Hukum Pajak

11
Judul : Penggelapan Pajak Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/201621-hasil-audit- bpk- atas-kasus-pajak- asian-agri Kasus : Penggelapan Pajak PT Asian Agri Posisi kasus : VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas proses pemeriksaan dan penyidikan pajak terhadap enam perusahaan. Hasil pemeriksaan itu mengungkap proses pemeriksaan rupanya tidak efektif. Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diterima VIVAnews.com, pemeriksaan BPK tersebut lebih ditujukan untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta efektivitas proses pemeriksaan dan penyidikan terhadap wajib pajak. Asian Agri misalnya. Ini merupakan wajib pajak yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Asian Agri diduga menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar Rp1,4 triliun. Dari hasil audit BPK terungkap, kinerja pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak oleh Ditjen Pajak terhadap Asian Agri periode 2002-2005 yang belum sepenuhnya efektif. Akibatnya, proses pemeriksaan atas kasus ini berjalan berlarut-larut cukup lama. Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan atas Asian Agri melebihi ketentuan, yakni melewati dua bulan dan tidak didukung dengan usulan serta surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan. Akibatnya, pelaksanaan pemeriksaan bukti awal tidak punya kepastian penyelesaian dan mengganggu efektivitas penyelesaian tindak pidana perpajakan. Pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan, namun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 14 Mei 2007 hanya ditujukan kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, melalui Mabes Polri, bukan disampaikan kepada Kejaksaan Agung. "Akibatnya, penyidikan menjadi tidak efektif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum," kata BPK. Ditjen Pajak telah mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan atas permohonan perpanjangan pencegahan terhadap para tersangka tindak pidana perpajakan dalam kasus Asian Agri. Penyidik Pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan saat melakukan penggeledahan pada keadaan perlu dan sangat mendesak sesuai surat perintah tanggal 14 Mei 2007. Penggeledahan itu berlokasi di Marunda, Jakarta. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian alamat/lokasi penggeledahan

description

Kasus Pajak

Transcript of Hukum Pajak

Page 1: Hukum Pajak

Judul          : Penggelapan PajakSumber      : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/201621-hasil-audit-bpk- atas-kasus-pajak-                     asian-agri Kasus         : Penggelapan Pajak PT Asian AgriPosisi kasus :

 VIVAnews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas proses pemeriksaan dan penyidikan pajak terhadap enam perusahaan. Hasil pemeriksaan itu mengungkap proses pemeriksaan rupanya tidak efektif. Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diterima VIVAnews.com, pemeriksaan BPK tersebut lebih ditujukan untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta efektivitas proses pemeriksaan dan penyidikan terhadap wajib pajak. Asian Agri misalnya. Ini merupakan wajib pajak yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Asian Agri diduga menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar Rp1,4 triliun. Dari hasil audit BPK terungkap, kinerja pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak oleh Ditjen Pajak terhadap Asian Agri periode 2002-2005 yang belum sepenuhnya efektif. Akibatnya, proses pemeriksaan atas kasus ini berjalan berlarut-larut cukup lama. Jangka waktu pelaksanaan bukti permulaan atas Asian Agri melebihi ketentuan, yakni melewati dua bulan dan tidak didukung dengan usulan serta surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan. Akibatnya, pelaksanaan pemeriksaan bukti awal tidak punya kepastian penyelesaian dan mengganggu efektivitas penyelesaian tindak pidana perpajakan. Pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan, namun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 14 Mei 2007 hanya ditujukan kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, melalui Mabes Polri, bukan disampaikan kepada Kejaksaan Agung. "Akibatnya, penyidikan menjadi tidak efektif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum," kata BPK. Ditjen Pajak telah mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan atas permohonan perpanjangan pencegahan terhadap para tersangka tindak pidana perpajakan dalam kasus Asian Agri. Penyidik Pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan saat melakukan penggeledahan pada keadaan perlu dan sangat mendesak sesuai surat perintah tanggal 14 Mei 2007. Penggeledahan itu berlokasi di Marunda, Jakarta. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian alamat/lokasi penggeledahan antara surat perintah penggeledahan yang menyebutkan kompleks Duta Merlin C33 Jakarta Barat dengan lokasi sebenarnya B33. Atas tindakan penggeledahan itu, Wajib Pajak mengajukan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2008. Putusan pra peradilan pada 1 Juli 2008 menyebutkan tindakan penggeledahan tidak sah. Atas putusan tersebut, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, permohonan kasasi ditolak oleh PN Jaksel dan tidak diteruskan ke MA karena tidak memenuhi syarat formal. "Akibatnya, proses penyelidikan Ditjen Pajak terhadap Asian Agri menjadi tidak efektif." Soal penyitaan, penyidik pajak telah melakukan penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak pada 14 Mei 2007. Persoalannya, penyidik pajak baru melaporkan pelaksanaan dan hasil penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat persetujuan pada 14 Agustus 2007 atau 90 hari setelah penyitaan, padahal semestinya dua hari setelah penyitaan. Atas penyitaan tersebut, Wajib Pajak kemudian mengajukan gugatan pra peradilan pada Juni 2008 ke PN Jaksel. Pengadilan menyatakan penyitaan oleh penyidik tidak sah. Atas putusan itu, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke MA, namun kasasi tidak diproses PN Jaksel karena tidak memenuhi syarat formal. Temuan BPK lainnya menyebutkan penyidik Ditjen Pajak melengkapi berkas perkara P-19 melewati batas waktu yang ditentukan. Mereka juga belum menyerahkan barang bukti dan tersangka atas berkas perkara yang sudah lengkap (P-21) dalam kasus Pajak Asian Agri kepada Kejaksaan Agung. "Akibatnya, proses penyidikan tidak optimal," kata BPK. Karena

Page 2: Hukum Pajak

itu, BPK meminta Dirjen Pajak segera memenuhi dan melengkapi berkas perkara seperti diminta Kejaksaan Agung. Tanggapan Ditjen Pajak Atas hasil pemeriksaan BPK tersebut, Ditjen Pajak menanggapinya sejumlah temuan tersebut. Soal jangka waktu pemeriksaan bukti permulaaan misalnya. Ditjen Pajak menyatakan pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan dalam tempo dua bulan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang disesuaikan. Namun, BPK tidak sependapat. BPK malah meminta Dirjen Pajak memberi sanksi pejabat pajak yang membuat proses pemeriksaan melebihi batas waktu. Soal penggeledahan dan penyitaan, Ditjen Pajak menjelaskan bahwa penggeledahan di Marunda telah dibuatkan Berita Acara Penggeledahan pada 14 Mei 2007. Sedangkan untuk alamat di Duta Merlin baik di C-33 atau B-33, tidak pernah dilakukan penggeledahan berdasarkan kesepakatan dengan Wajib Pajak pada 15 Mei 2007. Sementara itu, penyitaan dilakukan oleh penyidik pajak pada 14 Agustus 2007, bukan pada 14 Mei 2007 seperti disebutkan. Itu didasarkan pada Surat Perintah Penyitaan pada 14 Agustus 2007. Saat dihubungi, salah satu pejabat Raja Garuda Mas (induk usaha Asian Agri), Tjandra Putra tidak mengangkat ponselnya. Sedangkan, pengacara Asian Agri, Hinca Panjaitan juga belum bisa dimintai komentarnya saat dihubungi via ponsel. Penjelasan diperoleh dari humas Asian Agri, Fiona Mambu. Menurut dia, kasus pajak Asian Agri sesungguhnya sudah masuk ranah pengadilan. Karena itu, dia merasa lebih baik dibahas di pengadilan. "Kami tidak mau spekulasi, yang jelas kami selalu kooperatif dan berharap diselesaikan secara adil dan tranparan sesuai ketentuan yang berlaku." Fiona mengakui mengacu pada berita-berita yang beredar, Asian Agri memang dituduh menggelapkan pajak itu Rp1,4 triliun. Namun, dia berharap Ditjen Pajak melakukan hitung-hitungan yang adil dan transparan. Penyelesaiannya juga harus mengacu aturan yang berlaku. "Sebenarnya, kami melihatnya masalah perpajakan Asian Agri seharusnya diselesaikan secara hukum administratif, bukan dengan pidana," kata Fiona. (art)

Analisis kasus :

         Kejahatan pajak sepertinya takkan pernah ada matinya di republik ini, sehingga terus munculnya kasus pengelapan pajak terutama dari perusahaan-perusahaan besar yang ada didalam negeri ini yang kemudian dapat merugikan Negara. Hal ini bisa saja terjadi disebabkan factor kelemahan penegakan hukum maupun tingkat kesadaran yang lemah dari kelompok masyarakiat maupun dari pihak suatu perusaan (korporasi). Dalam hal ini ada banyak modus yang dilakukan untuk menghidar dari pembayaran wajib pajak. secara umum modus tindak kejahatan pajak dibagi dalam dua cara yaitu yang bentuknya legal dan illegal. Cara legal dilakukan dengan menghindari pembayaran pajak melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. Hal ini umumnya dilakukan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki sumber daya-sumber daya yang capable dalam hal mensiasati kelemahan peraturan perpajakan. Sementara untuk modus illegal, dilakukan dengan cara penyelundupan atau tidak melaporkan penjualannya. Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat invoice palsu. hal tersebut tentu dilakukan orang-orang yang sangat memahami kelemahan-kelemahan pedoman atau aturan-aturan perpajakan. “Segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan adanya kerja sama antar pihak. WP bisa melakukan berbagai cara untuk mengecilkan pajak yang terhutang atau malah diusahakan supaya tidak bayar. Motif pertama adalah tidak melaporkan penghasilan atau penjualannya ke petugas pajak. Kedua, membesarkan ongkos-ongkos perusahaan sehingga labanya jadi kecil. “Jadi, pajak yang harus dibayarkan juga jadi kecil. Begitu juga halnya PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13

Page 3: Hukum Pajak

November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo. Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital. Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.        Jadi Modus yang dilakukan PT AAG adalah Cara dengan menghindari pembayaran pajak melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif. Hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.       Kasus penyeledupan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group (AAG) harusnya tidak terjadi apabila Dirjen pajak teliti memeriksa berkas atupun dokumen pembayaran pajak dari perusahaan PT Asian Agri Group (AAG). Kemudian penegakan hukum yang tegas bagi pelaku penggelapan pajak menjadi suatu yang harus sehingga tidak terus berlarut kasus penggelapan pajak di negara kita ini.

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.

Page 4: Hukum Pajak

Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.

Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.

Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.

Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,

Page 5: Hukum Pajak

mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.

Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?

PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.

Celah Keluar dari Pengadilan

Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan

Page 6: Hukum Pajak

penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.

Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak

Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).

Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).

Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi (integration) yang

Page 7: Hukum Pajak

merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.

Berujung di Pengadilan

Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hukum.

KESIMPULAN

Analisis Kasus Asian Agri adalah sebagai cermin sempurna bagi penegak hukum kita. Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah. Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka. Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa diselamatkan. Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai. Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil “penghematan” pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.