Makalah Melemahnya Nasionalisme Bangsa Indonesia MPKT-A
-
Upload
muhammad-fuad-abduh -
Category
Documents
-
view
36 -
download
1
Transcript of Makalah Melemahnya Nasionalisme Bangsa Indonesia MPKT-A
Makalah MPKT-A
Nasionalisme atau Ego
Di susun oleh:
Aqil Reksoprodjo (1406574485)
Aswin Tresna N (1406531132)
Atikah Cahyaning (1406573192)
Cindyara Nayanda(1406533592)
Genta Dewolono (1406533251)
Nadya Dwi W (1406572422)
Risyad Naufal (1406569863)
Rivandi Wibisana (1406576162)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
rahmat-Nya maka dapat menyelesaikan penelitian ini dengan semampunya.
Makalah MPKT A ini dibuat berdasarkan Buku Ajar II (Manusia sebagai
Individu, Kelompok, dan Masyarakat) demi melengkapi tujuan agar mengetahui
tentang Nasionalisme dan Ego yang dimiliki Mahasiswa ketika sedang berkuliah
di luar negeri, baik yang positif maupun yang negatif. Agar kita dapat
memberikan parameter apakah Mahasiswa akan memiliki rasa Nasionalisme atu
akan memiliki rasa Egoisme demi mencapai kehidupan yang diinginkan secara
Pribadi. Penyelesaian makalah ini juga bersumberkan dari beberapa referensi dari
pengetahuan yang kami miliki seputar hal ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, mengingat bahwa SDM Indonesia sedikit demi
sedikit akan hilang rasa Nasionalisme ketika berada di negeri orang. Oleh karena
itu, diharapkan saran dan kritik sebagai penyempurnaan penelitian ini.
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab II : Pembahasan
A. Keuntungan Studi di Luar Negeri
B. Nasionalisme Ketika Studi di Luar Negeri
C. Penyebab Lunturnya Nasionalisme di Masyarakat Indonesia
D. Fakta Studi di Luar Negeri
Bab III : Penutup
A. Kesimpulan
a. Positif (Saran)
b. Negatif (Kritik)
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini pemikiran – pemikiran
pemuda di Indonesia memikirkan hal tentang pendidikan yang lebih tinggi
dan ingin melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri. Hal ini dapat kita
lihat dari semakin berkurangnya rasa kepercayaan diri terhadap teknologi
yang ada di Indonesia dan juga tidak dapat kita pungkiri bahwa ketika
sudah belajar di luar negeri, rasa Nasionalisme dari masing – masing
individu menjadi sedikit berkurang, hal ini dikarenakan oleh faktor –
faktor ego dari individunya maupun faktor lingkungan yang diharuskan
atau memaksa agar melakukan hal yang tidak diinginkan oleh Indonesia
sendiri seperti SDM di Indonesia yang mengabdi di Luar Negeri.. Tetapi
tidak semua SDM Indonesia melakukan hal tersebut, tetapi masih ada
yang mempertahankan rasa nasionalismenya agar menciptakan Negara
Indonesia yang lebih maju dari sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa studi di luar negeri lebih bagus daripada di Indonesia?
2. Apakah rasa Nasionalisme akan tetap ada jika Pelajar melanjutkan
studi ke luar negeri?
3. Apa penyebab lunturnya rasa Nasionalisme di kalangan Pelajar?
4. Bagaimana fakta tentang studi di luar negeri?
C. Tujuan
1. Dapat mempertahankan rasa Nasionalis.
2. Dapat meningkatkan tenggang rasa terhadap bangsa.
3. Dapat memiliki pemikiran yang luas menjadi seorang Mahasiswa.
4. Dapat membangun rasa kerja sama antar Mahasiswa untuk
membangun bangsa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keuntungan Studi di Luar Negeri
Berbagai keuntungan bisa diraih saat anda mengikuti Kuliah di
Luar Negeri. Kita simpulkan beberapa manfaat mendasar yang bisa di
rasakan :
a) Dari sisi keilmuan, maka ia akan menggali langsung dari referensi
induknya dengan bahasa asli penulisnya. Hal ini setidaknya akan
membuka peluang untuk memperdalam orisinalitas ilmu dan
ketajamannya.
b) Dari sisi referensi, maka biasanya dengan kuliah di luar negeri kita
bisa mendapatkan banyak buku referensi yang belum tentu ada di
negri kita. Begitu pula dengan jurnal-jurnal terbaru untuk
mengembangkan ilmu kita. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di
negara kita anggaran pendidikan masih minim. Jadi wajar saja jika
perpustakaannya pun mungkin tidak standar yang seharusnya.
c) Dari sisi pengembangan ilmu, biasanya di luar negeri banyak sekali
diadakan seminar keilmuan, kajian dan diskusi yang 'anehnya'
gratis dengan fasilitas seabrek. Bayangkan saja, di negri kita
seminar keilmuan atau apapun pasti ada tarifnya dan terkadang
hasilnya begitu mengecewakan dan berhenti di seminar saja.
d) Dari sisi rujukan ilmu, maka di luar negeri kita mungkin peluang-
peluang untuk berguru atau bertanya langsung pada ilmuwan dunia
lebih terbuka. Di Indonesia cukup jarang ada tamu tingkat dunia.
e) Dari sisi kemampuan bahasa, maka di luar negeri kita mempunyai
peluang yang sangat besar untuk mengasah bahasa asing kita. Di
Barat dengan bahasa Inggris atau Perancisnya, maupun di Timur
Tengah dengan bahasa Arabnya. Ini sangat membantu dalam
perkembangan keilmuan kita selanjutnya. Begitu pula dengan
peluang bursa kerja di tanah air yang lebih terbuka. Tidak perlu
susah-susah kursus, di luar negeri kita dimana saja kita bisa
5
mempraktekkan bahasa kita. Meski kalau tidak hati-hati, justru
bahasa yang tidak pakem malah yang kita kuasai.
f) Dari sisi jaringan, maka ia akan mempunyai banyak aset berupa
jaringan untuk masa depannya. Mungkin sesama mahasiswa
Indonesia, atau juga dengan mahasiswa dari negara lainnya.
Sesama mahasiswa Indonesia, karena di negeri orang biasanya
menguatkan persaudaraan. Perasaan senasib sepenanggungan bisa
berbuah jaringan yang kuat di masa depan. Bisa jadi senior yang
telah sukses di Indonesia segara akan merekrut adik kelasnya
begitu tiba di Bandara Soekarno Hatta ! Begitu pula dengan
jaringan luar negeri, sehingga terkadang kita bisa plesir di tempat
yang sebelumnya tidak pernah kita temukan dalam peta.
g) Dari sisi konsentrasi belajar, semestinya lebih mendukung. Ia tidak
perlu lagi disibukkan dengan masalah keluarga, masyarakat atau
berita-berita mengkhawatirkan dari ibukota. Paling jauh ia hanya
bisa mengamati dan berdoa. Apalagi dari sisi keluarga juga cukup
tahu diri, biasanya yang diinformasikan keluar hanya sebatas
berita-berita bahagia yang menyemangati sang putra.
h) Dari sisi finansial, jelas memang kalau biaya sendiri pasti tidak
bisa disebut menguntungkan. Tetapi dengan kuliah di luar negeri,
otomatis membuka peluang beasiswa dan sponsorship yang
mungkin agak enggan memberikan beasiswa pada mereka yang di
Indonesia. Jika seperti ini, maka hal ini bisa juga kita masukkan
dalam sisi keuntungan.Dari sisi finansial juga, meski agak susah
peluangnya, jika kita sukses kuliah sambil kerja, maka gaji yang
didapat sudah pasti mencukupi biaya hidup yang semestinya.
Tingkat UMR di kota-kota besar di dunia kadang jauh di atas gaji
karyawan perlente berdasi di gedung-gedung ibukota kita.
6
B. Nasionalisme Ketika Studi di Luar Negeri
Studi lanjut di luar negeri merupakan impian bagi siapapun insan
pendidikan di negeri ini. Kebanggaan, prestis, dan tentunya keinginan
untuk menengok negeri lain selain negeri sendiri. Pertanyaannya lagi,
perlukah harus mengambil studi di luar negeri ? Jika mesti
mengedepankan idealisme, maka hanya ada 3 alasan yang menjadi
pertimbangan seseorang harus mengambil studi lanjut di luar negeri.
Mengapa dengan nasionalisme?
Satu ketika, Soekarno muda pernah punya keinginan untuk
melanjutkan studi di luar negeri, yaitu di negeri Belanda. Keinginan
tersebut ditolak oleh ibundanya. “Tidak ada salahnya. Tapi banyak
jeleknya ke negeri Belanda. Apakah yang menyebabkan engkau tertarik?
Pikiran untuk mencapai gelar universitas ataukah penghargaan akan
mendapatkan perempuan kulit putih?”. Soekarno menjawab, “Saya ingin
masuk universitas, Bu”. Dilanjutkan oleh ibundanya, “Kalau itu yang kau
ingini, kau memasuki yang di sini. Pertama, kita harus mengingat
kenyataan pokok yang mengendalikan sesuatu dalam hidup kita, uang.
Pergi ke luar negeri memerlukan biaya yang sangat besar. Disamping itu,
engkau adalah yang dilahirkan dengan darah Hindia (pribumi). Aku ingin
supaya engkau di sini di antara bangsa kita sendiri. Jangan lupa sekali-
kali nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulauan ini”
(dikutip dari buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” yang
dituliskan oleh Cindy Adams).
Situasi yang berbeda dengan founding fathers lainnya, yaitu
Mohammad Hatta yang menempuh studi lanjut di Belanda. Hatta
dibesarkan di lingkungan keluarga dengan perekonomian yang
berkecukupan. Setelah menamatkan sekolahnya di Handel Middlebare
School (Jakarta), Hatta langsung bertolak ke Rotterdam untuk mengambil
studi lanjut di Nederland Handelshogeschool untuk meneruskan minatnya
studi ilmu ekonomi. Satu alasan Hatta menimba ilmu di Belanda, yaitu
suatu keyakinan jika bangsanya akan mampu menjadi bangsa yang
mandiri suatu saat kelak. Keyakinan tersebut muncul setelah Hatta aktif
7
dalam kegiatan partai politik di tanah air maupun yang berada di Belanda.
Ketika ditanya mengapa Indonesia harus merdeka, Hatta muda berujar,
jika memang bangsanya tidak bisa mandiri, tentunya tidak akan pernah ada
keinginannya untuk mewujudkan kemerdekaan.
Sepenggal cuplikan kisah para pendiri bangsa mengenai
pandangannya untuk mengambil studi lanjut. Alasan yang disampaikan
oleh ibunda Soekarno benar adanya. Soekarno justru menjadi mahasiswa
yang menonjol dan berprestasi, bahkan sempat ditakuti oleh Belanda.
Hatta punya alasan tersendiri, yaitu mengembalikan seluruh ilmu yang
telah diraihnya untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri. Hatta
sebenarnya masih bisa hidup nyaman dengan menjadi pengajar (dosen)
perguruan tinggi di Belanda. Tidak perlu bersusah payah kembali ke tanah
air di mana konsep berpikirnya masih jauh bisa diimplementasikan di
negeri yang masih berstatus Hindia Belanda.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, praktis Indonesia
harus memulainya dari titik nol. Kita harus memiliki engineering, pakar
ekonomi, pakar sains, fisika nuklir, dan seluruh ahli teknik yang menjadi
modal untuk mencapai kemandirian nasional. Soekarno mengutarakannya
dengan pandangan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” yang kemudian dikenal
dengan istilah “Berdikari”. Dikirimlah mereka yang berbakat untuk
bersekolah dan menimba ilmu ke luar negeri, seperti Eropa, Sovyet
(Rusia), dan Amerika Serikat. Puluhan ribu jumlah mereka yang
dikirimkan studi lanjut di luar negeri dengan biaya yang cukup besar,
sekalipun di dalam negeri sendiri tengah mengalami kesulitan keuangan.
Sayangnya, setelah Soekarno digulingkan, tidak sedikit di antara mereka
yang tidak kembali ke tanah air, karena alasan takut untuk ditangkap.
Program pengiriman mahasiswa untuk studi lanjut di luar negeri
masih terus dijalankan setelah memasuki masa pemerintahan Orde Baru.
Mereka umumnya dikirimkan dengan beasiswa dari pemerintah. Sekalipun
demikian, tidak sedikit di antara mereka yang dikirim studi lanjut ke luar
negeri yang tidak kembali lagi ke tanah air. Berbagai alasan dimunculkan
seperti ketiadaan sarana pendukung yang memadai, sesuai dengan bidang
8
yang mereka pelajari. Studi lanjut ke luar negeri saat ini tidak hanya
dibiayai oleh beasiswa dari pemerintah, melainkan terdapat alternatif
tawaran beasiswa dari luar negeri.
Menelusuri Alasan Studi Ke Luar Negeri
Setelah bertahun-tahun lamanya, bangsa ini masih saja terus
mencari pengalaman belajar di luar negeri. Tidak sedikit perguruan tinggi
di dalam negeri yang sesungguhnya telah menawarkan program studi yang
mereka kehendaki. Sarana maupun fasilitas belajar di dalam negeri pun
sebenarnya telah mengikuti standar kualitas pendidikan internasional.
Berbagai alasan pun dimunculkan.Pertama mengenai pemeringkatan
universitas. Perguruan tinggi di luar negeri umumnya memiliki peringkat
universitas di atas rata-rata perguruan tinggi di Indonesia. Pemeringkatan
tersebut kemudian dikonotasikan dengan kualitas pendidikan yang
diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri yang lebih
baik.Kedua mengenai fasilitas. Perguruan tinggi di luar negeri
menawarkan sarana maupun fasilitas lebih menarik dan memadai,
ketimbang perguruan tinggi di dalam negeri. Mereka memiliki sarana
berupa perpustakaan yang cukup megah dan dilengkapi dengan
arsip/dokumen elektronik. Dukungan penuh atas akses referensi
internasional, termasuk jurnal-jurnal ilmiah.Ketiga mengenai sistem
perkuliahannya. Perlu diakui mengenai adanya perbedaan sistem
perkuliahan antara perguruan tinggi di dalam negeri dan di luar negeri.
Misalnya seperti sistem sesi konsultasi yang langsung ditangani oleh
pengajar setingkat doktor atau dukungan tutorial yang dipandu langsung
oleh tenaga-tenaga bersertifikasi tinggi. Kebiasaan pemberian pelayanan
edukasi memang cukup berbeda.Keempat mengenai kualitas tenaga
pengajar. Seperti diketahui bahwa hampir sebagian besar pemrakarsa
paham pemikiran yang berpengaruh di negeri ini berasal di perguruan
tinggi di negeri barat. Negara-negara maju yang tergabung di dalam
kelompok G-7 itu pun kebanyakan adalah negara barat. Bagi kebanyakan
orang Indonesia akan beranggapan apabila pendidikan di barat akan lebih
berkualitas daripada pendidikan di dalam negeri.
9
Jika membaca alasan di atas, saya jadi teringat kehebohan alasan
studi banding yang dilakukan oleh pemerintah maupun anggota DPR RI
setahun silam. Alasan melakukan studi banding sama sekali tidak rasional
dan tidak ada hasil apapun yang berarti dari hasil studi banding yang
memakan biaya cukup besar.
Berbagai alasan seperti yang dijelaskan di atas mungkin bisa
dikatakan sebagai suatu pembenaran, akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan hanyalah mitos. Berikut ini pemaparannya.Pemeringkatan
perguruan tinggi sebenarnya bekerja dengan cara yang kurang obyektif.
India merupakan negara yang termasuk cukup besar menghasilkan tenaga
engineering yang bekerja di negara-negara barat maupun Asia. Perguruan
tinggi di India tidak dipusingkan dengan urusan pemeringkatan
internasional. Sekalipun demikian, mereka termasuk paling sering
melahirkan kandidat-kandidat peraih penghargaan Nobel di bidang sains.
Persepsi ataupun penilaian mengenai kualitas sarana dan fasilitas
perkuliahan sebenarnya sangat relatif. Memang perlu diakui apabila
universitas-universitas di luar negeri lebih banyak menjalin hubungan
dengan perguruan tinggi ternama, sehingga memiliki akses yang lebih
leluasa terhadap referensi internasional. Sekalipun demikian, semua akan
berpulang kembali pada masing-masing individu. Pemikir-pemikir besar
itu pun dulunya dibesarkan di lingkungan yang sangat terbatas sekali
referensi, tetapi mereka mampu untuk menciptakan paham pemikiran
sendiri.
Sistem perkuliahan di negeri barat atau di luar negeri perlu diakui
lebih baik. Mahasiswa langsung ditangani oleh dosen yang bersertifikasi
minimal doktoral. Sekalipun demikian, seorang pengajar di sana tidak
akan begitu saja memberikan yang diinginkan mahasiswa, kecuali si
mahasiswa yang berusaha menanyakannya. Sebaik apapun pelayanan
pendidikannya pada akhirnya pun kembali pada masing-masing individu
dapat memanfaatkannya.
10
Benar adanya, apabila pemikir-pemikir saat ini berasal dari Negara
- negara barat. Seharusnya kita pun perlumemperhatikan, apabila para
pemikir besar itu pun dulunya membesarkan pemikirannya di lingkungan
yang sangat terbatas.
Jika saja harus memaksakan idealisme, maka hanya ada 3 alasan
jika harus mengambil studi lanjut ke luar negeri. Pertama, bidang studi
yang hendak diambil tidak ada di dalam negeri atau setidaknya masih
belum banyak berkembang. Bidang studi seperti ini biasanya bisa dijumpai
seperti studi teknik mikrobiologi, ilmu mengenai fisika nuklir, dan
beberapa bidang lainnya. Kedua, studi lanjut dikaitkan dengan studi kasus
pengalaman di negara yang menjadi sasaran studi lanjut. Misalnya, Anda
ingin studi ilmu ekonomi di India, karena negara tersebut memiliki
karakteristik politik ekonomi yang tidak berbeda dengan Indonesia. India
pun pernah memasuki masa-masa terjebak dalam pusaran utang luar
negeri. Saat ini, India sudah cukup banyak melahirkan pemikir-pemikir
ekonomi, termasuk poros pemikiran mengenai welfare state. Ketiga, alasan
apabila pendidikan di luar negeri lebih murah, termasuk memiliki peluang
untuk bekerja sambil kuliah.
Sebuah Catatan Pinggir
Seniman Sudjiwo Tedjo pernah berujar, apabila negara ini terlalu
bebas mengirimkan orang-orangnya ke luar negeri untuk studi lanjut.
Tanpa disadari, bahwa perguruan tinggi di luar negeri mendapatkan
informasi yang cukup mudah tentang Indonesia yang seudah dilengkapi
dengan analisanya. Tidak hanya itu, mereka pun dengan cukup mudah
dapat memanfaatkan orang Indonesia untuk dipekerjakan menjadi sumber
analisis informasi bagi mereka yang kemudian nantinya akan menjadi
informasi intelijen.
Hampir sebagian besar lulusan terbaik yang dikirimkan ke luar
negeri tidak ada yang kembali ke tanah air. Beberapa di antara mereka
beralasan apabila ilmu yang mereka terima tidak bisa diterapkan di
negerinya sendiri. Fakta yang mungkin tidak bisa dibantah, tetapi terlalu
naif jika menggunakan alasan tersebut. Mereka sebenarnya masih bisa
11
mengabdikan ilmunya dengan menjadi pengajar atau dosen. Sayangnya,
hanya sedikit di antaranya yang mau mengabdikan ilmunya ke negerinya
sendiri.
Beberapa di antara mereka yang lain beralasan apabila iklim studi
dan riset di luar negeri sangat mendukung untuk pengembangan diri
mereka. Fakta ini tidak bisa dibantah dan benar adanya. Tidak sedikit riset
ilmiah sulit mendapatkan pengakuan nasional dalam bentuk paten. Sering
pula terdengar apabila hasil riset para ilmuwan tidak bermanfaat di
Indonesia. Justru negara-negara asing yang memiliki minat untuk
mematenkan dan sekaligus menerapkannya. Sistem berpikir di negeri ini
pun kurang cocok atau kurang mampu mendukung sistem berpikir yang
selama ini mereka biasakan di luar negeri. Apalagi di luar negeri, seorang
peneliti tidak terlalu sulit mendapatkan dana penelitian dari pemerintahnya
maupun institusi swasta di negara mereka mengambil studi lanjut. Suatu
realita yang tidak terbantahkan pula apabila dana penelitian yang
dialokasikan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara
tetangga, bahkan hanya mencapai kurang dari 1/3 dari total dana penelitian
perusahaan Microsoft setiap tahunnya. Belum lagi apabila membahas
mengenai gaji tenaga pengajar dan ilmuwan di Indonesia yang masih
sangat rendah. Tentu saja kondisi tersebut sangat bertolak belakang
dengan kebanyakan gaya hidup orang Indonesia.
Kita mungkin kurang begitu memperhatikan kasus terbunuhnya
anak bangsa di Singapura yang bernama David di tahun 2008. Kasus yang
sempat mengganggu hubungan diplomatik di antara kedua negara tersebut
seolah sengaja ditutupi agar memang tidak menjadi polemik di masyarakat
Indonesia. David merupakan mahasiswa di perguruan tinggi Singapura
yang telah menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya. Dikabarkan David
menghasilkan karya yang tergolong fenomenal di bidang teknik yang
hendak diklaim oleh Singapura. Dikabarkan pula David tidak rela
karyanya tersebut diklaim oleh Singapura untuk dipatenkan bagi negara
tersebut. Perseteruan dengan dosennya kemudian berujung pada kematian
David secara misterius. Hingga saat ini kasus kematian David masih
12
misterius. Pihak pemerintah hanya menutup kasus tersebut sebagai kasus
bunuh diri.
"Mungkin saya bisa makan enak, tidur enak punya oto, punya rumah
besar. Tapi saya berdosa pada bangsa saya, dan buat apa saya hidup bila
saya menanggung dosa terhadap masa depan bangsa ini"
Kutipan pernyataan di atas adalah pernyataan Soekarno ketika
dirinya menolak tawaran orang pemerintahan Belanda untuk bekerja
sebagai pegawai Gupernemen (semacam pegawai khusus pemerintahan).
Padahal jika saja diterima tawaran tersebut, Soekarno akan mendapatkan
penghasilan ratusan Gulden dari Belanda. Lebih dari cukup untuk bisa
13
mewujudkan impian pribadinya melancong ke negeri-negeri di Eropa.
Sikap penolakan atas tawaran tersebut sesungguhnya mencerminkan sikap
moral dari diri Soekarno sendiri. Siapapun mungkin bisa mendebatkan,
tetapi tidak bisa mendebatkan kata hati seseorang yang pernah membawa
nama Indonesia begitu disegani di antara dua nama negara adidaya di masa
itu.
Sebagai bangsa yang besar sudah seharusnya dan selayaknya
melahirkan lebih banyak poros pemikiran baru di berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Berabad-abad yang silam, Nusantara pernah menjadi pusat
studi lanjut atau poros kebudayaan di dunia di masa kejayaan Sriwijaya.
Demikian pula ketika memasuki kejayaan Majapahit yang menjadi poros
kebudayaan Budha yang mampu menciptakan poros pemikiran dari
sumbernya di India. Di masa pergerakan nasional, Soekarno misalnya
memperkenalkan paradigma ilmu sosial yang disebut Marhaenisme yang
sesungguhnya merupakan poros baru dari paham Marxisme. Di masa
pergerakan nasional itu pula memunculkan poros baru dari pesantren yang
dikelola Haji Misbach yang kemudian dikenal dengan paham “Islam
Abangan”. Mungkin sedikit di antara kita yang mengetahui betapa
cemerlangnya pendekatan baru dari Marxisme dari Tan Malaka yang saat
ini menjadi salah satu referensi pemikiran Marxis di dunia. Mohammad
Hatta memperkenalkan gagasan sosialisme yang dikenal dengan sebutan
“Koperasi” dan sekaligus membedakan dengan pendekatan serupa yang
digunakan di Eropa. Masih ada cukup banyak deretan nama di masa lalu
yang sesungguhnya mencerminkan kemampuan bangsa Indonesia untuk
menciptakan poros pemikiran baru.
Fakta sejarah mengungkapkan apabila sumberdaya manusia
Indonesia dengan peringkat kualitas nomor 1 dan 2 tidak pernah
mengabdikan ilmunya di negerinya sendiri. Mereka yang mengabdikan
ilmunya sebagian besar dan yang menonjol adalah sumberdaya manusia
dengan peringkat kualitas nomor 3 dan 4. Peringkat ke-5 biasanya dikirim
ke luar negeri untuk dipekerjakan sebagai TKI/TKW. Mereka yang berada
pada peringkat ke-3 dan ke-4 inilah yang saat ini menjabat sebagai pejabat
14
publik maupun bekerja di instansi pemerintahan/swasta. Sungguh ironis
sekali, jika bangsa Indonesia harus berhadapan dan bersaing dengan
bangsa-bangsa lain yang dengan kualitas sumberdaya manusia peringkat 1
dan 2. Ironis pula jika tidak sedikit di antaranya justru terdapat bangsa
Indonesia sendiri yang membantu bangsa asing dengan menjadi warga
negara di negara tersebut.
Sudah saatnya bangsa ini harus lebih banyak belajar dari pemikiran
tokoh-tokoh di masa lalu, bahwa satu saat nanti mampu mengembalikan
kejayaan di masa silam sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia.
Soekarno pernah berucap, “Sediakanlah aku 10 pemuda, maka aku akan
mengguncang dunia”. Sekalipun di masa itu bangsa Indonesia sedang
mengalami kesusahan, akan tetapi bangsa Indonesia masih memiliki
kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bangsa Jepang di masa Restorasi
Meji mengirimkan putera-putera terbaiknya ke luar negeri untuk menimba
ilmu yang nantinya akan digunakan dan diterapkan di negerinya. Begitu
pula gagasan para pendiri bangsa ini di masa lalu, bahwa satu saat kelak
bangsa ini akan mampu mewujudkan dirinya menjadi bangsa yang mandiri
dan berdikari.
15
C. Penyebab Lunturnya Nasionalisme di Masyarakat Indonesia
Seiring berkembangnya zaman, rasa nasionalisme kian memudar.
Hal ini dibuktikan dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal
penting bagi Negara Indonesia. Contoh sederhana yang menggambarkan
betapa kecilnya rasa nasionalisme, diantaranya :
a) Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak
memaknai arti dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah
untuk menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah
berjuang keras untuk mengambil kemerdekaan dari tangan para
penjajah. Para pemuda seakan sibuk dengan pikirannya sendiri,
tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
b) Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda,
hannya dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa
menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam benak
mereka.
c) Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor dibandingkan
dengan produk buatan dalam negeri,lebih banyak mencampurkan
bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi,
dan lain-lain.
d) Kurangnya kesadaran masyarakat “hanya” untuk memasang
bendera di depan rumah, kantor atau pertokoan. Dan bagi yang
tidak mengibarkannya mereka punya berbagai macam alas an entah
benderanya sudah sobek atau tidak punya tiang bendera, malas ,
cuaca buruk, dan lain-lain. Mereka mampu membeli sepeda motor
baru, baju baru tiap tahun yang harganya ratusan bahkan jutaan
tapi mengapa untuk bendera merah putih yang harganya tidak
sampai ratusan saja mereka tidak sanggup.
Semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya dan lain sebagainya hanyalah merupakan
simbol, symbol bahwa negara Indonesia masih berdiri tegak dan mampu
mensejajarkan dirinya dengan bangsa lain. Bagaimana kita bias bangga
16
menjadi bangsa ini jika kita malas dan malu memakai atribut bangsa
Indonesia ini.
Jika ditinjau dari sudut pandang, gejala ini mulai terlihat sejak era
reformasi karena pada masa orde baru, pemasangan bendera adalah
sesuatu yang bersifat wajib. Sejak era reformasi, animo masyarakat untuk
turut andil dalam memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Pada masa
sekarang ini sudah sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an.
Padahal pada masa orde baru, suasana 17-an telah dirasakan sejak awal
Agustus. Perlombaan 17-an merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya dan
sudah menjadi budaya baru di negara ini. Melalui kegiatan ini dapat
ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri generasi muda yang
nantinya menjadi penerus bangsa. Contoh, dalam permainan panjat pinang
yang paling sulit diraih adalah bendera dan harus melalui usaha keras
untuk mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut terkandung nilai
pembelajaran yang sangat tinggi yaitu untuk merebut kemerdekaan, para
pahlawan berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan tentunya disertai
dengan rasa keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis adalah bangsa
ini pada kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang
masih hidup hingga sekarang. Mereka yang dahulu telah mengorbankan
segalanya untuk kemerdekaan Indonesia justru mendapatkan imbalan
berupa kehidupan yang tidak layak disisa umur mereka. Padahal dapat
dibayangkan apabila dahulu para pahlawan tidak mau berjuang, pastinya
Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing.
Sebenarnya nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada
para pejuang dulu, kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus
mengorbankan nyawa dan harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan
akankah punah tergilas modernisasi dan individualis. Masih banyak
bentuk nasionalisme lain yang kita rasakan semakin memudar. Kurangnya
kecintaan kita terhadap produk dalam negeri dan merasa bangga kalau bisa
memakai produk dalam negeri. Kegilaan kita tripping keluar negeri
padahal negeri sendiri belum tentu dijelajahi. Kita belum tersadar betul
17
bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu akan semakin menjauhkan
kecintaan kita kepada negeri ini.
Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini hanya muncul bila ada
suatu faktor pendorong, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayan
dan pulau-pulau kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan , serta Ambalat
oleh Malaysia beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme pun
kembali berkurang seiring dengan meredanya konflik tersebut.
18
D. Fakta Studi di Luar Negeri
Studi atau belajar keluar negeri masih menjadi pilihan yang
menarik bagi sekelompok pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Tidak
seperti dulu yang harus bersusah payah mencari informasi, sekarang ini
pihak perguruan tinggi di luar negeri sebaliknya cukup pro aktif mencari
peminatnya di berbagai negara, terutama Indonesia. Bagi sebagian
masyarakat Indonesia, studi lanjut ke luar negeri memiliki nilai prestis
tersendiri. Namun, tidak banyak yang mengetahui apabila kebiasaan studi
ke luar negeri tersebut telah menjadi bumerang bagi diri bangsa Indonesia
sendiri.
Ketika pertama kali melayangkan gagasan tulisan ini, penulis
mendapatkan cukup banyak pertentangan dari masyarakat. Penulis bisa
memahami, karena maksud yang tersirat dari gagasan tersebut seolah
penulis menyudutkan mereka yang mengambil studi lanjut di luar negeri.
Kuliah di luar negeri adalah pilihan di mana siapapun punya hak dan
kebebasan untuk mewujudkan. Tetapi studi lanjut di luar negeri itu pun
harus dipandang pula sebagai sebuah kebutuhan. Penulis tidak terlalu
mempersoalkan masalah pilihan dan kebutuhan, tetapi ada beberapa fakta
yang sebaiknya perlu diketahui oleh masyarakat tentang studi lanjut di luar
negeri.
Suatu Fakta Dalam Sejarah
Kebiasaan studi lanjut ke luar negeri sudah berlangsung sebelum
NKRI memproklamirkan kemerdekaannya. Tercatat beberapa tokoh
pergerakan nasional merupakan alumni perguruan tinggi di Eropa. Sebut
saja seperti salah satu bapak proklamator, Mohammad Hatta yang pernah
mengenyam pendidikan tinggi di Belanda atau tepatnya di Nederland
Handelshogeschool (Rotterdam). Atau seperti Sutan Sjahrir yang sempat
mengenyam di Amsterdam University (Belanda). Sebelum kemerdekaan,
di tanah air sudah berdiri sekolah-sekolah yang bahkan sampai tingkat
perguruan tinggi didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pengajarnya
pun lebih banyak diisi oleh orang-orang Belanda, seperti ketika Soekarno
masih mengenyam pendidikan di tingkat HBS (Surabaya).
19
Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, kebiasaan untuk
mengambil studi lanjut di luar negeri pun terus berlangsung. Apalagi
ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk mengirimkan putera dan
puteri Indonesia dalam jumlah yang cukup besar ke berbagai negara di
Eropa, Amerika, dan Sovyet untuk menimba ilmu. Tujuannya tidak lain
untuk mempersiapkan fondasi pendidikan yang kuat agar dapat
mempersiapkan sumber daya manusia secara mandiri di masa depan.
Mereka dikirimkan secara bergelombang sesuai dengan keberjenjangan
studi dan kelompok (jurusan) studi. Kebanyakan mereka yang dikirim
adalah sarjana-sarjana di bidang ilmu sains (MIPA), karena faktanya
ketika itu sangat kekurangan tenaga ataupun ilmuwan sains. Orientasinya
pada waktu itu hanya mengirimkan mahasiswa untuk mengambil studi
lanjut, setelah menyelesaikan studi dasar di perguruan tinggi setempat.
Paska tergulingnya Soekarno, pemerintah yang berkuasa mulai
menghentikan dan mengevaluasi pengiriman mahasiswa studi lanjut di
masa pergerakan revolusi. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah
berada di luar negeri tidak kembali ke tanah air. Sekalipun demikian,
pemerintah Orba pun masih melakukan pengiriman putera dan puteri yang
berprestasi ke luar negeri untuk melakukan studi lanjut. Program inilah
yang selanjutnya diberi nama program beasiswa yang dulunya
dikonotasikan dibiayai oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, studi
lanjut ke luar negeri menjadi semakin meluas, bukan hanya dilakukan oleh
mereka yang menurut pemerintah dikatakan berprestasi, melainkan
siapapun boleh melakukan studi lanjut ke luar negeri untuk berbagai
jenjang dan jurusan studi.
Motif Prestisius Studi Lanjut Yang Terus Berlanjut
Di dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” terdapat
cuplikan percakapan yang cukup menarik antara Soekarno muda dan
ibundanya. Ketika itu Soekarno mengutarakan niatnya untuk melanjutkan
studi ke luar negeri. Kemudian, ketika si ibu menanyakan alasannya untuk
memilih studi lanjut ke luar negeri, Soekarno hanya menjawab,
20
“Ibu, semua anak-anak yang lulus dari HBS dengan sendirinya pergi
negeri Belanda. Itulah jalan yang biasa. Kalau orang mau memasuki
sekolah tinggi dia pergi ke negeri Belanda”.
Bisakah pembaca bayangkan, jawaban tersebut justru meluncur
dari seorang yang nantinya menjadi penulis buku “Dibawah Bendera
Revolusi”? Tentu saja atas alasan tersebut langsung ditolak keras oleh
ibundanya. Tetapi ada yang lebih menarik lagi dari penjelasan ibunda
Soekarno atas penolakannya, yaitu
“Tidak ada salahnya. Tapi banyak jeleknya pergi ke negeri Belanda.
Apakah yang menyebabkan kau tertarik? Pikiran untuk mencapai gelar
universitas ataukah penghargaan akan mendapatkan seorang perempuan
kulit putih?”.
Tidak ada yang menyangka apabila percakapan yang berlangsung
pada tanggal 10 Juni 1921 tersebut akan turut merubah nasib bangsa
Indonesia di masa depan. Soekarno tidak bisa berkata apa-apa setelah
mendengar penjelasan ibundanya yang sangat sederhana. Soekarno pun
akhirnya melanjutkan studinya di Bandung yang ketika itu dikenal sebagai
kota pelajar dan pusat pendidikan.
Jika dicermati alasan Soekarno ketika hendak berniat melanjutkan
studi ke luar negeri adalah alasan dari kebanyakan masyarakat Indonesia
hingga sekarang ini. Apakah makna yang bisa ditangkap di dalamnya?
Tidak ada alasan lagi, kecuali hanya mendapatkan nilai prestisius dari
studi lanjut di luar negeri. Begitulah yang sekiranya ditangkap oleh ibunda
Soekarno dengan memaknai kalimat, “Apakah yang menyebabkan kau
tertarik? Pikiran untuk mencapai gelar universitas ataukah penghargaan
akan mendapatkan seorang perempuan kulit putih?”. Prestis studi lanjut ke
luar negeri sebenarnya pula telah berlangsung lama, bahkan di masa para
bapak pendiri bangsa sedang mengenyam pendidikannya.
Apalagi dalam tatanan berpikir masyarakat Indonesia sebagai
akibat (psikis) dari penjajahan pikiran yang cukup lama, yaitu mental
inlander. Suatu cara berpikir yang beranggapan apabila segala sesuatu
yang berasal dari luar dianggap lebih baik dan lebih bergengsi. Mental
21
inlander ini pula yang menyebabkan munculnya sikap ketergantungan
yang tidak rasional atau bentuk ketergantungan yang sulit untuk diberikan
penjelasan. Adapula yang kemudian menyebutkan dengan istilah
‘membebek’ atau kebiasaan ‘mengekor’ atau budaya ikut-ikutan. Mental
inlander tidak mengkedepankan kepercayaan diri dalam membangun dan
membentuk suatu kualitas, melainkan hanya mempertimbangkan aspek
prestisius semata.
Beberapa Fakta Yang Perlu Diketahui
Jika ada anggapan yang kemudian menjadi opini publik, apabila
kualitas sekolah/kuliah di luar negeri lebih baik ketimbang di dalam
negeri, maka anggapan tersebut tidak keliru. Penulis pun secara pribadi
tidak akan membantahnya. Tetapi ada beberapa fakta yang sebaiknya perlu
diketahui dan dipahami oleh masyarakat mengenai studi lanjut ke luar
negeri. Fakta-fakta tersebut sebenarnya pernah disinggung oleh
budayawan Frans Magnis Suseno dan Sudjiwo Tedjo. Di sini penulis
mencoba menghimpun fakta-fakta tersebut kepada beberapa nara sumber
yang dipilih karena pengetahuannya tentang sekolah di luar negeri.
a) Fakta Pertama: Penguasaan Karya Cipta Intelektual
Tidak bisa dipungkiri lagi, apabila karya ilmiah berupa thesis akan
menjadi syarat kelulusan mahasiswa di luar negeri. Setiap thesis yang
disusun oleh mahasiswa di luar negeri akan dipublikasikan melalui jurnal
di masing-masing jurusan/fakultas. Tentunya thesis karya mahasiswa asal
Indonesia yang kuliah di Nanyang University hanya akan dipublikasikan
pada jurnal yang mereka terbitkan sendiri. Thesis tersebut tidak bisa
dipublikasikan ke jurnal yang diterbitkan perguruan tinggi lain. Penyusun
thesis masih tetap diakui hak-hak intelektualnya, tetapi kepemilikan atas
karya ilmiah tersebut adalah persoalan lain.
Perguruan tinggi di luar negeri sangat memperhatikan aspek
kualitas akademik, terutama perhatian pada karya ilmiah. Tetapi tidak
sesederhana jika hendak memahaminya. Mereka sangat profesional di
mana reputasi mereka sangat ditentukan oleh kualitas karya ilmiah yang
dihasilkan oleh mahasiswanya. Reputasi tersebut berarti pula
22
akanmenentukan kepercayaan publik, sehingg akan menentukan pula
keberlangsungannya. Apapun akan mereka lakukan untuk menjaga
reputasi akademik tersebut, termasuk jika perlu mendatangkan ataupun
mencari mahasiswa berbakat. Tujuannya untuk bisa menghasilkan karya
ilmiah yang dituliskan dengan logo dan nama perguruan tinggi mereka.
Kepercayaan masyarakat tadi begitu pentinga bari mereka, karena datang
dari berbagai kalangan, terutama kalangan pemerintah maupun kalangan
usaha (korporasi), bahkan kalangan multinasional.
Jika mereka mendapati satu karya ilmiah yang dianggapnya
merupakan sesuatu karya yang sangat berharga di bidang ilmu
pengetahuan, maka mereka akan berupaya untuk menjaga karya ilmiah
tersebut, termasuk si penulisnya. Apalagi jika diketahui si penulis/pembuat
karya ilmiah tadi merupakan akademisi (pengajar/peneliti) di negara
asalnya. Mereka akan melakukan segala cara agar si pembuat karya ilmiah
tadi tidak akan tetap memberikan kontribusi bagi mereka. Caranya sangat
lazim, yaitu dengan menawarkan beasiswa untuk studi lanjut berikutnya.
Beberapa modus dilakukan dengan menawarkan proyek penelitian dengan
tawaran penghasilan yang cukup menggiurkan. Biaya riset/penelitian yang
hampir tidak mungkin diperoleh jika dilakukan di negara asal si pembuat
karya ilmiah. Prinsipnya, perguruan tinggi tersebut menciptakan semacam
ikatan yang membuat si peneliti menjadi enggan untuk kembali ke negara
asalnya.
Tidak semua perguruan tinggi melakukan modus tersebut dan
hanya mereka yang dianggap pilihan akan diarahkan pada sebuah ikatan
institusional. Penulis mencoba mengingatkan pembaca tentang kasus
mahasiswa asal Indonesia yang terbunuh di luar negeri, yaitu David
Hartanto Widjaja yang ketika itu tercatat sebagai mahasiswaNanyang
Technology University (Singapura) di tahun 2009. David memang dikenal
mahasiswa berbakat, serta pernah mewakili Indonesia dalam Olimpiade
Matematika Internasioal tahun 2005. Kematiannya yang masih misterius
hingga saat ini diduga berawal dari topik skripsinya yang meneliti
mengenai pengembangan teknologi 3D (sumber berita). Tema yang mirip
23
pernah diujicobakan oleh Lucas Art & Co, tetapi penelitian David
dianggap lebih revolusioner, karena aplikasinya akan lebih luas, bahkan
dapat dimanfaatkan untuk keperluan militer (sumber tulisan). Penulis tidak
ingin menebak-nebak, tetapi harus digarisbawahi apabila pihak NTU dan
pemerintah Singapura pun akan berkepentingan dengan hasil karya David.
Jika pun berita itu benar, David bukanlah orang Indonesia yang pertama
membuat terobosan teknologi di perguruan tinggi asing.
b) Fakta Kedua: Motif Untuk Mencari Informasi
Fakta inilah yang sempat disinggung oleh Franz Magnis Suseno
dan budayawan Sudjiwo Tedjo. Bisa dikatakan pula sebagai motif intelijen
untuk menguasai sumber-sumber informasi tentang Indonesia, yaitu orang
Indonesia sendiri. Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya,
apabila perguruan tinggi di luar negeri bermitra dengan perusahaan
ataupun kalangan pemerintahan untuk keperluan riset dan penelitian
tentang segala sesuatu subyek maupun obyek pengamatan yang
dikehendaki. Hal yang sama sebenarnya dilakukan pada beberapa
perguruan tinggi di Indonesia. Perbedaannya, perguruan tinggi di luar
negeri jauh lebih profesional dalam melakukan penghimpunan informasi,
karena melibatkan partisipasi aktif dari seluruh kalangan di perguruan
tinggi tersebut.
Mahasiswa asing yang biasanya mendapatkan perhatian dari
mereka adalah mahasiswa pada kelompok studi non eksakta. Misalnya
untuk program studi seperti ilmu ekonomi, bisnis, ilmu sosial dan politik,
ilmu komunikasi, dan lain sebagainya. Mahasiswa asing tetap diberikan
pilihan untuk mengambil tema penelitian, tetapi mereka pula tetap di
bawah arahan dosen pembimbingnya. Tidak hanya itu, para dosen
pembimbing tersebut akan mengarahkan agar mengambil topik dengan
obyek penelitian yang merupakan negara asal si mahasiswa. Mereka ini
bisa dikatakan sangat profesional dalam pekerjaannya. Si mahasiswa asing
yang dipilih untuk diarahkan tadi akan diberikan perhatian khusus,
termasuk disediakan asisten dosen pembimbing untuk membantu si
mahasiswa. Jika perlu, mereka akan berupaya pula untuk mencarikan dana
24
riset bagi si mahasiswa yang jumlahnya cukup besar, tergantung seberapa
besar nilai strategis dari tema penelitian.
Praktik/modus kependidikan yang diterapkan tadi bertujuan untuk
menghimpun informasi tentang negara asal si mahasiswa dengan segala
perangkat metode penelitian dan fasilitasnya. Informasi yang dihimpun
tadi akan menjadi kontribusi bagi perguruan tinggi kepada kalangan yang
membutuhkan, seperti kalangan bisnis (swasta), akademisi, maupun
pemerintahan. Perlu diketahui, apabila perguruan tinggi di luar negeri
tidak hanya mendapatkan uang dari mahasiswa, tetapi mereka pun
mendapatkannya dari pihak ketiga. Tidak mengherankan apabila
perguruan tinggi seperti mereka memiliki hubungan yang cukup dekat
dengan badan intelijen setempat ataupun biro riset dan penelitian bisnis
pada perusahaan-perusahaan multinasional.
Tidak semua mahasiswa asing akan dimanfaatkan sebagai media
untuk penghimpunan informasi. Pihak perguruan tinggi di luar negeri
cukup selektif untuk memilih dengan menggunakan kriteria dan standar
yang sangat ketat. Mereka mengemasnya dengan kalimat hanya akan
memilih mahasiswa asing yang mau untuk diajak bekerjasama. Tanpa
disadari, mahasiswa asing akan memberikan informasi yang cukup
berharga tentang negaranya. Sebut saja mulai dari informasi masalah
sosial, masalah politik, masalah keamanan, perilaku masyarakat, informasi
perekonomian, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan apabila tidak
sulit barang-barang impor masuk dan meluas ke pasar di dalam negeri.
Mereka pun cukup paham tentang situasi politik di suatu negara, termasuk
perilaku masyarakatnya. Semua informasi tersebut kebanyakan dihimpun
sendiri oleh orang Indonesia yang mengambil studi lanjut di luar negeri.
Mereka mendapatkan informasi dengan menguasai sumber informasi,
ketimbang harus bekerjasama dengan pemerintah ataupun perguruan
tinggi di Indonesia.
c) Fakta Ketiga: Motif Perekonomian
Motif perekonomian sebenarnya belum berlangsung terlalu lama,
yaitu sekitar 10 tahun belakangan ini. Beberapa perguruan tinggi di luar
25
negeri nampaknya mulai menggunakan strategi ‘jemput bola’ untuk
menawarkan studi lanjut di kampus mereka. Mereka menyelenggarakan
workshop di beberapa kota besr di Indonesia melalui seminar maupun
diskusi yang bertujuan untuk memperkenalkan kampus mereka kepada
calon mahasiswa di Indonesia. Sejalan dengan aktivitas tersebut, lembaga
donor atau pihak ketiga di luar negeri yang bekerjasama dengan institusi
swasta maupun pemerintah di dalam negeri untuk menyelenggarakan
program beasiswa studi lanjut ke luar negeri. Tidak jarang bersamaan
kampanye tersebut didukung pula oleh pemerintah mereka dengan
memberikan kemudahan dalam pengurusan visa.
Berdasarkan data pendidikan global yang dirilis oleh UNESCO
tahun 2011 disebutkan apabila negara tujuan (destinasi) untuk studi lanjut
bagi pelajar/mahasiswa Indonesia berturut-turut adalah Australia (10.205
orang), Amerika Serikat (7.386 orang), Malaysia (7.325 orang), Jepang
(1.788 orang), dan Jerman (1.546). Total terdapat sebanyak lebih dari
50.000 mahasiswa asal Indonesia yang menempuh studi di luar negeri.
Umumnya negara-negara yang menjadi destinasi favorit untuk studi lanjut
memiliki lembaga sendiri yang menghubungkan antara sekolah atau
perguruan tinggi di negara tujuan dan negara asal. Sekalipun Australia
berada pada peringkat teratas, uniknya negara ini justru menjadi negara
yang paling sedikit di Asia Pasifik mengirimkan pelajar/mahasiswanya ke
luar negeri. Berkebalikan dengan tren negara yang paling sering
mengirimkan pelajar/mahasiswa ke luar negeri, kebanyakan negara-negara
destinasi favorit tadi pun mengalami kecenderungan yang menurun dalam
pengiriman pelajar/mahasiswanya ke luar negeri.
Data yang dirilis dari UNESCO tersebut senantiasa mengalami
perkembangan. Misalnya saja, dalam beberapa bulan terakhir ini, Malaysia
dan Singapura nampaknya mulai mengalami perkembangan ang cukup
pesat untuk menempatkan dirinya menjadi negara tujuan favorit untuk
studi lanjut bagi pelajar/mahasiswa asal Indonesia. Cukup mengejutkan di
mana Malaysia yang dulunya menjadikan Indonesia negara tujuan untuk
menimba ilmu, kini telah mengalami pergeseran. Thailand pun mulai
26
berlomba dengan kampus-kampus lainnya di Asia Tenggara untuk
menarik pelajar/mahasiswa asal Indonesia.
Indonesia sebenarnya masih terbilang rendah untuk kuantitas
pengiriman pelajar/mahasiswa ke luar negeri (Okezone, 27 Maret 2012,
19:05). Dua negara urutan teratas masih dipegang oleh China dan India,
selanjutnya diikuti oleh Korea Selatan. Jepang yang berada pada urutan
keempat hanya mengirimkan kurang dari 60.000 pelajar/mahasiswanya
pada tahun 2009. Sekalipun Indonesia masih terbilang rendah, tetapi
jumlah pengirimannya setiap tahun senantiasa mengalami peningkatan
dengan jumlah yang relatif bervariasi.
Kehadiran mahasiswa internasional sebenarnya memiliki aspek
ekonomi, yaitu harapan untuk bisa memberikan kontribusi yang positif
bagi negara tujuan studi lanjut. Masuknya mahasiswa internasional akan
diikuti pula dengan masuknya dana internasional yang digunakan untuk
membiayai keperluan studi lanjut di luar negeri. Beberapa negara di Eropa
memberikan regulasi yang cukup ketat, seperti dengan memberikan
jaminan sejumlah uang untuk ditempatkan di negara tersebut.
Pelajar/mahasiswa di luar negeri akan membelanjakan uangnya yang
berarti pula akan turut memutar kegiatan perekonomian di negara tersebut.
Di sisi lain, masuknya dana internasional tersebut tentunya akan
memberikan kontribusi bagi penguatan (apresiasi) nilai tukar (kurs) mata
uang setempat. Motif inilah yang kemudian mendorong sejumlah
perguruan tinggi di luar negeri mendorong berkembangnya program
pertukaran pelajar dan mahasiswa internasional atau program untuk
mahasiswa internasional. Akhir tahun 2011 lalu, pemerintah Amerika
pernah memberikan insentif yang cukup besar bagi pelajar dan mahasiswa
asal Indonesia untuk menempuh studi lanjut di Amerika.
Pelajaran Bagi Perguruan Tinggi di Indonesia
Penulis tidak menampik apabila ada motif prestisius yang
melatarbelakangi beberapa pelajar atau mahasiswa untuk mengambil studi
lanjut di luar negeri. Tetapi harus pula diakui apabila perguruan tinggi di
dalam negeri memiliki sikap yang tidak fleksibel terhadap perubahan dan
27
dinamika pendidikan dan ilmu pengetahuan. Alasan untuk mengejar daya
saing dilakukan lebih banyak berorientasi pada perubahan fisik, bukan
menitikberatkan pada pembenahan kualitas. Misalnya saja seperti kasus
plagiarisme yang semakin merajalela, serta sistem belajar dan mengajar
yang hanya berorientasi untuk mengejar kuantitas. Masalah kualitas ini
pula perlu disoroti dari sikap dari para pengajarnya sendiri yang jarang
untuk membuat penelitian ataupun mengeluarkan buku panduan kuliah.
Ada banyak kesamaan cerita dari mereka yang pernah mengenyam
studi lanjut di luar negeri tentang sikap para dosen ataupun dosen
pembimbing. Rata-rata pengajar (dosen) di perguruan tinggi luar negeri
bergelar setidaknya doktor. Mereka adalah sosok yang tidak sulit untuk
ditemui oleh mahasiswanya untuk berkonsultasi. Para dosen ini pun
didampingi oleh asisten dosen untuk membantu komunikasi dan hubungan
akademik antara dosen dan mahasiswa. Mereka cukup konsisten
menjalankan kurikulum yang telah matang dan menjadi rujukan bagi
perguruan tinggi di negara lain. Beberapa perguruan tinggi di luar negeri
memiliki aturan yang sangat tegas terhadap ketentuan drop out (DO).
Masih banyak lagi masalah kualitas yang terlewatkan dan kurang
diperhatikan serius oleh perguruan tinggi di dalam negeri.
Tidak berimbangnya jumlah mahasiswa yang studi lanjut ke luar
negeri dibandingkan mahasiwa asing yang studi lanjut di Indonesia tidak
lain dilatarbelakangi oleh lemahnya visi perguruan tinggi dalam
mengkedepankan keunggulan komparatifnya. Sebenarnya masalah
keunggulan komparatif adalah masalah sistem pendidikan nasional dan
tentunya sikap dari pemimpin nasional. Aspek prestisius secara fisik
sebenarnya tidaklah selalu penting menentukan keunggulan komparatif
antar perguruan tinggi, melainkan lebih memperhatikan aspek kualitas.
Perguruan tinggi di Indonesia sebaiknya mengesampingkan dulu masalah
pemeringkatan oleh lembaga-lembaga pemeringkat perguruan tinggi,
karena memang terbukti sangat subyektif.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Positif (Saran)
Dengan segala keuntungan dan hasil yang didapatkan pada saat
studi di luar negeri memang membuat mahasiswa tertarik untuk
melanjutkan pendidikan disana dan kebanyakan memilih untuk
tinggal disana. Tetapi keadaan tersebut membuat orang orang yang
memiliki kemampuan untuk membangun negara sendiri berkurang.
Berdasarkan tokoh tokoh Nasionalisme seharusnya setelah mereka
melakukan studi disana dengan ilmu yang jauh lebih super bisa
kembali ke tanah air dan menghilangkan semua ego dan memiliki
bekal Nasionalisme untuk membuat kemajuan bangsa yang sangat
pesat tanpa adanya campur tangan asing.
b. Negatif(Kritik)
Dengan keadaan bangsa ini yang tidak menyediakan wadah untuk
orang orang hebat tidak menutup kemungkinan untuk membuat
mereka mengikuti egonya meninggalkan tanah air. Untuk
mencegah itu terjadi demi kepentingan bangsa sebaiknya
pemerintah memperhatikan mereka dan memfasilitasi apa yang
dibutuhkan untuk memajukan bangsa dan menggusur segala yang
berbau asing.
29
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno.(2001).Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia
Hans Kohn.(1984). Nasionalisme dan Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga
Kartodirjo, Sartono.1999. Dinamika Nasionalisme Indonesia. Salatiga: Yayasan Bina Darma
Sulfikar Amir.“Epistemologi
Nasionalisme”.http://kompas.com/kompas-cetak/041103/Bentara/1363295.htm,10 April 2015
Taufik Abdullah.(2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung : Satya Historika.
30