Hukum Pajak - SPT Lebih Bayar
Transcript of Hukum Pajak - SPT Lebih Bayar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara selalu melakukan pembangunan untuk memajukan negara maupun
kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan tersebut akan memerlukan uang yang
banyak agar pembangunan dapat berhasil. Uang untuk pembangunan terseut
diadapat dari sumber-sumber penghasilan negara. Pada umumnya negara
mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari:1
1. Bumi, air dan kekayaan alam
2. Pajak-pajak, Bea dan Cukai
3. Penerimaan negara bukan pajak (non-tax)
4. Hasil perusahaan negara
5. Sumber-sumber lain, seperti percetakan uang dan pinjaman
Masyarakat tidak asing dengan kata “pajak”. karena sering
mendengar,membaca dan membayar pajak. Misalnya pada saat makan di restoran
dan membayar, di resi pembayaran tercantum kata-kata ”PPN 10%” dan
masyarakat pun pasti pernah mendengar atau membaca slogan ”Orang Bijak Taat
Membayar Pajak”.
Istilah pajak sendiri baru muncul pada abad ke-19 di Pulau Jawa, yaitu pada
masa penjajahan Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811-1816. Pada tahun
1819 dikeluarkanlah Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayarkan
oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Penduduk
menamakan pembayaran landrente itu pajeg atau duwit ajeg yang berasal dari kata
bahasa Jawa ajeg, artinya tetap. Jadi duwit pajeg atau pajeg diartikan sebagai
jumlah uang tetap yang harus dibayar dalam jumlah yang sama pada tiap
tahunnya.2
Dalam literatur Indonesia sekarang, ”fiskal” telah menjadi istilah populer untuk
sebutan pajak walaupun sebenarnya antara kata fiskal dan pajak terdapat
1 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.11.2 Tunggul Anshari SN, Pengantar Hukum Pajak, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm.
3.
1
perbedaan pengertian yang luas. Istilah fiskal berasal dari bahasa Latin, yaitu
fiscus yang berarti keranjang berisi uang atau kantong uang. Kata fiscus
diidentikkan dengan kas negara dan juga diidentikkan dengan pengertian alat-alat
negara yang diberi tugas untuk memasukkan uang rakyat. Oleh karena itu fiskal
dalam arti luas mengandung pengertian segala sesuatu yang ada sangkut pautnya
dengan keuangan negara, termasuk pajak, sedangkan fiskal dalam arti sempit
itulah yang dinamakan pajak.3
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor
swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan
dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat
ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang
digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai
tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara.4 Definisi pajak menurut UU
Perpajakan Nasional adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-
undang dengan tidak mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (routine) dan pembangunan.5
Fungsi pajak dalam negara ada 3 (tiga), yaitu:6
1. Fungsi Anggaran (Budgeter)
Fungsi anggaran dari pajak adalah memasukkan uang ke kas negara
sebanyak-banyaknya untuk keperluan belanja negara. Belanja rutin negara
antara lain adalah membayar pegawai, pendidikan, keamanan, dan
sebagainya. Jika ada sisa yang disebut surplus maka itulah yang digunakan
untuk pembangunan.
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam perekonomian
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan fungsi ini dapat
bersifat positif dan bersifat negatif. Dalam pelaksanaan yang bersifat
positf, jika suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat oleh pemerintah
3 Ibid.4 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009, hlm.191.5 Tunggul Anshari SN, ibid, hlm. 8.6 Ibid, hlm. 13.
2
dipandang sebagai kegiatan yang positif maka pemerintah akan
memberikan dorongan berupa insentif pajak (tax incentive). Pelaksanaan
yang bersifat negatif dilakukan untuk mencegah perkembangan atau
menjuruskan kehidupan masyarakat ke arah tujuan tertentu. Hal tersebut
dilakukan dengan cara membuat peraturan perpajakan yang memberatkan
masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan yang ingin diberantas
masyarakat. Misalnya pemberian pajak impor tinggi bagi barang-barang
tertentu untuk melindungi barang-barang produksi dalam negeri.
3. Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan bagian dari fungsi lainnya, yaitu fungsi mengatur.
Besarnya pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kekuatan seseorang
untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya setelah
dikurangi (dengan yang mutlak) untuk kebutuhan primer.
Asas-asas dalam pemungutan pajak antara lain: 1) Asas Keadilan; 2) Asas
Yuridis; 2) Asas Ekonomis; 3) Asas Finansial.7 Selain itu terdapat ajaran Adam
Smith mengenai asas-asa pemungutan pajak yang dikenal dengan nama Four
Maxims. Asas-asas pemungutan pajak menurut Adam Smith, yaitu:8
1. Equality and equity (keadilan/kesamaan)
Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan
diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama,
para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
2. Certainty (Kepastian hukum)
Dalam asas certainty ini kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang
mengenai subyek-obyek, besarnya pajak dan juga ketentuan mengenai
waktu pembayarannya.
3. Convenience of payment (saat paling tepat)
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib
pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan diterimanya penghasilan yang
bersangkutan.
7 Lihat, Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat & Daerah, Edisi Revisi, Humaniora, Bandung, 2012, hlm. 5-8.
8 Lihat, ibid, hlm. 8-9.
3
4. Economics of collection (efisien)
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan
melebihi pemasukan pajaknya.
Indonesia menganut self assessment system dalam memungut pajak, dimana
negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya di bidang perpajakan. Ciri dari sistem ini adalah: 1) wajib pajak
menghitung sendiri pajak yang terutang / pajak yang harus dibayar; 2) wajib pajak
membayar/menyetor sendiri pajak yang harus dibayar ke bank atau kantor pos; 3)
wajib pajak melaporkan sendiri pajak yang terutang; 4) pemerintah sebagai fiskus
mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak di bidang perpajakan.9
Jadi pemerintah hanya mengawasi dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan
berada di tangan wajib pajak itu sendiri.
Tidak jarang terjadi kesalahan dalam perhitungan pajak yang terutang atau
pajak yang harus dibayarkan. Kesalahan tersebut dapat menimbulkan adanya
kurang bayar atau kelebihan pembayaran pajak. Apabila terjadi kelebihan
pembayaran pajak maka wajib pajak dapat meminta restitusi atau pengembalian
kelebihan pembayaran pajak. Wajib pajak harus mengajukan pemberitahuan
kepada Direktorat Jenderal Pajak atas adanya kelebihan pembayran pajak tersebut
untuk kemudian diproses dan diteliti apakah benar terjadi kelebihan pembayran
pajak.
Adanya pemberitahuan tersebut akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi,
anatara lin adanya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Pemberitahuan
Lebih Bayar. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas mengenai
pengembalian kelebihan pembayaran pajak ini, khususnya mengenai SPT Lebih
Bayar dalam makalah berjudul ”Surat Pemberitahuan (SPT) Lebih Bayar”.
B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dari makalah ini adalah:
9 Lihat, ibid, hlm. 15.
4
1. Bagaimanakah dasar hukum untuk ketentuan dan tata cara perpajakan di
Indonesia?
2. Bagaimanakah cara mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)?
3. Bagaimanakah sampai dapat terbit Surat Pemberitahuan (SPT) Lebih
Bayar?
BAB II
PEMBAHASAN
5
A. Dasar Hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Dasar hukum dari pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 yang
menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Jadi Negara tidak dapat dengan
sewenang-wenang memungut pajak, karena harus ada undang-undang yang
mengatur mengenai tata cara untuk memungut pajak tersebut.
Dasar hukum dari ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) di
Indonesia adalah UU No. 6 Tahun 1983.tentang KUP. UU KUP ini telah
beberapakali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan UU No. 28
Tahun 2007.
B. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP
adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Pada bulan Mei 2012 lalu, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan baru yang salah satunya mengatur tatacara atau mekanisme
pendaftaran Wajib Pajak. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 73/PMK.03/2012 yang menggantikan ketentuan sebelumnya yaitu
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008. Terdapat batas waktu bagi
Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban mendaftarkan diri untuk
mendapatkan NPWP di atas. Untuk Wajib Pajak badan, kewajiban ini harus
dilakukan paling lambat satu bulan setelah Saat Usaha Mulai Dijalankan. Hal yang
sama juga berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas. Saat Usaha Mulai Dijalankan adalah saat pendirian atau saat
usaha atau pekerjaan bebas nyata-nyata mulai dilakukan. Dengan demikian, bagi
Wajib Pajak badan, bisa kita baca bahwa Wajib Pajak tersebut harus mendaftarkan
diri paling lambat satu bulan sejak saat pendirian. Sedangkan bagi WP orang
6
pribadi, satu bulan dihitung sejak usaha atau pekerjaan bebas nyata-nyata mulai
dilakukan.10
Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf a UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP
adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
dan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Rumusan ini
kemudian diperluas dalam UU No. 9 Tahun 1994, yaitu orang pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemugut pajak atau pemotong
pajak.11
Rumusan ini kemudian diubah lagi dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 28 Tahun
2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Setiap Wajib Pajak mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban Wajib Pajak adalah:12
1. mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (Pasal 2 UU KUP);
2. membayar pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku;
3. menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/SPT Tahunan sesuai dengan
jangka waktu yang ditentukan;
SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek
pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketetuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. SPT terdiri dari SPT Masa, yaitu SPT untuk satu Masa
Pajak dan SPT Tahunan yaitu SPT untuk satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak.
10 “Batas Waktu Pendaftaran NPWP”, http://dudiwahyudi.com/pajak/ketentuan-umum-dan-tatacara-perpajakan/batas-waktu-pendaftaran-npwp.html, diakses pada tanggal 27 Juni 2012 pukul 01.03 WIB.
11 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 15.
12 Ibid, hlm. 16-18
7
4. kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia
5. kewajiban yang harus dipenuhi Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan
- memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumenyang
menjadi dasarnya dan dokumen yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak
- memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan
- memberikan keterangan yang diperlukan.
Hak-hak Wajib Pajak, antara lain: 13
1. memperoleh formulir-formulir yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan
berbagai kewajiban yang harus dipenuhi Wajib Pajak
2. memperoleh penyuluhan mengenai perpajakan
3. mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi)
4. mengajukan permohonan untuk mencicil ataupun menunda pembayaran pajak
5. mengajukan keberatan/banding/Peninjauan Kembali atas ketetapan pajak yang
telah diterbitkan
6. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa untuk menjalankan hak dan
kewajibannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Masing-masing UU Perpajakan, hukum pajak material, memiliki pengertian
yang berbeda-beda tentang Subjek Pajak karena definisi subjek pajak tidak diatur
oleh UU KUP sebagai hukum pajak formal.
Subjek hukum berdasarkan:14
a. Pajak Penghasilan
Dasar hukum: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991, diubah lagi dengan UU No. 17 Tahun
2000 dan terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008.
Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
subjek pajak adalah:
13 Ibid, hlm. 21.14 Bandingkan, ibid, hlm. 13-15.
8
Pasal 2 ayat (1) 1. a. Orang pribadi
b. Warisan yang belum terbagi
2. Badan
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Pasal 2 ayat (2) 1. subjek pajak dalam negeri
2. subjek pajak luar negeri
Pasal 2 ayat (3) a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
b. badan yang didrikan atau bertempat kedudukan di indonesia
c. warisan yang berlum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Serta Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
Dasar hukum: UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan UU No.
18 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan UU No. 42 Tahun 2009.
Menurut Pasal 1 angka 5 UU KUP, Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
PKP diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN, yaitu:
a. pengusaha yang bukan pengusaha kecil yang menyerahkan Barang Kena
Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP). Artinya, pengusaha yang memenuhi
syarat wajib menjadi PKP.
b. Pengusaha kecil yang menyerahkan barang kena pajak/jasa kena pajak, dan
memilih menjadi PKP.
Pengertian tersebut kemudian diperluas seperti yang tertuang dalam pasal 2
PP No. 14 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang
9
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, sebagaimana terakhir kemudian diubah dengan UU No. 18 Tahun
2000, yaitu:
a. pengusaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan BKP/JKP dalam
tahap pra operasi/belum berproduksi komersial, artinya perusahaan tersebut
belum memulai usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan
seperti pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa
pengusaha ini berniat akan melakukan penyerahan barang BKP/JKP.
b. Bentuk kerja sama operasi (joint operation/joint venture) yang melakukan
penyerahan BKP/JKP. Bilamana Joint Operation (JO) tersebut hanya
merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/JKP
tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta JO, maka JO tidak perlu
menjadi PKP. Degan demikian pengenaan PPN-nya cukup dilakukan
sendiri-sendiri oleh peserta JO.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar Pabean (Pasal 1 angka 4 UU KUP).
Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000 mengatur batasan-
batasan bagi pengusaha kecil yang diperkenankan untuk memilih menjadi
PKP, yakni sebagai berikut:
a. pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukan penyerahan BKP tidak
lebih dari Rp 360 juta; atau
b. pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukan penyerahan JKP tidak
lebih dari Rp 180 juta; atau
c. pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan
JKP tidak lebih dari Rp 360 juta, dalam hal penyerahan BKP yang
dilakukannya lebih besar daripada penyerahan JKP; atau
10
d. pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan
JKP tidak lebih dari Rp 180 juta, dalam hal penyerahan JKP yang
dilakukannya lebih besar atau sama dengan penyerahan BKP.
c. Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar hukum: UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 12 Tahun 1994.
Subyek pajak PBB diatur dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan Pasal 4
ayat (7) UU PBB. Pasal 4 ayat (1) memaparkan bahwa yang menjadi Subyek
Pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas
bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Jangkauan subjek pajak menurut UU PBB lebih luas karena meliputi juga
orang atau badan yang menguasai tanah dan bangunan, serta orang atau badan
yang memperoleh manfaat dari tanah dan bangunan tanpa memiliki hak yang
sah atas tanah dan bangunan.
C. Surat Pemberitahuan (SPT) Lebih Bayar
Penetapan merupakan keputusan yang menetapkan besarnya jumlah pajak yang
terhutang dalam satu tahun pajak, bagian tahun pajak atau masa pajak sesudah saat
terutangnya pajak. Sedangkan surat ketetapan adalah surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).15
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak
lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Fungsi
SKPLB ini adalah: 1) sebagai sarana untuk mengembalikan kelebihan pembayaran
pajak; 2) sebagai sarana pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan.16
Ada kemungkinan bahwa besarnya pajak yang terutang tidak sesuai atau sama
besarnya dengan jumlah pajak yang telah dikredit, diangsur atau dipotong kepada
15 Hilarius Abut, Perpajakan, Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 44-45.16 Ibid, hlm. 51.
11
Wajib Pajak yang bersangkutan. Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih
lebih, yakni jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, Wajib Pajak
berhak meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak
tersebut tidak mempunyai utang pajak. Apabila Wajib Pajak masih mempunyai
utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-
cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu
dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat
dikembalikan kepada Wajib Pajak.17 Pengembalian pajak ini disebut dengan
restitusi.
Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena salah tulis atau salah hitung
atau kalau diberikan pengurangan jumlah pajak, melalui surat keberatan atau surat
minta banding, sedangkan pajak yang terutang sudah dibayar lunas. Kelebihan
pembayaran pajak dapat juga terjadi pada akhir tahun, setelah surat pemebertahuan
diisi oleh Wajib Pajak dan dikembalikan kepada Kantor Inspeksi Pajak atau pada
waktu dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak.18
Dalam sistem self assesment (Pajak Penghasilan) karena yang menghitung
pajak adalah Wajib Pajak sendiri, maka kelebihan pembayaran pajak diketahui
dengan segera, dengan membandingkan jumlah pajak yang terutang (menurut
perhitungannya sendiri) dengan jumlah pajak yang benar-benar telah dibayar dan
yang dipotong oleh pihak ketiga selama tahun berjalan. Kalau jumlah yang
terakhir disebut lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, maka ada
kelebihan pembayaran pajak yang dapat segera dimintakan pembayaran kembali
dari pemerintah.19
Jadi dalam pembayaran pajak dapat terjadi kelebihan pembayaran pajak, yang
terjadi apabila Wajib Pajak membayar pajak lebih besar daripada jumlah utang
pajaknya. Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran
tersebut namun apabila Wajib Pajak ternyata masih mempunyai utang pajak maka
17 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2008, hlm. 148.18 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT Eresco, Bandung, 1987, hlm. 61.19 Ibid.
12
kelebihan pembayaran pajak tersebut akan dibayarkan kepada pajak yang masih
terutang dan apabila masih terdapat sisa akan dikembalikan.
Dikatakan dalam penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU KUP, Surat KetetapanLebih
Bayar diterbitkan apabila untuk:20
1. pajak penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang;
2. pajak pertambahan nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak
yang terutang.
3. pajak penjualan atas barang mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar
dari jumlah pajak yang terutang.
Untuk mendapatkan kembali jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam
bentuk pengembalian pajak atau yang sering dikenal sebagai restitusi pajak, maka
Wajib Pajak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan. Setelah
melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut, kalau memang ada
kelebihan pembayaran pada suatu jenis pajak tertentu maka akan diteliti terlebih
dahulu apakah Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai kewajiban berupa
utang pajak yang lain. Apabila masih mempunyai kewajiban berupa utang pajak
tersebut maka hal ini mesti diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak
lainnya tersebut atau sering disebut dengan istilah dikompensasikan. Apabila
setelah pengompensasian jumlah sisa kelebihan pembayaran pajak dengan utang
pajak yang lain masih juga bersisa, baru dikembalikan ke Wajib Pajak. Jadi
restitusi itu tidak datang dengan sendirinya, Wajib Pajak harus aktif mengajukan
permohonan restitusi tersebut.21
UU KUP mengatur mengenai Surat Ketetapan Lebih Bayar ini dalam Pasal 17
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajakyang terutang.
20 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 163.
21 Y. Sri Pudyatmoko, op,cit, hlm. 149.
13
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah
meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih
dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang
telah ditetapkan
Apabila ternyata setelah pemeriksaan jumlah pajak yang dibayar ternyata sama
dengan jumlah pajak yang terutang, maka Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan
surat Ketetapan Pajak Nihil, sebagaimana diatur dalam Pasal 17A UU KUP
sebagai berikut:
(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Terhadap permohonan restitusi tersebut dalam waktu 12 bulan harus sudah
diberikan surat ketetapan. Apabila lewat dari 12 bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap ternyata belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
maka dianggap permohonan Wajib Pajak dikabulkan (vide pasal 17B ayat (1) UU
KUP). Adapun untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu maupun untuk Wajib
Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, menerbitkan surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan dan palaing lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambanhan Nilai (vide pasal 17Cayat (1) dan Pasal 17D
ayat (1) UU KUP).
14
Berdasarkan Pasal 17C UU KUP, yang dimaksud dengan kriteria tertentu
adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama
3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Selain dari Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu, dalam pasal 17D UU
KUP diebutkan mengenai Wajib Pajak yang memenuhi syarat tertentu yang dapat
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Wajib Pajak yang dapat
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih
bayar sampai dengan jumlah tertentu.
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan
keterlambatan Direktorat Jenderal Pajak maka setiap keterlambatan dalam
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu yang ditentukan,
kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan oleh pemerintah berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1
15
(satu bulan) samapai dengan saat dilakukannya pembayaran, yaitu saat Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah mengingat jika Wajib Pajak mengalami
keterlambatan dalam melakukan pembayaran utang pajaknya, maka yang
bersangkutan dikenakan denda administratif berupa bungan sebesar 2% (dua
persen) sebulan. Oleh karena itu sebagai imbangannya, apabila pemerintah
terlambat mengembalikan uang Wajib Pajak maka terhadap hal tersebut juga ada
konsekuensi bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.22
Contoh dari pengembalian kelebihan pajak adalah sebagai berikut:23
Pada bulan Januari 2003 PT Kalo Manise membayar PPh Pasal 21 sebesar Rp
500.000,00 dan PPh yang terutang sebenarnya Rp 200.000,00. Pada bulan April
2003, PT Kalo Manise mengajukan restitusi. Setelah KPP mengadakan penelitian
lalu mengabulkan restistusi dari PT Kalo Manise. SPMKP diterbitkan pada
tanggal 1 Mei 2003 dan pembayaran baru dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2003.
Besarnya restitusi yang diterima PT Kalo Manise adalah:
Pajak yang dibayar Rp 500.000,00
Pajak yang terhutang Rp 200.000,00 –
Pajak lebih bayar Rp 300.000,00
Imbalan bunga 3 x 2% x Rp 300.00,00 Rp 18.000,00 +
Besarnya restitusi Rp 318.000,00
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Dasar hukum untuk pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 dan
dasar hukum terbaru mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan di
Indonesia adalah UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
22 Ibid, hlm. 150.23 Hilarius Abut, op.cit, hlm. 51-52.
16
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP).
2. NPWP yang merupakan identitas wajib pajak dalammelakukan hak dan
kewajibannya dalam bidang perpajakan didapatkan dengan mendaftarkan
sendiri atau dengan kata lain wajib pajak harus dengan inisiatif sendiri
mendaftarkan dirinya untuk mendatkan NPWP dengan batas waktu
dilakukan paling lambat satu bulan setelah Saat Usaha Mulai Dijalankan
untuk wajib pajak badan serta Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
3. Surat Pemberitahuan Lebih Bayar adalah surat pemberitahuan yang dibuat
oleh wajib pajak dan diajukan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk
melaporkan apabila terjadi situasi dimana jumlah pajak yang dibayarkan
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
B. Saran
Surat pemberitahuan pajak lebih bayar belum ada pengaturannya secara
spesifik, misalnya mengenai formatnya,apa saja yang harus tercantum di
dalamnya. Jadi penulis menyarankan adanya peraturan yang spesifik mengenai
SPT Lebih bayar ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Hilarius Abut, Perpajakan, Diadit Media, Jakarta, 2005
Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002
17
Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat & Daerah, Edisi Revisi, Humaniora, Bandung, 2012
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT Eresco, Bandung, 1987
Tunggul Anshari SN, Pengantar Hukum Pajak, Bayumedia Publishing, Malang, 2006
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2006
Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2008
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
C. Artikel adan Informasi yang Diakses dari Internet
“Batas Waktu Pendaftaran NPWP”, http://dudiwahyudi.com/pajak/ketentuan-umum-dan-tatacara-perpajakan/batas-waktu-pendaftaran-npwp.html
18