Hukum hiliyah dalam...
Transcript of Hukum hiliyah dalam...
i
Hukum hiliyah dalam Al-Qur’an
(Perbandingan Tafsir F lil Qur’ n dan Tafsir Al-
Misbah Surat Al-Maidah [5]: 50)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
SAEFULLOH
NIM 11140340000187
Oleh:
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Saefulloh, NIM : 11140340000187
“HUKUM HILIYAH DALAM AL-QUR’AN.” (
lil Qu’ran dan Tafsir Al-Misbah Surat Al-Maidah [5]: 50)
Islam adalah Agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah SWT,
sebagaimana yang Allah katakan dalam firmannya, bahwa Islam satu-satunya
Agama yang telah Allah sempurnakan dan hanya Islamlah Agama yang Allah
ridhai, tentunya hal ini hanya dapat diterima oleh orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasulnya, serta kepada Al-Qur‟an yang merupakan kitab
hidayah, petunjuk hidup untuk umat Manusia. Al-Qur‟an hadir untuk memuliakan
manusia dari kejahiliyahan sebelum datangnya islam, Jahiliyah suatu term yang
tertulis dalam Al-Qur‟an, yang dalam masalah ini Allah mengecam perbuatan
Jahiliyah dalam berbagai bentuknya, perbuatan Jahiliyah sudah ada sejak zaman
diutusnya para Rasul baik dalam perkara hukum mau pun perilaku, maka
penelitian ini hadir untuk memperjelas makna Jahiliyah pada Al-Qur‟an surat Al-
Maidah ayat 50 yang sejatinya masih banyak perdebatan di dalamnya, perdebatan
ini muncul ketika term Jahiliyah di sangkut pautkan dengan negara yang
menganut sistem selain dari Islam, maka judul skripsi di ambil untuk mencari titik
temu terkait Hukum Jahiliyah yang terkandung dalam QS Al-Maidah ayat 50
yang memiliki latar belakang historis tertentu, dengan itu penulis menghadirkan
dua tafsir di dalam penelitian ini yang akan penulis uraikan pandapat masing-
masing mufasir terhadap QS Al-Maidah ayat 50 yang berbicara tentang hukum
Jahiliyah, tentunya dengan analisis penulis dan di perkuat oleh penapat-pendapat
yang lain, yang di tinjau dari berbagai sub yang berkaitan dangan tema ini juga
yang di anggap penting untuk di bahas.
Kata kunci: Hukum, Jahiliyah.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah Rasa syukur yang amat
sangat mendalam kepada Allah swt, atas segala limpahan rahmat dan kuasa-Nya
yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw
beserta kepada keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya yang telah
menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah,
penulisan skrpisi yang berjudul “Hukum Jahiliyah”, telah penulis selesaikan.
Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama
(S. Ag.) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk
itu saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:
1. Kepada Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.,
selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan
segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan
birokrasi.
3. Kepada Bapak Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu
Al-Qur‟an dan Tafsir, dan Bapak Dasrizal, S.S.i, MIS selaku wakil ketua
Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
vii
4. Kepada Bapak Dr. Mafri Amir, M.A selaku dosen penasehat akademik
yang selalu memberikan masukan dan arahan dari awal perkuliahan hingga
proses pemilihan akhi judul skripsi ini berlangsung.
5. Kepada Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar M.A selaku pembimbing
skripsi, terimakasih telah meluangkan waktunya dan mengerahkan segala
tenaga dan pikirannya, terimakasih telah membimbing penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
6. Kepada Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan
pencerahan dan ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap Staf
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terimakasih
atas sumber daya dan fasilitasnya.
7. Kepada Ayahanda H. Sholeh dan Ibunda Hj. Masnah tercinta yang tak ada
hentinya memberikan dukungan baik materi maupun non-materi, dan
kepada Istriku Rizqya Ma‟rifatun Nisa S.Pdi yang tak henti-hentinya
memberikan semangat doa serta dukungannya, dan kepada teman-teman
seperjuangan yang selalu memberikan semangat, Merekalah yang
senantiasa mendoakan dan memotivasi saya dalam penulisan skripsi ini
dan terus berkreasi
Akhirnya, pengaji berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat
bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah. Pengaji
menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana judul pada
pengajian ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun dan mengembangkan
skripsi ini sangat diharapkan.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................... iv
ABSTARAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 12
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian ................................ 13
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 14
E. Metode Penelitian....................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 16
BAB II KAJIAN TENTANG HUKUM DAN JAHILIYAH .................. 18
A. Pengertian tentang Hukum ......................................................... 18
1. Pengertian Hukum. ............................................................... 18
2. Fungsi Hukum. ..................................................................... 19
3. Sumber Hukum. .................................................................... 21
B. Penjelasan tentang Jahiliyah ...................................................... 24
1. Pengertian Kata Jahiliyah..................................................... 24
2. Bentuk Jahiliyah Bangsa Arab sebelum Datangnya Islam. . 25
ix
3. Wujud Perbuatan Jahiliyah. ................................................. 29
C. Pengertian Hukum Jahiliyah .................................................... 35
BAB III BIOGRAFI DAN CORAK PENAFSIRAN SEPUTAR FI ZILAL
AL-QUR’AN DAN AL-MISBAH .............................................................. 36
A. Penafsiran Fi zilal Al-Qur‟an ................................................... 36
1. Biografi Sayid Qutb. ............................................................. 36
2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Fi zilal Al-Qur‟an. ........... 39
3. Karakteristik Tafsir Fi zilal Al-Qur‟an ................................. 39
B. Penafsiran Al-Misbah. .............................................................. 41
1. Biografi Quraish Shihab. ...................................................... 41
2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah......................... 42
3. Karakteristik Tafsir Al-Misbah. ............................................ 43
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN SURAT AL-MAIDAH AYAT 50...47
A. Bunyi Teks Ayat. ...................................................................... 47
B. Asbabun Nuzul. ........................................................................ 48
C. Korelasi Ayat 50 dengan Ayat Sebelumnya. ............................ 51
D. Analisis Penafsiran Fi zilal al-Qur‟an dan Al-Misbah. ............ 53
1. Penafsiran Fi zilal al-Qur‟an................................................ 53
2. Penafsirsan Al-Misbah. ......................................................... 70
E. Komparasi antara dua penafsiran. ............................................. 74
BAB V. PENUTUP ..................................................................................... 77
A. Kesimpulan ................................................................................ 77
B. Saran ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 81
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158
Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/u/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:
No Arab Latin
Tidak Dilambangkan ا 1
B ب 2
T ت 3
ṡ ث 4
J ج 5
ḥ ح 6
Kh خ 7
D د 8
xi
Ż ذ 9
R ر 10
Z ز 11
S س 12
Sy ش 13
ṣ ص 14
ḍ ض 15
ṭ ط 16
ẓ ظ 17
„ ع 18
G غ 19
F ف 20
Q ق 21
xii
K ك 22
L ل 23
M م 24
N ن 25
W و 26
H ه 27
′ ء 28
Y ي 29
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda
(‟).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
xiii
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A ا
Kasrah I I ا
Ḍammah U U ا
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai A dan I ى ي
Au A dan U ى و
Contoh:
ي ف م Kaifa : ك Yauma : ي و
3. Vokal Panjang
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا atau ى Ā a dengan garis lurus di atas
و Ū u dengan garis lurus di atas
xiv
ي Ī i dengan garis lurus di atas
Contoh:
Māta : هبث
Ramā : رهي
Qīla : قيل
Yamūtu : يووث
4. Ta marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau
mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
ṭarīqah طريقت 1
al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah الجبهعت األسالهيت 2
Waḥdat al-Wujud وحدة الوجود 3
xv
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:
Kata Alih aksara
ب Rabbanā رب
ب Najjinā ج
Al-Ḥaqq الحق
Aduwwun„ عدو
Jika huruf ى ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah ( ى ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī). Contoh:
Alī (bukan „Alyy atau „Aly)„ : علي
Arabī (bukan „Arabyy atau „Araby)„ : عربي
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif lam
ma„arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti
biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah.
Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata
sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan
garis mendatar (-). Contohnya:
No Kata Alih Aksara
al- Syamsu bukan as-syamsu الشوس 1
xvi
al- Zalzalah bukan az-zalzalah الزلزله 2
al- Falsafah الفبسفه 3
al-Bilād البالد 4
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:
ta‟murūna : تأهروى
‟al-nau : الوء
syai‟un : شيء
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia,
atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut
cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟an (dari al-Qur‟ān), Sunnah,
khusus dan umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu
rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur‟ān
Al-Sunnah qabl al-tadwīn
xvii
Al-„Ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab
9. Lafẓ al- ā h (هللا)
Kata‚ Allah yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransli-terasi tanpa huruf
hamzah. Contoh:
dīnullāhi : ديي للا
billāhi : بب لل
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ al-Jalālah,
ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
hum fī raḥmatillāh : هن في رحوت للا
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri
didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak
pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul
xviii
referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi„a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan
`Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur‟ān
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Gazālī
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari al-Qur‟an bagi setiap muslim merupakan salah satu aktivitas
terpenting, bukan hanya sebagai bentuk ibadah, namun juga sebagai bagian dari
menjaga sanad keilmuan, seseorang yang mempelajari Al-Qur‟an akan
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT, bahkan Rasulullah saw menyatakan
bahwa:
خيرلم م حعلم القسآن وعلمه
“Sebaik-baik kamu adalah siapa yang mempelajari al-Quran dan
mengajarkannya” (HR. Bukhari).
Al-Quran adalah kitab yang memancar darinya aneka ilmu keislaman,
karena kitab suci itu mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian.
Kitab suci ini juga dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk yang
hendaknya dipahami.1
Sebagai sumber petunjuk bahkan sumber ilmu pengetahuan, al-Qur‟an
banyak sekali melahirkan konsep atau cara pandang (worldview) dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam khazanah keislaman, al-Quran melahirkan konsep-
konsep berupa aqidah (keyakinan), syariah (hukum) dan juga akhlak (pola sikap).
Misalnya frasa يوم اآلخر telah menjadi sebuah istilah yang mengandung konsep
aqidah, kata القصبص mengandung konsep dalam istilah syar‟i begitu juga frasa
1 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 1.
2
adalah sebuah konsep dalam bidang akhlak yang termaktub pada ayat الفس الوطوئت
al-Qur‟an.
Konsep dalam al-Qur‟an tersusun dalam bentuk-bentuk dan susunan
lafadz, baik berupa kata, frasa ataupun (klausa) kalimat. Lafadz tersebut berbahasa
Arab dan mengandung makna. Pada titik inilah ilmu tafsir menemukan
urgensinya. Bagaimana lafadz-lafadz tersebut bisa dipahami dengan benar sesuai
dengan kaidah penafsiran.
Dalam kesempatan ini peneliti ingin mencoba mengetengahkan tafsir
seputar konsep “Hukum Jahiliyah”. Pemilihan tema ini berangkat dari opini di
tengah masyarakat yang sampai saat ini masih ramai diperdebatkan. Sebagian
kalangan menganggap bahwa hukum yang kini diterapkan di Indonesia adalah
hukum jahiliyah. Misalnya dalam kutipan berikut:
“Jadi, barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah maka
hukum itu merupakan hukum jahiliyah. Sedangkan dalam sistem kehidupan
bermasyarakat dewasa ini seluruh negara di seluruh penjuru dunia berhukum
dengan selain hukum Allah. Dalam sistem demokrasi sumber hukumnya adalah
rakyat, berarti ia bukan hukum Allah alias hukum jahiliyah…! Kalau memang ada
satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa
dengan ajaran Islam atau bahkan memang bersumber dari ajaran Islam, tetap saja
itu tidak disebut hukum Allah. Ia tidak disebut hukum Allah karena ia sudah
dicampur dengan hukum buatan manusia”2.
2 https://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/hukum-allah-dan-hukum-
buatan-manusia. Diunduh pada 12 Maret 2019.
3
Pandangan bahwa hukum Indonesia tidak sesuai dengan syariat
memunculkan gagasan yang pro terhadap upaya penerapan syariat, misalnya
Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab mendesak penerapan hukum
syariat melalui jargon 'NKRI Bersyariah'. Konsep ini disebut bisa berdampingan
dengan Pancasila dengan menggandeng pula semangat Piagam Jakarta. "Kita
harus menerapkan hukum Al-Qur‟an. Kita harus berjuang menuju Indonesia
berkah, dan menegakkan NKRI bersyariah," cetusnya, melalui rekaman pidato
jarak jauhnya yang dikirim dari lokasi pelariannya di Arab Saudi, yang disiarkan
di hadapan massa Reuni Alumni 212, di Monas, Jakarta, Sabtu (2/12).3
Pada sisi yang lain terdapat kalangan yang menganggap bahwa hukum
Indonesia sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Berikut
beberapa pandangan tersebut:
Nurul Ghufron menyebutkan, sebenarnya negara ini sudah menerapkan
prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Misalnya saja dengan adanya mekanisme
check and balance rakyat bisa mengawasi kerja aparatur Negara. Bahkan antar
lembaga negara pun saling mengawasi. Negara juga menempatkan warga
negaranya di posisi yang setara. Selain itu, mekanisme pembentukan undang-
undang pun dilakukan dengan bermusyawarah. Misalnya saja dalam hal pember
antasan minuman keras, DPR merumuskannya dengan mengambil materi
substansi dari Al-Qur‟an dan hadits, melalui mekanisme musyawarah.4
3 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171202080637-20-259615/rizieq-dorong-
konsep-nkri-bersyariah-di-reuni-alumni-212. Diunduh pada 12 Maret 2019. 4 https://nasional.sindonews.com/read/1273325/13/hukum-nkri-sudah-sesuai-dengan-
syariat-islam-1515817002. Diunduh pada 12 Maret 2019.
4
Selain tidak bertentangan ada juga pandangan yang mengangap bahwa syariat
Islam telah terakomodir dalam perundang-undangan di Indonesia.
“Dalam konteks Indonesia, undang-undang secara hirarkis merupakan
turunan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya. Tidak sedikit undang-undang yang
mengakomodir nilai-nilai syariat Islam. Di antara undang-undang tersebut banyak
menyangkut persoalan bab hukum kekeluargaan Islam (ahwal syakhsiyyah dan
mu‟amalah) sebagaimana lazim dalam kitab-kitab fikih. Di antaranya adalah UU
Perkawinan No. 1/ 1974. Dengan demikian, tidak benar anggapan sebagian orang
bahwa hukum yang diatur dalam Negara Indonesia adalah produk kafir dan
menjadi kekafiran jika mengikutinya. karena memang dari sananya dan fungsinya,
undang-undang dibuat bukan lagi menyangkut persoalan perbedaan teologis”5.
Kajian terhadap pandangan hukum jahiliyah dalam konteks Indonesia juga
mengisi ruang diskusi akademik. Dalam beberapa literatur bisa kita temukan
argumentasi kelompok yang setuju (bahwa hukum Indonesia adalah hukum
jahiliyah) dan kelompok yang kontra.
Perdebatan tentang dasar negara merupakan perdebatan klasik yang sudah
ada sejak negara ini akan lahir, pada saat lahir bahkan hingga kini. Salah satu
momen terbesar dalam perdebatan dasar negara adalah sidang konstituante pada
tahun 1955, kalangan pro Islam tampak gigih memperjuangkan agar Islam
menjadi dasar negara. Berikut beberapa gambaran argumentasi tokoh-tokoh
Islamsis dalam upaya mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara;
5 https://islami.co/menaati-pemerintah-bukanlah-kekafiran. Diunduh pada 12 Maret 2019.
5
Dalam persidangan Hamka berkata: Ajaran Islam yang bersumber kepada
Qur‟an dan Sunnah, cukup memberi peringatan dan didikan kepada umat Islam.
Karena Islam adalah hukum dan undang-undang yang lengkap yang meliputi
segenap segi hidup dan kehidupan manusia, duniawi dan ukhrawi, ubudiyah dan
muamalah. Baik mengenai kehidupan orang-seorang (individu) maupun mengenai
masyarakat dan negara (gemeenschaft).6
Menjawab pertanyaan, ajaran dan hukum apa yang wajib dijalankan oleh
kaum muslimin, dasar dan ideologi apa yang wajib diperjuangkan oleh kaum
muslimin, Allah SWT berfirman dalam lembaran Al-Quran Al-Syarif:
ن م أ زه
ر م واح ه ىاء ه
ع أ ب
د ج
ه ول
صى الل
ها أ م م ب ه ن ي ب م
ن ن اح
وأ
سيد ا ي م هم أ
ل اع
ىا ف
ىل
ن ج ئ
ف و ي
ل ه إ
صى الل
ها أ ض م ع ب ىك ع ى خ ف ي
ض ذ ع ب م ب ه يب ص ن ي
ه أ
ىالل ق اط
ف
اض ل الى را م ي ث
ن ل وإ م ه ىب
ه
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.(Al-Maidah ayat 49)
Wala tattabi‟ahwa-ahum!
6 Hamka, Debat Dasar Negara Islam Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001),
h. 194.
6
Jangan kamu mengikuti nafsu orang banyak, karena orang banyak yang
hendak bertahkim bukan kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi kepada fikiran dan
perasaan manusia semata-mata.
Hukum keadilaan, haq dan hakikat, ukuran dan neraca penimbang, bukan
hanya ditentukan oleh otak dan fikiran manusia semata-mata, bukan hanya
ditentukan suara terbanyak mutlak semata-mata, tetapi harus bersumber dan tidak
bertentangan dengan ajaran dan hukum Qur‟an dan Sunah. Apa hukumnya orang
menggunakan undang-undang dasar dan ideologi tidak berdasarkan Kitabullah
dan Sunah Nabi?7
Dengan bahasa yang tegas Al-Qur‟an menjawab:
صىهم بما أ
م يحن
ل فسون وم
ن
ئو هم ال
ول
أه ف
الل
لمىنئو هم الظ
ول
أه ف
صى الل
هم بما أ
م يحن
ل وم
فظقىنئو هم ال
ول
أه ف
صى الل
هم بما أ
م يحن
ل وم
Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang di turunkan Allah
(Quran dan Hadits) maka mereka itulah orang-orang kafir.
Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan
Allah (Quran dan Hadits) maka itulah orang-orang zhalim.
7 Hamka, Debat Dasar Negara., h. 195.
7
Dan barang siapa yan tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan
Allah (Quran dan Hadits), maka itulah orang-orang yang fasiq. (QS. AL-Maidah
ayat 44,45, dan 47).
Kafir, Zalim, dan Fasiq
Kafir; jikalau orang menganggap hukum Allah (Quran dan Sunnah) itu
tidak patut dan tidak baik dipakai buat menjadi undang-undang dan dasar negara.
Kafir, jikalau orang menganggap ada lagi hukum dan peraturan yang lebih baik
daripada hukum dan peraturan Allah dan Rasul-Nya. Kafir jikalau ada orang yang
menganggap, jika menggunakan hukum dan dasar Islam, maka akan pecahlah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Zhalim; meletakan sesuatu tidak pada tempatnya. Zhalim, jikalau orang
menggunakan hukum dan dasar selain dari hukum Allah karena kebodohan atau
tidak mengetahui sama sekali.
Fasiq; jika orang mengetahui hukum Allah dan Rasul, tetapi tidak mau
menggunakannya karena perhitungan fikiran dan keinginannya sendiri.
Ayat-ayat tajam tegas yang saya baca di atas, bukan ucapan saya, bukan pula ayat
Nahdlatul Ulama (N.U), bukan ayat Partai Syarikat Islam Indonesia (P.S.I.I),
bukan ayat Persatuaan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), bukan ayat Partai Politik
Thariqat Islam (P.P.T.I) dan bukan ayat Aksi Kemenangan Umat Islam (AKUI),
tetapi Ayat Al-Qur‟an, firman Allah SWT, Tuhan yang diimani oleh sebagian
besar anggota Konstituante ini8.
8 Hamka, Debat Dasar Negara., h. 196.
8
Begitu tegasnya Allah memberikan peringatan dan cegahan kepada kaum
muslimin, supaya jangan menerima hukum selain dari hukum Allah dan Rasul-
Nya, Jangan mencari isme dan ideologi, selain dari ideologi dan ajaran Islam.
Jangan mengikut dan menurut hukum dan keyakinan, selan dari hukum dan
keyakinan Islam, Jangan membantu dan memperjuangkan ideologi yang bukan
keyakinan dan ideologi Islam.9
Mari kita dengarkan pertanyaan Al-Qur‟an dalam surat Al-Maidah ayat 50:
ه الل م حظ
أ ىن وم
ت يبغ جاهلي
م ال
حن
ف
ىم يىقىىنأ
ما لق
حن
Artinya: apakah mereka menghendaki hukum jahliyyah? Bukankah tidak
ada yang lebih baik dan adil selain dari hukum Allah, bagi kaum yang percaya?
Apakah hukum jahiliyah itu?
Hukum dan undang-undang yang menyimpang dan atau bertentangaan
dengan ajaran-ajaran Islam, menurut Al-Qur‟an di pandangan jahilyah.
Apakah pantas orang Islam memperjuangkan hukum jahiliyyah, menolak hukum
dan syariat Islamiyah?
Setiap orang Islam, laki dan perempuan yang mengaku beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, beriman kepada kitabNya wajib rela dan mau menjalankan
hukum Allah, dalam pribadinya, keluarganya, dan tetangganya, kampung halaman
dan qaryah-nya, wilayah dan daerahnya, negara dan bangsanya.10
Dalam kutipan-kutipan di atas nampak jelas besarnya visi kalangan tokoh
Islam dalam berjuang menjadikan Islam sebagai dasar negara, bahkan di antara
9 Hamka, Debat Dasar Negara., h. 196.
10Hamka, Debat Dasar Negara., h. 197.
9
argumentasi mereka terdapat konfrontasi menyerang Pancasila dan menolak
berhukum dengan hukum jahiliyah.
Dewasa ini, pasca reformasi ketika kebebasan bersuara terbuka lebar,
suara yang menginginkan Islam sebagai dasar negara kembali mengemuka. Hal
ini nampak di antaranya ketika mereka berani secara terbuka menolak sistem
politik demokrasi. Demokrasi dikatakan tidak bersumber dari Islam bahkan
bertentangan dengan Islam.11
Hal ini dapat di buktikan dengan mengkaji terkait
konsep demokrasi yang merupakan ideologi yang berasal dari barat.
Adapun kalangan muslim yang melakukan justifikasi demokrasi sebagai
bagian dari Islam dianggap simplistis, gegabah dan cederung menyesatkan. 12
Pada sisi yang lain kita juga mendapati kalangan yang menganggap bahwa
Indonesia dengan seperangkat hukumnya sudah sesuai dengan norma-norma
Islam. Pandangan ini di antaranya sejalan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid
seputar relasi antara negara dan Islam (syariah). “Saya ini orang NU (Nahdatul
Ulama). Jadi, saya mengikuti keputusan-keputusan di NU. Saya membiasakan diri
untuk tidak berfikir lain. NU pada 1935, sepuluh tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan, mengadakan mukhtamar ke-9 di Banjarmasin. Waktu itu ada dua
buah pertanyaan. Pertama, wajibkah bagi seorang muslim mempertahankan
kawasan Hindia Belanda yang notabene, waktu itu, diperintah oleh non-muslim
(Belanda)? Jawabannya adalah wajib. Sebab di kawasan ini dulu pernah ada
kerajaan Islam. Karena adanya kerajaan Islam itu, maka otomatis setelah dipegang
11
Farid Wadjdi dan Shiddiq al-Jawi, Ilusi Negar Demokrasi, (Bogor: Al-Azhar Press,
2009), h. 295. 12
Wadjdi dan al-Jawi, Ilusi Negar Demokrasi, h. 298.
10
orang lain pun, kaum muslimin di sini masih ingin menerapkan ajaran Islam.
Sebaliknya, kalau kawasan ini dipegang orang lain (non-Muslim), berbeda dari
yang memerintah sekarang, maka ada kemungkinan terdapat pelarangan untuk
melaksanakan syariah. Karena itu kawasan Hindia-Belanda tetap wajib di
pertahankan. Ini di ambil dari kitab Bughyat al- Murtasyidin.
Kedua, wajibkah adanya negara Islam untuk dapat melaksanakan syariah?
Jawabannya tidak wajib. Untuk melaksanakan syariat memang wajib. Tetapi
apakah dengan melaksanakannya harus dengan negara Islam atau bukan, itu
terserah. Perinsipnya adalah asal syariatnya bisa berjalan. Itu tugas ulama untuk
melaksanakannya, tetapi tanpa kekerasan. Berangkat dari pengertian tidak wajib
adanya negara Islam, maka otomatis mengandaikan sekularisme. Jadi, pandangan
NU dari awal sejak 1935 telah membolehkan sekularisme, Walaupun
sesungguhnya tidak sekular. Tidak sekular di sini dalam pengertian masih
menjalankan syariah. Ini berarti tidak sepenuhnya sekular.13
Pandangan yang mengarah pada sudah -Islam-nya dasar negara di
Indonesia juga seringkali keluar dari tokoh-tokoh intelektual muslim. Komaruddin
Hidayat, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, menyebutkan
bahwa banyak kemiripan antara piagam madinah era Rasulullah dengan Pancasila
dasar negara RI. Komaruddin beralasan, pertama masyarakat dan bangsa
Indonesia bersifat majemuk dan memiliki sejarah konflik, pertikaian dan perang
antar suku. Juga konflik antar komunitas Agama. Pancasila merupakan trobosan
13
Budhi Munawar Rachman (ed), Membela Kebebasan Beragama, (jakarta: The Asia
Fudation, 2011), h. 130.
11
fiosofis ideologi dan historis sebagai common denominator dan pemersatu bangsa
yang dilahiran melalui proses negosiasi dan partisipasi yang di ikuti oleh
komunitas suku dan agama yang ada di Indonesia. Kedua,isi dan semangat ke
lima sila itu mengajak masyarakat Nusantara tetap manjaga kearifan lokal yang
telah berjalan dan di anggap baik (al-ma‟ruf), namun dalam waktu yang sama di
ajak melakukan transendensi ketataran yang lebih tinggi, yaitu pemahaman,
keyakinan dan penghayatan akan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
beragam Agama memperoleh tempat terhormat dan sama dihadapan undang-
undang Negara.14
Jauh dari pada itu terdapat juga pandangan yang menjadikan gerakan yang
ingin penegakan syariat sebagai tantangan yang harus di antisipasi. Sebagaimana
Haedar Nasir Ketua Umum Persyarikatan Muhammadiyah menyatakan,
“kehadiran gerakan Islam syariat dengan karakter dan orientasi yang bercorak
„Salafiyah Ideologis‟ tersebut merupakan tantangan bagi kelompok gerakan Islam
moderat (arus tengah) atau arus utama dan kelompo-kelompok masyarakat lain
dalam membangun keseimbangan-keseimbangan di tengah kecendrungan yang
serba ekstrm, baik dalam kehidupan keagamaan mapun kebangsaan”15
Pergolakan pemikiran ini pun, terus berkembang terutama pasca suksesi
kepemimpinan Jakarta 2017. Isu syariah dan isu kepemimpinan Islam menjadi isu
yang senantiasa mengisi opini publik. Dalam kerangka inilah penulis ingin
menghadirkan kajian tentang tafsir “hukum jahiliyah” sesuai dengan analisa-
14
Komarudin Hidayat (ed), Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila,
(Bandung: Mizan Media Utama, 2014), h. 138. 15
Dr. Haedar Nasir, Islam Syariat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2013), h. 19.
12
analisa kajian tafsir yang penulis geluti. Namun, memperkaya prespektif dalam
kajian ini, penulis memilih kajian perbandingan dengan menghadirkan dua (kitab)
tafsir yang berbeda. pertama tafsir Fii Zhilaalil Qur‟an karya Sayyid Qutb, ia
oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tokoh fundamentalis yang banyak
menginspirasi gerakan aktifisme Islam (yg berbicara tentang Sayyid Qutb
fundamentalis). Kedua, penulis mengetengahkan tafsir al-misbah karya Quraish
Shihab dia merupakan tokoh intelektual pakar tafsir Indonesia yang pernah
terlibat langsung dalam pemerintahan Indonesia sebagai menteri agama di masa
pemerintahan Suharto.
B. Identifikasi Masalah, Rumusan dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa
masalah yang perlu di identifikasi dalam penelitian ini.
a. Banyaknya perdebatan dikalangan cendikiawan muslim terhadap isu
hukum jahiliyah yang mengatas namakan negara demokrasi.
b. Banyaknya ayat-ayat Al-Qur‟an yang melarang mengambil hukum selain
dari pada Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
2. Batasan Masalah
Agar dalam penelitian ini tersusun dengan baik dan rapi, maka perlu
dijelaskan pula batasan-batasan masalah yaitu, bahwa penulis akan membahas
ayat yang berbicara tentang hukum jahiliyah dan yang bersangutan tentangnya.
13
dengan menggunakan dua pandangan Mufassir yaitu Tafsir Fii Zilalil Quran
Karya Sayyid Qutb dan Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan-batasan masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis dapat menyilmpulkan rumusan-rumusan masalah sebagaimana berikut :
a. Bagaimana penafsiran Sayyid Qutb dan Quraish Shihab mengenai hukum
jahiliyah dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 50?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis rumuskan di atas, ada
beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul sekripsi ini :
1. untuk memberikan wawasan kepada para pembaca tentang penjelasan
tafsir QS Al-maidah ayat 50
2. untuk mengetahui sejauh mana penafsiran mereka tentang konsep hukum
jahiliyah.
3. Melatih berfikir ilmiah dan menganalisa masalah-masalah yang berlaku di
zaman Nabi, sahabat, tabi‟in sampai zaman ini, melalui penelitian
langsung kepada literatur yang ada.
4. Untuk memberi penerangan terhadap masyarakat tentang konsep jahiliyah.
5. Sebagai sumbangan ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dalam
kepustakaan Islam.
14
6. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar sarjana strata
(S1) pada jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir fakultas ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah jakarta.
D. Tinjauan kepustakan
Sebelum melakukan penelitian ini peneliti telah melakukan tinjauan
pustaka. Tinjauan ini dimaksudkan agar tidak terjadi plagiasi dan mengulang
penelitian yang terdahulu. Sejauh ini peneliti merujuk pada skripsi-skripsi yang
terkait dengan penafsiran konsep hukum jahiliyah. Peneliti membatasi diri pada
skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam kajian pustaka ini penulis belum
menemukan sekripsi yang membahas tentang H ukm al-J hiliyyah, namun penulis
menemukan karya yang memahas Jahiliyah dalam bentuk buku diataranya adalah:
Salah satu buku yang membahas tentang Jahiliyah adalah Jahiliyah abad dua
puluh yang ditulis oleh Muammad Quthb, buku ini membahas tentang Jahiliyah
moderen abad dua puluh, yang dimana penulis buku berupaya mebeberkan
kejahatan para pengabdi Thaghut yang tak segan-segan merusak mental dan moral
umat manusia.
Karya lain yang membahas tentang tema Jahiliyah adalah hasil penelitian
yang dilakukan oleh prof. Dr. Abd A‟la, M.Ag. yang berjudul Jahiliyah
Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan buku terseut menjelaskan tentang
Jahiliyah kontemporer dan pundmentalis serta terorisme dan aksi radikalisme
yang mengatasnamakan Agama.
15
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam pembahasan skripsi ini meliputi berbagai hal
sebagai berikut
1. Metode Pendekatan
Melalui metode ini, penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran
Al-Qur‟an dari segi tafsir Muqaran. Yakni, menghimpun ayat-ayat Alquran yang
memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis selama
memungkinkan dengan memperhatikan sebab turunnya, mengkomparasikan
antara dua Tafsir dan menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah tempat ia
berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan tersebut ke dalam kerangka
pembahasan sehingga tampak dari segala aspek, dan menilainya dengan kriteria
pengetahuan yang sahih.16
Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun tafsir
Alquran yang berkenaan dengan Hukum Jahiliyah, kemudian menyusunnya ber-
dasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat tersebut, sehingga diketahui
pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat Makkiyah atau Madaniyyah.
2. Metode Pengumpulan data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau teknik
library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-
literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Dan sebagai sumber
16
Abd. Al-Hayy al-Farmâwi, Al-Bidâyat Fi al-Tafsîr al-Mawdû‟I diterjemahkan oleh
Suryan A.Jamrah dengan judul Metode Tafs r Mawdhu‟iy (Cet.I:Jakarta: LSIK dan Raja Rafindo
Persada, 1994), hlm. 52.
16
pokoknya adalah kitab tafsir dan kaidah tafsir, serta sebagai penunjangnya yaitu
buku-buku ke Islaman yang secara khusus mengenai masalah yang dibahas.
3. Metode Pengolahan Data
Dalam pengolahan data penulis akan melakukan pendekatan kualitatif.
Untuk menemukan pengertian yang diinginkan, penulis mengolah data yang ada,
selanjutnya disajikan secara komprehensif sebagai bangunan konsep.
4. Metode Analisis
Pada analisis, penulis akan mencoba menggunakan tiga macam metode, yaitu :
1. Induktif, yaitu metode analisis yang berangkat dari fakta-fakta yang
khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
2. Deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan bahan atau teori
yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan diterapkan secara
khusus dan terperinci.
3. Komparatif, yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan mengadakan
perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudian menarik suatu
kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas lima bab. Bab pertama tentang pendahuluan. Bagian
ini terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
17
Bab kedua seputar kajian teori. Bagian ini tersusun dari konsep penafsiran dan
konsep seputar kajian seputar tema yang dibahas. Bab ketiga tentang tafsir ayat
yang menjadi objek pembahasan.
Berikutnya, dibab keempat akan dibahas analisis dengan melakukan
perbandingan tafsir ayat berikut analisa berdasarkan teori penafsiran. Terakhir
pada bab kelima akan dituangkan kesimpulan hasil analisa berupa konsep-konsep
penting seputar objek penelitian. Kemudian dalam bab ini akan disampaikan
rekomendasi kepada pihak yang berkaitan dengan hasil penelitian.
18
BAB II
KAJIAN TENTANG HUKUM DAN A - A
A. Penjelasan tentang Hukum
1. Pengertian Hukum
Salah satu upaya menjaga ketertiban, keadilan, kemakmuran, dan menjaga
stabilitas negara adalah dengan diberlakukannya hukum, bahkan majunya suatu
negara pun karena adanya hukum yang adil, dan hancurnya negara dapat dipicu
akibat tidak adanya keadilan hukum. Oleh karena itu hukum merupakan kontrol
bagi semua element masyarakat, mulai dari penguasa sampai rakyat jelata. Karena
hukum bukan hanya sebagai balasan atas tindak kejahatan yang harus diberikan
kepada para pelaku kejahatan, akan tetapi hukum sebagai sistem yang mengatur
dan memberikan pengawasan pada setiap orang yang berada di dalam sistem
tertentu.
Istilah „hukum‟ di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau ahkam
atau hukm yang mempunyai arti „hukum‟. Secara etimologis, istilah „hukum‟
(Indonesia), disebut law (Inggris), dan recht (Belanda dan Jerman), atau droit
(Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa Latin rectum berarti tuntunan atau
bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa Romawi adalah rex
19
yang berarti raja atau perintah raja. Istilah-istilah tersebut (recht, rectum, rex)
dalam bahasa Inggris menjadi right (hak atau adil) juga berarti „hukum‟.1
Secara bahasa hukum bermakna al-ilmu, al-fiqh, dan memutuskan dengan
adil, kata hukum adalah bentuk masdar dari kata hakama-yahkumu.Orang Arab
berkata; hakamtu, ahkamtu, hakkamtu yang berarti mana‟tu dan radadtu (saya
mencegah) oleh karena itu dikatakan bahwa hakim adalah orang yang mencegah
orang zalim dari perbuatan zalimnya. Al-Ashmai berkata al-hukumah bermakna
mencegah seseorang dari perbuatan zalim.2
2. Fungsi Hukum
Hukum sebagai alat kontrol masyarakat dan penguasa, maka itu Hukum
memiliki fungsi-fungsi yang merupakan bagian dari esensi Hukum itu sendiri.
Secara garis besar fungsi hukum dapat diklasifikasikan dalam tiga tahap yaitu:
a. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan
petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat.
Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-
normanya yang mengatur pemerintah-pemerintah ataupun larangan-
larangan, sedemikian rupa, sehingga warga masyarakat diberi petunjuk
untuk bertingkah laku. Masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa
1 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafka, 2013), h. 7.
2 Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, (Maktabah Syamila: Juz 12), h. 141
20
yang harus diperbuat atau tidak berbuat, sedemikian rupa sehingga
sesuatunya bisa tertib dan teratur.3
b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir
batin. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya
mengikat baik fisik maupun psikologis. Bisa penjatuhan hukuman nyata
dan takut berbuat yang merupakan kekangan. Daya mengikat dan bila
perlu memaksa ini adalah watak hukum yang bisa menangani kasus-kasus
nyata dan memberi keadilan, menghukum yang bersalah, memutuskan
agar yang hutang harus membayar dan sebagainya, sedemikian rupa,
sehingga relatif dapat mewujudkan keadilan.4
c. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya
mengikat dan memaksa dari hukum, juga dapat dimanfaatkan atau didaya
gunakan untuk menggerakan pembangunan. Hukum sebagai sarana
pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke
arah yang lebih maju. Dalam hal ini sering ada kritik atas fungsi hukum
sebagai alat penggerak pembangunan, yang dianggapnya melaksanakan
pengawasan perilaku dan mendesaknya, semata mata hanya kepada
masyarakat belaka sedangkan aparatur otoritas dengan dalih
menggerakkan pembangunan, lepas dari kontrol hukum. Sebagai imbalan
dari padanya bisa dilihat pada fungsi berikutnya.5
3 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1994), h. 153 4 Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu..., h. 154
5 Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu..., h. 155
21
Demikianlah hukum memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa sehingga di
dalam suatu kehidupan bermasyarakat, diharapkan terwujudnya ketertiban,
keteraturan, keadilan, dan perkembangan sedemikian rupa, sehingga dapat dijum-
pai masyarakat yang senantiasa berkembang. Agar hukum dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik dan seyogya, maka bagi pelaksana penegak hukum
dituntut kemampuan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum, dengan seni
yang dimiliki masing-masing, antara lain dengan menafsirkan hukum sesuai
keadaan dan posisi pihak-pihak sedemikian rupa. Bila perlu dengan menerapkan
penafsiran analogis (menentukan kebijaksanaan untuk hal yang sama, atau hampir
sama), serta penghalusan hukum, bagi tercapainya kebijaksanaan yang konkrit. Di
samping itu perlu diperhatikan faktor pelaksana penegak hukum, yang dibutuhkan
kecekatan dan ketangkasan serta keterampilannya. Ingat yang penting adalah the
singer but not the song. Si penyanyi adalah semua insan di mana hukum berlaku
baik warga masyarakat ataupun para pejabat, termasuk para penegak hukum.6
3. Sumber Hukum
Ada beberapa sumber Hukum yang menjadi landasan konsep terbentuknya
hukum yang menjadi konsensus bersama, ada yang dibuat berdasaran akal pikiran
manusia dan ada yang berlandaskan wahyu, namun keduanya dapat dinyatakan
hukum apabila memiliki sumber-sumber yang telah di sepakati dalam ilmu
hukum, baik dalam prspektif ilmu hukum atau dalam hukum Islam.
6 Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu..., h. 155
22
Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Hal
yang dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana
berasalnya isi norma hukum.7
Sumber-sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang
digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.8 Istilah sumber
hukum mengandung banyak pengertian.9 Istilah itu dapat dilihat dari segi historis,
sosiologis, filosofis, dan ilmu hukum. Masing-masing disiplin mengartikannya
dari perspektifnya terhadap hukum. Sejarawan, sosiolog, filsuf, dan yuris melihat
hukum dari masing-masing sudut pandangnya. Bagi sejarawan dan sosiolog,
hukum tidak lebih dari sekadar gejala sosial sehingga harus didekati secara
ilmiah.10
Filsuf dan yuris, sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan
aturan tingkah laku dan sistem nilai.
Beda halnya dengan Islam, Islam memiliki sumber Hukum yang khas yang
tidak berasal dari sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan di atas. Sumber-
sumber hukum Islam ialah:
a. Al-Qur‟an
b. Hadits Rasulullah saw
7 Sugiarto, Pengantar Hukum...,h. 39
8 CE. tohn Chipman Gray yang membedakan antara hukum dan sumber-sumber hukum
yang olehnya diartikan sebagai bahan-bahan hukum dan nonhukum tertentu yang digunakan oleh
hakim karena tidak tersedianya aturan sehingga putusun itu menjadi hukum. Edlgar Bodenheimer,
Op. cit. h. 270 dalam buku Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h. 255 9 G.W Paton, Op. cif, h. 188 dalam buku, Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h. 255
10 P. van Dijk, et al, Op. cit., h. 65, dalam buku, Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h. 255
23
c. Ijma‟
d. Qiyas
e. Ijtihad
Sumber hukum Islam yang pertama ialah Al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah
kumpulan wahyu Allah swt. yang disampikan kepada umat dengan perantara Nabi
Muhammad saw. Al-Qur‟an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan
hukum yang sudah lengkap, untuk penjelasan dari Al-Qur‟an ini maka selalu
didapati dalam Sunah Nabi, bagaimana memakai atau melaksanakan hukum yang
tercantum dalam Al-Qur‟an.11
Jika suatu nash hukum tidak didapati di dalam Al-
Qur'an atau Sunnah barulah dipergunakan ijma', yaitu pendapat ulama-ulama atau
ijtihad, pendapat seorang ulama atau dengan qiyas, membanding sesuatu dengan
yang sudah pasti hukumnya.12
Meletakkan basis moral Al-Qur'an telah dilakukan
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan (tentunya ilmu pengetahuan hukum)
sejak berabad silam oleh intelektual Muslim. Al-Qur'an mengajak manusia untuk
mengembangkan konsep rasionalitas. Pengembangan ilmu pengetahuan melalui
wahyu yang terdapat dalam Al-Qur'an telah dilakukan sejak berabad silam.13
11
Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (jakarta: SINAR GRAFIKA, 1995), h. 61 12
Ibrahim lubis, Agama Islam Suatu Pengantar (jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 118,
dalam buku Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, h. 61 13
Fokky Faud Wasitaatmadja, Filsafat Hukum, (jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015),
h. 13
24
B. Penjelasan tentang Jahiliyah
1. Pengertian Kata Jahiliyah
Kata Jahiliyah pada dasarnya memiliki makna yang negatif ditelinga
banyak orang, karna jahiliyah merupakan perilaku yang buruk dan bertentangan
dengan kebenaran yang mengambarkan sebuah kehidupan yang jauh dari petunjuk
pada umumnya. Secara istilah kata Jahiliyah adalah kondisi di mana bangsa Arab
pra-Islam yang tidak mengenal Allah Swt, tidak mengenal Rasulullah Saw dan
juga tidak mengenal syariat-syariatnya, membanggakan nasab, angkuh, sewenang-
wenang dan lain sebagainya.14
dalam istilah yang lebih konkrit, Jahiliyah adalah
penyelewengan manusia dari kewajiban berbakti dan bersembah sujud kepada
Allah yang Maha Benar, yaitu kebaktian dan sembah sujud yang mencerminkan
kepatuhan manusia kepada hukum Allah dalam semua urusan hidupnya.
Penyelewengan manusia terhadap tuhannya pasti akan mengakibatkan terjadinya
kekacauan dan perpecahan, kekacauan tata kehidupan, kekacauan fikiran dan
kekacauan hubungan manusia dengan tuhannya, dengan alam, dengan kehidupan
sekitarnya dan dengan sesama manusia.15
Mereka mengenal Allah, tetapi mereka
tidak membuktikan pengenalannya itu dengan konsekuensi yang wajar, logis dan
yang tidak boleh tidak harus diwujudkan dalam perbuatan nyata. Mereka
mengenal Allah, tapi bersaman dengan itu mereka memuja dan menyembah
“tuhan-tuhan” yang lain. Jadi kepercayaan mereka itu sama sekali tidak lurus dan
14
Ibn Manzur, lisan Aarab, (Maktabah syamilah: juz 11), h. 130 15
Muhammad Quthb, Jahiliyah Abad Dua Puluh, (Bandung: Mizan, 1985), h. 57
25
tidak sehat. Mereka mengenal Allah, tetapi mereka tidak melaksanakan syari‟at-
Nya dan tidak mematuhi ketentuan-Nya dalam segala urusan mereka.16
2. Bentuk Jahiliyah bangsa Arab sebelum datangnya Islam
Kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw bagaikan jalan di malam hari tanpa cahaya yang
meneranginya, pola hidup yang jauh dari fitrah manusia, yang sesungguhnya
sangat jauh dari mereka, pada saat itu kehidupan mereka begitu rusak, tidak
mengenal baik dan buruk, antara yang haq dan yang batil, halal dan haram, itu
semua tidak pernah mereka fikirkan dalam kehidupannya. Sehingga jalan
kehidupannya bagaikan berjalan di gelapnya malam yang tidak ada petunjuk arah
dan rambu-rambu dalam kehidupannya. Bentuk kejahiliyahan mereka bukan
hanya pada tarap ketuhanan, namun juga pada aspek-aspek sosial, akhlak,
ekonomi, dan sebagainya. Banyak sekali perbuatan-perbuatan mereka yang tidak
mencerminkan layaknya manusia, melakukan kesirikan menyembah patung,
mengagungkan keturunan, hobi berperang, bahkan mengubur bayi perempuan
yang dianggapnya sebagai aib, kehidupan seperti itu lah yang dikatakan Jahiliyah
karna tidak adanya aturan yang suci yang dapat mengatur mereka.
Pertama kondisi sosial: Di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas
masyarakat, yang kondisinya berbeda satu sama lain. Hubungan seseorang dengan
keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan,
16
Quthb, Jahiliyah Abad..., h. 59
26
dihormati, dan dijaga, sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah
yang tertumpah. Jika seseorang ingin dipuji dan terpandang di mata bangsa Arab
karena kemuliaan dan keberaniannya maka dia harus banyak dibicarakan kaum
wanita, Jika sescorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan
beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika mau dia bisa menyalakan api
peperangan dan pertempuran di antara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki
tetap dianggap sebagai pemimpin di tengah keluarga, yang tidak boleh dibantah
dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus
melalui persetujuan wali wanita. Seseorang wanita tidak bisa menentukan
pilihannya sendiri.17
Di kalangan bangsa Arab masa itu, wanita hanyalah sebagai
barang dagangan yang dapat diperjualbelikan, tidak memiliki hak pribadi maupun
hak sosial termasuk hak untuk mewarisi.18
Kedua; Kondisi ekonomi: Kondisi ekonomi mengikuti kondisi sosial,
yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab. Perdagangan merupakan
sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jalur
perdagangan tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang
kendali keamanan dan perdamaian. Sementara itu kondisi yang seperti ini tidak
terwujud di Jazirah Arab kecuali pada bulan-bulan suci. Pada saat itulah dibuka
pasar-pasar Arab yang sangat terkenal, seperti Ukazh, Dzil-Majaz, Majinnah, dan
lain-lainnya Tentang perindustrian atau kerajinan, mereka adalah bangsa yang
paling mengenalnya. Kebanyakan hasil kerajinan yang ada di Arab seperti jahit-
17
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (jakarta: PUSTAKA
KAUTSAR, 2008), h. 31 18
Ja‟far Subhani, Ar-Risalah, (jakarta: LENTERA BASRITAMA, 1996), h. 23
27
menjahit, menyamak kulit dan lain-lainnya berasal dari rakyat Yaman, Hirah, dan
pinggiran Syam. Sekalipun begitu di tengah jazirah ada pertanian dan
penggembalaan hewan ternak. Sedangkan wanita-wanita cukup menangangani
pemintalan. Tetapi kekayaan-kekayaan yang dimiliki bisa mengundang pecahnya
peperangan. Kemiskinan, kelaparan, dan orang-orang yang telanjang merupakan
pemandangan yang biasa di tengah masyarakat.19
Ketiga; kesyirikan: Golongan orang-orang Arab tersebut belakangan itu
(yakni yang menyekutukan Allah dengan tuhan tuhan lain) bertambah kuat
kepercayaannya, makin terbenam dalam kejahiliyahan, mengejawantahkan selera
keberhalaan dalam bentuk benda-benda yang dapat diraba dengan panca-indera
sesuai dengan akal fikiran mereka, sehingga keyakinan seperti itu menjadi rata
dan menguasai kehidupan mereka. Sedangkan orang -orang yang masih berfikir
dapat membedakan antara tuhan-tuhan dan perantara-perantara dianggap ganjil di
kalangan bangsa itu dan hanya terdiri dari orang-orang lapisan terdidik.20
Bangsa Arab sedemikian jauhnya tenggelam dalam penyembahan berhala
dalam bentuknya yang paling buruk Masing-masing kabilah ditiap daerah atau
kota mempunyai berhala sendiri-sendiri, bahkan tiap rumah atau keluarga
mempunyai berhala khusus. Mengenai hal itu Al-Kalbiy mengatakan: Ketika itu
masing-masing keluarga mempunyai berhala di dalam rumahnya untuk disembah-
sembah. Apabila salah seorang dari keluarga itu hendak bepergian, perbuatan
terakhir yang dilakukan di rumahnya ialah mengusap-usap berhalanya. Begitu
19
Mubarakfury, Sirah..., h. 34 20
Abul Hasan Ali Al-Hasany An-Nadawy, Kerugian Apa Yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, (Bandung: Percetakan Offset, 1983), h. 72
28
juga pada saat mereka baru datang dari bepergian, yang dilakukan pertama-tama
di rumahnya ialah mengusap-usap berhala. Orang-orang ketika itu sangat kegila-
gilaan dalam penyembahan berhala, sehingga di antara mereka ada yang membuat
rumah- rumahan dan ada pula yang membuat patung-patung sembahan, untuk
dijadikan berhala-berhala. Orang yang tidak mampu membuat patung-patung atau
rumah-rumahan, cukup dengan memancangkan sebuah batu besar di depan Ka'bah
atau di depan tempat lain yang dipandangnya baik, kemudian ia berjalan
mengelilinginya (thawaf) seperti orang berthawaf di sekitar Ka'bah Upacara
kebaktian seperti itu oleh mereka disebut dengan nama “Al-Anshab”.21
Sama halnya dengan setiap bangsa yang menyekutukan Allah di zaman
apa pun dan tempat mana pun juga, orang-orang yang menerima berbagai macam
tuhan. Ada yang mempertuhankan Malaikat, mempertuhankan Jin,
mempertuhankan binatang-binatang dan lain sebagainya. Mereka mempunyai
kepercayaan, bahwa para Malaikat adalah anak-anak perempuan Tuhan,
karenanya, mereka menyembah Malaikat agar dapat memberikan syafa'at
(pertolongan) di hadirat Allah, atau untuk dijadikan perantara dalam mendekatkan
diri kepada-Nya. Mereka juga mempersekutu- kan jin dengan Allah, mempercayai
kekuasaan dan pengaruhnya., lantas mereka sembah-sembah.22
Keempat; Akhlak dan Moral: memang kita tidak memungkiri bahwa
ditengah kehidupan orang-orang Jahiliyah banyak terdapat hal-hal yang hina,
amoraitas, dan masalah-masalah yang tidak bisa diterima oleh akal sehat dan tidak
21
Kitabul Ashnam, h. 33, dalam buku An-Nadawy, Kerugian Apa Yang Diderita.., h. 73 22
An-Nadawy, Kerugian Apa Yang Diderita.., h. 74
29
disukai manusia.23
Di bidang akhlak, mereka sudah kejangkitan penyakit sangat
parah dan sebab-sebab pendorongnya pun merata di mana-mana. Minuman keras
sangat digemari hampir oleh semua orang dan mendarah-daging di kalangan
orang-orang Arab. Para penyair di kalangan mereka banyak sekali yang berbicara
tentang kelaziman orang-orang Arab berkumpul-kumpul untuk berpesta-pora
dengan minuman keras. Kebiasaan membangga-banggakan minuman keras
terdapat di dalam syair-syair dan sejarah kesusasteraan mereka. Di dalam bahasa
mereka, minuman keras mempunyai bermacam-macam nama dan jenis. Tidak
sedikit pula seruan-seruan yang dikumandangkan secara teliti dan terperinci untuk
mengajak orang supaya mengagumi minuman keras.24
3. Wujud perbuatan Jahiliyah
Turunnya Al-Qur‟an bukan hanya sebagai pedoman untuk melaksanakan
ubudiyah kepada Allah, namun yang paling utama ialah sebagai petunjuk Aqidah
yang benar dan diridhai oleh Allah dengan agama yang paling benar yakni Islam,
dengan adanya Al-Qur‟an sebagai petunjuk umat manusia yang yakin atasnya. Al-
Qur‟an hadir untuk mengembalikan fitrah manusia yang sesungguhnya, mencegah
manusia dari perbuatan yang keji, dan menyeru pada yang ma‟ruf. Membedakan
manusia yang sebelum datangnya Al-Quran.
23
Mubarakfury, Sirah..., h. 37 24
Kitab Al-Mukhashuhash, Jilid XI, h. 82-101 dalam buku An-Nadawy, Kerugian Apa
Yang Diderita.., h. 76
30
Penulis menemukan sebanyak empat kali kata Jahiliyah dalam
konteksnya yang berbeda. Masing-masing menjelaskan tentang keyakinan,
sistem, perilaku dan watak yang semua hal tersebut merupakan perkara yang
dikecam dalam Islam. Untuk lebih jelas, penulis uraikan ayat-ayat tersebut
beserta penjelasannya.
1. Kepercayaan
Allah berfirman,
د ق
ت
ائف
م وط
مىن
ت
ائف
ى ط
ص
عاطا يغ
و
مىت
م أ
غ
بعد ال م م
ين
صى عل
هم أ
ث
مس لا ىا م
ىن هل ل
ت يقىل جاهلي
ال
حق ظير ال
ه غ
ىن بالل ى
فظهم يظ
هتهم أ هم
أ
يء ق
ش ان م
ى م
ىن ل
و يقىل
يبدون ل
فظهم ما ل
هفىن في أ
ه يخ
ه لل
لمس م
ل إن لا
يهم خب عل
ل ري
برش ال
م ل
ىخم في بيىجن
ى ل
ل ل
ىا هاهىا ق
خل
يء ما ق
مس ش
لا ىا م
ل
ى مضاجعخل إل
ق
ه ال
م والل
ىبن
لص ما في ق م وليمح
ه ما في صدوزل
هم وليبخلي الل
دوز اث الص عليم بر
“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu
keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang
segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka
yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata:
“Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?”
Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka
menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan
kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak
31
campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan)
di sini”. Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-
orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat
mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada
dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah
Maha Mengetahui isi hati (QS. Ali „Imran : 154)
Terkait ayat ini imam Al-Qurthubi mengatakan ayat ini menerangkan
bahwa Allah SWT mengaruniakan kepada orang-orang yang beriman setelah
mereka merasakan kiesedihan pada perang Uhud yaitu rasa ngantuk sehingga
sejumlah besar dari mereka tertidur. Sesungguhnya orang yang merasa ngantuk
itulah orang yang merasa aman, sedangkan orang yang tidak bisa tidur itulah
orang yang merasakan takut.25
Orang yang senantiasa percaya dan beriman
kepada Allah maka akan selalu mendapatkan rasa aman dan tentram dalam
keadaan apa pun, kecuali orang-orang yang merasakan kecemasan dalam hatinya,
mereka memiliki prasangka yang buruk kepada Allah seperti sangkaan orang-
orang jahiliyah.
2. Sistem Hukum
Allah berfirman,
بعض ن يفخىىك عزهم أ
هىاءهم واحر
بع أ
د ج
ه ول
صى الل
هم بينهم بما أ
ن احن
وأ
ىبهم هن يصيبهم ببعض ذ
ه أ
ما يسيد الل ه
م أ
اعل
ىا ف
ىل
ئن ج
يو ف
ه إل
صى الل
هما أ
25
Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami‟ li Ahkaam Al Qur‟an, penerjemah, Dudi Rosyadi,
Nashirul Haq, Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), h. 602.
32
ثياطقىنوإن ل
ف
اض ل الى (94)را م م حظ
أ ىن وم
ت يبغ جاهلي
م ال
حن
ف
أ
ىم يىقىىن)ما لق
ه حن
(05الل
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 49-50)
Ayat ini berbicara tentang aturan dan sistem hukum, aturan atau sistem
yang ada dalam Al-Qur‟an sebuah perkara yang Haq, dan tidak ada kebatilan
sedikitpun, namun ayat ini memberikan kecaman keras terhadap orang-orang
yang tidak berhukum dengan kitabullah dengan sebutan jahiliyah, jahiliyah
sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Qutb ialah hukum yang di buat oleh
manusia yang tidak berlandaskan Al-Qur‟an dan untuk mengatur kehidupan
manusia.26
3. Perilaku
26
Sayyid Quthb, Fi- hilalil Qur‟an, jilid II, (Beirut: Dar As-Syuruuq), h. 904.
33
Allah berfirman,
اة
م وآجين الص
ة
ل الص قم
ى وأ
ول
ت لا جاهلي
برج ال
ج ج بر
ج
ول
سن في بيىجنوق
بيذ هل ال
جع أ م الس
هب عىن
ه لير
ما يسيد الل ه إه
ه وزطىل
الل طع
م وأ
سل ه
ويط
هيراط
(33)ج
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab : 33)
Ayat ini berisi tentang larangan terhadap kaum wanita untuk tidak
bertingkah laku tabarruj layaknya seperti orang-orang jahiliyah, Ibnu Abu
Syaibah menuturkan dari Ibnu Mas‟ud ia berkata, kaum wanita seluruhnya
hendaknya tinggal di dalam rumah, karena mereka merupakan aurat. Karena
setiap keluarnya wanita dari rumahnya, maka syetan selalu mengawasinya dan
berkata “Kamu tidak akan melewati seseorang kecuali mereka akan kagum
kepadamu”.27
27
Ibnu Mas‟ud, Tafsir Ibnu Mas‟ud Jam‟wa Tahqiq wa dirasah, Penerjemah, Ali Murtadho
Syahudi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 809.
34
4. Watak
Allah berfirman,
ت حمي
ت حمي
ىبهم ال
لسوا في ق
ف
ل ري
جعل ال
ى إذ
خه عل
ه طنيي
صى الل
هأت ف جاهلي
ال
له به
ان الل
ها وم
هل
حق بها وأ
ىا أ
اه
قىي وم الخ
لمت
صمهم م
لمىين وأ
ؤ ى ال
زطىله وعل
يء عليما
(62)ش
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka
kesombongan (yaitu) kesombongan (hamiyyah) jahiliyah lalu Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah
mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan
kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS. Al-Fath : 26)
Ayat ini menggambarkan watak buruk orang-orang kafir kepada Allah
berupa kesombongan hamiyyah, yaitu kesombongan jahiliyah, sifat sombong
tergolong kedalam prilaku jahiliyah. dalam ayat ini dijelaskan orang-orang kafir
menggertak dan marah-marah setiapkali pembukaan menggunakan lafaz
basmalah, mereka dengan telitinya menolak penggunaan lafaz basmalah.28
28
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali, Penerjemah, Ali Audah, (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2009), h. 1341.
35
C. Pengertian Hukum Jahiliyah
Hukum Jahiliyah secara umum adalah segala bentuk Hukum yang tidak
berlandaskan dengan Aturan yang ada dalam Al-Qur‟an, Artinya adalah setiap
aturan dan bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
Al-Qur‟an. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa‟di dalam tafsirnya, Menurutnya hukum Jahiliyah adalah semua hukum yang
bertentangan dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Karena
pilihan yang ada hanya hukum Allah dan Rasul-Nya atau hukum jahiliyah.29
Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang
mengatakan bahwa hukum jahiliyah adalah mereka mengikuti hukum yang lain
berupa akal, hawa nafsu, istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa ada
sandaran syariat Allah. Hal ini sebagaimana orang-orang jahiliyah yang berhukum
dengan kesesatan dan kebodohan, dan hukum-hukum yang mereka buat
berdasarkan akal dan hawa nafsu mereka.30
29
Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di, Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan,
(Jakarta: Darul Haq, 2013) 30
Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katir Jilid II, penerjemah Suharlan, (Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2012), h. 636.
36
BAB III
BIOGRAFI DAN CORAK PENAFSIRAN SEPUTAR A -
QUR’ N AN A -MISBAH
A. Penafsiran Fizilal Al-Qur’an
1. Biografi Sayid Qutb
Sayyid Qutb dilahirkan pada tangal 9 bulan Oktober tahun 1906
dikampung Mousyah kota Asyut, Mesir dengan nama lengkapnya Sayyid bin Al-
Hajj Quthb bin Ibrahim Husein Syazalia.1 Ayah Qutb bernama al Hajj Qutb bin
Ibrahim, seorang petani yang terhormat relatif berada dan menjadi anggota
Komisaris Partai Nasionalis di desanya. Rumahnya dijadikan markas bagi
kegiatan politik partainya. Di situ rapat-rapat penting diselenggarakan, baik yang
dihadiri oleh semua orang, maupun yang sifatnya rahasia dan dihadiri oleh orang-
orang tertentu saja. Lebih dari itu, rumah ayah Qutb juga menjadi pusat informasi
yang selalu didatangi oleh orang-orang yang ingin mengikuti berita-berita
nasional dan internasional dengan diskusi-diskusi para aktivis partai yang sering
berkumpul disitu atau untuk tempat membaca koran.2
Ibunya (Sayyid Qutb) berasal dari keluarga terkemuka dan taat beragama
pula. Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelebihan sekaligus, kaya dan
1 Shalah Abdul Fatah, Ta‟rif ad-Darisin bi Manahaji al-mufassirin, (Damaskus, Dar al-
Qolam 2002 M- 1423h), h.597, dalam Faizah Ali, Jauhar, Membahas kitab...,h. 131. 2 Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema
Insani,2005), h.16.
37
berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang Ashari (berpendidikan al-Azhar).3 Ibunda
Sayyid Qutb sangat mendambakan agar anak-anaknya segera menjadi pria
matang. Oleh sebab itu, Sayyid Qutb tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari
sifat kekanak-kanakan, bahkan di saat usianya yang masih belia. Sayyid kecil
berhasil menembus ruang keluhuran jiwa yang ditanamkan ibu sejak masih kanak-
kanak hingga menghindar sejauh-jauhnya dari perilaku yang bersifat kekanak-
kanakan.4 Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Tiga di antaranya
perempuan dan dua lainnya laki-laki. Urutan persaudaraan mereka adalah,
Nafisah, Sayyid Quthb, Aminah, Hamidah dan Muhammad Quthb. Semua
saudara Sayyid Quthb ketika dewasa adalah aktivis pergerakan Islam.5 Sayyid
Qutb memulai pendidikannya secara formal di desanya sendiri sampai ia tamat
ibtidaiyah dan hafal Al-Qur‟an pada usia sepuluh tahun. Pada tahun berikutnya
beliau berangkat dari desanya menuju ke Kairo untuk melanjutkan studinya ke
jenjang i‟dadiyah (SMP) dan tsanawiyah (SMA). Kemudian pada tahun 1930 ia
menjadi mahasiswa di Daarul Ulum tepatnya di Fakultas Adab. Pada tahun 1933
beliau berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar Licence (Lc).
Semasa kuliah inilah Qutb mempelajari serta mendalami bidang adab dan keritik
sastra, aktif dalam kegiatan akademik, ekstrakulikuler dan keorganisasian.
Tulisan-tulisannya banyak diterbitkan dalam koran dan berbagai majalah. Ketika
3 Ridjaluddin. FN, Teologi sayyid Quth, (Jakarta: pusat kajian islam), h. 12.
4 Khalidiy, Biografi Sayyid Qutb, Sang Syahid yang Melegenda, h. 49
5 Adib Hasani, jurnal, Kontradiksi dalam Konsep Politik Islam Eksklusif Sayyid Qutb,
Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, h. 5
38
usianya mencapai empat puluh tahun Qutb dikenal sebagai kritikus sastra
ternama, bukan hanya di Mesir bahkan di seluruh negara Arab.6
Setelah lulus kuliah, Qutb diangkat menjadi guru di kementerian
pendidikan Mesir “Dar al-Ma‟arif.” Pada saat beliau bekerja sebagai pengawas
sekolah di Departemen Pendidikan tepatnya tahun 1948, Kembali ke Mesir pada
tahun 1950. Ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam
pengetahuannya dibidang pendidikan selama dua tahun, Di sana ia masuk dua
universitas sekaligus, yakni University of Northern Colorado‟s Teachers College
dan Standfort University. Dari kedua universitas tersebut ia meraih gelar MA.
Selain ke Amerika, ia juga berkunjung ke Swiss, Inggris dan Italia.7 Keberadaan
Sayyid Quthb di Amerika bertepatan dengan pendirian negara Israel yang telah
disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada waktu itu juga bersamaan
dengan perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Mesir dengan pemerintahan
Nasser lebih condong kepada Uni Soviet dan negara ini semakin terpengaruh
dengan pemerintahan gaya sekuler.8
6 Shalah Abdul Fatah, Sayyid Qutb, Asy-Syahid Al-Hayyi, Darul Manaarah, Jeddah As-
Saudiyah 1981, h.21. dalam Faizah Ali, Jauhar, Membahas kitab...,h. 132 7 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insani
Madani, 2008), h. 183 dalam jurnal Adib Hasani, Kontradiksi dalam Konsep Politik Islam
Eksklusif Sayyid Qutb, h. 5 8 John L. Esposito, Unholy War: Teror atas Nama Islam, terj. Syafrudin Hasani
(Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), h. 69 dalam jurnal Adib Hasani, Kontradiksi dalam Konsep
Politik Islam Eksklusif Sayyid Qut, 6
39
2. Latar belakang penulisan Tafsir Fizilal Al-Qur’an
Tafsir fi dzilal al-Qur'an pada mulanya adalah judul dari serial bulanan
yang ditulis dan diterbitban oleh majalah " Al-Muslimun", sebuah majalah
bulanan yang diterbitkan oleh kelompok Ikhwan al-Muslimin. Makalah pertama
diterbitkan pada edisi ketiga majalah tersebut, pada bulan Februari tahun 1952.
Setelah menuliskan tujuh makalah yaitu pada penerbitan ke tiga sampai ke
Sembilan, sampai pada surah al-Baqarah ayat 103, Sayyid Quthub terinspirasi
untuk menulis buku tafsir seperti makalah yang ditulisnya di majalah. la berniat
menulis tafsir al-Qur'an lengkap sebanyak tiga puluh juz, berdasarkan tertib
susunan al-Qur'an dengan nama yang sama dan akan diterbitkan per juz setiap
bulannya. Apa yang di inginkan Sayyid Quthub terlaksana sampai tahun 1954
dimana tafsir Fi Dzilal al- Qur'an terbit sebanyak enam belas juz yaitu sampai
akhir surah Thaha, sebelum sayyd Quthub dituduh makar dan di penjara.9
3. Karateristik Tafsir Fizilal Al-Qur’an
Melihat penulisan tafsir fi Dzilal al_Qur‟an yang mengikuti alur susunan
surah dan ayat yang termaktub dalam mushaf al-Qur‟an, maka dari satu sisi
dikatakan bahwa Sayyid Qutb telah menggunakan metode analisa atau tahlili.10
Mencermati perkembangan pemikiran Sayyid Qutb sebelum dan sesudah
mengalami penangkapan oleh rezim pemerintahan mesir, mengharuskan kita juga
9 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Kelasik-Modern,
(jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 134 10
Faizah Ali, Jauhar, Membahas kitab...,h. 138
40
melihat adanya perkembangan corak dalam tafsirnya. Pada mulanya, sebelum
penangkapan dirinya, Sayyid Qutb memiliki kecendrungan corak adabi ijtima‟i
yaitu corak yang diperkenalkan oleh Muhammad Abduh, di samping ia juga telah
mengarang bukunya yang berjudul at-tashwir al-fanni al-Qur‟an. Corak inilah
yang terlihat lebih menonjol dalam tafsirnya sebelum di edit ulang. Setelah tafsir
al-Dzilal di edit ulang, dan setelah Sayyid Qutb mendekam lebih lama di penjara,
penghayatannya terhadap Al-Qur‟an, Islam, kehidupan dan perjuangannya
berkembang. Hal ini berimbas pada corak penafsirannya, tidak lagi bernuansa
adabi ijtima‟i tetapi Ia menambahkan corak lain terhadap tafsirnya yaitu corak
perjuangan (haraki) dan corak tarbawi.11
Motivasi Sayyid Qutb memperkenalkan corak haraki dalam tafsirnya
didorong oleh obsesinya mengajak kaum muslimin untuk betul-betul memahami
al-Qur‟an dan menghayatinya untuk kemudian dijadikan sebagai inspirator dalam
menjalankan semua aktifitasnya di alam nyata ini. Karena menurut Sayyid Qutb
al-Qur‟an tidak cukup hanya dipelajari atau ditafsirkan saja secara teori.12
Penafsiran Sayyid Qutb dilakukan dari awal Surah al- Fatihah sampai
dengan akhir Surah al-Nas sesuai dengan urutan yang terdapat di dalam mushaf.
Setiap juz diawali dengan halaman judul; halaman keterangan isi juz yang
bersangkutan; dan ditutup dengan keterangan bahwa juz yang bersangkutan telah
selesai dan dilanjutkan dengan juz berikutnya, yang diawali dengan ayat atau awal
11
Shalah Abdul Fatah, Ta‟rif ad-Darisin bi Manahaji al-mufassirin, (Damaskus, Dar al-
Qolam 2002 M- 1423h), h.597, dalam Faizah Ali, Jauhar, Membahas kitab...,h. 139 12
Shalah Abdul Fatah, Ta‟rif ad-Darisin bi Manahaji al-mufassirin, (Damaskus, Dar al-
Qolam 2002 M- 1423h), h.597, dalam Faizah Ali, Jauhar, Membahas kitab...,h. 139
41
surah tertentu. Jika ayat yang ditafsirkan pada awal juz tersebut merupakan awal
surah, maka Sayyid Qutb memulainya dengan basınalah, begitu pula dengan awal
setiap surah, kecuali Surah al-Tawbah yang memang tidak diawali dengan
basmalah. Awal juz yang ditafsirkan oleh Sayyid Qutb, tidak selalu sama dengan
awal juz yang terdapat di dalam muşhaf. Dengar pertimbangan bahwa keterkaitan
yang padu satu Surah al- Qur'an, maka awal Surah tertentu yang terdapat pada
akhir juz dimuat pada juz berikutnya, dan untuk itu diberikan catatan kaki.13
A. penafsiran Quraish Shihab
1. Biografi Quraish Shihab
M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di Kabupaten Sidendeng
Rampang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang.14
Ia berasal
dari keturunan Arab terpelajar. Shihab merupakan nama keluarganya (ayahnya)
seperti lazimnya yang digunakan di wilayah Timur (anak benua india termasuk
Indonesia).15
M. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang
taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika
mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) merupakan sosok yang
banyak membentuk kepribadian bahkan keilmuannya kelak. Ia menamatkan
13
Abun bunyamin, dinamika tafsir ijtima‟i Sayyid Quthb, (purwakarta: Taqaddum, 2012),
h. 34. 14
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an…, h. 6, Saiful Amin Ghafur,
Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 236. 15
Atik Wartini, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, h. 4
42
pendidikannya di Jam‟iyyah al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan
pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai
pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.16
Menurut M. Quraish Shihab sejak 6-7 Tahun, ia sudah diharuskan untuk
mendengar ayahnya mengajar Alquran. Dalam kondisi seperti itu, kecintaan
seorang ayah terhadap ilmu yang merupakan sumber motivasi bagi dirinya
terhadap studi Alquran.17
M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampung
halamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di
Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al- Hadist al-Fiqhiyyah.18
Kemudian
pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya
di al-Azhar dan diterima di kelas II Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967
dia meraih gelar Lc. (S1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadist
Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikanya di fakultas yang
sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir Alquran
dengan judul al- I‟jāz al-Tasyri‟ li al-Qur‟ān al-Karīm.19
2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah
Latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah adalah karena semangat untuk
menghadirkan karya tafsir Al-Qur‟an kepada masyarakat secara normatif
16
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan,1999), h. v. Dalam jurnal Atik Wartini, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, h. 4 17
Saiful Amin Ghafur, Profil …., h. 237 18
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an…., h. 14 19
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an…., h. 6
43
dikobarkan oleh apa yang dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya
kajian Al-Qur‟an sehingga Al-Qur‟an tidak lagi menjadi pedoman hidup dan
sumber rujukan dalam mengambil keputusan. Menurut Quraish dewasa ini
masyarakat Islam lebih terpesona pada lantunan bacaan Alquran, seakan-akan
kitab suci Al-Qur‟an hanya diturunkan untuk dibaca.20
Di Indonesia sendiri,
kejumudan kajian Islam hampir merata di semua cabang. Cabang-cabang
"ortodoks" yang mestinya menjadi kajian unggulan pun, tidak mengalami
perkembangan signifikan. Kajian Fiqih, Ushul Fikih, atau Tafsir, juga tak ada
gebrakan baru. Baik di pesantren atau di perguruan tinggi, kajian-kajian itu tak
menunjukkan perkembangan berarti. Di tengah-tengah kemandegan seperti ini,
keadaan kian diperburuk oleh kecenderungan menghakimi pendapat yang
berbeda, kadang-kadang sampai ke tingkat “pengkafiran” Yang menyedihkan,
diskursus akademik yang bersifat “spesialis” dihakimi secara demagogis melalui
“mimbar awam” seperti khutbah Jumat, kajian-kajian salafi (wahabi) di
Indonesia, atau lewat majalah-majalah populer seperti Sabili dan Hidayatullah
atau lewat website salafi yang mudah di akses di mana-mana.21
3. Karateristik Tafsir Al-Misbah
Berdasarkan beberapa corak penafsiran yang digunakan di Indonesia,
pandangan quasi-obyektifis tardisionalis yang kemudian dikembangkan lagi
menjadi dua bagian, yaitu obyektifis tradisonalis dan obyektivis revivalis,
pandangan subyektifis dan pandangan quasi
20
Wartini, Hunafa: Jurnal Studia.., h. 8 21
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013), h. 275
44
obyektifis modernis, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang dilakukan
oleh M. Quraish Shihab menggunakan corak yang terakhir, yaitu quasi obyektifis
modernis, karena dengan menggunakan corak inilah penafsir mampu berdialog
dengan isu isu kontemporer. Dengan menggunakan metode quasi obyektifis
modernis seorang penafsir mampu melakukan dialog antara teks dengan konteks,
dan konteks bukan hanya pada saat ayat Alquran itu diturunkan tetapi juga
berupaya mendialogkan dengan konteks era sekarang secara relevan.
Analisis wacana kritis yang dibangun dalam tulisan ini juga ingin
menegaskan bahwa sebuah karya tidak terkecuali karya tafsir bukan suatu karya
suci yang kedap kritik, bahwa setiap karya tafsir yang dibuat selalu ada
kepentingan yang ada dibelakangnya dan mencoba menjawab isu-isu tentang
ekonomi, perpolitikan, hubungan sosial-kemasyarakatan, kemiskinan,
kesejahteraan, gender, keagamaan, pruralisme, hukum dan lain sebaginya.
Penafsiran yang dilakukan oleh Quraish Shihab menampakkan keberhasilannya
walaupun belum sempurna.22
Secara umum, dapat dikatakan tafsir di Indonesia banyak terpengaruh oleh
corak tafsir di Mesir. Yakni banyak memakai konsep tafsir adabiy-ijtimâi (sastra-
kemasyarakatan). Pertama kali corak ini dipandang sebagai corak tafsir
kontemporer. Sample awal dari corak ini bias kita lihat dalam Tafsir Al-Manâr
karya Rasyid Ridha dan M. Abduh. Memang kondisi masyarakat pada waktu itu
sedang tunduk kepada imperialisme Barat. Maka timbullah niatan untuk bangkit
mengejar ketertinggalannya dan bangkit dari ajaran mereka sendiri. Tafsir dengan
22
Hunafa: Jurnal Studia Islamika, h. 18
45
metode ini digunakan agar Al-Qur'an lebih dekat dengan masyarakat dan juga
untuk menjawab problematika yang mereka rasakan waktu itu. Pertama kali tafsir
corak ini berkembang di Mesir. Paham progresif dan modernis inilah yang
kemudian juga muncul di Indonesia. Apalagi waktu itu Indonesia pun sedang
mengalami penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang dalam waktu
hampir bersamaan. Maka paham progresif dan modernis ini cepat menyebar di
Indonesia.23
Begitu juga, kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai
corak penafsiran Adabi ljtima'i. Kita juga bisa mengatakan bahwa tafsir ini
memiliki kecenderungan lughawi. Hal ini didasarkan kepada banyaknya
pembahasan tentang kata. Apalagi terhadap kata atau ungkapan yang selama ini
disalahpahami oleh sebagian pembaca. Sebut saja misalnya kalimat “Aqimush
shalah” yang biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah shala”. Terjemahan ini
bukan saja keliru, bahkan juga mengaburkan pesan yang ingin disampaikan ayat
itu, karena kata aqim bukan terambil dari akar kata qama yang berarti “berdir”
tetapi dari kata qawama yang bearti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna
serta berkesinaimbungan”.24
seorang peneliti dari Surabaya menyatakan hasil penelitiannya dalam
sebuah artikel panjang, Studi Analisis Metode Sistematika dan Corak Tafsir al-
Misbah Muhammad Quraish Shihalb (2005). Dia menyatakan bahwa corak atau
aliran tafsir yang diikuti oleh Muhammad Quraish shihab dalam tafsir al-Misbah
adalah Tafsir Adabi ljtima 'i, yaitu corak penafsiran al-Qur'an yang tekanannya
23
Amir, Literatur..., h. 282 24
Amir, Literatur..., h. 283
46
bukan hanya ke tafsir lughawi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, dan tafsir isy 'ari, akan
tetapi arah penafsirannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yang kemudian
disebut corak tafsir adabi ijtima' i.25
25
Amir, Literatur..., h. 284
47
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN SURAT AL-MAIDAH AYAT 50
Al-Qur‟an adalah kalamullah yang di dalamnya terdapat berbagai macam
petunjuk dan hidayah, Al-Qur‟an memiliki uslub bahasa yang tinggi, yang tidak
semua orang dapat mengerti ketika membacanya dalam bentuk teks, namun harus
ada yang menjelaskan terkait teks yang dibacanya, yaitu tafsir. Tafsir merupakan
suatu metodologi yang digunakan untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur‟an,
dari tafsir ini seseorang akan dengan mudah dapat memahami Al-Qur‟an dengan
benar. Namun dalam memperjelas suatu tafsir, maka analisis terhadap tafsir
sangat diperlukan untuk mempertajam keilmuan dewasa ini, dari analisis tersebut
akan dapat menghadirkan ruang diskusi untuk publik yang bertujuan agar ilmu
dapat terus berkembang dan bermanfaat bagi orang banyak.
A. Bunyi teks ayat
Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang tidak mengandung petunjuk,
semua yang Allah SWT firmankan dalam risalah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw mengandung kebaikan dan merupakan ibadah bagi setiap orang
yang mengamalkannya, perintah-perintah yang bersifat tegas merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi jika terdapat qarinah, apabila ditinggalkan
mendapatkan siksaan. namun ada juga larangan yang bersifat ancaman untuk
meninggalkannya, justru jika mengerjakannya maka Allah SWT akan
48
menghukumnya. Dalam QS Al-Maidah ayat 50 misalnya, yang mengandung
kecaman bagi siapa saja yang ingin berhukum selain dari hukum Allah,
merupakan hukum jahiliyah. Berikut ayatnya:
ىم يىقىىن ق
ما ل
ه حن
ٱلل م حظ
أ وم
ىن
ت يبغ هلي
ج
م ٱل
حن
ف
٠٥أ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?(QS: Al-
Maidah ayat 50)
B. Asbabun nuzul
Asbabun nuzul menggambarkan ayat-ayat Al-Qur‟an memiliki hubungan
dialektis dengan fenomena sosiokultural masyarakat. Namun perlu ditegaskan
bahwa Asbabun nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang
bersangkutan. Artinya, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab itu
tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun.1
Asbabun nuzul mempunyai beberapa redaksi periwayatan dan makna.
Pertama, berupa pernyataan tegas dan jelas dengan menggunakan kata sebab,
seperti “Asbabu nuzûlil yah kadz ”, dengan menggunakan fa‟ ta‟qibiyyah yang
bersambung dengan lafaz nuzul, seperti “... fa anzalall hu ...”, tidak menggunakan
kata sebab dan fa‟ ta‟qibiyyah tetapi dapat dipahami sebagai sebab dalam konteks
jawaban atau suatu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Saw, seperti
hadits riwayat Ibnu Mas‟ud ketika Nabi Saw. ditanya tentang ruh.
1 Dr. Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul (Jakarta: Zaman, 2015), h. 19.
49
Kedua, berupa pernyataan tidak tegas dan tidak jelas, seperti ungkapan,
“nuzzilat h dzihil ayatu fi kadza”, “Ah sibu h dzihil yat nuzzilat fi kadz .”, atau
“ma ah sibu h dzihil y t nuzzilat fi kadz ”, redaksi semacam ini bisa jadi
merupakan penjelasan kandungan hukum ayat yang dimaksud.2
Dengan
pernyataan itu dan pernyataan selanjutnya, perawi tidak memastikannya sebagai
Asbabun nuzul. Redaksi-redaksi tersebut mengandung kemungkinan
menunjukkan sebab nuzul dan hal yang lain.3
Dalam penjelasan di atas sebab Nuzul pada QS al-Maidah ayat 49-50
memiliki hubungan dialektis dengan fenomena sosiokultural masyarakat. berikut
ayatnya:
م ب ه ن ي ب م ن ن اح
ن وأ
م أ زه
ر م واح ه ىاء ه
ع أ ب
د ج
ه ول
صى الل
ها أ م
سيد ا ي م هم أ
ل اع
ىا ف
ىل
ن ج ئ
ف و ي
ل ه إ
صى الل
ها أ ض م ع ب ىك ع ى خ ف ي
اف
اض ل الى را م ي ث
ن ل وإ م ه ىب
هض ذ ع ب م ب ه يب ص ن ي
ه أ
ىنالل ق ط
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.(Al-Maidah ayat 49).
2 Az-Zarqani, Manahilul „Irfan fi „Ulumil Quran (Bairut: Darul Fikr, 1988), h. 114-115.
3 Manna Khalil al-Qahthtan, Mabhahits fi Ulumil Quran (t.tp: Mansyurat al-„Ashr al-
Hadirts, 1973), h. 83.
50
ىم يىقىىنما لق
ه حن
الل م حظ
أ ىن وم
ت يبغ جاهلي
م ال
حن
ف
أ
Apakah mereka menghendaki hukum jahliyyah? Bukankah tidak ada yang
lebih baik dan adil selain dari hukum Allah, bagi kaum yang percaya? (Al-
Maidah ayat 50).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ka‟ab bin Usaid mengajak
„Abdullah bin Shuriya dan Syas bin Qais pergi menghadap Nabi Muhammad
untuk mencoba memalingkan Nabi Saw dari agamanya dengan berkata: “Hai
Muhammad! Engkau tahu bahwa kami pendeta-pendeta Yahudi, pembesar dan
tokoh mereka. Jika kami jadi pengikutmu, pasti kaum Yahudi akan mengikui jejak
kami, sedang mereka tidak akan menyalahi kehendak kami. Kebetulan antara
kami dengan mereka terdapat percekcokan. Kami mengharapkan agar engkau
mengadilinya dan memenangkan kami dalam perkara ini. Dengan begitu kami
akan beriman kepadamu.” Nabi Saw. menolak permintaan mereka, dan turunlah
ayat tersebut di atas (Q.S. al-Maidah: 49-50) yang mengingatkan untuk tetap
berpegang pada hukum Allah SWT dan berhati-hati terhadap kaum Yahudi.4
(diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu „Abbas).
Sebagaimana seruan pendeta Yahudi kepada Nabi Saw untuk
memalingkan Nabi dari kebenaran (Al-Qur‟an) maka turun lah ayat ini dengan
sebab peristiwa ini Allah berfirman pada Q.S. al-Maidah ayat 49-50.
4 Qamaruddin Shaleh, H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-ayat al-Qur‟an, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000), h. 197
51
C. Korelasi Ayat 50 dengan Ayat sebelumnya
Pembahasan hukum al-Jahiliyah yang merujuk pada ayat 50 surat Al-
Maidah tidaklah berdiri sendiri. Tentunya memiliki keterkaitan dengan ayat
sebelumnya, yaitu 48 dan 49. Ayat itu turun secara beriringan memiliki hubungan
dialektis dengan fenomena sosiokultural masyarakat pada pemahasan asbabun
nuzul di atas. Hal ini terlihat dari konteks turunnya ayat yang mengisahkan kaum
Yahudi sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari jalur Sufyan bin Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “Nabi Saw diberi pilihan, jika beliau menghendaki boleh memutuskan
perkara di antara mereka dan jika beliau menghendaki maka boleh berpaling dari
mereka. Lalu mengembalikan kepada hukum-hukum mereka. Kemudian turun
ayat ini, “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah
dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka” [48] maka Rasulullah Saw
diperintahkan untuk memutuskan perkara mereka dengan apa yang ada di dalam
Al Qur an.5 Firman Allah Ta'ala, “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau
mengikuti keinginan mereka” [49] ayat ini merupakan penguat dari perintah yang
sudah disebutkan, dan larangan untuk menyelisihinya. Firman Allah Ta'ala, “Dan
waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau
terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” [49] artinya
barhati-hatilah terhadap musuh-musuh kamu dari kaum Yahudi yang akan menipu
kamu tentang kebenaran yang mereka larang untuk mengetahuinya. Maka
5 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, penerjemah Suharlan,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), h. 626.
52
janganlah kamu tertipu oleh mereka, karena mereka adalah para pendusta, kafir,
dan penghianat. Firman Allah Ta'ala, “Jika mereka berpaling (dari hukum yang
telah diturunkan Allah)” [49] yakni dari apa yang kamu putuskan di antara
mereka dengan kebenaran dan mereka melanggar syariat Allah. “Maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan dosa-dosa mereka.” [49] artinya maka ketahuilah, bahwa hal ini
terjadi dari takdir Allah dan hikmah-Nya pada mereka, untuk memalingkan
mereka dari petunjuk karena dosa-dosa yang ada pada mereka yang telah lalu
sehingga mengharuskan mereka sesat dan ingkar. “Dan sungguh, kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.” [49] artinya kebanyakan manusia tidak
taat kepada Tuhan mereka.6 Ayat 48 berisikan keterangan bahwa setiap umat
memiliki cara pandang sendiri tentang aturan hidup, untuk kaum muslimin adalah
Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian ayat 49
berisikan larangan mengikuti dan memperturutkan diri pada aturan hidup
kelompok lain, sedangkan ayat 50 berisikan tentang ketidak sesuaian antara aturan
hidup yang dibuat manusia dengan aturan hidup yang dibuat oleh Allah, aturan
hidup yang bersebrangan dengan aturan Allah dinilai sebagai hukum jahiliyah.
Maka dari sinilah dapat diketahui bahwa ayat 48,49, dan 50 memiliki keterkaitan
yang erat dalam satu peristiwa.
6 Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir..,h. 635.
53
D. Analisis penafsiran Fi zilal al-Qu ’an dan Al-Misbah
Dalam pembahasan ini penulis menghadirkan dua tafsir yang memiliki
karakteristik yang berbeda, dengan tujuan membandingkan pandangan kedua
mufasir terhadap hukum jahiliyah pada surat Al-Maidah ayat 50.
1. Penafsiran Fi Zilal al-Qu ’
ىم يىقىىن ق
ما ل
ه حن
ٱلل م حظ
أ وم
ىن
ت يبغ هلي
ج
م ٱل
حن
ف
٠٥أ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS:Al-
Maidah ayat 50)
Ayat ini memberikan teguran keras kepada orang-orang yang berpaling
dari hukum-hukum Allah SWT, Mereka dinilai memilih hukum buatan manusia
dari pada hukum yang telah Allah SWT sempurnakan dalam firmannya. Sayyid
Quthb mendefinisikan hukum jahiliyah ialah hukum itu dibuat sendiri seketika
oleh manusia dan untuk manusia, Hal yang seperti ini sama sajah suatu
penghamban manusia terhadap manusia dan telah berpaling dari penghabaan
kepada Allah serta menolak uluhiyah Allah, dan lebih memilih untuk
menghambakan diri kepada manusia dalam berhukum.7
Ketika Allah SWT
menetapkan perkara hukum dalam Al-Qur‟an tentu saja wajib bagi kita selaku
seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat Allah, kitab-
7Sayyid Quthb, Fi- hilalil Qur‟an, jilid II, (Beirut: Dar As-Syuruuq), h. 904.
54
kitab Allah, rasul-rasul Allah dan hari akhir untuk senantiasa mematuhi dan
menjalankannya sesuai apa yang Allah dan Rasul-Nya syari‟atkan. Jika berpaling
darinya, maka sudah jelas jalan hukum dan peraturan jahiliyah-lah yang mereka
kehendaki. karena salah satu tujuan Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw
adalah untuk mengeluarkan manusia dari bentuk-bentuk kejahiliyahan yakni
menghalalkan yang Allah haramkan dan mengharamkan yang Allah halalkan
sesuai dengan kehendak dan hawa nafsunya.
Perkara yang dimaksud hukum manusia untuk manusia adalah, manusia
membuat aturan hidup sendiri tanpa melibatkan aturan yang ada dalam Al-Qur‟an,
kemudian mereka berkonsensus untuk menjadikan aturan yang telah dibuatnya
untuk dipatuhi dan dijadikan sebagai pedoman hidup mereka. Berpaling dari
penghambaan kepada Allah bukan hanya dalam bentuk bersembah sujud dalam
perkara ubudiyah, namun dalam perkara kepatuhan dalam konteks mengimani
ayat-ayat Allah dan menjadikannya sebagai pedoman hidup tanpa meninggalkan
sedikitpun aturan dan hukum yang telah Allah buat untuk Manusia, itu pun
merupakan bagian dari menghambakan diri kepada Allah SWT. uluhiyah
mengesakan dan mengikhlaskan seluruh jenis ibadah untuk Allah semata, yang
tiada sekutu bagi-Nya secara lahir batin.8 Jika lebih memilih hukum dan aturan
hidup yang dibuat oleh manusia, dengan meninggalkan hukum-hukum Allah
maka dia telah mengakui uluhiyah manusia dan penghambaan kepada mereka,
karena bentuk ketaatannya kepada manusia dan menolak ketetapan-ketetapan
Allah SWT. Menurut Sayyid Qutb jahiliyah bukanlah zaman tertentu, ia adalah
8Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), h. 167.
55
atribut yang bisa melekat di setiap masa, dulu, sekarang ataupun masa yang akan
datang.
Kemudian sayyid Quthb mengatakan Pada dasarnya yang dimaksud
jahiliyah pada QS Al-Maidah ayat 50 tersebut terletak pada kondis dan keadaan
tertentu, bukan terletak pada suatu zaman ke zaman. Akan tetapi jahiliyah yang di
maksud ada pada setiap zaman yang sejatinya selalu berentangan dengan Islam.9
Jahiliyah ada bukan pada zaman dan fase tertentu, sesudah atau sebelum
datangnya islam, namun ada pada setiap zaman yang dimana suatu keadaan itu
terindikasi dalam bentuk jahiliyah, yaitu tidak sesuai aturan islam, dan
bertentangan dengan islam.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Manusia di setiap zaman dan di setiap
tempat hanya punya dua pilihan: berhukum dengan syari'at Allah tanpa tergoda
untuk meninggalkan sebagiannya dan menerimanya secara total, sehingga mereka
berada di dalam agama Allah, atau mereka berhukum dengan syari'at buatan
manusia dalam salah satu bentuknya dan menerimanya sehingga mereka berada di
dalam Jahiliyah dan berada di dalam agama orang-orang yang berhukum dengan
syari'atnya, dan tidak berada di dalam agama Allah.10
Dari penjelasan di atas dipahami bahwa tidak ada alasan apa pun yang
dapat dijadikan sebagai hujah untuk membantah mengapa tidak berhukum dengan
hukum Allah SWT dan memilih hukum jahiliyah? meski dalam keadaan seperti
apa pun, dan dalam perubahan zaman yang berbeda dengan zaman-zaman
9 Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 904.
10 Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 904.
56
sebelumnya, tetap syari‟at dan hukum Allah yang harus dijunjung tinggi dan
sebagai pedoman hidup. Hanya ada dua pilihan dalam kehidupan ini, taat secara
totalitas kepada syari‟at Allah atau mengingkarinya. Indikasi ketaatan seorang
muslim kepada syari‟at Allah dan Rasulnya tercermin dari perilaku dan
pemikirannya, jika dia ridha Islam sebagai agamanya dan syari‟at Islam sebagai
pedomannya maka dia berada dalam Agama Allah yang hanif dan benar.
Sebaliknya, jika dia lebih memilih aturan yang dibuat oleh manusia dan ridha
kepadanya maka dia berada dalam syari‟at manusia. Asy-Syaikh Nawawi
mengatakan dalam tafsirnya terkait hukum jahiliyah pada ayat ini yaitu mereka
mencari hakim seperti hakim-hakim pada masa jahiliyah. Artinya adakalanya
yang dimaksud adalah agama jahiliyah yang selalu memperturutkan kemauan
hawa nafsu yang berakhir dengan berbasa-basi dalam hukum.11
Karena
hakikatnya aturan dan hukum yang dibuat oleh manusia hanya memperturutkan
hawanafsunya dan kepentingan-kepentingan segelintir orang semata. Dan inilah
kejahiliyahan yang dimaksudkan oleh Allah dalam QS Al-Maidah ayat 50, karena
begitulah keadaan saat itu bagaimana petinggi Yahudi mendatangi Rasulullah dan
meminta keputusan hukum sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan tidak
merujuk pada Al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw. Beginilah keadaan saat ini
membuat keputusan di luar kitabullah dan hadits Nabi Saw dalam perkara hukum
dan kebijakkan, ketika disodorkan hukum Islam maka mereka menolaknya
dengan alasan-alasan tertentu. Ini yang dijelaskan Sayyid Qutb berada dalam
syari‟at manusia dan hukum jahiliyah, mengapa demikian? Karena Allah tidak
11
Asy-Syaikh Nawawi, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
(Bandung: Sinar Baru Algenisindo), hal, 103.
57
mengutus Nabi Muhammad saw hanya untuk urusan agama, namun seluruh aspek
permasalahan dan perkara-perkara yang ada dalam kehidupan ini terjawab oleh
Al-Qur‟an dan sunnah Nabi saw. Jawaban inilah yang berada dalam ruang lingkup
syari‟at Islam sepenuhya.
Imam Asy-Saukani dalam tafsirnya (apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki), menerangkan, apakah mereka berpaling dari keputusanmu yang
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah kepadamu, dan berpaling
darinya serta menginginkan hukum jahiliyah.12
Kemudian Abu ja‟far juga berkata
dalam tafsirnya terkait ayat ini Allah SWT mengatakan, jika kamu memberi
keputusan yang adil kepada mereka maka mereka pasti lebih memilih keputusan
yang bodoh, yakni hukum-hukum patung dan berhala dari golongan syirik.
Padahal mereka memiliki Kitabullah, yang di dalamnya terdapat penjelasan yang
sesungguhnya dari hukum yang kamu putuskan kepada mereka. Sesunguhnya
kitab itu haq yang tidak di perkenankan untuk mengingkarinya.13
Dari sini
kembali ditegaskan bahwa hanya ada dua hukum antara hukum Allah dan hukum
jahiliyah, maka hanya ada satu pilihan di antara keduanya, menghendaki hukum
Allah berarti meninggalkan hukum jahiliyah, jika menolak hukum Allah pasti
menerima hukum jahiliyah.
Bagi Sayyid Qutb antara hukum jahiliyah dan hukum Allah adalah
persimpangan. Allah membawa manusia di atas persimpangan ini dan setelah itu
12
Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir, Jilid III, penerjemah, Amir Hamzah Fachruddin,
Asep Saefullah, (jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 411. 13
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an,
penerjemah, Akhmad Affandi, Benny Sarbeni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 95.
58
mereka bebas memilih.14
Ini berarti Allah tidak pernah memaksa seseorang untuk
taat kepadanya, taat kepada hukum-Nya, dan taat kepada syari‟at-Nya. Allah
memberikan kebebasan kepada hamba-hambanya untuk memilih jalan yang
mereka inginkan, patuh kepada perintah Allah menjalankan segala syari‟atnya,
maka dia akan selamat, dan Allah pasti akan memberikan keberkahan dalam
hidupnya. Namun jika dia mendustai syari‟at Allah dan menghendaki hukum
jahiliyah maka Allah akan memberikan hukuman sesuai dengan apa yang mereka
lakukan. Sebagaimana dalam firman Allah:
ء وٱل
ما ٱلظ
ذ ميهم بسل
خحىا عل
ف
ل
ىا
ق وٱج
ءامىىا
قسي
هل ٱل
ن أ
ى أ
ن ول
ز ول
ظبىن ين
ىا
اه
هم بما م
نر
خ
أ ف
بىا
ر
٦٩ل
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya (QS. Al-A‟raaf: 96).
Ayat selanjutnya menggunakan gaya bertanya kepada mereka dengan nada
penolakan terhadap keinginan mereka akan hukum Jahiliyah, dan dengan nada
penetapan terhadap keutamaan hukum Allah:
ىم يىقىىنق
ما ل
ه حن
ٱلل م حظ
أ ٠٥وم
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ? (QS:Al-Maidah ayat 50)
14
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 904.
59
terhadap ayat ini Sayyid Qutb menjelaskan bahwa, hukum siapakah yang
lebih baik dari hukum Allah? Siapakah yang berani berpendapat bahwa dia
membuat syari'at untuk manusia dan memutuskan hukum dalam kehidupan
mereka, dengan syari'at yang lebih baik dari apa yang disyari'atkan Allah untuk
mereka? Bisakah mereka berhujah untuk mendukung pengakuan ini?15
Penjelasan
ini menegaskan bahwa tidak ada yang berhak untuk membuat aturan hidup sendiri
selain sang maha pencipta. Hanya Allah yang paling mengetahui tentang manusia,
karena Allah yang menciptakannya, dengan itu Allah memberikan petunjuk
panduan hidup berupa Al-Qur‟an yang di dalamnya menjawab semua kebutuhan
manusia dengan hukum dan Syari‟at-Nya, jelas terbukti hukum Allahlah yang
paling terbaik bagi orang-orang yang yakin kepadanya, Tidak ada hukum yang
lebih adil dari hukum Allah, tidak ada hukum yang lebih baik selain dari hukum
Allah. Manusa tidak memiliki daya apa pun untuk bersifat sombong membuat
syari‟at sendiri, meninggalkan syariat Allah, dan menganggap bahwa hukum yang
dia buat itu lebih baik dari hukum Allah, dan dapat memberikan kemaslahatan dan
ketentraman bagi mereka.
„Apakah dia bisa mengatakan: Bahwa dia lebih tahu tentang manusia
ketimbang Pencipta manusia?‟ Kalimat tanya ini dijelaskan oleh Musa bahwa
tidak ada yang lebih tahu tentang manusia kecuali yang menciptakannya, yaitu
Allah SWT Sang Khaliq Pencipta seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Tidak
ada satu orang pun yang berhak menandingi pengetahuan Allah terhadap manusia.
Karena Allahu Rabb al-„aalamin berarti Allah Yang memiliki semua yang ada,
15
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
60
baik yang ada di alam nyata (alam al-syahadah, alam al-mulk alam fisik) atau
yang ada di alam ghaib (alam al-malakuut atau alam metafisik), karena Dialah
yang telah mencipta semua yang ada tersebut. Dialah Yang Berkuasa atas semua,
yang berhak menentukan segala-galanya, yang berhak mengatur memerintah atau
melarang sesuai dengan kehendak-Nya.16
Artinya dialah yang maha mengetahui
segala-galanya, termasuk manusia, dia yang memberikan pengetahuan tentang
bagaimana dia menciptakannya yang digambarkan dalam firmannya;
طين ت مل م طل وظ
قىا ٱل
لد خ
ق
نين ٢١ول ساز م
في ق
ت
ف
ط
ه ه
ىم جعل
م ٢١ث
ث
م عظ
ا ٱل
ظىه
ن
ما ف
عظ
ت
ضغ
قىا ٱل
لخ
ف
ت
مضغ
ت
ق
عل
قىا ٱل
لخ
ف
ت
ق
عل
ت
ف
ط قىا ٱلى
لخ
وشم أ
حما ث
لقين ل
خ
ٱل حظ
ه أ
خبازك ٱلل
س ف
قا ءاخ
له خ
ه ٢١أ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Berkenaan ayat ini Sayyid Qutb menjelaskan Allah dalam firmannya
memiliki konsep dalam penciptaan manusia yang terbukti bahwa Allah maha
pencipta makhluk yang bernafas. dan maha pencipta hukum, maka Allah juga
16
Musa Bin Fatullah Harun, Manusia Dan Makhluk Ghaib di Sekitarnya, (Jakarta: Al-
Ghuraba, 2008), h. 6.
61
berhak menciptakan sistem aturan hidup untuk makhluk yang ia ciptakan itu,
karena dia yang lebih tahu dari siapapun termasuk manusia itu sendiri.
„Apakah dia bisa mengatakan: Bahwa dia lebih sayang kepada manusia
ketimbang Rabb manusia?‟17
Layaknya pepatah yang mengatakan bahwa kasih
seorang ibu kepada anaknya tidak terhingga sepanjang masa. Begitu pula Allah
yang menciptakan manusia, bentuk sayangnya melebihi sayangnya seorang ibu
kepada anak-anaknya, sekali-kali Allah tidak ingin hamba-hambanya tersesat
dijalan yang salah, terlarut-larut dalam kejahiliyahan seperti sebelum datangnya
Islam, Allah mengirimkan risalah yang dititipkan kepada Nabi Muhammad Saw
dengan membawa agama dan syari‟at ini, bukti nyata bahwa Allah sangat
menyayangi makhluk ciptaannya ini, menurunkan Al-Qur‟an agar manusia tetap
berada dalam kasih sayangnya, Allah meridhainya dan manusia ridha kepadanya.
Mengapa Allah membuat hukum atas manusia? Karena Allah maha tahu, bahwa
mereka tidak akan bisa memberikan manfaat dan keadilan untuk manusia jika
mereka membuat hukum sendiri, maka dapat dikatakan bahwa manusia yang
membuat hukum tidak melebihi sayangnya dari pada sayangnya Allah keadaan
manusia.
„Apakah dia bisa mengatakan: Bahwa dia lebih mengenal kemaslahatan
manusia ketimbang Rabb manusia? Apakah dia bisa mengatakan: Bahwa Allah
yang Maha Suci ketika membuat syari'at dan risalah yang terakhir tidak
mengetahui akan terjadinya berbagai kondisi, kebutuhan dan situasi baru,
sehingga Dia tidak bisa mengantisipasinya dalam syari'at-Nya, karena tidak
17
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
62
diketahui, hingga terungkap oleh manusia di akhir zaman?‟18
Penjelasan ini
menegaskan bahwa segala sesuatu yang baik itu datang dari yang maha baik,
manusia tidak memiliki kekuatan untuk memberikan kebaikan bagi orang lain
tanpa adanya petunjuk dari Allah SWT. agama yang Allah ridhai ini telah Allah
sempurnakan, seluruh kemaslahatan dan kebaikan ada dalam syari‟at agama ini.
dalam firmannya;
م ديىا
طل
م ٱل
ن
م وعمتي وزضيذ ل
ين
ممذ عل
جم وأ
م ديىن
ن
ذ ل
مل
ل
يىم أ
١ٱل
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.
Bukankah agama ini telah sempurna? Jika demkian adakah alasan untuk
kita tidak memeluknya secara kaffah dan menjadikian agama ini sebagai tuntunan
hidup sepenuhnya dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Inilah bentuk
kesempurnaan Islam yang dapat mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dan
Allah meridhai orang-orang yang patuh, tunduk, dan beriman kepadanya.
Sifat manusia yang memiliki naluri untuk membantah segala sesuatu yang
tidak sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya, mereka menolak hukum yang
Allah berikan kepadanya, dan mereka membuat hukum baru untuk
kemaslahatannya padahal Allah mengatakan dalam firmannya;
18
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
63
ي
شسهىا
ن
ن ج
أ
ى يوعس
ش
ىا حب
ن ج
أ
ى وعس
م
ن
يرل ل
م ا وهى خ
ه يعل
وٱلل
م
ن
سل ل
ا وهى ش
مىن وأ
عل
ح
١٢٩هخم ل
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Padahal segala yang Allah berikan kepada hamba-hambanya merupakan
bentuk kasih sayang Allah kepada mereka, karena Allah mengetahui segala
sesuatu pada diri manusia mana yang baik baginya dan mana yang buruk baginya,
dan dalam kondisi dan situasi apa pun hukum Allah tetap berlaku dan pasti akan
memberikan kemaslahatan bagi manusia, dalam firmannya;
مين ل ع
ل ل
زحمت
و إل
ىزطل
أ
٢٥١وما
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Ayat ini memberikan harga mati bahwa Islam itu memberikan rahmat
kepada seluruh alam, makna seluruh alam tidak terbatas oleh ruang dan waktu
zaman dahulu dan zaman moderen, jika Islam hanya cocok untuk kemaslahatan di
zaman Nabi dan para sahabat berarti Islam bukan rahmat bagi seluruh alam.
„Apakah yang bisa dikatakan oleh orang yang menjauhkan syari'at Allah
dari kehidupan lalu menggantinya dengan syari'at Jahiliyah dan hukum Jahiliyah,
dan menjadikan hawa nafsunya atau hawa nafsu rakyat atau hawa nafsu suatu
64
generasi di atas hukum Allah dan di atas syari'at Allah?‟, dari penjelasan ini
dipahami bahwa tidak ada satu kata pun yang mampu di ungkapkan oleh mereka
kelak dihadapan Allah, mereka tidak mampu membela dirinya sendiri dan orang
lain atas apa yang mereka laukan. Mereka tidak akan mampu berkata apa pun,
memberikan hujah yang kuat setelah menjauhkan syari'at Allah dari kehidupan
lalu menggantinya dengan syari'at Jahiliyah dan hukum Jahiliyah.
„Apa yang bisa dikatakannya, khususnya bila dia mendakwakan diri
sebagai Muslim?‟ sambungan penjelasan ini bermakna bahwa apakah pantas
seorang muslim membuat hukum baru untuk menandingi hukum Allah, masih
bisakah dia mengaku dirinya itu sebagai muslim jika nyatanya dia memilih hukum
jahiliyah dan meninggalkan hukum Allah. Karena esensi seorang muslim adalah
berserah diri kepada Allah dalam urusan apa pun. Tentu saja dapat di ragukan
keimanan dan ketaqwaannya jika benar dia menjauhkan syari'at Allah dari
kehidupan lalu menggantinya dengan syari'at Jahiliyah dan hukum Jahiliyah.
„Kondisi? Situasi? Tidak adanya keinginan manusia? Takut musuh?
Tidakkah semua ini berada dalam pengetahuan Allah, ketika dia memerintahkan
kaum muslimin untuk menegakkan syari‟at-Nya, berjalan di atas manhaj-Nya, dan
tidak tergoda untuk meninggalkan sebagian syari‟at yang diturunkan-Nya?‟19
dalam penjelasan ini dipahami bahwa tidak ada asumsi yang kuat untuk
memberikan pembelaan atas apa yang telah mereka lakukan, yakni menjauhkan
syari'at Allah dari kehidupan lalu menggantinya dengan syari'at Jahiliyah dan
hukum Jahiliyah. Meski dalam kondisi yang mendesak, dan dalam situasi yang
19
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
65
darurat sekalipun, atau karena adanya ancaman musuh yang mengakibatkan rasa
takut, dan akhirnya memilih hukum jahiliyah agar mendapatkan rasa aman.
Apakah mereka ragu kepada Allah, kepada syari‟at Allah, apakah Allah telah
salah dan Allah tidak mengetahui apa yang baik untuk mereka sehingga mereka
menolak hukum-hukum Allah dan memilih hukum jahiliyah.
„Kelemahan syari'at Allah untuk mengantisipasi semua kebutuhan, kondisi
dan situasi yang baru? Tidakkah semua itu berada dalam pengetahuan Allah,
ketika Dia menyampaikan peringatan keras ini?‟20
Kalimat tanya ini bermaksud
menegaskan Apakah syari‟at Allah tidak sempurna? Apakah syari‟at Allah
memiliki kelemahan yang tidak mampu untuk memberikan kebaikan dan
mengatasi masalah di setiap kondisi dan situasi yang baru? Jika demikian mereka
berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki pandangan yang baik atas segala urusan
umatnya, Allah bukan zat yang maha mengetahui sehingga lahirlah rasa
ketidakyakinan ini dalam hati mereka orang-orang yang memilih hukum jahiliyah.
Padahal Allah satu-satunya zat yang mengetahui segala sesuatu ( )وهوبكل
.dan dia mengetahui segala sesuatuشيءعلين
„Orang-orang di luar Islam bisa mengatakan apa saja yang
dikehendakinya. Tetapi seorang Muslim atau orang-orang yang mendakwakan
Islam. apa yang mereka katakan dari semua ini, kemudian mereka tetap berada di
atas sebagian ajaran Islam?‟21
Penjelasan ini bermakna bahwa jika ucapan
mencela dan menolek yang keluar dari lisan orang-orang kafir terhadap syari‟at
20
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905. 21
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
66
Allah maka itu hal yang wajar, karena aqidah dan keyakian yang berbeda, namun
bagaimana jika hal ini justru dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai
muslim, tentu ini merupakan suatu kekufuran, kezaliman, dan kefasikan.
Sebagaimana yang telah Allah sebutkan dalam firmannya terhadap orang-orang
yang tidak mengambil hukum Allah;
فسون ن
ئو هم ٱل
ول
أه ف
هصى ٱلل
أ
م بما
م يحن
١١وم ل
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
لمىن ئو هم ٱلظ
ول
أه ف
هصى ٱلل
أ
م بما
م يحن
هۥ وم ل
ل
لازة ف
هى ل
ق بهۦ ف صد
م ج
١٠ف
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
ظقىن ف
ئو هم ٱل
ول
أه ف
هصى ٱلل
أ
م بما
م يحن
١١وم ل
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Ayat-ayat di atas telah memberikan pengklasifikasian terhadap orang-
orang yang tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dalam
firmanNya.
Dalam kaitan ini Sayyid Qutbh menjelaskan bahwa, sesungguhnya ia
merupakan persimpangan jalan, yang tidak ada pilihan lain baginya dan tidak ada
gunanya melakukan perdebatan atau mencari-cari alasan.
67
Islam atau Jahiliyah. Iman atau kafir. Hukum Allah atau hukum Jahiliyah.
Orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah
orang-orang kafir, zalim dan fasiq. Orang-orang yang tidak menerima hukum
Allah di kalangan rakyat adalah orang-orang yang tidak beriman.22
Maka jelas
perkara ini, di tengah-tengah persimpangan ini hanya ada dua jalan yang berbeda,
antara yang haq dan yang batil, Islam atau jahiliyah. Jika memilih yang haq yang
telah dibenarkan oleh Allah, memilih hukum-hukumnya, maka gelarnya sebagai
seorang muslim telah benar, namun jika dia berpaling dan memilih jalan yang
kedua yakni hukum jahiliyah, maka hanya ada tiga sebutan yang dapat dikatakan
untuknya, yakni kafir, zalim dan fasik. Begitu tegas Al-Qur‟an memberikan
kecaman terhadap siapa saja yang mengingkari ayat-ayat Allah.
Berikutnya Sayyid menjelasakan bahwa sesungguhnya masalah ini harus
jelas dan tegas di dalam nurani seorang Muslim, tidak boleh ragu-ragu dalam
penerapannya terhadap realitas manusia di zamannya, dan menerima konsekuensi
hakikat ini dan hasil penerapan ini pada lawan dan kawan.‟23
Penetapan dan
pengambilan hukum inilah yang menjadi tolok ukur permasalaan seorang muslim,
kebimbangan dan keragu-raguan hati seorang muslim menjadi pemicu lahirnya
permasalahan yang akan menimbulkan perselisihan antara hukum Allah dan
hukum jahiliyah. Permasalahan ini mesti jelas dan tegas, menanamkan keyakinan
yang kuat atas hukum Allah untuk penerapan terhadap kehidupan ini, tanamkan
dalam hati nurani bahwa hanya Allah SWT yang maha kuasa, hanya hukum Allah
yang berhak mengatur kehidupan ini selainnya tidak berhak dan batil.
22
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905. 23
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
68
Sayyid juga menegaskan bahwa Selagi nurani seorang Muslim tidak
mendapat kejelasan (dalam) masalah ini maka ia tidak akan dapat memiliki
standar yang lurus, tidak akan bisa memahami manhaj dengan jelas, tidak akan
bisa membedakan antara yang benar dan yang batil, dan tidak akan bisa
melangkah satu langkah pun di jalan yang benar. Bila masalah ini boleh tidak
jelas atau rancu di dalam jiwa sebagian besar manusia, tetapi masalah ini tidak
boleh rancu atau tidak jelas di dalam jiwa orang-orang yang ingin menjadi
"Muslim" dan merealisasikan sifat yang agung ini pada diri mereka.24
Nurani
seorang muslim dapat memberikan ukuran yang tepat tentang kebenaran, jika
nuraninya tidak memiliki kejelasan maka ia tidak akan bisa mengidentifikasi
tentang sesuatu yang baik untuk dirinya dan orang lain. Tidak dapat memahami
tentang tuntunan hidup dengan jelas sesuai fitrah manusia pada dasarnya.
Kewajiban untuk menjalankan hukum Allah berlaku untuk Muslim kapan
pun dan di mana pun tanpa mempedulikan tempat dan waktu. Seperti di zaman
ini, di mana banyak anggapan keliru yang menyatakan bahwa hukum Islam sudah
kuno dan tidak berlaku lagi di zaman yang serba canggih ini. Sesungguhnya yang
membedakan antara zaman dulu dan zaman sekarang hanyalah di perbedaan
fasilitas saja, karena sejatinya dari zaman kuno sampai hari ini kebutuhan utama
manusia sama saja; mereka butuh makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan
seterusnya.
Walaupun Al-Qur‟an diturunkan pada abad ke-7 di tanah Arab, namun
kandungan dari setiap hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Muslim di setiap
24
Quthb, Fi-Zhilalil..,h. 905.
69
tempat dan zaman. Sebagaimana yang dikatakan sebuah kaidah ushul, “al-ibrah
bi umum al-lafzhi la bi khushusi sabab”, pelajaran itu terdapat pada keumuman
lafaz, bukan di kekhususan sebab turunnya ayat yang bersangkutan. Menurut
Sayyid Quthb pula, bahwa kaum Muslim tidak boleh tunduk terhadap segala
rintangan yang ada untuk menjalankan hukum Allah, walau tantangan itu
datangnya dari kawan sendiri maupun lawan sejati. Keteguhan dalam
menjalankan dan ber-wala‟ kepada hukum Allah dan disloyalitas dan
kesabarannya dalam menghadapi ancaman hukum jahiliyah yang akan membuat
Muslim terbebas dari predikat kafir, zalim, maupun fasiq.
Jika masalah loyalitas kepada hukum Allah dan disloyalitas kepada hukum
jahiliyah ini masih membingungkan bagi seorang Muslim, niscaya akidahnya
akan mudah goyah, dikarenakan tidak memiliki pondasi yang kokoh dan begitu
rawan pemikirannya terselundupi paham-paham yang bertentangan dengan Islam.
Walaupun sebenarnya setiap manusia tidak dipaksa dan diberi pilihan untuk
berloyalitas kepada hukum manapun, tapi syarat untuk menjadi hamba Allah dan
menjadi Muslim seutuhnya adalah meyakini bahwa tiada hukum yang setara
dengan hukum Allah, dan menafikkan segala jenis hukum yang tidak berasal dari
Sang Pencipta. Kesimpulan ini selaras dengan kalimat yang wajib diucapkan
secara lisan dan diyakini dengan hati bagi setiap orang untuk menjadi Muslim,
yakni mengucapkan kalimat syahadat la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah,
tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
70
2. Penafsiran Al-Misbah
ىن
ت يبغ هلي
ج
م ٱل
حن
ف
ىم يىقىىن أ
ق
ما ل
ه حن
ٱلل م حظ
أ ٠٥وم
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS:Al-
Maidah ayat 50)
Ketika menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
Selanjutnya, karena yang ada hanya hukum Allah serta hukum yang bertentangan
dengannya, dan hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai
hukum Jahiliyah, maka ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan:
apakah hukum Jahiliyah yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu,
kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki, dan
jika demikian siapakah yang lebih sesat dari mereka?25
Ungkapan ini sejalan
dengan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di dalam tafsirnya
ketika menjelaskan kata Jahiliyah pada ayat ini, Menurut as-Sa‟di, hukum
Jahiliyah adalah semua hukum yang bertentangan dengan apa yang diturunkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya. Karena pilihan yang ada hanya hukum Allah dan
Rasul-Nya atau hukum jahiliyah.26
Segala hukum yang bertentangan dangan hukum Allah maka itu adalah
hukum jahiliyah. Tidak ada satu hukum pun yang dibuat oleh manusia yang tidak
berdasarkan akal dan hawa nafsu. Segala kebijakan dan kepentingan yang
25
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (ciputat: Lentera Hati, 2001), h. 111. 26
Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di, Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-
Mannan, (Jakarta: Darul Haq, 2013)
71
mengatasnamakan hukum mereka buat sesuai dengan keinginannya, agar berpihak
kepada akal dan hawa nafsunya, maka inilah yang dimaksud hukum jahiliyah.
Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang
mengatakan bahwa hukum jahiliyah adalah mereka mengikuti hukum yang lain
berupa akal, hawa nafsu, istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa ada
sandaran syariat Allah. Hal ini sebagaimana orang-orang jahiliyah yang berhukum
dengan kesesatan dan kebodohan, dan hukum-hukum yang mereka buat
berdasarkan akal dan hawa nafsu mereka.27
Kesesatan ini telah nyata dan jelas.
Mereka berpaling dari hukum Allah, dan memilih hukum buatan manusia yang
berdasarkan akal fikiran dan hawa nafsu. Inilah yang dimaksud dengan hukum
jahiliyah.
Kemudian Quraish Shihab menjelaskan bahwa Karena kesempurnaan serta
baiknya suatu hukum adalah akibat kesempurnaan pembuatnya, sedang Allah
adalah Wujud yang paling baik serta sempurna, maka jika demikian siapakah
yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik dari pada Allah Yang Maha
Mengetahui itu dalam menetapkan hukum dan dalam hal-hal yang lain bagi kaum
yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya?28
Jika Allah adalah zat yang maha sempurna di atas segalanya, zat yang
maha mengetahui segala sesuatu yang ada, mengetahui yang baik dan yang buruk,
mengetahui awal dan akhir dalam kehidupan ini dan Dia pula-lah yang memiliki
segala kerajaan di langit dan bumi, maka tidak ada lagi alasan kita untuk tidak
27
Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Ahmad Syakir dan Suharlan, Jilid II,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), h. 636. 28
Shihab, Tafsir Al-Mishbah.., h. 111.
72
mematuhi hukum-hukum Allah yang telah sempurna ini, dan memilih hukum
jahiliyah. Jika manusia dengan kemampuannya dapat membuat hukum maka
sudah pasti hukum yang dibuatnya itu sama sekali tidak mampu menandingi
hukum yang telah Allah turunkan dalam Al-Qur‟an. Hanya hukum Allah-lah yang
paling baik bagi setiap orang yang telah mantap keimanan dan ketaqwaannya.
Di titik ini Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata yuqinun atau yaqin
adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya
sesuatu yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-
dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak dinamai
mencapai tingkat yakin, karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui sedemikian
jelas, sehingga tidak pernah sesaat atau sedikit pun disentuh oleh keraguan.
Berbeda dengan manusia yang “yakin”, sebelum tiba keyakinannya, ia terlebih
dahulu disentuh oleh keraguan, namun begitu ia sampai pada tahap yakin, maka
keraguan yang tadinya ada, langsung sirna. Seseorang yang ingin mencapai tahap
keyakinan harus berusaha menghilangkan setiap kerancuan yang menyelinap di
dalam benak, dan hatinya. Ini ditempuh dengan jalan mendekatkan diri kepada
Allah, mempelajari hukum-hukum yang ditetapkan-Nya serta mengamalkannya.
“Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan
kepadanya pengetahuan yang belum diketahuinya”. Demikian sabda Nabi saw.,
dan pengetahuan yang terakhir ini mengantar ia sampai kepada keyakinan, dan ini
73
pada gilirannya mengantar ia dengan mantap berkata bahwa tidak ada yang lebih
baik dari Allah dalam menetapkan hukum.29
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi bertugas untuk mengatur
urusan di bumi ini dengan hukum yang jelas. Manusia tidak boleh mengatur
dengan hukum yang tidak jelas siapa pembuatnya, konsepnya, dan tata caranya.
Apabila manusia menerapkan hukum semacam itu, maka bisa dijamin akan terjadi
kerusakan dan berbagai ketimpangan akibat penerapan hukum yang salah.
Banyak tokoh besar dan pemikir yang berusaha membuat hukum guna
dijadikan sandaran tata kelola dunia ini. Dengan akal dan hawa nafsu mereka,
telah banyak hukum yang ditelurkan dan diterapkan di seluruh dunia. Namun,
penerapan hukum yang berasal dari akal manusia selalu saja tidak tepat dan
membawa kehancuran. Sebagai contoh, penerapan hukum sosialisme -
komunisme telah menimbulkan kerusakan dan ketimpangan di negara-negara
yang pernah menerapkannya, seperti Uni Soviet, Cina, Laos, Vietnam Utara, dan
lain-lain. Walaupun maksud dan tujuan manusia membuat hukum untuk
menciptakan kemaslahatan, tapi apa yang diimpikan oleh akal mereka selalu saja
tidak mampu untuk mendapat kemaslahatan yang hakiki, dikarenakan
keterbatasan akal manusia dan kecenderungan hawa nafsunya yang dominan.
Manusia harus meyakini bahwa dirinya lemah dan terbatas, karena
memang hal itu sesuai dengan fakta yang ada. Keterbatasan manusia
menyebabkan manusia membutuhkan tempat untuk bergantung, tempat untuk
29
Shihab, Tafsir Al-Mishbah.., h. 112.
74
bersandar, tempat untuk bertanya tentang hakikat kehidupan, alam raya, serta
manusia itu sendiri. Keyakinan seperti ini akan membuat manusia menyadari
kalau manusia harus tunduk kepada perintah Allah yang telah menciptakannya.
Manusia harus bisa menguatkan kepercayaannya kepada Allah sampai ke tingkat
benar-benar yakin, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.
Keyakinan seperti ini tidak boleh dicapai dengan cara pemaksaan dan
indoktrinasi, tapi harus melalui cara yang rasional dengan memanfaatkan potensi
akal manusia untuk mencari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bertebaran di mana-
mana.
Sebagai Sang Pencipta, Allah tidak hanya menjadikan manusia sebagai
makhluk hidup, tapi juga mengiringi manusia dengan memberikan mereka
petunjuk (al-huda/guidence). Pada saat manusia menggunakan akalnya untuk
mengakses petunjuk dari Allah yang berupa wahyu, maka Allah akan memberikan
manusia itu taufiq dalam menjalankan hidayah dari Allah.
E. Komparasi antara dua penafsiran
Dari uraian di atas dapat dijadikan sebagai perbandingan yang memiliki
perbedaan dan persamaan antara dua tafsir diatas. Yang keduanya masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun dalam analisis yang telah penulis
uraikan terhadap kedua tafsir diatas, Perbedaan presfektif dua mufasir di atas
telah nampak pada term jahiliyah, walaupun secara garisbesar memiliki kesamaan
pada maksud dan tujuan Ayat pada dasarnya. Berikut perbedaannya;
75
1. Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an (Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki) berpandangan tentang makna jahiliyah pada ayat ini adalah
segala jenis hukum yang dibuat oleh manusia dan untuk manusia, dan
suatu penghambaan manusia kepada manusia dan menolak uluhiyah Allah
Swt. Sementara Tafsir Al-Misbah berpandangan makna jahiliyah pada ayat
ini adalah, hukum-hukum yang di buat oleh manusia yang berdasarkan
dengan hawa nafsu dan kepentingan semata.
2. Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an memberikan pengertian pada ayat ini terkait term
jahiliyah yaitu bahwa semua hukum yang bukan berdasarkan dari Al-
Qur‟an maka itulah Hukum Jahiliyah. Sedangkan Al-Misbah memberikan
komentar pada ayat ini yang dimaksud jahiliyah yaitu segala bentuk
hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
3. Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an mengaitkan makna jahiliyah tidak sekedar
dengan konteks hukum tetapi mengaitkan juga dengan konsekuensi
penghambaan terhadap selain Allah. Sedangkan tafsir Al-Misbah fokus
pada persoalan hukum.
4. Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an lebih ketat dan keras dibandingkan Al-Misbah
terkait pandangannya terhadap hukum-hukum jahiliyah dan orang-orang
yang berhukum dengannya, hal ini terlihat pada argumentasinya ketika
sayid Quthb mengatakan bahwa hukum-hukum yang tidak bersumber dari
Al-Qur‟an maka itu lah hukum Jahiliyah, keluar dari penghambaan kepada
Allah, menolak uluhiyah Allah, mengakui uluhiyah manusia, dan
penghambaan kepaada mereka. Sedangkan Quraish Shihab hanya
76
menyinggung bentuk ketidak yakinan mereka kepada hukum-Hukum
Allah.
5. Sayyid Quthb memandang jahiliyah sebagai masalah yang sangat urgen
dan kompleks sehingga Sayyid mampu memberikan solusi dengan
berusaha memformalkan syariat Islam dan menjadikannya menyatu
dengan negara dan kekuasaan.30
serta terkesan memojokan hukum
jahiliyah yang dianggapnya sebagai jalan kesesatan, sedangkan Quraish
Shihab memberikan pandanganya tentang hukum jahiliyah yang hanya
sebatas permasalahan hukum.
6. Sayyid Quthb memandang bahwa hukum Allah adalah yang terbaik
dengan argumentasi bahwa Allahlah yang maha pencipta dan paling
mengerti tentang ciptaannya. Sementara Quraish Shihab menekankan
bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna karena berasal dari zat
yang Maha Sempurna.
7. Kedua tafsir bersepakat bahwa hukum jahiliyah adalah hukum produk akal
manusia.
Komparasi di atas sekilas tidak memiliki perbedaan yang mencolok,
namun jika di teliti dan di kaji lebih dalam lagi, maka akan nampak perbedaan
yang cukup signifikan, keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam aspek
tertentu, namun dalam pengertian mendasar pada term jahiliyah, keduanya
sepakat bahwa hukum jahiliyah merupakan hukum buatan manusia yang tidak
berdasarkan Al-Qur‟an serta bertentangan dengannya.
30
Hasani, Kontradiksi dalam...,h. 3.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas dari bab 1 sampai bab 4 penulis dapat
mengambil kesimpulan terkait hukum jahiliyah dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah
Ayat 50 sesuai yang telah di jelaskan oleh kedua mufasir di atas, jahiliyah
memiliki pengertian yang simple dan jelas, sejatinya bahwa hukum Jahiliyah pada
ayat ini menjelaskan tentang hukum-hukum dan sistem aturan hidup yang tidak
bersumber dari Al-Qur‟an, pada dasarnya ayat ini menggambarkan tentang
negosiasi petinggi yahudi atas Nabi Saw dalam pertikaian mereka dengan
kaumnya, atas dasar hawa nafsu dan kepicikannya mereka meminta kepada Nabi
agar Nabi Saw memenangkan perkara mereka dari perseteruannya dengan
kaumnya, kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini dengan konteks keadan
mereka menginginkan hukum dan aturan jahiliyah yang didasari oleh kepentingan
dan hawa nafsunya. Dari sini penulis menarik kesimpulpan menjadi beberapa
point anatara lain;
1. Kedua penafsir bersepakat bahwa Hukum jahiliyah adalah hukum yang
berasal dari selain Allah SWT, yakni hukum yang bersumber dari akal dan
hawa nafsu manusia. Hanya saja penjelasan Sayyid Quthb lebih terkesan
78
keras hingga mengaitkan pada aspek akidah sedangkan Quraish Shihab
memberikan penjelasan pada ruang lingkup hukum.
2. Hukum jahiliyah ada pada setiap masa yang dapat di indikasikan dengan
perbuatan dan hukum yang menyimpang, yang bertentangan dengan Al-
Qur‟an, yang bukan hanya ada pada masa tertentu.
3. Pada tafsir Sayyid Qutb ditemukan penjelasan bahwa hukum jahiliyah
tidak terbatas waktu dan tempat, artinya hukum jahiliyah terjadi di masa
lalu, bisa juga terjadi dimasa sekarang dan masa yang akan datang.
Patokannya adalah pertentangan dengan hukum Allah SWT.
Dari penjelasan ini maka dapat dinilai bahwa hukum-hukum kontemporer
yang bertentangan dengan hukum Allah swt maka terkategori hukum jahiliyyah.
Jika menggunakan pendekatan pengertian yang diajukan oleh Quraish Shihab
bahwa hukum jahiliyah adalah hukum yang bertentangan dengan hukum Allah
maka akan ditemukan kesimpulan yang sama bahwa hukum yang terdapat
dikehidupan masa kini yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dapat
dimasukkan kedalam hukum jahiliyyah.
B. Saran
Setelah menyimpulkan hasil penelitian, peneliti juga ingin memberikan
rekomendasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian ini,
Pembahasan yang penulis ambil, merupakan pembahasan yang cukup penting
untuk dikaji, karena hukum Jahiliyah merupakan suatu permasalahan yang
mendasar pada umat islam dan merupakan perbuatan buruk yang termasuk
79
kedalam dosa yang besar bagi pelakunya serta akan memberikan dampak yang
buruk bagi orang banyak jika hukum-hukum jahiliyah di terapkan dalam
kehidupan ini. saat ini jika kita teliti lebih lanjut baik dalam tatanan negara atau
dalam tatanan masyarakat maka kita akan menemukan bentuk-bentuk jahiliyah
dalam berbagai hal baik berupa atauran, sistem, kebijakan, atau perilaku. Jika
dikemudian hari ada yang ingin meneruskan penelitian ini, penulis berharap
kepada peneliti agar pembahasan yang di ambil lebih detail dari yang sudah ada,
serta dapat memberikan informasi dan pemahaman yang baru yang belum ada
sebelumnya, sehingga dapat memberikan khazanah bagi para pembaca, terkhusus
bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana Hukum Jahiliyah yang di
katakan dalam Al-Qur‟an, dan dampak apa sajah yang akan terjadi ketika hukum
jahiliyah tersebut diterapkan dalam kehidupan ini. Maka dengan ini penulis
berupaya memberikan rekomendasi yang relevan dengan penelitian ini:
1. Persoalan hukum jahiliyah menjadi sangat urgen untuk diketahui khalayak
muslim, sebab bisa menyangkut pada persoalan akidah sebagaimana
penjelasan sebagian mufassir, selain itu juga dampak yang dihasilkan
akibat penerapan hukum jahiliyah. Tentu persoalan hukum menjadi
tanggung jawab utama penguasa.
2. Kajian yang peneliti lakukan berfokus pada komparasi penjelasan hukum
jahiliyah antara dua mufasir ternama yakni Sayyid Qutb dan Quraish
Shihab. Dalam penelitian ini tidak terlalu digambarkan dengan rinci
karakteristik hukum jahiliyah. Oleh karena itu bagi kalangan yang akan
melakukan penelitian berkaitan dengan hukum jahiliyah, ada baiknya jika
80
menitikberatkan pada kajian identifikasi, detailisasi dan kategorisasi
hukum jahiliyah.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah, Yusuf. Tafsir Yusuf Ali. Penerjemah, Ali Audah. Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2009.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013.
Bunyamin, Abun. dinamika tafsir ijtima‟i Sayyid Quthb. Purwakarta: Taqaddum,
2012).
Chirzin, Muhammad, Mengerti Asbabun Nuzul. Jakarta: Zaman, 2015.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994
Al-Farmâwi, Abd, Al-Hayy, al-Mawdû‟I, Al-Bidâyat Fi al-Tafsîr diterjemahkan
oleh Suryan A.Jamrah dengan judul Metode Tafs r Mawdhu‟iy Cet.I:Jakarta:
LSIK dan Raja Rafindo Persada, 1994
Hamka, Debat Dasar Negara Islam Dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Panjimas,
2001
Harun, Musa, Bin Fatullah. Manusia Dan Makhluk Ghaib di Sekitarnya. Jakarta:
Al-Ghuraba, 2008.
Hasani, Adib, jurnal. Kontradiksi dalam Konsep Politik Islam Eksklusif Sayyid
Qutb, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016.
Hidayat, Komarudin (ed). Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila,
Bandung: Mizan Media Utama, 2014
Hidayat, Nuim. Sayyid Qutb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. (Jakarta:
Gema Insani, 2005.
82
https://islami.co/menaati-pemerintah-bukanlah-kekafiran, Diunduh pada 12 Maret
2019.
https://nasional.sindonews.com/read/1273325/13/hukum-nkri-sudah-sesuai-
dengan-syariat-islam-1515817002, Diunduh pada 12 Maret 2019.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171202080637-20-259615/rizieq-
dorong-konsep-nkri-bersyariah-di-reuni-alumni-212, Diunduh pada 12
Maret 2019.
Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, (Maktabah Syamila: Juz 12)
Lubis, Ibrahim. Agama Islam Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Manzur, Ibn. lisan Aarab. Maktabah syamilah: juz 11.
Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,
Mas‟ud, Ibnu. Tafsir Ibnu Mas‟ud Jam‟wa Tahqiq wa dirasah. Penerjemah, Ali
Murtadho Syahudi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Al-Mubarakfury, Syaikh, Shafiyyurahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta: PUSTAKA
KAUTSAR, 2008.
An-Nadawy, Abul, Hasan, Ali, Al-Hasany. Kerugian Apa Yang Diderita Dunia
Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin, Bandung: Percetakan Offset, 1983.
Nasir, Haedar. Islam Syariat, Bandung: Mizan Media Utama, 2013
Nawawi, Asy-Syaikh. Tafsir Al-Munir
Al-Qahthtan, Manna, Khalil. Mabhahits fi Ulumil Quran t.tp: Mansyurat al-„Ashr
al-Hadirts, 1973.
Al-Qurthubi, Syaikh, Imam. Al Jami‟ li Ahkaam Al Qur‟an, penerjemah, Dudi
Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, Jakarta: Pustaka Azam, 2008.
83
Quthb, Muhammad. Jahiliyah Abad Dua Puluh. Bandung: Mizan, 1985.
Quthb, Sayyid. Fi- hilalil Qur‟an, jilid III, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid, Khoirul Halim. Jakarta: Robbani press, 2002.
Rachman, Budhi, Munawar. (ed). Membela Kebebasan Beragama, jakarta: The
Asia Fudation, 2011
Ramulyo Idris, Asas-asas Hukum Islam. jakarta: SINAR GRAFIKA, 1995.
Ridjaluddin. Teologi sayyid Quth. Jakarta: pusat kajian islam.
As-Sa‟di, Syaikh, Abdurrahman, bin Nashir. Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir
Kalam al-Mannan. Jakarta: Darul Haq.
Shaleh, Qamaruddin, dan Dahlan, H.A.A. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat al-Qur‟an. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Iman Kepada Allah. Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Shihab, M, Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013
Subhani, Ja‟far. Ar-Risalah. Jakarta: LENTERA BASRITAMA, 1996.
Sugiarto, Umar, Said. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafka, 2013.
Syakir, Syaikh, Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katir, jilid II, penerjemah
Suharlan. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012.
Syakir, Syaikh, Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir. Jilid II, penerjemah
Suharlan. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012.
Syaukani, Imam. Fathul Qadir. Jilid III, penerjemah, Amir Hamzah Fachruddin,
Asep Saefullah. jakarta: Pustaka Azzam 2009.
Syibromalisi, Faizah, Ali, dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Kelasik-
Moder. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
84
Tandjung, Ihsan. Hukum Allah dan Hukum buatan Manusia, Artikel di akses 17
oktober 2018 dari https://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-
ideologi/hukum-allah-dan-hukum-buatan-manusia.
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Jami‟ Al-Bayan an Ta‟wil Ayi Al
Qur‟an. penerjemah, Akhmad Affandi, Benny Sarbeni. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Wadjdi, farid, dan al Jawi, Shiddiq. Ilusi Negar Demokrasi, Bogor: Al-Azhar
Press, 2009
Wartini , Atik, Hunafa: Jurnal Studia Islamika.
Wasitaatmadja, Fokky, Faud. Filsafat Hukum. Jakarta: PRENADAMEDIA
GROUP, 2015.
Az-Zarqani. Manahilul „Irfan fi „Ulumil Quran. Bairut: Darul Fikr, 1988.