Hukum Islam Sularno Pengantar Hukum Islam 01 Pengertian Manfaat Dan Hukum Mempelajari
Hukum Islam
-
Upload
dwi-andri-yatmo -
Category
Documents
-
view
2.189 -
download
6
Transcript of Hukum Islam
MAKALAH
HUKUM ISLAM
Disusun oleh:
1. Dwi Andri Yatmo (09310048)
2. Kiki Endah (09310058)
3. Zumroh Posida (09310080)
Kelas 2B
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN
IKIP PGRI SEMARANG
2010
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Hukum Islam” dengan baik dan lancar.
Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya. Amien.
Ucapan terimaksih kami berikan kepada semua pihak yang ikut andil
dalam terselesainya makalah ini. Pak Abidin, selaku dosen Pendidikan Agama
Islam. Dan semua teman-teman yang tak mungkin kami sebutkan namanya satu
per satu.
Kami menyadari bahwa makalah inimasih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, kami mengharapkan kritik, saran serta masukan yang membangun dari
para pembaca guna penyempurnaan di lain waktu. Sedikti yang kami harapkan,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II HUKUM ISLAM
Menumbuhkembangkan Kesadaran Untuk Taat Hukum.............................6
Peranan Agama dalam Perumusan dan Penegakan Hukum yang Adil......15
BAB III HUKUM ISLAM DI INDONESIA…………………………….............16
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………27
3
BAB I
PENDUHULUAN
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali
pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M.1 Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah
mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke
tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak
seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah.2 Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan
membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur
relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara
prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran
egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyyahan
yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan
wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.3
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah
SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim4, dan meliputi
materi-materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual
keagamaan.5 Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut
Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam
yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.6
1 Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59.
2 Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm. 174.
3 Robert Roberts, The Social Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those of the Hebrew and other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990), hlm. 2.
4 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1964), hlm. 1.
5 S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), hlm. 23.
6 Schacht, An Introduction…, hlm. 1.
4
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Makkah, hukum Islam
dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam
masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad
Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur'an) dan sunnah Nabi
Muhammad saw, system hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat
Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan
system hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga
tahun.
Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) social, hukum
Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-
benar membuat sikap kontra terhadap system hukum Jahiliyyah dalam perilaku
dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari
para tokoh penegak system hukum Jahiliyyah. Dan bahkan kemudian, pendekatan
Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang
'terpinggirkan' dalam stratifikasi social untuk membawa ajaran Islam di
masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.
BAB II
HUKUM ISLAM
5
A. Menumbuhkembangkan Kesadaran Untuk Taat Hukum
1. Pengertian Hukum Islam
Menurut ahli ushuf fiqih, hukum islam adalah ketentuan Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yang mengandung tuntutan, pilihan
atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain.
Menurut ahli fiqih, hukum syar’i (Islam) adalah akibat yang timbul dari
perbuatan orang yang mendapat beban Allah swt, dan dibagi menjadi 2 yaitu:
Hukum Taklifi
Hukum Wad’i
a. Hukum Taklifi
Adalah ketentuan Allah yang mengandung ketentuan untuk dikerjakan
oleh mukallaf atau ditinggalkannya. Hukum taklifi dibagi menjadi 5
macam:
1. Ijab adalah ketentuan Allah yang menuntut untuk dilakukan dengan
tuntutan pasti disebut wajib, misal:
Artinya:
“…Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” (Q.S. An-Nisaa’:103)
2. Nadb, adalah ketentuan Allah yang menuntut agar dilakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Sedangkan
pekerjaan yang dikerjakan secara sukarela disebut sunah.
3. Tahrim, adalah ketentuan Allah yang menuntut untuk ditinggalkan
suatu perbuatan dengan tuntutan tegas. Perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan disebut haram, misal:
Artinya:
6
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk….” (Q.S. An-Nisaa’:43)
4. Karahah, adalah ketentuan Allah yang menuntut untuk meninggalkan
suatu perbuatan dengan tuntutan tidak tegas utnuk ditinggalkan atau
disebut makruh.
5. Ibahah, adalah ketentuan Allha yang mengandung hak pilihan bagi
orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkan, perbuatan yang
diperkenankan untuk dikerjakan atau ditinggalkan disebut mubah.
Maka dapat diambil kesimpulan:
Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan ada 2 macam yaitu wajib
dan sunah
Perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan ada 2 macam yaitu haram
dan makruh
Perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan atau ditinggalkan
yaitu mubah (kebolehan)
Pembagian Hukum Syara’:
a. Wajib : apabila perbuatan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala
dan apabila ditinggalkan maka seseorang akan mendapat siksa.
Petunjuk:
- Q.S. Al-Baqarah:183, Menunjukkan keharusan untuk dikerjakan
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,”
- Q.S.An-Nisaa’:24, Menggunakan fiil amar serta dikuatkan dengan kata-
kata tegas.
7
Artinya:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah Telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut
tertawan bersama-samanya.
[283] ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An
Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali
maskawin yang Telah ditetapkan.
- Q.S.An-Nisaa’:14, Diternagkan sanksi bagi yang tidak menjalankan
kewajiban tersebut.
Artinya:
8
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.
Berdasarkan pemberian beban kewajiban kepada setiap mukallaf dibagi
menjadi:
Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan Allah kepada setiaop
mukallaf artinya semua mukallaf tanpa terkecuali harus
menjalankan, misalnya: salat, zakat, memenuhi janji, dan lain-lain.
Wajib Kifa’i, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada Allah
kepada kelompok mukallaf, artinya apabila ada salah seseorang
dari mukallaf telah mengerjakan kewajiban, maka mukallaf yang
lain yang tidak mengerjakan tidak berdosa, misal: amar makruf
nahi munkar, salat berjamaah.
b. Sunah: perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
tidak dikerjakan tidak mendapat siksa.
Petunjuk:
- Q.S.Al-Baqarah:282
- Q.S.Al-Baqarah:283
Sunah (mandub) dibagi menjadi 3, yakni:
1. Sunah muakad, tuntutan yang kuat mengerjakan suatu perbuatan.
2. Sunah nafilah, tuntutan serba anjuran untuk mengerjakan suatu
perbuatan.
3. Sunah fadilah, perbuatan yang dituntut sebagai penambah kesempurnaan
amal perbuatan mukallaf.
c. Haram: perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan
apabila dikerjakan akan mendapat siksa.
Petunjuk:
- QS. An’am: 151
- QS. Al-Baqarah: 228
- QS.Al-Isra: 32
9
- QS.Al-Hijr: 30
- QS.An-nur: 4
- QS.An-Nisaa’:10
Haram dibagi menjadi 2 bagian:
1. Haram karena sejak semula ditetapkan (lizatih), yaitu sesuatu yang
ditetapkan Allah sejak awal, karena kemaslahatannya dan bahaya yaitu
berzina.
2. Haram karena adanya sesuatu dari luar (liaridhih), yaitu sesuatu yang
tidak ditetapkan keharamannya, namun ada penyebab yang
menyebabkan haram. Misalnya: jual beli minuman keras.
d. Makruh: perbuatan yang apabila ditinggalkan akan mendapat pahala dan
apabila dikerjakan tidak mendapat siksa.
Petunjuk:
- QS.An-Nahl: 43
- QS.Al-Maidah: 101
Makruh dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Makruh tanzih: pekerjaan yang apabila dikerjakan lebih baik
ditinggalkan. Misalnya: merokok, memakan makanan berbau, dan lain-
lain.
2. Makruh tarkul aula: meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya lebih baik
dikerjakan. Misalnya: shalat Dhuha.
3. Makruh tahrim: perbuatan yang dialarang, namun melarangnya
menggunakan dalil zanni. Misalnya berpacaran.
e. Mubah, yaitu perbuatan apabila dikerjakan dan dtitinggalkan sama-sama
tidak mendapat pahala ataupun siksa.
Petunjuk:
- QS. Al-Baqarah: 235
- QS. An-Nur: 61
- QS. Al-Baqarah: 173
10
- AS. Al-maidah: 2, diperintahkan oleh syar’i untuk melakukannya, namun
ada ketentuan qanirah.
- Ditetapkan kebolehan melakuakn suatu perbuatan dengan bara’atul
ashliyah (bebas menurut aslinya).
b. Hukum Wad’I
Adalah ketentuan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya
sesuatu itu sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
Misalnya:
Sebab sesuatu, menjalankan shalat menjadi kewajiban wudhu.
Syarat sesuatu kesanggupan mengadakan perjalanan ke Baitullah
menjadi syarat wajib menunaikan haji.
Hukum islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya
yang kini terdapat dalam Al-Quran dan dipertegas oleh Nabi Muhammad
sebagai Rasul-Nya, melalui sunahnya yang terhimpun dengan baik dalam kitab
Hadits.
Hukum islam dalam pengertian secara syariat ataupun fiqih dibagi menjadi 2,
yakni:
1. Bidang Ibadah
2. Bidang Muamalah
Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan
mendatangkan mashlahat bagi mereka, mengarahkan kepada kebenaran utnuk
mencapai kebaikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dengan perantara
segala yang bermanfaat serta menolak yang mudharat dan tidak berguna bagi
kehidupan manusia.
Lima tujuan Hukum Islam menurut Ishaq al-Shatibi dalam “Maqashid al-
Khamsah”
1. Memelihara aspek agama (hifzul din)
Artinya menjaga agama dengan pemahaman dan perilaku yang toleran
(tasamuh) karena hidup di Negara majemuk.
11
2. Memelihara aspek jiwa maunsia dan humanism (hifzul al nafs)
Artinya menjaga jiwa manusia tentang hak-hak asasi dan penyebarannya
dalam hukum pidana, tata Negara, politik, serta hak warga masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hidup layak, kesamaan, dan
kedamaia.
3. Memelihara aspek akal (hifzal aql)
Artinga menjaga akal sebagai anugerah Allah yang harus dijaga dan
dikembangkan serta dilindungi, karena dengan akal manusia dapat meraih
kemajuan.
4. Memelihara aspek harta (hifza irz)
Artinya menjaga harta untuk memacu supaya mental kuat utnuk mau
bekerja keras, supaya tidak miskin, karena kemiskinan merupakan
kesengsaraan hidup.
5. Memelihara aspek keluarga (hifzal nasl)
Artinya keturunan yang baik agar tidak menjadi keluarga lemah baik
ekonomi, iman, mental pendidikan dan fisik.
2. Hubungan Manusia dengan Hukum Allah dan Fungsinya
Ruang lingkup hukum islam menurut pendapat para nabi, diantaranya:
a. Hukum I’tiqadiyah yaitu sesuatu yang berkenaan dengan akidah dan
keyakinan seperti rukun iman
b. Hukum amaliyah yaitu sesuatu yang berkenaan dengan ibadah seperti
puasa, sholat, zakat, haji.
c. Muamalah, seperti jual beli, perkawinan, perceraian, waris, pencurian.
Menurut Al-Quran setiap muslim wajib taat kepada Allah, Rasul dan ulil
amri yaitu penguasa.
Bila seseorang telah mengamalkan semua titah Allah baik berupa tuntutan,
larangan, maupun pilihan maka orang tersebut akan menolak perbuatan
zalim terhadap sesame manusia maupun sesame makhluk hidup.
Semakin melebar dan kompleknya persepktif permasalahan yang dihadapi
manusia, hukum islam dan ilmu keislaman pun mulai mengalami penajamn
dan terspesialisasi tidak terbatas pada hukum syara’ saja.
12
Syariat sebagai sesuatu yang bersumber dari naas tidak akan berubah dan
bergeser, yang berubah dan bergeser adalah interpretasi fuqaha dalam
memahami dan menganalisa doktrin syariat dan inilah penyebab perbedaan
(al ikhtilaf)
Fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat:
a. Ibadah, untuk beribadah kepada Allah SWT.
b. Amar makruf nahi mungkar
c. Fungsi zawajir
d. Fungsi tanzim wal islah al ummah, untuk meperlancar interaksi sosial
sehingga tercipta suasana masyarakat yang harmonis, aman, sejahtera
dan bahagia.
3. Peran Agama Dalam Perumusan Hukum
Manusia adalah makhluk bebas dan merdeka, namun untuk
memenuhi kebutuhannya, keinginan dan kegemarannya maka hidup
bermasyarakat merupakan keharusan. Namun, dalam bermasyarakat
muncul masalah dan kontrakdiksi antara ego dasar eksistensi dan untuk
mengatasinya maka digunakan hukum Islam.
Sudah barang tentu kaidah atau aturan yang mengikat, tidka akan
dapat berjalan dengan baik kecuali bila disertai sarana kekuatan untuk
memelihara dan membantu agar tetap hidup, dihormati dan berjalan lancer,
sebagaimana firman Allah SWT:
Ayat di atas menjelaskan, agama Islam telah membatasi ketentuan yang
mengikat dalam kehidupan ini, yaitu apa yang telah digariskan oleh Allah
melalui Rasul-Nya wajib ditaati dan apa yang dilarang wajib dihindari,
meskipun itu merupakan suatu kebiasaan, tradisi dan pekerjaan yang
digemari.
Ada 3 program inti yang perlu dicermati dan dipahami:
1. Terwujudnya masyarakat agraris, berperadaban luhur, berbasisi hati
nurani yang diilhami dan disinari agama .
13
2. Terhindarkan perilaku radikal, ekstrim, tidak toleran dan eksklusif
dalam kehidupan beragama.
3. Terbinanya masyarakat yang dapat menghayati, mengamalkan ajaran-
ajaran agama dengan sebenarnya.
Kontribusi agama dan umat Islam dalam perumusan dan
penegakan hukum akhir ini sudah tampak jelas dengan diundangkanya
beberapa peraturan perundnag-undangan yang berkaitan dengan hukum
islam, misal :UU RI No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No24 tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik, UU RI No 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama, Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentan kompilasi
hukum Islam, UU RI No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan
UU RI No 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah Haji.
Kehidupan sosial dengan hukum mempunyai efek yang slaing
mempengaruhi, maka akan didapatkan sebab perbedaan diantara berbagai
hukum karena perbedaan waktu dan tempat dan adanya bermacam-macam
hukum yang diwarnai oleh faktor kebangsaan dan faktor khusus dan
sifatnya tradisional.
B. Peranan Agama dalam Perumusan dan Penegakan Hukum yang Adil
1. Agama mengajarkan Keadilan
Syariat Islam menyamaratakan antara sesame umat Islam dan
antara mereka dengan yang lainnya, berdasarkan prinsip keadilan dan
persamaan yang ditetapkan dalam nas.
Dalam hubungan dengan prinsip keadilan dalam penetapan hukum
A-Quran dapat dilihat antara lain:
Allah memerintahkan ornag beriman utnuk selalu teguh dalam
melaksanakan kebenaran dan menjadi saksi dengan adil artiny bernai
mengungkapkan hal-hal yang benar di depan pengadilan tanpa suatu
pamrih atau tujuan tertentu, baik secara kerabat, harta maupun wanita serta
14
kedudukan. Sebab keadilan merupakan tolok ukur dan barometer dari
kebenaran.
Sikap adil harus ditegkkan meskipun kepada musuh dan orang
yang tidak disukai dan dibenci, karena adil merupakan pekerjaan dan sikap
yang palin dekat dengan ketakwaan.
Bila sudah terjadi kecurangan pada suatu umat, maka akan
hilanglah kepercayaan dari orang tersebut, kehancuran akan merajalela,
hubungan tali persaudaraan terputus. Dan akibatnya petaka yang akan
menimpa semua umat, baik yang adil maupun yang curang.
BAB III
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas
kepada kita, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi
hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa
hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang
disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang
ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang
menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban
mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi
15
Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan
mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul
Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku
Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara
tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya,
mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada
sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan
anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-
aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka
jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada
kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam
diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula
pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam,
termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja
dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para
sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial
keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli,
Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar
serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten
dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat
yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para
ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-
tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif
yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota
negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara
mereka.
16
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu
tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan
hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu
dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam
pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah
para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa,
budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula
komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di
samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang
ini.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam
itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum
Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin
sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di
kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di
kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada
penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita
merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh
Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus
berdasar atas “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni
1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita
merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat
mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun
sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi
politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak
pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
17
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya
adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya
atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan
UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan
masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan
lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai
penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik
Indonesia.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullah pertanyaan, di manakah letak atau
posisi hukum Islam yang kita maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum
menguraikan lebih lanjut jawaban atas pertanyaan ini, kita harus menguraikan
lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif
teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam, kita harus
membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat
Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah
misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-
Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi
ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu
tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat
al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di
dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai
norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan
santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat
Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik
18
di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak
jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat
dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau
sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah
hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan
demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap
sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang
hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya
terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan
asas-asasnya saja. Khusus dibidang pidana, ada dirumuskan berbagai delik
kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir.
Kalau kita menelaah hadits-hadits Rasulullah, secara umum kitapun dapat
mengatakan bahwa hadits-hadits hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits syar’ah
telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah
yang melahirkan fikih Islam. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan
para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula
dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma
syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan
atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang
dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di
bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas
filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith,
maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu
kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum,
yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu
zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi
adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga
mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan
19
mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum
Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman
keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara
pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung
abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah
mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum
dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam
konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada
umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan
ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya
intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka
menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah
canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang
bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut
Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, dapat dikatakan bahwa hukum Islam di
Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan
sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan
hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan,
maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah
hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-
undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima
waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa
solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan
20
negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar
agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang
ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa
yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat
Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah
aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari
suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang
memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat
Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji,
administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan
fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan
seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas
“pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole
Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa
menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum
perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum
bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif,
yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu,
hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku,
dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan
menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini
bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah
menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada
masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar
keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
21
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islam dalam
kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana
dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu
dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang
secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya.
Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan
sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini,
banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada
sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain
hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk
perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap
kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan
deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan
keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo
Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barang tentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya
mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam
fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai
hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada
berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan
salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu
serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa
ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat
dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk
melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan
(sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam
hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf.
Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang
22
memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum
menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang
menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-
jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus
mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di
suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim,
tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang
tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk
ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus
dijalankan di dalam praktik.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail
Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam
masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum
pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik
pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki
kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya
tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP
Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil
rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP
Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi
oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai
hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu
atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian,
menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang
yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah
perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak
sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil
rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis
pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
23
Terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih
Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat
Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum
keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai
hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang
mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu
yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya,
seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan
kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari
hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu
sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka
biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum
nasional.
BAB IV
KESIMPULAN
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi
alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum
keluarga.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang
dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial
Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi
kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam
merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan,
24
maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber
hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan
sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam
perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara
Islam. Selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga
dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi kita belum pernah mendengar orang
mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok
Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan
kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang kita juga belum pernah
mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh
agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu
terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara
sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum
India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap
hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga
melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama
Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin
mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum
positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri.
Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita
akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada
rakyatnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah:
The Saudi Publishing House.
Yusril Ihza Mahendra, HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP
HUKUM NASIONAL INDONESIA. 19 Desember, 2007
26
27