hukum JILBAB.doc

5
MELURUSKAN SALAH PAHAM SEPUTAR JILBAB Oleh : Sigit Purnawan Jati 1. Pengantar Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan “jilbab” adala h kerudu ng. Padaha l tidak demikian. Jilbab  bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah “khimaar” (jamaknya : “khumur”). Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju yang longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah (bukan potongan). Kesala hpa hama n lai n yang sering diju mpai adalah anggapan bahwa busa na mus limah itu yang  penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu . Islam telah meneta pkan syarat- syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat. Syarat lainnya misalnya  busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mengekspolitir lekuk tubuh  perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna. Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat sesat yang merajalela dan menggila di tengah masyarakat. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang benar). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontra s jelas akan kelihatan ortodoks , kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah. Di sinilah kaum muslimah diuji. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret ol eh bujuk an hawa nafsu atau ra yua n sya it an terlaknat untuk mengenakan mode- mod e liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam dosa, kesesatan, dan kebejatan moral.. Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjad i sesuatu yang asing –termas uk busana jilbab-- sebagai mana awal kedata ngan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap memegang Islam, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insya Allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW : “Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145) “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaik an memegang bara api. Bagi orang yang menger jak an suatu amal an pada saat itu akan mendapatk an pahala lima pul uh oran g yang menger jak an semisal amalan itu. Ada yang ber kata,’ Hai  Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan li ma puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan) 2. Aurat dan Busana Muslimah Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda. Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita. Kedua, busana wanita dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi. Ketiga, busana wanita dalam kehidupan umum ( al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di  jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum inilah yang disebut dengan jilbab. a. Aurat Wanita Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma sele mbar. Seluruh tubuh kecua li wajah dan dua telapa k tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandas kan firman Allah SWT :

Transcript of hukum JILBAB.doc

Page 1: hukum JILBAB.doc

7/27/2019 hukum JILBAB.doc

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 1/4

MELURUSKAN SALAH PAHAMSEPUTAR JILBAB

Oleh : Sigit Purnawan Jati 

1. Pengantar

Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit

orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan “jilbab” adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab

 bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah “khimaar”

(jamaknya : “khumur”). Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju

yang longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah (bukan potongan).

Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang

 penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan dianggap bukan masalah.

Dianggap, model potongan oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat,

dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-

syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan

As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat. Syarat lainnya misalnya

 busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mengekspolitir lekuk tubuh

 perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau

menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.

Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran

Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat sesat yang merajalela

dan menggila di tengah masyarakat. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat.

Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang benar). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita

yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang

trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah. Di sinilah

kaum muslimah diuji. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan

Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret

oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang

dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam dosa, kesesatan, dan

kebejatan moral..

Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan

menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan

seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap memegang Islam, walaupun berat seperti memegang bara api.

Dan insya Allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala

yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi

SAW :

“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah

orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masaitu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan

mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai

 Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh

orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)

2. Aurat dan Busana Muslimah

Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah

yang berbeda-beda. Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita. Kedua, busana wanita dalam kehidupan

khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama

wanita, seperti rumah-rumah pribadi. Ketiga, busana wanita dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah),

yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di

 jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum inilah

yang disebut dengan jilbab.

a. Aurat Wanita

Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya

adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh

kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah

SWT :

Page 2: hukum JILBAB.doc

7/27/2019 hukum JILBAB.doc

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 2/4

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An

 Nuur : 31)

Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab

kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan

 beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan

shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat AlQur`an. Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat

kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW :

"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah aurat." 

"Apabila seorang wanita telah baligh maka tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan

 selain ini digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang 

lainnya." 

 Nabi SAW pernah berkata kepada Asma` binti Abu Bakar :

"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya

menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya."  (HR. AbuDawud)

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat,

kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu

menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

b. Busana Wanita dalam Kehidupan Khusus

Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan

 bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa

menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya : “wa laa yubdiina” ( Dan

 janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya

menampakkan tubuhnya). (QS An Nuur : 31). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan

telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau

kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, kulot, dan kaos juga dapatmenutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang

tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis,

maupun macamnya.

 Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat

menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak 

demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan

sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain

 penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.

Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui

warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk 

ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :

"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk 

menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini." (HR. Abu Dawud)

Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap

menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi

auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW

tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah

 bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :

"Suruhlah isterimu melilitkan (kain lain) di bagian dalam kain tipis itu, karena sesungguhnya aku khawatir 

kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya." 

Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya

Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya

tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : "Suruhlah isterimu

melilitkan (kain lain) di bagian dalamnya kain tipis."  

Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah

mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka

diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak 

Page 3: hukum JILBAB.doc

7/27/2019 hukum JILBAB.doc

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 3/4

tergambar apa yang ada di baliknya.

c. Busana Wanita dalam Kehidupan Umum

Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus.

Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula

dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.

Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia

dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar,kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang

telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat,

seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum

meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.

Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat.

 Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena

dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Oleh karena itu walaupun ia telah

menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.

Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal ) yang disebut

dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita

 boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di

 pasar-pasar.

Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab  Al Mu’jam Al Wasith halaman 128, jilbab diartikan sebagai“Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “ Ma yulbasu fauqa

ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian (rumah), seperti milhafah/baju terusan),

atau “ Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh

wanita). 

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala

sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada

 pakaian rumah) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Untuk baju atas, yaitu khimar, syariat telah mewajibkan kerudung atau apa saja yang serupa

dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus

dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum.

Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar 

dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi

 jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab

 perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalamkeumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai

 pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :

"Hendaklah mereka mentutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,

kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nuur : 31)

Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah ( jilbab) :

"Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:

'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya." (QS Al Ahzab : 59)

Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :

"Rasulullah SAW memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan

 Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orang-orang 

 yang haidl maka diperintahkan menjauh dari tempat shalat, namun tetap boleh menyaksikan kebaikan dan

 seruan kaum muslimin. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah SAW salah seorang di antara kami tidak 

memiliki jilbab. Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya." 

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan

umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas

wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban

ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab – 

untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya

(sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman

 jilbab.

Untuk  jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai

menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” ( Hendaklah

mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.). (QS Al Ahzab : 59)

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah al irkha` ila asfal  (mengulurkan

sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata,

Rasulullah SAW bersabda :

Page 4: hukum JILBAB.doc

7/27/2019 hukum JILBAB.doc

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 4/4

“Barang siapa yang melabuhkan/mengulurkan bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya

 pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan

ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya

(yurkhiina) sejengkal (syibran).’ Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan

tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (dzira`an) dan jangan

ditambah lagi.”

 Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan

wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.

Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai

 bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum

melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” ( Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-

 jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti

sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “ Hendaklah

mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan) , melainkan Hendaklah

mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(Lihat Taqiyudin An Nabhani,  An

 Nizham Al Ijtima’I fil Islam, hal. 45-51)

3. Penutup

Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusanyang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut

dengan jilbab dalam Al Qur`an.

Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun

dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu

hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari

syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]