7/27/2019 hukum JILBAB.doc
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 1/4
MELURUSKAN SALAH PAHAMSEPUTAR JILBAB
Oleh : Sigit Purnawan Jati
1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit
orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan “jilbab” adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab
bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah “khimaar”
(jamaknya : “khumur”). Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju
yang longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah (bukan potongan).
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang
penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan dianggap bukan masalah.
Dianggap, model potongan oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat,
dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-
syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan
As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat. Syarat lainnya misalnya
busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mengekspolitir lekuk tubuh
perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau
menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran
Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat sesat yang merajalela
dan menggila di tengah masyarakat. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat.
Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang benar). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita
yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang
trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah. Di sinilah
kaum muslimah diuji. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret
oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang
dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam dosa, kesesatan, dan
kebejatan moral..
Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan
menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan
seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap memegang Islam, walaupun berat seperti memegang bara api.
Dan insya Allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala
yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi
SAW :
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah
orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masaitu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan
mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai
Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh
orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah
yang berbeda-beda. Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita. Kedua, busana wanita dalam kehidupan
khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama
wanita, seperti rumah-rumah pribadi. Ketiga, busana wanita dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah),
yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di
jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum inilah
yang disebut dengan jilbab.
a. Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya
adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah
SWT :
7/27/2019 hukum JILBAB.doc
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 2/4
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An
Nuur : 31)
Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab
kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan
beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan
shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat AlQur`an. Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW :
"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah aurat."
"Apabila seorang wanita telah baligh maka tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan
selain ini digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang
lainnya."
Nabi SAW pernah berkata kepada Asma` binti Abu Bakar :
"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya
menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya." (HR. AbuDawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat,
kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu
menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Wanita dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan
bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa
menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya : “wa laa yubdiina” ( Dan
janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya
menampakkan tubuhnya). (QS An Nuur : 31). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan
telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau
kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, kulot, dan kaos juga dapatmenutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang
tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis,
maupun macamnya.
Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat
menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak
demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan
sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain
penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui
warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk
ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
"Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk
menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini." (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap
menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi
auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW
tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah
bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
"Suruhlah isterimu melilitkan (kain lain) di bagian dalam kain tipis itu, karena sesungguhnya aku khawatir
kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya
Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya
tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : "Suruhlah isterimu
melilitkan (kain lain) di bagian dalamnya kain tipis."
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah
mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka
diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak
7/27/2019 hukum JILBAB.doc
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 3/4
tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Wanita dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus.
Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula
dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia
dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar,kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang
telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat,
seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum
meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat.
Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena
dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Oleh karena itu walaupun ia telah
menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal ) yang disebut
dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita
boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di
pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith halaman 128, jilbab diartikan sebagai“Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “ Ma yulbasu fauqa
ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian (rumah), seperti milhafah/baju terusan),
atau “ Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala
sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada
pakaian rumah) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, yaitu khimar, syariat telah mewajibkan kerudung atau apa saja yang serupa
dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus
dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum.
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar
dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi
jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab
perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalamkeumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai
pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
"Hendaklah mereka mentutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nuur : 31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah ( jilbab) :
"Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya." (QS Al Ahzab : 59)
Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :
"Rasulullah SAW memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan
Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orang-orang
yang haidl maka diperintahkan menjauh dari tempat shalat, namun tetap boleh menyaksikan kebaikan dan
seruan kaum muslimin. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah SAW salah seorang di antara kami tidak
memiliki jilbab. Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya."
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan
umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas
wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban
ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –
untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya
(sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman
jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai
menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” ( Hendaklah
mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.). (QS Al Ahzab : 59)
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah al irkha` ila asfal (mengulurkan
sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata,
Rasulullah SAW bersabda :
7/27/2019 hukum JILBAB.doc
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-jilbabdoc 4/4
“Barang siapa yang melabuhkan/mengulurkan bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya
pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan
ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya
(yurkhiina) sejengkal (syibran).’ Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan
tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (dzira`an) dan jangan
ditambah lagi.”
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan
wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai
bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum
melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” ( Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-
jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti
sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “ Hendaklah
mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan) , melainkan Hendaklah
mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(Lihat Taqiyudin An Nabhani, An
Nizham Al Ijtima’I fil Islam, hal. 45-51)
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusanyang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut
dengan jilbab dalam Al Qur`an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun
dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu
hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari
syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]
Top Related