Hukum Islam Lanjutan

download Hukum Islam Lanjutan

of 8

Transcript of Hukum Islam Lanjutan

HUKUM ISLAM LANJUTANA. PERKAWINAN Perkawinan berasal dari bahasa Arab yaitu an-nikah, al-dhamu, dan az-ziwaz yang berarti persetubuhan. Tujuan pernikahan adalah: Untuk kebutuhan biologis secara halal Untuk memperoleh keturunan Membentuk keluarga yang bahagia Perkawinan menurut UU NO 1 1974, pasal 1: ikatan lahir batin antar seorang laki-laki dan seorang perempuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan membentuk keluarga yang halal dan bahagia. Perkawinan menurut KHI, pasal 1: akad yang kuat atau Mitsaquan Ghalidzan yang merupakan perintah Allah yang pelaksanaannya merupakan ibadah Perkawinan menurut BW pasal 26: hubungan keperdataan Tujuan perkawinan KHI pasal 3 yaitu memebentuk keluarga sakinah, mawardah, warohmah. Asas-asas perkawinan islam: a. Asas/prinsip kesukarelaan pasal 16 b. Asas kesepakatan c. Asas kebebasan memilih pasangan d. Asas perkawinan untuk selama-lamanya(pasal 3 KHI) perceraian itu dipersulit e. Asas monogami terbuka f. Asas kesetaraan dalam rumah tangga antara suami-istri (bab 12 KHI) g. Asas perkawinan harus dicatatkan (pasal 5 KHI) B. PEMINANGAN Dalam proses perkawinan islam, ada suatu proses peminangan (KHITBAH) : Pasal 1 huruf a, peminangan adalah: kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam islam peminangan dilakukan oleh pihak pria adalah lazim, jika dillakukan oleh pihak wanita seperti dibeberapa daerah tidak menjadi masalah. Dalam islam peminangan adalah mubah(boleh) Kriteria perempuan yang boleh dilamar adalah: Anak gadis/perempuan Janda yang habis masa idahnya Kriteria perempuan yang tidak boleh dilamar : Istri orang lain Perempuan/janda yang dalam masa idah rajI karena karena perempuan tersebut masih terikat perkawinan(yang didahulukan suaminya) jadi harus menunggu 3 bulan 10 hari, karena ada kemungkinan si suami rujuk kembali Golongan perempuan yang dilamar oleh laki-laki lain Janda yang dalam masa iddahnya karena ditinggal mati suaminya (4 bulan 10 hari) Rukun dan syarat perkawinan: Calon suami Calon istri Wali nikah

Saksi nikah Ijab Kabul Rukun diatas harus dipenuhi kesemuanya, kalau tidak perkawinan tidak sah Jika rukun sudah terpebuhi, tetapi syarat-syarat dari rukun tidak terpenuhi maka perkawinan tidak sah Calon suami syaratnya: Beragam islam Harus laki-laki Dewasa(sudah akil-balg) Sehat jasmani dan rohani Harus jelas orangnya(asal usul keluarganya) Mampu menyatakan persetujuan, baik secara lisan maupun tulisan Tidak ada halangan perkawinan (misalnya hubungan nasab, hubungan sesusuan, hubungan perkawianan) Calon istri syaratnya: Sama dengan diatas kecuali (sudah menstruasi) NB: Syarat perempuan dan laki-laki dalam perkawinan islam harus beragama islam karena agama islam tidak memperbolehkan perkawinan beda agama Laki-laki harus benar laki-laki, perempuan harus benar perempuan Mahram: sekelompok orang yang tidak bias dilakukan pertkawinan terhadap mereka/terhalang untuk dikawini laki-laki. Contoh: -hubungan nasab(ikatan pertalian darah antara 2 orang yang mau melakukan perkawinan, dan hubungan ini akan tetap ada untuk selama-lamanya jadi mutlak misalnya bapak ke anaknya - hubungan sesusuan(berarti yang pertama tidak boleh dikawini adalah ibu yang menyusui walaupun tidak ibu kandung. Wali nikah syaratnya: Harus beragama islam Harus laki-laki Harus dewasa Mempunyai hak perwalian Tidak ada halangan untuk menjadi wali nikah Wali ada 2 ketentuan yaitu: a. Wali nasab:- wali mujbir -wali aqrab -wali abad b. Wali hakim(jika tidak terpenuhi wali nasab) Wali mujbir: wali mujbir memiliki hak ijbar(hak untuk memaksa anaknya untuk menikah) tapi hanya dalam kondisi tertentu. Wali ini merupkan wali yang paling tinggi kedudukannya, misalnya ayah, kakek, Wali aqrab: misalnya saudara laki-laki Jika tak ada wali nasab maka digunakan wali hakim. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri agama atau pejabat yang ditunjuk oleh yang diberikan hak dan

kewajiban untuk bertindak sebagai wali nikah. Alasan menggunakan wali hakim: Apabila wali nasab tidak ada Tempat tinggal wali nasab tidak diketaui Wali nasab itu enggan untuk menikahkan Keberadaan wali hakim adalah alternatif, yang palin utam adalah wali nasab Penunjukan wali hakim tidak bisa dilakukan sembarangan, biasanya yang menjadi wali hakim adalah pegawai KUA. Syarat Saksi nikah: Harus laki-laki Islam Dewasa Adil Tidak tergangu imgatannya Tidak tuna rungu Saksi nikah harus terdiri dari 2 orang Tidak ada persyaratan saksi nikah harus punya hubungan darah dengan mempelai perempuan. Alasan laki-laki yang menjadi wali adalah karena perempuan itu bernasab kepada bapaknya (garis keturunan ayahnya) sehingga yang menjadi wali nikah adalah ayah atau keturunannya. Hubungan yang menyebabkan adanya wali adalah hubungan darah. Wali nikah dan saksi adalah rukun islam, apabila tidak terpenuhi maka tidak sah perkawinan, bahkan dalam hadist riwayat aisyah dikatakan bahwa tidak sah suatu akad nikah, kecuali dihadiri oleh 2 wali orang saksi Alasan harus ada saksi dalam perkawinan: Untuk menandatangani akta nikah, dalam akta nikah identitas diri saksi juga dicantumkan akta nikah ini yang akan didaftarka ke KUA Saksi sebagai informan terjadinya pernikahan sehingga tidak terjadi fitnah Sebgai alat bukti sahnya suatu perkawinan secara islam dan apabila terjadi persengketaan arau percekcokan maka saksi akan dipanggil Syarat ijab Kabul: Ada persyaratan mengawinkan dari wali Setelah ada pernyataan mengawinkan ada pernyataan menerima dari calon mempelai lakilaki Menggunakan kata-kata nikah/kawin/tajwis Antar pernyataan ijab dan Kabul harus bersambungan Ijab adalah:suatu pernyataan kehendak dari calon mempelai wanita yang lazim nya diwakili oleh wali untuk mengikatkan diri kepada seorang laki-laki sebagai suaminya secara formil Kabul adalah: pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki atas ijab pihak perempuan Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 13 dan pasal 14. Perkawinan yang harus dicegah, adalah perkawinan yang menyimpang dari undang-undang yang berlaku. Di antara perkawinan yang marak dilakukan adalah: perkawinan di bawah tangan, perkawinan sirri, perkawinan mutah/kawin kontrak, dan sejenisnya.

Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan BAB IV yang berisi: Pencegahan : Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Sementara menurut Kompilasi Hukum Islam pada BAB X pencegahan perkawinan itu adalah sebagai berikut : (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang - undangan. Prosedur Pencegahan a. Pemberitahuan kepada PPN setempat. b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat. c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai. Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan. Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa. Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada (Kamus Umum Bahasa Indonesia; Badudu - Zain). Jadi pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan (pasal 23 UU No. 1 tahun 1974) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; a. Suami atau istri; b. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; c. Pejabat pengadilan. Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri b. Suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67 Alasan Pembatalan Perkawinan Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

o Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974). o Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama. o Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974). o Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan) Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang); c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Hubungan perkawinan yang tidak sah tapi tidak dianggap dosa karena lalai, lupa dan dipaksa. Contoh kasus jika seorang suami-istri sudah mempunyai dua anak. Baru tahu kalu mereka saudara sesusu, maka anak tersebut tidak dianggap haram, dan tidak dianggap sebagi dosa. Tetapi lepas perkawinan selama perkawinan itu berlangsung Pengajuan Pembatalan Perkawinan Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut. Cara Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan a. Anda atau Kuasa Hukum anda mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73) b. Kemudian anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus. c. Anda sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125) d. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut. e. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. f. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan g. Setelah anda menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta

penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS). Batas Waktu Pengajuan Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan identitasnya atau karena perkawinan anda terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama sebagai suami istri, maka hak anda untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974). Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan anda. Kapanpun anda dapat mengajukan pembatalannya. Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami anda. Dan berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974). Akibat Hukum a. Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri. b. Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan. c. Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap : * Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad; * Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; * Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.; * Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua. d. Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum : (1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya. (2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur. TAlik TALAK Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 38 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan karena ada tiga faktor yaitu, karena kematian, karena perceraian dan karena

putusan pengadilan. Di Indonesia pada umumnya perkawinan putus lewat perceraian dengan memakai lembaga Talik Talak, walaupun tidak sedikit yang putus karena putusan pengadilan, seperti gugat cerai dengan alasan pelanggaran Talik Talak. Di Indonesia, Talik Talak sudah ada sejak dahulu, hal ini dibuktikan bahwa hampir seluruh perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan shigat Talik oleh suami. Walaupun shigat-nya harus dengan suka rela, namun di negara kita menjadi seolah-olah sudah kewajiban yang harus dilakukan oleh suami. Shigat Talik dirumuskan sedemikian rupa dengan maksud agar sang isteri memperoleh perlakuan yang tidak sewenang-wenang oleh suaminya, sehingga akibatnya jika isteri diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dan dengan keadaan itu, isteri tidak ridha, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran Talik Talak tadi. Perjanjian perkawinan Dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, sebelum melakukan perkawinan, kedua pihak dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat perkawinan selama tidak melanggar batashukum,agama dan kemanusiaan.Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memperbolehkan dilakukannya perjanjian pra nikah yang tercantum dalam pasal 47 ayat: "Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukanharta dalam perkawinan.Khusus dalam agama Islam, perjanjian pra nikah juga terdapat dalam quran surah Al-baqarah ayat 2 dan Hadits. Isinya menyatakan bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pra nikah tidak diperbolehkan, jika perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Misalnya perjanjian yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuhpada istri. Padahal dalam Islam harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak, tidak seluruhnya jatuh pada istri, tapi juga pada saudara kandung pihak suami serta orangtua suami yang masih hidup. Apakah perjanjian Pranikah bisa dicabut kembali? Perjanjian pra nikah dapat dicabut kembali, asal atas kesepakatan kedua belah pihak.Dalam UU Perkawinan pasal 29 ayat 4, menyebutkan: "selama perkawinanberlangsungperjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali kedua belah pihak setuju untuk merubahdan perubahan tidak merugikan pihak ketiga". Begitu juga pada pasal 50 ayat 2 KHI: "Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga."

Apa manfaat perjanjian pra nikah bagi perempuan? 1. Bila terjadi perceraian, maka perjanjian ini akan memudahkan dan mempercepat proses penyelesaian permasalahan. Karena harta yang diperoleh masing-masing sudah jelas. 2. Harta yang diperoleh istri sebelum menikah, harta bawaan, harta warisan ataupun hibah,tidak tercampur dengan harta suami. 3. Adanya pemisahan hutang, memperjelas siapa yang bertanggung jawab menyelesaikannya. Perjanjian ini akan melindungi istri dan anak, bila suatu hari suami Memilikii hutang yang tidak terbayar. Maka harta yang bisa diambil oleh Negarahanyalahharta milik pihak yang berhutang. 4. Istri akan terhindar dari kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam arti fisik maupunpsikis. Istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan bekerja serta menuntutilmu.Kesenjangan umumnya terjadi akibat salah satu pasangan mendominasi,sehinggaterjadi perasaan direndahkan dan terkekang. 5. Bagi istri yang memiliki perusahaan sendiri, ia bisa bekerjasama dengan suami karena tidak ada penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi. Pada intinya, perjanjian pra nikah tidak seburuk yang diduga. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya perjanjian tersebut sangat bermanfaat bagi perempuan dan juga anak-anak. Yang penting masing-masing pihak terbuka akan maksud dan tujuan perjanjian tersebut, sehingga perjanjian akan menjadi kesepakatan atas keinginan dan kehendak bersama tanpa ada yang ditutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan.