Hukum Isbal
-
Upload
sintiasaputra -
Category
Documents
-
view
25 -
download
8
description
Transcript of Hukum Isbal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berpakaian merupakan ciri khas manusia yang membedakan dengan
makhluk lainnya. Mode-modenya pun banyak ragamnya yang disesuaikan dengan
latar belakang lingkungan, pendidikan dan budaya yang dianutnya. Islam telah
mengatur etika berpakaian secara sempurna, sehingga tentu saja seorang muslim
dan muslimah harus senantiasa menataati aturan Allah dan Rasulnya dengan
penuh kesadaran agar tidak terpengaruh dengan budaya-budaya luar yang akan
merusak akhlak manusia.
Setiap bangsa kadang mempunyai ciri khas untuk menentukan mode
pakaiannya. Model pakaian seperti jas, kemeja, jaket, kaos, sarung, celana dan
yang lainya adalah boleh. Demikian juga warna pakaian atau jenis kainya baik itu
dari wool, katun, atau yang lainya tidak terdapat larangan dalam Islam. Berikut
kaidahnya adalah “Asal dalam pakaian adalah boleh, maka tidak haram pakaian
apapun kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya.” (Taudhih
Ahkam, 7:314). Adapun fungsi pakaian adalah penutup aurat, seperti halnya
koteka untuk orang Irian, ada juga sebagai hiasan dan pakaian taqwa.
Islam menganjurkan kita memakai pakaian yang bagus, rapi dan terpuji. At-
Tirmidzi telah meriwayatkan; Rasulullah bersabda; “Sesesungguhnya Allah itu
baik, menyukai kebaikan, Allah itu bersih, menyukai kebersihan, Allah itu mulia,
menyukai kemuliaan dan Allah itu dermawan, menyukai kedermawanan, maka
1
bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah menyerupai orang yahudi.”
Maka berpakaian yang bagus tidak termasuk sombong tetapi akan menampilkan
nikmat Allah yang diberikan kepada kita, juga kita dituntut harus menjauhi
kesamaan dengan orang Yahudi.
Disisi lain Islam telah melarang agar tidak berlebih-lebihan dalam
berpakaian. Allah berfirman;
�ه� �ن إ ر�ف�وا �س� �ت و�ال �وا ب ر� و�اش� �وا �ل و�ك ج�د� م�س� �ل� ك ع�ند� �م� �ك �ت ز�ين خ�ذ�وا ء�اد�م� �ي �ن �اب ي
ر�ف�ين� } �م�س� ال �ح�ب- �ي {31ال
Artinya; “Hai anak Adam! pakailah pakaianmu yang indah disetiap
memasuki mesjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf:31)
Ayat diatas melarang makan, minum dan berpakaian dengan berlebih-lebihan.
Berlebih-lebihan disebut juga dengan Israf . Ada macam-macam Israf yaitu:
1. Israf Iqtishadi, yaitu berlebih-lebihan dilihat dari sisi ekonomi.
2. Israf Urfi, yaitu berlebih-lebihan dari sisi adat atau kebiasaan yang wajar.
3. Israf Syar’i, yaitu berlebih-lebihan menurut ukuran agama.
Selain itu Islam juga telah melarang sombong dalam berpakaian, sabda
Rasulullah dari Abdullah bin Mas’ud r.a beliau bersabda; “Tidak akan masuk
surga orang yang dalam hatinya ada setitik kesombongan. Berkata seseorang;
Sesungguhnya seseorang suka memakai pakaian dan sandal yang indah. Nabi
bersabda; Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan itu mengingkari kebenaran dan menghina orang lain.” (H.R.
Muslim)
2
Hadits ini menunjukan bahwa mencintai pakaian yang bagus atau sepatu
yang bagus tidak termasuk sombong. Sombong ialah menolak kebenaran dan
menghina seseorang. Sombong juga diartikan dengan; Khulaya’a adalah rasa
sombong atau angkuh yang timbul dari rasa memiliki kelebihan atau
keistimewaan dalam diri seseorang yang ingin dilihat atau diperhatikan
orang lain.”
Dengan demikian, berarti ada sombong yang menolak kebenaran dan
menghina orang, ada juga sombong dengan pengertian angkuh dan merasa
lebih dari orang lain. Faktor penyebab sombong diantaranya adalah berdasarkan
hadits Rasulullah SAW dari ‘Abdullah bin Umar beliau bersabda; “Allah tidak
akan melihat dihari kiamat kepada orang yang mengulurkan pakaiannya dengan
sombong.” (H.R. Mutaffaq ‘Alaihi)
Hadits ini menunjukan bahwa mengulurkan lebih dari mata kaki untuk dijaman
Nabi Muhammad SAW termasuk ciri-ciri orang yang sombong, sedangkan
dimasa sekarang bisa saja sombong karena memakai yang dibawah lutut sedikit
atau biasa disebut sontog. Memang penyebab sombong itu banyak, bisa saja
sombong karena modenya, kainnya, warnanya, penampilannya atau yang lainya.
Maka ciri kesombongan dalam berpakaian bisa saja berubah sesuai jamannya.
Dalam hal ini Allah melarang dengan firman-Nya:
ح0ا م�ر� ر�ض�� �أل ا ف�ي �م�ش� �ت ....و�ال
Artinya; “Janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong…”
(QS. Al-Isra: 37)
3
Ayat ini menunjukan jangan berlaku sombong dengan penampilan, seperti dalam
gaya jalan kakinya yang menunjukan rasa gagah atau sombong.
Mengulurkan pakaian melebihi dua mata kaki itu disebut Isbal. Sekelompok
orang yang menamakan dirinya ‘Salafi’ mengklaim bahwa Isbal hukumnya
haram. Bila dilihat kepada realita yang ada dimasyarakat, hanya ‘Salafiyyah’ saja
yang mengharamkan Isbal, sampai-sampai hal ini telah menimbulkan
pertentangan anatara beberapa kelompok masyarakat. Dari fenomena diatas
penulis merasa tertarik meneliti bagaimana sebenarnya hukum Isbal yang telah
menjadi pertentangan berbagai kelompok masyarakat. Dalam tugas karya tulis ini
penulis memilih judul tentang “Hukum Isbal Menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah”.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih menspesifikan permasalahan yang akan dibahas, maka penulis
merumuskan masalah pada:
1. Apa definisi Isbal?
2. Apa dasar dalil diharamkanya Isbal?
3. Bagaimana hukum Isbal menurut Al-Qur’an dan As- Sunnah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengertian Isbal.
2. Mengetahui dasar dalil diharamkannya Isbal.
4
3. Mengetahui hukum Isbal menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun manfaatnya adalah secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu mendidik, agama dan memperkaya
kepustakaan.
Sedangkan secara praktis penulisan ini dapat membantu masyarakat untuk
mendapat kejelasan tentang bagaimana sebenarnya hukum Isbal dan agar para da’i
dan mubalighah mendapatkan masukan bahan-bahan untuk disampaikan kepada
masyarakat luas mengenai kasus pertentangan tentang Isbal.
D. Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ini menggunakan metode kepustakaan, yaitu metode
yang menggunakan sumber-sumber data yang akan digali berupa naskah-naskah
tertulis apakah berbentuk dokumen, koran, majalah, arsip surat, buku dan teks-
teks lainya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis yang akan disusun terdiri atas:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
5
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Isbal secara Umum
B. Kritaeria Isbal
BAB III ANALISIS HUKUM ISBAL MENURUT AL-QUR’AN DAN AS-
SUNNAH
A. Pendapat-pendapat dharamkannya Isbal
B. Hukum Isbal Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
6
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Isbal Secara Umum
Pakaian merupakan salah satu nikmat yang besar diantara nikmat-nikmat
Allah. Disamping sebagai penutup aurat, melindungi tubuh, pakaianpun berfungsi
sebagai yang menambah keelokan dan kecantikan. Dengan pakaian Allah
mengingatkan manusia agar mengagungkan nikmat-nikmat-Nya serta menjaga
diri dari keburukan.
Agar manusia terhindar dari keburukan dalam berpakaian, Allah telah
menentapkan peraturan yang jelas dan terperinci melalui sunah Rasul-Nya. Salah
satu masalah itu menyangkut Isbal.
1. Pengertian Isbal menurut bahasa
Isbal adalah bentuk masdar dari asbala-yusbilu. Secara wadh’i
(pembentukan lafal), kata asbala diambil dari as-bal. Kata Majduddin al-Mubarok
bin Muhammad (w. 660 H) atau yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Atsir;
As-sabal artinya at-tsiyab al-musbalah (baju yang diturunkan), seperti kata ar-
Rasa (bermakna dikirim/dilepas) dan kata an-Nasyar (bermakna yang
disyiarkan/dipancarkan). Dikatakan as-sabal adalah jenis baju paling tebal dan
yang dibuat dari kapas rami (nama pohon). Berdasarkan penjelasan ini, maka
secara wadh’i kata isbal memiliki makna khusus, yakni memakai as-sabal
memakai baju yang diturunkan”
7
Pada perkembangan selanjutnya, pertkembangan kata isbal secara bahasa
dimaknai lebih umum yaitu menurunkan dan memanjangkan. Maka seseorang
dikatakan mengisbalkan bajunya apabila ia memanjangkan pakaian dan
melabuhkannya ke tanah.
Penjelasan di atas menunjukan suatu perbuatan dikategorikan isbal secara
bahasa dan pelakunya disebut musbil apabila memanjangkan pakaian
melabuhkannya hingga tanah, tapi jika pakaian itu semata-mata hanya menutup
mata kaki, tanpa berlabuh ke tanah tidak dapat disebut isbal secara bahasa. Selain
itu, analisa bahasa tidak menjadikan motif, misalnya karena sombong, sebagai
unsur kategori isbal.
2. Pengertian Isbal Menurut Istilah
Secara istilah isbal memiliki kriteria khusus. Kalimat isbal al-izar atau isbal ats-tsaub artinya menurunkan/melabuhkan izar (pakaian sejenis jubah) atau baju sampai ke tanah ketika berjalan karena sombong. Syekh Ahmad bin Muhammad bin Ziyyad (w.340 H) atau Ibnul ‘Arabi berkata; Al-Musbil itu ialah orang yang memanjangkan baju dan melabuhkannya hingga tanah apabila berjalan dan ia melakukannnya tiada lain karena sombong dan berlaga menonjolkan diri. (Lisan al-‘Arab, XI:319; Taj al-Arus Min Jawahir al-Qamus, XXIX:162; an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, II:846.)
Pernyataan Ibnul ‘Arobi ini dikukuhkan kembali oleh para ulama yang
hidup pada generasi selanjutnya, antara lain:
a. Ibn al-Atsir (w. 660 H) dalam an-nihayah fi gharibil hadits, II:846.
b. Abu Zakarya Yahya bin Syarf (w. 676 H) atau Imam an-Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim, II:116.
c. Imam Abdurrahman bin Abu Bakar (w. 911 H) atau Imam as-Suyuthi
dalam Hasyiah ‘ala Sunan Ibnu Majah, I:160.
d. Muhammad Ali bin Muhammad al-Bakri as-Shadiqi (w. 1057 H) berkata;
8
Al-Musbil dengan sighah fa’il, dari kata isbal. Artinya menurunkan
pakaiannya lagi menarik/menyeretnya karena sombong. Maka musbil
dikhususkan dengan makna itu”. (Dalil al-Falihin, VI:78).
e. Muhammad Syams al- Haq Abadi (w. 1310 H) berkata; Al-Isbal itu ialah
memanjangkan dan melabuhkannya ke tanah apabila berjalan karena
sombong. (‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, II:240)
f. Syekh Ibrahim al-Yazini (w. 1847 H) berkata; Dikatakan; fulan lewat
dalam keadaan isbal, (maknanya) apabila memanjangkan pakaian,
melabuhkannya ke tanah, berjalan dalam keadaan sombong dan berlaga
menonjolkan diri. (Nuz’ah ar-Raid wa Syir’ah al-Warid fi al-Mutaradif wa
al-Mutawarid, hal 82).
B. Kriteria Isbal
Dalam menjelaskan masalah ini Nabi SAW menggunakan beberapa ungkapan
berbeda. Dilihat dari aspek ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk:
1. Ungkapan isbal dengan derivatnya (musbil, isbal, dan asbala)
Dari Abu Dzar Rasulullah SAW bersabda; “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara, tidak akan diperhatkan, tidak akan disucikan oleh Allah pada hari kiamat, dan mendapat siksa yang pedih” Kata Abu Dzar Rasulullah mengucapkannnya sebanyak tiga kali; “Siapa mereka yang mendapat siksa yang pedih dan mnerugi itu wahai Rasullullah?” Rasul menjawab; “Orang yang berisbal, yang mengungkit-ngungkit pemberian dan yang menawarkan dagangannya dengan sumpah palsu.” (H.R Muslim, Shahih Muslim, 1:102;)Imam Ahmad juga meriwayatkam dengan redaksi; “Sesungguhnya Allah tidak
akan memperhatikan al-musbil pada hari kiamat.” (H.R Ahmad)
Dalam riwayat diatas, Nabi menggunakan ungkapan al-Musbil atau musbil
al-izar tanpa menjelaskan maksud al-musbil itu. Sedangkan dalam riwayat lain,
9
maksud al-musbil itu dijelaskan oleh Nabi sendiri; “Sesungguhnya Allah tidak
akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong pada hari
kiamat.” (Shahih Muslim, III:1653, No. 2087)
Dalam riwayat Bukhori dengan redaksi; “Allah tidak akan memperhatikan orang
yang menyeret sarungnya karena sombong pada hari kiamat.”
Dari riwayat hadits diatas jelaslah bahwa arti al-musbil itu ialah man jarra
azrahu bathran (orang yang menyeret kainnya karena sombong). Selain
menjelaskan sebab keharamannya yakni bathran (orang yang menyeret kainnya
karena sombong).
Dengan demikian al-musbil berarti orang yang menurunkan/melabuhkan
sarung atau baju sampai tanah karena berjalan karena sombong. Sehubungan
dengan itu, Ibn al-Atsir menegaskan; “Dan sungguh kata isbal disebut berulang
kali didalam hadits dan semuanya bermakna demikian. (An-Nihayah fi Gharib al-
Hadits, II:846)
Hal ini menunjukan bahwa ungkapan isbal atau musbil itu menunjukan
sifat yang sombong, yaitu cara cara berpakaian seperti ini merupakan perbuatan
orang Arab Jahiliyyah sebagai simbol keangkuhan orang takabur dalam berjalan
yang disebut Al-Khulaya’a, dan hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan
menyeret/menarik azr diatas tanah. Nabi ditanya oleh Abu Jura Jabir bin Sulem
tentang isbal izar; “Wahai Rasulullah, anda menyebut al-izar, maka terkadang
seseorang itu didalam keadaan pincang atau terdapat sesuatu yang
disembunyikannya. Beliau menjawab: tidak mengapa sampai tengah betis atau
hingga mata kaki.”
10
Lalu Nabi menjelaskan latar belakang anjuran itu dengan menggambarkan peristiwa masa lalu; “Sesungguhnya seorang laki-laki diantara kaum sebelum kamu memakai dua burdah (kain bergaris untuk diselimutkan, maka ia berjalan dengan gaya sombong pada dua burdah itu, maka Allah telah melihat dari singgasananya dari atas lalu ia benci kepadanya. Maka ia memerintah bumi, lalu bumi membinasakannya, lalu tenggelamlah ia kedalam bumi. Hati-hatilah kamu terhadap batas-batas Allah” (Abu Daud, an-Nasa’i, I:21). Kata Imam at-Thabari nama laki-laki itu adalah al-Haizan dari Arab Persia. Ada juga yang menyebut namanya Qarun. (Fath al-Bari, 1:329).
Nabi menganjurkan untuk menurunkan pakaian hingga setengah betis itu
mata kaki itu tidak terpelihara dari sikap takabur orang-orang terdahulu. Dengan
demikian yang menjadi subtansi larangan/anjuran adalah terpelihara dari sikap
takabur bukan semata-mata melabuhkan pakaiannya. Tapi bagi orang-orang
tertentu yang dikenal oleh Nabi terpelihara dari sikap takabur, Nabi tidak
menganjurkan demikian, bahkan memberi pernyataan tegas bahwa larangan itu
berkaitan dengan kesombongan, sebagimana Abu Bakar ketika sarungnya melorot
dan beliau senantiasa menariknya ke atas lalu Rasulullah beresabda; “Kamu
bukanlah orang yang sombong” (H.R Jama’ah). Dari pernyataan ini sudah jelas
bahwa yang dinafikan Nabi adalah tidak sombongnya, bukan tidak sengaja
isbalnya.
2. Ungkapan isbal dengan derivatnya jar, yajurru atau wath’ia.
Berbeda dengan penggunaan isbal atau musbil, ketika Nabi menyebut
ungkapan jarra atau yajuru atau wathi’a. Sebagaiman dapat dibaca pada haidts-
hadits sebagi berikut:“Barang siapa menyeret/menarik pakaiannya dengan
maksud sombong, sesungguhnya Allah tidak akan memperlihatkkannya pada hari
kiamat”. (H.R Ahmad, Musnad Imam Ahmad, II:45).
11
Dalam riwayat lain dengan redaksi; “Sesungguhnya orang yang menyeret
pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. (H.R
Muslim)
Dari hadits-hadits diatas dapat penulis simpulkan bahwa hadits-hadits
dengan ungkapan jarra atau yajurru atau wathi’a beserta batasan baik khulaya’a
maupun bathran, merupakan tafsir (penjelas) hadits-hadits dengan ungkapan
isbal atau musbil.
Dengan demikian, apabila kita sepakat untuk ittiba’ (mengikuti) kepada
para pakar bahasa dan hadits di atas tentang pemaknaan isbal secara istilah, maka
persoalannya menjadi jelas, yaitu tidak ada hadits tentang isbal yang benar-benar
mutlak (bebas) dari qayyid (batasan), yakni motif sopmbong sebagai sebab.
3. Ungkapan isbal tanpa ungkapan khusus.
a. Tanpa disertai kalimat sebelum dan sesudah.
Izzar yang dibawah mata kaki (tempatnya) di neraka. (H.R
Bukhari)
b. Disertai kalimat sebelum dan sesudahnya
Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan
dibolehkan diatas mata kaki, dan yang dibawah mata kaki tempatnya
didalam neraka, dan barang siapa menyeret sarungnya dengan
sombong. Allah tidak akan melihatnmya pada hari kiamat. (H.R Abu
Daud).
12
Dalam memahami hadits-hadits ini perlu disepakati kembali apakah
perilaku yang diungkap dalam hadis ini akan dimaknai isbal atau tidak? Dengan
perkataan lain, hadits ini sebagai tafsir hadits-hadits dengan ungkapan
isbal/musbil atau bukan? Bila disepakati sebagai tafsir isbal, maka hadis-hadis
diatas tidak dapat dikategorikan sebagai hadits mutlak. Namun bila diposisikan
bukan sebagai tafsir, maka tidak mengherankan bila dikategorikann sebagai hadits
mutlak.
Hal ini penting ditegaskan karena terjadinya perbedaan sikap dalam
masalah ini justru akibat dari perbedaan dalam memahami dan memposisikan
hadits-hadits tersebut.
13
BAB III
ANALISIS HUKUM ISBAL MENURUT AL-QUR’AN DAN ASS-
SUNNAH
A. Pendapat-pendapat diharamkannya Isbal
Hadits-hadits mengenai larangan isbal mencapai derajat mutawatir secara
makna, baik di dalam kitab-kitab shahih, sunan, musnad maupun yang lainnya.
Adapun hadits-hadits itu secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kategori.
1. Larangan bersifat mutlaq (tidak dibatasi oleh sebab)
ار� : �ز� اإل م�ن� �ن� �ي �ع�ب �ك ال م�ن� ف�ل� س�� أ م�ا ق�ال� ص �ي� �ب الن ع�ن� �ه� ع�ن الله� ض�ي� ر� ة� �ر� ي ه�ر� �ي� ب
� أ ع�ن�
�ار� الن ف�ف�ي
Dari Abi Hurairah ra Nabi SAW berdabda; “yang di bwah mata kaki tempatnya
di neraka (H.R Bukhori)
ع�ن� �خ�د�ر�ي� ال �د� ع�ي س� �ا �ب أ �ل�ت� أ س� ق�ال� �ه� �ن أ �ه� �ي ب� أ ع�ن� ح�من� الر� �د� ع�ب �ن� ب �ء� �ع�ال ال ع�ن�
�م�ؤ�م�ن� ال ة� ر� �ز� إ �ق�و�ل� ي ص الله� و�ل� س� ر� م�ع�ت� س� �م� �ع�ل ب ك� �ر� ب خ�� أ �ا �ن أ ف�ق�ال� ار� �ز� اإل
م�ن� ف�ل� س�� أ م�ا �ن� �ي �ع�ب �ك ال �ن� �ي و�ب �ه� �ن �ي ب �م�ا ف�ي �ه� �ي ع�ل �اح� ن ج� � ال �ه� اق�ي س� �ص�اف� �ن أ �ى �ل إ
. ا �ط�ر0 ب ه� ار� �ز� إ ج�ر� م�ن� �ل�ى إ �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي الله� �ظ�ر� �ن ي � ال �ار� الن ف�ف�ي �ك� ذل
Artinya: Dari Al-‘Ala bin Abdurrahman, dari Ayahnya, sesungguhnya ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Said tentang sarung.” Maka ia menjawab, “Aku akan khabarkan kepadamu berdasarkan ilmu, aku mendengar Rasul saw. bersabda, ‘Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan antara mata kaki dan tengah bitis, dan yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka, dan siapa yang menyeret sarungnya karena kesombongan, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. (H.r. Malik, Al-Muwatha, II:914)
14
Berdasarkan hadits-hadits diatas, pakaian yang berada dibawah mata kaki
akan mendapat dosa besar, Rasulullah memerintahkan agar memakai pakaian
batasannya adalah sampai pertengahan betis jika lebih dari itu maka hukumnya
adalah haram.
2. Larangan bersifat muqayyad (dibatasi oleh sebab)
عليه الله صلى الله� و�ل� س� ر� �ت� �ي �ت أ ق�ال� �م�ي� ي �ه�ج� ال � �م �ي ل س� �ن� ب �ر� اب ج� ع�ن�
�ن�... ... و�إ �ة� �ل ي �م�خ� ال م�ن� ار� �ز� اإل �ال� ب �س� إ �ن� ف�إ ار� �ز� اإل �ال� ب �س� و�إ �اك� �ي و�إ ق�ال� وسلم
�ة� �ل ي �م�خ� ال �ح�ب- ي � ال الله�
Artinya: Dari Jabir bin Sulaim Al-Hujaimi, ia berkata, “Aku mendatangi
Rasulullah saw Beliau bersabda, ‘...dan jauhilah olehmu melabuhkan pakaian,
karena melabuhkan pakaian itu termasuk sombong. Dan sesungguhnya Allah
tidak menyukai kesombongan’”. (H.r.Abu Daud)
Pada hadis lain Nabi saw. bersabda:
. �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي � ال الله� �ن� ف�إ �ة� �ل ي �م�خ� ال � �ال إ �ك� �ذل ب �د� �ر�ي ي � ال ه� ار� �ز� إ ج�ر� م�ن�
Artinya: Barang siapa melabuhkan pakaian dengan maksud sombong,
sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat. (H.r.
Ahmad, Musnad Imam Ahmad, II:45.)
Keterangan ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar sebagai berikut:
�ء� �ال ي �خ� ال م�ن� �ه� �اب �ي ث �ج�ر- ي �ذ�ي� ال �ن� إ ق�ال� وسلم عليه الله صلى الله� و�ل� س� ر� �ن� أ
�ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ الله� �ظ�ر� �ن ي � .ال
15
Artinya; Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang
yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat”. (H.r. Muslim) menggunakan redaksi
المعجم – �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ الله� �ظ�ر� �ن ي �م� ل �ا �ي الد-ن ف�ي �ء� �ال ي �خ� ال م�ن� �ه� �و�ب ث ج�ر� م�ن�
–130 :2الكبير
الكبير - المعجم �ه� �ي �ل إ الله� �ظ�ر� �ن ي �م� ل �ة� �ل ي �م�خ� ال م�ن� �ه� �و�ب ث ج�ر� -39 :2و�م�ن�
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa dalil-dalil yang bersifat
mutlaq dan muqayyad dalam masalah isbal ini berbeda sebab dan hukumnya.
Sebab yang pertama adalah isbal secara mutlaq, sedang yang kedua adalah isbal
dengan sombong. Di samping itu, hukumnya juga berbeda, yang pertama
hukumnya ancaman neraka, yang kedua hukumannya adalah ancaman bahwa
Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara
dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih.
Berdasarkan kaidah ushul fiqih:
� �م �ح�ك و�ال �ب� ب الس� ف�ي �ف�ق� ات �ذ�ا إ و�اج�ب] �د� �م�ق�ي ال ع�ل�ى �م�ط�ل�ق� ال ح�م�ل�
Maka dalam hal ini kaidah mutlaq tidak dapat dipahami secara muqayyad tidak dapat dipergunakan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya dan dia mendapatkan siksaan yang pedih.”
Jadi apabila tidak diniatkan sombong maka hukumnya adalah yang di
bawah mata kaki akan disiksa dengan neraka, karena Nabi saw. bersabda:
: ع�ذ�اب] �ه�م� و�ل �ه�م� �ي ك �ز� ي � و�ال �ه�م� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي � و�ال �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي الله� �م�ه�م� �ل �ك ي � ال �ة] �ث �ال ث
�اذ�ب� �ك ال �ح�ل�ف� �ال ب �ه� �ع�ت ل س� �ف�ق� �م�ن و�ال �ان� �م�ن و�ال �ل� ب �م�س� �ل أ
16
Artinya; Tiga orang yang Allah tidak mau berbicara dengan mereka dan tidak mau melihat pada hari kiamat kelak dan tidak akan membersihkan diri mereka (dari dosa). Bahkan bagi mereka disediakan azab yang pedih. Yaitu orang yang melabuhkan pakaian, orang yang mengungkit-ungkit pemberian, dan orang menawarkan dagangannya dengan sumpah palsu.Dan beliau bersabda:
�ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ الله� �ظ�ر� �ن ي �م� ل �ء� �ال ي خ� �ه� �و�ب ث ج�ر� م�ن�
Artinya; Barangsiapa melabuhkan pakaian dengan sombong, Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat. Sementara hukuman bagi orang yang tidak
berniat sombong disebutkan di dalah Shahih Bukhari dari Abu Hurairah bahwa
Nabi saw. bersabda:
�ار� الن ف�ف�ي ار� �ز� اإل م�ن� �ن� �ي �ع�ب �ك ال م�ن� ف�ل� س�� أ م�ا
Artinya; Yang dibawah mata kaki (tempatnya) di neraka.
Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru
bila membatasinya dengan kesombongan, berdasarkan hadis terdahulu, karena
Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
م�ا �ن� �ي �ع�ب �ك ال �ن� �ي و�ب �ه� �ن �ي ب �م�ا ف�ي �ه� �ي ع�ل �اح� ن ج� � ال �ه� اق�ي س� �ص�اف� �ن أ �ى �ل إ �م�ؤ�م�ن� ال ة� ر� �ز� إ
ا �ط�ر0 ب ه� ار� �ز� إ ج�ر� م�ن� �ل�ى إ �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي الله� �ظ�ر� �ن ي � �ار�ال الن ف�ف�ي �ك� ذل م�ن� ف�ل� س�� أ
Artinya; Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan
dibolehkan kedua di atas mata kaki, dan yang dibawah mata kaki tempatnya di
dalam neraka, dan barangsiapa menyeret sarungnya dengan sombong, Allah
tidak akan melihatnya pada hari kiamat. (H.r. Malik, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu
Majah, dan lainnya.)
Nabi saw. menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau
menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi,
17
sehingga kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status
hukum dan sanksinya.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, pihak pertama berpendapat
bahwa isbal termasuk dosa besar apabila disertai dengan kesombongan, namun
jika tidak disertai kesombongan termasuk perbuatan haram. Diriwayatkan oleh
sekelompok ahli hadits dari kalangan sahabat seperti ; Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Dzar, Aisyah,dan yang lainnya.
Semuanya menjelaskan larangan yang begitu jelas, yakni larangan pengharaman.
Sebab di dalamnya terdapat ancaman neraka bagi pelakunya, padahal setiap dosa
yang diancam dengan neraka atau kemarahan Allah atau yang semisalnya maka
yang demikian ini adalah haram dan termasuk dosa besar. Keharaman isbal dapat
dilihat dari berbagai sisi:
a. Menyalahi sunah
b. Melanggar larangan
c. Berlebih-lebihan
d. Kesombongan
e. Menyerupai (pakaian) wanita
f. Menyengaja agar pakaian terkena najis dan kotoran serta terinjaknya
pakaian oleh kaki
g. Besarnya pengaruh isbal terhadap jiwa pelakunya terhadap Allah swt.
secara zhahir
h. Yang paling dahsyat adalah berarti dia menghantarkan dirinya untuk
mendapatkan azab ancaman yang berat di dunia dan akhirat.
18
Kemudian larangan isbal hanya untuk laki-laki berdasarkan ijma’ kaum
muslimin. Dan termasuk dosa besar apabila disertai dengan kesombongan, namun
jika tidak disertai kesombongan ia termasuk perbuatan haram yang tercela
menurut pendapat paling shahih dari dua pendapat para ulama. Karena telah
dijelaskan oleh Nabi saw. bahwa sekedar berbuat isbal maka yang demikian ini
sudah menunjukkan kesombongan, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar
secara marfu:
المخيلة من اإلزار جر فإن اإلزار وجر واياك
Artinya; Hati-hatilah kamu dari mengulurkan sarung sebab mengulurkan
sarung termasuk kesombongan (Riwayat Ibnu Muni’ di dalam Musnad-Nya).
Pada riwayat yang lain:
المخيلة من فإنه واإلسبال وإياك
Artinya; Hati-hatilah kamu dari isbal sebab hal itu merupakan
kesombongan. (Riwayat Imam Ahmad di dalam Musnadnya)
Dari dua hadits di atas bisa diketahui secara zhahir bahwasannya sekedar
mengulurkan baju melebih dua mata kaki sudah menunjukan kesombongan
walaupun si pelaku tidak bermaksud berbuat demikian. Seandainya larangan
terbatas bagi yang melakukan karena kesombongan, maka larangannya tidak
mungkin bersifat umum, dan kaum muslimin tidak dilarang isbal secara mutlak,
sebab kesombongan adalah amalan hati. Tetapi kenyataannya pengingkaran
terhadap pelaku isbal tanpa melihat apakah pelakunya bermaksud sombong atau
tidak. Sebagaimana Rasulullah mengingkari Ibnu Umar dan sahabat lainnya dan
memerintahkan mereka agar menaikkan sarung sampai pertengahan betis.
19
Oleh karenanya isbal dilarang secara mutlak bagi laki-laki, sebab di
dalamnya terkandung kesombongan walaupun tidak bermaksud untuk itu. Dan
pelakunya berarti mengerjakan perbuatan haram dan menampakannya yang
berarti menghantarkan dirinya kepada ancaman yang keras. Akan tetapi ada
beberapa keadaan yang dikecualikan dari penjelasan di atas, yaitu:
a. Mereka yang tidak bermaksud untuk isbal, disebabkan karena lupa atau
karena terburu-buru, kaget, gemetar tatkala marah atau melorot namun senantiasa
menariknya ke atas . Sebagaimana kisah Abu Bakar r.a. ketika sarungnya melorot
dan beliau senantiasa menariknya ke atas serta tidak bermaksud isbal apalagi
untuk kesombongan. Oleh karenanya Rasulullah saw. bersabda kepada beliau:
خيالء يفعله ممن ليست
Artinya; Kamu bukanlah orang yang berbuat karena sombong.
b. Untuk suatu kebutuhan tertentu, sebagaimana seseorang isbal
disebabkan adanya penyakit pada kedua kakinya dan semisalnya. Yang demikian
sama halnya dengan orang yang memakai sutra karena gatal-gatal pada kulitnya
atau membuka aurat untuk berobat atau juga kesombongan di dalam peperangan
dan sebagainya.
c. Pengecualian bagi wanita, bagi mereka Nabi saw. memberikan
kemudahan untuk mengulurkan ujung baju mereka sepanjang sejengkal disukai
untuk menutup dua kaki yang padanya termasuk aurat wanita. Jika masih
tersingkap juga maka diulurkan sepanjang satu hasta boleh semuanya berdasarkan
ijma’. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud r.a.;
“Dari Shafiyah binti Abi Ubaidah bahwa Ummu Salamah istri Nabi saw. bertanya kepada Rasulullah saw. tatkala beliau menyebutkan tentang sarung:
20
“Bagaimana dengan wanita wahai Rasulullah?”, beliau menjawab:”Ulurkan sampai satu jengkal.”Ummu Salamah berkata:”Kalau begitu akan tersingkap kaki darinya”, kemudian beliau bersabda:”kalau begitu ulurkan satu hasta dan jangan ditambah lagi.”(diriwayatkan juga oleh Imam Malik di dalam al-Muwatha)
Imam Nawawi berkata di dalam Syarah Shahih Muslim Juzz 4 hal 795; “Para ulama telah ijma tentang bolehnya isbal bagi wanita berdasarkan hadits shahih dari Nabi tentang izin bagi mereka untuk mengulurkan ekor-ekor baju mereka sepanjang satu hasta.
Demikian juga Imam Asy-Syaukani di dalam Nailul Authar juz II :114
tentang ijma kaum muslimin atas bolehnya isbal bagi wanita. Juga al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqalni di dalam Fathul Bari juz X:259 dari Qadhi Iyadh tentang ijma
atas larangan isabal adalah bagilaki-laki bukan wanita.
Berdasarkan hadits diatas maka timbul pertanyaan, dari mana pengukuran
sejengkal atau sehasta untuk penambahan ujung baju wanita? Secara dzahir hadits
pengukuran dimulai dari pertegahan dua betis karena Ummu Salamah
berkata:”Jika begitu akan tersingkap kaki mereka (para wanita)”, Kemudian Nabi
saw. memberikan kemudahan bagi mereka dengan penambahan satu hasta.
Sedangkan pendapat al-Qari’i menyatakan bahwa ukurannya yang disebut di
dalam hadits, yakni sarung orang mukmin sampai batas setengan betis.
Ibnu Ruslan pun menyatakan di dalam Aunul Ma’bud:”Yang nampak adalah bahwasannya yang dimaksud dengan sejengkal dan sehasta adalah ukuran yang ditambahkan pada gamis laki-laki, tidak ditambahkan dari tanah. Maka kesimpulannya bahwa bagi laki-laki ada dua keadaan:
a. Keadaan yang disukai, yakni memendekkan sarung sampai batas setengah
betis
b. Keadaan yang dibolehkan, yakni sampai batas mata kaki.
Begitu pula bagi wanita ada dua keadaan:
21
a. Keadaan yang disukai, yakni ditambahkan sejengkal dari keadaan yang
dibolehkan bagi laki-laki.
b. Keadaan yang dibolehkans, ditambahkan sepanjang satu hasta.
Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani di dalam al-Ausath daru Mu’yamar dari Humaid dari Anas bahwa Nabi
saw. memberikan ukuran satu jengkal bagi Fatiamh kemudian beliau bersabda;
”Ini adalah ekor baju wanita.” Dan di dalam riwayat Abu Ya’la; ”Sejengkal dari
ekor bajunya, sejengkal atau dua jengkal”, dan beliau bersabda:”Jangan kalian
tambah dari itu.”
Pengukuran ekor baju bagi para wanita untuk menutupi kaki mereka sudah
dikenal oleh wanita-wanita Arab, seperti di dalam syair:
الذبول جر المحصنات وعلى علينا والقتال كتبالقتل
Kewajiban membunuh dan berperang atas kami (laki-laki)
Sedangkan mengulurkan ekor-ekor baju wajib atas para wanita. Karena
ujung baju wanita sampai menyentuh tanah dan kemungkinan terkena najis, maka
syariat memberikan kemudahan, yaitu apabila terkena najis maka tanah setelahnya
akan mensucikan dengan sendirinya dan tidak membatalkan wudlunya.
B. Hukum Isbal Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Urusan pakaian pada asalnya adalah masalah keduniaan yang hukumnya
mubah (boleh-boleh saja). Oleh karena itu, tentang model pakaian diserahkan
kepada manusia untuk mengurusnya dengan tidak melanggar batas-batas yang
22
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menutup aurat dengan tidak
berlebihan, baik karena israf maupun karena takabur.
Untuk menetapkan dilanggar atau tidaknya batasan-batasan tersebut perlu
pengkajian secara mendalam terhadap keterangan-keterangan yang rajih (kuat,
jelas, dan tepat). Janganlah menolak hadits yang sudah pasti kesahihanya dan
jelas pula maksudnya karena tidak sejalan dengan pendapat kita yang sudah ada,
sehingga kita tidak menuduh berbuat dosa kepada orang lain yang sesungguhnya
tidak berdosa.
Hadits-hadits tentang menurunkan pakaian di bawah mata kaki secara garis
besar terbagi kepada dua macam, yakni bersifat mutlaq (tidak dibatasi oleh sebab)
dan bersifat muqayyad (dibatasi oleh sebab). Kemudian dilihat dari segi ungkapan
bahasa, matan hadits-hadits tersebut menggunakan tiga ungkapan, yaitu al-isbal
(melabuhkan pakaian di bawah mata kaki), al-jarr (melabuhkan pakaian sampai
menyapu tanah) dan al-wath’u (melabuhkan pakaian sampai terinjak). Rassulullah
bersabda;
�ا ي ه�م� م�ن� و�ا ر� و�خ�س� �و�ا اب خ� ذ�ر �و� ب� أ ق�ال� ار� م�ر� �ث� �ال ث ص الله� و�ل� س� ر� ق�ال� [
�ي� : ب� أ �ع�ن� �اذ�ب �ك ال �ح�ل�ف� �ال ب �ه� �ع�ت ل س� �ف�ق� �م�ن و�ال �ان� �م�ن و�ال �ل� ب �م�س� �ل أ ق�ال� الله� و�ل� س� ر�
: � و�ال �ه�م� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي � و�ال �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي الله� �م�ه�م� �ل �ك ي � ال �ة] �ث �ال ث ق�ال� ص �ي� �ب الن ع�ن� ذ�ر
�ه�م� و�ل �ه�م� �ي ك �ز� ي
Artinya; Nabi saw bersabda, “Tiga golongan orang yang oleh Allah tidak akan diajak bicara, tidak akan diperhatikan, tidak akan disucikan oleh Allah pada hari kiamat, dan mereka mendapat siksa yang pedih” Kata Abu Dzar, “Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali” Abu Dzar bertanya, “Siapa mereka yang celaka dan merugi itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Orang yang melabuhkan pakaian, yang mengungkit-ungkit pemberian, dan menawarkan dagangannya dengan sumpah palsu.” (H.RMuslim, Shahih Muslim I:102)
23
ص الله� و�ل� س� ر� �ص�ر� �ب أ �ق�و�ل� ي �د� ر�ي الش� م�ع� س� �ه� �ن أ � ع�اص�م �ن� ب �ع�ق�و�ب� ي ع�ن�
الله� ... �ق� و�ات ك� ار� �ز� إ ف�ع� �ر� إ ف�ق�ال� ه� ار� �ز� إ �ج�ر- ي 0 ج�ال ر�
Artinya; Dari Yakub bin Ashim, bahwasanya ia mendengar asy-Syarid
berkata,“Rasulullah saw melihat seorang laki-laki sedang bersarung yang
menyapu tanah menarik sarungnya. Maka beliau bersabda, "Angkatlah sarungmu
itu dan bertaqwalah kepada Allah” (H.R Muslim)
0 ج�ال ر� ص الله� و�ل� س� ر� �ص�ر� �ب أ �ق�و�ل� ي �د� ر�ي الش� م�ع� س� �ه� �ن أ � ع�اص�م �ن� ب �ع�ق�و�ب� ي ع�ن�
الله� ... �ق� و�ات ك� ار� �ز� إ ف�ع� �ر� إ ف�ق�ال� ه� ار� �ز� إ �ج�ر- ي
Artinya; Dari Yakub bin Ashim, bahwasanya ia mendengar asy-Syarid
berkata,“Rasulullah saw melihat seorang laki-laki sedang bersarung yang
menyapu tanah menarik sarungnya. Maka beliau bersabda, “Angkatlah sarungmu
itu dan bertaqwalah kepada Allah” (H.R Ahmad)
Hadits-hadits tersebut seluruhnya mutlaq, yaitu tanpa di-taqyid (dibatasi)
dengan khuyala’a dan bathr (sombong), pokoknya isbal (melabuhkan pakaian di
bawah mata kaki) dan jarr (menggusur pakaian menyapu tanah) adalah terlarang
dan diancam dengan neraka. Selanjutnya kita perhatikan hadits-hadits yang
muqayyad dengan taqyid (pembatas) khuyala’a dan bathr (sombong)’
a. Dengan ungkapan jarr
. �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي � ال الله� �ن� ف�إ �ة� �ل ي �م�خ� ال � �ال إ �ك� �ذل ب �د� �ر�ي ي � ال ه� ار� �ز� إ ج�ر� م�ن�
Artinya; “Barangsiapa melabuhkan pakaian dengan maksud sombong,
sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat” (H.R
Ahmad)
24
Keterangan ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar sebagai berikut:
�ه� أ �ي �ل إ الله� �ظ�ر� �ن ي � ال �ء� �ال ي �خ� ال م�ن� �ه� �اب �ي ث �ج�ر- ي �ذ�ي� ال �ن� إ ق�ال� ص الله� و�ل� س� ر� �ن�
. �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي
Artinya; “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya orang
yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat.’” (H.R. Muslim, Al-Baihaqi, Ahmad, Ibnu Majah)
Maka sudah sudah jelas jika melabuhkan pakaian dilakukan karena ada
maksud kesombongan Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat dan akan
mendapat dosa yang besar.
b. Dengan ungkapan isbal
: . �ء� �ال ي خ� �ه� �ت ص�ال ف�ى ه� ار� �ز� إ �ل� ب س�� أ م�ن� ق�ال� ص �ي� �ب الن ع�ن� ع�ود� م�س� �ن� اب ع�ن�
� ام �ح�ر� ال و� ح�ل ف�ى الله� م�ن� �س� �ي .ف�ل
Artinya; Dari Ibnu Masud, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Siapa yang
melabuhkan sarungnya dalam salat karena sombong, maka ia di hadapan Allah
seperti orang yang tidak mengenal halal dan haram”. (Abu Daud) Dalam hadits
lain dengan redaksi;
: . �ص� �ق�م�ي و�ال ار� �ز� �إل ا ف�ى �ال� ب �س� اإل ق�ال� ص �ي� �ب الن ع�ن� �ه�� �ي ب� أ ع�ن� � �م ال س� ع�ن�
�ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي �م� ل �ء� �ال ي خ� 0ا �ئ ي ش� �ه�ا م�ن ج�ر� م�ن� �ع�م�ام�ة� و�ال
Artinya; Dari Salim, dari ayahnya, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Isbal
pada kain, gamis, dan imamah itu ialah orang yang menggusur suatu bagian dari
pakaian tersebut karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari
kiamat”. (H.R Abu Daud, An-Nasa’i)
25
وسلم عليه الله صلى الله� و�ل� س� ر� �ت� �ي �ت أ ق�ال� �م�ي� ي �ه�ج� ال � �م �ي ل س� �ن� ب �ر� اب ج� ع�ن�
:� ال الله� �ن� و�إ �ة� �ل ي �م�خ� ال م�ن� ار� �ز� اإل �ال� ب �س� إ �ن� ف�إ ار� �ز� اإل �ال� ب �س� و�إ �اك� �ي و�إ ق�ال�
�ة� �ل ي �م�خ� ال �ح�ب- ي
Artinya; Dari Jabir bin Sulaim Al-Hujaimi, ia berkata, “Aku mendatangi
Rasulullah saw Beliau bersabda, ‘...dan jauhilah olehmu melabuhkan pakaian,
karena melabuhkan pakaian itu termasuk sombong. Dan sesungguhnya Allah
tidak menyukai kesombongan.” (H.R Al-Baihaqi, Abu Daud)
Berdasarkan hadits-hadits di atas penulis dapat menyimpulkan, bahwa
isbal pada kain, gamis dan imamah yang menggusur suatu pakaian tersebut atas
dasar sombong, maka ia tiudak akan mendapat pertolongan dari Allah karena
Allah tidak menyukai kesombongan.
c. Dengan ungkapan wath’u
: �ار� الن ف�ى �ه� و�ط�ئ �ء� �ال ي خ� ار�ه� �ز� إ ع�لى� و�ط�ئ� م�ن� ق�ال� ص �ي�� �ب الن ع�ن� �ب� �ي ه�ب .ع�ن�
Artinya; Dari Hubaib r.a., ia mengatakan dari Nabi saw., beliau telah
bersabda, ”Barangsiapa menginjak kainnya karena sombong, maka kain itu akan
menginjaknya di neraka”. (H.R Ahmad)
Maka seseorang yang pakaiannya sampai terinjak kainnya dikarenakan ada
unsure kesombongan diibaratkan dia menginjakkan kakinya di neraka,
Keterangan-keterangan di atas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
isbal itu sama maknanya dengan wath’u dan jarr. Hanya yang menjadi persoalan,
apakah hadits-hadits secara mutlaq di atas dapat dipahami secara muqayyad?
Pihak pertama berpendapat bahwa dalil mutlaq dalam masalah ini tidak dapat
dipahami secara muqayyad, karena berbeda sebab dan hukumnya. Sebab yang
26
pertama adalah isbal secara mutlak, sedang yang kedua adalah isbal karena
sombong.
Seandainya isbal secara mutlak dijadikan sebab bagi hadis-hadis mutlaq di
atas, maka Nabi sendiri termasuk yang diancam oleh neraka, karena pakaian
beliau pun menyapu tanah ketika terjadi gerhana matahari demikian pula Abu
Bakar. Apakah dapat dinyatakan bahwa Abu Bakar adalah calon neraka karena ia
melakukan isbal tidak dengan sombong? Dan mengapa Rasulullah tidak
memerintahkan Abu Bakar agar menaikkan pakaiannya? Dapatkah kita
mengatakan bahwa Rasulullah membiarkan Abu Bakar masuk neraka? Tentunya
apa yang diperbuat oleh Rasulullah tidaklah termasuk perbuatan yang terkena
ancaman.
Oleh sebab itu, Ibnu Hajar berkata, “Dan di dalam hadits-hadits ini
(diterangkan) bahwa isbal (melabuhkan) kain karena sombong adalah termasuk
dosa besar. Adapun yang bukan karena sombong maka zhahirnya hadits-hadits
tersebut mengharamkannya pula. Namun kemutlakan ini harus ditetapkan
pengertiannya berdasarkan hadits yang sudah di-taqyid dengan khuyala’a (karena
sombong) yang diancam oleh Rasulullah saw. berdasarkan kesepakatan para
ulama. Maka isbal itu tidaklah haram apabila terlepas dari khuyala’a”. Imam Asy-
Syaukani juga menerangkan, “Maka ancaman yang tersebut pada bab ini tertuju
kepada yang mengerjakannya karena sombong”. (Nailul Authar, II:118.)
Dapat dipahami bahwa secara istilah suatu perbuatan dapat dikategorikan
Isbal dan pelakunnya disebut musbil apabila memenuhi washfun (sifat) sebagai
beikut:
27
a. Unsur mode, yaitu memanjangkan pakaian dan melabuhkannya hingga
tanah.
b. Unsur Motif, yaitu karena sombong.
c. Unsur aksi, yaitu idza masya (berjalan).
Karena itu tidak dapat dikategorikan Isbal secara istilah apabila:
a. Melabuhkan pakaian hingga menutup mata kaki/dibawah mata kaki, tanpa
berlabuh ke tanah.
b. Melabuhkan pakaian hingga tanah/lantai ketika berdiri atau tanpa berjalan.
c. Melabuhkan pakaian hingga tanah/lantai dan berjalan dihadapan orang lain
bukan atas dasar kesombongan.
Dengan demikian yang menjadi sebab larangan isbal itu bukan semata-
mata isbalnya, melainkan khuyala’a (sombong) pada saat melakukan isbal, jarr,
atau wath’u. Setelah dituturkan ayat-ayat dan hadis-hadis serta dilengkapi dengan
beberapa keterangan para ahli, maka nyatalah bahwa sombong merupakan sifat
tercela dan isbal, jarr, dan wath’u yang terlarang itu adalah yang berlatar
khuyala’a (sombong).
28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Isbal adalah melabuhkan pakaian melebihi mata kaki.
Sebagian golongan mengharamkan isbal karena banyak hadits yang
menjelaskan larangan isbal. Sebagian golongan lagi menghalalkan
isbal dan mereka juga memiliki argumen mengenai kebolehan isbal.
Kedua pendapat tersebut menggunakan hadits yang sama kuatnya.
Akan tetapi dari jenis hadits-hadits tersebut ada yang mutlaq (bebas)
ada yang muqoyyad (terikat).
Berdasarkan kaidah ushul fiqih tentang mutlaq dan muqoyyad:
29
و�اج�ب] �د� �م�ق�ي ال ع�ل�ى �م�ط�ل�ق� ال ح�م�ل�
Artinya; Mengambil makna yang mutlaq harus berdasarkan makna yang
muqoyyad.
Maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum isbal adalah mubah,
dan haram bila dalam memakainya disertai dengan kesombongan,
berdasarkan dalil-dalil yang bersifat muqoyyad. Seperti salah satu dalil
di bawah ini:
�ه� �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي � ال الله� �ن� ف�إ �ة� �ل ي �م�خ� ال � �ال إ �ك� �ذل ب �د� �ر�ي ي � ال ه� ار� �ز� إ ج�ر� م�ن�
. �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي
Artinya: Barang siapa melabuhkan pakaian dengan maksud
sombong, sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikannya pada
hari kiamat. (H.r. Ahmad, Musnad Imam Ahmad, II:45.)
Maka yang menjadi titik beratnya adalah karena sombongnya, isbal
maupun tidak isbal jika niatnya sombong maka ancamanya adalah api
neraka.
B. Saran
Bagi pihak lain yang akan memperdalam lagi hukum isbal menurut al-
qur’an dan as-sunah ini, mohon perbaikan dan masukan-masukannya apabila
dalam karya tulis ini terdapat kekeliruan.
Sedangkan bagi para pembaca, semoga setelah membaca karya tulis ini
dapat mengetahui hukum isbal yang sebenarnya dan dapat mengantisipasi
30
adanya percekcokan antara pihak yang bertentangan dan tentunya dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Zakaria, A. 2007. Haramkah Isbal dan Wajibkah Janggut. Garut: Ibnazka Press.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Mukhtasar Shahih Muslim. Rev 1.03.
kampungsunnah.org
As Sidokare, Abu Ahmad.2009. Shahih Bukhari. Pustaka Pribadi.
Jarullah, bin Abdullah. Jenggot Yes, Isbal No. Media Hidayah.
Muhammad Nabih, bin Walid. 2011. Isbal?. Pustaka At-Tibyan
31
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Sintia Nurrohmah Awaliah lahir di Sumedang pada
tanggal 13 Maret 1993 anak pertama dari pasangan
serasi Adang Saputra dan Nunung Herlina,
mempunyai tiga orang saudara yaitu Muhammad
Rizki Muzaki, Putri Gaisha Salsabila dan
Muhammad Rafi Nazdif As- Shiddiq. Beralamat di
Dusun Sukalialah rt. 05 rw. 01 Desa Cigendel
Kecamatan pamulihan Kabupaten Sumedang.
Pendidikannya dimulai di TK Cilembu pada tahun 1999, kemudian di SD
Sukalilah dan lulus tahun 2006. Selanjutnya masuk ke Pesantren Persatuan Islam
32
92 Majalengka, lulus tahun 2009. Kemudian beliau menempuh pendidikan tingkat
Mu’alimiem di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge hingga sekarang.
Sejak Tsanawiyyah kelas VII penulis sudah muali aktif di organisasi
sekolah yang bernama UG (Ummahatul Ghad) sebagai staf Publikasi, kemudian
menginjak kelas VII Tsanawiyyah penulis diamanahi sebagai Ketua UG. Ketika
masuk Mu’alimien kelas X penulis kembali menjadi staf UG di Pesantren
Persatuan Islam 40 Sarongge sebagai Qismu Dakwah, angkatan selanjutnya
penulis terpilih menjadi Sekretaris UG. Di samping itu juga Penulis juga menjabat
disalah satu bagian otonom PERSIS yaitu Pemudi sebagai Bidgar Kaderisasi.
Penulis adalah seorang aktifis, beliau kerap kali mengikuti seminar dan
training di berbagai instansi dan tak jarang penulis menjadi peserta terbaik
diantara ratusan peserta lainnya. Dan sekarang penulis sedang berupaya mencapai
salah satu cita-citanya, yaitu menjadi seorang Trainer sekaligus Motivator ulung.
Karena hobinya sejak remaja awal adalah berdiskusi mengenai hal-hal
yang fenomenal, dan sering kali memotivasi seseorang yang telah jatuh hingga
akhirnya ia bangkit dan bersemangat lagi, memotivasi seorang yang kurang
percaya diri menjadi seorang yang pemberani, membantu orang memecahkan
masalah, dan banyak lagi. Selain itu, penulis juga aktif mengisi seminar di
sekolah-sekolah/kampus dan pengajian ibu-ibu di berbagai jama’ah PERSIS
semenjak kelas tiga tsanawiyyah hingga sekarang.
Bagi yang ingin bersilaturrahim dengan penulis, mengundang penulis
sebagai Trainer/Motivator/Inspirator di lembaga; perusahaan/sekolah/komunitas
dan lainnya atau yang sekedar ingin sharing, diskusi. Silahkan hubungi langsung
33