HUTAN JATI - forda-mof.org · bagian penting dari hasil kajian ini. Dengan mengadopsi aspek...
Transcript of HUTAN JATI - forda-mof.org · bagian penting dari hasil kajian ini. Dengan mengadopsi aspek...
HUTAN JATI
TEMPAT TUMBUH, HASIL AIR, DAN SEDIMEN
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran
hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
TYAS MUTIARA BASUKI
IRFAN BUDI PRAMONO
HUTAN JATI
TEMPAT TUMBUH, HASIL AIR, DAN SEDIMEN
UNS PRESS
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
HUTAN JATI TEMPAT TUMBUH, HASIL AIR, DAN SEDIMEN
Hak Cipta @ Tyas Mutiara Basuki dan Irfan Budi Pramono, 2017
Penulis: Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
Editor: Prof. Dr.Ir. Putu Sudira, MSc Prof. Dr. Ir. Purwanto Hadi, MS Foto Sampul:
Tyas Mutiara Basuki Desain:
Lathif Brahmantyo Penerbit & Pencetak
Penerbitan & Pencetakan UNS (Anggota IKAPI) Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271 7890628 Website: www.unspress.uns.ac.id Email: [email protected]
Cetakan 1, Edisi I, Oktober 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved
Dicetak: Anggaran Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan DAS
ISBN: 978 – 602 – 397 – 147 – 3
v
PRAKATA
Banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim
kemarau setiap tahun hampir selalu menjadi masalah bagi
masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa. Banjir dan
kekeringan selalu dikaitkan dengan keberadaan hutan,
sementara areal hutan semakin menyusut. Faktor
penentu terjadinya banjir bukanlah faktor tunggal yakni
penutupan lahan yang dalam hal ini selalu dikaitkan
dengan keberadaan hutan, namun faktor penutupan lahan
inilah yang merupakan faktor yang dapat dikontrol oleh
pengelola. Hutan di Jawa hanya menempati 18% dari luas
pulau, dan didominasi oleh hutan tanaman jati. Oleh
karena itu keberadaan hutan jati penting untuk
dipertahankan. Kelestarian hutan tanaman jati harus
mendapat perhatian yang serius baik dari segi
kelangsungan aspek produksi, ekonomi dan sosial,
maupun dari aspek lingkungan terutama dalam tata air
DAS yang meliputi hasil air dan sedimen.
Dalam kaitan hutan dan banjir, selama ini
masyarakat selalu beranggapan bahwa masalah banjir
selalu dapat diatasi dengan penanaman tanaman kayu-
kayuan atau tahunan melalui reboisasi maupun perluasan
areal penghijauan. Namun kenyatannya pada kejadian
hujan yang ekstrim hutan sudah tidak mampu untuk
mengendalikan banjir yang terjadi. Hal demikian
disebabkan terjadinya banjir, frekwensi, maupun besar
tidaknya banjir yang terjadi merupakan akibat interaksi
faktor alami yang sulit dikendalikan dan faktor
managemen yaitu pengelolaan penutupan lahan. Faktor
alami penyebab banjir ataupun hasil air DAS secara umum
vi
meliputi karakteristik hujan, tingkat infiltrasi tanah,
penutupan lahan, morfometri DAS, maupun tingkat
kelembaban tanah.
Tata air DAS tidak saja menyangkut hasil air, debit
banjir, maupun aliran rendah, namun juga terkait
sedimen terlarut dalam air sungai. Untuk dapat mencegah
ataupun menanggulangi masalah sedimen di areal DAS
berhutan jati, maka perlu dicari sumber-sumber sedimen
serta kondisi tanah tempat tumbuh jati serta sifat tegakan
jati itu sendiri.
Penulisan buku “HUTAN JATI: Tempat tumbuh,
Hasil Air, dan Sedimen” didasarkan kepada masih
kurangnya karya tulis yang tertuang dalam bentuk artikel
yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah, buku ilmiah,
maupun artikel-artikel lain dalam bentuk semi ilmiah
maupun populer yang menyajikan dan membahas tentang
tata air DAS yang ditanami hutan tanaman jati agar
pembaca atau masyarakat mengetahui sampai sejauh
mana hutan jati berperanan dalam menanggulangi
puncak-puncak debit atau banjir, dan tata air lainnya.
Penulisan buku ini ditujukan untuk para akademisi,
peneliti, mahasiswa, dan pengambil kebijakan yang
terkait dengan pengelolaan DAS.
Dalam buku ini disampaikan informasi kondisi
biofisik tempat tumbuh dan sifat pohon jati yang unik
dalam kaitannya dengan tata air DAS berhutan jati.
Selanjutnya disampaikan hasil air dari DAS/sub DAS yang
berkaitan dengan debit bulanan, tahunan, aliran rendah,
respon hidrologi sub DAS berhutan jati terhadap hujan
yang termasuk ekstrim maupun fluktuasi air tanah. Selain
itu, disajikan dan dibahas sumber-sumber sedimen yang
berasal dari erosi pada lahan di daratan dan juga pada
tebing-tebing sungai, serta tindakan-tindakan konservasi
tanah dan air untuk mencegah dan menanggulangi erosi
sebagai sumber sedimen.
vii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan buku ini. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun untuk penyempurnaan buku ini
sangat diharapkan.
Surakarta, Oktober 2017
Penulis
viii
SAMBUTAN
KEPALA BALAI PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PENGELOLAAN DAS
Kegagalan menangkap pemahaman peran jati secara utuh, akan berimplikasi serius terhadap kegagalan mengelola hutan jati secara holistik. Berabad-abad lamanya, jati dipandang hanya sebagai komoditas kayu yang istimewa, yang bermakna produksi dan komersial. Akibatnya hutan jati terjebak menjadi obyek penambangan kayu (timber extraction) atau paling tinggi berada pada level pengelolaan kayunya (timber management). Buku ini menemukan titik pentingnya karena mencoba melihat peran jati dari aspek lingkungannya, terutama hasil air dan tingkat sedimentasinya. Luas penutupan jati adalah salah satu aspek yang berpengaruh terhadap air, baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitasnya.
Perspektif Daerah Aliran Sungai (DAS), juga adalah bagian penting dari hasil kajian ini. Dengan mengadopsi aspek lingkungan serta perspektif DAS dalam membedah hutan jati, maka diharapkan manajemen yang lebih holistik akan bisa ditemukan, dan paradagima Teak Ecosystem Management bisa diterapkan. Dengan paradigma ini, maka pengelolaan hutan jati meniscayakan penekanan pada tanggung jawab penjagaan lingkungan. Tentu saja tidak haram dan baik, bila juga masih menargetkan tingkat produktivitas dan keuntungan finansial, tapi aspek lingkungan tetap menjadi basis penting. Apalagi melihat trend beban tekanan lingkungan yang semakin berat akibat melemahnya daya dukung dan daya tampung DAS.
ix
Buku “Hutan Jati: Tempat Tumbuh, Hasil Air, dan Sedimen” merupakan salah satu bentuk sumbangsih dari peneliti kepada para pengguna di bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Saat ini, masih sedikit penelitian dan publikasi tentang peran hutan jati dalam mengatur tata air DAS, sementara sudah banyak penelitian yang telah dilakukan dalam bidang silvikultur, sosial-ekonomi hutan jati yang telah dilakukan dan dipublikasikan. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) yang mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi untuk melakukan kegiatan penelitian dibidang pengelolaan DAS bermaksud memberikan kontribusi dalam aspek tata air DAS dalam pengelolaan hutan jati.
Isi buku ini sangat informatif dan memadai karena mencakup kondisi biofisik persyaratan tumbuh jati dan tempat tumbuh tegakan jati yang umum dijumpai di Jawa, hasil air DAS, puncak-puncak debit/banjir, aliran pada musim kemarau atau aliran rendah, serta sedimen terlarut beserta sumber-sumbernya. Penulis juga menyajikan beberapa alternatif penerapan teknik konservasi tanah dan air.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada editor buku yaitu Prof. Dr.Ir. Putu Sudira, MSc dan Prof. Dr. Ir. Purwanto Hadi, MS sebagai editor yang telah memberikan saran-saran yang bersifat substantif maupun teknis. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada berbagai pihak yang membantu dalam terlaksananya penelitian dan penyusunan buku ini. Penghargaan disampaikan kepada peneliti yang telah berhasil menyusun buku ini guna penyebarluasan informasi dan teknologi yang telah dihasilkan oleh BPPTPDAS.
Surakarta, Oktober 2017
Kepala Balai,
Dr. Nur Sumedi, SPi., MP.
x
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah segala puji dan syukur, kami
panjatkan ke hadirat Allah Subhanalahuwata’ala atas
tersusunnya buku “Hutan Jati: Tempat Tumbuh, Hasil Air,
dan Sedimen”. Terlaksananya penyusunan buku ini
berkat perkenan Allah Subhanalahuwata’ala, bantuan dan
dukungan dari pihak struktural dan fungsional, baik yang
ada di kantor maupun di lapangan. Untuk itu pada
kesempatan ini disampaikan ucapan terimakasih kepada:
- Dr. Nur Sumedi, SPi, MP selaku Kepala BPPTPDAS
Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan
buku ini.
- Semua jajaran di Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu
atas bantuan yang diberikan.
- Prof. Dr. Ir. Putu Sudira, MSc dan Prof. Dr. Purwanto
Hadi, MS sebagai editor yang telah memberikan saran
yang konstruktif untuk perbaikan buku ini.
- Ir. Salamah Retnowati, MSi selaku Kepala Seksi Data,
Informasi, dan Kerjasama beserta Sdr. Agung B.
Kwadto, Upik Pramuningdiyani, S.Kom., Tri Hastuti
Swandayani, S.Kom., MSi yang membantu administrasi
untuk penerbitan buku.
- Kepada rekan-rekan peneliti yang telah memberikan
saran-saran substansi dan teknis dalam diskusi
bersama. Terimakasih kepada Dr.Ir. Endang Savitri,
MSc, Dr. Agung Budi Supangat, S.Hut, MT., Ir. Purwanto,
MSi; Agung W. Nugraha, S.Hut, MSi; Ir. Syahrul Donie,
MSi, Dr. Ir. Dewi Retno Indrawati, MSi, Dr. Ir. Nining
Wahyuningrum, MSc., Pamungkas Buana Putra, S.Hut,
MSc; Drs. Rahardyan Nugraha Adi, MSi.
- Lathif Brahmantya yang membantu dalam desain
sampul, pengambilan foto, ilustrasi gambar dan aspek
teknis lain, Edi Sulasmiko dalam pengarsipan data,
xi
para pengamat di stasiun pengamat arus sungai dan
stasiun hujan.
- Rekan-rekan peneliti dan teknisi di Kelompok Peneliti
Hidrologi yang telah memberikan bantuan secara
langsung maupun tidak langsung.
- Rekan-rekan di bagian Perencanaan & Evaluasi,
Peralatan & Laboratorium, Keuangan, Tata Usaha, dan
seluruh karyawan dan karyawati yang ada di
BPPTPDAS.
xii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
SAMBUTAN viii
UCAPAN TERIMAKASIH x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
I. PENDAHULUAN 1
II. MORFOLOGI DAN BIOFISIK TEMPAT TUMBUH JATI 5
2.1. Morfologi Pohon Jati 5
2.2. Tempat Tumbuh Jati 9
2.3. Tumbuhan di Bawah Tegakan Jati 19
III. SIKLUS DAN HASIL AIR 27
3.1 Siklus Air 27
3.2 Hasil Air Daerah Aliran Sungai dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 28
IV. PENGUKURAN INPUT DAN HASIL AIR, SERTA
SEDIMEN 37
4.1. Curah Hujan 37
4.2. Pengukuran Hasil Air DAS/sub DAS 40
4.3. Pengukuran Sedimen Terlarut 45
V. HASIL AIR SUB DAS BERHUTAN JATI 49
5.1. Debit Bulanan dan Tahunan 49
5.2. Aliran Rendah dan Fluktuasi Air Tanah 53
5.3. Puncak Banjir dan Koefisien Aliran 54
5.4. Koefisien aliran 59
xiii
VI. SEDIMEN TERLARUT SUB DAS BERHUTAN JATI 63
6.1 Sumber-sumber Sedimen 63
6.2. Sedimen Terlarut pada Sub DAS Berhuta Jati 69
6.3. Hubungan Sedimen dengan Curah Hujan 76
6.4. Pencegahan dan Penanggulangan Sedimen 77
VII. PENUTUP 81
DAFTAR PUSTAKA 84
INDEKS 95
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil analisis tanah di bawah hutan tanaman
jati di KPH Pati 16
Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jati
(Tectona grandis) 17
Tabel 3. Jenis tumbuhan bawah hutan jati pada
beberapa sub DAS di KPH Cepu 23
Tabel 4. Laju infiltrasi pada berbagai kelas umur
tegakan jati di BKPH Subah, KPH Kendal 31
Tabel 5. Morfometri Sub-DAS Modang dan Cemoro 34
Tabel 6. Persamaan regresi debit (Discharge rating
curve) untuk mengkonversi TMA menjadi
debit 44
Tabel 7. Persamaan regresi sedimen (Sediment rating
curve) untuk menghitung sedimen terlarut 47
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Batang jati muda (a) dan jati tua dengan ....... 5
Gambar 2. Akar pohon jati ......................................................... 6
Gambar 3. Anakan jati dengan tangkai daun pendek dan
daun duduk berselingberhadapan (a), daun
muda berwarna coklat kemerahan (b) ........... 7
Gambar 4. Daun jati dari arah depan (a), punggung (b),
dan bulu-bulu halus pada daun ......................... 8
Gambar 5. Pohon jati yang berbunga .................................... 8
Gambar 6. Buah jati yang masih segar di Kab. Blora
(a), dan yang sudah kering dari pulau
Moyo, Kab. Sumbawa (b) ...................................... 9
Gambar 7. Profil tanah berbahan induk kapur pada
hutan .......................................................................... 11
Gambar 8. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan
kapur yang porus untuk tumpangsari
jati dengan jagung di Kab. Bojonegoro ......... 12
Gambar 9. Tanah Vertisol dengan rekahan dimusim
kemarau sedalam 60 cm di Kab. Ngawi ....... 13
Gambar 10. Tanah Vertisol yang bersifat labil
dijumpai di Kab. Blora ......................................... 13
Gambar 11. Tegakan jati yang tumbuh pada tanah
Inceptisol di Kab. Blora ....................................... 14
Gambar 12. Tegakan jati yang tumbuh pada tanah
Vertisol (a) dan Inceptisol (b),lokasi
hanya terpisah oleh jalan raya,
di Kab. Bojonegoro ............................................... 15
Gambar 13. Tingkat kemasaman (pH) tanah di bawah
tegakan jati yang diperlihatkan dalam
Gambar 13, tanah Vertisol (kiri) dengan
pH sekitar 6-7 dan Inceptisol (kanan)
dengan pH sekitar 5 ............................................. 15
xvi
Gambar 14. Tegakan jati yang ditanam pada tanah
sangat dangkal yang berasal dari batuan
kapur porus di Kabupaten Bojonegoro . 19
Gambar 15. Tegakan jati yang tumbuh di atas tanah
berbatu di Kab. Wonogiri ............................... 19
Gambar 16. Kondisi lantai hutan jati pada waktu
musim penghujan tertutup tumbuhan
bawah di Kab. Ngawi ........................................ 21
Gambar 17. Kondisi lantai hutan jati pada waktu
musim kemarau tidak terdapat
tumbuhan bawah, di Kab. Wonogiri
(a) dan Kab. Blora (b) ....................................... 22
Gambar 18. Tegakan jati muda yang ditumpangsarikan
dengan jagung di Kab. Boyolali .................... 24
Gambar 19. Tanaman temulawak yang ditanam di
bawah tegakan jati di Kab. Boyolali ........... 24
Gambar 20. Tebu yang ditanam diantara tegakan jati
di Kab. Sragen ...................................................... 25
Gambar 21. Siklus air ................................................................ 28
Gambar 22. Data curah hujan yang tercatat pada
kertas pias pada penakar hujan
otomatis ................................................................. 38
Gambar 23. Penakar curah hujan otomatis dengan
menggunakan pias untuk mencatat
curah hujan yang jatuh .................................... 38
Gambar 24. Penakar hujan otomatis menggunakan
logger dari luar (a) dan peralatan di
dalamnya (b) ........................................................ 39
Gambar 25. Contoh data curah hujan yang diunduh
dari logger pada penakar hujanotomatis . 39
Gambar 26. Penakar hujan manual (ombrometer) ...... 40
xvii
Gambar 27. Alat pencatat tinggi muka air otomatis
(AWLR) menggunakan kertas pias, diberi
kabel untuk pengikat pelampung yang
diletakkan di atas permukaan air sungai . 42
Gambar 28. Pemasangan peilskal dan logger yang
dimasukkan dalam paralon pada outlet
sub DAS .................................................................. 43
Gambar 29. Grafik pencatatan tekanan air yang
diunduh dari logger .......................................... 43
Gambar 30. Contoh data yang diunduh dari logger dan
dikonversi menjadi debit ................................ 45
Gambar 31. Botol-botol yang dipasang untuk
pengambilan contoh sedimen terlarut
pada berbagai TMA. .......................................... 46
Gambar 32. Distribusi curah hujan dan debit spesifik
bulanan pada masing masing sub DAS
berhutan jati berdasarkan rata-rata tahun
2008-2015 ............................................................ 50
Gambar 33. Sactter plot antara curah hujan harian
dengan debit puncak ........................................ 57
Gambar 34. Beberapa bentuk hidrograf aliran pada
sub DAS Kejalen dan Gagakan ...................... 58
Gambar 35. Koefisien aliran langsung dari Januari
2015 sampai dengan Mei 2016 .................... 60
Gambar 36. Erosi di bawah hutan jati muda di Kab.
Bojonegoro ........................................................... 66
Gambar 37. Erosi tanah pada tumpangsari jati ............. 66
Gambar 38. Tampingan teras pada sistem tumpangsari
jati dengan tanaman semusim yang tidak
diperkuat menyebabkan erosi ...................... 67
Gambar 39. Tampingan teras tidak ada penguat dan
tumbuhan bawah terbakar pemicu erosi
tanah jika turun hujan ...................................... 67
xviii
Gambar 40. Hutan tanaman jati dengan tajuk rimbun
namun lantai hutan tidak tertutup
tumbuhan bawah (a) dan (b)
di Kab. Ponorogo ................................................ 68
Gambar 41. Tanah longsor pada tebing di areal
hutan jati ................................................................ 69
Gambar 42. Erosi tebing sungai yang merupakan
sumber dari sedimen terlarut ....................... 69
Gambar 43. Rata-rata sedimen terlarut pada kelima
sub DAS yang diteliti berdasarkan data
tahun 2008 -2015 .............................................. 71
Gambar 44. Sedimen terlarut tahunan .............................. 72
Gambar 45. Kondisi air pada outlet sub DAS Modang
pada tanggal 9 Nopember 2016, sebelum
terjadi hujan (a) setelah hujan air sungai
keruh (b dan c) .................................................... 74
Gambar 46. Kondisi air pada outlet sub DAS Cemoro
pada tanggal 9 Nopember 2016, sebelum
terjadi hujan (a) setelah hujan air sungai
keruh (b) ................................................................ 75
Gambar 47. Hubungan curah hujan rata-rata bulanan
dengan sedimen rata-rata bulanan ......... 77
Gambar 48. Contoh tampingan teras yang diperkuat
dengan batu yang banyak dijumpai di
sekitar tegakan jati untuk mencegah erosi
................................................................................... 79
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
1
I. PENDAHULUAN
Jati (Tectona grandis L.f) tidak saja mendominasi
hutan di pulau Jawa maupun di tingkat Asia, tetapi juga
belahan bumi yang lain seperti di benua Afrika di Benin
(Akossou, Godui, & Fonton, 2012) dan Nigeria (Simon,
2006), di Trinidad dan Nicaragua (Simon, 2006), dan
negara di Amerika Tengah lain (Fernández-moya,
Alvarado, Forsythe, & Ramírez, 2014). Sebaran secara
alami semula di India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand,
dan Burma (Baskorowati & Fauzi, 2013). Menurut (Bhat
& Gnanaharan, 2007) lebih dari 36 negara tropis telah
mengembangkan hutan jati.
Tegakan jati diperkirakan pertama kali
diperkenalkan di Indonesia, yakni di Jawa pada abad ke 2
Masehi yang dibawa oleh orang-orang penyebar agama
Hindu (Altona dalam Smiet, 1990). Hutan jati di Indonesia,
terluas dijumpai di pulau Jawa. Luas areal hutan jati
sebanyak 1.000.534 ha atau 67% dari hutan produksi
yang ada di Jawa (Perhutani, 2014). Selain di pulau Jawa
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang beriklim muson,
jati di Indonesia juga dijumpai di pulau Muna, Sulawei
Tenggara (Simon, 2006). Jati yang menghasilkan kayu
berkualitas tinggi terus dikembangkan di tempat lain,
mulai ujung pulau Sumatera seperti Aceh, Sumatera
Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga di
Papua (Baskorowati & Fauzi, 2013).
Keharusan mempertahankan kelestarian dalam
pengelolaan hutan secara umum tidaklah hanya
menyangkut kelestarian fungsi produksi, ekonomi,
maupun pemanfaatan untuk masyarakat, akan tetapi juga
kelestarian aspek lingkungan yang salah satunya adalah
aspek tata air yang meliputi hasil air dan sedimen
terlarut. Bencana banjir dan kekeringan yang banyak
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
2
terjadi pada sungai-sungai di Pulau Jawa seperti di
Bengawan Solo, Cisadane, Cimanuk, dan Ciliwung sering
dikaitkan dengan keberadaan hutan. Luas hutan di Jawa
hanya tinggal 18% dari luas pulau dan sebagian besar
hutan di Jawa adalah hutan jati sehingga hutan jati
dianggap berperanan penting dalam kejadian banjir dan
kekeringan. Masyarakat sering beranggapan bahwa hutan
secara umum merupakan segala-galanya dalam
mencegah dan menanggulangi banjir, erosi, maupun
sedimentasi. Padahal pada batas-batas curah hujan dan
kondisi kelembaban tanah tertentu hutan tidak mampu
menanggulangi bahaya banjir. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut, maka informasi tentang peran
hutan jati dalam mempengaruhi tata air Daerah Aliran
Sungai (DAS) sangat diperlukan.
Peran hutan tanaman jati sudah banyak dibahas dan
ditulis dari segi silvikultur, ekonomi, dan sosial. Oleh
karena itu dalam buku ini penulis bertujuan memberikan
gambaran tentang peran hutan, khususnya hutan jati
dalam mempengaruhi tata air DAS atau sub DAS yang
meliputi debit bulanan dan tahunan, aliran rendah,
puncak banjir dan juga kandungan sedimen terlarut
dalam aliran sungai. Selain kedua aspek tersebut buku ini
juga membahas tentang kondisi biofisik tempat tumbuh
jati yang berpengaruh terhadap hasil air dan sedimen
terlarut. Garis besar pokok bahasan yang disajikan dalam
buku adalah sebagai berikut:
Bab II : MORFOLOGI DAN BIOFISIK TEMPAT
TUMBUH JATI
Dalam Bab II diberikan informasi tentang
morfologi, kondisi tempat tumbuh dan
tumbuhan bawah tegakan, serta kelas
kesesuaian tempat tumbuh tegakan jati.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
3
Bab III : SIKLUS DAN HASIL AIR
Secara singkat pengertian siklus dan hasil air
serta faktor yang berpengaruh terhadap
hasil air suatu DAS disajikan dalam Bab III.
Bab IV : PENGUKURAN INPUT, HASIL AIR, DAN
SEDIMEN
Peralatan dan cara pengukuran input dan
hasil air, serta sedimen terlarut dalam DAS
diterangkan dalam Bab IV.
Bab V : HASIL AIR SUB DAS BERHUTAN JATI.
Temuan-temuan hasil air dari penelitian
yang telah dilakukan di beberapa sub DAS
berhutan jati berupa debit, aliran rendah,
puncak banjir, dan koefisien aliran
dikemukakan dalam bab ini.
Bab VI : SEDIMEN TERLARUT SUB DAS BERHUTAN
JATI
Sumber-sumber sedimen dan sedimen
terlarut dalam sub DAS berhutan jati,
hubungan sedimen dengan curah hujan, dan
upaya pencegahan dan penaggulangan
sedimen diuraikan dalam Bab VI.
Bab VII : PENUTUP
Dalam Bab VII disampaikan penutup dari
uraian yang ada dalam buku secara
keseluruhan.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
4
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
5
II. MORFOLOGI DAN BIOFISIK
TEMPAT TUMBUH JATI 2.1. Morfologi Pohon Jati
Jati merupakan tanaman tahunan atau tanaman
berkayu. Baskorowati & Fauzi (2013) menerangkan
bahwa jika jati tumbuh pada tanah yang subur dan
bersolum dalam maka total tinggi pohonnya dapat
mencapai 30 hingga 35 m, tinggi bebas cabang antara 10
hingga 20 m. Lebih lanjut diterangkan bahwa bentuk
batang silindris dan beralur dengan ketebalan kulit
batang sekitar 0,5 sampai 0,7 cm pada tanaman tua.
Diameter batang setinggi dada dapat mencapai 220 cm
(Sumarna, 2001). Gambar 1 menunjukkan batang tegakan
jati muda (a) dan tua (b). Pada pangkal dijumpai akar
papan yang pendek dengan empat cabang (Sumarna,
2001), seperti terlihat dalam Gambar 2.
Gambar 1. Batang jati muda (a) dan jati tua dengan kulit batang
retak-retak (b) Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014 (a) dan
2016 (b)
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
6
Gambar 2. Akar pohon jati Sumber : Dokumentasi pribadi penulis di Kab. Wonogiri
tahun 2011 (a) dan di Kab. Blora 2015 (b)
Bentuk tajuk membulat dengan pohon tunggal dan
tangkai daun pendek dan duduk daun berseling
berhadapan (Gambar 3a). Daun yang muda berwarna
coklat kemerahan (Gambar 3b). Daun jati berbulu halus
mempunyai panjang daun berkisar antara 23 sampai 40
cm dengan lebar antara 11 hingga 21 cm (Baskorowati &
Fauzi, 2013) (Gambar 4).
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
7
Pohon jati berbunga kecil dengan ukuran panjang
antara 6 sampai 8 mm dan lebar antara 4 sampai 5 mm,
berwarna keputih-putihan bersifat majemuk yang
terbentuk dalam malai bunga dan tumbuh di ujung batang
(Sumarna, 2001). Bunga tersebut mempunyai enam
tangkai sari yang menempel pada kelopak bunga dan
benang sari dengan putik (Baskorowati & Fauzi, 2013).
Gambar 5 menunjukkan pohon jati yang sedang berbunga.
Buah pohon jati terdiri dari kulit terluar yang tipis, dan di
bagian tengah tebal seperti gabus, serta bagian terdalam
terdapat empat ruang (Baskorowati & Fauzi, 2013).
Gambar 6 memperlihatkan buah jati yang masih ada di
pohon dan yang sudah berwarna cokelat.
Gambar 3. Anakan jati dengan tangkai daun pendek dan daun
duduk berseling berhadapan (a), daun muda berwarna coklat kemerahan (b)
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017 (a, b)
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
8
Gambar 4. Daun jati dari arah depan (a), punggung (b), dan
bulu-bulu halus pada daun Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017 (a, b)
Gambar 5. Pohon jati yang berbunga di Kab. Blora Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017
Bunga
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
9
Gambar 6. Buah jati yang masih segar di Kab.Blora (a), dan
yang sudah kering dari pulau Moyo, Kab. Sumbawa (b)
Sumber : Dokumentasi pribadi Lathif Brahmantyo tahun 2017(a), dokumentasi pribadi penulis tahun 2017(b)
2.2. Tempat Tumbuh Jati
Tanaman pada umumnya, dan juga jati untuk dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik membutuhkan
kondisi lingkungan tertentu sesuai dengan persyaratan
tumbuh yang diperlukan. Pudjiono (2014) menyatakan
jati dapat tumbuh pada daerah dengan rentang curah
hujan yang agak lebar yaitu dari 1200 hingga 3000
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
10
mm/tahun, sedangkan (Baskorowati & Fauzi, 2013)
berpendapat bahwa jati membutuhkan jumlah curah
hujan antara 1250 sampai 2500 mm/tahun dengan
musim kering antara 3 hingga 6 bulan. Lebih lanjut
Pudjiono (2014) menyatakan bahwa jati dapat tumbuh
baik pada daerah dengan temperatur udara rata-rata
berkisar 22 sampai dengan 310C dengan intensitas cahaya
75 hingga 100%. Selain itu disebutkan juga bahwa
ketinggian tempat yang sesuai untuk pertumbuhan jati
adalah 0 hingga 700 m di atas permukaan laut Pudjiono
(2014).
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang maksimal,
setiap tanaman mempunyai persyaratan tempat tumbuh.
Menurut Pudjiono (2014) jati untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik membutuhkan jumlah Calsium
(Ca) tersedia dalam tanah cukup besar. Oleh karena itu
tanah untuk tempat tumbuh jati yang baik adalah tanah
sarang dengan kandungan Ca dan fosfor (P) yang cukup,
serta tingkat keasaman tanah rendah dengan pH sekitar 6
sampai dengan 8, solum tanah cukup dalam (Pudjiono,
2014). Gambar 7 memperlihatkan profil tanah berbahan
induk kapur yang di atasnya tumbuh tegakan jati di
Kabupaten Bojonegoro. Tanah yang dihasilkan berupa
tanah Vertisol yang berwarna hitam.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
11
Gambar 7. Profil tanah berbahan induk kapur pada hutan jati
di Bojonegoro Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Tanah Vertisol tersebut mempunyai sifat
mengembang (swelling) dan mengkerut (shrinking) yang
disebabkan kandungan liat tipe 2:1 (Kovda, Morgun, &
Boutton, 2010). Jenis liat (clay) yang membentuk tanah
Vertisol tergolong dalam grup liat Smektit yang pada
umumnya banyak mengandung jenis liat montmorilonit
(Djordjevic, Golubovic, Tomic, & Aleksic, 2012). Bahan
induk tanah Vertisol berasal dari hasil sedimen yang
banyak adalah liat karbonat (carbonate clay) dan juga
batuan kapur yang bersifat porus (calcareous marl)
(Djordjevic et al., 2012). Contoh batuan kapur yang porus
dijumpai di Kabupaten Bojonegoro ditampilkan dalam
Gambar 8. Ciri tanah Vertisol jika terkena air dapat
mengembang dan sulit diolah, sedangkan jika tanah
kering akan mengkerut, keras, dan membentuk rekahan-
rekahan (cracking) hingga kedalaman 60 cm seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar 9. Araya et al. (2011) bahkan
menjumpai rekahan yang lebih dalam yakni 100 cm dalam
dan lebar antara 1 sampai 2 cm di Trigay, bagian Utara
dari Ethiopia.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
12
Gambar 10 menunjukkan tanah Vertisol yang labil
akibat kandungan liat yang bersifat mengembang dan
mengkerut.
Gambar 8. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan kapur
yang porus untuk tumpangsari jati dengan jagung di Kab. Bojonegoro
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
13
Gambar 9. Tanah Vertisol dengan rekahan dimusim kemarau
sedalam 60 cm di Kab. Ngawi Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 10. Tanah Vertisol yang bersifat labil
dijumpai di Kab. Blora Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2015
Namun demikian juga dijumpai tegakan jati yang
tumbuh pada tanah Inceptisol seperti yang diperlihatkan
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
14
dalam Gambar 11 yang diambil dari areal hutan jati di
KPH Cepu, Kabupaten Blora. Berdasarkan pengamatan di
lapangan juga dijumpai Vertisol dan Inceptisol yang
ditanami jati yang hanya dipisahkan oleh jalan raya
seperti yang dijumpai di Kabupaten Bojonegoro (Gambar
12). Hasil pengukuran pH tanah dengan kertas lakmus,
diketahui tanah Inceptisol mempunyai pH 5 dan Vertisol
mempunyai pH antara 6 hingga 7. Perbedaan tersebut
seperti yang terlihat pada kertas lakmus Gambar 13.
Gambar 11. Tegakan jati yang tumbuh pada tanah Inceptisol
di Kab. Blora Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2015
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
15
Gambar 12. Tegakan jati yang tumbuh pada tanah Vertisol
(a) dan Inceptisol (b), lokasi hanya terpisah oleh jalan raya, di Kab. Bojonegoro
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 13. Tingkat keasaman (pH) tanah di bawah tegakan
jati yang diperlihatkan dalam Gambar 12, tanah Vertisol (kiri) dengan pH sekitar 6-7 dan Inceptisol (kanan) dengan pH sekitar 5
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Wahyuningrum & Basuki (2004) melakukan
analisis kandungan unsur hara tanah di bawah hutan
tanaman jati di Bagian Hutan Banjaran, KPH Pati, di Jawa
Tengah. Contoh-contoh tanah pada tegakan jati yang
termasuk kelas Bonita 3,5 diambil, dianalisis, dan hasilnya
disajikan dalam Tabel 1. Hasil yang diperoleh
menunjukkan tidak terlihat ada kecenderungan bahwa
semakin tua umur tegakan jati semakin rendah
kandungan unsur hara di dalam tanah, walaupun pada
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
16
bagian-bagian tegakan mempunyai kandungan hara yang
berbeda nyata Wahyuningrum & Basuki (2004). Jika
bagian-bagian tegakan dipanen dan dibawa ke luar dari
ekosistem hutan maka akan menyebabkan pengurangan
hara dari tanah (Wahyuningrum & Basuki, 2004).
Tabel 1. Hasil analisis tanah di bawah hutan tanaman jati di KPH Pati
Kelas
umur
(KU)
pH Nitrogen
(N) total
(%)
Fosfor
(P)
tersedia
(ppm)
Kalium (K)
terseida
(me/100g)
Karbon
organik
(C)
(%)
I 5,61 0,18 6,54 0,45 3,18
II 5,66 0,21 7,42 0,40 3,35
III 5,77 0,25 6,77 0,22 3,52
IV 5,41 0,18 9,57 0,50 2,91
V 5,54 0,32 4,90 0,31 3,64
MR 5,78 0,25 4,23 0,21 3,96
TJPK 5,24 0,41 10,00 0,27 4,16
Sumber : Wahyuningrum & Basuki (2004)
Untuk menilai kesesuaian antara kondisi biofisik
lingkungan dengan persyaratan tumbuh yang diperlukan
tanaman perlu dilakukan evaluasi tingkat kesesuaian
lahan. Kesesuaian lahan yang dimaksud adalah upaya
penilaian antara kondisi biofisik yang ada dengan
persyaratan tumbuh tanaman (Mustafa et al., 2011).
Untuk menilai tingkat kesesuaian tanaman jati pada
kondisi lingkungan tertentu (Wahyuningrum et al. 2003)
telah membuat kriteria yang terbagi menjadi tiga kelas
yaitu kelas sesuai, sesuai marginal, dan tidak sesuai.
Pembagian kelas kesesuaian tersebut didasarkan kepada
14 parameter yang meliputi kondisi drainase, tanah,
faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
perakaran tanaman, dan iklim seperti yang disampaikan
dalam Tabel 2.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
17
Walaupun lahan diklasifikasikan tidak sesuai
berdasarkan persyaratan tempat tumbuh yang
diperlukan karena terdapat satu atau beberapa
penghambat, namun kenyataan di lapangan tanaman jati
tersebut masih dapat tumbuh dan berkembang namun
memang tidak optimal sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada beberapa
daerah seperti di Kabupaten Bojonegoro, Wonogiri, Blora
dan mungkin di daerah lain terlihat banyak tegakan jati
yang dapat tumbuh pada tanah sangat dangkal dan
berbatu tetapi pertumbuhan tidak bagus seperti yang
terlihat pada Gambar 14 dan 15.
Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jati
Parameter
lahan
Sesuai Sesuai
marjinal
Tidak sesuai
Drainase (w)
-Drainase tanah Agak
cepat,
sedang
Cepat, agak
terhambat
Sangat cepat,
sangat
terhambat
-Bahaya banjir F0, F1 F2 F3, F4
Retensi hara (a)
-pH tanah 5,0 -7,0 4,5 -5,0 dan
7,0 – 8,0
>8,0 dan
<4,5
-Kedalaman
sulfidik (cm)
125 - 175 100 – 125 <100
Kegaraman (t)
-Salinitas
(mmhos/cm)
4 – 8 Td >8
Media
perakaran (s)
-Tekstur L, SCL,
SiL, Si, CL,
SiCL, SL,
SC
LS, liat masif Kerikil, pasir
-Lereng (%) 8 – 15 15 – 30 >30
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
18
Tabel 2. (lanjutan)
Parameter lahan Sesuai Sesuai
marjinal
Tidak sesuai
-Batuan
permukaan (%)
10 – 15 15 – 25 >25
-Batuan
singkapan (%)
10 - 15 15 – 25 >25
Kedalaman
tanah (sd)
-Kedalaman
efektif (cm)
100 -150 75 – 100 <75
Ketersediaan air
(c)
-Bulan kering
(<75mm)
<5 Tidak ada >5 dan < 1
-Curah
hujan/tahun
(mm)
1250 –
2250
1000 – 1250
dan
2250 - 2500
<1000
-Rata-rata suhu
tahunan (0C)
19 -34 Tidak ada >34 dan <19
Erosi (e)
Tingkat bahaya
erosi
SR, R S B, SB
Sumber : Wahyuningrum et al. (2003)
Keterangan : L= Loam (Lempung), SCL= Sandy Clay (Liat
Berpasir), SiL = Silty Clay (Liat Berdebu), Si = Silt
(Debu), CL = Clay Loam (Lempung Berliat), SiCL=
Silty Clay Loam (Lempung Liat Berdebu), SL =
Sandy Loam (Lempung Berpasir), SC= Sandy Clay
(Liat Berpasir), LS = Sandy Loam (Pasir
Berlempung), SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S =
Sedang, B = Besar, SB = Sangat Besar
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
19
Gambar 14. Tegakan jati yang ditanam pada tanah sangat
dangkal yang berasal dari batuan kapur porus di Kabupaten Bojonegoro
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 15. Tegakan jati yang tumbuh di atas tanah berbatu di Kab. Wonogiri
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
2.3. Tumbuhan di Bawah Tegakan Jati
Tumbuhan bawah berperanan penting dalam
merespon air hujan, yakni dapat meningkatkan infiltrasi
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
20
air hujan yang jatuh dan untuk mengurangi jumlah
maupun dampak air hujan yang menjadi aliran langsung
atau limpasan permukaan. Tanaman bawah tersebut
dapat melindungi permukaan tanah dari energi air hujan
yang jatuh langsung maupun yang melewati tajuk pohon
dan dapat merupakan sumber bahan organik tanah.
Perakaran tumbuhan bawah, perakaran pepohonan serta
bahan organik dapat mencengkeram tanah dan
menstimulasi agregasi tanah yang dapat menurunkan
atau mencegah terjadinya dispersi dan erosi oleh
limpasan permukaan. Oleh karena itu tanaman bawah
dapat digunakan untuk konservasi tanah dan air serta
konservasi unsur hara yang dikandungnya (Miyata,
Kosugi, Gomi, & Mizuyama, 2009). Pada areal hutan daun
lebar (beech) dengan persentase penutupan tumbuhan
bawah 1 dan 45% terdapat hubungan yang nyata antara
erosi percikan (splash erosion) dengan curah hujan,
namun pada areal yang tertutup 95% tumbuhan bawah
korelasi tersebut tidak terjadi (Ghahramani et al., 2011).
Pada areal hutan jati peran tumbuhan bawah ini
amat penting sebagai pelindung permukaan tanah
terutama pada awal musim penghujan. Oleh karena pada
musim kemarau hutan jati menggugurkan daunnya, dan
pada awal musim penghujan belum keseluruhan daun
tumbuh sempurna maka energi kinetik dari air hujan yang
jatuh langsung mengenai permukaan tanah yang
menyebabkan terjadinya dispersi. Tanah yang terdispersi
tersebut selanjutnya akan terangkut oleh limpasan
permukaan menuju ke tempat-tempat yang lebih rendah
dan akhirnya masuk ke dalam badan sungai dan menjadi
sedimen. Gambar 17 dan 18 menunjukkan kondisi lantai
hutan jati pada waktu musim penghujan yang tertutup
tumbuhan bawah dan pada musim kemarau tidak
terdapat tumbuhan bawah.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
21
Gambar 16. Kondisi lantai hutan jati pada waktu musim
penghujan tertutup tumbuhan bawah, di Kab. Ngawi
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
22
Gambar 17. Kondisi lantai hutan jati pada waktu musim
kemarau tidak terdapat tumbuhan bawah, di Kab. Wonogiri (a) dan Kab. Blora (b)
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2012 (a) dan 2015 (b)
Jenis-jenis tumbuhan bawah tegakan jati pada tujuh
sub DAS di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu
disajikan dalam Tabel 3 yang diambil dari (Pramono &
Wahyuningrum 2010). Identifikasi tumbuhan bawah
tersebut pada petak ukur 1x1 m dan pengukuran
kerapatan tegakan pada petak ukur 20x20 m.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
23
Tabel 3. Jenis tumbuhan bawah hutan jati pada beberapa sub DAS di KPH Cepu
Sub DAS Luas
sub DAS
(km2)
Kerapatan
pohon
(pohon/ha)
Tumbuhan bawah
yang dominan
Modang 3,38 403 Putri malu
(Mimosa pudica)
Cemoro 13,47 552 Garaman (Ficus
hirta)
Kejalen 20,14 133 Garaman
(F. hirta)
Kendilan 48,86 925 Iles-iles (Tacca
palmata)
Gagakan 64,80 210 Putri malu (M.
pudica)
Ngroto 69,80 1866 Wlungu (Cuscuta
australis)
Sumber : Pramono dan Wahyuningrum (2010)
Disamping tumbuhan bawah yang tumbuh secara
alami, penduduk juga menggunakan lahan di bawah
hutan jati untuk budidaya tanaman semusim dari jenis
tanaman pangan seperti jagung, padi gogo, dan singkong.
Empon-empon yang dapat digunakan sebagai tumbuhan
obat juga diusahakan oleh penduduk. Gambar 18
menunjukkan tumpangsari tegakan jati dengan jagung
dan Gambar 19 tumpangsari antara tegakan jati dengan
temulawak. Tegakan jati juga ditanam bersamaan dengan
tebu seperti yang terlihat dalam Gambar 20.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
24
Gambar 18. Tegakan jati muda yang ditumpangsarikan
dengan jagung di Kab. Boyolali Sumber : Dokumentasi pribadi Dewi Retno Indrawati
tahun 2003
Gambar 19. Tanaman temulawak yang ditanam di bawah
tegakan jati di Kab. Boyolali Sumber : Dumentasi pribadi Dewi Retna Indrawati
tahun 2003
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
25
Gambar 20. Tebu yang ditanam diantara tegakan jati
di Kab. Sragen Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2013
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
26
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
27
III. SIKLUS DAN HASIL AIR 3.1 Siklus Air
Siklus air secara sederhana disajikan dalam Gambar
21. Hujan yang jatuh di atas bentang lahan dalam suatu
DAS/sub DAS sebagian akan menjadi aliran langsung atau
limpasan permukaan (surface runoff), sebagian masuk ke
dalam tanah dan akan menjadi aliran bawah permukaan
(sub-surface flow), sebagian lagi masuk ke lapisan tanah
yang lebih dalam yang akan disimpan di dalam tanah dan
akan dialirkan pada waktu musim kemarau sebagai aliran
dasar (Dunne and Leopold, 1978). Air hujan yang jatuh
sebagian akan kembali ke atmosfer melalui proses
evaporasi dan melalui vegetasi dengan proses
evapotranspirasi maupun intersepsi. Secara sederhana
neraca air DAS mencakup masukan yang berupa hujan
yang jatuh dan diproses dalam DAS dan ke luar dari outlet
DAS berupa aliran sungai.
Dalam neraca air DAS, lahan berfungsi sebagai
prosesor (Paimin, Irfan Budi Pramono, Purwanto, 2012)
yang memproses input hujan dan selanjutnya
mengeluarkan melalui outlet DAS. Hasil kinerja DAS,
dalam hal ini hasil air di bagian hilir suatu sistem DAS
merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan di bagian
hulu dimana hubungan sebab-akibatnya dipengaruhi oleh
proses hidrologi (Rao, Murthy, Adiga, & Amminneedu
2003).
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
28
Gambar 21. Siklus air Sumber : Modifikasi dari http://www.ebiologi.com /2016/
03/siklus-hidrologi-pengertian-proses.html
3.2. Hasil Air Daerah Aliran Sungai dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhinya
Air yang dihasilkan dalam suatu sistem DAS baik
yang berupa aliran langsung atau limpasan permukaan,
aliran bawah permukaan, dan aliran dasar
keseluruhannya disebut hasil air suatu DAS (Asdak,
1995). Hasil air suatu DAS dipengaruhi faktor alami
seperti curah hujan, geomorfologi, topografi, jenis dan
karakteristik tanah (Geris, Tetzlaff, Mcdonnell, & Soulsby,
2014). Faktor–faktor yang bersifat alami lainnya adalah
formasi geologi dan batuan/bahan induk serta tanah yang
dihasilkan (Munoz-Villers & McDonnell, 2013),
morfometri DAS dan faktor managemen yang merupakan
campur tangan manusia dapat berupa pengolahan lahan
dan jenis vegetasi yang ditanam. Pada sub bab berikut
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
29
diuraikan secara singkat beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap hasil air secara umum dan
beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada sub
DAS berhutan jati.
3.2.1. Curah hujan dan infiltrasi
Curah hujan sebagai input suatu DAS sangat
berpengaruh terhadap hasil air. Kharakteristik hujan yang
meliputi jumlah, waktu berlangsungnya hujan dan
intensitas hujan akan berpengaruh terhadap hasil air
suatu DAS/sub DAS. Distribusi spasial dan temporal curah
hujan berpengaruh terhadap respon hidrologi suatu DAS
yang meliputi limpasan permukaan, debit volume, dan
puncak debit (Peleg, Shamir, Georgakakos, & Morin,
2015). Peran curah hujan dalam menentukan hasil air
DAS tidak dapat berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan
kondisi biofisik lahan seperti infiltrasi yakni kemampuan
tanah dalam mengalirkan air hujan yang jatuh secara
vertikal ke dalam lapisan tanah.
Batas maksimum tanah dapat menyerap air disebut
kapasitas infiltrasi (Dune & Leopold, 1978). Jika intensitas
curah hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi tanah
maka laju infiltrasi sebanding dengan intensitas hujan,
namun jika intensitas hujan melebihi kapasitas tanah
menyerap air, maka infiltrasi akan berlangsung sesuai
dengan kapasitasnya (Dunne & Leopold, 1978). Laju
infiltrasi dan intensitas hujan dinyatakan dalam satuan
ketebalan per satuan waktu misal cm/jam. Jika intensitas
hujan lebih tinggi dari kapasitas infiltrasi tanah, maka
akan terjadi limpasan permukaan yang akan mengalir ke
tempat yang lebih rendah.
Laju dan kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik sifat tanah maupun keadaan
penutupan lahannya. Secara umum, sifat tanah yang
berpengaruh terhadap infiltrasi adalah tekstur, struktur,
ukuran pori, bobot volume (bulk denisty) tanah, stabilitas
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
30
agregat, dan kadar air (kelembaban) tanah (Andayani,
2009). Tingkat infiltrasi tanah berpengaruh terhadap
hasil air suatu DAS karena air yang terinfiltrasi masuk ke
lapisan tanah yang lebih dalam akan tertahan oleh gaya
kapiler dan melembabkan tanah, selanjutnya akan
dialirkan secara perlahan menuju sungai atau danau atau
tempat yang lebih rendah lain sebagai aliran dasar atau
baseflow (Asdak, 1995). Oleh karena itu kapasitas
infiltrasi tanah yang tinggi akan mendukung ketersediaan
hasil air yang berupa aliran dasar pada musim kemarau.
Hasil penelitian (Andayani, 2009) yang dilakukan di
bawah tegakan jati menunjukkan bahwa semakin tinggi
bobot volume tanah maka kapasitas infiltrasi semakin
rendah, dan sebaliknya semakin tinggi kandungan air
tanah menyebabkan infiltrasi menurun. Tabel 4
menunjukkan nilai infiltrasi di bawah tegakan jati pada
empat kelas umur yang dilakukan oleh (Andayani, 2009)
di areal hutan jati di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
(BKPH) Subah, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Kendal.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
31
Tabel 4. Laju infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan jati di BKPH Subah, KPH Kendal
Kelas umur
Kondisi lahan di bawah tegakan
Lereng (%)
Jenis tanah Laju infiltrasi
(cm/jam)
I (6 th)
Tidak ada pengolahan tanah, rata-rata 19,3 cm tinggi tan. \penutup tanah
8 Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu dengan bahan induk endapan liat dan pasir
4,8
II (14 th)
Tanah diolah dan ditanami jagung dengan tinggi rata-rata 39,2 cm
10 Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu dengan bahan induk endapan liat dan pasir
3,6
III (22 th)
Tanah tidak diolah, ter-kadang digu- nakan peng- gembalaan. Rata-rata tinggi tan. di bawah tegak- an 18,8 cm
Datar Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu dengan bahan induk endapan liat dan pasir
6,4
IV (40 th)
Tanah tidak diolah. Rata-rata tinggi tanaman di bawah tegak- an 23,4 cm
Datar Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu dengan bahan induk endapan liat dan pasir
6,0
Sumber:Andayani, 2009
Infiltrasi tanah di bawah tegakan jati yang diteliti
oleh Ribolzi et al. (2017) di Laos dari tahun 2002 hingga
2014 menunjukkan rata-rata sebesar 0,4 sampai 2,5
cm/jam. Namun terdapat penurunan kapasitas infiltrasi
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
32
pada kurun waktu yang berbeda disebabkan terjadinya
pemadatan permukaan tanah akibat tidak ada tumbuhan
bawah pada areal tegakan jati. Infiltrasi pada tahun 2002-
2007 sebesar 0,9 – 2 cm/jam menjadi 1,8-0,4 cm/jam
pada tahun 2008-2014 (Ribolzi et al. 2017). Nilai infiltrasi
tersebut merupakan nilai pada tingkat DAS yang diukur
pada setiap kejadian banjir.
Faktor sifat tanah lain yang berpengaruh terhadap
tata air DAS yakni pengisian air tanah (ground water
recharge) yang nantinya berpengaruh terhadap hasil air
pada musim kemarau yaitu konduktivitas hidraulik tanah
(Hassler et al., 2011). Konduktivitas hidraulik tanah
antara lain dipengaruhi oleh penutupan lahan
(Fernández-moya et al., 2014). Zimmermann et al. (2006)
mengukur konduktivitas hidraulik tanah pada beberapa
penutupan lahan di Randônia dan mendapatkan bahwa
konduktivitas hidraulik tanah tertinggi terdapat pada
tanah di bawah hutan alam, yakni 20,6 cm/jam dan pada
hutan jati sebesar 6,9 cm/jam. Pada tanah Alfisol di Costa
Rica, nilai konduktivitas hidraulik di bawah hutan alam
sekunder juga lebih tinggi (3,8 cm/jam) daripada di
bawah hutan jati tua (0,7 cm/jam) (Fernández-moya et al.
2014).
3.2.2. Morfometri Daerah Aliran Sungai
Morfometri secara umum menggambarkan bentuk
bentang alam yang terlihat pada permukaan bumi beserta
dimensinya (Pareta et al., 2011). Analisis morfometri
suatu DAS memberikan informasi kuantitatif tentang
sistem drainase yang merupakan aspek penting dalam
karakterisasi suatu DAS. Dalam karakterisasi suatu DAS
beberapa variabel penting yang perlu diperhatikan
seperti luas dan bentuk DAS, maupun kerapatan drainase
(Al-rowaily et al., 2012).
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
33
Morfometri DAS penting dalam membantu
identifikasi daerah banjir atau karakter DAS pada waktu
terjadi hujan deras (Mageshet.al., 2010) ataupun
mengidentifikasi material aliran (debris flow) dan
material-material yang terbawa banjir (debris flood)
(Wilfordet.al., 2004). Selain hal tersebut, morfometri DAS
juga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian-
kejadian yang berkaitan dengan proses geomorfik seperti
prediksi puncak banjir, hasil sedimen, dan laju erosi
(Youssef et al., 2011). Morfometri DAS yang berkaitan
dengan jaringan alur sungai yang terbentuk dari karakter
DAS akan mempengaruhi pola spasial vegetasi yang
tumbuh di dalam areal DAS tersebut (Al-rowaily et al.,
2012).
Luas DAS yang merupakan salah satu komponen
morfometri juga berpengaruh terhadap hasil air DAS,
namun demikian masih terjadi perbedaan tentang hal ini.
Berkaitan dengan peran luas DAS dalam hasil air ada
pendapat yang mengatakan bahwa luas DAS baik kecil
(0,1 ha) maupun besar (>10.000 km2) lebih berpengaruh
terhadap hasil air daripada pengaruh penutupan lahan
dan curah hujan (Gallo et al. 2015). Pendapat lain
mengatakan bahwa hasil air lebih dipengaruhi penutupan
lahan pada DAS yang kecil, dan
pengaruh curah hujan lebih dominan pada DAS yang
arealnya luas (Blöschl et al., 2007).
Basuki, Adi, & Sulasmiko (2017) dalam penelitian
yang menggunakan dua sub DAS yang berbeda ukuran
tetapi mempunyai kondisi geobiofisik yang serupa, yakni
persentase luas hutan jati tua 82%, formasi geologi, dan
morfometri sub DAS yang mirip mendapatkan bahwa sub
DAS dengan ukuran yang lebih besar cenderung
menghasilkan air yang lebih banyak. Penelitian Basuki et
al, (2017) tersebut dilakukan di Sub DAS Modang dengan
luas 3,4 km2 dan Cemoro dengan luas 13,5 km2, yang areal
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
34
hutannya dibawah pengelolaan KPH Cepu. Data yang
digunakan dalam penelitian tersebut dengan durasi
cukup panjang yaitu mulai tahun 2001 hingga 2015.
Kondisi morfometri Sub DAS Modang dan Cemoro yang
digunakan dalam penelitian Basuki et al. (2017)
didasarkan kepada hasil analisis (Pramono &
Wahyuningrum, 2010) yang disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Morfometri Sub DAS Modang dan Cemoro
Sub
DAS
Luas
(km2)
Bentuk
DAS
(Rasio
kebulatan)
Kerapatan
drainase
(km/km2)
Lereng
rata-rata
(%)
Geologi
Cemoro 13,47 Membulat
(0,64)
2,07
18 Batu
kapur
Modang 3,38 Membulat
(0,61)
1,62 20 Batu
kapur
Sumber : (Pramono & Wahyuningrum, 2010)
3.2.3. Penutupan lahan dan evapotranspirasi
Penutupan lahan merupakan salah satu faktor
penting yang menentukan hasil air. Jenis dan persentase
penutupan lahan dalam suatu DAS akan berpengaruh
terhadap debit air sungai, frekwensi dan tingkat bahaya
banjir, dan aliran dasar maupun aliran rendah (Li, Liu,
Zhang, & Zheng, 2009). Pengaruh penutupan lahan,
terutama hutan, terhadap hasil air DAS sebenarnya lebih
ditentukan seberapa banyak curah hujan yang jatuh
digunakan untuk pertumbuhan tanaman (Juhrbandt,
Leuschner, Juhrbandt, Leuschner, & Ho, 2004) dan juga
kehilangan air melalui evapotranspirasi (Awotwi, Yeboah,
& Kumi, 2014).
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
35
Evapotranspirasi hutan tanaman yang tua berkisar
antara 1100 sampai 1200 mm/tahun yang dibatasi oleh
curah hujan setempat (Dye & Versfeld, 2007). Hasil
penelitian Dye & Versfeld (2007) tersebut mirip dengan
hasil penelitian Nosetto et al. (2012) yang mendapatkan
nilai evapotranspirasi pada hutan alam sama dengan
hutan tanaman eukaliptus sebesar 1100 mm/tahun.
Untuk evapotranspirasi rumput diperoleh nilai 780
mm/tahun, dan tanaman kacang kedele terendah 670
mm/tahun (Nosetto, Jobbágy, Brizuela, & Jackson, 2011).
Evapotranspirasi aktual hutan tanaman jati diteliti di
Propinsi Lampang, di Thailand oleh Attarod et al., 2005.
Dalam penelitiannya Pattarod, Komori, Hayashi, Aoki,
Ishida, Fukumura, Boonyawat, Polsan, Tongdeenok,
Somboon (2005) membandingkan evapotranspirasi
antara padi, singkong, dan jati dan mendapatkan bahwa
pada siang hari dimusim penghujan untuk tanaman padi
dan singkong bervariasi dari 1 hingga 7 mm/hari,
sedangkan untuk jati sebesar 2 sampai 6 mm/hari. Pada
siang hari dimusim kemarau evapotranspirasi jati, padi,
dan singkong secara berurutan sebesar 3,2; 3,0; dan 2,7
mm/hari (Attarod et al., 2005).
Menurut Yoshifuji, Tanaka, & Tanaka (2006) pada
skala lokal, variasi curah hujan dan variabel iklim lain
dapat merubah jumlah evapotranspirasi, seperti fenologi
daun. Siklus daun bersemi dan gugur merupakan faktor
penting dalam menentukan variasi evapotranspirasi
musiman dan variasi antar tahun (Yoshifuji et al., 2006).
Penurunan transpirasi tegakan jati secara langsung
dikontrol oleh kelembaban tanah pada permulaan musim
kering (Yoshifuji et al., 2006).
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
36
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
37
IV. PENGUKURAN INPUT DAN HASIL AIR, SERTA SEDIMEN
Dalam mengkuantifikasi hasil air suatu DAS/sub
DAS perlu diketahui input air yang berupa curah hujan.
Hal ini perlu dilakukan mengingat terdapat kaitan yang
erat antara input hujan dan air yang ke luar dari outlet
suatu DAS.
4.1. Curah Hujan
Curah hujan dapat diukur dengan menggunakan
penakar hujan otomatis yang mencatat sendiri dan
manual. Penakar hujan otomatis dapat dibedakan
berdasarkan cara kerjanya dengan weighing bucket dan
tipping bucket. Penakar hujan weighing bucket seperti tipe
Hellman mengukur curah hujan setiap saat melalui grafik
yang tercatat pada kertas pias harian atau mingguan. Jika
kertas pias harian yang digunakan maka kertas pias
diganti pada setiap pagi hari jam 07.00, namun jika kertas
pias mingguan yang digunakan maka penggantian kertas
pias dilakukan seminggu sekali. Kertas pias harian
mencatat lebih detil curah hujan yang jatuh. Gambar 22
merupakan contoh kertas pias harian yang digunakan
untuk mencatat curah hujan yang turun. Gambar 23
merupakan penakar hujan tipe Hellman yang
menggunakan kertas pias untuk pencatatn curah hujan.
Penakar hujan otomatis jenis lain mempunyai prinsip
kerja tipping bucket dengan data tercatat dalam logger
yang dipasang sehingga tidak perlu menggunakan kertas
pias. Data yang tercatat dalam logger diunduh dengan
menghubungkan logger dengan laptop melalui program
yang sudah tersedia. Penakar hujan otomatis yang
menggunakan logger dapat dilihat dalam Gambar 24 dan
contoh grafik yang diunduh dalam Gambar 25.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
38
Gambar 22. Data curah hujan yang tercatat pada kertas pias
pada penakar hujan otomatis Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017
` Gambar 23. Penakar curah hujan otomatis dengan
menggunakan pias untuk mencatat curah hujan yang jatuh
Sumber : Dokumentasi pribadi Nining Wayuningrum tahun 2010
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
39
Gambar 24. Penakar hujan otomatis menggunakan logger dari luar (a) dan peralatan di dalamnya (b)
Sumber : Dokumentasi pribadi Lathif Brahmantyo tahun 2017
Gambar 25. Contoh data curah hujan yang diunduh dari logger pada penakar hujan otomatis
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
40
Selain dengan penakar hujan otomatis, curah hujan
juga dapat dikumpulkan dengan penakar hujan manual
atau ombrometer. Jika turun hujan, pengukuran curah
hujan dengan ombrometer dilakukan pada setiap hari
hujan jam 07.00 pagi. Air hujan tertampung dalam
penakar diukur dengan gelas ukur dengan
memperhitungkan luas corong jika menggunakan satuan
mm. Penakar hujan konvensional yang dipasang di sekitar
areal hutan jati disajikan dalam Gambar 26.
Gambar 26. Penakar hujan manual (ombrometer) Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2016
4.2. Pengukuran Hasil Air DAS/sub DAS
Untuk mengukur debit air yang mengalir dari suatu
DAS/sub DAS, maka pada masing-masing outlet sub DAS
tersebut dipasang alat pemantau Tinggi Muka Air (TMA)
sungai secara manual dengan Peilskal (Tide Gauge).
Pembacaan peilskal dilakukan tiga kali yaitu pada jam 07
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
41
pagi, jam 12 siang dan jam 17 sore hari yang dilakukan
setiap hari. Selain secara manual, pengamatan TMA juga
dilakukan secara otomatis dengan menggunakan
Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang
menggunakan kertas pias untuk mencatat tinggi muka air
(Gambar 27). Jenis alat ini biasanya dibuatkan bangunan
untuk menyimpan dan dihubungan dengan kabel dengan
pelampung yang menyentuh permukaan air (Gambar 27).
Prinsip kerja AWLR adalah jika terjadi perubahan tinggi
muka air sungai maka pelampung akan naik atau turun
dan pena yang terpasang akan mencatat data pada kertas
pias. Jenis kertas pias yang digunakan adalah mingguan.
Jika kertas pias mingguan yang dipasang maka kertas pias
harus diganti setiap minggu.
Alat pencatat tinggi muka air jenis lain adalah
dengan menggunakan logger yang dimasukkan dalam
suatu paralon. Sebelum alat dipasang pada outlet DAS,
harus diatur waktu frekuensi pencatatannya, misalkan
setiap 5 atau 10 menit. Prinsip kerja alat ini adalah jika
terjadi perubahan TMA maka tekanan dalam air akan
berubah, perubahan tekanan ini akan dicatat oleh logger.
Tekanan udara yang tercatat secara otomatis pada logger
diunduh secara berkala. Dengan pengaturan pencatatan
tekanan setiap lima menit, maka pengunduhan data dari
logger paling lambat dilakukan 2,5 bulan sekali agar
penyimpanan data dalam logger tidak penuh. Jika
melebihi waktu maksimal yang telah ditetapkan 2,5 bulan
maka logger tidak merekam data lagi. Untuk
mendapatkan data tekanan air maka logger harus
disambungkan dengan laptop. Gambar 28
memperlihatkan logger yang dimasukkan ke dalam
paralon dan dipasang pada outlet sub DAS berhutan jati.
Gambar 29 memperlihatkan grafik tekanan dalam air dan
suhu air yang diunduh dari logger. Selanjutnya data
tersebut dikonversi menjadi TMA.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
42
Gambar 27. Alat pencatat tinggi muka air otomatis (AWLR)
menggunakan kertas pias, diberi kabel untuk pengikat pelampung yang diletakkan di atas permukaan air sungai
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2009
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
43
Gambar 28. Pemasangan peilskal dan logger yang dimasukkan dalam paralon pada outlet sub DAS
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2016
Gambar 29. Grafik pencatatan tekanan air yang diunduh dari logger
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
44
Debit harian diperoleh dari konversi data TMA
dengan menggunakan persamaan regresi yang lebih
dikenal dengan stage-discharge rating curve. Persamaan
regresi tersebut dibuat berdasarkan pengukuran debit
sesaat yang dilakukan beberapa kali pada berbagai
ketinggian muka air sungai. Persamaan stage-discharge
rating curve pada beberapa sub DAS berhutan jati
disajikan dalam Tabel 6 dan Gambar 30 menunjukkan
data yang tercatat dalam logger dan selanjutnya
dikonversi menjadi data debit.
Tabel 6. Persamaan regresi debit (Discharge rating curve) untuk
mengkonversi TMA menjadi debit No Sub DAS Discharge Rating curve
1 Modang Q = 0,52H^1,22, H<0,3 m
Q = 6,89H^3,07, H=0,3 – 0,9 m
Q = 7,79H^2,78, H>0,9 m
2 Cemoro Q = 2,94H^1,63, H<0,3 m
Q = 22,16H^3,80, H=0,3 – 0,6 m
Q = 12,15H^1,89,H>0,6 m
3 Kejalen Q = 1,41H2,62, H<1,2 m
Q = 1,10H^2,19, H>1,2 m
4 Sambong Q = 3,40H^2,68, H>1,95 m
Q = 5,56H^1,54, H<1,95 m
5 Gagakan Q = 9,28H2,00
Keterangan : Q = debit (m3/detik), H = tinggi muka air (m) Sumber : Hasil analisis Tim Balai Penelitian Teknologi
Pengelolaan DAS, tidak dipublikasikan
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
45
Gambar 30. Contoh data yang diunduh dari logger dan
dikonversi menjadi debit Sumber : Analisis data 2016
4.3. Pengukuran Sedimen Terlarut
Sedimen terlarut adalah sedimen yang terkandung
dan melayang di dalam air sungai. Konsentrasi sedimen
terlarutdiperoleh dari pengambilan contoh-contoh air
sungai. Contoh-contoh air dianalisis di laboratorium
untuk mengetahui berat sedimen terlarut.Sediment-
discharge rating curve yang digunakan untuk
mendapatkan data debit sedimen terlarut dibuat
berdasarkan persamaan regresi antara debit sesaat
dengan kandungan sedimen yang ada di dalam contoh-
contoh air yang diambil pada TMA yang berbeda. Gambar
31 memperlihatkan botol-botol yang digunakan untuk
pengambilan contoh air untuk analisis sedimen terlarut
pada berbagai ketinggian TMA. Sediment discharge rating
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
46
curve yang digunakan untuk mengkonversi nilai debit
menjadi sedimen terlarut pada sub DAS berhutan jati
dapat dilihat dalam Tabel 7.
Gambar 31. Botol-botol yang dipasang untuk pengambilan
contoh sedimen terlarut pada berbagai TMA. Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2010
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
47
Tabel 7. Persamaan regresi sedimen (Sediment discharge
rating curve) untuk menghitung sedimen terlarut
No Sub DAS Rating curve
1 Modang Qs = 4,66Q^0,99
2 Cemoro Qs = 1,18Q1,33
3 Kejalen Qs = 0,93Q^1,37
4 Sambong Qs = 4,92Q^0,84
5 Gagakan Qs = 0,86^0,97
Keterangan : Qs = debit sedimen terlarut (kg/detik), Q = debit (m3/detik)
Sumber : Hasil analisis Tim Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS, tidak dipublikasikan
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
48
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
49
V. HASIL AIR SUB DAS BERHUTAN JATI
Pengamatan dan pengukuran hasil air suatu
DAS/sub DAS seharusnya dilakukan dalam jangka waktu
panjang guna mengetahui kecenderungan-
kecenderungan yang terjadi ataupun untuk mempelajari
kejadian-kejadian yang ekstrim yang mungkin terjadi
akibat kondisi iklim yang tidak menentu. Namun
demikian berdasarkan kenyataan ada beberapa
penelitian tentang hasil air yang dilakukan secara singkat
karena mungkin terkendala beberapa hal.Berdasarkan
hasil telaah pustaka diketahui bahwa masih sangat jarang
penelitian tentang hasil air dari DAS berhutan jati,
sementara penelitian hasil air dari DAS yang tertutup
hutan alam maupun hutan tanaman lain sudah banyak
dipublikasikan.
5.1. Debit Bulanan dan Tahunan
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab III bahwa
curah hujan merupakan input air dalam neraca air DAS,
oleh karena itu parameter ini merupakan salah satu
faktor penting dalam menentukan hasil air DAS. Pada
kondisi yang normal curah hujan yang tinggi di musim
penghujan akan menghasilkan debit yang tinggi juga.
Gambar 32 menunjukkan hasil air yang berupa debit
spesifik bulanan dari lima sub DAS dengan berbagai
luasan hutan jati di KPH Cepu, Kabupaten Blora. Debit
spesifik yang dimaksud adalah debit yang ke luar dari
outlet DAS/sub DAS setelah dibagi luas areal DAS/sub
DAS. Debit spesifik bulanan digunakan untuk
membandingkan hasil air antar sub DAS dan untuk
membandingkan input hujan dengan debit yang
dihasilkan dalam satuan yang sama yaitu mm. Data yang
disajikan merupakan hasil rata-rata pengukuran selama
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
50
tahun 2008 sampai dengan 2015. Berdasarkan Gambar 32
tersebut terlihat bahwa curah hujan yang tinggi dijumpai
pada bulan Januari hingga April, dan bulan Desember
menyebabkan kenaikan hasil air rata-rata bulanan pada
bulan yang bersangkutan. Pada bulan Mei curah hujan
yang mulai berkurang hingga bulan September juga
mengakibatkan penurunan hasil air.
Gambar 32. Distribusi curah hujan dan debit spesifik bulanan
pada masing masing sub DAS berhutan jati berdasarkan rata-rata tahun 2008-2015
Sumber : Hasil pengolahan data sendiri
Debit spesifik bulanan terendah terjadi di Sub DAS
Modang (Gambar 32), disisi lain Sub DAS Cemoro
mempunyai debit spesifik terendah kedua setelah Sub
DAS Modang. Kondisi debit spesifik terendah pada kedua
sub DAS tersebut terjadi baik pada musim penghujan
maupun pada musim kemarau. Sebaliknya Sub DAS
Kejalen yang persentase hutannya tertinggi kedua (74 %
jati tua) setelah Sub DAS Modang (82 % jati tua) dan
Cemoro (82 % jati tua) menghasilkan debit spesifik
bulanan yang lebih tinggi daripada sub DAS lain yang
mempunyai persentase luas hutan kurang, yakni Sub DAS
Sambong dan Gagakan. Secara teoritis sub DAS yang
0
100
200
300
400
5000
50
100
150
200
250
300
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cu
rah
hu
jan
bu
lan
an
(m
m)
De
bit
bu
lan
an
sp
esi
fik
(m
m)
Bulan ke
Curah hujan
Modang, 82 % jati tua
Cemoro, 82% jati tua
Kejalen, 74% jati tua
Sambong, 70% jati tua
Gagakan, 53% jati tua
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
51
mempunyai areal hutan yang tinggi akan menghasilkan
debit yang kurang dibandingkan dengan Sub DAS dengan
tutupan hutan rendah. Hasil air tahunan rata-rata
tertinggi terjadi di Sub DAS Kejalen sebesar 904
mm/tahun dan terendah Sub DAS Modang hanya 292
mm/tahun.
Sebagai perbandingan terhadap hasil air dari sub
DAS berhutan jati yang diuraikan di atas, Huang, Zhang, &
Gallichand (2003) melakukan evaluasi hasil air di Loess
Plateau di China menggunakan sub DAS berpasangan
dengan menganalisis data dari tahun 1956 sampai dengan
1980. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa penghijauan
80% dari luas sub DAS menurunkan 32% hasil air
dibandingkan dengan sub DAS yang tidak diberi
perlakuan dan dibiarkan ditanami rumput. Hasil analisis
juga menunjukkan adanya pengurangan hasil air tahunan
dengan bertambahnya umur tanaman, disamping
pengurangan puncak banjir secara nyata. Sementara itu
Bi, Liu, Yun, Chen, & Cui (2009) pada tempat yang sama,
yaitu di Loess Plateau, China mendapatkan bahwa
perubahan penutupan lahan dari tahun 1954 hingga 2008
yang meliputi peningkatan luas hutan tanaman dari 0 %
menjadi 40% dan pengurangan lahan terbuka dari 50 %
menjadi 5 % menyebabkan pengurangan aliran sungai
49,6% tiap tahun.
Hasil air yang kurang pada sub DAS dengan
persentase tutupan hutan jati tinggi (Modang dan
Cemoro) dibandingkan dengan sub DAS yang luasan
hutan jati lebih rendah disebabkan antara lain oleh
penggunaan air untuk evapotranspirasi. Pada sub DAS
dengan persentase penutupan hutan lebih tinggi atau
pada areal reboisasi maka kehilangan air melalui
evapotranspirasi juga meningkat (Price, 2011). Lebih jauh
Bruijnzeel (2004) menyatakan bahwa evapotranspirasi
pada hutan dengan tegakan yang tua (mature forest) lebih
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
52
tinggi dibandingkan dengan evapotranspirasi dari hutan
yang terdiri dari tegakan muda. Kondisi demikian juga
dijumpai pada Sub DAS Modang dan Cemoro dengan
persentase hutan jati tua sekitar 82% dan jati muda 18%
dari luas sub DAS. Pada sub DAS selain Modang dan
Cemoro, luas hutan jati muda berkisar antara 22 hingga
29% dari luas sub DAS.
Sebagai informasi evapotranspirasi hutan tanaman
jati di Thailand sebesar 977±108 mm/tahun atau
sebanyak 73% dari curah hujan sebesar 1335±256
mm/tahun (Igarashi et al., 2015). Tegakan jati yang diteliti
tersebut ditanam pada tahun 1968, dan penelitian
dilakukan pada tahun 2005 hingga 2012, dengan rata-rata
diameter setinggi dada 22,4 cm pada tahun 2005 dan
kerapatan tegakan 440 pohon/ha (2005) menjadi 433
pohon/ha (Igarashi et al., 2015). Lebih jauh ditemukan
bahwa jika curah hujan <1400 mm/tahun maka
evapotranspirasi naik sejalan dengan kenaikan jumlah
curah hujan, namun jika curah hujan>1400 mm/tahun
maka evapotranspirasi tidak menunjukkan
ketergantungan yang jelas terhadap jumlah curah hujan.
Jika jumlah curah hujan terbatas, maka evapotranspirasi
dikontrol oleh defisit tekanan uap air (vapor pressure
deficit) , indeks luas daun (Leaf Area Index), dan
kondutans stomata (Awotwi et al., 2014; Igarashi et al.,
2015).
Hasil air yang rendah pada DAS dengan tutupan
hutan yang luas juga disebabkan oleh tingginya
kehilangan air melalui intersepsi (Muñoz-Villers &
McDonnell 2013). Intersepsi air hujan oleh tegakan akan
menyebabkan pengurangan jumlah air hujan mencapai
lantai hutan dan akibatnya hasil air dari DAS juga
berkurang (Cheng, Lin, & Lu, 2002). Disamping kebutuhan
untuk evapotranspirasi, intersepsi, kondisi hasil air yang
rendah pada DAS dengan penutupan hutan yang luas
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
53
disebabkan oleh konsumsi air untuk akumulasi biomasa
tegakan terutama pada vegetasi yang dalam fase
pertumbuhan (Beck et al., 2013; Ellison, Futter, & Bishop,
2012).
5.2. Aliran Rendah dan Fluktuasi Air Tanah
Informasi lain yang dapat diperoleh dari Gambar 33
adalah pola aliran rendah (low flow). Aliran rendah adalah
aliran sungai pada musim kemarau (Smakhtnin, 2001).
Sumber air dari aliran rendah yang utama adalah dari
debit aliran air tanah (ground water discharge)
(Blumstock, Tetzlaff, Malcolm, Nuetzmann, & Soulsby,
2015; Smakhtnin, 2001). Aliran rendah ini sangat penting
dalam ekosistem sungai terutama untuk memelihara
kontinuitas ketersediaan air pada musim kemarau
(Mackay & Marsh, 2012). Jika diperhatikan Gambar 32,
terlihat bahwa aliran rendah yang biasa terjadi pada
bulan Juni sampai dengan September yang tertinggi
dijumpai pada sub DAS Kejalen dengan luas hutan 74%,
diikuti oleh sub DAS Sambong.
Berdasarkan hasil dari telaah pustaka dijumpai
hasil-hasil penelitian yang berbeda tentang hubungan
antara luas hutan dengan aliran rendah. Fahey & Jackson
(1997) di Australia telah melakukan penelitian dengan
membandingan dua sub DAS yang ditanami rumput
tussock dan sub DAS kedua 67% dari tanaman rumput
dikonversi menjadi tanaman pinus. Setelah dilakukan
pengamatan dari tahun 1982 hingga 1989 mereka
mendapatkan bahwa aliran rendah yang kurang pada sub
DAS yang dikonversi menjadi tanaman pinus. Hal tersebut
disebabkan oleh jumlah intersepsi yang tinggi.
Berbeda dengan Fahey & Jackson (1997), hasil
penelitian Price (2011) yang menggunakan 35 sub DAS
dengan ukuran antar 3 sampai dengan 146 km2 dilakukan
di North Caroline, Amerika menunjukkan bahwa luas
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
54
hutan berkorelasi positif dengan aliran rendah yang
terjadi pada tahun 2007 maupun 2008 walaupun pada
tahun 2008 terjadi kekeringan. Price (2011) menyatakan
bahwa pada lokasi yang diteliti aliran rendah lebih
dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi, terutama
kerapatan drainase, topografi, endapan koluvium, dan
persentase jaringan alur sungai order pertama.
Penelitian pengaruh keberadaan hutan jati
terhadap fluktuasi air tanah telah dilakukan oleh
Pramono & Wahyuningrum (2011) di sub DAS Ngroto, di
Cepu. Penelitian dilakukan pada musim kemarau hingga
awal musim penghujan pada tahun 2009 menggunakan
79 sumur yang ada di sub DAS Ngroto. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa fluktuasi air tanah yang
diamati melalui sumur yang ada sangat dipengaruhi oleh
musim dan jarak sumur terhadap hutan jati. Fluktuasi air
tanah terendah terjadi jika jarak antara sumur dengan
hutan jati sekitar 100m, sedangkan fluktuasi tertinggi
dijumpai pada sumur yang berjarak 1000 m dari areal
hutan jati. Koefisien determinasi antara jarak sumur
terhadap hutan jati dengan tingkat fluktuasi air tanah
sebesar 0,74.
5.3. Puncak Banjir dan Koefisien Aliran
Peranan hutan secara umum dalam pengendalian
puncak-puncak debit/banjir telah menjadi perdebatan
yang seru dikalangan ilmuwan. Selama ini masyarakat
umum menganggap bahwa banjir disebabkan terjadinya
pengurangan luas hutan akibat penebangan ataupun
konversi alih penggunaan lahan. Namun kenyataannya,
pada beberapa kejadian menunjukkan meskipun kondisi
hutan masih bagus, banjir tetap saja terjadi. Kondisi
demikian disebabkan faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya banjir bukanlah faktor tunggal yang selama ini
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
55
dianggap paling berpengaruh, yakni persentase luas
hutan, namun banjir disebabkan oleh beberapa faktor
yang saling berpengaruh satu dengan yang lain. Menurut
Birkinshaw, Bathurst, Iroumé, & Palacios (2011)dan
Dung, Hiraoka, Gomi, Onda, & Kato, (2015), penyebab
terjadinya banjir sangat kompleks. Menurut mereka,
banjir tidak saja dipengaruhi oleh persentase penutupan
hutan dan cara pengelolaanya dalam DAS, tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor biofisik lain yaitu pola hujan,
karakteristik tanah, topografi, maupun geologi. Dalam
buku ini puncak-puncak banjir yang dimaksud mengikuti
definisi yang dikemukakan oleh Robinson et al., (2003)
yakni puncak banjir yang tidak selalu menyebabkan
terjadinya luapan aliran sungai.
Debit puncak banjir pada sub DAS berhutan jati
seluas 4,2 km2 yang berumur kurang dari 40 tahun cukup
tinggi yakni 32,5 m3/detik atau 27,8 mm (Hendrayanto,
Arifjaya, Rusdiana, Wasis, 2001). Hasil penelitian tersebut
diperoleh Hendrayanto et al. (2001) di hulu sub DAS
Cijurey, DAS Cibodas yang terletak di KPH Purwakarta.
Alat yang digunakan untuk memantau tinggi muka air
pada penelitian tersebut adalah AWLR dan mencatat data
selama Januari 1999 sampai dengan Desember 2000.
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh kapasitas
infiltrasi yang rendah, intensitas hujan yang tinggi, dan
juga tutupan kanopi hutan yang kurang bagus.
Penambahan areal hutan jati dalam suatu DAS/sub
DAS diharapkan dapat mengurangi terjadinya puncak
banjir, namun demikian seperti yang terjadi pada jenis
hutan yang lain ternyata pada saat curah hujan ekstrim,
peran hutan jati dalam pengendalian puncak-puncak
banjir menjadi berkurang. Hal demikian juga terjadi pada
hutan pinus. Pramono, Gunawan & Budiastuti (2016)
mendapatkan pada hujan tingkat sedang (<70mm/
kejadian hujan), maka hutan pinus dapat mengurangi
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
56
puncak banjir, namun pada hujan dengan intensitas tinggi
(>70 mm/kejadian hujan) sub DAS yang arealnya tertutup
95% hutan pinus tidak dapat mengurangi puncak banjir.
Pada sub DAS berhutan jati walaupun luas tutupan hutan
jati yang tergolong tua dengan Kelas Umur (KU) III ke atas
sebanyak 74% dari luas sub DAS ternyata tidak mampu
mengurangi puncak banjir yang disebabkan oleh
ketebalan hujan sebanyak 163 mm/hari (Basuki, Wijaya,
& Adi, 2017).
Puncak banjir spesifik Sub DAS Kejalen berkisar
antara 0,21 sampai dengan 6,90 m3/detik/km2. Untuk Sub
DAS Gagakan puncak banjir spesifik mempunyai kisaran
dari 0,60 sampai dengan 4,75 m3/detik/km2. Pada
umumnya puncak-puncak banjir yang terjadi di sub DAS
Kejalen kurang dibandingkan dengan puncak-puncak
banjir yang terjadi di Sub DAS Gagakan, kecuali pada
hujan-hujan yang ekstrim seperti pada hujan harian
sebanyak 163 mm. Pada hujan harian sebesar 163 mm,
puncak banjir spesifik di sub DAS Kejalen adalah 6,9
m3/detik/km2, sedangkan di Sub DAS Gagakan sebesar 4,7
m3/detik/km2 (Basuki et al., 2017). Menurut Lopez-
Moreno, Begueria, & García-Ruiz (2006) kondisi suatu
DAS yang mayoritas tertutup hutan tetapi mempunyai
debit puncak tinggi kemungkinan disebabkan oleh
kondisi intersepsi tajuk yang sudah jenuh sehingga semua
air hujan jatuh ke lantai hutan. (Bathurst et al., 2011)
menyatakan pada hujan yang sangat deras, hutan
berkurang fungsinya dalam menurunkan puncak debit
atau puncak banjir. Hal demikian terjadi karena pada
curah hujan yang sangat tinggi atau ekstrim, tanah di
bagian hulus DAS menjadi jenuh dan menekan air aliran
ke samping (seepage) untuk semuanya menuju sungai
sehingga terjadi kenaikan debit puncak ataupun terjadi
banjir (Williams, Dowd, & Meyles, 2002).
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
57
Perbandingan scatter plot antara hujan harian
dengan puncak banjir pada Sub DAS Kejalen dan Gagakan
disajikan dalam Gambar 33. Puncak banjir Sub DAS
Gagakan umumnya lebih tinggi daripada Sub DAS Kejalen.
Gambar 33. Sactter plot antara curah hujan harian dengan
debit puncak Sumber : Basuki et al. (2017)
Gambar 34 menunjukkan beberapa bentuk
hidrograf dari kedua sub DAS tersebut. Berdasarkan
gambar-gambar tersebut terlihat bahwa untuk mencapai
kondisi seperti sebelum terjadi puncak banjir di sub DAS
Gagakan membutuhkan waktu hingga keesokan harinya.
Kondisi demikian disebabkan Sub DAS Gagakan lebih
panjang daripada Sub DAS Kejalen. Pada tanggal 8
Februari 2016, kenaikan puncak banjir yang dimulai pada
jam 14.26 sudah normal kembali pada jam 19.41 di Sub
DAS Kejalen. Di sub DAS Gagakan kenaikan debit pada
tanggal yang sama yang dimulai sejak jam 15.44 baru
kembali normal pada tanggal 9 Februari 2015 pada jam
05.49.
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200
De
bit
pu
nca
k (m
3/d
eti
k/k
m2 )
Curah hujan harian (mm)
Kejalen, 74% jati tua
Gagakan, 53% jati tua
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
58
Gambar 34. Beberapa bentuk hidrograf aliran pada sub DAS Kejalen dan Gagakan
Sumber : Modifikai dari Basuki et al. (2017)
0
2
4
6
8
14
:26
:01
14
:41
:01
14
:56
:01
15
:11
:01
15
:26
:01
15
:41
:01
15
:56
:01
16
:11
:01
16
:26
:01
16
:41
:01
16
:56
:01
17
:11
:01
17
:26
:01
17
:41
:01
17
:56
:01
18
:11
:01
18
:26
:01
18
:41
:01
18
:56
:01
19
:11
:01
19
:26
:01
19
:41
:01
Pu
nca
k b
anjir
sp
esi
fik
(m3/d
eti
k/km
2)
Waktu
Kejalen, 74% jati tua
8 Pebruari 2015Hujan 80 mm/hari
0
2
4
6
8
15
:44
:18
16
:24
:18
17
:04
:18
17
:44
:18
18
:24
:18
19
:04
:18
19
:44
:18
20
:24
:18
21
:04
:18
21
:44
:18
22
:24
:18
23
:04
:18
23
:44
:18
0:2
4:1
8
1:0
4:1
8
1:4
4:1
8
2:2
4:1
8
3:0
4:1
8
3:4
4:1
8
4:2
4:1
8
5:0
4:1
8
5:4
4:1
8
Pu
nca
k b
anjir
sp
esi
fik
(m3/d
eti
k/km
2)
Waktu
Gagakan, 53% jati tua8-9 Pebruari 2015Hujan 80 mm/hari
0
2
4
6
8
15
:34
:53
16
:09
:53
16
:44
:53
17
:19
:53
17
:54
:53
18
:29
:53
19
:04
:53
19
:39
:53
20
:14
:53
20
:49
:53
21
:24
:53
21
:59
:53
22
:34
:53
23
:09
:53
23
:44
:53
0:1
9:5
3
0:5
4:5
3
1:2
9:5
3
2:0
4:5
3
2:3
9:5
3
3:1
4:5
3
Pu
nca
k b
anjir
sp
esi
fik
(m3 /
de
tik/
km2 )
Waktu
Kejalen, 74% jati tua14-15 Desember 2015
Hujan 163 mm/hari
0
2
4
6
8
15
:49
:53
16
:34
:53
17
:19
:53
18
:04
:53
18
:49
:53
19
:34
:53
20
:19
:53
21
:04
:53
21
:49
:53
22
:34
:53
23
:19
:53
0:0
4:5
3
0:4
9:5
3
1:3
4:5
3
2:1
9:5
3
3:0
4:5
3
3:4
9:5
3
4:3
4:5
3
5:1
9:5
3
6:0
4:5
3
6:4
9:5
3
Pu
nca
k b
anjir
sp
esi
fik
(m3 /
de
tik/
km2 )
Waktu
Gagakan, 53% jati tua14-15 Desember 2015
Hujan 163 mm/hari
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
59
5.4. Koefisien aliran
Koefisien aliran atau runoff coefficient (C)
merupakan perbandingan antara air hujan yang jatuh dan
langsung menjadi limpasan permukaan dan jumlah hujan
yang turun per kejadian hujan (Fang et al., 2012; Merz,
2006). Koefisien aliran pada satu kejadian hujan (event
runoff coefficient) merupakan variabel penting dalam
konsep hidrologi (Merz, 2006). Data koefisien aliran
selama Maret 2015 sampai dengan April 2016
diilustrasikan dalam Gambar 35.
Pada setiap kejadian peningkatan debit aliran
sungai terlihat nilai C dari Sub DAS Gagakan lebih tinggi
daripada nilai C pada Sub DAS Kejalen. Hanya pada
beberapa kejadian hujan tertentu C pada Sub DAS
Gagakan kurang dibandingkan dengan Sub DAS Kejalen,
seperti yang terjadi pada tanggal 14-15 Desember 2015.
Nilai C yang lebih tinggi pada kondisi hujan yang ekstrim
disebabkan tanah di bawah tegakan dan lantai hutan
sudah sangat jenuh air sehingga tidak dapat menampung
air hujan yang jatuh. Dilain pihak, di Sub DAS Gagakan
terdapat penggunaan lahan sawah yang bentuknya
merupakan cekungan dapat menampung air hujan
sebelum dialirkan ke tempat yang lebih rendah lagi atau
ke anak-anak sungai yang selanjutnya masuk ke sungai
utama. Nilai C Sub DAS Kejalen bervariasi dari 3 hingga 60
% dengan rata-rata 20%. Untuk sub DAS Gagakan nilai C
terendah 6 hingga 77%, dengan rata-rata 37,5%.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
60
Gambar 35. Koefisien aliran langsung dari Januari 2015 sampai dengan Mei 2016
Sumber : Pengolahan data primer
Pada hujan yang terjadi pada tanggal 14-15
Desember 2015 tersebut, aliran langsung pada sub DAS
Kejalen sebesar 50 mm, sedangkan pada sub DAS Gagakan
hanya sebesar 36.6 mm. Sebagai perbandingan adalah
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriwongsitanon &
Taesombat (2011) yang menganalisis data dari tahun
1988 hingga 2005 dari 11 sub DAS di Thailand.
Sriwongsitanon & Taesombat (2011) mendapatkan
bahwa 2 dari 11 sub DAS yang diteliti menunjukkan
kenaikan koefisien aliran langsung dengan peningkatan
luas penutupan hutan dan sebaliknyapenurunan
koefisien aliran langsung dengan kenaikan persentase
luas areal pertanian dan hutan yang rusak. Hal yang tidak
lazim ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
karakteristik DAS yang diteliti selain faktor penutupan
lahan.
Selain berpengaruh terhadap koefisien aliran
sesaat, persentase penutupan hutan jati juga berpengaruh
terhadap Koefisien Aliran Tahunan (KAT). Supangat,
Sukresno, & Priyono (2002) mendapatkan bahwa pada
Sub DAS Modang yang hampir semua arealnya tertutup
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1K
oe
fisi
en
alir
an
Kejalen, 74% jati tua Gagakan, 53% jati tua
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
61
hutan jati mempunyai nilai KAT 0,26 dan Sub DAS
Grojogan yang 18% arealnya tertutup hutan rakyat jati
nilai KAT sebesar 0,34.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
62
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
63
VI. SEDIMEN TERLARUT SUB DAS
BERHUTAN JATI
6.1 Sumber-sumber Sedimen
Erosi dan sedimentasi merupakan dua proses yang
saling terkait satu dengan yang lainnya (Feng et al., 2010;
Defersha & Melesse, 2012). Erosi tanah baik berupa erosi
permukaan, erosi parit, erosi jurang maupun erosi tebing
sungai yang materialnya terbawa oleh limpasan
permukaan menuju ke sungai merupakan sumber muatan
sedimen (Diodato et al., 2014). Erosi merupakan
peristiwa pengikisan lapisan tanah oleh tenaga atau
energi yang dihasilkan oleh butiran air hujan yang jatuh
dan mengenai permukaan tanah yang terbuka. Jika
permukaan tanah banyak terdapat seresah ataupun
tumbuhan bawah maka energi perusak yang dihasilkan
oleh butiran air hujan yang jatuh akan berkurang dan
dapat mengurangi jumlah tanah yang tererosi. Erosi tanah
merupakan kerusakan yang bersifat setempat (on-site) di
bagian atas suatu sub DAS/DAS (Nu-Fang, Zhi-Hua, Lu, &
Cheng, 2011), selain itu juga terjadi kerusakan bagian
bawah atau hilir akibat erosi, yaitu berupa terjadinya
sedimentasi di bagian hilir atau off-site (Shi et al., 2013).
Pada areal hutan yang mempunyai strata tajuk, energi
perusak butiran air hujan juga dapat dikurangi. Akan
tetapi jika hutan tidak mempunyai strata tajuk dan juga
hanya dijumpai sedikit seresah maka air hujan yang jatuh
dari tegakan-tegakan hutan yang tinggi secara langsung
mengenai permukaan tanah dan masih mempunyai
energi perusak agregat tanah yang mengakibatkan erosi.
Beberapa peneliti sudah melakukan pengukuran
erosi di bawah hutan jati, dan disinyalir erosi yang terjadi
di hutan jati cukup tinggi. Hal demikian disebabkan hutan
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
64
jati pada musim kemarau menggugurkan daunnya dan
pada waktu awal musim hujan tajuk tegakan belum
rimbun menyebabkan butiran hujan langsung jatuh ke
atas permukaan tanah dan merusak agregat tanah. Dalam
kaitan dengan erosi di bawah tegakan jati, terjadi variasi
terhadap hasil pengukuran tanah yang hilang. Fernández-
moya et al. (2014) menyatakan bahwa erosi di bawah
tegakan jati selama 14 bulan hanya 6,7 ton/ha pada hutan
jati tua dan 7,2 ton/ha di bawah tegakan jati muda.
Penelitian tersebut dilakukan pada lahan berhutan jati
dengan kemiringan lereng 30 sampai 60% di Guanacaste,
Costa Rica. Dua puluh tahun sebelum Fernández-moya et
al. (2014) melakukan kegiatan penelitian tersebut, pada
lokasi yang sama Acre and Avarado dalam Fernández-
moya et al. (2014) juga mengukur erosi dan mendapatkan
jumlah tanah tererosi yang jauh lebih banyak daripada
hasil pengukuran Fernández-moya et al.(2014), yakni
sebesar 162 sampai 190 ton/ha/tahun di bawah tegakan
jati yang sedang umurnya. Menurut Fernández-moya et
al.(2014), kondisi tersebut disebabkan perbedaan
managemen yang diterapkan yakni yang berkaitan
dengan tumbuhan bawah. Pada saat penelitian Acre dan
Avarado, kondisi lantai hutan bersih tanpa penutup tanah,
sedangkan pada saat penelitian yang dilakukan oleh
Fernández-moya et al.(2014) lantai hutan tertutup
tumbuhan bawah.
Kondisi tersebut juga dijumpai oleh Ribolzi et al.
(2017) dalam penelitiannya di Laos yang mengukur
peningkatan sedimen pada DAS yang penggunaan
lahannya berubah dari sistim perladangan dengan
tanaman semusim yang dapat menutup permukaan tanah
menjadi tegakan jati yang lantai hutannya terbuka akibat
pembakaran. Berdasarkan data dari tahun 2002 hingga
2014 diperoleh peningkatan limpasan permukaan 16
menjadi 31% dan mengakibatkan peningkatan
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
65
kandungan sedimen dari 68 menjadi 609 ton/km2 yang
disebabkan energi kinetik air yang jatuh dari tajuk, tidak
adanya tumbuhan bawah, dan terbentuknya pengerasan
tanah sehingga terjadi penurunan infiltrasi (Ribolzi et al.,
2017).
Kondisi hutan jati dimusim kemarau yang
menggugurkan daunnya dan dengan sifat tanah yang jika
basah mengembang menyebabkan agregat tanah rusak
jika terjadi hujan. Jika hujan jatuh pada lahan berlereng
dan kurang vegetasi penutup tanah maka terjadi benturan
air hujan pada agregat tanah dan pecahan agregat tanah
menjadi lumpur. Tanah yang sudah terdispersi akibat
hujan tersebut akan terbawa limpasan permukaan dan
menuju ke sungai sebagai sedimen terlarut. Hal demikian
juga dijumpai oleh Coster (1938) dalam Supangat et. al.
(2014) ketika penelitian di Kabupaten Rembang. Dalam
penelitianya, Coster (1938) dalam Supangat et.al., (2014)
menjumpai adanya peningkatan limpasan permukaan
pada lantai hutan jati pada awal musim penghujan akibat
tegakan jati yang masih gundul dan permukaan lantai
hutan tidak tertutup seresah. Supangat et.al. (2014) dari
hasil penelitiannya di KPH Cepu, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah menyatakan bahwa erosi di bawah tegakan jati
menurun dengan semakin meningkatnya umur tegakan.
Di bawah tegakan jati kelas umur (KU) I erosi sebesar 5,55
ton/ha/tahun, dan pada KU V-VIII erosi yang terjadi
hanya sebesar 1,76 ton/ha/tahun. Jika KU V dijarangi
erosi meningkat erosi tanah menjadi 9,6 ton/ha/tahun.
Sumber erosi tanah penyebab peningkatan sedimen
terlarut dalam suatu DAS dapat juga berasal dari hutan
jati yang masih muda yang tajuknya belum saling
menutup antara tegakan yang satu dengan yang lainnya
seperti pada Gambar 36. Tegakan jati yang
ditumpangsarikan dengan tanaman semusim seperti yang
diperlihatkan dalam Gambar 37 juga merupakan sumber
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
66
erosi. Sumber sedimen juga dapat berasal dari erosi tanah
pada tampingan teras pada sistem tumpangsari jati
dengan tanaman semusim. Gambar 38 memperlihatkan
tampingan teras yang tidak diperkuat dengan rumput
ataupun batu yang dapat runtuh akibat hujan deras. Selain
itu juga pada hutan jati yang terbakar sehingga
permukaan tanah tidak tertutup tumbuhan bawah seperti
Gambar 39.
Gambar 36. Erosi di bawah hutan jati muda
di Kab. Bojonegoro Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 37. Erosi tanah pada tumpangsari jati dengan
tanaman semusim pada lahan miring Sumber : Dokumentasi pribadi tahun 2014
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
67
Gambar 38. Tampingan teras pada sistem tumpangsari jati
dengan tanaman semusim yang tidak diperkuat menyebabkan erosi
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 39. Tampingan teras tidak ada penguat dan tumbuhan
bawah terbakar pemicu erosi tanah jika turun hujan
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2011
Walaupun terlihat hutan jati yang rimbun terutama
jika dilihat dari atas atau dengan citra satelit, namun jika
diamati di bagian bawah terlihat tanah tidak tertutup
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
68
tumbuhan bawah (Gambar 40). Kondisi demikian akan
menyebabkan terjadi erosi bila turun hujan. Pada Gambar
41 terlihat longsoran tanah yang dapat menjadi sumber
sedimen jika tanah terbawa limpasan permukaan hingga
ke badan sungai. Erosi tebing sungai juga dijumpai pada
areal hutan jati di KPH Cepu seperti yang terlihat dalam
Gambar 42.
Gambar 40. Hutan tanaman jati dengan tajuk rimbun namun
lantai hutan tidak tertutup tumbuhan bawah (a) dan (b) di Kab. Ponorogo
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
69
Gambar 41. Tanah longsor pada tebing di areal hutan jati
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2014
Gambar 42. Erosi tebing sungai yang merupakan sumber dari
sedimen terlarut Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2017
6.2. Sedimen Terlarut pada Sub DAS Berhutan
Jati
Sedimen terlarut dalam air sungai berpengaruh
terhadap kualitas lingkungan perairan. Peningkatan
konsentrasi sedimen menyebabkan terganggunya
kehidupan biota air, menghalangi penetrasi cahaya, dan
merupakan agen transportasi dari polutan organik, logam
berat, maupun hara (Russell, Walling, & Hodgkinson,
2001) serta penurunan produktivitas perikanan di sekitar
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
70
pesisir (Paryono, Damar, A., Susilo, Dahuri, & Suseno,
2017). Sedimentasi juga akan meningkatkan potensi
banjir, pengurangan kapasitas penyimpanan air dalam
waduk yang berarti juga pengurangan umur harapan
waduk (Nu-Fang et al., 2011) dan yang akan
menyebabkan kerugian secara ekonomi (Brosinsky,
Brosinsky, Foerster, & Segl, 2015).
Basuki (2017) telah melakukan penelitian pada
lima sub DAS yang ditanami berbagai persentase jati tua
yang dilakukan di Kabupaten Blora. Kelima sub DAS
beserta persentase penutupan hutan jati tua (KU III
sampai V) adalah Sub DAS Modang, Cemoro, Kejalen,
Sambong, dan Gagakan dengan persentase hutan jati tua
masing-masing secara berurutan adalah 82, 82, 74, 70,
dan 53 %. Walaupun aliran sungai di Sub DAS Modang dan
Cemoro juga mengandung sedimen, akan tetapi hasil rata-
rata sedimen terlarut bulanan antar 5 Sub DAS yang
diteliti menunjukkan nilai terendah terjadi pada Sub DAS
Modang dan disusul Sub DAS Cemoro seperti yang terlihat
dalam Gambar 44. Pada bulan November dan Desember
kandungan sedimen meningkat tajam dibandingkan
dengan bulan September - Oktober karena pada bulan
November ataupun Desember merupakan awal musim
penghujan. Sebelum turun hujan tanah yang bersifat
mengembang dan mengkerut banyak mempunyai
rekahan, pada waktu turun hujan tanah tersebut
terdispersi dan hanyut terbawa limpasan permukaan
menuju ke badan-badan sungai sebagai sedimen terlarut.
Disamping itu, masyarakat petani juga mulai mengolah
tanah untuk ditanami sehingga menambah pasokan tanah
yang hanyut ke badan sungai. Pada bulan-bulan Januari
hingga April sedimen terlarut juga tinggi karena curah
hujan pada bulan-bulan tersebut juga tinggi dan kondisi
tanah juga sudah mulai jenuh air sehingga air hujan yang
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
71
jatuh banyak yang menjadi aliran langsung yang
membawa tanah hasil erosi.
Jika diperhatikan Gambar 43 dan 44 maka terlihat
bahwa Sub DAS Sambong dengan persentase luas hutan
jati tua 70% mempunyai tingkat sedimen tertinggi
dibandingkan Sub DAS Gagakan yang mempunyai
persentase luas hutan jati yang lebih rendah yaitu 53%.
Hal ini disebabkan kandungan sedimen terlarut dalam
aliran sungai tidak hanya dipengaruhi oleh persentase
luasan hutan saja namun juga dipengaruhi parameter lain
yang saling berinteraksi. Yeshaneh, Eder, & Blöschl
(2014) menyatakan bahwa transportasi hasil erosi ke
badan sungai dipengaruhi beberapa faktor yaitu variasi
iklim, penggunaan lahan, topografi, jenis tanah, dan
kondisi drainase, serta panjang DAS.
Gambar 43. Rata-rata sedimen terlarut pada kelima sub DAS
yang diteliti berdasarkan data tahun 2008 -2015 Sumber : Modifikasi dari Basuki, 2017
0
200
400
6000
3
6
9
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Ags Sep Okt Nov Des
Rata
-rata
cu
rah
hu
jan
(m
m)
Rata
-rata
sed
imen
ter
laru
t (t
on
/ha/b
ula
n)
Curah hujan Modang, jati tua 82% Cemoro, jati tua 82%
Kejalen, jati tua 74% Sambong, jati tua 70% Gagakan, jati tua 53%
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
72
Gambar 44. Sedimen terlarut tahunan
Sumber : Modifikasi dari Basuki (2017)
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari hasil
pengamatan di lapangan adalah bahwa Sub DAS Modang
dan Cemoro yang hampir semua arealnya tertutup oleh
hutan jati aliran sungainya masih mengandung sedimen
terlarut. Jika terjadi hujan, air yang mengalir melalui
outlet kedua sub DAS tersebut terlihat keruh seperti hujan
yang terjadi pada tanggal 9 Nopember 2016. Kondisi Sub
DAS Modang sebelum hujan, air sungai masih jernih
(Gambar 45a) dan setelah hujan air sungai keruh (45b dan
c). Hal demikian juga terjadi pada Sub DAS Cemoro seperti
yang diperlihatkan dalam Gambar 46a dan b.
Kekeruhan aliran sungai tersebut disebabkan
terjadinya erosi pada lahan-lahan di atasnya. Pada hutan
jati kanopi tegakan tidak saling menutup rapat satu
dengan yang lain dan lantai hutan juga tidak tertutup
rapat oleh seresah ataupun tumbuhan bawah sehingga
jika terjadi hujan deras maka erosi tetap terjadi walaupun
pada sub DAS yang persentase luas hutannya tinggi.
Kondisi tersebut juga dijumpai oleh Ribolzi et al. (2017)
dalam penelitiannya di Laos yang mengukur peningkatan
0
1000
2000
3000
40000
50
100
150
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Sed
imen
ter
laru
t (t
on
/ha
/ta
hu
n)
Tahun
Curah hujan Modang, jati tua 82% Cemoro, jati tua 82%
Kejalen, jati tua 74% Sambong, jati tua 70% Gagakan, jati tua 53%
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
73
sedimen pada DAS yang penggunaan lahannya berubah
dari sistim perladangan dengan tanaman semusim yang
dapat menutup permukaan tanah menjadi tegakan jati
yang lantai hutannya terbuka akibat pembakaran.
Berdasarkan data dari tahun 2002 hingga 2014 diperoleh
peningkatan limpasan permukaan 16 menjadi 31% dan
mengakibatkan peningkatan kandungan sedimen dari 68
menjadi 609 ton/km2 yang disebabkan energi kinetik air
yang jatuh dari tajuk, tidak adanya tumbuhan bawah, dan
terbentuknya pengerasan tanah sehingga terjadi
penurunan infiltrasi Ribolzi et al. (2017).
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
74
Gambar 45. Kondisi air pada outlet sub DAS Modang pada
tanggal 9 Nopember 2016, sebelum terjadi hujan
(a) setelah hujan air sungai keruh (b dan c)
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2016
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
75
Gambar 46. Kondisi air pada outlet sub DAS Cemoro pada
tanggal 9 Nopember 2016, sebelum terjadi hujan
(a) setelah hujan air sungai keruh (b)
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2016
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
76
6.3. Hubungan Sedimen dengan Curah Hujan
Curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah
dan menjadi limpasan permukaan merupakan media
transportasi yang membawa material hasil erosi berupa
tanah ke tempat-tempat yang lebih rendah dan terus
menuju ke sungai. Oleh karena itu curah hujan merupakan
salah satu penentu kandungan sedimen dalam air sungai.
Hubungan antara curah hujan dan sedimen telah lama
diteliti oleh Langbein dan Schumm (1958) dalam Diodato
et al. (2014). Dalam penelitian tersebut mereka
mendapatkan bahwa energi yang tersedia untuk erosi dan
transportasi tanah hasil erosi ke sungai berkorelasi positif
untuk curah hujan efektif tahunan hingga 300 mm.
Walaupun curah hujan merupakan salah satu penentu
kandungan sedimen dalam aliran sungai, namun
pengaruhnya sangat bervariasi tergantung karakteristik
hujan yang turun, baik intensitas dan jumlah hujan,
distribusi spasial dan temporal (Fang et al., 2012).
Data curah hujan dan sedimen terlarut yang
diperoleh dari hasil penelitian Basuki (2017) dibuat
regresi dan hasilnya disajikan dalam Gambar 47.
Hubungan antara curah hujan dengan sedimen pada sub
DAS- Sub DAS yang diteliti yang dicerminkan dari nilai
koefisien determinasi. Koefisien determinasi antara curah
hujan dengan sedimen 0, 35 dijumpai di berkisar antara
Sub DAS Cemoro sampai dengan 0,62 yang terjadi di Sub
DAS Sambong. Data yang digunakan merupakan rata-rata
dari tahun 2008 hingga 2015 yang terdapat pada masing-
masing sub DAS yang diteliti.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
77
Gambar 47. Hubungan curah hujan rata-rata bulanan dengan
sedimen rata-rata bulanan
Sumber : Hasil analisis data primer
6.4. Pencegahan dan Penanggulangan Sedimen
Pencegahan ataupun penanggulan sedimen
terlarut penting dilakukan mengingat kerugian langsung
atau tidak langsung dari keberadaan sedimen dalam air.
Oleh karena itu upaya untuk mencegah terjadinya
sedimentasi ataupun untuk menangulangi peningkatan
sedimen terlarut dalam badan sungai menurut Russell et
al., (2001) perlu dilakukan beberapa langkah yaitu
mencari sumber atau lokasi erosi, mempelajari sifat erosi
dan dilanjutkan dengan penerapan metode konservasi
tanah dan air yang sesuai dengan kondisi biofisik
setempat. Alemayehu et al. (2009) menyarankan
pengurangan erosi-sedimentasi dengan penerapan
pengelolaan DAS secara terintegrasi melalui penerapan
y = 0,405e0,004x
R² = 0,426
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200 250 300
Sed
ime
n (t
on
/ha)
Curah hujan bulanan (mm)
Modang, 82% hutan jati tua
y = 0,257e0,007x
R² = 0,501
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200 250 300
Sed
ime
n (t
on
/ha)
Curah hujan bulanan (mm)
Cemoro, 82% hutan jati tua
y = 0,597e0,005x
R² = 0,355
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200 250 300
Sed
ime
n (t
on
/ha)
Curah hujan bulanan (mm)
Kejalen, 74% hutan jati tuay = 0,614e0,007x
R² = 0,524
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200 250 300
Sed
ime
n (t
on
/ha)
Curah hujan bulanan (mm)
Gagakan, 82% hutan jati tua
y = 1,691e0,006x
R² = 0,620
0
2
4
6
8
0 50 100 150 200 250 300
Sed
ime
n (t
on
/ha)
Curah hujan bulanan (mm)
Sambong, 70% hutan jati tua
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
78
stabilisasi erosi jurang, erosi tebing sungai dan
rehabilitasi lahan terdegradasi.
Prinsip memasukkan air hujan yang jatuh ke dalam
tanah sebanyak-banyaknya perlu diterapkan tidak hanya
untuk mencegah agar air hujan terbuang sia-sia atau
mengalir langsung ke laut ataupun mencegah banjir,
namun juga agar air hujan tersimpan dalam tanah yang
dapat dialirkan pada waktu musim kemarau.
Memasukkan air hujan ke dalam tanah berarti juga
mengurangi erosi dan juga mengurangi sedimen.
Dalam kaitan dengan konservasi tanah dan air untuk
mengurangi atau menangulangi sedimen dan kebakaran
pada musim kemarau terutama pada lantai hutan
beberapa langkah pencegahan atau penanggulangan
antara lain sebagai berikut:
1. Penanaman tanaman penutup tanah jenis legum yang
tahan naungan. Fungsi legum tersebut selain
menutup tanah dari pukulan energi kinetik air hujan
juga untuk melembabkan tanah. Legum juga dapat
berfungsi penyumbang bahan organik tanah untuk
menstimulasi agregasi tanah agar lebih stabil.
Triwilaida dan Sukresno (1997) telah melakukan
penelitian tentang peranan rumput vertiver yang
dikombinasikan dengan legum penutp tanah
Centrosema pubescens di areal hutan tanaman jati di
KPH Cepu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
adanya pengurangan limpasan permukaan dan erosi
di bawah tegakan jati.
2. Penguatan tampingan teras dengan batu yang ada di
sekitar lokasi atau rumput pada lahan-lahan tumpang
sari jati dengan tanaman semusim diperlukan agar
teras tidak runtuh saat terjadi hujan dengan
intensitas tinggi. Contoh penguat teras pada areal
tumpangsari jati dengan tanaman semusim disajikan
dalam Gambar 48.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
79
Gambar 48. Contoh tampingan teras yang diperkuat dengan
batu yang banyak dijumpai di sekitar tegakan jati
untuk mencegah erosi
Sumber : Dokumentasi pribadi penulis tahun 2011
3. Penerapan sekat bakar baik yang vegetatif maupun
yang struktural seperti pembuatan selokan-selokan
sangat dianjurkan untuk mencegah penyebaran
kebakaran yang sering terjadi pada waktu musim
kemarau. Kebakaran akan menghilangkan bahan
organik yang diperlukan untuk stabilisasi agregat
tanah agar tidak mudah tererosi (Basuki, 2017).
4. Stabilisasi tebing-tebing sungai yang potensial
terjadi erosi dengan metode vegetatif maupun sipil
teknis (Basuki, 2017). Sukresno, Supangat, & Putra
(2005) dalam penelitiannya di BKPH Pasar Sore,
KPH Cepu telah menunjukkan pentingnya perapan
pengendali jurang kecil dan dam kecil untuk
mencegah hasil erosi masuk ke badan sungai
sebagai sedimen.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
80
5. Stabilisasi lereng untuk mencegah erosi tebing dan
longsor, baik dengan metode vegetatif maupun sipil
teknis (Basuki, 2017).
6. Pengamanan daerah sempadan sungai. Kawasan
Perlindungan Setempat (KPS) dalam hal ini daerah
sempadan sungai diperlukan guna mengurangi
dampak terjadinya erosi sebagai sumber sedimen
terlarut. Penanaman tegakan yang kayunya tidak
dipanen dan penanaman jenis-jenis MPTS (Multi
Purpose Tree Species) diharapkan dapat
mengurangi kerusakan di wilayah sempadan sungai
(Riyanto, Harjadi, & Nugroho, 2013).
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
81
7. PENUTUP
Hutan jati akan tumbuh baik jika persyaratan
tempat tumbuh yang meliputi kondisi iklim dan lahan
sesuai dengan yang dibutuhkan. Ketidak sesuaian lahan
untuk pengembangan hutan tanaman jati bukan berarti
tegakan jati yang ditanam tidak dapat hidup, tetapi
tegakan jati tetap dapat tumbuh namun dengan kondisi
pertumbuhan yang tidak baik. Untuk hutan jati yang
tumbuh pada areal yang kurang sesuai dengan
persyaratan tempat tumbuh yang dibutuhkan maka
diperlukan beberapa perlakuan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Kontroversi pengaruh hutan terhadap hasil air, baik
total volume, maupun puncak debit akan terus terjadi
selama kegiatan penelitian masih terus berlangsung
karena di alam banyak sekali variasi kondisi geo-biofisik
DAS maupun karakter hujan yang jatuh. Namun demikian
perlu digaris bawahi bahwa hasil air suatu DAS/sub DAS
tidak dipengaruhi faktor tunggal, misalkan hanya
persentase penutupan hutan atau penggunaan lahan
tertentu ataupun curah hujan saja. Dari segi penutupan
lahan, persentase luas dan jenis vegetasi penutup akan
berpengaruh juga terhadap hasil air DAS. Hujan sendiri
juga memberikan kontribusi terhadap hasil air melalui
intensitas hujan (mm/jam), ketebalan hujan per kejadian
hujan (mm) ataupun hujan harian (mm), dan juga
kelembaban tanah sebelumnya.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, geomorfologi,
geologi, topografi yang dicerminkan dari bentuk dan
kemiringan lahan juga ikut berperan dalam menentukan
hasil air DAS. Jenis tanah termasuk ketebalan solum,
tekstur, kandungan bahan organik yang berpengaruh
terhadap agregasi struktur tanah akan berpengaruh
terhadap jumlah air hujan yang dapat ditahan dan
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
82
disimpan dalam ekosistem DAS. Oleh karena itu dalam
melihat hasil air suatu DAS tidak dapat hanya dilihat
faktor-faktor yang mempengaruhi secara parsial namun
harus komprehensip.
Hasil sedimen dari DAS berhutan jati menunjukkan
bahwa semakin luas hutan jati maka sedimen terlarut
semakin kecil. Perubahan kandungan sedimen pada
berbagai luas hutan terlihat secara nyata pada curah
hujan yang tinggi. Pada curah hujan yang tinggi, daya
percik dan daya angkut sedimen meningkat lebih cepat
pada luas hutan yang lebih kecil dibandingkan dengan sub
DAS dengan penutupan lahan hutan yang lebih besar.
Untuk mengurangi konsentrasi sedimen terlarut pada
DAS berhutan jati, maka perlu dilakukan inventarisasi
sumber-sumber sedimen yang dilanjutkan dengan
penerapan konservasi tanah dan air. Teknik konservasi
tanah dan air yang diterapkan secara vegetatif maupun
sipil teknis harus memperhatikan kondisi biofisik
setempat, sebagai contoh sifat tanah yang umumnya
vertik yang mengembang jika basah dan mengkerut dan
merekah serta keras jika kering maka perlu penanganan
khusus, sifat tegakan jati yang menggugurkan daun pada
musim kemarau memerlukan konservasi tanah dan air
khususnya pada awal musim penghujan. Penerapan
teknik konservasi tidak hanya pada tanah tempat tumbuh
tanaman, namun juga pada tebing-tebing sungai.
Penanaman tanaman penutup tanah jenis legum yang
tahan naungan merupakan salah satu alternatif untuk
menjaga kelembaban lantai hutan dan juga merupakan
sumber bahan organik untuk menstimulasi agregasi agar
tanah tidak mudah terdispersi. Pada lahan-lahan yang
miring tampingan an teras perlu diperkuat. Penerapan
pengendali jurang kecil dan dam kecil juga dapat
digunakan untuk mendepositkan tanah hasil erosi.
Penanaman jenis-jenis yang tidak dipanen kayunya dan
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
83
jenis MPTS merupakan alternatif untuk menjaga
sempadan sungai agar tidak mengalami kerusakan.
Disamping penerapan teknik konservasi tanah dan
air, perlu juga diterapkan sekat bakar untuk mencegah
kebakaran yang dapat menghabiskan tumbuhan bawah
dan bahan organik pada lantai hutan yang berperanan
penting dalam pencegahan erosi. Jenis sekat bakar yang
diterapkan dapat bersifat alami seperti parit-parit yang
secara alami terbentuk dan dipelihara ataupun dibuat
saluran-saluran atau kanal pemisah. Sekat bakar berupa
tanaman yang bersifat sukulen (banyak mengandung air)
dan tahan kebakaran.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
84
DAFTAR PUSTAKA
Akossou, A.Y.J., Godui, A., & Fontan, N.H. (2012). Effect of Climatic Factors on the Radial Growth of Teak. Journal of Agricultural Science and Technology, 2, 721–730.
Al-rowaily, S. L., El-bana, M. I., & Al-dujain, F. A. R. (2012). Changes in vegetation composition and diversity in relation to morphometry, soil and grazing on a hyper-arid watershed in the central Saudi Arabia. Catena, 97, 1–49. http://doi.org/ 10.1016/j.catena. 2012.05.004.
Alemayehu, F., Taha, N., Nyssen, J., Girma, A., Zenebe, A., Behailu, M., … Poesen, J. (2009). The impacts of watershed management on land use and land cover dynamics in Eastern Tigray (Ethiopia). Resources, Conservation and Recycling, 53(4), 192–198. http://doi.org/10.1016/j.resconrec.2008. 11.007
Andayani, W. S. (2009). Laju infiltrasi tanah pada tegakan jati (Tectona grandis Linn F) di BKPH Subah KPH Kendal Unit I Jawa Tengah. Skripsi, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Araya,T., Cornelis, W.M., Nyssen, J., Govaerts, B., Bauer, H., Gebreegziabher, T.,......Deckers, J. (2011). Effects of conservation agriculture on runoff , soil loss and crop yield under rainfed conditions in Tigray , Northern Ethiopia. Soil Use and Manaement, 27, 404–414. http://doi.org/10. 1111/j.1475-2743. 2011.00347.x.
Asdak, C. (1995). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (1st ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Attarod, P., Komori, D., Hayashi, K., Aoki, M., Ishida, T., Fukumura, K.,.......Punkngum, S. (2005). Comparison of the evapotranspirations among a paddy filed, cassava plantation, and teak plantation in Thailand. Journal of Agricultural Meteorology, 60(5), 789–792.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
85
Awotwi, A., Yeboah, F., & Kumi, M. (2014). Assessing the impact of land cover changes on water balance components of White Volta Basin in West Africa. Water and Environment Journal, 1–9. http://doi.org/10.1111/wej.12100.
Baskorowati, L. & Fauzi, M.A.(2013). Biologi Jati. Dalam Rimbawanto, A., Pudjiono, S., Nirsatmanto, A., Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Adinugraha, H.A., Baskorowati, L.,....Setyaji, T. 2013. Benih Unggul untuk Pengembangan Hutan Jati Rakyat. Bogor: Forda Press.
Basuki, T.M., Adi, R.N., Sulasmiko, E. (2017). Hasil air hutan jati pada dua sub Daerah Aliran Sungai dengan luas berbeda. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 1(1), 1–14.
Basuki, T.M. (2017). Sediment yield and alternatives soil conservation practices of teak catchments. Journal of Degraded and Mining Lands Management, 5(1), 965–973. http://doi.org/10. 15243/jdmlm.2017. 051.965.
Basuki, T. M., Wijaya, W. W., & Adi, R. N. (2017). Specific peak discharge of two catchments covered by teak forest with different area percentages, 31(July), 118–127. http://doi.org/10. 23917/forgeo.v31i1. 3236.
Bathurst, J. C., Iroumé, A., Cisneros, F., Fallas, J., Iturraspe, R., Gaviño, M., … Ramírez, M. (2011). Forest impact on floods due to extreme rainfall and snowmelt in four Latin American environments 1 : Field data analysis. Journal of Hydrology, 400 (3-4) 281-291. http://doi.org/10. 1016/j.jhydrol.2010.11.044.
Beck, H. E., Bruijnzeel, L. A., M. Van Dijk, A. I. J., McVicar, T. R., Scatena, F. N., & Schellekens, J. (2013). The impact of forest regeneration on streamflow in 12 mesoscale humid tropical catchments. Hydrology and Earth System Sciences, 17(7), 2613–2635. http://doi.org/10. 5194/hess-17-2613-2013.
Bhat, K.M. & Gnanaharan, R. (2007). A Report. In The Regional Workshop Processing and Marketing of Teak Wood Products of Planted Forests, 11-25.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
86
Bi, H.X., Liu, B., Yun, I., Chen, Z.H., & Cui, Z. W. 2009. (2009). Effects onprecipitation and landuse on runoff during the past 50 years in a typical watershed in Loess Plateau, China. International Journal of Sediment Resources, 24(3), 32–364.
Birkinshaw, S. J., & Bathurst, J. C. (2011). The effect of forest cover on peak flow and sediment discharge - an integrated field and modelling study in central - southern Chile. Hydrol. Process.,25, 1284-1297.http://doi.org/10.1002/ hyp.7900.
Blöschl, G., Ardoin-Bardin, S., Bonell, M., Dorninger, M., Goodrich, D., Gutknecht, D., … Szolgay, J. (2007). At what scales do climate variability and land cover change impact on flooding and low flows? Hydrol.Proces., 21(9), 1241–1247. http:// doi.org/ 10.1002/hyp.6669.
Blumstock, M., Tetzlaff, D., Malcolm, I. A., Nuetzmann, G., & Soulsby, C. (2015). Baseflow dynamics: Multi-tracer surveys to assess variable groundwater contributions to montane streams under low flows. Journal of Hydrology, 527, 1021–1033. http:// doi.org/10.1016/j.jhydrol.2015. 05.019.
Brosinsky, A., Brosinsky, A., Foerster, S., & Segl, K. (2015). Spectral fingerprinting : Characterizing suspended sediment sources by the use of VNIR-SWIR spectral information Spectral fingerprinting : characterizing suspended sediment sources by the use of VNIR-SWIR spectral information. J. Soils Sediments,14, 1965-1981. http://doi.org/10.1007 /s 11368-014-0927-z.
Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests : not seeing the soil for the trees ?. Agriculture, Ecosystem and Environment 104, 185-228.http://doi.org/10.1016/j.agee.2004.01. 015.
Cheng, J. D., Lin, L. L., & Lu, H. S. (2002). Influences of forests on water flows from headwater watersheds in Taiwan. Forest Ecology and Management, 165(1–3), 11–28. http://doi.org/10. 1016/S0378-1127(01)00626-0.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
87
Defersha, M. B., & Melesse, A. M. (2012). Field-scale investigation of the effect of land use on sediment yield and runoff using runoff plot data and models in the Mara River basin, Kenya. Catena, 89(1), 54–64. http://doi.org/10.1016/j.catena. 2011.07.010.
Diodato, N., de Vente, J., Bellocchi, G., Guerriero, L., Soriano, M., Fiorillo, F., … Guadagno, F. M. (2014). Estimating long-term sediment export using a seasonal rainfall-dependent hydrological model in the Glonn River basin, Germany. Geomorphology, 228, 628–636. http://doi.org/10. 1016/j.geomorph .2014.10.011.
Djordjevic, A., Golubovic, S., Tomic, Z., & Aleksic, V. (2012). The origin of montmorillonite in vertisols from the Southern Serbian Pcinja District.African Journal of Agricultural research 7(20), 3034–3044. http://doi.org/10.5897/AJAR11.777.
Dung, B. X., Hiraoka, M., Gomi, T., Onda, Y., & Kato, H. (2015). Peak flow responses to strip thinning in a nested, forested headwater catchment. Hydrol. Process., 29(24), 5098–5108. http://doi.org/10. 1002/hyp.10720.
Dunne, T. & Leopold, L. B. (1978). Water in Environmental Planning. W.H. Freeman and Company, New York.
Dye, P., & Versfeld, D. (2007). Managing the hydrological impacts of South African plantation forests: An overview. Forest Ecology and Management, 251(1–2), 121–128. http://doi.org/ 10.1016/j.foreco. 2007.06.013.
Ellison, D., Futter, M. N., & Bishop, K. (2012). On the forest cover-water yield debate: From demand- to supply-side thinking. Global Change Biology, 18(3), 806–820. http://doi.org/10.1111/j.1365-2486. 2011.02589.x.
Fahey, B., & Jackson, R. (1997). Hydrological impacts of converting native forests and grasslands to pine plantations, South Island, New Zealand. Agricultural and Forest Meteorology, 84(1–2), 69–82.http://doi.org/10.1016/S01681923(96)0237 6-3.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
88
Fang, N., Shi, Z., Li, L., Guo, Z., Liu, Q., & Ai, L. (2012). The effects of rainfall regimes and land use changes on runoff and soil loss in a small mountainous watershed. Catena, 99, 1–8. http:// doi.org/ 10.1016/j.catena.2012.07.004.
Feng, X., Wang, Y., Chen, L., Fu, B., & Bai, G. (2010). Modeling soil erosion and its response to land-use change in hilly catchments of the Chinese Loess Plateau. Geomorphology, 118(3–4), 239–248. http: //doi.org/10.1016/j.geomorph.2010.01.004.
Fernández-moya, J., Alvarado, A., Forsythe, W., & Ramírez, L. (2014). Catena Soil erosion under teak (Tectona grandis L.f.) plantations : General patterns , assumptions and controversies. Catena, 123, 236–242. http://doi.org/10.1016/j.catena .2014.08. 010.
Gallo, EL. Meixner, T. Aoubid, H. Lohse, K.A. Brooks, P. D. (2015). Combined impact of catchment size, land cover, and precipitation on streamflow and total dissolved nitrogen: A global comparative analysis. Global Biogeochemical Cycles, 29, 1109–1121. http://doi.org/10.1002/2015GB00 5154.
Geris, J., Tetzlaff, D., Mcdonnell, J., & Soulsby, C. (2014). The relative role of soil type and tree cover on water storage and transmission in northern headwater catchments. Hydrol. Process. http://doi. org/10.1002/hyp.10289.
Hassler, S. K., Zimmermann, B., van Breugel, M., Hall, J. S., & Elsenbeer, H. (2011). Recovery of saturated hydraulic conductivity under secondary succession on former pasture in the humid tropics. Forest Ecology and Management, 261(10), 1634–1642. http://doi.org/10.1016/ j.foreco.2010.06.031.
Hendrayanto, Arifjaya, N.M., Rusdiana, O., Wasis, B., & P. (2001). Respon hidrologi Daerah Aliran Sungai berhutan jati (Tectona grandis) (Studi Kasus di DAS Cijurey , KPH Purwakarta , PT . Perhutani Unit III Jawa Barat). Jurnal Managemen Hutan Tropika, VII(2), 7–18.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
89
Huang, M., Zhang, L., & Gallichand, J. (2003). Runoff responses to afforestation in a watershed of the Loess Plateau, China. Hydrological Processes,
17(13), 2599–2609. http://doi.org/10.1002/hyp. 1281. Igarashi, Y., Katul, G. G., Kumagai, T., Yoshifuji, N., Sato, T.,
Tanaka, N., … Tantasirin, C. (2015). Separating physical and biological controls on long-term evapotranspiration fluctuations in a tropical deciduous forest subjected to monsoonal rainfall. Journal of Geophysical research: Biogeosciences, 120, 1262–1278. http://doi.org/ 10.1002/2014J G002767.
Juhrbandt, J., Leuschner, C., Juhrbandt, J., Leuschner, C., & Ho, D. (2004). The relationship between maximal stomatal conductance and leaf traits in eight Southeast Asian early successional tree species. Forest ecology and Management, 202(1), 245-256. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2004.07. 021.
Kovda, I., Morgun, E., & Boutton, T. W. (2010). Vertic Processes and Specificity of Organic Matter Properties and Distribution in Vertisols. Eurasian Soil Science, 43(13), 1467–1476. http://doi.org/ 10.1134/S1064229310130065.
Li, Z., Liu, W., Zhang, X., & Zheng, F. (2009). Impacts of land use change and climate variability on hydrology in an agricultural catchment on the Loess Plateau of China. Journal of Hydrology, 377(1–2), 35–42. http://doi.org/10.1016/j.jhydrol. 2009.08.007.
Lopez-Moreno, J.I., S.Begueria, and J. M. G.-R. (2006). Trends in high flows in the central Spanish Pyrenees : response to climatic factors or to land- use change ? Trends in high flows in the central Spanish Pyrenees : response to climatic factors or to land-use change ? Hydrological Sciences Journal, 51(6), 1039–1050.
Mackay, S., & Marsh, N. (2012). Low-flow hydrological classification of Australia. The National Water Commision. Retrieved from http://nwc.gov.au /__data/assets/pdf_file/0018/21807/Hydrological-classification.pdf.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
90
Magesh, N.S., Chandrasekar, N., & J. P. S. (2010). Morphometric evaluation of Papanasam and Manimuthar watersheds parts of Western Ghats, Tirunelveli District, Tamil Nadu, India: a GIS approach. Environmental Earth Sciences, 64:373–381. http://doi.org /10.1007/s12665-010-0860-4.
Merz, R. (2006). Spatio-Temporal variability of event runoff coefficients spatio-temporal variability of event runoff coefficients. Journal of Hydrology 331(3):591-604.http://doi.org/10.1016/j.jhydrol. 2006.06.008.
Miyata, S., Kosugi, K., Gomi, T., & Mizuyama, T. (2009). Effects of forest floor coverage on overland flow and soil erosion on hillslopes in Japanese cypress plantation forests, 45(6), 1–17. http://doi.org/10. 1029/2008WR007270.
Munöz-Villers, L. E., & McDonnell, J. J. (2013). Land use change effects on runoff generation in a humid tropical montane cloud forest region. Hydrology and Earth System Sciences, 17(9), 3543–3560. http://doi.org/10.5194/hess-17-3543-2013
Mustafa, A. A., Singh, M., Sahoo, R. N., Ahmed, N., Khanna, M., & Sarangi, A. (2011). Land Suitability Analysis for Different Crops : A Multi Criteria Decision Making Approach using Remote Sensing and GIS, 3(12), 61–84.
Nosetto, M. D., Jobbágy, E. G., Brizuela, A. B., & Jackson, R. B. (2012). The hydrologic consequences of land cover change in central Argentina. Agriculture, Ecosystems and Environment, 154, 2–11. http://doi.org/10.1016/ j.agee.2011.01.008.
Nu-Fang, F., Zhi-Hua, S., Lu, L., & Cheng, J. (2011). Rainfall, runoff, and suspended sediment delivery relationships in a small agricultural watershed of the of the Three Gorges area, China. Geomorphology, 135, 158–166. http://doi.org/10. 1016/j.geomorph.2011.08.013
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
91
Paimin, Pramono, I.B., Purwanto, and Indrawati, D.R. (2012). Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Pareta, K., Pareta, U., & Decisions, S. (2011). Quantitative morphometric analysis of a watershed of Yamuna Basin , India using ASTER (DEM) data and GIS, 2(1), 248–269.
Paryono, Damar, A., Susilo, S.B., Dahuri, R., & Suseno, H. (2017). Sedimentasi delta sungai citarum, kecamatan muara gembong, Kabupaten Bekasi. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Airan Sungai, 1(1), 15–26.
Peleg, N., Shamir, E., Georgakakos, K. P., & Morin, E. (2015). A framework for assessing hydrological regime sensitivity to climate change in a convective rainfall environment: A case study of two medium-sized eastern Mediterranean catchments, Israel. Hydrology and Earth System Sciences, 19(1), 567–581. http://doi.org/10.5194/ hess-19-567-2015.
Perhutani, P. (2014). Statistik Perum Perhutani 2009-2013. Jakarta.
Pramono, I.B., Gunawan, T., Budiastuti, M. T., & Wiryanto. (2016). The ability of pine forests in reducing peak flow at Kedungbulus sub watershed , Central Java , Indonesia. International Journal of Applied Environmental Sciences, 11(6), 1549–1568.
Pramono, I.B. & Wahyuningrum, N. (2010). Luas optimal hutan jati sebagai pengatur tata air di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbahan induk kapur. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, VII(5), 459–467.
Pramono, I.B. & Wahyuningrum, N. 2012. The influence of teak forest on ground water fluctuation at Cepu, Central Java. In Proceeding Inafor (International Conference of Indonesia Forestry Researchers,pp. 527–536.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
92
Price, K. (2011). Effects of watershed topography, soils, land use, and climate on base flow hydrology in humid regions: A review. Progress in Physical Geography, 35(4), 465–492. http:// doi.org/10. 1177/0309133311402714.
Pudjiono, S. (2014). Jati Unggul. Bogor: IPB Press. Rao, S.S., Murthy, Y.V.N.K., Adiga, S., & Amminneedu, E.
(2003). Performance index for watershed development. J.Ind.Geophys.Union, 7(4), 239–246.
Ribolzi, O., Evrard, O., Huon, S., de Rouw, A., Silvera, N., Latsachack, O., ….Valentin, C. (2017). From shifting cultivation to teak plantation : effect on overland flow and sediment yield in a montane tropical catchment. Scientific Reports,7(3987), 1–12. http://doi.org/10.1038/s41598-017-04385-2.
Riyanto, H.D., Harjadi, B., & Nugroho, N.P. (2013). Teknologi kawasan perlindungan setempat (KPS) sempadan sungai dalam upaya mereduksi degradasi lahan pada kawasan hutan. Laporan Hasil Penelitian. BPTKPDAS. Tidak dipublikasi- kan.
Robinson, M., Cognard-plancq, A., Cosandey, C., David, J., Durand, P., Martin, C., ….Zollner, A. (2003). Studies of the impact of forests on peak flows and baseflows : a European perspective, 186, 85–97. http://doi.org/10.1016/S0378-1127(03)00238-X.
Russell, M. A., Walling, D. E., & Hodgkinson, R. A. (2001). Suspended sediment sources in two small lowland agricultural catchments in the UK, 252.
Shi, Z. H., Ai, L., Li, X., Huang, X. D., Wu, G. L., & Liao, W. (2013). Partial least-squares regression for linking land-cover patterns to soil erosion and sediment yield in watersheds. Journal of Hydrology, 498, 165–176. http://doi.org/10.1016 /j.jhydrol.2013. 06.031.
Simon, H. (2006). Hutan Jati dan Kemakmuran (I). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smakhtnin, V. U. (2001). Low flow hydrology: A revewi. Journal of Hydrology, 240, 147–186.
Smiet, A. C. (1990). Forest Ecology on Java: Conversion and usage in a historical perspective, 2(4), 286–302.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
93
Sriwongsitanon, N., & Taesombat, W. (2011). Effects of land cover on runoff coefficient. Journal of Hydrology, 410(3–4), 226–238. http://doi.org/10. 1016/j.jhydrol.2011.09.021.
Sukresno, Supangat, A.B., & Putra, P.B. (2005). The effectiveness of soil and water conservation measures in teak forest plantation: Case study at Cepu Forest District (KPH), Central Java. Paper presented in International Seminar on Plantation Forest Research and Development, Yogyakarta, 21-23 November 2005.
Sumarna, Y. (2001). Budidaya Jati. Penebar Swadana. Supangat, A.B., Riyanto, H.D., & Purwanto. (2014). Sintesa
status penelitian hutan tanaman jati. Surakarta: Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS dan Puslitbang Perum Perhutani.
Supangat, A. B., Sukresno, & Priyono, C. N. S. (2002). Kajian karakteristik aliran pada sub DAS kawasan
hutan jati. Buletin Pengelolaan DAS, VIII(2), 1-20. Triwilaida & Sukresno. (1997). Pengaruh konservasi
tanah pada hutan jati terhadap erosi, sedimentasi dan aliran permukaan di Cepu. Laporan Hasil Penelitian. BTPDAS. Surakarta. Tidak dipublikasikan.
Wahyuningrum, N. & Basuki, T. M. (2004). Status kesuburan tanah di hutan tanaman jati (Tectona grandis) STudi kasus di bagian hutan Banjaran KPH Pati Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi, 1(3), 424–433.
Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S., Wardojo, B. Harjadi, Savitri, E., Sudimin, & Sudirman. (2003). Klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Bogor: Pusat litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Wilford, D.J., Sakals, M.E., Innes, J.L., Sidle, R.C., & Bergerud, W. A. (2004). Recognition of debris flow, debris flood and flood hazard through watershed morphometrics. Landslides, 1, 61–66. http://doi. org/10. 1007/ s10346-003-0002-0.
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
94
Williams, A. G., Dowd, J. F., & Meyles, E. W. (2002). A new interpretation of kinematic stormflow generation. Hydrol. Process 16(14), 2791–2803. http://doi.org /10. 1002/hyp.1071.
Yeshaneh, E., Eder, A., & Blöschl, G. (2014). Temporal variation of suspended sediment transport in the Koga catchment , North Western Ethiopia and environmental implications. Hydrol Process, 5984, 5972–5984. http://doi.org/ 10.1002 /hyp.10090.
Yoshifuji, N., Tanaka, K., & Tanaka, N. (2006). Inter-annual variation in growing season length of a tropical seasonal forest in northern Thailand. Forest Ecology and Management, 229, 333–339. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2006.04.013.
Youssef, A.M., Pradhan, B., & Hassan, A. M. (2011). Flash flood risk estimation along the St . Katherine road, southern Sinai, Egypt using GIS based morphometry and sattelite imagery. Environmental Earth Sciences, 62, 611–623. http://doi.org/ 10.1007/ s12665-010-0551-1.
Zimmermann, B., Elsenbeer, H., & Moraes, J. M. De. (2006). The influence of land-use changes on soil hydraulic properties : Implications for runoff generation. Forest Ecology and Management, 222, 29–38. http://doi.org/10.1016/j.foreco. 2005. 10.070.
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
95
INDEKS
Kata/Istilah Halaman
a
agregat tanah 58,59,60,77
air tanah 28,30,49,50
aliran rendah 2,3,32,49,50
Automatic Water
Level Recorder
(AWLR)
38,39,51
B
bahan organik 19,73,74,76,77,78
banjir 2,3,16,30,31,32,47,50,51,52,53,
65,73
batuan kapur 10,11,18
C
cracking 10
D
Daerah Aliran
Sungai (DAS)
2,3,22,25,26,27,28,30,31,32,34,
37,38,40,41,43,44,45,46,47,48,
49,50,51,52,53,54,55,56,57,58,
59,60,65,66,67,68,69,70,71,72,
76,77
daya percik 77
debit 2,3,27,32,37,41,42,43,44,45,46,
47,49,50,51,52,53,55,76
debit spesifik 45,46
discharge rating
curve
41,42
dispersi 19,60,65,77
e
energi kinetik 14,60,68,73
erosi 2,17,19,31,59,60,61,62,63,64,66,
67,71,72,73,74,75,78
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
96
Indeks (lanjutan)
Kata/Istilah Halaman
erosi tebing sungai 63,64,73,75
evapotranspirasi 25,32,33,48
g
geologi 26,31,32,51,76
gugur daun 19,59,60,77
h
hujan 2,3,8,9,17,17,18,19,25,26,27,31,
32,33,34,35,36,37,45,46,48,50,
51,52,53,54,55,56,58,59,60,63,6
5,66,67,69,70,71,72,73,76
hutan 1,2,3,10,13,14,15,17,19,20,21,22
,27,28,31,32,33,37,38,41,43,45,
46,47,48,49,50,51,52,55,56,57,
58,59,60,61,62,63,64,65,66,67,6
8,73,76,77,78
hasil air 1,2,3,25,26,27,28,30,31,32,34,37
,45,46,47,48,76,77
i
infiltrasi 18,27,28,29,30,51,60,68
intersepsi 25,48,49,52
j
jati 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,
15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,
25,27,28,29,30,31,33,37,38,41,
43,45,46,47,48,50,51,52,53,54,5
6,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66,
67,73,74,76,77
k
kebakaran 62,73,74,78
kekeringan 2,50
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
97
Indeks (lanjutan)
Kata kunci/Istilah Halaman
kertas pias 34,35,38,39
kesesuaian lahan 15,16
koefisien aliran 50,55,56
konduktivitas
hidraulik tanah
30
konservasi tanah
dan air
19,72,73,77
l
lantai hutan 19,20,21,48,52,55,59,60,63,67,
68,73,77,78
legum 77
limpasan
permukaan
19,25,26,27,55,58,59,60,63,65,
68,71,73
logger 34,36,38,40,41,42
m
metode vegetatif 74,75
morfologi 3,4
morfometri 26,30,31,32
musim penghujan 19,20,33,45,46,50,60,65,77
Multi Purpose Tree
Species
75
musim kemarau 19,25,28,30,33,46,49,50,60,73,
74,77
o
off-site 58
on-site 58
p
peilskal 37,39,40,69,70
penutupan lahan 27,30,31,32,47,56,76,77
persyaratan
tumbuh
8,15
Hutan Jati Tempat Tumbuh, Hasil Air dan Sedimen
98
Indeks (lanjutan)
Kata/Istilah Halaman
puncak banjir 2,3,31,47,50,51
s
sedimen 1,2,3,10,19,31,34,42,43,44,58,59,
60,61,63,64,65,66,67,68,71,72,73,
74,75,77
sediment
discharge rating
curve
74,78
sekat bakar 74,78
sempadan sungai 75,78
siklus air 25,26
sipil teknis 74,75,77
shringking 10
stabilitas agregat 28
stabilisasi lereng 75
stabilisasi tebing 74
swelling 10
t
tajuk 5,19,52,58,59,60,63,68
tampingan teras 61,62,73,74
tanah 2,4,9,10,11,12,13,14,15,16,17,1
8,19,25,26,27,28,29,33,49,50,51
,52,55,58,59,60,61,62,63,64,65,
66,68,71,72,73,74,76,77
tata air 1,2,30
tebing sungai 58,63,64,73,74,77
tempat tumbuh 2,3,4,8,9,16,76,77
Tinggi Muka Air
(TMA)
37,38,41,42,43
topografi 26,50,51,60,66,76
Tyas Mutiara Basuki Irfan Budi Pramono
99
Indeks (lanjutan)
Kata/Istilah Halaman
tumbuhan bawah 18,19,20,21,22,30,58,59,60,61,6
2,63,67,68,78
v
vertisol 9,10,11,12,13,14