibit Eucalyptus pellita terhadap cekaman kekeringan sampai pada taraf cekaman 75% dengan meningkatkan penyerapan air tanah, kelompok sumber benih yang peningkatan ketahanannya tinggi dengan adanya mikoriza arbuskula berasal dari KBK Perawang dan KBS Site I. Pada tanaman kelapa sawit yang ditanam pada media gambut dan diberi cekaman kekeringan serta diinokulasi dengan mikoriza arbuskula pertumbuhannya lebih baik jika dibandingkan tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza (Kartika 2010; Rini & Efriyani 2016).

2. Cekaman AluminiumUnsur hara sangat diperlukan oleh

tumbuhan untuk proses-proses metabolisme dan pertumbuhannya. Unsur-unsur yang sangat diperlukan terdiri atas unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, S, Mg) dan mikro (Cl, B, Fe, Mn, Zn, Cu, Ni, Mo) yang fungsinya spesifik dan tidak dapat digantikan oleh unsur yang lainnya. Unsur-unsur tersebut disebut sebagai unsur hara esensial. Unsur hara makro dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tanaman, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah sedikit.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 121

Page 139: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Di dalam tanah di samping terdapat unsur-unsur hara makro terdapat juga unsur-unsur lain seperti Aluminium dan logam berat. Unsur-unsur tersebut juga ditemukan dalam di dalam tanaman dalam jumlah yang sedikit dan fungsinya bagi tanaman belum diketahui dengan pasti. Keberadaan unsur aluminium di dalam tanah dipengaruhi oleh tingkat kemasaman tanahnya, semakin masam maka ketersediaan unsur Aluminium semakin tinggi dan semakin banyak yang diserap oleh akar tumbuhan. Akumulasi unsur aluminium yang berlebihan pada tumbuhan akan mengakibatkan keracunan dan kematian bagi tumbuhannya. Gejala awal keracunan aluminium terlihat dari terhambatnya perkembangan akar yang berimplikasi pada terhambatnya penyerapan unsur hara dan air (Haynes dan Mokolobate 2001; Zhang et al. 2007). Keracunan aluminium juga dapat terjadinya penghambatan pembelahan sel, dan perpanjangan sel yang berakibat pertumbuhan akar tidak sempurna dan terjadi gangguan penyerapan hara (Mossor-Pietraszewska 2001). Pada tanah-tanah masam, gangguan penyerapan unsur hara disebabkan dua hal yaitu karena penghambatan perpanjangan dan perkembangan sel akar dan adanya ketidakersediaan hara melalui pembentukan kompleks-Al, kompetisi hara mineral dan penutupan “binding site” (Marschner 1992). Pembentukan kompleks-Al pada umumnya karena terjadi reaksi antara ion-ion phospat menjadi senyawa aluminium-phospat yang tidak dapat diserap oleh akar tanaman.

Perjalanan unsur hara di dalam tanaman juga terhambat akibat terganggunya permeabilitas membran akar. Aluminium dapat mengikat gugus karboksil dan gugus fosfat pada dinding sel dan membran sel (Gunse et al. 1997). Akibatnya pertumbuhan tanaman akan terhambat. Tumbuhan mempunyai mekanisme tersendiri dalam menghadapi cekaman aluminium di antaranya adalah

melalui produksi asam-asam organik yang akan mengkelat aluminium (Ma et al. 2001) dan melalui mekanisme fisiologi metabolisme nitrat (NO3

-), amonium (NH4+), dan nitrit (N02

-). Di dalam tanah terdapat berbagai mikroorganisme yang dapat membebaskan ion-ion phosphate yang diikat oleh aluminium sehingga ion phosphate dapat diserap kembali oleh akar tanaman. Salah satu mikroorganisme potensial adalah mikoriza yang mampu menghasilkan enzyme phosphatase yang berguna untuk membebaskan kembali ion-ion phosphate yang terikat oleh aluminium.

Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh pada tanah masam dan diinokulasi dengan mikoriza pertumbuhannya lebih baik dari tanaman yang tidak diinokulasi dengan mikoriza. Hapsari (2001) melaporkan bahwa tanaman jati yang diinokulasi dengan Glomus agregatum dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sampai 200%. Inokulasi Glomus fasciculate di media kompos 10% meningkatkan pertumbuhan Paraserianthes falcataria dan menghasilkan mutu bibit yang terbaik, yaitu tinggi 13 cm dibanding kontrol 7,3 cm, diameter batang 3,8 cm dibanding kontrol 2,9 cm dan berat kering tanaman 2,9 g dibanding kontrol 1,6 g (Moses 2000). Lebih lanjut, penelitian Budiman (2000) menunjukkan bahwa tanaman Duabanga moluccana yang diinokulasi dengan G. fasciculatum dapat meningkatkan tinggi tanaman 23,7 cm dibanding dengan kontrol 19,4 cm. Penggunaan bahan amelioran tanah seperti arang yang dikombinasikan dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat meningkatkan kolonisasi akar Mindi hingga 100% (Budi dan Setyaningsih 2013) dan tanaman penghasil gaharu (Karyaningsih 2009), serta dapat meningkatkan sporulasi hingga 250% pada media (Karyaningsih 2009). Hasil penelitian Budi dan Christina (2013) menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah batu bara pada media

122 •

Page 140: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

semai yang diikuti inokulasi FMA pada tanaman Anthocephalus cadamba dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter A. cadamba berturut turut sebesar 487% dan 188%. Pemanfaatan arang tempurung kelapa pada media semai juga dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter Falcataria moluccana dan Samanea saman (Budi et al. 2013), serta tanaman Gmelina aborea dan Ochroma bicolor (Budi et al. 2014).

Peningkatan pertumbuhan tanaman yang diinokulasi dengan mikoriza tidak terlepas dari peningkatan penyerapan unsur haranya. Hasil penelitian Budi dan Christina (2013) menunjukkan bahwa tanaman A. cadamba (Roxb.) Miq. yang ditanam pada media tanah ultisol dan diinokulasi dengan Gigaspora margarita, dapat menyerap unsur hara N, P dan K lebih besar berurut turut 389,45%,

617,76% dan 524,36% dibandingkan dengan kontrol. Budi dan Setyaningsih (2013) juga melaporkan bahwa tanaman Melia azedarach Linn. yang tumbuh ditanah marginal yang dicampur dengan limbah batubara serta diinokulasi dengan Gigaspora margarita menyerap unsur N, P dan K berturut turut sebesar 2061,9%, 1942,8% dan 1792,8% lebih besar dari tanaman kontrol. Konsekuensinya adalah pertumbuhan tanamannya lebih baik daripada kontrol (Gambar 7). Smith dan Read (2007) menjelaskan bahwa Mikoriza mampu mengambilkan unsur hara yang tidak bisa diambil oleh akar tanaman karena mikoriza mempunyai kemampuan menghasilkan enzyme fosfatase yang dapat mengubah senyawa phosphate di dalam tanah menjadi ion sehingga akhirnya akar tanaman dapat menyerapnya kembali.

144

dapat mengubah senyawa phosphate di dalam tanah menjadi ion, sehingga akhirnya akar

tanaman dapat menyerapnya kembali.

Sumber: Koleksi pribadi, Budi, S.W

Gambar 7 Pertumbuhan Bibit Melia azedarach Linn pada media campuran tanah ultisol dan

limbah batu bara serta diinokulasi dengan Gigaspora margarita

3.3 Cekaman Salinitas

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang

dan tanahnya sangat dipengaruhi oleh air laut yang berkadar garam tinggi. Tanah salin

adalah tanah yang mempunyai konsentrasi garam yang berlebih, pada umumnya NaCl yang

dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Juniper, 1996).

Heuer (1999) menyatakan bahwa tanaman akan merespon terhadap cekaman

kekeringan atau cekaman salinitas/garam dengan cara mengakumulasi senyawa dengan berat

molekul rendah dan dapat larut, seperti prolin. Senyawa ini dapat mempertahankan tekanan

Kontrol Mikoriza Mikoriza + Limbah Batubara

Sumber: Budi, S.W (Koleksi pribadi)

Gambar 7. Pertumbuhan bibit Melia azedarach Linn pada media campuran tanah ultisol dan limbah batu bara serta diinokulasi dengan Gigaspora margarita

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 123

Page 141: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

3. Cekaman SalinitasSebagai negara kepulauan, Indonesia

mempunyai garis pantai yang sangat panjang dan tanahnya sangat dipengaruhi oleh air laut yang berkadar garam tinggi. Tanah salin adalah tanah yang mempunyai konsentrasi garam yang berlebih, pada umumnya NaCl yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Juniper 1996).

Heuer (1999) menyatakan bahwa tanaman akan merespons terhadap cekaman kekeringan atau cekaman salinitas/garam dengan cara mengakumulasi senyawa dengan berat molekul rendah dan dapat larut, seperti prolin. Senyawa ini dapat mempertahankan tekanan osmotik sel dengan cara melindungi berbagai sistem enzim dari pengaruh dehidrasi sehingga proses metabolisme tanaman tetap dapat berlangsung.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang bermikoriza mempunyai kemampuan lebih bertahan pada tanah salin dibanding tanaman yang tidak bermikoriza.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa mekanisme fisiologis tanaman bermikoriza dalam meningkatkan toleransi terhadap cekaman salinitas dapat melalui penyesuaian osmotik (Al-Karaki et al. 2001; Cantrell dan Linderman 2001) dan keberadaan mikoriza pada tanaman dapat memengaruhi potensial osmotik daun (Fagbola et al. 2001; Heuer 1999) dengan memengaruhi akumulasi prolin pada daun. Hasil penelitian Delvian dan Elfianti (2012) juga menunjukkan tanaman Casuarina equisetifolia yang diberi cekaman salinitas 5% serta diinokulasi dengan mikoriza arbuskula dapat meningkatkan pertumbuhannya yang ditunjukkan oleh meningkatnya berat kering sampai 186,87% serta serapan P tanaman hingga 114,79%. Adapun kandungan prolin dan Na dalam daun menurun berturut-turut 61,25% dan 61,44% dibanding tanaman tidak bermikoriza.

4. Cekaman Logam BeratKegiatan pertambangan pada umumnya

tanahnya banyak mengandung logam-logam berat yaitu unsur-unsur yang mempunyai masa jenis spesifik lebih dari 5g/cm2 dengan nomor atom 22 hingga 92 (Suharno dan Sancayaningsih 2013) dan bahan pencemar lain yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Logam berat dalam jumlah berlebihan dalam sel dapat menyebabkan karsiogenik (Oves et al. 2012) sehingga tanaman tumbuh kerdil bahkan dapat menyebabkan kematian.

Remediasi (pemulihan) merupakan teknologi untuk mengatasi cemaran tersebut, melalui pendekatan fisik (physical remediation), kimia (chemical remediation), pemanfaatan agen biologi (bioremediation) dan pemanfaatan tanaman (phytoremediation) (Singh dan Ward 2004). Hifa-hifa mikoriza mampu menyerap dan kemudian menyimpan logam-logam berat di dalam struktur vacuola, vesikel maupun hifa (Gonzales-Chaves et al. 2002) sehingga tidak ditranslokasikan ke bagian vital tanaman. Oleh karena itu, tanaman dapat tetap tumbuh normal.

Hasil penelitian Husna et al. (2016) menunjukkan bahwa tanaman P. mooniana Thw. yang diinokulasi dengan mikoriza arbuskula mampu mereduksi logam Ni sebesar 29–49% dibanding tanaman kontrol. Tanaman Euphorbia yang diinokulasi dengan Glomus fasciculatum meningkatkan efisiensi penyerapan Pb pada tanaman, meningkatkan akumulasi logam Pb pada akar dan menurunkan akumluasinya pada batang dan pucuk tanaman (Aprilia dan Purwani 2013). Setyaningsih et al. (2017) melaporkan bahwa tanaman A. cadamba (Roxb.) Miq. yang ditanam pada media tailing dengan kandungan Pb (timbal) yang tinggi dan diinokulasi dengan mikoriza, secara nyata dapat menurunkan rata-rata

124 •

Page 142: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

kandungan Pb di dalam akar, batang dan daun antara 18–33%. Hal ini menunjukkan bahwa mikoriza mampu berperan sebagai agen fitoremediasi yang sangat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan di lahan pasca tambang.

Pada media tanah serpentin yang banyak mengandung logam berat Fe, Mn, Ni, Cr, Tuheteru et al. (2017) melaporkan bahwa tanaman lonkida (Nauclea orientalis) yang diinokulasi dengan mikoriza arbuskula lokal Glomus sp. dapat menurunkan serapan Fe dan Ni berturut turut sebesar 13% dan 3% dan Acaulospora tuberculate dapat menurunkan serapan Fe, Mn, Ni, Cr. Hasil penelitian Ekawati et al.(2016) pada tanaman lonkida (Nauclea orientalis) yang ditumbuhkan pada media pasca tambang Nikel yang banyak mengandung logam berat Fe, Mn, Ni, Cr dan Zn serta diberi kompos dan diinokulasi dengan mikoriza arbuskula dapat menurunkan konsentrasi logam berat Cr, Ni, Mn, Fe, dan Zn pada media tanah berturut-turut sebesar 95,82%, 85,54%, 92,98%, 99,25%, dan 94,09%, serta terjadi peningkatan konsentrasi logam tersebut pada jaringa tanaman.

5. Cekaman Penyakit AkarBerbagai hasil penelitian membuktikan

bahwa mikoriza mempunyai kemampuan untuk menghalang-halangi serangan penyakit akar maupun nematoda pada tanaman. Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap serangan pathogen akar seperti Phytopthora, Rhizoctonia, Pythium, Alternaria dan Fusarium (Vyas et al. 2005; Aggarwal et al. 1999; Boby dan Bagyaraj 2003).

Mikoriza menghasilkan senyawa-senyawa antibiotik yang mampu menghadang datangnya penyakit akar yang dapat menyerang tanaman. Hasil penelitian Bakhtiar et al. (2012) menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diinokulasi dengan mikoriza arbuskula

mampu menekan perkembangan penyakit akar Ganoderma boninense. Pada saat dual inokulasi mikoriza arbuskula dengan bakteri endosimbiotik Bacillus subtilis B10, penghambatan perkembangan penyakit akar lebih besar lagi. Hal ini menunjukkan adanya sinergi penghambatan penyakit antara mikoriza arbuskula. Bakteri Bacillus subtilis B10, dilaporkan menghasilkan enzim sellulase, yang dapat mempercepat proses simbiosis mikoriza dengan akar tanaman dan sekaligus menghasilkan berbagai macam senyawa yang bersifat antagonis terhadap fungi penyebab penyakit akar Ganoderma boninense (Bakhtiar et al. 2012).

D. PenutupIndonesia sebagai negara tropis mempunyai

sumberdaya alam yang melimpah berupa hamparan tanah yang luas yang ditumbuhi oleh berbagai macam vegetasi yang subur baik alami maupun tanaman. Namun demikian di negara-negara tropis banyak juga dijumpai lahan-lahan marginal yang mempunyai faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Lahan marginal terdapat pada lahan basah, seperti ekosistem mangrove dan rawa gambut maupun lahan kering seperti pada tanah ultosol dan oxsisol. Luas tanah ultisol dan oxisol di benua Afrika mencapai 500 juta ha dan menempati sekitar 16,2% dari Benua Afrika (Bationo et al. 2006) dan 38% dari luas daratan di Asia Tenggara juga merupakan tanah masam (van Uexkull dan Bosshart 1989). Luas tanah masam di Indonesia mencapai 45.794.000 ha dan hampir menempati 25% dari total daratan (Subagyo et al. 2004) yang tersebar di Kalimantan (21.938.000 ha), Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Subagyo et al. 2004). Ciri utama tanah ultisol dan oxisol adalah tingkat kemasamannya yang tinggi sehingga kandungan aluminiumnya

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 125

Page 143: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

cukup tinggi dan ketersediaan P nya menjadi rendah sehingga pertumbuhan tanamannya menjadi terhambat. Daerah-daerah kering di Indonesia juga cukup luas terutama di Indonesia bagian timur sehingga air menjadi factor utama dalam memperlambat pertumbuhan tanaman.

Sebagai negara kepualauan, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang. Tanah-tanah di sepanjang garis pantai mempunyai keterbatasan karena kandungan garamnya yang cukup tinggi. Tanah yang salinitasnya terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Di samping tanah marginal secara alami, Indonesia juga mempunyai tanah-tanmah yang dimarginalkan karena adanya kegiatan pertambangan. Tanah-tanah pasca tambang pada umumnya menimbulkan pencemaran-pencemaran termasuk oleh logam-logam berat yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

Potensi mikoriza arbuskula sangat besar dalam mengatasi cekaman-cekaman lingkungan baik yang terjadi secara alami maupun buatan. Penyebaran mikoriza arbuskula di berbagai tipe ekosistem merupakan modal yang sangat berharga yang perlu digali dan diteliti dalam rangka mewujudkan praktik pertanian secara berkelanjutan.

PustakaAnggarwal A, Kumar J, Sharma D, & Mehrotra

RS. (1999). Biological control of root rot of sunflower using trichoderma harzianum and mycorrhizae fungi. J. Indian Bot. Soc. 78: 89–92

Allen MF. (1990). The ecology of mycorrhizae. New York: Cambridge University Press.

Auge RM. (2001). Water relations, drought and vesicular–arbuscular mycorrhizal symbiosis. Mycorrhiza. 11: 3–42.

Al-Karaki GN, & Al-Raddad A. (1997). Effects of arbuscular mycorrhizal fungi and drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes differing in drought resistance. Mycorrhiza. 7: 83–88.

Al-Karaki GN. (1998). Benefit, cost and water use efficiency of arbuscula mycorrhizal durum wheat grown under drought stress. Mycorrhiza. 8: 41 –45.

Aprilia DD, Purwani KI. 2013. Pengaruh Pemberian Mikoriza Glomus fasciculatum Terhadap Akumulasi Logam Timbal (Pb) Pada Tanaman Euphorbia milii. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1): 79–83

Bakhtiar Y, Yahya S, Sumaryono W, Sinaga MS, & Budi SW. (2012). Adaption of Oil palm seedling inoculated with arbuscular mycorrhizal fungi and mycorrhizal endosymbiotic bacteria Bacillus subtilis B10 towards biotic stress of pathogen Ganoderma boninense Pat. Mcrobiology. 6(4): 157–164

Bationo A, Hartemink A, Lungu O, Naimi M, Okoth P, Sambling E, & Thiombano L. (2006). African soils: Their Productivity and Profitability for Use. Paper presented at the African Fertiliser Summit, Abuja-Nigeria.

Boby VU, & Bagyaraj DJ. (2003). Biological control of root rot of Coleus forskkohlii Briq. using microbial inoculants. Words J. Microb. Biot. 19 (2): 175–180

126 •

Page 144: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, & Malajczuk N. 1996. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. CSIRO Forestry and Forest Product & CSIRO Center for Mediterranean Agricultural Research.

Budiman S. 2000. Pengaruh cendawan VAM dan Kompos Kasting terhadap Pertumbuhan semai Duabanga moluccana BL. Pada Tanah Bekas Tambang Emas. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Budi SW, Saputri ET, & Turjaman M. (2014). Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Arang Tempurung Kelapa untuk meningkatkan Pertumbhan Semai Gmelina arborea Roxb. Dan Ochroma bicolor Rowlee di Persemaian. Jurnal Silvikultur Tropika. 5(1): 24–32

Budi SW, Setyaningsih L. (2013). Arbuscular mycorrhizal fungi and biochar improved early growth of Neem (Melia azedarach Linn.) seedling under greenhouse conditions. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 19(2): 103–110,

Budi SW, & Christina F. (2013). Coal waste powder amendment and arbuscular mycorrhizal fungi enhance the growth of Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) seedling in ultisol soil medium. Journal of Tropical Soils. 18(1): 59–66

Budi SW, Kemala IF, & Turjaman M. (2013). Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Arang Tempurung Kelapa untuk meningkatkan Pertumbuhan Semai Falcataria moluccana (Miq) Barneby & JW Grimes dan Samanea saman (Jacq) Merr. Jurnal Silvikultur Tropika. 4(1): 11–18

Cantrell IC & Linderman RG. (2001). Preinoculation of lettuce and onion with VA mycorrhizal fungi reduces deleterious effects of soil salinity. Plant and Soil. 233: 269–281

Cruz C, Green JJ, Watson CA, Wilson F, & Lucao MAM. (2004). Funcional aspects of root architecture and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza. 14: 177–184.

Davidson DE, & Christensen M. (1977). Root-microfungal and mycorrhizal associations in a shortgrass praire. In Marshall JK. (Eds.) The belowground ecosystem: A synthesis of plant-associated processes. p: 278–287. Colorado State University.

Delvian. (2010). Keberadaan cendawan mikoriza arbuskula di Hutan Pantai berdasarkan gradient salinitas. Jurnal Ilmu Dasar. 11(2): 133–142

Delvian, & Elfianti D. (2012). Pertumbuhan Casuarina equisetifolia bermikoriza dalam kondisi cekaman salinitas. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. 14(2): 94–100

Ekawati, Mansur I, Dewi P. 2016. Pemanfaatan kompos dan mikoriza arbuskula pada longkida (Nauclea orientalis) di tanah pasca tambang nikel PT. Antam Pomala. Jurnal Silvikultur Tropika. 7(1): 1–7

Farida E. (2000). Endomikoriza: pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan tingkat ketahanan terhadap kekeringan pada semai jati. In Hardiyanto EB. Proseding seminar nasional status silvikultur 1999. Peluang dan tantangan menuju produktivitas dan kelestarian sumberdaya hutan jangka panjang, Wanagama I, 1–2 Desember 1999. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Fagbola O, Osonubi O, Mulongoy K, & Odanfa S. (2001). Effect of drought stress and arbuscular mycorrhiza on growth of Gliricidia sepium (Jacq). Walp, and Leucaena leucochepala (Lam.) de Wit in simulated eroded soil condition. Mycorrhiza. 11(5):215–223.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 127

Page 145: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Frank B. (1888). Ueber die Physiologische Bedeutung der Mycorhiza. Berichte der Deutchen Botanischen Gesellchaft. 6: 248–269

George E, Haussler K, Kothari SK, Li XL, & Marschner. (1992). Contribution of mycorrhizal hyphae to nutrient and water uptake of plant. In Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, & Alexander IJJ (Eds.) Mycorrhizas in ecosystems. p: 42–47. Cambridge : CAB International.

Gonzales-Chavez C, Harris PJ, Dodd J. et al. (2002). Arbuscular mycorrizal fungi confer enhanced arsenate resistance on Holcus lanatus. New Phytol. 155: 163–171

Gunse B, Poschenrieder C, & Barcelo J. (1997). Water transport properties o root and root cortical cells in proton and Al stressed maize varieties. Plant Physiology. 113: 595–602.

Hayman DS. (1982). Practical aspect of vesicular arbuscular mycorrhiza. Hal. 325–373. In Suba R. (Eds.) Advances in agricultural microbiology. New Delhi, Bombay, Calcuta. India: Oxford IBH Publishing Co.

Haynes RJ, & Mokolobate MS. (2001). Amelioran of Al Toxicity and Pdeficiency in acid soils by additions of organic residues: a critical review of the phenomenon and the mechanisms involved. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 59: 47–63.

Hafeel KM, & Gunatilleke IAUN. (1990). Spatial and temporal distribution of ectomycorrhizae in the primary and modified rain forest sites at Sinkaraja Sri Lanka. In Allen MF, & William SE. (Eds.) Eight North American Conference on mycorrhizae. p: 131. San Diego State University.

Hermawan, H. Muin, A. & Wulandari, S.R. (2015). Kelimpahan fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tegakan eukaliptus (Eucalyptus pellita) berdasarkan tingkat kedalaman di lahan gambut. Jurnal Hutan Lestari. 3(1): 124–132

Heuer B. (1999). Osmoregulatory role of proline in plant exposed to environ- mental stresses. In Pessarakli M (Ed.). Handbook of plant and crop stress. 2nd Edition. New York. Marcel Dekker, Inc. p. 675–69

Hetrick DBA. (1984). Ecology of VA mycorrhizae fungi. In Powel Cl, & Bagyaraj DJ. (Eds.). VA Mycorrhiza. p: 35–36. Boca Ratan. Florida: CRC Press.

Husna, Budi SW, Mansur I, & Kusmana C. (2015). Diversity of arbuscular mycorrhizal fungi in the growth habitat of kayu kuku (Percopsis mooniana Thw) in Southeast Sulawesi. Pakistan Journal of Biological Sciences. 18(1): 1–10.

Husna, Budi SW, Mansur I, & Kusmana C. (2016). Growth and nutrient status of kayu kuku (Pericopsis mooniana (Thw.) Thw) with mycorrhiza in soil media of nickel post mining site. Pakistan Journal of Biological Sciences. 19(4): 158–170.

Juniper S. (1996). The effect of sodium chloride on some vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. (PhD Dissertation). Perth: The University of Westeren Australia

Kartika E. (2010). Peranan cendawan mikoriza arbuskular dalam meningkatkan day adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas hutan. In: Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian Perguruan Tinggi Negeri Wilayah Barat. Bengkulu. Hal: 475–482.

128 •

Page 146: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Karyaningsih I. (2009). Pembenah Tanah Dan Fungi Mikrorhiza Arbuskula (FMA) Untuk Peningkatan Kualitas Bibit Tanaman Kehutanan Pada Areal Bekas Tambang Batubara. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ma JF, Peter RR, & Emmanuel D. (2001). Aluminium tolerance in plants and the complexing role of organic acids. Trends in Plant Science. 6(6): 273–276.

Rini MV, & Efriyani U. (2016). Respons bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap pemberian fungi mikoriza arbuskular dan cekaman air. Menara Perkebunan. 84(2): 106–115

Marschner H. (1992). Mechanisms of adaptation of plants on acid soils. Plant and Soil. 134: 1–20.

Matthias CR, & Peter DS. (2002). Glomaline production by an arbuscular mycorrhizal fungus a mechanism of habitat modification. Soil Biologi & Biochemistry. 34: 1371–1374

Meyer FH. (1973). Distr ibut ion of ectomycorrhizae in native and man-made forest. Hlm. 79–101. In Mark GC, & Kozlowski TT. (Eds.) Ectomycorrhizae, Their ecology and Physiology. p: 79–101. New York: Academic Press.

Mosse B. (1975). Specifity of VA mycorrhizas. Dalam Endomycorrhizas. In Sanders B & Tinker PB. (Eds). New York: Academic Press

Moses V. (2000). Pengaruh cendawan endomikoriza Glomus agregatum, Glomus etunicatum, Glomus fasciculatum dan Kompos Kulit Buah Kakao terhadap pertumbuhan Paraserianthes falcataria pada tanah Latosol. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan

Mossor-Pietraszewska T. (2001). Effect of aluminium on plant growth and metabolism. Acta Biochimica Polonica. 48: 673–686.

Muller JE, & Whitsitt MS. (1996). Plant cellular responses to water deficit. Plant Growth Reg. 20: 119–124.

Muryati S, Mansur I, & Budi SW. (2016). Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) di rhizozfer Desmodium spp. Asal PT Cibaliung Sumberdaya, Banten. Jurnal Silvikultur Tropika. 7(3): 188–197

Njurumana GND, & Susila IWW. (2006). Rehabi l i tasi lahan kri t is melalui pengembangan hutan rakyat berbasis sistem Kaliwu di Pulau Sumba. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi. 3(1): 19–30.

Nurhandayani R, Linda R, & Khotimah S. (2013). Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular Dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas (Ananas comosus (L.) Merr). Protobiont. 2(3): 146 –151

Nursanti, Tamin RD, & Hamzah. (2012). Identifikasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Baru Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 14 (2): 29–34

Oves M, Khan MS, Zaidi A, & Ahmad E. (2012). Soil contamination, nutritive value, and human health risk assessment of heavy metals: an overview. In A Zaidi, PA Wani, MS Khan (eds). Toxicity of heavy metals to legumes and bioremediation. Springer, New York.

Padri MH, Burhanuddin, & Herawatiningsih R. (2015). Keberadaan fungi mikoriza arbuskula pada Jabon putih di lahan Gambut. Jurnal Hutan Lestari. 3(3): 401–410

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 129

Page 147: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PENYEBARAN MIKORIZA ARBUSKULA DI EKOSISTEM ALAM DAN POTENSINYA BAGI TANAMAN DALAM MENGHADAPI CEKAMAN LINGKUNGAN

Pangaribuan N. (2014). Penjaringan cendawan mikoriza arbuskula indigeneous dari lahan penanaman jagung dan kacang kedelai pada Gambut Kalimantan Barat. Jurnal Agro. 1(1): 50–60

Powell CL. (1984). Field inoculation with VA mycorrhizal fungi. In Powel Cl, & Bagyaraj DJ. (Eds.) VA Mycorrhiza. p: 205–220. Boca Ratan. Florida: CRC Press.

Read DT, Koucheki MK, & Hogson J. (1976). Vesicular-arbuscular mycorrhizae in natural vegetation systems. The New Phytologist. 88: 341–352.

Sahner J, Budi SW, Barus H, Edy N, Meyer M, Corres MD, & Polle A. (2015). Degradation of root community traits as indicator for transformation of tropical lowland rain forests into oil palm and rubber plantations. PLoS ONE. 10(9): e0138077.doi:10.1371/journal.pone.0138077

Saidi AB, Budi SW, Kusmana C. (2007). Status cendawan mikoriza arbuscular hutan pantai dan hutan mangrove pasca tsunami (Studi kasus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Forum Pascasarjana. 30(1): 13–25

Santika H. (2006). Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan pegunungan Kamojang Jawa Barat. Skripsi Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sayuti I, Zulfarina, &Lubis ER. (2011). Identifikasi Jamur Mikoriza Arbuskula (JMA) Pada Tanah Gambut Bekas Terbakar Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau . J. Pilar Sains. 11(1):21–28

Setyaningsih L, Setiadi Y, Budi SW, Hamim, & Sopandi D. (2017). Lead accumulation by jabon seedling (Anthocephalus cadamba) on tailing media with application of compost and arbuscular mycrorrhizal fungi. Earth and Environmental Science. 58: 012053.

Sieverding E. (1988). Ecology of VA mycorrhizal fungi in tropical agroecosystem. In Mejstrik V. (Eds.) European Symposium on Mycorrhizae. Prague, Czechoslovakia.

Sieverding E. (1991). Vesicular arbuscular management in tropical agroecosystem. Deutsche Gesellechuft fur Technische Zusammenarheit (GTZ) GmbH, Dag Hammar Skjold-weg 142. Germany.

Singh A & Ward OP. (2004). Applied Bioremediation and Phytoremediation. Springer Netherland (NL). Pp. 281

Smith SE, & Read DJ. (2007). Mycorrhizal Symbiosis. London. 3rd Edition: Academic Press Limited.

Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. (2004). Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. hlm. 21−66. In Adimihardja A, Amien LI, Agus F, & Djaenudin D. (Eds.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Suharno & Sancayaningsih RP. (2013). Arbuscular Mycorrhizae Fungi: The potential use of heavy metal mycorrhizo-remediation technology in mined field rehabilitation. Bioteknologi. 10: 23–34

Tarmedi E. (2006). Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan sub pegunungan Kamojang Jawa Barat. [skripsi] Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Tawaraya K, Takaya Y, Turjaman M, Tuah SJ, Limin SH, Tamai Y, Cha JY, Wagatsuma T, & Osaki M. (2003). Arbuscular mycorrhizal colonization of tree species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management. 182: 381–386.

130 •

Page 148: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Trappe JM. (1981). Mycorrhizae and productivity of arid and semi arid rangeland. In Manassah JT, & Briskey EJ. (eds.) Advances in food producing systems for Arid and Semi-arid Lands. p: 581–590. New York: Academic Press.

Tuheteru FD, Arif A, Widiastuti E, Rahmawati N. 2017. Serapan Logam Berat oleh Fungi Mikoriza Arbuskula Lokal pada Nauclea orientalis L. dan Potensial untuk Fitoremediasi Tanah Serpentine. Jurnal Ilmu Kehutanan II. 76–84

Zajicek JM, Daniels Hetrick BA, & Owensby CE. (1986). The influence of soil depth on mycorrhizal colonization of forbs in the tall-grass parire. Mycologia. 78: 316–320.

Surata IK. (2007). Pemafaatan irigasi tetes untuk penanaman cendana di lahan kritis Banamblaat, Pulau Timor, Provinsi NTT. Journal Penelitian Hutan & Konservasi. 4(2): 129–138.

Van Uexkull HR, Bosshart RP. (1989). Management of Acip Upland Soils in Asia. In Craswell ET, Pushparajah, (Eds.) Management of Acid Soils in Humid Tropic of Asia. p: 2–20. ACIAR Monograph.

Vyas SC, & Shukla BN. 2005. Practical Aspect of Rrbuscular Mycorrhiza in Plants Deseases Control. (Ed. Mehrotra VS). Mycorrhiza: Role and Application. Allied Publ. Pvt. Ltd. New Delhi. Pp. 163–182

Wahyudi A. (2009). Adaptasi bibit Eucalyptus pellita F. Muell dari beberapa asal sumber benih terhadap cekaman kekeringan di persemaian. [tesis]. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Wanda AR, Yuliani, & Trimulyono G. (2015) Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) di Hutan Pantai Nepa Sampang Madura Berdasarkan Gradien Salinitas. Lentera Bio. 4(3): 180–186.

Zhang X, Liu P, Yang YS & Xu GD. (2007). Effect of Al in Soil on Photosynthesis and related morphological and physiological characteristicsof two soybean geno types. Botanical Studies. 48: 435–444.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 131

Page 149: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 150: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Oleh: Retno Prayudyaningsih

A. PendahuluanSebagian besar penambangan batu

kapur di Indonesia dilakukan dengan metode penambangan permukaan (surface mining), dengan cara menghilangkan lapisan tanah penutup sehingga mengubah bentang lahan dan struktur tanah. Lahan bekas tambang kapur umumnya berupa lapisan batu kapur yang miskin hara, populasi mikroba tanah sangat rendah, dan pH tinggi (Singh dan Jamaluddin 2010; Cohen-Fernandez 2012; Prayudyaningsih 2017a). Kondisi lahan ini sangat tidak mendukung kolonisasi dan pertumbuhan jenis pioner dalam proses suksesi (Hazarika et al. 2006; Tropek et al. 2010; Cohen-Fernandez dan Naeth 2013) native trees (4 bahkan menjadi masalah utama yang harus dihadapi dalam upaya rehabilitasi.

Percepatan suksesi dengan melibatkan mikroba tanah dan jenis tumbuhan setempat yang terbukti cocok dengan kondisi lahan merupakan salah satu upaya intervensi untuk merehabilitasi areal bekas tambang. Smith dan Read (2008) menjelaskan bahwa pemahaman terhadap proses suksesi, yang dipengaruhi oleh komponen tanah yang dinamis yaitu bahan organik dan komunitas mikroba tanah, menentukan keberhasilan keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tambang. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah satu bagian komunitas mikroba tanah yang berperan mempercepat keberhasilan perkembangan tumbuhan dalam proses suksesi (Wu et al. 2007; Kikvidze et al. 2010).

Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA secara signifikan meningkatkan sifat tanah, keanekaragaman hayati di atas dan di bawah permukaan, kelangsungan hidup dan pertumbuhan, mendorong suksesi alami, dan mencegah invasi spesies asing (Asmelash et al. 2016). Oleh karena itu aplikasi FMA pada revegetasi di lahan bekas tambang kapur diharapkan dapat berperan untuk memacu pertumbuhan tanaman, dan memperbaiki kualitas tanah yang pada akhirnya percepatan proses suksesi dapat terjadi.

B. Penambangan dan Karakter Lahan Bekas Tambang Kapur

Bahan baku untuk pembuatan semen terdiri atas batu kapur (81%), pasir silika (9%), tanah liat (9%), dan pasir besi (1%) (Purijatmiko 2008). Selanjutnya Purijatmiko (2008) juga menjelaskan bahwa batu kapur (CaCO3) merupakan sumber utama oksida, pada umumnya tercampur magnesium karbonat (MgCO3) dan magnesium sulpat (MgSO4), serta yang baik untuk pembuatan semen memiliki kadar air kurang lebih 5%; pasir silika (SiO2) umumnya terdapat bersama oksida logam lainnya dan yang baik untuk pembuatan semen adalah dengan kadar kurang lebih 90%; tanah liat yang digunakan pada produksi semen biasanya mempunyai rumus kimia SiO2Al2O3.2H2O dengan kadar air kurang lebih 20 % dan kadar SiO2 tidak terlalu tinggi dari 46%; pasir besi (Fe2O3) dengan kadar 75%–

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 133

Page 151: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

80% berfungsi sebagai penghantar panas dalam proses pembuatan semen. Kebutuhan semen di Indonesia setiap tahun selalu meningkat sehingga berkolerasi positif dengan kebutuhan bahan bakunya, yaitu batu kapur. Setiap tahun kebutuhan semen di Indonesia mencapai 70 juta ton, dan setidaknya 50 juta ton batu kapur diperlukan (Anonim 2013). Meningkatnya kebutuhan semen juga meningkatkan jumlah pabrik semen di Indonesia, 10 pabrik semen baru yang didirikan pada tahun 2017.

Untuk memenuhi kebutuhan batu kapur, sebagian besar pabrik semen melakukan penambangan batu kapur pada kawasan gunung-gunung kapur (Karst). Pembukaan lahan yang dilanjutkan dengan pengeboran, peledakan, pendorongan dan pengangkutan merupakan tahap–tahap penambangan batu kapur. Selanjutnya timbulnya lubang-lubang bekas tambang dan lahan yang didominasi singkapan batuan induk merupakan dampak yang terjadi akibat kegiatan penambangan tersebut. Sebenarnya dalam permenhut No. 4 Tahun 2011 mengenai pedoman reklamasi hutan telah mengatur kegiatan rehabilitasi lahan hutan yang di antaranya meliputi penataan lahan, pengisian kembali lubang di lahan lahan bekas tambang, dan penaburan atau pengolahan tanah atasan (top soil) sebelum dilakukan revegetasi. Penaburan top soil di lahan bekas tambang kapur bertujuan membentuk dan menyiapkan tapak aman (safe site) yang mendukung perkembangan tanaman. Namun, biasanya material top soil yang digunakan untuk penimbunan lubang-lubang bekas tambang tidak mencukupi sehingga top soil diganti dengan material lain. Material timbunan selain top soil yang biasanya digunakan adalah limbah bahan galian (rock dump) dan limbah bekas olahan (tanah tailing). Hancuran dan bongkahan batu kapur yang bercampur dengan tanah liat merupakan limbah bahan galian. Sementara klinker yang merupakan hasil

antara dalam pembuatan semen, campuran batu kapur, tanah liat dan pasir silika dengan perbandingan tertentu adalah salah satu bentuk limbah bekas olahan. Sisa klinker dan limbah bahan galian bercampur membentuk timbunan cukup luas yang mendominasi lahan bekas tambang kapur. Kondisi tanah yang demikian tentu tidak memenuhi persyaratan tempat tumbuh tanaman, dan secara langsung akan menghambat pertumbuhan.

Persentase batuan permukaan yang tinggi, dominasi singkapan batuan induk, tanpa solum tanah atau dangkal, dan pemadatan tanah merupakan karakteristik fisik tanah lahan bekas tambang kapur. Pemadatan tanah terjadi akibat aktivitas alat-alat berat selama proses penambangan, yang memengaruhi berat volume tanah. Lahan bekas tambang kapur di Sulawesi Selatan yang berumur 15 tahun memiliki nilai berat volume tanah 1,36 g/cm3 (Prayudyaningsih 2017a) Berat volume tanah lebih dari 1,5 g/cm3 diketahui membatasi pertumbuhan akar (Arshad et al. 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat volume tanah berpengaruh negatif terhadap kepadatan akar dan kedalaman perakaran (Cubera et al. 2009) by applying manual compaction or enriching different soil layers with NH4 (vertical heterogeneity). Sementara itu, kondisi tanah bekas tambang kapur yang mengandung lapisan batuan, bahan induk tanah, menyebabkan sifat kimia tanah yang buruk dengan pH= 8,5 (agak alkalis); C-org= 0,05 % (sangat rendah); N total= 0,05% (sangat rendah); bahan organik= 0,10% (sangat rendah); P tersedia= 5,2 ppm (sangat rendah); dan Ca= 115,75 me/100g (sangat tinggi) (Prayudyaningsih 2008; Singh dan Jamaluddin 2011). Kandungan kalsium (Ca) yang sangat tinggi menyebabkan tanah bersifat alkalis, dan ketersediaan unsur hara makro terutama P menjadi rendah. Hilangnya lapisan top soil dan serasah vegetasi sebagai sumber karbon untuk menyokong kehidupan

134 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 152: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

organisme potensial merupakan penyebab utama menurunnya komunitas organisme tanah (biologi tanah). Lahan bekas tambang kapur di Sulawesi Selatan yang sudah ditinggalkan selama 10–15 tahun mempunyai populasi mesofauna tanahnya sebanyak 935,70 per m2 (Prayudyaningsih et al 2016), sedangkan populasi jamur sebesar 54,1 CFU per gram tanah (Prayudyaningsih et al. 2012).

Kondisi lingkungan lahan bekas tambang kapur yang meliputi suhu udara, suhu tanah, dan kelembapan tanah tergolong cukup ekstrem sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Cukup tingginya suhu tanah di lahan bekas tambang kapur yaitu rata-rata di atas 30oC menyebabkan meningkatnya kecepatan respirasi tanaman sehigga menghambat pertumbuhan akar (Prayudyaningsih 2014). Menurut Liu dan Huang (2005), terhambatnya pertumbuhan akar dan tajuk tanaman disebabkan oleh menurunnya kadar air, unsur hara (N, Pdan K) dan kandungan sitokinin sebagai akibat suhu tanah yang semakin meningkat. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Nabi dan Mullins (2008) yang menyatakan bahwa pada media dengan suhu tanah 38oC, tanaman memiliki panjang akar dan tajuk terkecil. Seperti halnya suhu tanah, meningkatnya suhu udara juga memengaruhi pertumbuhan tanaman. Kenaikan suhu udara sampai batas tertentu mampu meningkatkan laju fotosintesis sehingga mempercepat pertumbuhan. Namun demikian suhu udara yang teralalu tinggi (>40oC) akan mengganggu proses fotosntesis yang disebabkan oleh menurunnya aktivitas ezim Rubisco (RuBP) (Sun, et al. 2007)photosynthetic rates and fluorescence of chlorophyll a were measured with a photosynthetic measurement system (Li-Cor 6400 sehingga pada akhirnya juga menghambat pertumbuhan tanaman.

Curah hujan juga memengaruhi perkembangan tumbuhan dan kualitas tanah. Lahan bekas tambang kapur di Sulawesi Selatan yang terletak di kabupaten Pangkep memiliki tipe iklim C–D (agak kering). Curah hujan bulanan di derah tersebut termasuk rendah – menengah, dengan jumlah curah hujan rerata bulanan 9,37–137,19 mm, dan curah hujan tertinggi terjadi di bulan Desember–Maret (Prayudyaningsih 2017a). Rendahnya curah hujan menyebabkan kandungan air dalam tanah rendah dan berdampak pada lambatnya proses mineralisasi sehingga ketersediaan unsur hara menjadi rendah dan menghambat pertumbuhan tanaman.

C. Potensi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur

Simbiosis mutualisme (asosiasi non patogenik) antara fungi tular tanah dengan akar tanaman vaskuler disebut mikoriza, dan asosiasi simbiosis tersebut serupa dengan asosiasi bakteri pembentuk bintil akar pada tanaman legum (Quilambo 2003; Siddiqui dan Pichtel 2008). Ada 2 kelompok besar fungi mikoriza yang dibedakan berdasarkan struktur tumbuh dan cara kolonisasi yang terjadi pada sistem perakaran tumbuhan, yaitu: 1) Fungi Ektomikoriza, dan 2) Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) (Sylvia et al. 2005; Becerra et al. 2009). Hampir semua jenis tumbuhan vaskular teresterial (±95%) berasosiasi dengan fungi mikoriza, sekitar 3% berasosiasi dengan fungi ektomikoriza terutama jenis-jenis pohon (Angiospermae dan Gymnospermae), dan 80–90% membentuk asosiasi dengan FMA (Smith dan Read 2008; Smith et al. 2011). FMA adalah biotrop obligat yang sepenuhnya bergantung pada tanaman inang untuk memperoleh karbon organik (File et al. 2012), mempunyai banyak inti sel, dan eukariota yang bereproduksi secara aseksual (SchuBler et al. 2007).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 135

Page 153: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Bentuk kolonisasi FMA dalam sel kortek akar berupa arbuskula, vesikula dan hifa (Brundrett dan Abbott 2004). Arbuskula adalah struktur percabangan hifa dichotomous yang berulang-ulang di dalam sel kortek akar, berumur pendek (kurang dari 15 hari) dan sebagai tempat pertukaran hara dan karbon antara fungi dan tanaman, sedangkan vesikula merupakan struktur interseluler yang berdinding tipis, mempunyai bentuk yang bervariasi (oval, bulat dan lain-lain) serta mengandung lipid sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan bagi fungi (Sylvia et al. 2005; Binkley dan Fisher 2012). Namun beberapa jenis FMA yang termasuk dalam anggota famili Gigasporaceae tidak membentuk vesikula, tetapi memproduksi auxilliary cells yang fungsinya belum diketahui (Redecker dan Raab 2006). Fungi Mikoriza Arbuskula juga membentuk jaringan hifa eksternal (miselium ekstra-radikal) yang mampu menembus bebatuan dan tanah di sekitar perakaran tanaman (Finlay 2008; Barea et al. 2011), memperluas luas permukaan penyerapan akar 100 atau bahkan 1000 kali (Larcher 2003) sehingga meningkatkan penyerapan hara dan air (Heidari dan Karami 2014; Birhane et al. 2015). Oleh karena itu perkembangan miselium ektra-radikal di sekitar perakaran tanaman menyebabkan asosiasi mikoriza arbuskula tidak hanya memperbesar volume perakaran dalam tanah tetapi juga lebih mengefisienkan penyerapan unsur hara sehingga memacu pertumbuhan tanaman (Azcón et al. 2003; Goslinget al. 2006; Schnepf et al. 2011).

Asosiasi FMA penting dalam pemulihan dan revegetasi lahan bekas tambang (Mukhpadhyay dan Maiti 2009). FMA mempunyai potensi yang sangat besar untuk membantu perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman pada kondisi lingkungan di lahan bekas tambang yang stress (Quoreshi 2008). Kondisi tanah di lahan bekas tambang kapur umumnya tidak mendukung

pertumbuhan tanaman karena rendahnya ketersediaan unsur hara dan populasi alami mikroba bermanfaat, terutama FMA. Ketiadaan FMA akan menghambat kelangsungan hidup tanaman pada lahan tersebut. Rendahnya populasi FMA pada lahan bekas tambang kapur ditunjukkan oleh rendahnya kerapatan propagul (spora). Kerapatan spora FMA pada lahan bekas tambang kapur di Sulawesi sebanyak 80 buah per 100 gram tanah setelah 10 tahun ditinggalkan (Prayudyaningsih 2008), bahkan setelah 15 tahun ditinggalkan kerapatan sporanya menurun yaitu 53 buah (Prayudyaningsih 2017a). Sementara pada lahan bekas tambang kapur umur 10 tahun di India, kerapatan spora FMA sebanyak 760 buah per 100 gram tanah (Singh dan Jamaluddin 2011). Spora merupakan struktur FMA yang memiliki daya tahan tinggi terhadap kondisi lingkungan yang marginal dan pada kondisi tertentu (setelah periode yang lama tanpa vegetasi atau setelah musim kemarau yang lama) mewakili propagul infektif FMA di lapangan. Oleh karena itu kerapatan spora dalam tanah merupakan propagul FMA dan sering dipakai untuk menghitung populasi FMA selama masa tumbuh tanaman (Sieverding 1991). Menurut Daniels dan Skipper (1991), populasi spora FMA dikategorikan tinggi apabila memiliki kerapatan spora 2000 per 100 gram tanah.

Selanjutnya hasil isolasi dan identifikasi tipe spora FMA dari tanah di lahan bekas tambang kapur berumur 10 tahun di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang didasarkan pada perbedaan bentuk, warna dan reaksinya terhadap larutan Melzer’s menunjukkan ada 4 morfotipe spora (Tabel 1). Keempat morfotipe spora tersebut termasuk dalam genus Acaulospora, Gigaspora dan Glomus. Genus Acaulospora menunjukkan 2 morfotipe sedang Gigaspora dan Glomus masing-masing 1 morfotipe.

136 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 154: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tabel 1. Ragam jenis dan kepadatan spora FMA di lahan bekas tambang kapur umur 10 tahun

Jenis FMA Karakteristik spora Gambar Rata-rata

Kerapatan spora per 100 g tanah

Acaulospor sp.1(Acaulospora denticulata)

Bulat, cokelat kekuningan, permukaan kasar dengan ornamen seperti kulit jeruk, bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna di mana bagian dalam spora menjadi berwarna lebih gelap

A B

A. penampakan spora pada larutan PVLG ; B. Penampakan spora pada larutan Melzer’s + PVLG (perbesaran 40x10)

74

Acaulospora sp.2 Lonjong, cokelat kekuningan, permukaan kasar, bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna di mana bagian dalam spora menjadi berwarna lebih gelap

A B

A. penampakan spora pada larutan PVLG (perbesaran 40x10); B. Penampakan spora pada larutan Melzer’s + PVLG (perbesaran 20x10)

6

Gigaspora sp. Bulat, bening, terdapat bulbos suspensor, permukaan halus, bereaksi dengan larutan Melze’s, terjadi perubahan warna dari bening menjadi cokelat kemerahan

A B

A. penampakan spora pada larutan PVLG (perbesaran 20x10); B. Penampakan spora pada larutan Melzer’s + PVLG (perbesaran 40x10)

4

Glomus sp. Bulat, cokelat tua, terdapat subtending hifa, permukaan halus, tidak bereaksi dengan larutan Meltzer’s

A B

A. penampakan spora pada larutan PVLG (perbesaran 40x10); B. Penampakan spora pada larutan Melzer’s + PVLG (perbesaran 40x10)

1

Sumber: Prayudyaningsih (2011).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 137

Page 155: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Kerapatan spora jenis FMA di lahan bekas tambang kapur berumur 10 tahun didominasi oleh genus Acaulospora sp. dan masih mendominasi sampai umur 15 tahun. Indeks nilai penting (INP) seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukan dominasi Acaulospora sp. Pada lahan sekitar tambang dan pegunungan berbatu juga didominasi oleh genus Acaulospora (Brundrett, et al. 1996), sedangkan Ervayenri (2005) melaporkan bahwa FMA dari genus Glomus dan Acaulospora mempunyai kepadatan tertinggi pada lahan di sekitar tambang minyak bumi. Famili Acaulosporaceae juga dijumpai paling mendominasi pada suksesi primer di gurun vulkanik gunung Fuji, Jepang (Wu et al. 2007). Karakteristik sporogenus Acaulospora yang lebih cepat memproduksi spora disebabkan oleh ukuran spora yang kecil sehingga genus tersebut lebih mendominasi dibanding genus yang lain (Nandakwang, et al. 2008).

D. Asosiasi FMA pada Jenis-Jenis Tumbuhan Pioner yang Mengolonisasi Lahan Bekas Tambang Kapur

Suksesi primer merupakan proses suksesi yang terjadi di lahan bekas tambang kapur karena terjadi pada areal berbatu, tanpa bahan organik, dan belum terjadi perubahan oleh aktivitas organisme (Prayudyaningsih et al. 2015). Jenis pioner yang memulai suksesi primer menghadapi kondisi lingkungan yang sangat ekstrem, dan simbiosis mikoriza merupakan suatu bantuan yang sangat penting (Kikvidze et al. 2010). Kelangsungan hidup dan pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada peran mikoriza yang membantu meningkatkan penyerapan P dan unsur hara lainnya, serta toleransi terhadap kondisi kekurangan air (Abbaspour et al. 2012; Cavagnaro et al. 2015). Menurut Koske dan Gemma (1997) keberhasilan perkembangan jenis-jenis tumbuhan mikotropik obligat, mikotropik fakultatif dan non mikotrofik dalam proses suksesi dipengaruhi oleh kehadiran FMA. Sementara itu, Wu et al. (2007)dan Kikvidze et al. (2010) menyatakan bahwa peran mikoriza arbuskula tidak hanya sebatas pada kolonisasi awal, tetapi juga pada kolonisasi selanjutnya.

Dua puluh satu jenis tumbuhan dari 22 jenis tumbuhan yang ditemukan pada lahah bekas tambang kapur di kabupaten Pangkep, Sulawesi

Tabel 2. Dominasi marga Acaulospora pada lahan bekas tambang kapur yang berumur 15 tahun

Jenis Familia INP (Indeks Nilai Penting)

Acaulospora denticulata Acaulosporaceae 117,02Acaulospora morrowai Acaulosporaceae 23,80Funneliformis verruculosum Glomeraceae 5,63Gigaspora sp. Gigasporaceae 5,32Glomus ambiosporum Glomeraceae 12,53Septoglomus constrictum Glomeraceae 35,70

Sumber: Prayudyaningsih (2017a)

138 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 156: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Selatan terkolonisasi FMA dengan bentuk infeksi berupa hifa, spora dan vesikula (Tabel 3 dan Gambar 1). Jenis-jenis yang mempunyai tingkat kolonisasi tinggi di antaranya adalah Lantana camara (79,63%) Desmodium triflorum (72, 02%) dan Emilia prenanthoidea (70,71%). Jenis rumput-rumputan menunjukkan tingkat kolonisasi FMA yang rendah, yaitu: Eragrostis tenella (5,28%), Fimbristylis complanata (8,32%) dan Digitaria sanguinalis (24,11%). Sebaliknya, Sida rhombifolia tidak tidak berasosiasi dengan FMA. Dengan demikian tingkat kolonisasi FMA pada vegetasi pioneer lahan bekas tambang kapur sangat bervariasi. Tingkat kolonisasi FMA yang berbeda-beda

pada tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang sebagai responsnya terhadap lingkungan.

Asosiasi mikoriza arbuskula dengan hampir semua jenis tumbuhan pioner pada lahan bekas tambang kapur membuktikan bahwa FMA memiliki sebaran jenis inang yang sangat luas dan berperan membantu dalam proses suksesi. Jenis tumbuhan pioner membutuhkan simbiosis dengan FMA yang membantu proses pertumbuhan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Bahkan pengamatan selanjutnya pada lahan bekas tambang kapur di kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan berumur 15 tahun menunjukkan kondisi yang

Tabel 3. Persentase kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada akar tumbuhan Pioner yang tumbuh alami di lahan bekas tambang batu kapur

No Jenis tumbuhan Familia HabitusTingkat kolonisasi

FMA (%)Bentuk infeksi

1 Lantana camara Verbenaceae Semak 79,63 Hifa, ves, spora2 Desmodium triflorum Papilionaceae Herba 72,01 Hifa, ves, spora3 Emilia prenanthoidea Asteraceae Herba 70,71 Hifa, ves, spora4 Eupatorium odoratum Asteraceae Herba 56,89 Hifa, vesikula5 Acacia auriculiformis Mimosaceae Pohon 52,07 Hifa, vesikula6 Stachytarpeta indica Verbenaceae Herba 51,54 Hifa, ves, spora7 Mimosa pudica Mimosaceae Herba 49,82 Hifa, vesikula8 Passiflora foetida Passifloraceae Herba 44,58 Hifa, ves, spora9 Centrocema pubescens Papilionaceae Herba 43,15 Hifa, ves, spora

10 Borreria distans Rubiaceae Herba 40,62 Hifa, ves, spora11 Euphorbia hirta Euphorbiaceae Herba 37,49 Hifa, vesikula12 Tridax procumbens Asteraceae Herba 35,34 Hifa, vesikula13 Alysicarpus nummulacifolius Papilionaceae Herba 32,81 Vesikula, spora14 Mutingia calabura Tiliaceae Pohon 27,17 Hifa, ves, spora15 Salvia occidentalis Labiate Herba 23,76 Hifa, vesikula16 Ischaemum timorense Poaceae Rumput 15,29 Hifa, vesikula17 Digitaria sanguinalis Poaceae Rumput 24,11 Hifa, ves, spora18 Imperata cylindrica Poaceae Rumput 20,47 Vesikula, spora19 Pteris vittata Polypodiaceae Paku-pakuan 13,90 Vesikula20 Fimbristylis complanata Cyperaceae Rumput 8,34 Hifa, ves, spora21 Eragrostis tenella Poaceae Rumput 5,28 Vesikula, spora22 Sida rhombifolia Malvaceae Herba 0 -

Sumber: Prayudyaningsih (2011)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 139

Page 157: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

hampir serupa. Pengambilan sampel akar tumbuhan secara acak pada lahan tersebut dijumpai asosiasi mikoriza arbuskula dengan persen kolonisasi rata-rata adalah 39,33% (Prayudyaningsih 2017a). Sekitar 80%–93% jenis-jenis tumbuhan vaskuler teresterial mulai dari rumput, herba, semak dan pohon berasosiasi dengan FMA (Brundrett 2002; Püschel et al. 2007; Brundrett 2009; Smith et al. 2011). Hasil serupa juga dijumpai pada lahan bekas tambang emas dan gumuk pasir, jenis-jenis tumbuhan pioner berasosiasi dengan FMA (Straker et al. 2008; Ramos-Zapata et al. 2011). Demikian juga suksesi primer pada gunung berapi dan gletser menunjukkan sebagian jenis-jenis tumbuhan berasosiasi dengan mikoriza arbuskula (Titus dan del Moral 1998; Cázares et al. 2005).

E. Produksi Inokulum FMA Indigenous dan Efektivitasnya pada Pertumbuhan Bibit Tanaman

Penambangan batu kapur dengan metode surface mining menyebabkan karakter lahan bekas tambang berubah dari kondisi awal. Lahan bekas tambang kapur umumnya kehilangan warisan tanah (no soil legacy), salah satunya adalah hilangnya mikroorganisme tanah bermanfaat yang menjadi komponen biologi tanah. FMA merupakan mikroorganisme tanah dan sangat berperan dalam perkembangan tanaman akan mengalami penurunan populasi dan diversitas. Pada kondisi lahan seperti itu, inokulasi FMA sangat diperlukan untuk mempercepat pengayaan kembali (recharching). Sheoran,

Sumber: Prayudyaningsih (2011)

Gambar 1. Kolonisasi FMA pada beberapa akar tumbuhan yang tumbuh di lahan bekas tambang kapur. A. Kolonisasi FMA pada akar Desmodium trifolium (perbesaran 10 x10); B. Kolonisasi FMA pada akar Fimbristylis complanata (perbesaran 10 x10); C. Kolonisasi FMA pada akar Stachytarpheta indica (perbesaran 10 x10); D. Kolonisasi FMA pada akar Lantana camara (perbesaran 10 x10); E Kolonisasi FMA pada akar Mutingia calabura (perbesaran 10 x10); F. Kolonisasi FMA pada akar Acacia auriculiformis (perbesaran 10 x10); hf. Hifa FMA; S. Spora FMA; V. Vesikula

140 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 158: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

et al. (2010) menyatakan bahwa pengelolaan populasi mikroba pada daerah perakaran (rizosfer) dengan menggunakan inokulum mikroba pemacu pertumbuhan tanaman (misal: FMA) dapat memberi manfaat bagi tumbuhan selama pemulihan ekosistem. Namun demikian penggunaan strain FMA indigenous yang tepat penting untuk diperhatikan agar inokulum FMA yang dihasilkan sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di lapangan (Mummey et al. 2002; Khan 2004). Lebih jauh Killham (1994) dalam Ervayenri (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penggunaan inokulum mikroba adalah produksi inokulum, sifat-sifat tanah, iklim dan kompetitor mikroba lain. Sementara Pfleger et al. (1994) menyatakan bahwa fungi mikoriza indigenous merupakan kandidat inokulum terbaik untuk reinokulasi dalam upaya reklamasi lahan bekas tambang. Oleh karena keefektifan simbiosis antara mikrobion dan inang dipengaruhi oleh banyak faktor maka upaya produksi inokulum FMA dari strain indigenous menjadi penting.

Produksi inokulum FMA indigenous lahan bekas tambang kapur diawali dengan eksplorasi dan identifikasi jenis fungi mikoriza, penangkaran spora, dan isolasi spora tunggal (kultur monosenik). Pemeliharaan kultur

monosenik dilakukan selama 3 bulan sampai 12 bulan, dan selanjutnya dilakukan sub kultur untuk perbanyakaan spora dengan metode pot terbuka. Kultur yang menghasilkan spora sebanyak 70 – 100 buah kemudian dipanen dan digunakan sebagai inokulum untuk tahap uji efektivitas pada tahap pertumbuhan semai.

Inokulum yang mengandung strain FMA indigenous dari lahan bekas tambang kapur di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (ISOMIK MK 1) terdiri atas jenis Acaulospora sp dan Gigaspora sp. Inokulum ini telah terbukti efektif mempercepat pertumbuhan semai tanaman. Uj i coba inokulasi ISOMIK MK 1 pada semai Muntingia calabura, Acacia auriculiformis dan Alstonia scholaris mampu mempercepat pertumbuhan tinggi dan diameter, biomassa semai dan indek mutu bibit (Tabel 3 dan Gambar 2). Ketiga jenis tanaman tersebut merupakan jenis-jenis lokal yang tumbuh secara alami dan mengolonisasi lahan bekas tambang kapur di Sulawesi Selatan. Selain itu, ISOMIK MK1 juga terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan semai Tectona grandis, yang merupakan jenis tanaman kayu komersil dan cocok tumbuh di lahan berbatu dan berkapur (Tabel 4).

Tabel 4. Efektivitas inokulum FMA indigenous dari lahan bekas tambang kapur di Sulwesi Selatan (ISOMIK MK 1) terhadap pertumbuhan semai M. calabura, A. auriculiformis, A. scholaris, dan T. grandis

Jenis TanamanPerlakuan/Jenis Inokulum FMA

Variabel Pengamatan

Tinggi (cm) Diameter (mm) Biomassa (g)Indeks mutu

bibit

M. calabura Kontrol 14,90 a 2,90 a 0,83 a 0,152 aGig 20,58 b 3,74 b 1,79 b 0,259 bAca 24,61 d 4,27 d 2,23 c 0,292 cMix 22,16 c 3,98 c 1,93 b 0,304 c

A. auriculiformis Kontrol 6,51 a 1,31 a 0,24 a 0,031 aGig 18,05 b 2,48 b 1,33 b 0,116 bCa 20,79 c 2,64 c 1,64 c 0,141 d

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 141

Page 159: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Jenis TanamanPerlakuan/Jenis Inokulum FMA

Variabel Pengamatan

Tinggi (cm) Diameter (mm) Biomassa (g)Indeks mutu

bibit

Mix 20,91 c 2,54 bc 1,73 c 0,143 dA. scholaris Kontrol 8,53 a 2,12 a 0,62 a 0,126 a

Gig 9,12 a 2,51 b 0,85 b 0,193 bAca 12,35 c 3,11 c 1,39 e 0,279 dMix 11,12 b 2,69 b 0,99 c 0,194 b

T. grandis Kontrol 5,12 a 1,57 a 0,26 a 0,060 aGig 6,95 b 2,09 b 0,71 b 0,140 bAca 9,29 c 2,69 c 1,46 c 0,290 cMix 8,98 c 2,52 c 1,48 c 0,280 c

Sumber: Prayudyaningsih (2014); Prayudyaningsih (2015)

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan. Semai A.scholaris, A. Auri-culiformis, M. calabura dan T. grandis umur 12 minggu yang tidak diinokulasi FMA (Kontrol), dan diinokulasi ISOMIK MK1 yaitu FMA indigenous jenis Gigaspora sp. (Gig), Acaulospora sp. (Aca), dan campuran Gigaspora sp dan Acaulospora sp. (Mix)

Tabel 4. Efektivitas Inokulum FMA Indigenous dari Lahan Bekas Tambang Kapur di Sulwesi Selatan (ISOMIK MK 1) terhadap pertumbuhan semai M. calabura, A. auriculiformis, A. scholaris, dan T. grandis (lanjutan)

Kondisi kekurangan unsur hara dan stress air merupakan salah satu karakter tanah di lahan bekas tambang kapur. Bahkan, kegagalan revegetasi untuk rehabilitasi lahan bekas tambang kapur banyak dijumpai karena disebabkan oleh bibit yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi yang buruk, kekeringan dan rendahnya ketersediaan hara. Asosiasi mikoriza arbuskula dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan dan kekurangan hara karena hifa eksternal FMA mempunyai daya jelajah lebih luas dibandingkan dengan rambut akar. Hifa FMA berdiameter sepersepuluh diameter rambut akar (Orcutt dan Nilsen 2000), dan luas permukaan penyerapan akar 80 kali lebih luas dibandingkan akar tidak bermikoriza (Bowen 1980) sehingga mampu mencapai bagian tanah yang tidak dapat dicapai lagi oleh rambut akar, terutama pori tanah yang kecil.

Inokulasi FMA akan memfasilitasi tanaman memperoleh unsur-unsur hara yang sulit diambil oleh tanaman itu sendiri, seperti fosfat (P) (Smith et al. 2003; Cavagnaro 2008) yang berasal dari dari sumber-sumber yang sulit larut (Roos dan Jakobsen 2008; Kahiluotoet al. 2009). Asosiasi dengan mikoriza arbskula juga akan meningkatkan penyerapan unsur hara lain seperti N, Cu, Zn dan K (Duponnois et al. 2005; Smith dan Read 2008). Meningkatnya penyerapan P pada tanaman bermikoriza disebabkan fungi mikoriza mempunyai daya tarik terhadap P lebih tinggi dibanding akar sehingga efektif dalam penyerapan P dalam tanah berkonsentrasi rendah, dan menurunkan tingkat ambang penyerapan P (Haselwandter dan Bowen 1996; Orcutt dan Nilsen 2000; Cardoso dan Kuyper 2006). Meningkatnya kadar P pada tanaman akan mempercepat laju fotosintesis dan merangsang pembentukan daun baru yang mengakibatkan biomassa

142 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 160: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bertambah (Sharif dan Claassen 2011; Baodong et al. 2005; Duponnois et al. 2005; Giriet al. 2005).

Hasil inokulasi FMA pada bibit tanaman lokal Sulawesi yaitu bitti (Vitex cofassus) dan eboni (Diospyros celebica) di media tanah ultisol terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter batang, serapan P, dan panjang akar dibanding bibit yang tidak diinokulasi FMA (Prayudyaningsih 2007; Prayudyaningsih dan Tikupadang 2008). Dengan demikian inokulasi FMA pada bibit tanaman mampu menghasilkan bibit berkualitas yang pada akhirnya diharapkan memiliki daya hidup di lapangan yang lebih baik. Pengadaan bibit jenis lokal yang sesuai dengan tapak dan berasosiasi dengan FMA merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tambang kapur.

F. Dampak Pemanfaatan FMA Indigenous dalam Revegetasi untuk Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Kapur

Suksesi alami selalu terjadi pada lahan-lahan yang mengalami kerusakan, seperti lahan bekas tambang kapur. Namun prosesnya akan berjalan lambat, terlebih lagi untuk suksesi primer. Intervensi melalui revegetasi untuk merehabilitasi lahan bekas tambang kapur perlu dilakukan. Revegetasi yang dilakukan harus sejalan dengan kaidah-kaidah yang disyaratkan dengan urutan pergantian vegetasi yang sesuai dalam proses suksesi alaminya. Tahapan revegetasi yang dilakukan melalui penanaman cover crop (pioner), fast

Sumber: Prayudyaningsih (2014); Prayudyaningsih (2015)

Gambar 2. Perbedaan pertumbuhan semai A. M. calabura, B. A. Auriculiformis dan C. A.scholari dan D. T. grandis akibat inokulasi FMA indigenous ((ISOMIK MK 1) umur 12 minggu. A. M. calabura; B. A. Auriculiformis; C. A.scholaris; D. T. grandis yang tidak diinokulasi FMA (Kontrol), dan diinokulasi ISOMIK MK1 yaitu FMA indigenous jenis Gigaspora sp. (Gig), Acaulospora sp. (Aca), dan campuran Gigaspora sp dan Acaulospora sp. (Mix)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 143

Page 161: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

growing species (pohon pioner) dan slow growing species. Tahapan awal dilakukan akan memfasilitasi perkembangan strata selanjutnya, dan berdampak pada perkembangan komunitas biotik lainnya. Namun demikian, karena kondisi tanah di lahan bekas tambang kapur yang sangat rusak maka diperlukan katalis yang mampu meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan tanaman. Katalis yang digunakan seharusnya merupakan bagian komponen tanah sehingga tidak hanya membantu pertumbuhan tanaman tetapi juga mampu memberikan efek katalitik bagi perbaikan sifat tanah, dan memicu perkembangan komunitas biotik lain yang dapat memicu dan memacu proses suksesi alaminya.

Salah satu mikroorganisme tanah yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sistem tanah–tanaman adalah FMA (Duponnois et al. 2005). Tanaman membentuk asosiasi simbiotik dengan FMA untuk menghadapi kondisi lingkungan ekstrem. Namun populasi FMA di lahan bekas tambang sangat rendah dengan distribusi yang tidak merata sehingga asosiasi dengan akar tanaman berjalan sangat lambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan inokulasi FMA untuk menjamin dan memperbesar kemungkinan terjadinya asosiasi FMA pada akar tanaman.

Revegetasi untuk rehabilitasi lahan bekas tambang kapur di kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (Gambar 3) diawali dengan penanaman cover crop jenis Mucuna sp. dan Centrocema pubescen. Tahap selanjutnya adalah penanaman jenis pioner pohon legum yaitu Sesbania sericea yang diinokulasi FMA indigenous (ISOMIKMK1). Setelah itu dilakukan penanaman jenis pohon lokal Sulawesi dan bernilai ekonomi yaitu bitti (V. cofassus). Bibit biti yang ditanam juga diinokulasi FMA indigenous (ISOMIKMK1). Inokulasi FMA dilakukan sejak tahap pembibitan sehingga diharapkan bibit yang dihasilkan merupakan bibit yang berkualitas dan tahan terhadap kondisi lapangan yang

ekstrem. Inokulasi ISOMIK MK1 tersebut terbukti mampu menghasilkan respons pertumbuhan tinggi tanaman S. sericea pada umur 3 sampai 12 bulan di lapangan sebesar 220,29–391,95 m, pertumbuhan diameter sebesar 23–54,20 mm dan kadar P daun sebesar 0,19–0,25% dibanding tanaman yang tidak bermikoriza (Prayudyaningsih & Misto 2017). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh pertumbuhan tanaman bitti (V. cofassus). Pada umur 3 sampai 24 bulan, tanaman V. cofassus yang diinokulasi ISOMIKMK1 mempunyai peningkatan rata-rata pertumbuhan tingi sebesar 3,63–11,94%, diameter batang 1,17–14,75%, dan kadar P daun 7,79–16.79.% di lapangan dibanding tanaman yang tidak diinokulasi (Prayudyaningsih 2017b).

Revegetasi lahan bekas tambang kapur dengan tanaman bermikoriza ternyata tidak hanya memacu pertumbuhan tanaman, tetapi juga memberikan efek katalitik bagi perbaikan sifat tanah. Ditinjau dari sifat kimia tanahnya, aplikasi FMA pada revegetasi lahan bekas tambang kapur mampu menurunkan pH tanah dari 8,2 menjadi 7,97 diikuti meningkatnya kadar C tanah sebesar 32,22%, N dan P sebesar 19,30 dan 16,92% dibanding lahan bekas tambang kapur yang tidak direklamasi/kondisi alami (Prayudyaningsih 2017a). Peran FMA terhadap peningkatan kadar C tanah berkaitan dengan hifa ekstramatrikal yang salah satunya memainkan fungsi penting dalam translokasi C ke dalam tanah dan menyediakan suatu hubungan kunci (key link) dalam siklus C di teresterial (Fitter et al. 2000; Zhu dan Miller 2003; Finlay 2008. Peningkatan ketersediaan P yang terjadi sebagai dampak asosiasi mikoriza arbuskula disebabkan pelepasan senyawa-senyawa metabolit dan enzim-enzim hidrolitik oleh hifa FMA, melarutkan P dalam bentuk tak tersedia menjadi tersedia, selain itu miselia FMA juga diduga mempunyai aktivitas mineralisasi P (López-Gutiérrez et al. 2004; Xu et al. 2014)

144 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 162: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

but may result in phosphorus (P). Sementara itu, peningkatan ketersediaan N akibat asosiasi FMA karena diduga FMA mungkin mempercepat mineralisasi sumber-sumber N dalam bahan organik yang terdekomposisi dan dapat mengimobilisasi produk yang dihasilkan yaitu NH4+ (Cavagnaro et al. 2015).

Inokulasi FMA pada revegetasi di lahan bekas tambang kapur juga berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Mikoriza arbuskula meningkatkan sifat fisik tanah melalui perbaikan struktur tanah karena salah satu peran hifa FMA berkontribusi terhadap pembentukan agregat tanah (Rillig dan Mummey 2006). Revegetasi dengan tanaman bermikoriza terbukti mampu mempercepat peningkatan sifat fisik tanah, di antaranya adalah semakin menurunnya

kepadatan tanah, meningkatnya ruang pori total dan porositas tanah, serta kestabilan agregat tanah (Prayudyaningsih 2017a).

Perbaikan sifat biologi tanah sebagai dampak aplikasi FMA dalam revegetasi lahan bekas tambang kapur ditunjukkan oleh percepatan pengayaan kembali FMA dan fauna tanah. Perbaikan sifat biologi tanah yang lebih cepat pada areal pertanaman bermikoriza diindikasikan dengan kehadiran mesofauna tanah yang mempunyai kerapatan individu, jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis dan indeks kekayaan jenis tertinggi (Prayudyaningsih et al. 2016). Mesofauna tanah merupakan salah satu hewan tanah saprophagus yang berperan penting dalam memulai dan mengintensifkan proses dekomposisi (dekomposisi sekunder),

Sumber: Prayudyaningsih, R. (Koleksi pribadi)

Gambar 3. Efek inokulasi ISOMIK MK1 (isolat FMA indigenous) terhadap keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang kapur di Sulawesi Selatan

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 145

Page 163: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

selain itu mesofauna tanah menginvansi selama tahap-tahap awal suksesi (Dunger dan Voigtlander 2009). Selanjutnya menurut Cluzeau et al. (2012), kelimpahan dan kekayaan jenis mesofaunan tanah merupakan salah satu parameter biologi yang efisien untuk monitoring kualitas tanah. Inokulasi FMA indigenous juga mempercepat kehadiran kembali propagul FMA indigenous di lahan bekas tambang kapur. Hal tersebut dibuktikan dengan lebih tingginya keanekaragaman jenis dan kekayaan jenis FMAnya, serta kerapatan spora (Prayudyaningsih 2017a). Hal ini membuktikan bahwa revegetasi dengan tanaman bermikoriza juga mampu mempercepat pengayaan FMA alaminya.

Perbaikan sifat-sifat tanah lahan bekas tambang kapur baik secara kimia, fisik, dan biologi yang terjadi akibat revegetasi dengan tanaman bermikoriza memberikan dampak lanjutan berupa percepatan kemunculan jenis-jenis tumbuhan alami. Kerapatan individu, jumlah jenis, keanekaragaman jenis dan kekayaan jenis tumbuhan alami yang hadir pada areal pertanaman bermikoriza lebih tinggi dibanding areal lain (areal lahan bekas tambang yang tidak direvegetasi dan areal yang direvegetasi tanpa inokulasi FMA)(Prayudyaningsih et al. 2015). Hal tersebut mengindikasikan aplikasi FMA pada revegetasi untuk rehabilitasi lahan bekas tambang kapur memfasilitasi kolonisasi spontan tumbuhan alami. Menurut Gemma dan Koske (1992), suksesi awal diinvasi dan dikolonisasi oleh jenis-jenis non mycotropic atau facultative mycotropic dan pada akhirnya jenis-jenis yang obligat mycotropic. Hal tersebut didukung oleh Titus dan del Moral (1998) yang menyatakan FMA belum memainkan peran penting pada tahap awal suksesi disebabkan sangat tidak mendukungnya kondisi lingkungan sehingga jenis-jenis tumbuhan facultative mycothropic merupakan jenis-jenis yang mengolonisasi.

Sebaliknya, menurut Kikvidze et al. (2010), FMA sering hadir pada tahap awal suksesi primer karena jenis-jenis pioner yang memulai suksesi primer menghadapi kondisi lingkungan yang sulit sehingga simbiosis dengan FMA merupakan suatu bantuan yang penting. FMA merupakan jenis mikoriza yang mendominasi selama proses suksesi, bahkan tingkat asosiasi mikoriza arbuskula dengan jenis-jenis tumbuhan herba dan jenis-jenis pohon pioner sangat tinggi (Tsuyuzaki et al. 2005); Obase et al. 2008).

G. PenutupUpaya rehabil itasi tambang kapur

melalui revegetasi memerlukan katalis mengingat kondisi tanah yang rusak. Katalis seharusnya tidak hanya mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan tanaman tetapi juga mampu memberikan dampak lanjutan bagi pembentukan tapak dan perkembangan komunitas biotik lainnya sehingga akan memicu dan memacu proses suksesi alami. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah salah satu komponen biologi tanah yang mempunyai peran penting dalam siklus biogeokimia tanah dan keberlangsungan tanaman. Oleh karena itu inokulasi FMA dalam revegetasi untuk rehabilitasi lahan kapur dilakukan agar mempercepat pertumbuhan tanaman dan mengkatalisis perbaikan sifat-sifat tanah, yang selanjutnya mempercepat rekolonisasi jenis-jenis tumbuhan alami secara spontan sehingga terjadi percepatan suksesi awal. Inokulasi FMA perlu dilakukan untuk lahan yang memiliki propagul FMA rendah. Oleh karena itu penting artinya mengetahui potensi dan peran FMA dalam upaya pengelolaan dan pemulihan lahan bekas tambang kapur untuk mendapatkan inokulum dari strain FMA indigenous yang efektif dan adaptif dengan kondisi lahan setempat.

146 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 164: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PustakaAbbaspour H, Saeidi-Sar S, Afshari H, &

Abdel-Wahhab MA. (2012). Tolerance of mycorrhiza infected Pistachio (Pistacia vera L.) seedling to drought stress under glasshouse conditions. Journal of Plant Physiology. 169(7): 704–709.

Anonim. (2013). Kebutuhan Semen Akan Naik 10 Persen. https://bisnis.tempo.co/read/539325/2014-kebutuhan-semen-akan-naik-10-persen. diakses tanggal 20 Maret 2017.

Arshad M, Lowery B, & Grossman B. (1996). Physical test for monitoring soil quality. In Doran J & A Jones (Eds.), Methods for Assessing Soil Quality. p: 123–141. WI:SSSA. Madison.

Asmelash F, Bekele T, & Birhane E. (2016). The potential role of arbuscular mycorrhizal fungi in the restoration of degraded lands. Frontiers in Microbiology. 7: 1–15.

Azcón R, Ambrosano E, & Charest C. (2003). Nutrient acquisition in mycorrhizal lettuce plants under different phosphorus and nitrogen concentration. Plant Science. 165(5): 1137–1145.

Baar J. (2010). Development of soil quality metrics using mycorrhizal fungi. Spanish Journal of Agricultural Research. 8: S137–S143.

Baodong C, Roos P, Borggaard OK, Zhu Y-G, & Jakobsen I. (2005). Mycorrhiza in barley and root hairs enhance acquisition of phosphorus and uranium from phosphate rock but decreases root to shoot mycorrhiza uranium transfer. New Phytologist. 165: 591–598.

Barea JM, Palenzuela J, Cornejo P, Sánchez-Castro I, Navarro-Fernández C, Lopéz-García A, Azcón-Aguilar C. (2011). Ecological and functional roles of mycorrhizas in semi-arid ecosystems of Southeast Spain. Journal of Arid Environments. 75(12): 1292–1301.

Becerra AG, Nouhra ER, Silva MP, & McKay D. (2009). Ectomycorrhizae, arbuscular mycorrhizae, and dark-septate fungi on Salix humboldtiana in two riparian populations from central Argentina. Mycoscience. 50(5): 343–352.

Binkley D, & Fisher FR. (2012). Ecology and Management of Forest Soils (4th ed.). 362 p. John Wiley and Sons. Ltd. Chichester.

Birhane E, Kuyper TW, Sterck FJ, Gebrehiwot, K, & Bongers F. (2015). Arbuscular mycorrhiza and water and nutrient supply differently impact seedling performance of dry woodland species with different acquisition strategies. Plant Ecology & Diversity. 8(3): 387–399.

Bowen G. (1980). Mycorrhizal Roles in Tropical Plants and Ecosystems. In Mikola, P. (Ed.), Tropical Mycorrhizae Research. pp. 165–190. New York: Oxford University Press.

Brundrett MC. (2002). Coevolution of Root and Mycorrhizas of Land Plants. New Phytologist. 154(2): 275–304.

Brundrett MC. (2009). Mycorrhizal associations and other means of nutrition of vascular plants: Understanding the global diversity of host plants by resolving conflicting information and developing reliable means of diagnosis. Plant and Soil. 320(1–2): 37–77.

Brundrett MC, & Abbott LK. (2004). Arbuscular Mycorrhizas in Plant Communities. In Sivasithamparam K, Dixon K, & R Barret (Eds.), Microorganisms in Plnat Conservation and Biodiversity. p: 151–193. New York: Kluwer Academic Publishers.

Brundrett MC, Bougher NL, Dell B, Grove T, & Malajczuk N. (1996). Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. 374 p. Western Australia. CSIRO Center for Mediterranian Agriculture Research. Canbera.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 147

Page 165: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Cardoso IM, & Kuyper TW. (2006). Mycorrhizas and tropical soil fertility. Agriculture, Ecosystems and Environment. 116(1–2): 72–84.

Cavagnaro TR. (2008). The role of arbuscular mycorrhizas in improving plant zinc nutrition under low soil zinc concentrations: A review. Plant and Soil. 304(1–2): 315–325.

Cavagnaro TR, Bender SF, Asghari HR, & van der Heijden MGA. (2015). The role of arbuscular mycorrhizas in reducing soil nutrient loss. Trends in Plant Science. 20(5): 283–290.

Cázares E, Trappe JM, & Jumpponen A. (2005). Mycorrhiza-plant colonization patterns on a subalpine glacier forefront as a model system of primary succession. Mycorrhiza. 15(6): 405–416.

Cluzeau D, Guernion M, Chaussod R, Martin-Laurent F, Villenave C, Cortet J, Peres G. (2012). Integration of biodiversity in soil quality monitoring: Baselines for microbial and soil fauna parameters for different land-use types. European Journal of Soil Biology. 49: 63–72.

Cohen-Fernandez AC. (2012). Reclamation of a Limestone Quarry to a Natural Plant Community. Dissertation. unpublished. University of Alberta. Canada. Edmonton, Alberta.

Cohen-Fernandez AC, & Naeth MA. (2013). Increasing woody species diversity for sustainable limestone quarry reclamation in Canada. Sustainability (Switzerland). 5(3): 1340–1355.

Cubera E, Moreno G, & Solla A. (2009). Quercus ilex root growth in responsse to heterogeneous conditions of soil bulk density and soil NH4-N content. Soil and Tillage Research. 103(1): 16–22.

Daniels B, & Skipper H. (1991). Methods for the recovery and quantitative estimation of propagules from soil. In Schenck N. (Ed.), Methods and Principles of Mycorrhizal Research. pp: 29–36. The American Phytophatological Society, Minnesota.

Dunger W, & Voigtlander K. (2009). Soil fauna (Lumbricidae, Collembola, Diplopoda and Chilopoda) as indicators of soil eco-subsystem development in post-mining sites of eastersn Germany - a review. Soil Organisms. 81(1): 1–51.

Duponnois R, Colombet A, Hien V, & Thioulouse J. (2005). The mycorrhizal fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea. Soil Biology and Biochemistry. 37: 1460–1468.

Ervayenri. (2005). Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Tanaman Indigenous untuk Revegetasi Lahan Tercemar Minyak Bumi. [disertasi]. tidak diterbitkan. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

File AL, Klironomos J, Maherali H, & Dudley SA. (2012). Plant Kin Recognition Enhances Abundance of Symbiotic Microbial Partner. PLoS ONE. 7(9): 15–17.

Finlay RD. (2008). Ecological aspects of mycorrhizal symbiosis: With special emphasis on the functional diversity of interactions involving the extraradical mycelium. Journal of Experimental Botany. 59(5): 1115–1126.

Fitter A, Heinemeyer A, & PL S. (2000). The impact of elevated CO2 and global climate change on arbuscular mycorrhizas: a mycocentric approach. New Phytologist. 147: 179–187.

148 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 166: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Gemma JN, & Koske RE. (1992). Are Mycorrhizal Fungi Present in Early Stages of Primary Succession? In Read DJD, Lewis A, Fitter H, & Alexander I (Eds.), Mycorrhizas in Ecosystem . p: 41–47. CABI.Wilingford.

Giri B, Kapoor R, & Mukerji KG. (2005). Effect of the arbuscular mycorrhizae Glomus fasciculatum and G. macrocarpum on the growth and nutrient content of Cassia siamea in a semi-arid Indian wasteland soil. New Forests. 29(1): 63–73.

Gosling P, Hodge A, Goodlass G, & Bending GD. (2006). Arbuscular mycorrhizal fungi and organic farming. Agriculture, Ecosystems and Environment. 113(1–4): 17–35.

Haselwandter K, & Bowen GD. (1996). Mycorrhizal relations in trees for agroforestry and land rehabilitation. Forest Ecology and Management. 81: 1–17.

Hazarika P, Talukdar NC, & Singh YP. (2006). Natural colonization of plant species on coal mine spoils at Tikak Colliery, Assam. Tropical Ecology. 47(1): 37–46.

Heidari M, & Karami V. (2014). Effects of different mycorrhiza species on grain yield, nutrient uptake and oil content of sunflower under water stress. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. 13(1): 9–13.

Kahiluoto H, Ketoja E, & Vestberg M. (2009). Contribution of arbuscular mycorrhiza to soil quality in contrasting cropping systems. Agriculture, Ecosystems and Environment. 134(1): 36–45.

Khan AG. (2004). Mycrotrophy and Its Significance in Wetland Ecology and Wetland Management. In Wong, M.H. (Eds.), Wetlands Ecosystem in Asia: Function and Management. p: 95–113. Elsevier B.V. Amsterdam.

Kikvidze Z, Armas C, Fukuda K, Martínez-García LB., Miyata M, Oda-Tanaka A, Wu B. (2010). The role of arbuscular mycorrhizae in primary succession: Differences and similarities across habitats. Web Ecology. 10(1): 50–57.

Koske RE., & Gemma JN. (1997). Mycorrhizae and Succession in Plantings of Beachgrass in Sand Dunes. American Journal of Botany. 84(1): 118–130.

Larcher W. (2003). Physiology Plant Ecology: Ecophysiology and Stress Physiology of Functional Group. Fourth Edition. 517 p. Springer-Verlag. Berlin.

Liu X, & Huang B. (2005). Root physiological factors involved in cool-season grass responsse to high soil temperature. Environmental and Experimental Botany. 53(3): 233–245.

López-Gutiérrez JC, Toro M, & López-Hernández D. (2004). Arbuscular mycorrhiza and enzymatic activities in the rhizosphere of Trachypogon plumosus Ness. in three acid savanna soils. Agriculture, Ecosystems and Environment. 103(2): 405–411.

Mukhpadhyay S, & Maiti S . (2009). Biofertiliser: VAM fungi Future prospect for biological reclamation of mine degraded lands. Indian Journal Environmental Protection. 29(9): 801–809.

Mummey DL, Stahl PD, & Buyer JS. (2002). Soil microbiological properties 20 years after surface mine reclamation: Spatial analysis of reclaimed and undisturbed sites. Soil Biology and Biochemistry. 34(11): 1717–1725.

Nabi G, & Mullins C. (2008). Soil Temperature Dependent Growth of Cotton Seedlings. Pedosphere. 18(1): 54–59.

Nandakwang P, Elliott S, & Lumyong S. (2008). Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Forest Restoration Area of Doi Suthep-Pui National Park. Journal of Microscopy Society of Thailand. 22: 60–64.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 149

Page 167: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Obase K, Tamai Y, Yajima T, & Miyamoto T. (2008). Mycorrhizal colonization status of plant species established in an exposed area following the 2000 eruption of Mt. Usu, Hokkaido, Japan. Landscape and Ecological Engineering. 4(1): 57–61.

Orcutt D, & Nilsen E. (2000). Physiology of Plants Under Stress. 687 p. John Wiley and Sons. Ltd. Toronto.

Pfleger FL, Stewart E, & Noyd R. (1994). Role of VAM Fungi in Mine-Land Reclamation. In Pfleger FL & R Linderman (Eds.), Mycorrhiza and Plant Health. pp: 47–81. APS Press American Phytopathology Society. Minnesota.

Prayudyaningsih R. (2007). Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Prosiding Seminar Ekspose Hasil Penelitian Litbang Kehutanan untuk Mendukung Pembangunan Kehutanan Regional (12–13 November 2007). Makassar. Hal. 175–182.

Prayudyaningsih R. (2008). Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa dan Efektivitasnya Terhadap Pertumbuhan Semai Kersen (Muntingia calabura L.). [tesis]. tidak diterbitkan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Prayudyaningsih R, & Tikupadang H. (2008). Percepatan Pertumbuhan Tanaman Bitti (Vitex cofassus Reinw.). In Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Litbang Kehutanan Mendukung Indonesia Menanam (25 November 2008), Makassar. Hal: 31–44.

Prayudyaningsih R. (2011). Status Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur PT. Semen Tonasa. In Seminar Nasional: Benarkah Tambang Mensejahterakan? Telaah Sulawesi Tenggara menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional (24–25 Juni 2011). Kendari. SEAMEO BIOTROP. Hal: 102–115.

Prayudyaningsih R, Tikupadang H, Kurniawan E, Syarif M, & Hajar. (2012). Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. tidak terbitkan. Makassar.

Prayudyaningsih R. (2014). Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. dalam: B. Nurkin, M. Restu, S. Paembonan, A. Umar, S. Milllang, & Mukrimin (Eds.), Optimalisasi peran silvikultur untuk menjawan tantangan kehutanan masa depan. Makassar: Fakultas Kehutanan UNHAS. Hal. 76–85.

Prayudyaningsih R. (2014). Pertumbuhan Semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis dan Muntingia calabura Yang Diinokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Media Tanah Bekas Tammbang Kapur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallace. 3(1): 13–23.

Prayudyaningsih R. (2015). Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Indogenous terhadap Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis Linn. F) pada Media Tanah Bekas Tambang Kapur. In Warso, A.W.D. & Handayani, T (Eds.), Symposium on Biology Education “Edubiodiversity: Inspiring with Biodiversity” (4 April 2015). Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Hal: 359–367.

150 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 168: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Prayudyaningsih R, Faridah E, Sumardi, & Sunarminto B. (2015). Dampak Fasilitatif Tanaman Legum Penutup Tanah dan Tanaman Bermikoriza pada Suksesi Primer di Lahan Bekas Tambang Kapur. Jurnal Manusia Dan Lingkungan. 22(3): 310–318.

Prayudyaningsih R, Faridah E, Sumardi, & Sunarminto B. (2016). Respons Mesofauna Tanah Terhadap Tumbuhan Penutup Tanah dan Pertanaman Bermikoriza pada Revegetasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Jurnal Wasian. 3(1): 1–8.

Prayudyaningsih R. (2017a). Akselerasi Suksesi Alami Di Lahan Bekas Tambang Kapur: Efek Katalitik Pertanaman Awal dan Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). [disertasi]. tidak diterbitkan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Prayudyaningsih R. (2017b). The Role of indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) to The Growth of Bitti (Vitex cofassus Reinw.) and Soil Chemical Properties Improvement on Reclamation of Limestone Post Mining Land in South Sulawesi (ABST). In IUFRO - INAFOR Joint International Conference 2017 “ Promoting Sustainable Resources from Plantation fo Economic Growth and Community Benefits” (24th–26th),Yogyakarta. IUFRO-INAFOR PROGRAME. pp: 164.

Prayudyaningsih R, & Misto. (2017). Respons Pertumbuhan Sesbania sereicea di Lahan Bekas Tambang Kapur Terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Indigenous. In R Diana Y, Sulistioadi, Karyati S, Sarminah K, Widiati H, Kuspradini R, Mulyadi (Eds.), Seminar Nasional Silvikutur IV dan Konggres Masyarakat Silvikutur Indonesia “Proper Silvicuture to Mitigate Climate Change towards Sustainable Forest and Bio-Economic Resources (19–20 Juli 2016). Samarinda: Pusat Pengkajian Perubahan Iklim, Universitas Mulawarman. Hal. 100–107.

Purijatmiko A. (2008). Bahan Baku Pembuatan Semen. https://arpumiko.wordpress.c o m / 2 0 0 8 / 1 0 / 1 1 / b a h a n - b a k u -pembuatan-semen/. Diakses 25 Maret 2017.

Püschel D, Rydlová J, & Vosátka M. (2007). Mycorrhiza influences plant community structure in succession on spoil banks. Basic and Applied Ecology, 8(6), 510–520.

Quilambo OA. (2003). The vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. African Journal of Biotechnology. 2(12): 539–546.

Quoreshi AM. (2008). The Use of Mycorrhizal Biotechnology in Restoration of Disturbed Ecosystem. In Siddiqui ZA, MS Akhtar, & K Futai (Eds.), Mycorrhizae: Sustainable Agriculture and Forestry. p: 303–320. Springer, Oxford.

Ramos-Zapata JA, Zapata-Trujillo R, Ortíz-Díaz, JJ, & Guadarrama P. (2011). Arbuscular mycorrhizas in a tropical coastal dune system in Yucatan, Mexico. Fungal Ecology. 4(4): 256–261.

Redecker D, & Raab P. (2006). Phylogeny of the glomeromycota (arbuscular mycorrhizal fungi): recent developments and new gene markers. Mycologia, 98(6), 885–895.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 151

Page 169: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Rillig MC, & Mummey DL. (2006). Mycorrhizas and soil structure. New Phytologist. 171(1). 41–53.

Roos P, & Jakobsen I. (2008). Arbuscular mycorrhiza reduces phytoextraction of uranium, thorium and other elements from phosphate rock. Journal of Environmental Radioactivity. 99(5): 811–819.

Schnepf A, Jones D, & Roose T. (2011). Modelling Nutrient Uptake by Individual Hyphae of Arbuscular Mycorrhizal Fungi: Temporal and Spatial Scales for an Experimental Design. Bulletin of Mathematical Biology. 73(9): 2175–2200.

SchuBler A, Martin H, Cohen D, Fitz M, & Wipf D. (2007). Arbuscular Mycorrhiza. Plant Signaling & Behavior. 5314: 9–11.

Sharif M, & Claassen N. (2011). Action Mechanisms of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Phosphorus Uptake by Capsicum annuum L. Pedosphere. 21(4): 502–511.

Sheoran V, Sheoran AS, & Poonia P. (2010). Soil Reclamation of Abandoned Mine Land by Revegetation : A Review. International Journal of Soil, Sediment and Water. 3(2): 1–21.

Siddiqui Z, & Pichtel J. (2008). Mycorrhizae: An Overview. In Siddiqui Z, Akhtar M, & Futai K (Eds.), Mycorrhizae: Sustainable Agriculture and Forestry. p: 1–36. Springer. Oxford.

Sieverding E. (1991). Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Management in Tropical Agroecosystem . 371 p. Technical Cooperation Federal Repupic of Germany. Eschborn.

Singh AK, & Jamaluddin. (2010). Role of Microbial Inoculants on Growth and Establishment of Plantation and Natural Regeneration in Limestone Mined Spoils. World Journal of Agricultural Science. 6(6): 707–712.

Singh AK, & Jamaluddin. (2011). Status and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi and its role in natural regeneration on limestone mined spoils. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity. 12(2): 107–111.

Smith SE, Smith FA, & Jakobsen I. (2003). Mycorrhizal Fungi Can Dominate Phosphate Supply to Plants Irrespective of Growth Responsses. Plant Physiology. 133(1): 16–20.

Smith SE, & Read DJ. (2008). Mycorrhizal Symbiosis. Soil Science Society of America Journal. Third Edition. 787 p. New York: Academic Press.

Smith SE, Jakobsen I, Grønlund M, & Smith FA. (2011). Roles of arbuscular mycorrhizas in plant phosphorus nutrition: interactions between pathways of phosphorus uptake in arbuscular mycorrhizal roots have important implications for understanding and manipulating plant phosphorus acquisition. Plant Physiology. 156(3): 1050–1057.

Straker CJ, Freeman AJ, Witkowski ETF, & Weiersbye IM. (2008). Arbuscular mycorrhiza status of gold and uranium tailings and surrounding soils of South Africa’s deep level gold mines. II. Infectivity. South African Journal of Botany. 74(2): 197–207.

Sun GC, Zeng XP, Liu XJ, & Zhao P. (2007). Effects of moderate high-temperature stress on photosynthesis in saplings of the three dominant tree species of subtropical forest. Shengtai Xuebao/ Acta Ecologica Sinica. 27(4): 1283–1291.

Sylvia DM, Fuhrmann JF, & Zuberer DA. (2005). Principles and Applicatons of Soil Microbiology . Second Edition. 517 p. New York: Prentice Hall.

152 • APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK REHABILITASI LAHAN BEKAS TAMBANG KAPUR

Page 170: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Titus JH, & del Moral R. (1998). The Role of Mycorrhizal Fungi and Microsites in Primary Succession on Mount St . Helens Stable. American Journal of Botany. 85(3): 370–375.

Tropek R, Kadlec T, Karesova P, Spitzer L, Kocarek P, Malenovsky I, Konvicka M. (2010). Spontaneous succession in limestone quarries as an effective restoration tool for endangered arthropods and plants. Journal of Applied Ecology. 47(1): 139–147.

Tsuyuzaki S, Hase A, & Niinuma H. (2005). Distribution of different mycorrhizal classes on Mount Koma, northern Japan. Mycorrhiza. 15(2): 93–100.

Wilson GWT, Rice CW, Rillig MC, Springer A, & Hartnett DC. (2009). Soil aggregation and carbon sequestration are tightly correlated with the abundance of arbuscular mycorrhizal fungi: Results from long-term field experiments. Ecology Letters. 12(5): 452–461. http://doi.org/10.1111/j.1461-0248.2009.01303.x

Wu B, Hogetsu T, Isobe K, & Ishii R. (2007). Community structure of arbuscular mycorrhizal fungi in a primary successional volcanic desert on the southeast slope of Mount Fuji. Mycorrhiza. 17(6), 495–506.

Xu P, Liang LZ, Dong XY, Xu J, Jiang PK, & Shen RF. (2014). Responsse of Soil Phosphorus Required for Maximum Growth of Asparagus officinalis L. to Inoculation of Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Pedosphere. 24(6): 776–782.

Zhu Y-G, & Miller RM. (2003). Carbon cycling by arbuscular fungi in soil-plant systems. Trends in Plant Science. 8(9): 407–409.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 153

Page 171: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 172: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Oleh: Maman Turjaman

BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Oleh: Maman Turjaman

A. PendahuluanHutan tropis sudah terkenal sejak lama

karena keanekaragaman flora, fauna, dan mikrobanya, namun ada satu keluarga pohon paling tinggi muncul di puncak-puncak kanopi yang berkontribusi sebagai penentu tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dalam suatu kawasan hutan tropis (Corrales et al. 2016). Dipterokarpa adalah salah satu keluarga pohon yang dimaksud dan merupakan jenis-jenis pohon yang paling dominan di hutan tropis Asia Tenggara khususnya di hutan hujan dataran rendah termasuk di hutan rawa-gambut dan kerangas (Appanah dan Turnbull 1998). Hutan dipterokarpa merupakan aset terbesar bagi bangsa Indonesia dan memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi sebagai bahan baku pengembangan bioprospeksi yang potensinya belum ditangani dan dimanfaatkan secara serius. Keluarga dipterokarpa mempunyai nilai lingkungan dan keuntungan ekonomi yang luar biasa mulai di skala lokal, regional dan global, menyediakan berbagai barang dan jasa untuk pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat di kawasan Asia Tenggara (Kettle 2010). Hutan hujan tropis Indonesia merupakan pusat keanekaragaman jenis-jenis pohon dari keluarga dipterokarpa yang jumlahnya lebih dari 400 jenis. Sejak dimulainya era konsesi hutan di Indonesia pada awal tahun 1970-an, jenis-jenis dipterokarpa telah banyak dieksploitasi kayunya sebagai bahan baku utama industri kayu di dalam negeri dan diekspor ke luar negeri (Subiakto et al. 2016).

Selain itu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu belum tergali semua baik dari segi riset dasar maupun pemanfaatannya. Beberapa jenis dipterokarpa menghasilkan jenis-jenis resin yang dapat dimanfaatkan untuk industri kimia, maupun obat-obatan untuk manusia.

Sejak beberapa dekade yang lalu hutan dipterokarpa merupakan kelompok hutan yang rentan mengalami kerusakan akibat eksploitasi yang berlebihan di habitat aslinya dan banyak jenis dipterokarpa mengalami kepunahan di Asia Tenggara dan program restorasi hutan tropis sangat diperlukan untuk menyelamatkannya (Kettle 2010). Banyak program kegiatan penanaman fokus pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh yang eksostis untuk menggantikan keluarga dipterokarpa, namun kualitas kayu dipterokarpa tidak tergantikan (Brearley 2011). Kegiatan restorasi fokus pada produksi penyediaan bibit dipterokarpa yang berkualitas, pentingnya pemetaan tempat tumbuh yang sesuai dan pemeliharaan tanaman pasca penanaman. Dalam kegiatan restorasi ini ada kesenjangan antara Iptek yg tersedia dan prioritas riset selanjutnya. Perlu dilakukan identifikasi prioritas riset sekaligus mengadopsi program jangka panjang riset adalah teknik pemulihan hutan, konservasi in situ dan ex situ serta pengelolaan sumber genetik dari dipterokarpa sangat penting. Hal ini menjadi informasi Iptek yang berkaitan dengan ‘basic research’ menjadi penting, bahwa informasi sumber benih keluarga dipterokarpa menjadi kunci keberhasilan dalam kegiatan restorasi keluarga dipterokarpa baik masa sekarang dan

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 155

Page 173: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

dalam jangka panjang. Selain itu sangat penting untuk mengetahui tempat tumbuh yang cocok dari setiap jenis dipterokarpa, ketersediaan inokulan fungi ektomikoriza, aplikasi fungi ektomikoriza lokal yang kompatibel, dan pemeliharaan tanaman pasca penanaman dari mulai tahun pertama sampai kelima. Selain itu, faktor pembiayaan merupakan faktor pembatas utama dalam kegiatan restorasi hutan dipterokarpa. Salah satunya adalah skema perdagangan karbon, keuangan dari pihak swasta dan pasar lingkungan memberi kesempatan yang cukup untuk memulihkan hutan dipterokarpa. Meskipun Iptek berkaitan dengan permasalahan-permasalahan ekologi hutan telah dikuasai untuk mendukung kegiatan restorasi hutan dipterokarpa, tetapi tanpa dukungan regulasi dan aksi nyata dari pemerintah dan pemangku kepentingan perusahaan, restorasi hutan tidak akan mudah dan berhasil karena kegiatan restorasi adalah kegiatan jangka panjang dan investasi tinggi (Kettle 2010).

Historis riset tentang fungi mikoriza pada awalnya fokus pada hutan-hutan beriklim sedang dan sub-tropis, tetapi memasuki tahun 1990-an, para peneliti mikoriza berbalik untuk melakukan riset mikoriza khusus di hutan hujan tropis (Torti et al. 1997). Berbeda dengan zona beriklim sub-tropika dan temperate, di mana jenis-jenis pohon konifer dan daun lebar di ekosistem ini cenderung bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza, sedangkan mayoritas jenis-jenis pohon tropis yang telah disurvei lebih dominan fungi mikoriza arbuskula ( Janos 1980; Bereau dan Garbaye 1994). Demikian pula di Meksiko, hutan tropis memiliki persentase tertinggi pada mikoriza arbuskula (Guadarrama dan Alvarez-sanchez 1999). Moyoersoen et al. (2001) melaporkan kolonisasi mikoriza arbuskula mencapai 40% pada hutan kerangas dan hutan campuran dipterokarpa di Brunei. Tawaraya et al. (2003)

mendapatkan hasil survei terjadinya kolonisasi mikoriza arbuskula secara alami (native) pada 17 dari 22 jenis pohon membentuk koloni mikoriza arbuskula pada hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, Indonesia. Beberapa pengecualian, dari keluarga jenis pohon tropis yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza termasuk dalam keluarga Myrtaceae, Caesalpiniaceae, Fagaceae dan Dipterocarpaceae. Riset-riset tentang peranan fungi ektomikoriza yang bertanggungjawab atas kelangsungan regenerasi permudaan buatan keluarga dipterokarpa masih sangat terbatas. Riset yang berhubungan menganalisis keanekaragaman fungi ECM secara molekur pada keluarga dipterokarpa di setiap tapak berbeda, jenis pohon berbeda, asosiasi pohon berbeda, kesuburan tanah berbeda, perlu segera dipetakan, agar data-data dapat sebagai dasar dalam menentukan strategi kegiatan bio-restorasi yang terprogram dan sesuai tujuan akhir dari kegiatan yaitu hutan dipterokarpa yang lestari (Tederso et al. 2012).

B. Simbiosis Fungi Ektomikoriza pada Keluarga dipterokarpa

Peranan fungi mikoriza dalam meningkatkan penyerapan nutrisi yang efisien pada sistem perakaran pohon telah diketahui sejak lama (Sims et al. 1997; Lee 1998). Perkembangan hifa mikoriza yang menyelubungi tanah secara efektif memperpendek jarak dalam mendifusi ion fosfat (PO4

-3) yang lambat dan harus melalui proses yang panjang sebelum diabsorbsi melalui asosiasi fungi mikoriza ini telah membuktikan keuntungan khusus di mana akar inang di dalam tanah dalam kondisi konsentrasi fosfor sangat rendah. Secara garis besar ada dua kelompok mikoriza yang dikenal bersimbiosis dengan tanaman tingkat tinggi di bumi ini yaitu Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Fungi Ektomikoriza (ECM).

156 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 174: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Fungi ECM adalah simbiosis mutualistis yang penting di bumi ini, dikaitkan dengan keberadaan jenis-jenis pohon hampir di seluruh tipe hutan, seperti hutan iklim temperate, boreal, hutan tropika yang luas dan sub-tropika bersimbiosis dengan ECM (Allen 1991). Simbiosis ECM dikenal sejak lama di benua Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia, dan jenis-jenis pohon hutan yang mendominasi di Asia (Smith dan Read 1997). Banyak sekali jenis-jenis pohon dari keluarga Pinaceae, Fagaceae, Caesalpiniaceae, Betulaceae, Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Casuarinaceae and Acaciaceae, berasosiasi dengan keanekaragaman yang tinggi dari fungi ECM, diperkirakan secara global ada 5,000–6,000 jenis ECM (Molina et al. 1992). Ada fungi pembentuk ECM ini tidak obligat berasosiasi dengan akar pohon tetapi beberapa dapat hidup sebagai saprofit, yang berfungsi mendekomposisi serasah-serasah yang ada di lantai hutan. Implikasinya beberapa jenis fungi dapat dibudidayakan pada Media Sintetik Agar tertentu yang terpisah dari inang pohon, dan beberapa jenis fungi ECM dapat hidup beberapa lama tanpa kehadiran inang pohonnya.

Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualistis yang lebih serba spesifik, sering terjadi fungi ECM hanya obligat pada satu inang pohon atau beberapa inang pohon saja. Sebaliknya fungi ECM lain memiliki kisaran inang pohon yang luas (Castellano dan Molina 1989). Fungi ECM memiliki strategi cara hidup yang berbeda dalam proses simbiosisnya. Beberapa fungi ECM, yang disebut sebagai ‘early stage’ merupakan kelompok fungi yang mampu bersimbiosis pada inang pohon berumur muda baik mulai ditingkat semai maupun pohon yang berumur muda. Dalam hidupnya fungi ECM berbentuk spora dan miselia yang tersebar pada kondisi media tanah disterilisasi dapat bertahan hidup dan bersimbiosis dalam kondisi ketersediaan

jumlah karbohidrat yang rendah (Smith dan Read 1997). Fungi ECM yang termasuk kategori ‘late stage’ sama sekali tidak memiliki karakter fungi ECM ‘early stage’. Pada fungi ‘late stage’ mampu bersaing secara efektif dengan fungi ‘early stage’ untuk proses kolonisasi pada akar baru dengan syarat fungi ‘late stage’ sudah dari awal sudah bersimbiosis dengan pohon dewasa. Sebenarnya istilah ‘early stage’ dan ‘ late stage’ ini banyak dikritisi oleh peneliti ektomikoriza lainnya, namun kenyataannya istilah ini benar-benar terjadi di lapangan. Namun demikian, perbedaan dalam strategi proses fungi ECM menjalani hidupnya bahwa mereka masing-masing kelompok representasi pada suatu areal hutan yang telah dieksploitasi dan direstorasi kembali dengan cara menanam jenis-jenis pohon yang bersimbiosis dengan dua kategori fungi ECM tersebut. Tidak seperti fungi ECM, Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) menunjukkan sangat kurang/sedikit spesifikasi dalam bersimbiosis, bahkan ada interkoneksi antara tanaman yang akarnya dalam satu rhizosfer. Kebanyakan FMA mampu membentuk simbiosis dengan berbagai spesies pohon atau tanaman. FMA adalah mikoriza yang memiliki simbiosis paling luas pada tumbuhan tingkat tinggi (Smith dan Read 1997). Langley dan Hungate (2003) mendeskripsikan karakteristik dua simbiosis fungi ECM dan FMA di hutan hujan tropis (Tabel 1.). Beberapa keluarga tanaman tropis dan sub-tropis penting membentuk mikoriza arbuskula adalah Apocynaceae, Guttiferae, Euphorbiaceae, Anacardiaceae, Mimosaceae, Myrtaceae, Caesalpinaceae, Sapotaceae, Thymelaeaceae, and Moraceae (Tawaraya et al. 2013).

Kondisi tanah pada hutan hujan tropis di Asia Tenggara memiliki fosfor (P) adsorpsi tinggi karena afinitas yang kuat sehingga P diikat oleh zat besi, alumunium-, oksida dan hidroksida, sedangkan di tanah netral dan basa P teradsorpsi pada permukaan

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 157

Page 175: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Ca dan Mg karbonat (Whitmore 1990; Holford 1997). Dalam banyak eksperimen dengan jenis tanaman hutan hujan tropis, pengaruh introduksi fungi AM pada nutrisi P telah dievaluasi dengan mengukur respons pertumbuhan tanaman diinokulasi dan non-diinokulasi dibudidayakan di tanah pada kondisi P terbatas (Janos 1980). Introduksi fungi ECM adat telah diamati dalam spesies pohon hutan hujan tropis, tetapi hanya Lee dan Alexander (1994) mengevaluasi pengaruh fungi ECM pada akuisisi P oleh dua dipterokarpa bibit spesies dari hutan hujan tropis. Moyersoen et al. (1998) melaporkan bahwa FMA bersimbiosis dengan jenis pohon tropis Oubanguia alata (Scytopetalaceae) berkorelasi positif dengan peningkatan serapan P meskipun ketersediaan P rendah di Taman Nasional Korup, Kamerun.

Fenomena hubungan simbiotik antara ECM dan dipterokarpa, terutama jenis-jenis non-shorea telah banyak dilaporkan, meski eksistensi jenis-jenis non-Shorea di habitat aslinya dipertanyakan. Apakah pohon-pohon

tersebut masih berlimpah di hutan tropis Asia Tenggara, atau sudah sulit ditemukan dan punah karena adanya kebakaran hutan, konversi lahan, aktivitas pertambangan, dan illegal logging. Riset dasar tentang simbiosis fungi ektomikoriza setelah tahun 2000-an telah banyak dilakukan pada beberapa genera dari keluarga dipterokarpa. Saner et al. (2010) telah melakukan riset yang berkaitan antar pencahayaan dan asosiasi ektomikoriza pada jenis Vatica albiramis di Sabah Malaysia. Asosiasi ektomikoriza pada V. Albiramis tetap positif pada kondisi cahaya yang paling gelap dan ada gap cahaya yang masuk di lantai hutan. Kaewgrajang et al. (2013) telah melaporkan aplikasi inokulasi ECM jenis Astraeus odaratus pada Dipterocarpus alatus di tingkat semai. Kaewgrajang et al. (2014) melakukan pendekatan molekuler pada inokulan tanah yang mengandung ektomikoriza diinokulasi pada jenis Dipterocarpus alatus. Komunitas ECM yang teridentifikasi adalah Clavulina, Laccaria, Lactarius, Tomentella, Pyronemataceae, dan Tricholomataceae.

Tabel 1. Karakteristik tempat hidup dua simbiosis fungi mikoriza di hutan hujan tropis Indonesia

KelompokAsosiasi

MorfologiDivisiFungi

AsosiasiInang

PenyebaranPotensiSaprofitHifa Akar

MA(MikorizaArbuskular)

Dinding tipis,Coenocytic

Internal hifa mikroskopis, veiskel, arbuskula, coil dalam sel-sel akar

Glomeromycota

Jenis herba, banyak angiospermae, & gymnospermae primitive

Dominant di hutan tropis, & padang rumput, diselingi dominasi fungi ECM

Tergantung sekali pada inang penghasil karbon (C)

ECM(Ektomikoriza)

Dinding tebal, berpigmen,ada septa

Akar diselubungi mantel fungi, jala hartig di antara sel

Basidio-& Ascomycota

Gymnospermae maju, banyak pohon angiospermae, dipterkarpa,

Dominan pada konifer dingin dan hutan tem-perate, spot di tropis

Dapat hidup tanpa inang, kapasitas enzimatik bervariasi antar spesies

Sumber: Langley dan Hungate (2003)

158 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 176: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Pada umumnya struktur dan Morfologi khas fungi ECM ditandai dengan kehadiran tiga komponen struktural (Smith dan Read 1997): (a) selubung atau mantel jaringan fungi yang membungkus akar; (B) labirin ke dalam pertumbuhan hifa antara epidermis dan sel kortikal disebut Hartig net; dan (c) sistem alamiah tumbuh dari struktur hifa yang membentuk koneksi penting baik dengan tanah dan dengan tubuh buah dari fungi membentuk ECM. Hifa-hifa dari fungi ECM membentuk mantel yang berbeda sekitarnya akar dan menembus sel antara, tetapi tidak ke dalam, akar sel kortikal makroskopik. Struktur ECM berbentuk selubung putih, kuning atau berwarna cerah dari akar. Tipe ektomikoriza pada dipterokarpa adalah berukuran pendek, piramida, bercabang dalam untaian dan berwarna-warni cokelat, hitam, putih, kuning, pink. Selubung mantel mengelilingi akar dipterokarpa. Di dalam selubung berbentuk radial memanjang sel-sel epidermis terletak hifa-hifa yang membentuk jala Hartig (Lee 1998). Mereka dikenal menghasilkan hormon tumbuh tanaman yang membantu merangsang akar percabangan dan pertumbuhan pada inang pohon sehingga meningkatkan permukaan

serap akar. Akar-akar halus diselubungi dengan ECM biasanya pendek, bercabang, bengkak dan kurang akar rambut. Pada umunya fungi ECM yang berbentuk seperti bola kentang dan bulat tidak beraturan membentuk sismbiosis ECM dengan jenis-jenis tanaman tingkat tinggi, fungi ECM ini mampu mereproduksi tubuh buah di sekitar inang di lantai hutan. Tubuh buah fungi ECM yang berbentuk seperti bola ini banyak memproduksi spora, yang begitu tubuh buah pecah maka spora fungi akan tersebar oleh angin dan air, serta terbawa hewan secara alamiah.

Keluarga dipterokarpa yang tumbuh secara alami di hutan hujan tropis Indonesia terdiri dari sembilan marga. Marga yang paling dominan berturut-turut adalah Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, Anisoptera, Dryobalanops, Parashorea, Cotylelobium, dan Upuna (Purwaningsih 2004) (Tabel 2). Telah banyak laporan investigasi ketergantungan keluarga dipterokarpa dgn simbiosis fungi ECM pada tiga tipe hutan yang berbeda, yaitu pada hutan tropis lahan kering (tanah mineral), hutan rawa gambut, dan hutan kerangas yang dideskripsikan pada Tabel 3 ( Julich 1988; Smith 1992; Lee 1998).

Tabel 2. Distribusi sembilan dipterokarpa di kepulauan Sumatera (Su), Kalimantan (Kal), Jawa (Ja), Sulawesi (Sul), Nusa Tenggara (NT), Maluku (Mal), dan Papua yang semuanya bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza

Marga Su Kal Ja Sul NT Mal Pap ∑ %Anisoptera 4

(33,3%)4

(33,3%)1

(8,3%)1

(8,3%)0

(0%)0

(0%)1

(8,3%)12 3,44

Cotylelobium 1(25%)

3(75%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

4 1,15

Dipterocarpus 25(42,4%)

28(47,4%)

4(6,8%)

0(0%)

2(3,4%)

0(0%)

0(0%)

59 16,95

Dryobalanops 2(1,8%)

7(77,8%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

9 2,59

Hopea 14(23,3%)

30(50%)

1(1,7%)

2(3,4%)

1(1,7%)

2(3,4%)

10(16,7%)

60 17,24

Parashorea 3(2,7%)

6(66,7%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

9 2,59

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 159

Page 177: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Marga Su Kal Ja Sul NT Mal Pap ∑ %Shorea 52

(34,2%)95

(62,5%)1

(0,7%)2

(1,4%)0

(0%)2

(1,4%)0

(0%)152 43,68

Upuna 0(0%)

1(100%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

0(0%)

1 0,29

Vatica 10(23,8%)

26(61,9%)

2(4,7%)

2(4,7%)

0(0%)

1(2,4%)

1(2,4%)

42 12,07

Sumber: Purwaningsih (2004)

Tabel 3. Beberapa jenis dipterokarpa yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza berasal dari hutan tropis tanah mineral,rawa gambut, dan kerangas di Indonesia

No Hutan Tropis Lahan Kering (tanah mineral) Hutan Rawa Gambut Hutan Kerangas

1 Shorea acuminata Shorea balangeran Shorea coriacea

2 Shorea dasyphylla Shorea albida Sym Shorea induplicata

3 Shorea johorensis Shorea foraminifera Shorea materialis

4 Shorea lepidota Shorea hemsleyana Shorea multiflora

5 Shorea leprosula Shorea longiflora Shorea retusa

6 Shorea macroptera Shorea macrantha Shorea revoluta

7 Shorea ovalis Shorea pachyphylla Shorea richetia

8 Shorea parvifolia Shorea platycarpa Dipterocarpus borneensis

9 Shorea singkawang Shorea palembanica Hopea kerangasensis

10 Shorea bracteolata Shorea scabrida Hopea micrantha

11 Shorea conica Shorea sumatrana Hopea pterygota

12 Shorea peltata Shorea teysmanniana Vatica brunigii

13 Shorea selanica Shorea uliginosa Vatica compressa

14 Shorea artinevorda Shorea guiso Vatica parvifolia

15 Shorea falcifera Dipterocarpus coriaceus Vatica rotata

16 Shorea academia Dipterocarpus elongatus Vatica revoluta

17 Shorea faguetiana Dipterocarpus semivestitus

18 Shorea laevis Dipterocarpus tempehes

19 Shorea lamellata Dipterocarpus validus

20 Shorea slootenii Vatica chartaceae

21 Shorea smithiana Vatica pauciflora

22 Shorea stenoptera Vatica teysmanniana

23 Shorea superba Dryobalanops oblongifolia

Tabel 2. Distribusi sembilan dipterokarpa di kepulauan Sumatera (Su), Kalimantan (Kal), Jawa (Ja), Sulawesi (Sul), Nusa Tenggara (NT), Maluku (Mal), dan Papua, yang semuanya bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza (lanjutan)

160 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 178: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

No Hutan Tropis Lahan Kering (tanah mineral) Hutan Rawa Gambut Hutan Kerangas

24 Shorea xanthophylla Dryobalanops rappa

25 Dipterocarpus baudii Anisoptera marginata

26 Dipterocarpus conformis Hopea pentanervis

27 Dipterocarpus crinitus

28 Dipterocarpus eurynchus

29 Dipterocarpus fagineus

30 Dipterocarpus gracilis

31 Dipterocarpus grandiflorus

32 Dipterocarpus haseltii

33 Dipterocarpus humeratus

34 Dipterocarpus kerii

35 Dipterocarpus lowii

36 Dipterocarpuspalembanicus

37 Dipterocarpus rigidus

38 Dipterocarpus confertus

39 Dryobalanops aromatica

40 Dryobalanops Lanceolata

41 Dryobalanops oocarpa

42 Hopea bancana

43 Hopea drybalanoides

44 Hopea mengarawan

45 Hopea sangal

46 Hopea odorata

47 Hopea nudiformis

Sumber: Subiakto et al. (2016); Purwaningsih (2004); Lee (1998)

Kaewgrajang et al . (2013) telah menginokulasi jenis Dipterocarpus alatus dengan menggunakan jenis ektomikoriza Astraeus odoratus (Ascomycota) di hutan dipterokarpa Thailand. Jenis D. Alatus persebarannya sampai juga di hutan kepulauan Andaman Samudra Hindia, India yang juga berasosiasi dengan pohon D. costatus, D. gracilis, D. grandiflorus, dan Hopea

odorata (Rama Chandra 2011). Dari hasil pengamatan di lapangan telah ditemukan di hutan dipterokarpa, ternyata akar D. alatus dapat bersimbiosis dengan banyak jenis ECM. Menurut hasil identifikasi molekuler, ditemukan jenis Clavulina, Laccaria, Lactarius, Tomentella, Pyronemataceae, dan Tricholomataceae pada sistem perakaran D. alatus (Kaewgrajang et al. 2014). Fungi A. odoratus menjadi pilihan dari

Tabel 3. Beberapa jenis dipterokarpa yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza berasal dari hutan tropis tanah mineral, rawa gambut, dan kerangas di Indonesia (lanjutan)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 161

Page 179: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

sekian banyak fungi ECM karena kemudahan dalam penyediaan inokulan dalam bentuk spora atau miselianya sehingga untuk melakukan regenerasi D. alatus melalui produksi bibit di persemaian dapat dilakukan introduksi kegiatan inokulasi yang dilakukan secara massal pada saat perkecambaan benih D. alatus.

C. Biorestorasi EktomikorizaBio-restorasi didefinisikan sebagai suatu

kegiatan memperbaiki lingkungan yang rusak dengan pendekatan secara biologi melalui proses regenerasi vegetasi asli setempat. Intinya ekosistem yang terdegradasi harus dimulai dengan memperbaiki rantai makanan menjadi terkoneksi dan aliran nutrisi dari tanah ke tumbuhan. Ekosistem yang rusak biasanya ditandai adanya hilangnya vegetasi utama seperti pohon-pohon jenis asli, yang menyebabkan cahaya matahari masuk ke lantai hutan, yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu tanah dan penurunan kelembaban. Awal kegiatan yang harus dilakukan adalah melakukan survei dengan cara mengidentifikasi dan menemukan jenis mikroba simbiosis “kunci” apa saja yang ditemukan di areal yang akan direstorasi.

Dalam proses bio-restorasi tahap awal perlu diidentifikasi dan difahami tentang faktor interaksi inang dan kelompok mikroba yang berperan dalam merekonstruksi jaring-jaring ekosistem di hutan dipterokarpa yang terdegradasi. Jenis pohon dipterokarpa berintraksi dengan mikroba tertentu, dan mereka berkoordinasi di dalam tanah dengan komunitas mikrobanya (Peay et al. 2015). Dari hasil observasi riset hampir semua tingkat komunitas, ada ketidakjelasan koordinasi antar kelompok mikroba karena banyak jenis pohon dipterokarpa lebih memilih bersimbiosis spesifik dengan jenis ektomikoriza tertentu, ini yang terjadi pembatasan pohon inang untuk berasosiasi dengan jenis ektomikoriza lain

dan bahkan kelompok mikroba yang lain tidak jelas koordinasinya seperti apa. Riset ekologi molekuler sangat menarik dan membantu untuk menjawab tingkat spesifikasi mikroba, namun kompleksitas di dalam tanah, masih memberikan banyak pertanyaan tentang interaksi komplek antar inang dan kelompok mikroba yang hidup di rhizosfer.

Jaringan vegetatif fungi ektomikoriza berbentuk miselia yang meluas dan mengelilingi bulu-bulu akar tanaman bertugas khusus mengeksplore tanah untuk mencari sumber dan memiliki akses untuk mentransfer nutrisi pada tanaman yang berasosiasi. Bersama dengan basidiocarps, populasi basidiomycota ektomikoriza menggunakan miselia menyebar dan meluas dalam memperbanyak diri dan mengkolonisasi daerah baru (Smith dan Read 1997).

Teknologi produksi massal inokulan ektomikoriza telah berkembang dan semakin praktis untuk membantu skema produksi bibit dari keluaga dipterkarpa (Brearley 2011). Dari hal yang paling tradisional dan sangat sederhana, sejak dulu inokulan tanah dari tegakan dipterokarpa telah dimanfaatkan untuk menularkan spora-spora/hifa ektomikoriza pada kecambah-kecambah bibit jenis pohon dipterokarpa. Dengan sistem melapisi atau mencampur inokulan tanah pada media polibag, diharapkan akar bibit dari keluarga dipterokarpa dapat dikolonisasi fungi ektomikoriza. Cara ini sangat mudah dan praktis, dengan syarat sumber inokulan tanah sehat dan bebas dari penyakit akar yang membahayakan pertumbuhan bibit. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat diketahui jenis-jenis ektomikoriza yang ada di dalam inokulan tanah, jenis apa saja yang dapat mengkolonisasi, dan seberapa efektif kolonisasi terbentuk dan meningkatkan pertumbuhan bibit selama di persemaian dan ditanam di lapangan. Faktor-faktor yang berkontribusi perubahan komunitas

162 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 180: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

fungi ektomikoriza pada keluarga dipterokarpa harus dimengerti, agar tidak terjadi kesalahan strategi dalam penerapan bio-restorasi di hutan hujan tropis yang terdegradasi. Ada dua faktor yang berpengaruh dalam proses simbiosis yaitu perubahan jumlah/tipe inokulan fungi ektomikoriza dan perubahan-perubahan sifat biologi/fisik/kimia tanah (Gambar 1.).

Kendala yang dihadapi dalam meregenerasi jenis-jenis pohon dari keluarga dipterokarpa adalah masalah ketersediaan benih yang tidak dapat disiapkan untuk skala massal. Beberapa jenis Shorea berbuah hanya empat tahun sekali, ada jenis Shorea balangeran di ekosistem hutan rawa gambut dapat berbuah setiap tahun, tetapi yang berbuah berbeda pohon. Teknologi perbanyakan bibit secara vegetatif dari keluarga dipterokarpa menjadi jalan keluar yang baik dan turut membantu menyelamatkan eksistensi jenis-jenis dipterokarpa. Teknik perbanyakan bibit dengan stek pucuk menjadi metode

penting untuk memperbanyak berbagai jenis dipterokarpa dari berbagai marga. Persentase keberhasilan membuat stek pucuk masih sangat bervariasi. Keberhasilan membentuk akar lebih banyak diperoleh pada jenis-jenis Shorea, seperti S. leprosula, S. selanica, dan S. balangeran. Keterpaduan input teknologi berupa aplikasi fungi ektomikoriza dengan teknologi perbanyakan bibit dipterokarpa seperti teknologi stek pucuk dengan sistem pengkabutan (KOFFCO), pemanfaatan limbah sebagai media tanam, teknologi persemaian, bio-charcoal, pupuk lambat larut dan sebagainya, sangat diperlukan agar diperoleh produksi semai tanaman hutan yang berkualitas (Sakai et al. 2002; Subiakto 2006; Pratiwi 2006). Integrasi dari input teknologi dalam kegiatan bio-restorasi pada keluarga dipterokarpa dijelaskan pada Gambar 2.

Sumber: Jones et al. (2002)

Gambar 1. Skema diagram faktor-faktor yang berkontribusi dalam perubahan populasi fungi ektomikoriza pada arealekosistem hutan Dipterocarpaceae yang terdegradasi

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 163

Page 181: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Sumber: Turjaman (2013), tidak dipublikasi

Gambar 2. Input teknologi restorasi dengan aplikasi fungi ECM sebagai kunci teknologi dalam membangun hutan dipterokarpa di Indonesia

Dari ribuan jenis ektomikoriza yang hidup di bumi ini, hanya beberapa jenis ektomikoriza yang terkenal dan praktis untuk diaplikasikan skala massal dalam rangka kegiatan rehabilitasi maupun restorasi di berbagai belahan dunia. Nama-nama fungi ektomikoriza yang termasuk

kategori pufball (badan buah yang besar dan mengandung spora berlimpah) dari keluarga Sclerodermataceae, yaitu Pisolithus, Scleroderma, dan Rhizopogon. Ketiga marga ektomikoriza ini memiliki spora yang berlimpah setiap miligramnya, dan sangat praktis untuk membekali bibit-bibit pohon hutan termasuk keluarga dipterokarpa untuk skala massal (Tabel 4.). Nuhamara (1987) telah melakukan survei fungi ektomikoriza pada jenis Shorea javanica yang merupakan keluarga dipterokarpa penghasil damar mata kucing, di daerah Krui, Lampung, Sumatera bagian Selatan. Jenis-jenis fungi ektomikoriza termasuk kelompok ‘late stage’ yaitu Amanita hemibapha (Amanitaceae), Chantarellus cibarius (Cantharellaceae), Lactarius spp. dan Russula spp. (Russulaceae). Satu jenis dari kelompok ‘early stage’ yaitu Scleroderma

Tabel 4. Beberapa jenis fungi ektomikoriza kategori banyak spora (Pufball) yang telah di uji coba pada jenis-jenis Shorea dan Hopea di persemaian

No Nama fungi ECM Inang Pustaka1. Scleroderma columnare Shorea academica

Shorea balangeranShorea pinanga

Shorea seminisShorea selanicaShorea lamellataShorea compressaShorea stenoptera

Ogawa (2006)Turjaman et al. (2011)Hadi dan Santoso (1989);Turjaman et al. (2005)Turjaman et al. (2006)Tata et al. (2009)Tata et al. (2009)Hadi dan Santoso (1989);Hadi dan Santoso (1989);

2. S. dicstyosporum Anisoptera thuriferaShorea guisoShorea mecistopteryx

Aggangan (2012)Aggangan (2012)Hadi dan Santoso (1989)

3. Pisolithus tinctorius/ P. arhizus

Hopea odorataHopea helferiShorea pinangaShorea seminis

Yazid et al. (1994)Yazid et al. (1994)Turjaman et al. (2005)Turjaman et al. (2006)

4. P. aurantioscabrosus Shorea parvifoliaShorea macroptera

Watling et al. (1995)Watling et al. (1995)

5. P. arhizus Shorea pinangaShorea seminis

Turjaman et al. (2005)Turjaman et al. (2006)

164 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 182: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

sp. (Sclerodermataceae). Pilihan jenis fungi ektomikoriza yang dipilih untuk memudahkan pembibitan S. javanica adalah dengan memilih fungi ECM yang memiliki jumlah spora berlimpah adalah jenis Scleroderma spp.

Produksi inokulan fungi ECM dalam kegiatan bio-restorasi khusus untuk perbanyakan bibit dipterokarpa dapat diproduksi skala massal. Pengembangan jenis ECM terintegrasi dengan fasilitas persemaian termasuk rumah stek pucuk KOFCCO yang memproduksi bibit keluarga dipterokarpa lebih dari satu juta semai per tahunnya. Bentuk produk fungi ECM telah dibuat dalam bentuk tablet (spora) dan kapsul alginat ECM (miselia). Produksi tablet ECM memerlukan alat pencetak tablet dengan kapasitas 40.000–60.000 tablet/jam, dengan biaya produksi Rp200–300/tablet dan cara aplikasinya satu tablet per semai. Tablet ECM dapat disimpan lebih dari satu tahun pada kondisi suhu kamar dan kapsul alginate ECM sekitar 3 (tiga) bulanan (Graham et al. 2013).

Marga fungi ektomikoriza Pisolithus, Scleroderma dan Rhizopogon adalah fungi ektomikoriza yang telah dikenal sangat efektif dan cepat membentuk struktur ektomikoriza pada banyak inang pohon di hutan temperate dan tropis dari keluarga Pinaceae, Myrtaceae, Fagaceae, dan Dipterocarpaceae. Ketiga marga tersebut punya preferensi inang yang cukup luas maka tidak salah ketiga marga tersebut telah banyak diproduksi massal dan dikomersialisasi untuk kegiatan rehabilitasi dan restorasi di banyak negara, seperti lahan-lahan pasca tambang dan hutan tanaman industri.

Sumber: Turjaman, M. (Koleksi pribadi)

Gambar 3. Fungi ektomikoriza Pisolithus arhizus yang mempunyai banyak spora berlimpah dan memiliki kemampuan mengkolonisasi akar pada banyak jenis inang pohon baik di hutan tropika maupun di hutan subtropika

Sumber: Turjaman, M. (Koleksi pribadi)

Gambar 4. Spora fungi ektomikoriza P. arhizus asal dari hutan tropis Indonesia

Sumber: Turjaman, M. (Koleksi pribadi)

Gambar 5. Biakan murni fungi ektomikoriza P. arhizus yang dikembangkan secara in vitro dengan menggunakan media modified melin norkran (MMN)

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 165

Page 183: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

D. Prospek dan Tantangan ke Depan

Keluarga dipterokarpa merupakan komoditas kayu berkualitas baik yang tidak tergantikan, baik dari sisi sosial, ekonomi, dan ekologi dari ekosistem hutan tropis. Keluarga dipterokarpa tumbuh pada strata tajuk di lapisan paling atas, keluarga dari jenis-jenis pohon ini merupakan rumah bagi banyak jenis-jenis flora, fauna dan mikroba yang saling berinteraksi, terkoneksi dengan jejaring mikroba di lantai hutan yang membuat satu kesatuan ekosistem hutan yang dinamis. Namun keberadaan keluarga dipterocarpa pada ekosistem hutan tropis ini semakin terancam baik dari populasi

jumlah pohon maupun biodiversitasnya karena telah terjadi eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan kebutuhan kayu domestik dan luar negeri yang semakin meningkat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dalam proses regenerasi keluarga dipterokarpa pada kondisi lahan hutan terdegradasi saat ini tidaklah mudah.

Banyak faktor yang harus dikuasai dari segi Iptek keluarga dipterokarpa ini, di antaranya adalah aspek budidaya, ekofisiologi, ilmu tanah, dan mikrobiologi hutan. Aspek mikrobiologi yang dimaksud adalah bahwa sistem perakaran dipterokarpa memiliki kewajiban bersimbiosis dengan jasad renik yang dikenal sebagai fungi ektomikoriza. Fungi ini mampu mengawal

Sumber: Turjaman, M. (Koleksi pribadi)

Gambar 6. Produk fungi ektomikoriza dalam bentuk tablet dan kapsul alginat yang dapat diaplikasikan dalam memproduksi bibit dipterokarpa berkualitas di persemaian

166 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 184: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

pertumbuhan semai keluarga dipterokarpa dimulai dari biji dipterokarpa berkecambah sampai pohon dewasa. Faktor miskinnya nutrisi tanah dan kemasaman tanah yang tinggi di hutan tropisi ini, fungi ECM mampu menyediakan unsur-unsur nutrisi penting bagi pertumbuhan keluarga dipterokarpa. Sebaiknya dipilih fungi ECM yang mampu bersimbiosis pada banyak inang pohon dipterokarpa. Dipilih juga kriteria fungi ECM yang memiliki banyak spora, fungi mudah diperbanyak secara vegetatif, dapat diproduksi secara massal dan sepanjang tahun, serta teknik inokulasi yang mudah, efektif, dan efisien. Dalam realitas di lapangan, fungi ektomikoriza yang bersimbiosis dengan keluarga dipterokarpa merupakan hubungan yang kompleks. Pada awal bibit muda ditanam di lapangan, biasanya pada tahapan pohon muda dipterokarpa masih lebih

suka bersimbiosis dengan satu atau dua jenis fungi ECM saja. Namun pada pohon dewasa dipterokarpa bersimbiosis dengan banyak jenis fungi ECM yang tumbuh secara alami disekitar perakaran pohon.

Biorestorasi ECM merupakan input Iptek yang penting untuk memahami kegiatan pemulihan dan penyelamatan keluarga dipterokarpa di hutan hujan tropis Indonesia. Dari berbagai riset yang telah dilakukan oleh peneliti di bidang mikoriza sejak lebih 30 tahun lalu, keluarga dipterokarpa memiliki ketergantungan yang tinggi bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza pada sistem perakarannya. Simbiosis yang lestari ini turut berkontribusi proses inokulasi alami dari pohon induk dipterokarpa dengan mengkolonisasi ektomikoriza semai-semai alami yang tumbuh di sekitar pohon induk.

Kegiatan restorasi hutan dipterokarpa merupakan keniscayaan yang harus segera dilakukan di hutan hujan tropis (tanah mineral) dataran rendah, hutan pegunungan, rawa gambut dan kerangas. Hal ini berarti tujuan restorasi adalah mengembalikan fungsi hutan dipterokarpa seperti semula, yang merupakan kegiatan jangka panjang dan investasi tinggi. Perusahaan HPH maupun konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang sekarang masih beroperasi secara terbatas untuk memproduksi kayu dari keluarga dipterokarpa, seyogianya dapat melakukan terobosan inovasi baru untuk meningkatkan keberhasilan restorasi dari berbagai jenis dipterokarpa yang tumbuh di masing-masing areal konsesi. Inovasi baru bio-restorasi harus mampu mengikuti dan dapat diadopsi pada jenis-jenis pohon dari keluarga dipterokarpa yang diproduksi pada tempat tumbuh spesifik, untuk realisasinya perlu dukungan SDM, fasilitas, investasi, dan regulasi serta insentif yang mendukung dari Pemerintah Indonesia.

Sumber: Turjaman, M. (Koleksi pribadi)

Gambar 7. Aplikasi inokulan fungi ektomikoriza pada jenis Shorea balangeran umur 3 (tiga) tahun di areal rawa-gambut terdegradasi, Kalampangan, Kalimantan Tengah

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 167

Page 185: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Skema perdagangan karbon di hutan tropis seyogianya dapat menyentuh ke aksi nyata melakukan restorasi hutan keluarga dipterokarpa, baik yang dilakukan pihak pemerintah pusat, daerah, pihak swasta, dan LSM turut mempercepat proses restorasi. Selain itu pemerintah pusat/daerah dan para stakeholder harus meminimalisir kebakaran hutan pada kawasan hutan yang masih memiliki keanekaragaman dari keluarga dipterokarpa, termasuk regulasi pelarangan konversi kawasan hutan dipterokarpa menjadi perkebunan kelapa sawit, dan komoditi perkebunan/pertanian lainnya, harus segera dihentikan, tidak ada perizinan baru lagi menanam kelapa sawit di hutan hujan tropis.

Pa r t i s i p a s i m a s y a k a ra k a t u n t u k menanam jenis-jenis pohon dipterokarpa perlu mensosialisasikan. Tidak mudah mensosialisakan untuk mengintroduksi pohon dipterokarpa di sekitar kebun mereka. Selama ini mereka menganggap menanam pohon dipterokarpa tidak memberikan manfaat, pertumbuhan pohon lambat, menunggu panen yang bertahun-tahun. Menanam dengan pola agrforestry merupakan salah satu strategi yang baik terutama untuk rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan. Memperkenalkan komoditi tanaman pendamping yang cepat menghasilkan merupakan solusi untuk memperkenalkan pola agroforestry dengan tanaman utama dari jenis-jenis dipterokarpa. Seperti yang terjadi pada petani di sekitar hutan di Kalimantan, mereka lebih memilih menanam pohon penghasil gaharu di kebun mereka dari pada menanam pohon meranti karena secara historis mereka telah pernah mendapatkan kentungan finansial dari gaharu alam yang mereka panen di hutan alam. Petani di Sumatera juga menanam pohon penghasil gaharu di antara sela-sela kosong di antara tanaman karet.

PustakaAggangan NS, Pollisco MAT, Bruzon JB, &

Gilbero JS. (2013). Growth of Shorea contorta Vid. Inoculated with Eucalypt ectomycorrhizal fungi in the nursery and in a logged-over dipterocarp forest in Surigao, Philippines. American Journal of Plant Sciences. 4: 896–904.

Aggangan NS, & Aggangan JS. (2012). Inoculation of dipterocarps Anisoptera thurifera and Shorea guiso with ectomycorrhizal fungi in Phillippine red soil. Philippine Journal of Science. 141(2): 229–241.

Akema T, Nurhiftisni I, Suciatmih, & Simbolon E. (2009). The impact of the 1998 forest fire on ectomycorrhizae of dipterocarp trees and their recovery in tropical rain forests of East Kalimantan, Indonesia. JARQ. 43(2): 137–143.

Allen MF. (1991). The ecology of mycorrhizae. Cambridge University Press, New York.

Ba AM, Diedhiou AG, Prin Y, Galiana A, & Duponnois R. (2010). Management of ectomycorrhizal symbionts associated to useful exotiv tree species to improve reforestation performances in tropical Africa. Annals of Forest Science. 67(301): 1–9.

Beimforde C, Schafer N, Dorfelt H, Nascimbene PC, Singh H, Heinrichs J, Reitner J, Rana RS, & Schmidt R. (2011). Ectomycorrhizas from a lower Eocene angiosperm forest. New Phytologist. 192: 988–996.

Béreau M, & Garbaye J. (1994). First observations on the root morphology and symbioses of 21 major tree species in the primary tropical rain forest of French Guyana. Annals des Science Forestier. 51: 407–416.

168 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 186: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Brearley FQ. (2011). The importance of ectomycorrrhizas for the growth of dipterocarps and the efficacy of ectomycorrhizal inoculation schemes. In Rai, M., Varma, A.(Eds.) Diversity and Biotechnology of Ectomycorrhizae, Soil Biology 25. p.: 3–17. Springer-Verlag, Berlin.

Castellano MA, & Molina R. (1989). Mycorrhiza. In Landis TD, Tinus RW, McDonald SE, & Barnett JP (Eds.) The container tree nursery manual, Vol. 5. Agriculture Handbook 674. p: 101–167. Washington DC: US Departement of Agriculture, Forest Service.

Corrales A, Mangan SA, Turner BL, & Dalling JW. (2016). An ectomycorrhizal nitrogen economy facilitates monodominance in a neotropical forest. Ecology Letter. 19(4): 383–392.

Graham LLB, Turjaman M, & Page SE. (2013). Shorea balangeran and Dyera polyphyla (syn. Dyera lowii) as tropical peat swamp forest restoration transplant species: effects of mycorrhizae and level of disturbance. Wetlands and Ecology Management. 21: 307–321.

Guadarrama P. & Álvarez-Sánchez FJ. (1999). Abundance of arbuscular mycorrhizal fungi spores in different environments in a tropical rain forest, Veracruz, Mexico. Mycorrhiza, 8: 267–270.

Hadi S, & Santoso E. (1989). Effect of Russula spp., Scleroderma sp., and Boletus sp. on the mycorrhizal development and growth of five dipterocarp species. In Mohinder Singh M. (Eds.) Agricultural and Biological Research Priorities in Asia, Proceedings of the IFS Symposium of Science Asia 87. International Foundation for Science & Malaysia Scientific Association, Kuala Lumpur, Malaysia. p: 183–185.

Janos DP. (1980). Mycorrhizae influence tropical succession. Tropical Succession, p: 56–64.

Julich W. (1988). Dipterocarpaceae and Mycorrhizae. GFG Report No.9. Special Issue. German Forestry Group at Mulawarman University, Samarinda, Kalimantan. p: 103.

Kaewgrajang T, Sangwanit U, Kodama M, & Yamato M. (2014). Ectomycorrhizal fungal communities of Dipterocarpus alatus seedlings introduced by soil inocula from a natural forest and a plantation. Journal of Forest Research. 19(2): 260–267.

Kaewgrajang T, Sangwanit U, Iwase K, Kodama M, & Yamato M. (2013). Effects of ectomycorrhiza fungus Astraeus odoratus on Dipterocarpus alatus seedlings. Journal of Tropical Forest Science. 25(2): 200–205.

Kettle CJ. (2010). Ecological considerations for using dipterocarps for restoration of lowland rainforest in Southeast Asia. Biodivers Conserve. 19: 1137–1151.

Langley JA, & Hungate BA. (2003). Mycorrhizal controls on belowground litter quality. Ecology, 84(9): 2302–2312.

Lee SS. (1998). Root symbiosis and nutrition. In Appanah S, Turnbull JM. (Eds.), A review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology, and Silviculture. Centre for International Forestry Research (CIFOR), p: 99–114.

Molina R, Massicotte H, & Trappe JM. (1992). Specificity phenomena in mycorrhizal symbios is : community -ecologica l consequences and practical implications. In Allen MF. (Eds.) Mycorrhizal functioning, an integrated plant-fungal process. p: 357–423. Chapman and Hall, London.

Moyersoen B, Becker P, & Alexander IJ. (2001) Are ectomycorrhizas more abundant than arbuscular mycorrhizas in tropical heath forests? New Phytologist. 150: 591–599.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 169

Page 187: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Moyersoen B, Fitter AH, & Alexander IJ. (1998). Spatial distribution of ectomycorrhizas and arbuscular mycorrhizas in Korup National Park rain forest, Cameroon, in relation to edaphic parameters. New Phytologist. 139: 311–320.

Nuhamara ST. (1987). Mycorrhizae in agroforestry: A case-study. Biotropia. 1(1): 53–57.

Ogawa M. (2006). Inoculation methods of Scleroderma columnare onto dipterocarps. In Suzuki K, Ishii K, & Sakurai S. (Eds.) Plantation technology in tropical forest science. p: 185–197. Springer-Verlag. Tokyo, Japan.

Peay KB, Russo SE, McGuire KL, Lim Z, Chan JP, Tan S, & Davies SJ. (2015). Lack of host specificity leads to independent assortment of dipterocarps and ectomycorrhizal fungi across a soil fertility gradient. Ecology letters. 18(8): 807–816.

Pratiwi. (2006). Konservasi tanah dan air:Pemanfaatan limbah hutan dalam rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Pusat Litbang dan Konservasi Alam, Bogor, Hal: 81–86.

Purwaningsih. (2004). Review: Sebaran ekologi jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia. Biodiversitas, 5(2): 89–95.

Rama Chandra PP. (2011). Ecological analysis of Dipterocarpaceae of North Andaman Forest, India. Journal of Plant Development. 18: 135–149.

Sakai C, Subiakto A, Nuroinah HS, Kamata N, & Nakamura K. (2002). Mass propagation method from the cutting of three dipterocarp species. Journal of Forestry Research, 7, 73–80.

Saner P, Philipson C, Ong RC, Majalap N, Egli S, & Hector A. (2011). Positive effects of ectomycorrhizal colonization on growth of seedlings of a tropical tree across a range of forest floor light conditions. Plant Soil, 338(1): 411–421.

Sato H, Tanabe AS, & Toju H. (2015). Contrasting diversity and host association of ectomycorrhizal Basidiomycetes versus root-associated Ascomycetes in a Dipterocarp rainforest. PloS ONE. 10(4): e0125550.

Sims K, Watling R, De La Cruz R, & Jeffries P. (1997). Ectomycorrhizal fungi of the Philippines: a preliminary survey and notes on the geographic biodiversity of the Sclerodermatales. Biodiversity and Conservation, 6: 45–48.

Smith SE, & Read DJ. (1997). Mycorrhizal Symbiosis. San Diego, CA: Academic Press, Inc.

Smith WTM. (1994). Dipterocarpaceae: mycorrhizae and regeneration. Thesis, Agricultural University Wageningen, Tropenbos Foundation III, Wageningen.

Subiakto A, Rachmat HH, & Wijaya K. (2016). Walk through the remnant forest in Riau-Sumatera. p: 216. Bogor, Indonesia: FORDA PRESS.

Subiakto A. (2006). Teknologi perbanyakan vegetatif bibit pohon hutan secara massal. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang dan Konservasi Alam, Bogor. Hal: 87–98.

Tata HL, van Noordwijk M, Summerbell R, & Werger MJS. (2009). Limited response to nursery-stage mycorrhiza inoculation Shorea seedlings planted in rubber agroforest in Jambi, Indonesia. New Forests, 39: 51–74.

170 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 188: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Tawaraya K, & M Turjaman. (2016). Mycorrhizal in Peatland. In M Osaki, & N Tsuji (Eds.) Tropical Peatland Ecosystems. Springer, p: 237–244.

Tawaraya K, & M Turjaman. (2014). Use of arbuscular mycorrhizal fungi for reforestation of degraded tropical forests. In Solaeman ZM, Abbot LK, & A Varrma (Eds.). Mycorrhizal fungi: Use in sustainable agriculture and land restoration. Springer, p: 357–373.

Tawaraya K, Turjaman M, & Ekamawanti, H.A. (2007). Effect of arbuscular mycorrhizal colonization on nitrogen and phosphorus uptake and growth of Aloe vera L. Scientia Horticultura, 42(7): 1737–1739.

Tawaraya K, Takaya Y, Turjaman M, Tuah SJ, Limin SH, Tamai Y, Cha JY, Wagatsuma, & T, Osaki M. (2003). Arbuscular mycorrhizal colonization of tree species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management. 182: 381–386.

Tederso L, Bahram M, Toots M, Diedhiou AG, Henkel TW, Kjoller R, Morris MH, Nara K, Nouhra E, Peay KG, Polme S, Ryberg M, Smith ME, & Koljalg U. (2012). Towards global patterns in the diversity and community structure of ectomycorrhizal fungi. Molecular Ecology. 21(17): 4160–4170.

Torti SD, Coley PD, & Janos DP. (1997). Vesicular-arbuscular mycorrhizae in two tropical monodominant trees. Journal of Tropical Ecology, 13: 623–629.

Turjaman M, Santoso E, Susanto A, Gaman S, Limin SH, Tamai Y, Osaki M, & Tawaraya K. (2011) . Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forests. Wetlands Ecology and Management, 19: 331–339.

Turjaman M, Tamai Y, Sitepu IR. Santoso E, Osaki E, & Tawaraya K. (2008). Improvement of early growth of two tropical peat-swamp forest tree species Ploiarium alternifolium and Calophyllum hosei by two arbuscular mycorrhizal fungi under greenhouse conditions. New Forests, 36: 1–12.

Turjaman M, Tamai Y, Santoso E,Osaki M, & Tawaraya K. (2006). Arbuscular mycorrhizal fungi increased early growth of two non-timber forest product species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria under green house conditions. Mycorrhiza, 16: 459–464.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, & Tawaraya K. (2006). Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two Ectomycorrhizal fungi. Journal of Tropical Forest Science, 18(4): 166–172.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, & Tawaraya K. (2005). Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improve the early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forests, 30: 67–73.

Watling R, Taylor AFS, Lee SS, Sims K, & Alexander IJ. (1995). A rainforest Pisolithus; its taxonomy and ecology. Nova Hedwig, 61: 417–429

Yazid SM, Lee SM, & Lapeyrie FF. (1994). Growth stimulation of Hopea spp. (Dipterocarpaceae) seedlings following mycorrhizal inoculation with an exotic strain Pisolithus tinctorius. Forest Ecology and Management, 67: 339–343.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 171

Page 189: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

172 • BIO-RESTORASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA KELUARGA DIPTEROKARPA

Page 190: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 7 APLIKASI UNTUK BIO-PLASTIK

Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa plastik konvensional sangat sulit terurai

Produksi dan penggunaannya pun sangat tinggi sehingga lingkungan menjadi kotor

dan berbahaya. Sumber bahan baku plastik konvesional terus mengalami menurun

sehingga mendorongi banyak pihak untuk mencari sumber alternatif plastik yang lebih

ramah lingkungan dan mudah terurai. Melalui fermentasi mikroba, sumber bio-plastik

berupa Polyhydroxyalkanoates (PAHs) dapat dihasilkan dan menjadi sumber bioplastik yang menjanjikan dimasa yang akan datang. Potensi mikroba, khususnya bakteri, yang diungkapkan

adalah jenis-jenis bakteri potensial. Teknik kuantifikasi dan purifikasi, komersialisasi,

prospek dan tantangan.

Page 191: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 192: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Oleh:Asep Hidayat

A. PendahuluanPlastik telah menjadi trend market sepanjang

masa dengan berbagai macam jenis peruntukan yang terus mengalami inovasi. Alasan utamanya karena plastik memiliki sifatnya yang lentur, kuat, awet, dan murah. Plastik yang beredar saat ini mencapai lebih dari 260 juta ton/tahun (Barket et al. 2009) dan akan meningkat setiap tahun sekitar 9% (Chanprateep 2010). Hanya 1,5 juta ton produk plastik di antaranya tergolong bioplastik (Barket et al. 2009). Penggunaan plastik di negara ASEAN tercatat sebanyak 5,6 juta ton dengan berbagai macam penggunaan seperti untuk pembungkus (38%), konstruksi (22%), alat-alat rumah tangga (8%), kelistrikan (7%), alat angkut (7%), kesehatan (2%) dan produk lainnya (18%). Penggunaan plastik yang sangat tinggi berdampak negatif terhadap lingkungan, karena plastik memiliki sifat sulit terurai, toksik, dan berakumulasi di lingkungan (25 juta ton/tahun (Choi dan Lee 1997) sehingga bertentangan dengan 20 prinsip “Green Chemical”.

Menilik dari sifatnya yang sulit terurai, plastik adalah molekul hidrokarbon yang sulit larut dalam air (hidropobik) menjadikannya tidak tersedia dalam jaringan metabolisme mikroba pengurai. Langkah yang paling mudah dalam pengelolaan limbah pastik adalah melalui kegiatan landfill, Pembakaran limbah plastik juga akan meningkatkan akumulasi senyawa berklorinasi dan aromatik sehingga sangat membahayakan kondisi lingkungan (Barnes et al. 1998; North dan Halden 2013). Bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan

plastik dan pengolahan limbah plastik telah mendorong berbagai pihak untuk mencari alternatif material baru yang terbaharukan sebagai sumber plastik. Penelitian tentang bio-plastik yang mengacu pada karakteristik yang dapat terurai secara biologis (biodegradable) merupakan fokus penelitian mutakhir saat ini. Beberapa aplikasi bioteknologi modern memungkinkan untuk mengubah dan atau menghasilkan bio-polimer yang identik dengan plastik.

B. Bio-plastikBio-plastik merupakan material plastik

yang berasal dari bahan baik sebagian dan atau seluruhnya terbarukan (Radecka 2014). Bio-plastik cenderung memiliki sifat mudah terurai secara alami dengan bantuan mikroba. Perlu digarisbawahi bahwa produk bio-plastik belum tentu dapat terurai sempurna, dan hanya bioplastik yang dapat terurai sempurna yang akan paling memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai material pengganti plastik konvesional ke depan.

S e i r i n g d e n g a n p e r k e m b a n g a n pemanfaatannya, ketertarikan akan bio-plastik terus berkembang mulai dari penggunaan yang sangat sederhana (misal: pembungkus) sampai dengan paling modern. Peningkatan penggunaan bio-plastik telah mendorong penemuan-penemuan molekul baru bio-plastik untuk menyubstitusi penggunaan plastik konvensional. Banyaknya tipe bio-plastik menyebabkan sangat sulit mendefiniskan bila hanya didasarkan pada satu karakteristik saja.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 175

Page 193: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Beberapa contoh bioplastik yang menjadi trend saat ini adalah: Khanna dan Srivastava, (2005) menyebutkan bahwa beberapa contoh bio-plastik adalah sebagai berikut: 1) Polyhydroxyalkanoates (PHAs), bioplastik yang bisa terdegradasi sempurna secara biologis, dihasilkan langsung melalui proses fermentasi oleh mikroba. Namun sayang, saat ini cukup sulit jika harus dikompetensikan dengan plastik konvensional karena biaya produksi yang mahal, tidak stabil dengan jumlah yang sangat sedikit; 2) Bio-PE (Bio-polyethylen) dan bio-PP (bio-polyprophylen), dihasilkan melalui kombinasi proses biologi (baca: fermentasi mikroba) dan proses kimiawi (baca polimerisasi). Bio-plastik tipe ini bukan produk bio-plastik yang bio-degradable. Namun sangat ramah lingkungan, dan cukup mampu menjadi bahan substitusi plastik konvensional;. 3) Chitin adalah biopolymer alami, umumnya terdapat pada hewan, dan sangat mudah dikonversi menjadi chitosan, bahan dasar alternatif bio-plastik.

Dari tiga tipe bioplastik tadi, bio-PE dan -PP menunjukkan volume produksi yang terus meningkat dan menempati porsi kontribusi tertinggi untuk pasar bio-plastik. Pasar bio-plastik ada di angka sekitar 1,2 juta ton di tahun 2011 dan diprediksi akan meningkat 5 (lima) kali lipat di tahun 2016 menjadi 6 juta ton. Permintaan terbesar dari produk ini terutama untuk pemenuhan botol plastik (misal PepsiCo dan Coca-Cola). Perjualan bio- PE juga diprediksi akan terus meningkat hingga mecapai 4,6 juta ton di tahun 2016. Namun demikian, pada tulisan singkat ini, penulis tidak akan membahas tentang bio-PE dan –PP, tetapi akan membahas sisi lain bio-plastik PHAs yang dihasilkan oleh mikroba secara langsung. Pemahaman dasar tentang bio-plastik yang diproduksi oleh mikroba sangatlah awam, sedangkan peran mikroba di alam sangatlah besar. Sebagaimana Perlmon (1980) menyebutkan bahwa

“Microbes can and will do anything, microbes are smarter, wiser and more energetic than microbiologists, chemists, engineers, and others”.

C. Mikrobial penghasil Polyhydroxyalkanoate (PHAs)

Polyhydroxyalkanoate (PHAs) adalah salah satu keluarga poliester berantai lurus yang terdiri atas 3, 4, 5, dan 6-asam hidroksi yang dihasilkan oleh bakteri dengan memanfaatkan bahan yang dapat terbaharukan (misal sumber gula, lipid, alkana, alkena dan asam alkanoat atau sumber karbon lainnya). Lemoigne, seorang peneliti dari Perancis di tahun 1925, pertama kali menemukan Poly(3-hydroxybutyrate) [P(3HB)], sebuah monomer PHAs yang paling umum (Doi 1990). Semenjak penemuan tersebut, beberapa strain bakteri archaebacteria (Doi 1990), gram positif (Finday dan White 1983; Willianson dan Wilkimson 1958), gram negatif (Forsyth et al. 1958), dan bakteri fotosintetik (Hassan et al. 1998; Hassan et al. 1996; Hassan et al. 1997; Hashimoto et al. 1993), termasuk juga cyanobacteria ( Jau et al. 2005; Jensen dan Sicko 1971) teridentifikasi menghasilkan P(3HB) dalam kondisi aerobik and anaerobik. Monomer lain selain 3-hyroxybutyrate (3HB) yang ditemukan oleh Wallen dan Rohwedder (1974) adalah 3-hydroxyvalerate (3HV), 3- hydroxyhexanoate (3HHx) dan 3-hydroxyheptanoate (3HHp). Di tahun 1983, De Smet dan koleganya menemukan monomer jenis lain lagi, yaitu 3-hydroxyoctanoate (3HO). Sampai dengan saat ini telah ditemukan kurang lebih 150 monomer PHA (Steinbuchel 2001; Steinbuchel dan Valentin 1995), baik yang berantai lurus, bercabang, dan aromatik dengan tipe ikatan tunggal dan atau rangkap (Witholt dan Kessler 1999). Tabel 1 menampilkan rangkuman sejarah

176 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 194: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

penemuan PHAs. Polyhydroxyalkanoate (PHA) disintesa oleh bakteri dan diakumulasi dalam bentuk granular, berjumlah 2 sampai dengan 8 dengan ukuran diameter antara 0,2–0,5 μm (Saharan et al. 2012; Byrom 1994) dengan bentuk struktur molekul seperti terlihat pada Tabel 2. Berat molekul PHAs sangat bervariasi dari 2×102 sampai 3×104 kDa, tergantung dari jenis mikroba dan kondisi kultur media yang digunakan (Byrom 1994). Permukaan granular PHA dilapisi fosfolipid dan protein dengan phasins sebagai kelas protein yang dominan menutupi permukaan tersebut.

Polyhydroxyalkanoate (PHAs) sebenarnya berfungsi sebagai bahan cadangan makanan sehingga mikroba akan tetap dapat bertahan hidup pada suatu kondisi yang baginya tidak menguntungkan. Sifat PHAs yang tidak larut di dalam air, memungkinkannya untuk berakumulasi pada intraselular di dalam sel atau sitoplasma (Yogesh et al. 2012). Jumlah dan ukuran granular, komposisi monomer, struktur molekul dan karakteristik fisika-

kimiawi sangat bervariasi tergantung dari organisme dan keberadaan nutrisi (Ha dan Cho 2002). Granular PHAs akan berakumulasi hingga mencapai lebih 80% dari berat kering sel mikroba tertentu pada beberapa kondisi, seperti saat di mana tidak seimbangnya komposisi nutrisi pada media kultur, kelebihan karbon, dan kandungan N, P, O2 yang terbatas (Khana et al. 2005).

Tabel 1. Rangkaian sejarah penemuan mikroba penghasil PHAs

Tahun Penemuan Pustaka1925 PHB ditemukan di dalam sel Bacillus subtilis Lemoigne 19261958 PHB ditemukan berakumulasi pada Bacillus spp dan Aerobik

Gram negatif bakteriWilliamson dan Wilkinson 1958; Forsyth et al. 1958

1973 PHB ditemukan sebagai cadangan karbon dan energi Dawes dan Senior 19731974 3 HV, 3 HHx, 3 HHp ditemukan Wallen dan Rohwedder

19741983 3 HHp ditemukan pada B. Megaterum; 3 Ho ditemukan pada

Pseudomonas olevaronsFindlay dan White 1983; De Smet et al. 1983

1986 3 HB, 3HV, 4 HB ditemukan pada Cupriavidus necator Schubert et al. 19881988 Biosinthesis PHB pada Escherichia coli Kumoka et al. 1989

1980-an P(3HB-co-3HV) dikomersialisasi oleh Imperial Chemical Industries (ICI, UK) dengan merek dagang BiopolTM

Byrom 1992

1993 PHA ditemukan dari Rhodospirillum rubrum Hashimoto et al. 19931995 BiopolTM dijual ke Musanto Till Suriyamongkol et al. 2007

1996-sekarang Penemuan bakteri penghasil PHAs terus dilakukan (> 300 jenis), bioteknologi, alternatif substrates (Fermentasi), ekstrasi, polymerisasi/monopolimer dan Tahun 2005, Metabolix membangun metode baru untuk PHAs production

Verlinden et al. 2007; Suriyamongkol et al. 2007

Tabel 2. Struktur PHAs, lebih dari 150 monomer telah teridentifikasi

n = 1 R = H Poly (-3-hydroxypropionate) P(3HP)R = CH3 Poly (-3-hydroxybutyrate) P(3HB)R = C2H5 Poly (-3-hydroxyvalerate) P(3HV)R = C3H7 Poly (-3-hydroxyhexanoate) P(3HHx)R = C4H9 Poly (-3-hydroxyoctanoate) P(3HO)R = C5H11 Poly (-3-hydroxydodecanoate) P(3HO)

n = 2 R = H Poly (-4-hydroxybutyrate) P(4HB)n = 3 R = H Poly (-5-hydroxyvalerate) P(5HV)

Sumber: Lee (1995) yang dimodifikasi

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 177

Page 195: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Berdasarkan jumlah atom karbon dalam satu satuan monomer, PHAs dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu rantai pendek (short-chain-length/SCL) yang terdiri atas 3–5 atom, dan rantai sedang (medium-chain-length/MCL)) yang terdiri atas 6–14 atom karbon (Anderson dan Dawes 1990). Cupriavidus necator adalah bakteri yang memproduksi PHAs rantai pendek yang terdiri atas monomer 3HB, 3HV and 4HB (Doi 1990; Saito et al. 1996; Kunioka et al. 1989). Pseudomonas oleovorans dan Pseudomonas putida adalah jenis bakteri yang juga mampu menghasilkan PHA, namun PHA yang dihasilkannya adalah yang berantai sedang, e.g 3HO dan 3-hydroxydecanoate (3HD) (Kellerhals et al. 2000; Saharan et al. 2012). Jenis bakteri lain mampu memproduksi kedua tipe PHAs baik yang berantai pendek maupun sedang.

D. Degradasi bio-plastikPolyhydroxyalkanoate (PAHs) adalah

kelompok polimer yang relatif baru dari polimer yang bersifat bio-degradable. Karena sifatnya ini, PHAs memiliki potensi yang sangat prospektif. Kata “biodegradable” sendiri mengacu pada sifatnya yang terdegradasi secara biologis (baca: alami) dengan sempurna. Mikroba menggunakan PHAs sebagai sumber cadangan energi dan akan menjadi penting keberadaannya di saat kondisi lingkungan tidak cocok baginya. Bila terpaksa PHAs akan terurai menjadi sumber nutrisi tersedia bagi mikroba itu sendiri melalui kerja enzim depolymerase. Proses terurainya PHAs terlihat pada Gambar 1. Begitu juga PHAs akan mudah terurai saat berada di tanah, sungai, lautan, composting dan tumpukan limbah. Meskipun demikian bio-plastik PHAs juga akan tetap stabil pada kondisi lingkungan di saat bio-plastik ini diaplikasikan untuk penggunaan sehari-hari.

Sumber: Steinbuchel dan Schlegel (1991), Lee (1995), Rehm (2003); Verlinden et al. (2007)

Gambar 1. Biosinthesis mekanisme pembentukan pembentukan dan pemecahan PHBs

178 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 196: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Penelitian tentang bakteri penghasil PHAs terus dilakukan secara massif, terutama untuk meningkatkan kemampuan bakteri tersebut dalam memproduksi PHAs (Braunegg et al. 2004; Khanna dan Srivastava 2005). Hanya sayang sampai sejauh ini harga produksi PHAs masih jauh di atas harga plastik konvensional (Salehizadeh dan Van Loosdrecht 2004). Oleh karena itu, berbagai penelitian lebih difokuskan pada proses produksi dalam rangka untuk menekan satuan biaya produksi. Beberapa penelitian di antaranya adalah dengan rekombinasi mikroba (Agus et al. 2006;. Sujatha dan Shenbagarathai 2006), proses fermentasi (Patwardhan dan Srivastava 2004) dan pemurnian yang efektif dan efisien (Jung et al. 2005) dan penggunaan substrat (sumber karbon) yang lebih murah (Lemos et al. 2006).

E. Bakteri penghasil PHAsM i k ro o rg a n i s m e y a n g d i k e t a h u i

menghasilkan PAHs diperkirakan lebih 300 jenis dan akan terus meningkat sejalan dengan penelitian pada bidang ini yang juga terus berkembang (Berlanga et al. 2006; Keshavarz dan Roy 2010). Sebagian besar bakteri merupakan mikroorganisme yang diketahui mampu menghasilkan PHAs dalam jumlah yang tinggi, seperti: Alcaligenes latus (Yamate et al. 1996), Pseudomonas oleovorans (Brandl et al. 1988), Cupriavidus necator (Krim et al. 1994).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa bentuk dan ukuran PHAs sangatlah beragam. Polyhydroxybutyrate (PHB) adalah salah satu monomer PAHs yang dikenal secara umum, dan paling banyak diproduksi oleh organisme (Kim dan Lenz 2001). Pembentukan PHB terjadi melalui jalur biosynthesis yang sangat sederhana. Proses biosynthesis tersebut melibatkan tiga jenis enzim sebagaimana terlihat pada Gambar 1. β-ketothiolase mengkondensasi dua molekul acetyl-CoA

menjadi acetoacetyl-CoA dan kemudian acetoacetyl-COA reductase mensitesis acetoacetyl-CoA menjadi (R)-3-hydroxybutyryl-CoA (Steinbuchel dan Schlegel 1991). Reaksi terakhir yang terjadi adalah polimerisasi monomer (R)-3-hydroxybutyryl-CoA melalui sinthesis PHA (Rehm 2003).

Kerja bakteri dalam mengakumulasi PHAs sangat tergantung pada kondisi kultur media. Berdasarkan nutrisi yang dibutuhkan untuk memproduksi PHAs, bakteri penghasil PHAs dapat dipisahkan ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok bakteri yang membutukan keberadaan nutrisi yang penting (N, O2) dalam keadaan terbatas dan sumber carbon harus dalam keadaan berlebihan, seperti Cupriavidus necator, Protomonas extorquens dan Protomonas oleovorans (Chee et al. 2010). Kedua, kelompok bakteri yang tidak membutuhkan keberadaan nutrisi dalam keadaan terbatas dan PHAs akan berakumulasi selama fase pertumbuhannya, seperti Alcaligenes latus (Wang dan Lee 1997; Grothe et al. 1999).

1. Ralstonia eutrophusRalstonia eutropha adalah gram negatif

bakteri yang dapat ditemukan pada tanah dan air. R. eutropha tidak bersifat patogen (meskipun gram negatif), hidup baik pada kondisi aerobik dan anaerobik, memiliki dua flagella dan dua membran yang biasanya berbentuk batang, dan hidup dengan suhu optimal 30OC. Bakteri ini pertama kali diisolasi pada tahun 1962 dengan nama Hydrogenomonas eutrophus (Wilde 1962). Namun karena nama tersebut tidak spesifik untuk jenis ini, maka kemudian berganti nama menjadi Alcaligenes eutropha dan sekarang bernama Ralstonia eutropha. Berikut taksonomi bakteri R. eutropha:

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 179

Page 197: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Kingdom : Bakteria Phylum : Proteobakteria Class : Beta Proteobakteria Order : Buckholderiales Family : Ralstoniaceae Genus : Ralstonia

Studi tentang R. eutropha dilakukan secara intensif karena bakteri ini memiliki potensi untuk mengakumulasi PHB dalam jumlah yang banyak dari berbagai sumber karbon sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan asam asetat (Khanna dan Srivastava 2005). Selain itu, R. eutropha juga memiliki kemampuan untuk mengurai sejumlah senyawa aromatik berklorinasi (chloroaromatic) dan senyawa pencemar lainnya sehingga berpotensi sebagai agen bioremediasi (Plumeier et al. 2002).

Pemanfaatan R. eutropha sebagai agen bio-plastik telah dilakukan oleh Imperial Chemical Industries (ICI-UK) pada skala besar, produksi PHB dari glukosa dan produksi poly(3-hydroxybutyrate-co-3-hydroxyvalerate) (P(3HB-co-3HV)) dari campuran sumber karbon (glukosa dan asam propionat) (Khanna dan Srivastava 2005). Beberapa sumber karbon lainnya seperti asam laktat (Linko dan Vaheri 1993), asam asetat (Wang dan Yu 2001), minyak sawit (Fukui dan Doi 1998; Budde et al. 2011), asam oleat (Eggink et al. 1993), gliserol (Bormann dan Roth 1999), 4-hydroxybutyric acid, γ-butyrolactone, 1,4-butanediol (Doi et al. 1990), dan minyak kacang kedelai (Akiyama et al. 2003) juga dapat digunakan untuk memproduksi PHAs oleh R. eutropha.

PHB berbentuk Kristal dan memiliki sifat yang sangat kaku, tetapi relatif rapuh dengan titik leleh (175OC) membuatnya sulit untuk diproses lebih lanjut. Sifat fisik PHB yang kurang baik mendorong usaha yang lebih besar untuk mencari co-polimer PHA yang memiliki sifat fisik lebih baik (Khanna dan Srivastava 2005). Campuran 3- atau 5-karbon monomer yang berbeda dengan tetap menyertakan

3-HB monomer menjadi polimer, e.q P(3HB-co-3HV), menyebabkan penurunan derajat kristalinitas dan titik leleh dibandingkan PHB yang hanya terdiri atas gabungan satu monomer (homopolimer) (Khanna dan Srivastava 2005). Produksi P(3HB-co-3HV) oleh Ralstonia sp. strain JC-64 telah dilaporkan oleh Song et al. (2001) dengan minyak biji kapas dan valeric acid sebagai sumber nutrisi dan dengan sumber karbon asam propionat melalui pemanfaatan bakteri A. eutrophus ATCC 17697 (Kobayashi et al. 2000).

2. Alcaligenes latusAlcaligenes latus adalah bakteria gram-

negatif, tidak berspora, areob obligat dengan bentuk sel menyerupai batang yang pendek (panjang 1,6 – 2.4 mm dan diameter 1,2 – 2,4 mm) yang hidup secara soliter, berpasangan atau dalam rantai pendek (Palleroni et al. 1978). Bakteri ini ditemukan pada saluran usus vertebrata, proses pembusukan, air, dan tanah. Suhu optimal untuk bakteri ini bisa hidup sekitar 35OC dan pH 6,0–7,5. A. latus juga dikenal dengan sebutan bakteria no-fermenting dan merupakan reklasifikasi dari Azohydromonas lata. Berikut adalah taksonomi dari A. latus:

Kingdom : Bakteria Phylum : Proteobacteria Class : Beta Proteobacteria Order : Buckholderiales Family : Alcaligenaceae Genus : Alcaligenes

Studi tentang produksi PHB oleh A. latus terus berkembang karena bakteri ini mampu menghasilkan PHB dari sumber kabon dengan biaya yang relatif lebih murah. Beberapa sumber karbon yang telah teruji mampu dikonversi menjadi PHB adalah glukosa, sukrosa, dan molase (sirup) (Wang dan Lee 1997). Sumber karbon yang lebih murah ini

180 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 198: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

memberikan peluang untuk menekan biaya produksi PHB yang cukup besar, misal 1 kg sukrosa (gula pasir) = Rp10.000; 1 kg glukose = Rp390.000,- (Sugiarto 2014; USDA 2014). Pemanfaatan A. latus sebagai agen bioplastik dalam skala besar telah dilakukan oleh Chemie Linz GmbH, Austria (Hrabak 1992).

Dalam memproduksi PHB, A. latus tidak membutuhkan keterbatasan atau kelebihan nutrisi tertentu ataupun sumber karbon. Hal ini memungkinkan terjadinya fermentasi satu langkah dalam menghasilkan PHB pada level tertentu (Braunegg dan Bogensberger 1985). Namun demikian, beberapa penelitian mengindikasikan pada kondisi kultur yang kekurangan sumber nitrogen juga akan meningkatkan laju sintesa dan produk PHB yang dihasilkan menjadi lebih tinggi (Wang dan Lee 1997; El-Sayed et al. 2009).

3. Pseudomonas spp. P. oleovorans dan P. stutzeri yang merupakan

bakteri gram negatif telah dilaporkan memiliki kapasitas untuk menghasilkan PHA. P. oleovorans pertama kali diisolasi dari emulsi air dan oli yang digunakan sebagai cairan pelumas dan pendingin pada pekerjaan mekanik (pemotongan atau pengasahan logam), sedangkan P. stutzeri pertama diisolasi dari cairan tulang belakang manusia. Selain berpotensi sebagain agen bioplastik PHA, mereka juga berperan dalam proses penguraian 2,4,6 trinitrotoluene (TNT) dan tetrachloride (Sepulveda-Torres et al. 1999).

Dalam memproduksi PHAs, P. oleovorans membutuhkan sumber karbon glukosa dan asam n-oktanoat (dekanoat dan heksanoat) (Bandl et al. 1988; Ashby et al. 2002). Adapun beberapa variasi PHAs yang dapat dihasilkan oleh bakteri ini di antaranya seperti: 3-hydroxyhexanoate, 3-hydroxydecanoate, 3-hydroxydodecanoate, PHB dan MCL-PHA, P(3HB-co-3HV) (Ashby et al. 2002, Fuechtenbusch dan Steinbuechel

1999). Jenis bakteri Pseudomonas lain yaitu P. stutzeri memanfaatkan sumber karbon, glukosa dan asam lemak (Guo-Qiang et al. 2001) dalam memproduksi PHAs. Stuktur monomer PHAs yang dihasilkan P. stutzeri sangat tergantung dari struktur asam lemak yang digunakan (Khanna dan Srivastava 2005).

4. Escherichia coli rekombinanEscherichia coli adalah bakteria gram-

negatif, hidup dalam kondisi anaerob, berbentuk batang yang umum ditemukan di bawah usus organisme berdarah panas (endotermik) (Singleton 1999). E. coli sangat berperan dalam penemuan biosintesis PHA. Pemanfaatan rekombinan E. coli penghasil P(3HB-co-3HV) dan PHB menunjukkan bahwa jumlah PHAs yang dihasilkan sangat tergantung pada jumlah asetil-CoA yang tersedia, bukan pada tersediaan nutrisi atau sumber karbon (Khanna dan Srivastava 2005). Rekombinan E. coli penghasil PHA memiliki beberapa keuntungan seperti di antaranya pertumbuhan bakteri yang cepat, densitas sel yang tinggi, penggunaan berbagai sumber karbon yang murah, dan proses pemurnian PHAs yang mudah (Fidler dan Dennis 1992; Hahn et al. 1995). Beberapa rekombinan E. coli telah diuji dan diteliti di antaranya dengan Alcaligenes eutrophus (Kim et al. 1992; Liu et al. 1998), plasmid pKSSE5.3 (Song et al. 1999), Aeromonas (Park et al. 2001), R. eutropha dan Clostridium kluyveri (Valentin dan Dennis 1997), Streptomyces aureofaciens NRRL 2209 (Ramachander et al. 2002), dan Vitreoscilla globin (Yu et al. 2000).

Selain bakteri yang telah diutarakan di atas, masih terdapat beberapa bakteri lain yang dilaporkan menghasilkan PHB namun penggunaaannya masih terbatas pada skala laboratorium. Bakteri tersebut antara lain Thiosphaera pantotropha (van Niel et al. 1995), Caulobacter crescentus DSM 4727

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 181

Page 199: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

(Qi dan Rehm 2001), Azotobacter sp. strain FA8 (Pettinari et al. 2001), Synechococcus sp. MA19 (Miyake et al. 1996; Nishioka et al. 2001), Synechocystis sp. PCC6803 (Wu et al. 2001), Rhodopseu- domonas palustris 42OL (Carlozzi dan Sacchi 2001), Bacillus cereus UW85 (Labuzek dan Radecka 2001), Zoogloea sp. (Z5-GII) (Huang et al. 1999), M. extorquens strain P14 (Ostafin et al. 1999), Methylobacterium rhodesianum MB 126 (Bormann dan Roth 1999), Bacillus mycoides RLJ B-017 (Borah et al. 2002), Azospirillum brasilense (Daniel et al. 2002), dan Americoccus kaplicenses (Falvo et al. 2001).

Sementara itu, penelitian mikroba penghasil bio-plastik di Indonesia masih sedikit. Penelitian masih terbatas pada penapisan dan isolasi bakteri penghasil PHA dan PHB. Beberapa baketri yang ditemukan mampu menghasilkan PHA dan PHB di antaranya Bacillus sp. PSA 10 dan PPKS5 (Yanti 2013), Pseudomonas aeroginosa dan B. subtilis (Kresnawati et al. 2014), dan beberapa jenis bakteri lain yang belum teridentifikasi.

F. Ekstraksi, purifikasi dan kuantifikasi

Ekstraksi. Setelah proses fermentasi, PHA yang berada di dalam sel mikroba harus dipisahkan. Proses ini dinamakan ekstraksi yang juga dipercaya merupakan salah satu tahapan proses yang paling menentukan biaya produksi bioplastik PHAs. Secara garis besar, metode esktraksi dirangkum pada Tabel 3. Penelitian tentang berbagai metode esktraksi ditujukan untuk mencari teknik yang paling efisen, efektif dan aman sehingga kemungkinan aplikasi untuk skala produksi menjadi fisibel. Banyak metode ekstrasi yang telah mengalami penyempurnaan, namun sayangnya masih dihasilkan biaya produksi (harga jual) bioplastik PHAs yang masih tetap lebih tinggi (3–5 US$/kg) bila dibandingkan dengan plastik konvesional (<1 US$/Kg) (Jacquel et al. 2008).

Purifikasi. Purifikasi dilakukan agar tingkat kemurnian PHAs yang didapat menjadi lebih tinggi. Metode purifikasi yang dapat dilakukan antara lain: 1) penambahan H2O2 yang dikombinasikan dengan bantuan enzim atau agen pengikat (chelate). Melalui penambahan unsur pengikat, unsur-unsur

Tabel 3. Metode esktraksi dengan kelebihan dan kelemahannya

Metode ekstraksi Kelebihan Kelemahan

Esktrasi dengan pelarut Tingkat kemurnian dan recovery tinggi, serta target PHAs tidak terdegradasi

Pelarut yang digunakan berbahaya, mahal dan sulit untuk digunakan kembali

Enzymatik Tingkat recovery tinggi Mahal

Mekanik Tidak ada pelarut yang digunakan Proses sulit, tingkat kemurnian dan recovery rendah

Super kritikal CO2 Biaya dan bahaya yang rendah Tingkat kemurnian daan recovery rendah

Sumber: Jacquel et al, (2008) yang dimodifikasi

182 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 200: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

pengotor akan berikatan sehingga tingkat kemurnian menjadi tinggi (Jacquel et al. 2008); 2) metode ozonifikasi yang dikembangkan oleh Horowitz dan Brennan tahun 2001. Ozon (O3) ditambahkan pada biomass atau larutan yang dialiri gas oksigen yang mengandung 2% – 5% O3. Penambahan ozon teruji meningkatkan kemurnian PHAs, melalui proses pemutihan, menghilangkan bau tidak enak dan melarutkan senyawa-senyawa pengotor lainnya (Horowitz dan Brennan tahun 2001).

Kuantifikasi. Berikut diuraikan secara singkat beberapa metode kuantifikasi kandungan PHA setelah proses fermentasi berlangsung: 1) Gravimetrik. Metode analisa yang paling umum digunakan sampai akhir tahun 1950 (Lemoigne 1926). PHB terlebih dahulu diekstraksi dengan kloroform kemudian diendapkan dengan bantuan dietil eter atau aseton; 2) Metode spektrofotometri. PHB dikonversi menjadi krotonik (dengan penambahan asam sulfur pekat) dan kandunganya krotonik diukur pada panjang gelombang 235 nm (Law dan Slepecky 1961). Dua metode di atas memiliki kelemahan, individual polimer penyusun PAHs tidak dapat terkuantifikasi dengan baik, waktu pengerjaan yang lama dan akurasi yang kurang sehingga untuk mendapat tingkat akurasi yang baik diperlukan jumlah sampel dan ulangan yang cukup; 3) Identifikasi melalui gas chromatography (GC). Dengan metode ini analisa memerlukan waktu yang cukup singkat (4 jam), sensitif, kebutuhan sampel sedikit. Sebelum dianalisa, PHAs diesktraksi dengan dimethanolysis dalam kondisi asam atau basa rendah sehingga terbentuk hidroksil alkanoat metilester (Branuegg et al. 1978; Riss dan Mai 1988); 4) Metode analisa dengan High-performance liqid chromatrography (HPLC). Analisa dilakukan atas konversi PHB menjadi asam krotonik dengan ultra violet (UV) detektor pada panjang gelombang 210 nm (Karr et al. 1983); 5) Metode kuantifikasi melalui enzimatik,

Roche Molecular Biocheical, USA (Hesselman et al. 1999). 3HB akan teroksidasi oleh NAD+ dan terbentuk NADH. Ketika dalam reaksi tersebut terdapat iodonitro-tetrazoliumchloride maka akan dihasilkan formazan, dapat dianalisis melalui bantuan spektrofotometer pada panjang gelombang 492 nm; 5) Spektroskopi fluoresen dua dimensi (Degelau et al. 1995; Gorenflo et al. 1990). Ketika sel diwarnai dengan Nile Blue, keberadaan PHAs akan terlihat jelas dengan fluoresensi pada panjang gelombang antara 570–605 nm (diharapkan terlihat antara 540–560 nm). Terdapat korelasi yang sangat erat antara kandungan PHA dengan intensitas fluoresens, namun polimer penyusun PHA tidak dapat dibedakan (Gorenflo et al. 1990).

G. KomersialisasiSeiring dengan terus meningkatnya

perhatian terhadap perkembangan PHAs, terdapat kurang lebih 226 paten dan 765 publikasi tentang PHAs dalam kurun waktu tahun 1980–2005 (Jacquel 2008). Dari bekal inilah maka aspek komersialisasi menjadi sangat penting. Pada tahun 1980-an, produksi skala industri dari [P(3HB-co-3HV)] dengan memanfaatkan mutan C. necator dilakukan oleh Imperial Chemical Industries (ICI) - UK dan dikenal dengan nama dagang Biopol® (Luzier 1992; Luengo et al. 2003). Semenjak itu produsen PHAs terus tumbuh, di antaranya saja Biotechnoly Co., Germany; PHB Industrial S/A company, Brazil; Mitsubishi GAS Chemical, Japan; Metabolix, USA (BASF, ADM); Jiangsu Nantian Group, China; Metabolix, USA (BASF, ADM); Tianan Biologic Material, China; Procter dan Gamble, USA (Kaneka); Jiangsu Nantian Group, China; Lianyi Biotech, China; yang memproduksi P(3HB), P(3HO), P(3HB-co-3HHx) dan nama dagang tidak hanya Biopol® tetapi nama yang lainya seperti Biomer®, Biocycle®, Biogreen®, Biopol®, ENMAT®, Nodax (Jacquel 2008).

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 183

Page 201: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

H. PenggunaanSemenjak pertama PHAs diproduksi oleh

ICI. Ltd, produk turunan yang dihasilkan pertama kali dijual pada tahun 1990 oleh Wella AG sebagai botol sampo yang biodegradable (Yogesh et al. 2012). Selanjutnya penggunaan PHAs berkembang terus, seperti untuk pemenuhan bahan baku kemasan minuman, serat, latex (lapisan anti air untuk kertas dan karbon), beberapa produk pertanian, kemasan sebuah produk produk (kosmetik dan sampo), pena, sisir, dan sanitasi untuk handuk dan popok (Steinbuchel dan Fuchstenbusch 1998; Angelova dan Hunkeler 1999; Hocking dan Marchessault 1994; Weiner 1997; Lauzier 1993; Chen 2005).

Dewasa ini penggunaan PHAs lebih difokuskan di bidang kesehatan, seperti untuk prosedur ortopedi, urologi, luka ( jahitan luka/operasi, dan pembalut), produk kardiovaskular buatan (stemp jantung dan katup jantung), kecanduan alkohol, narkolepsi, penyerta obat-obatan (tablet, implan, dan mikro-enkapsulasi), precursor anti-rematik, analgetik, radiopotentiator dan anti tumuoral (Zinn et al. 2001; Williams dan Martin 2005; Philip et al. 2007; Lee dan Choi 1999; Lee et al. 2000; Scott 2000).

I. Prospek dan TantanganSeperti yang sudah diuraikan bahwa

pemanfaatan bioplastik akan menjadi trend pasar di massa yang akan datang. Keadaan ini terjadi sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman tentang ekonomi hijau (green economic) dan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan. Namun demikian, pengembangan produksi bio-plastik menyimpan tantangan yang berat. Minimal disebabkan oleh dua hal sebagai berikut: 1) produksi bioplastik yang dihasilkan saat ini masih sangat terbatas (sekitar 0,5% dari total market plastik saat

ini) dan hanya 13% merupakan produk bio-plastik biodegradable; 2) rendahnya jumlah bio-plastik di market sebagai konsekuensi dari proses dan biaya produksi yang sulit dan mahal (harga PHAs antara 6–9 US$/Kg, plastik konvensional <1 US$/Kg) (David 2013; Suryamongkol 2007). Kondisi ini membuka ruang dan celah bagi peneliti, dan pihak lain untuk terus berinovasi menciptakan penemuan yang lebih baik dan berguna. Demikian juga bahwa potensi mikroba hutan tropis di Indonesia untuk pemanfatan sebagai agen bioplastik masih sangat sedikit, dan telah menjadi incaran pihak asing yang notabene secara keilmuan dan terknologi mereka lebih menguasai dari kita. Namun perlu dicatat bahwa Indonesia adalah pemilik sumberdaya mikroba yang berlimpah dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian maka ke depan harus dilakukan beberapa langkah penting khususnya untuk mikroba hutan tropis Indonesia sebagai agen PHAs, di antaranya: 1) Screening dan isolasi strain/jenis bakteri baru yang dapat memanfaatkan sumber karbon yang lebih murah, misal bakteri poliester, bakteri sellulosa, bakteria polisakarida, bakteri poli(asam amino); 2) merekayasa strain-strain mikroba melalui aplikasi biomolekuler untuk menciptakan strain yang lebih efisien dalam proses fermentasi dan mendukung penggunaan sumber karbon yang murah; 3) mencari metode baru yang lebih efisien mulai dari metode fermentasi, purifikasi, dan kuantifikasi, begitu juga metode fermentasi dengan memanfaatkan sumber karbon yang baru, melimpah, dan murah.

184 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 202: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

PustakaAgus J, Kahar P, Abe H, Doi Y, & Tsuge

T. (2006). Altered expression of polyhydroxyalkanoate synthase gene and its effect on poly[(R)-3-hydroxybutyrate] synthesis in recombinant Escherichia coli. Polymer Degradation and Stability. 91: 1645–1650.

Akiyama M, Tsuge T, & Doi Y. (2003). Environmental life cycle comparison of polyhydroxyalkanoates produced from renewable carbon resources by bacterial fermentation. Degradation and Stability. 80: 183–194.

Anderson AJ, & Dawes EA. (1990). Occurrence, metabolism, metabolic role, and industrial uses of bacterial polyhydroxyalkanoates. Microbiological Reviews. 54: 450–472.

Angelova N, & Hunkeler D. (1999). Rationalizing the design of polymeric biomaterials. Trends in Biotechnology. 17: 409–421.

Ashby RD, Solaiman DKY, & Foglia TA. (2002). The synthesis of short- and medium-chain-length poly(hydroxyalkanoates) mixtures from glucose or alkanoic acid-grown Pseudomonas oleovorans. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 28:147–153.

Barnes DKA, Galgani F, Thompson RC & Barlaz M. (1998). Accumulation and fragmentation of plastic debris in global environments. Philosophical transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological sciences. 364: 1985–1998.

Borah B, Thakur PS, & Nigam JN. (2002). The influence of nutritional and environmental conditions on the accumulation of polybetahydroxybutyrate in Bacillus mycoides RLJ B-017. Journal of Applied Microbiology. 92: 776–783.

Bormann E, & Roth M. (1999). The production of polyhydroxybutyrate by Methylobacterium rhodesianum and Ralstonia eutropha in media containing glycerol and casein hydrolysates. Biotechnology Letters. 21: 1059–1063.

Brandl H, Gross RA, Lenz RW, & Fuller RC. (1988). Pseudomonas oleovorans as a source of poly(b-hydroxyalkanoates) for potential applications as biodegradable polyesters. Applied and Environmental Microbiology. 54: 1977– 1982.

Brandl H, Gross RA, Lenz RW, & Fuller RC. (1988). Pseudomonas oleovorans as a source of Polyhydroxyalkanotes for potential applications as biodegradable polyesters. Applied Microbiology and Biotechnology. 54: 1977–1982.

Braunegg G, & Bogensberger B. (1985). Zur Kinetik des Wachstums und der Speicherungvon Poly-D(-)-3-hydroxybuttersaure by Alcaligenes latus. Acta Biotechnology. 5: 339–345

Braunegg G, Lefebvre G & Genser KF. (1998). Poly-hydroxyalkanoates, biopolyesters from renewable resources: Physiological and engineering aspects. Journal of Biotechnology. 65: 127–161.

Braunegg G, Sonnleitner B, & Lafferty RM. (1978). A rapid gas chromategraphic method for the determination of poly-n-hydroxybutyric acid in microbial diversity. European Journal of Applied Microbiology and Biotechnology. 6: 29– 37.

Budde CP, Riedel SL, Hübner F, Risch S, Popovic MK, Rha CK, Sinskey AJ. (2011). Growth and polyhydroxybutyrate production by Ralstonia eutropha in emulsified plant oil medium. Applied Microbial & Cell Physiology. 89: 1611–1619.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 185

Page 203: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Byrom D. (1994). Polyhydroxyalkanoates. In Mobley DP. (Eds) Plastics from microbes: microbial synthesis of polymers and polymer precursors. p: 5–33. Munich: Hanse.

Carlozzi P, & Sacchi A. (2001). Biomass production and studies on Rhodop seudomonas palustris grown in an outdoor, temperature controlled, underwater tubular photobioreactor. Journal of Biotechnology. 88: 239–249.

Chee J-Y, Yoga S-S, Lau N-S, Ling S-C, Abed RMM & Sudesh K. 2010 Bacterially Produced Polyhydroxyalkanoate (PHA): Converting Renewable Resources into Bioplastics. In Mendez-Vilas A. (Eds.) Current Research, Technology & Education Topics in Applied Microbiology & Microbial Biotechnology. p: 1395–1404. Formatex Research Center, Spain.

Chen GQ. (2005). Polyhydroxyalkanoates. In Smith R. (Eds.) Biodegradable Polymers for Industrial Applications. p: 32–56. FL: CRC.

Choi I, & Lee SY. (1997). Process analysis and economic evaluation for poly(3- hydroxybutyrate) pro duct ion by fermentation. Bioprocess and Biosystems Engineering. 17: 335–342.

Daniel K, Saul B, Edouard J, & Yaacov O. (2002). Identification and isolation of genes involved in poly(beta-hydroxybutyrate) biosynthesis in Azospirillum brasilense and characterization of a phbC mutant. Applied and Environmental Microbiology. 68: 2943–2949.

Degelau A, Scheper T, Bailey JE, & Guske C. (1995). Fluorometric mea- surement of poly-β-hydroxybutyrate in Alcaligenes eutrophus by flow cytometry and spectrofluorometry. Applied Microbiology and Biotechnology. 42: 653–657.

Doi Y. (1990). Microbial polyesters. New York, VCH.

Doi Y, Segawa A, & Kunioka M. (1990). Biosynthesis and characterization of poly (3-hydroxybutyrate-co-4-hydroxybutyrate) in Alcaligenes eutrophus. International of Journal Biologycal Macromolecules. 12: 106–111.

Eggink G, van der Wal H, Huijberts GNM, & de Waard P. (1993). Oleic acid as a substrate for poly-3-hydroxybutyrate formation in Alcaligenes eutrophus and Pseudomonas putida. Industrial Crops and Products. 1: 157–163.

El-Sayed AA, Abdelhady HM, Abdel Hafez HM, & Khodair TA. (2009). Batch Production of Polyhydroxybutyrate (PHB) by Ralstonia eutropha and Alcaligenes latus using bioreactor different culture strategies. Journal of Applied Sciences Research. 5: 556–564.

Falvo A, Levantesi C, Rossetti S, Seviour RJ, & Tandoi V. (2001). Synthesis of intracellular storage polymers by Amaricoccus kaplicensis, a tetrad forming bacterium present in activated sludge Journal of Applied Microbiology. 91: 299–305.

Fidler S, Dennis D. (1992). Polyhydroxyalkanoate production in recombinant Escherichia coli. FEMS Microbiology Letters. 103: 231–236.

Findlay RH, & White DC. (1983). Polymeric beta-hydroxyalkanoates from environmental samples and Bacillus megaterium. Applied and Environmental Microbiology. 45: 71–78.

Forsyth WGC, Hayward AC, & Roberts JB. (1958). Occurrence of poly-β -hydroxybutyric acid in aerobic Gram-negative bacteria. Nature. 182: 800–801.

186 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 204: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Fuechtenbusch, B., & Steinbuechel, A. (1999). Biosynthesis of polyhydroxyalka- noates from low rank coal liquefaction products by Pseudomonas oleovorans. Applied Microbiology and Biotechnology. 52: 91–95.

Fukui T, & Doi Y. (1998). Efficient production of polyhydroxyalkanoates from plant oils by Alcaligenes eutrophus and its recombinant strain. Applied Microbiology and Biotechnology. 49: 333–336.

Gorenflo V, Steinbuchel A, Marose S, Riesberg M, & Scheper T. (1999). Quantification of bacterial polyhydroxyalkanoic acids by Nile Red staining. Applied Microbiology and Biotechnology. 51: 765–772.

Grothe E, Moo-Young M, & Chisti Y. (1999). Fermentation optimization for the production of poly(b-hydroxybutyric acid) microbial thermoplastic. Enzyme and Microbiology Technology. 25: 132–341.

Guo-Qiang C, Jun X, Qiong W, Zengming Z, & Kwok-Ping H. (2001). Synthesis of copolyesters consisting of medium-chain-length b- hydroxyalkanoates by Pseudomonas stutzeri 1317. Reactive and Functional Polymers. 48: 107–112.

Ha CS, & Cho WJ. 2002. Miscibility, properties, and biodegradability of microbial polyester containing blends. Progress in Polymer Science. 27: 759–809.

Hahn SK, Chang YK, & Lee SY. (1995). Recovery and characterization of poly(3-hydroxybutyric acid) synthesized in Alcaligenes eutrophus and recombinant Escherichia coli. Applied and Environmental Microbiology. 61: 34–39.

Hashimoto K, Tsuboi H, Iwasaki S, & Shirai Y. (1993). Effect of pH on the production of poly-β-hydroxybutyrate b y p h o t o s y n t h e t i c b a c t e r i u m , Rhodospirillum rubrum. Journal of Chemical Engineering of Japan. 26: 56–58.

Hassan MA, Shirai Y, Kubota A, Abdul Karim MI, Nakanishi K, & Hashimoto K. (1998). Effect of oligosaccharides on glucose consumption by Rhodobacter sphaeroides in polyhydroxyalkanoate production from enzymatically treated crude sago starch. Journal of Fermentation and Bioengineering. 86: 57–61.

Hassan MA, Shirai Y, Kusubayashi N, Karim, MIA, Nakanishi K, & Hashimoto K. (1977). The production of polyhydroxyalkanoate from anaerobically treated palm oil mill effluent by Rhodobacter sphaeroides. Journal of Fermentation and Bioengineering. 83: 485–488.

Hassan MA, Shirai Y, Kusubayashi N, Karim MIA, Nakanishi K, & Hashimoto K. (1996). Effect of organic acid profiles during anaerobic treatment of palm oil mill effluent on the production of polyhydroxyalkanoates by Rhodobacter sphaeroides. Journal of Fermentation and Bioengineering. 82: 151–156.

Hesselmann RPX, Fleischmann T, Hany R, & Zehnder AJB. (1999). Determination of polyhydroxyalkanoates in activated sludge by ion chromatographic and enzymatic methods. Journal of Microbiology Methods. 35: 111–119.

Hocking PJ, & Marchessault RH. (1994). Biopolyesters. In Griffin GL. (Eds). C h e m i s t r y a n d Te c h n o l o g y o f Biodegradable Polymers. p: 48–96. Blackie Academic & Professional.

Horowitz D, & Brennan E. (2001) Methods for separation and purification of biopolymers, U.S. Patent 20.010.006.802.

Hrabak O. (1992). Industrial production of Poly-β-hydroxybutyrate. FEMS Microboiogy Letters. 103: 251–256.

Huang JX, Wang R, Qin HM. (1999). Fermentation conditions for producing poly-beta-hydroxybutyric acid by strain Z5-GII. Ind Microbiol. 29: 20–24.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 187

Page 205: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Jacquel N, Lo C-W, Wei Y-H, Wu H-S, Wang SS. (2008). Review : Isolation and purification of bacterial poly(3-hydroxyalkanoates). Biochemical Engineering Journal. 39: 15–27.

Jau MH, Yew SP, Toh PSY, Chong ASC, Chu WL, Phang SM, Najimudin N, & Sudesh K. (2005). Biosynthesis and mobilization of poly(3-hydroxybutyrate) [P(3HB)] by Spirulina platensis. International Journal of Biological Macromolecules. 36: 144–151.

Jendrossek D, & Handrick R. (2002) Microbial degradation of polyhydroxyalkanoates. Annual Review of Microbiology. 56: 403– 432.

Jensen TE, & Sicko LM. (1971). Fine structure of poly-β-hydroxybutyric acid granules in a blue-green alga, Chlorogloea fritschii. Journal of Bacteriology. 106: 683–686.

Jung IL, Phyo KH, Kim KC, Park HK, & Kim IG. (2005) Spontaneous liberation of intracellular polyhydroxy-butyrate granules in Escherichia coli. Research in Microbiology. 156: 865– 873.

Karr DB, Waters JK, & Emerich DW. (1983). Analysis of poly-b-hydroxy-butyrate in Rhizobium japonicum bacteroids by ion-exclusion high-pressure liquid chromatography and UV detection. Applied and Environmental Microbiology. 46: 1339–1344.

Kellerhals MB, Kessler B, Witholt B, Tchouboukov A, & Brandl H. (2000). Renewable long-chain fatty acids for production of biodegradable medium-chain-length polyhydroxyalkanoates (mcl-PHAs) at laboratory and pilot plant scales. Macromolecules,. 33: 4690-4698.

Ke s h a v a r z T, & R o y I . ( 2 0 1 0 ) . Polyhydroxyalkanoates: bioplastics with a green agenda. Current opinion in Mircobilogy. 13: 321–326.

Khanna S, & Srivastava AK. (2005). R e c e n t a d v a n c e s i n m i c ro b i a l p o l y h y d ro x y a l k a n o a t e s . P ro c e s s Biochemistry. 40: 607–619.

Kim BS, Lee SC, Lee SY, Chang NH, Chang YK, & Woo SI. (1994). Production of poly (3- hydroxybutyric acid) by fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with glucose concentration control. Biotechnology and Bioengineering. 43: 892–898.

Kim BS, Lee SY, & Chang HN. (1992). Production of poly-beta-hydroxy- butyrate by fed-batch culture of recombinant Escherichia coli. Biotechnology Letters. 14: 811–816.

Kim YB, & Lenz RW. (2001). Polyesters from microorganisms. Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. 71: 51–79.

Kobayashi G, Tanaka K, Itoh H, Tsuge T, Sonomoto K, Ishikazi A. (2000). Fermentative production of P(HB-co-3HV) from propionic acid by Alcaligenes eutrophus in fed-batch culture with pH-stat continuous substrate feeding method. Biotechnology Letters. 22:1067–1069.

Kresnawati I, Prakoso HT, Eris DD, Mulyatni AS. (2014). Penapisan bakteri penghasil bioplastik polihidroksi alkanoat dari tanah tempat pembuangan sampah dan limbah cair pabrik kelapa sawit. Menara Perkebunan. 82: 25–31.

Kunioka M, Kawaguchi Y, & Doi Y. (1989). Production of biodegradable copolyesters of 3-hydroxybutyrate and 4-hydroxybutyrate by Alcaligenes eutrophus. Applied Microbiology and Biotechnology. 30: 569–573.

Labuzek S, & Radecka I. (2001). Biosynthesis of PHB tercopolymer by Bacillus cereus UW85. Journal of Applied Microbiology. 90: 353–357.

188 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 206: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Lauzier CA, Monasterios CJ, Saracovan I, Marchessault RH, & Ramsay BA. (1993). Film formation and paper coating with poly(ß-hydroxyalkanoate), a biodegradable latex. Tappi Journal. 76: 71–77.

Law JH, & Slepecky RA. (1961) Assay of poly- ß -hydroxybutyric acid. Journal of Bacteriology. 82: 33–36.

Lee MY, Park WH, & Lenz RW. (2000). Hydrophilic bacterial polyesters modified with pendant hydroxyl groups. Polymer. 41: 1703–1709.

Lee SY. (1995). Bacterial polyhydroxyalkanoates. Biotechnology and Bioengineering. 49: 1–14.

Lee SY, & Choi J. (1999). Production and degradation of polyhydroxyalkanoates in waste environment. Waste Management. 19: 133–139.

Lemoigne M. (1926). Products of dehydration and of polymerization of ß-hydroxybutyric acid. Bull Soc Chem Biol. 8: 770–82.

Lemos PC, Serafim LS, & Reis MAM. (2006) Synthesis of polyhydroxyalkanoates from different short-chain fatty acids by mixed cultures submitted to aerobic dynamic feeding. Journal of Biotechnology. 122: 226–238.

Linko S, & Vaheri HJS. (1993). Production poly-ß-hydroxybutyrate on lactic acid by Alcaligenes eutrophus H16 in a 3-l bioreactor. Enzyme and Microbial Technology. 15: 401–406.

Liu F, Li W, Ridgway D, & Gu T. (1998). Production of poly-beta- hydroxybutyrate on molasses by recombinant Escherichia coli. Biotechnology Letters. 20: 345–8.

Luengo JM, Garcı a B, Sandoval A, Naharro G, & Olivera, E.R. (2003). Bioplastics from microorganisms. Current Opinion in Microbiology. 6: 251–260.

Luzier WD. (1992). Materials derived from biomass biodegradable materials. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America.

Madison LL, & Huisman GW. (1999) Metabolic engineering of poly (3-hydroalkanoates): from DNA to plastic. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 63: 21–53.

Miyake M, Erata M, &Asada Y. (1996). A thermophillic cyanobac- terium, Synechococcus sp. MA19, capable of accumulating poly-ß-hydroxybutyrate. J o u r n a l o f Fe r m e n t a t i o n a n d Bioengineering. 82: 512–514.

Nishioka M, Nakai K, Miyake M, Asada Y, & Taya M. (2001). Production of poly-beta-hydroxybutyrate by thermophillic cyanobacter ium, Syne-cho co ccus sp. MA19, under phosphate-limited conditions. Biotechnology Letters. 23: 1095–1099.

North EJ, Halden RU. (2013). Plastics and Environmental Health: The Road Ahead. Reviews on Environmental Health. 28: 1–8.

Ostafin M, Haber J , Doronina NV, Sokolov AP, & Trotsenko YA. (1999). Methylobacterium extroquens strain P14, a new methylotrophic bacteria producing poly-beta-hydroxybutyrate (PHB). Acta Microbiologica Polonica. 48: 39–51.

Palleroni N J & Palleroni A. (1978). Alcaligenes latus, a new species of hydrogen-utilizing bacteria. Intional Journal of Systematic Bacteriology. 28: 416–424.

Park SJ, Ahn WS, Green PR, & Lee SY. (2001). Biosynthesis of poly(3- hydroxybutyrate-co-3-hydroxyvalerate-co-3-hydroxyhexanoate) by metabolically engineered Escherichia coli. Biotechnology and Bioengineering. 74: 81–86.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 189

Page 207: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Patwardhan PR, & Srivastava AK. (2004). Model-based fed-batch cultivation of R. eutropha for enhanced biopolymer production. Biochemical Engineering Journal. 20: 21–28.

Pettinari MJ, Vazquez GJ, Silberschmidt D, Rehm B, Steinbuechel A, & Mendez BS. (2001). Poly(3-hydroxybutyrate) synthesis genes in Azoto- bacter sp. strain FA8. Applied and Environmental Microbiology. 67: 5331–5334.

Philip S, Keshavarz T, & Roy I. (2007). Polyhydroxyalkanoates: biodegradable polymers with a range of applications. Journal of Chemical Technology and Biotechnology. 82: 233–247.

Plumeier I, Danilo P-R, Sabina H, Bernardo G & Pieper DH. (2002). Importance of different tfd genes for degradation of chloroaromatics by Ralstonia eutropha JMP134. Journal of Biotechnology. 15: 4054–4064.

Qi Q, & Rehm BHA. (2001). Polyhydroxybutyrate biosynthesis in Caulobacter crescentus: molecular characterization of the p o l y h y d r o x y b u t y r a t e - s y n t h a s e . Microbiology. 147: 3353–3358.

Ramachander TVN, Rohini D, Belhekar A, & Rawal SK. (2002). Synthesis of PHB by recombinant E. coli harboring an approximately 5kb genomic DNA fragment from Streptomyces aureofaciens NRRL 2209. International Journal of Biological Macromolecules. 31: 63–69.

Rehm BH. (2003). Polyester synthases: natural catalysts for plastics. The Biochemical Journal. 376. 15–33.

Riis V, & Mai W. (1988). Gas chromatographic determination of poly- n-hydroxybutyric acid in microbial biomass after hydrochloric propanolysis. Journal of Chromatography. 445: 285–289.

Saharan BS, Ankita & Sharma D. (2012). Bioplastics-For Sustainable Development: A Review. International Journal of Microbial Resource Technology. 1: 11–23.

Saito Y, Nakamura S, Hiramitsu M, & Doi Y. (1996). Microbial synthesis and properties of poly(3-hydroxybutyrate-co-4-hydroxybutyrate). Polymer International. 39: 169–174.

Salehizadeh H, & Van Loosdrecht MCM. (2004). Production of polyhydroxyalkanoates by mixed culture: recent trends and biotechnological importance. Biotechnology Advance. 22: 261–279.

Scott G. (2000). ‘Green’ polymers. Polymer Degradation and Stability. 68: 1–7.

Sepulveda-Torres LC, Rajendran N, Dybas MJ, & Criddle CS. (1999). Generation and initial characterization of  Pseudomonas stutzeri KC mutants with impaired ability to degrade carbon tetrachloride. Archives of Microbiology. 171: 424–429.

Singleton P. (1999).  Bacteria in Biology, Biotechnology and Medicine (5th ed.). p: 444–454. Wiley.

Song C, Zhao L, Ono S, Shimasaki C, & Inoue M. (2001). Production of poly(3-hydroxybutyrate-co-3-hydroxyvalerate) from cottonseed oil and valeric acid in batch culture of Ralstonia sp. strain JC-64. Applied Biochemical and Biotechnology. 94: 169–178.

Song S, Hein S, & Steinbuechel A. (1999). Production of poly(4-hydroxy- butyric acid) by fed-batch cultures of recombinant strains of Escherichia coli. Biotechnology Letters. 21: 193–197.

Steinbüchel A. (2001). Perspectives for biotechnological production and utilization of biopolymers: Metabolic engineering of polyhydroxyalkanoate biosynthesis pathways as a successful example. Macromolecular Bioscience. 1: 1–24.

190 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 208: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Steinbüchel A, & Fuchstenbusch B. (1998). Bacterial and other biological systems for polyester production. Trends in Biotechnology. 16: 419–427.

Steinbüchel A, & Schlegel HG. (1991). Physiology and molecular genetics of poly(β-hydroxyalkanoic acid) synthesis in Alcaligenes eutrophus. Molecular Microbiology. 5: 535–542.

Steinbüchel A, & Valentin HE. (1995). Diversity of bacterial polyhydroxyalkanoic acids. FEMS Microbiology Letters. 128: 219–228.

Sugiarto D. (2014). Daftar Harga Sembako Juni 2014 Seminggu Menjelang Puasa. http://kabarsembako.blogspot.com/2014/06/d a f t a r - h a rg a - s e m b a k o - j u n i - 2 0 1 4 -seminggu.html. Diakses tanggal 10 Juli 2014.

USDA. (2014). U.S. wholesale list price for glucose syrup, Midwest markets, monthly, quarterly, and by calendar and fiscal year. http://www.ers.usda.gov/data-products/sugar-and-sweeteners-yearbook-tables.aspx#.U74T_I2Swbg. Diakses 10 Juli 2014.

Valentin HE, & Dennis D. (1997). Production o f p o l y ( 3 - h y d ro x y b u t y ra t e - c o - 4 - hydroxybutyrate) in recombinant Escherichia coli grown on glucose. Journal of Biotechnology. 58: 33–38.

van Niel WJ, Robertson LA, & Kuenen JG. (1995). Rapid short-term poly-b-hydroxybutyrate production by Thiosphaera pantotropha in the presence of excess acetate. Enzyme and Microbial Technology. 17: 977–982.

Verlinden AJ, Hill DJ, Kenward MA, Williams CD, & Radecka I. (2007). Review Article: Bacterial synthesis of biodegradable polyhydroxyalkanoates R. Journal of Applied Microbiology. 102: 1437–1449.

Wallen LL, & Rohwedder WK. (1974). Poly-b-hydroxyalkanoate from activated sludge. Environmental Science and Technology. 8: 576–579.

Wang F, Lee SY. (1997). Poly(3-hydroxybutyrate) production with high productivity and high polymer content by a fed-batch culture of Alcaligenes latus under nitrogen limitation. Applied and Environmental Microbiology. 63: 3703–3706.

Wang J, & Yu J. (2001). Kinetic analysis on formation of poly(3-hydroxy- butyrate) from acetic acid by Ralstonia eutropha under chemically defined conditions. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 26: 121–126.

Weiner RM. (1997). Biopolymers from marine prokaryotes. Trends in Biotechnology. 15: 390–427.

Wilde E. (1962). Untersuchungen über Wachstum und Speicherstoffsynthese von Hydrogenomonas eutropha. Archiv für Mikrobiologie. 43: 109–137.

Williams SF, & Martin DP. (2005). Applications of PHAs in medicine and pharmacy. In Steinbu chel A. (Eds) Biopolymer Online. P: 91–127. Weinheim: Wiley/VCH.

Williamson DH, & Wilkinson JF. (1958). The isolation and estimation of the poly-β-hydroxy-butyrate inclusions of Bacillus species. Journal of General Microbiology. 19:198-209.

Withol t B, & Kess ler B. (1999) . Perspectives of medium chain lengt poly(hydroxyalkanoates), a versatile set of bacterial bioplastics. Current Opinion in Biotechnology. 10: 279–285.

Wu GF, Wu QY, & Shen ZY. (2001). Accumulation of poly-beta-hydroxy- butyrate in cyanobacterium Synechocystis sp. PCC6803. Bioresource Technology. 76: 85–90.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 191

Page 209: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Yamane T, Fukunage M, Lee YW. (1996). Increased PHB productivity by high cell density fed batch culture of Alcaligens latus a growth associated PHB producer. Biotechnology and Bioengineering. 50: 197–202.

Yanti NA. (2013). Produksi bioplastik poli-beta-hidroksibutirat oleh bakteri amilolitik yang diisolasi dari tepung sagu basah menggunakan berbagai macam substrat pati. Kongres XV dan Seminar Nasional Perhimpunan Biologi Indonesia (31 Agustus–1 September 2013), Purwekerto.

Yogesh C, Pathak B, & Fulekar MH. (2012). Review paper: PHA Production Application and its Bioremediation in Environment I Research Journal of Environment Sciences. 1: 46–52.

Yu H, Shi Y, Zhang Y, Yang S, & Shen Z. (2002) Effect of Vitreosci l la hemoglobin biosynthesis in Escherichia coli on production of poly(b-hydroxybutyrate) and fermentative parameters. FEMS Microbiology Letters. 214. 223–227.

Zinn M, Witholtb B, & Eglia T. (2001). O c c u r r e n c e , s y n t h e s i s a n d medical appl icat ion of bacterial polyhydroxyalkanoate. Advance Drug Delivery Reviews. 53: 5–21.

192 • BIO-PLASTIK, POLYHYDROXYALKANOATES (PAHs); MUNGKINKAH MIKROBA SEBAGAI AGEN PRODUSEN?

Page 210: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

bab 8 PENUTUP

Kekayaan sumber daya alam Indonesia,

lebih khususnya Hutan Hujan Tropis memiliki keanekaragaman hayati (Kehati) yang sangat

luar biasa tinggi, terbentang dari mulai tegakan pohon sampai dengan beragam

mikroba yang secara kasat mata tidak nampak. Hutan Tropis Indonesia adalah suatu ekosistem hutan yang khas memiliki kualitas

makhluk hidup dengan tingkat biodiversitas sangat tinggi, tetapi secara kuantitas jumlah populasi per individunya sangat rendah dan

rentan.

Page 211: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut
Page 212: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut

Kondisi kuantitas populasi makhluk hidup yang rendah ini menyebabkan satu spesies biologi cenderung rentan dan mudah punah, maka bukan tidak mungkin satu spesies lebih mudah untuk masuk dalam situasi spesies langka. Namun manfaat Kehati tersebut masih terabaikan dan masih menyisakan banyak potensi yang perlu harus digali. Sejak awal tahun 1970-an, fokus pemanfaatan sumber daya alam hutan berorientasi pada kegiatan ekspoitasi kayu “crown of the forest” telah menyebabkan ancaman dan tekanan akan kelestarian Kehati di mana kondisi lingkungan menjadi buruk. Dampak dan efek yang secara langsung terlihat adalah tingginya acaman kebakaran hutan, konversi hutan menjadi areal pertanian, perkebunan, dan infrastruktur jalan, serta meningkatnya illegal logging, serta biopiracy.

Contoh kecil atas Kehati yang masih tersimpan adalah mikroba hutan tropis Indonesia, salah satu sumber bioresources yang sangat menjanjikan. Namun bioresources mikroba hutan tersebut akan hilang seiring dengan meningkatkannya kerusakan kondisi ekosistem hutan, sinergisme komunitas mikroba, dan pohon menjadi tidak terbentuk. Dengan demikian, mikroba sebagai faktor penting dalam Kehati yang berfungsi untuk menjaga, memperbaiki, dan menyeimbangkan kondisi lingkungan menjadi tidak terjadi. Oleh karena itu, perlu usaha yang serius agar manfaat dan fungi mikroba dapat tetap terjaga dan termanfaatkan secara maksimal. Salah satunya dengan cara mengkoleksi, mereservasi, menjaga, melindungi dan memanfaatkan secara maksimal menuju pembangunan ekonomi hijau. Mengapa demikian?, sejalan dengan perkembangan Iptek, manfaat, peran dan fungsi mikroba dapat diaplikasikan dengan maksimal baik dari segi nilai ekonomi ataupun perannya terhadap lingkungan.

Beberapa manfaat (bioprospek) mikroba hutan yang diuraikan secara jelas dalam setiap bab dalam buku ini, meliputi: 1) gambaran umum mikroba hutan tropis, 2) aplikasi untuk bio-induksi, memicu proses biosintesis tanaman dalam membentuk gaharu sehingga ketidakpastian produk gaharu alam dapat diatasi, 3) aplikasi untuk bio-healthy, sumber obat-obatan, 4) aplikasi untuk bio-food-security, sumber pangan alternatif, 5) bio-fertilizer, pemicu pertumbuhan tanaman hutan, bakteri penambah nigrogen, fungi mikroza, dan 6) bio-plastik, fermentasi sumber bahan baku plastik yang mudah terurai. Menilik fungsi mikroba yang diuraikan dalam buku ini sangat spesifik dan beragam, serta mikroba selalu menyimpan sesuatu yang perlu diungkap lebih detail dan mendalam oleh para periset. Dengan penguasaan teknologi mikroba yang ada saat ini, aplikasi mikroba lokal Indonesia perlu terus digali dan diteliti agar fungsinya dalam mempertahankan dan meningkatkan kelesatarian hutan, kesehatan, energi dan lingkungan untuk berbagai tujuan bagi kemaslahatan umat di muka bumi harus terus ditingkatkan. Usaha mengoleksi dan mereservasi mikroba hutan tropik potensial yang dilakukan oleh Indonesian Tropical Forest – Culture Collection (INTROF-CC) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah langkah maju dan tepat untuk terus didukung dan ditingkatkan melalui riset yang lebih terfokus dengan melibatkan berbagai displin keilmuan.

Bioprospek Mikroba Hutan Tropis Indonesia • 195

Page 213: Hutan Tropis Indonesia - Puslitbang Hut