HUKUM PUBLIK PPN

download HUKUM PUBLIK  PPN

of 15

description

HUKUM PUBLIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Transcript of HUKUM PUBLIK PPN

HUKUM PUBLIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ( PPN)(BAGIAN 2)PENDAHULUANDalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Dari kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori:

1. Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. 2. Pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. 3. Pajak Tidak Langsung adalah beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual.MEKANISME PEMUNGUTAN PPN

Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p284) Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pada saat membeli / memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP), akan dipungut PPN oleh penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa Faktur Pajak.

2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat Faktur Pajak.

3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.

4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.

5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN).

Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 diatur bahwa Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4 ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini jelas terlihat bahwa setiap pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah wajib dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini PPN dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.

Pemungut PPN adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Namun demikian, sejak 1 Januari 2004, pihak-pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah hanya Bendaharawan Pemerintah dan KPKN. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusah dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. PKP Rekanan Pemerintah adalah PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN.

MekanismepemungutanPPN sesuai dengan PMK Nomor 85/PMK.03/2012 tanggal 06 Juni 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Juli 2012 adalah:

1. Rekanan wajib membuat faktur pajak dan surat setoran pajak (SSP) atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada BUMN.

2. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.

3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan.

4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM maka rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.

5. Faktur pajak dibuat dalam rangkap 3 dengan peruntukkan sebagai berikut: lembar kesatu untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan lembar ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.

6. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 dengan peruntukkan sebagai berikut: lembar ke-1 untuk rekanan, lembar ke-2 untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar ke-3 untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN, lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan lembar ke-5 untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

7. BUMN yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap Disetor tanggal.... dan menandatanganinya pada faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e.

8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM.Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal 40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran PPN adalah Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran, sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak. Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak main-main menunggu.

Mekanisme pelaporan PPNPelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat BUMN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN dan dilampiri dengan faktur pajak lembar ke-3 dan SSP lembar ke-5 dalam hal terdapat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata cara pembayaran dan penyetoran pajak dan PMK Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistim penerimaan negara secara elektronik, maka pembayaran PPN dengan sistim SSP serta pembuatan Faktur secara manual digantikan dengan sistim elektronik. Istilah E-billing digunakan untuk menggantikan SSP dan E-faktur digunakan untuk pelaporan faktur secara elektronik.NETRALITAS DAN NON DISKRIMINASI PPN1. PPN Bersifat Netral.

PPN Tidak menimbulkan ketidakadilan ekonomi karena atas barang yang sama dikenakan PPN dan yang sama. PPN bersifat netral berkaitan dengan pengenaan tarif sama dan tunggal sebesar 10 % atas PPN terhadap pembelian atau penjualan BKP dan JKP tanpa melihat jenis barang atau jasanya. Dengan pengenaan tarif tunggal ini, PPN menegaskan dirinya bersifat netral dari persaingan dunia bisnis. Netralitas PPN dibentuk oleh faktor PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, serta faktor dalam pemungutannya PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle). Prinsip tempat tujuan PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama denga produksi barang dalam negeri. Kompetisi antara produk impor dnegan produk domestic tidak dipengaruhi oleh PPN.

Netralitas eksternal adalah fungsi keseimbangan dari perlakuan pajak (atas konsumsi) di wilayah tax frontiers yaitu, pengenaan pajak atas impor harus sama besar dengan pajak yang dikenakan atas produk dalam negeri, dan pengembalian pajak atas ekspor adalah sebesar pajak yang nyata nyata telah dibayar atas perolehan atau pembuatan barang yang diekspor tersebut.Dalam istilah Pajak Penjualan (Sales Taxation) atau (sekarang) Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) masalah tax frontiers disebut juga sebagai cross-border tax atau cross-border ValueAdded Tax (VAT).

Masalah tax frontiers atau cross-border tax timbul karena hampir semua Negara di dunia selain mengenakan pajak atas penghasilan (tax on income) juga mengenakan pajak atas pengeluaran / belanja untuk konsumsi (tax on consumption) sebagai pendamping / pelengkap pajak atas penghasilan dalam sistem perpajakan masing-masing Negara. Nampaknya hampir setiap Negara sepakat untuk menerapkan suatu asas yang mendukung sifat non diskriminasi atau sifat netralis internal (internal neutrality) untuk transaksi produk domestik dan produk asal impor di dalam negeri, dan menjaga sifat netralitas eksternal (eksternal neutrality) dengan cara tidak mengenakan pajak atas ekspor dan bahkan mengembalikan pajak yang sudah terkena di dalam negeri atas produk yang diekspor tersebut. Asas ini disebut Asas Destinasi/Asas Tujuan (Destination Principle).

Asas Destinasi atau Asas Tujuan (Destination Principle) merupakan ciri dan sifat dasar (legal characteristic) dari hampir seluruh sistem Pajak Atas Konsumsi di dunia. Penggunaan asas ini dapat dimaklumi mengingat pada dasarnya semua Negara yang menerapkan Pajak Atas Konsumsi menginginkan keseragaman perlakuan pajak wilayah cross-border atau tax frontiers. Asas ini mempertahankan sifat sifat non diskriminasi, netralitas internal dan netralitas eksternal. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, asas ini memerlukan beberapa syarat antara lain:

a. Adanya suatu kawasan / wilayah pengenaan pajak (tax territory) yang disebut Daerah Pabean (Customs Area), tempat terjadinya transaksi barang dan jasa untuk tujuan konsumsi oleh konsumen terakhir sebagai destinataris pajak yang mencerminkan netralitas legal (legal internal neutrality) artinya beban pajak (tax incidence) benar-benar dipikul oleh destinataris pajak;b. Penggunaan tarif tunggal (uniform rate) dan sifat pajak yang non kumulatif sehingga tidak menimbulkan dampak negatif (non interference) bagi pengusaha dalam menentukan alokasi faktor-faktor produksi baik dalam kegiatan usaha terintegrasi maupun usaha non integrasi, sebagai wujud netralitas ekonomis (internal economic neutrality);c. Adanya perlakuan pajak yang sama antara produk impor dengan produk dalam negeri artinya terhadap barang impor dikenakan pajak dengan tarif yang sama dengan barang buatan dalam negeri, disebut asas non diskriminasi dalam asas destinasi sebagai salah satu wujud netralis ekternal (eksternal neutrality) di tax frontiers;d. Adanya pembebasan atas pajak (ekspor) barang hasil produksi dalam negeri yang dikirim ke luar negeri, dan pajak yang sudah dibayar atas perolehan barang dari dalam negeri atau dari impor yang dipakai dalam proses produksi barang yang diekspor dikembalikan, juga sebagai wujud netralitas eksternal (external neutrality) dalam urusan cross border tax. Dalam Asas Tujuan atau Asas Destinasi, perlakuan pajak terhadap ekspor termasuk dalam asas atau asas nol perseratus (0%) untuk penyesuaian lintas batas wilayah suatu Negara (zero rated application for the border tax adjustment principle).2. PPN Bersifat Non-Diskriminasi.

Prinsip Non-Diskriminasidimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).

Ketentuan non-diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.

Pengenaan pajak atas impor dan pengembalian pajak atas ekspor merupakan bagian dari asas atau sifat non-diskriminasi atau sifat netralitas dari pajak atas konsumsi terhadap produk dalam negeri yang keluar (ekspor) maupun produk impor yang masuk melalui wilayah perbatasan negara. Masalah pajak di wilayah perbatasan ini disebut tax frontiers.KEPASTIAN HUKUM PPN

1. Dasar Hukum

Sesuai dengan legal karakter PPN, disebutkan bahwa PPN merupakan pajak objektif. Pajak objektif mempunyai pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh tatbestand yaitu peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan atau menjadi tidak relevan. Hal inilah yang menjadi dasar filosofi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentang PPN. Pasal-pasal yang mengatur tentang objek pajak dalam UU PPN sangat jelas diatur, namun pasal-pasal yang mengatur mengenai subjek pajak masih belum tegas dan jelas diatur. Berikut adalah dasar Hukum PPN yaitu:a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.2. Kepastian Hukum Bukti Pembayaran PPN

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal 40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran PPN adalah Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran, sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak. Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak main-main menunggu.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan dalam hal Faktur Pajak telah dibuat oleh orang pribadi atau badan yang belum dikukuhkan sebagai PKP, maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Mungkin sanksi ini masih dapat diabaikan karena PPN yang terutang tadi sudah dipungut oleh bendaharawan. Namun ada sanksi lain di Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 39A yang mengancam penerbit faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan ancaman pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Tentunya melihat ancaman sanksi sedemikian rupa seharusnya membuat rekanan yang belum menjadi PKP tadi akan pikir-pikir jika akan membuat faktur pajak. Sehingga walaupun penyedia telah melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai dengan kontrak, penyedia tidak dapat dilakukan pembayaran karena yang bersangkutan bukan PKP yang dapat memberikan faktur pajak sesuai syarat pembayaran SPM LS sebagaimana diatur di dalam PMK-190/PMK.05/2012 di atas. Dan jika penyedia tetap tidak dapat dibayarkan, penyedia ujung-ujungnya dapat melakukan gugatan ke PTUN yang tentunya akan menguras waktu dan pikiran.

Dari kedua alternatif jawaban dari pertanyaan di atas ternyata sama-sama mengandung konsekuensi yang tidak mengenakkan baik bagi pihak Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan serta penyedia yang terlibat dalam pengadaan barang/ jasa akibat adanya ketidak pastian hukum di atas.

Pengalaman di lapangan, setiap rekanan maupun calon rekanan pemerintah secara informal diwajibkan untuk menjadi PKP. Namun saat ini ada program e-procurement yaitu proses pengadaan yang seluruh proses pemilihan calon penyedia nya dilaksanakan melalui media internet yang akhir-akhir ini digalakkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) yang dalam proses nya mengurangi tatap muka antara Unit Layanan Pengadaan atau panitia pengadaan dengan calon penyedia sehingga proses pemilihan penyedia diharapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.3. Kepastian Hukum Obyek PPN

Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena adanya pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

b. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang PPN pasal 4, pasal 16 C, dan pasal 16 D.Pasal 4:PPN dikenakan atas:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. Impor Barang Kena Pajak;

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 16 C:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

Pasal 16 D:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."4. Kepastian Hukum Pengusaha Kena PajakPengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

a. Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.b. Pengusaha Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha tersebar di beberapa tempat, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usahac. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.d. Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir Masa Pajak berikutnya.

RASA KEADILAN PPN

Pengertian keadilan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dipraktikkan. Dalam perpajakan, sendi keadilan adalah perlakuan yang sama kepada wajib pajak, yang tidak membedakan kewarganegaraan, baik pribumi, maupun asing, dan tidak membedakan agama, aliran politik, dan sebagainya. Namun, apabila ada pertentangan kepentingan antara kepastian hukum pajak dan prinsip keadilan pajak, maka dalam hal ini yang harus didahulukan adalah kepastian hukum guna menjamin pelaksanaan pajak kepada setiap wajib pajak. Pada dasarnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi, bukan atas penghasilan. Sasaran akhir dari PPN adalah konsumen akhir pengguna barang/jasa. Melalui mekanisme pertambahan nilai tadi, diciptakanlah mekanisme pengkreditan Pajak Keluaran-Pajak Masukan, sehingga beban pajak bisa digeser sedemikian rupa sampai menjadi beban konsumen akhir. Jadi pada dasarnya PPN yang dibayar konsumen pada saat pembelian barang akan dinolkan melalui pemungutan pajak keluaran pada saat penjualan. PPN diterapkan bukan atas penghasilan seseorang tetapi dibebankan hanya kepada masyarakat yang melakukan konsumsi atas barang/jasa kena pajak.Asas keadilan dalam penungutan pajak pertambahan nilai (PPN) bermakna yaitu tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak, dalam kondisi yang sama, wajib pajak harus dikenai pajak yang sama. Asas yang mendasari PPN ini terdiri dari:

1. Asas Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

2. Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas waktu pembayaran

3. Asas Convenience of Payment

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh penghasilan.

4. Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul.

Rasa keadilan dalam PPN dapat dilihat dalam implementasi Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 dalam hal penerapan single rate atau tarif tunggal dalam menghitung PPN terutang. Besarnya tarif ini adalah 10% dasar pertimbangannya yaitu:

1. Dengan tarif tunggal ini maka semua BKP dan JKP akan dikenakan tarif yang sama yaitu 10%, tanpa melihat jenis barang atau jasanya. Dengan pengenaan tarif tunggal ini, PPN menegaskan dirinya bersifat netral dari persaingan dunia bisnis, namun demikian, PPN juga memilki tarif lain yaitu tarif 0%2. Tarif ini dikenakan khusus untuk objek PPN berupa ekspor BKP, ekspor JKP dan ekspor BKP tidak berwujud. Pengenaan tarif 0% ini dimaksudkan agar PKP yang melakukan ekspor dapat meminta kembali unsur PPN yang terdapat dalam BKP atau JKP yang diekspornya sehingga harga barang atau jasa tersebut tidak mengandung unsur PPN. Hal ini sesuai dengan ciri PPN yang merupakan pajak atas konsumsi di dalam negeri.

Besarnya tarif PPN yang 10% di atas bisa saja diubah oleh Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR. Adapun besarnya tarif PPN setelah perubahan adalah paling tinggi 15% dan paling rendah 5%. Kenaikan atau penurunan tarif 10% ini berdasarkan pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Pertimbangan lain juga misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembayaran pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Hal lain yang melatarbelakangi penetapan peraturan ini adalah untuk menjamin rasa keadilan dalam pengenaan PPN, berdasarkan ketentuan pasal 8A ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.

Sesuai peraturan ini, PPN terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, yaitu kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Kriteria bangunan yang dikenai PPN tersebut antara lain konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau besi; diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan luas keseluruhan paling sedikit 200m2.

Tarif PPN terutang ditetapkan sebesar 10% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, di mana dasar pengenaan pajak adalah sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

REFERENSI:1. www.pajak.go.id/.../kepastian-hukum-pemungutan-pp.2. www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPPN.pdf3. www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=ppn4. www.id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai5. www.Mekanisme Pemungutan PPN ~ PAJAKKOE.html

6. www.tarif.depkeu.go.id /PenjelasanUmum Tarif.html7. www.pajak.go.id/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai8. www.solusipajak-info-guide.blogspot.com/2012/11/pajak-pertambahan-nilai-pajak-penjualan.html9. www.pandupajak.org/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai/10. www.pandupajak.org/content/barang-dan-jasa-yang-tidak-dikenai-ppn/11. www.pajakkoe.blogspot.com/2013/01/mekanisme-pemungut-ppn.html

12. Prof.Dr.Mardiasmo,MBA.,Ak..2011.Perpajakan(Edisi Revisi 2013).Penerbit Andi:Yogyakarta.15